Anda di halaman 1dari 25

PEMERINTAH DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

DINAS KESEHATAN
RUMAH SAKIT JIWA GRHASIA
Jl. Kaliurang KM 17 Yogyakarta Telepon (0274) 895143, 895297 Facsimile (0274) 895142
Website : grhasia.jogjaprov.go.id Email : grhasia@jogjaprov.go.id Kode Pos 55582

KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT JIWA GRHASIA

NOMOR 188/00671 TAHUN 2019

TENTANG

PANDUAN
PERAWATAN PASIEN TAHAP TERMINAL

RUMAH SAKIT JIWA GRHASIA


JALAN KALIURANG KM 17 YOGYAKARTA
TELP (0274) 895143, 895297 FAX (0274) 895142
PEMERINTAH DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
DINAS KESEHATAN
RUMAH SAKIT JIWA GRHASIA
Jl. Kaliurang KM 17 Yogyakarta Telepon (0274) 895143, 895297 Facsimile (0274) 895142
Website : grhasia.jogjaprov.go.id Email : grhasia@jogjaprov.go.id Kode Pos 55582

KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT JIWA GRHASIA


NOMOR 188/00671 TAHUN 2019

TENTANG

PANDUAN PERAWATAN PASIEN TAHAP TERMINAL

DIREKTUR RUMAH SAKIT JIWA GRHASIA,

Menimbang : a. bahwa perlunya dilakukan asesmen dan asesmen


ulang terhadap pasien dalam tahap terminal
keluarganya sesuai dengan kebutuhan mereka;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan
Keputusan Keputusan Direktur Rumah Sakit Jiwa
Grhasia tentang Panduan Perawatan Pasien Tahap
Terminal.

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang


Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 2004 Nomor 116, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431);
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
3. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5027);
4. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang
Kesehatan Jiwa (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 185, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5571);

1
5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
755/MENKES/PER/IV/2011 tentang
Penyelenggaraan Komite Medik di Rumah Sakit
6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
2052/MENKES/PER/X/2011 tentang Ijin Praktik
dan pelaksanaan Praktik Kedokteran;
7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 37 Tahun 2014
tentang Penentuan Kematian dan Pemanfaatan
Organ Donor;
8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 11 Tahun 2017
tentang Keselamatan Pasien (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2017 Nomor 308);
9. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
HK.03/05/I/7875/2010 tentang Penetapan Kelas
Rumah Sakit Jiwa Grhasia sebagai Kelas A;
10. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
010/MENKES/SK/I/2012 tentang Izin Operasional
Tetap Rumah Sakit Jiwa Grhasia Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta;
11. Peraturan Daerah Istimewa Daerah Istimewa
Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2018 tentang
Kelembagaan Pemerintah Daerah Daerah Istimewa
Yogyakarta (Lembaran Daerah Daerah Istimewa
Yogyakarta Tahun 2018 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta
Nomor 7);
12. Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
Nomor 25 Tahun 2009 tentang Standar Pelayanan
Minimal Rumah Sakit Grhasia (Berita Daerah
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2009
Nomor 25);
13. Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
Nomor 88 Tahun 2018 tentang Susunan Organisasi,
Tugas, Fungsi, dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis
Rumah Sakit Jiwa Grhasia pada Dinas Kesehatan
(Berita Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Tahun 2018 Nomor 88).

2
MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT JIWA GRHASIA


TENTANG PANDUAN PERAWATAN PASIEN TAHAP
TERMINAL

Pasal 1
Dalam Keputusan Direktur ini yang dimaksud dengan :
1. Keadaan Terminal dalah suatu keadaan sakit dimana
menurut akal sehat tidak ada harapan lagi bagi si
sakit untuk sembuh. Keadaan sakit itu dapat
disebabkan oleh suatu penyakit atau kecelakaan.
2. Kematian adalah suatu pengalaman tersendiri,
dimana setiap individu akan
mengalami/menghadapinya seorang diri, sesuatu
yang tidak dapat dihindari dan merupakan suatu
kehilangan.
3. Rumah Sakit yang selanjutnya disingkat RS adalah
Rumah Sakit Jiwa Grhasia.
4. Direktur adalah pimpinan BLUD di Rumah Sakit Jiwa
Grhasia.

