Anda di halaman 1dari 2

Co-Living di Indonesia

Membawa Konsep Co-Living ke Indonesia


Konsep co-living memiliki segmentasi terbatas dan membutuhkan penyesuaian budaya

Memahami konsep pengembangan co-living di tanah air

Konsep penyewaan ruang kosong di era digital menjadi salah satu peluang bisnis yang mulai
digeluti banyak pihak. Ruangan-ruangan kosong tersebut biasanya ditawarkan sebagai tempat
untuk bekerja hingga hunian. Di kota-kota besar mungkin model ini bekerja dengan baik
karena tingginya harga sewa dan keterbatasan ruangan, namun jika diterapkan di Indonesia
akankah popularitasnya bisa merata di semua kota.

Konsep penyewaan yang saya maksud adalah co-working space dan juga co-living. Konsep
pertama sudah cukup sukses untuk hadir di banyak kota di Indonesia. Selain untuk kantor, co-
working space acap kali menjadi tempat para freelancer bekerja. Konsep kedua, co-living
terbilang cukup baru di Indonesia. Startup co-living asal Singapura, Hmlet, berencana
berekspansi di Indonesia tahun ini. Yang menjadi pertanyaan apakah konsep co-living benar-
benar bisa diterima di Indonesia?

Masih baru di Indonesia


Startup yang mencoba menjajaki konsep co-living di Indonesia memiliki dua tugas penting.
Pertama mengenalkan konsep co-living dan yang kedua mengenalkan brand mereka sendiri.
Kondisi ini bisa menjadi suatu kelebihan, artinya brand mereka bisa dieratkan dengan konsep
co-living. Di sisi lain hal ini memerlukan banyak energi (dan mungkin biaya).

Di Indonesia, yang sudah menyediakan layanan co-living adalah Freeware Spaces Group.
CEO Freeware Spaces Aryo Ariotedjo dalam wawancara terdahulu dengan DailySocial
mengungkapkan, konsep co-living mirip dengan konsep kos-kosan di Indonesia. Karena di
luar negeri konsep tidak mengenal kos-kosan, dari situ lahir konsep co-living. Hanya saja co-
living terlihat lebih lengkap karena fasilitas-fasilitas umum yang ditawarkan.

Kebutuhan, budaya, dan harga


Jika melihat tren layanan startup yang ada di Indonesia, kebutuhan, budaya, dan harga sangat
menentukan popularitas dan adopsi masyarakat. Memiliki ketiganya bukan perkara yang
mudah.

Ditinjau dari segi kebutuhan, demand-nya mungkin paling cocok untuk karyawan fresh
graduate yang sudah memiliki pendapatan lumayan tapi belum memiliki properti sendiri. Di
sini ia membutuhkan lingkungan tempat tinggal yang mendukung kariernya.

Dari segi budaya, konsep co-living cenderung masih “asing”, meski di Indonesia juga
mengenal konsep kos-kosan. Membudayakan gaya hidup co-living masih butuh waktu.

Faktor terakhir dan biasanya menjadi faktor penentu di Indonesia adalah soal harga. Melihat
fasilitas dan harga yang ditawarkan, kecenderunganya konsep co-living menyasar kalangan
tertentu yang mampu menjangkaunya. Melihat adaptasi di masyarakat yang akhirnya
melahirkan paket-paket harga “sachet”, untuk menjangkau khalayak yang lebih luas
diperlukan inovasi di sisi pricing.

Co-living bukan tanpa peluang di Indonesia. Di Bali lebih mudah memadukan konsep co-
living dan co-working dalam satu tempat. Konsep yang sama lebih sulit diimplementasikan di
daerah urban seperti Jabodetabek. Meskipun demikian, co-living bisa menjadi pilihan bagi
mereka yang ingin menjaga suasana kolaboratif namun masih membutuhkan ruang privat.

Sumber : https://dailysocial.id/post/membawa-konsep-co-living-ke-indonesia

Anda mungkin juga menyukai