Pasal 2
Panduan Perawatan Pasien Tahap Terminal ini bertujuan
agar asesmen dan asesmen ulang bersifat individual
sesuai dengan kebutuhan pasien dalam tahap terminal
dan keluarganya.

Pasal 3
(1) Dilakukan asesmen dan asesmen ulang terhadap
pasien dalam tahap terminal dan keluarganya sesuai
dengan kebutuhannya.
(2) Rumah sakit memberikan pelayanan pasien dalam
tahap terminal dengan memperhatikan kebutuhan
pasien dan keluarga serta mengoptimalkan
kenyamanan dan martabat pasien yang
didokumentasikan dalam rekam medis.
(3) Pasien dalam tahap terminal diberikan asuhan
dengan rasa hormat dan empati yang ada di dalam
asesmen.

3
Pasal 4
Pada saat Keputusan Direktur ini mulai berlaku,
Keputusan Direktur Rumah Sakit Jiwa Grhasia Nomor
188/6489 Tahun 2014 tentang Panduan Perawatan
Pasien Terminal, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 5
Keputusan Direktur ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan agar setiap orang mengetahuinya dan
dilaksanakan di rumah sakit.

Ditetapkan di Yogyakarta
pada tanggal 02 Februari 2019

DIREKTUR

dr. AKHMAD AKHADI S., MPH


NIP. 19680714 200012 1 002

4
LAMPIRAN
KEPUTUSAN DIREKTUR RSJ GRHASIA
NOMOR 188/00671 TAHUN 2019
TENTANG
PANDUAN PERAWATAN PASIEN TAHAP
TERMINAL

PANDUAN
PERAWATAN PASIEN TAHAP TERMINAL
RUMAH SAKIT JIWA GRHASIA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah di akhir kehidupan beragam dari usaha memperpanjang
hidup pasien yang sekarat sampai teknologi eksperimental canggih
seperti implantasi organ binatang, percobaan mengakhiri hidup lebih
awal melalui euthanasia dan bunuh diri secara medis. Di antara hal-
hal yang ekstrim tersebut ada banyak masalah seperti memulai atau
menghentikan perawatan yang dapat memperpanjang hidup,
perawatan pasien dengan penyakit stadium terminal serta kelayakan
dan penggunaan peralatan bantuan hidup lanjut. Dua masalah yang
pantas mendapat perhatian khusus euthanasia dan bantuan bunuh
diri.
1. Euthanasia
Adalah tahu dan secara sadar melakukan suatu tindakan
yang jelas dimaksudkan untuk mengakhiri hidup orang lain dan
juga termasuk elemen-elemen berikut :
- subjek tersebut adalah orang yang kompeten dan paham dengan
penyakit yang tidak dapat disembuhkan yang secara sukarela
meminta hidupnya diakhiri;

5
- agen mengetahui tentang kondisi pasien dan menginginkan
kematian dan melakukan tindakan dengan niat utama
mengakhiri hidup orang tersebut; dan
- tindakan dilakukan dengan belas kasih dan tanpa tujuan pribadi.
2. Bantuan Bunuh Diri
Berarti tahu dan secara sadar memberikan kepada seseorang
pengetahuan atau alat atau keduanya yang diperlukan untuk
melakukan bunuh diri, termasuk konseling mengenai obat dosis
letal, meresepkan obat dosis letal, atau memberikannya.
Euthanasia dan bunuh diri dengan bantuan sering dianggap sama
secara moral, walaupun antara keduanya ada perbedaan yang jauh
secara praktek maupun dalam hal yuridiksi legal. Euthanasia dan
bunuh diri dengan bantuan secara definisi harus dibedakan
dengan menunda atau menghentikan perawatan medis yang tidak
diinginkan, sia-sia atau tidak tepat atau ketentuan perawatan
paliatif, bahkan jika tindakan-tindakan tersebut dapat
memperpendek hidup.
Permintaan euthanasia dan bantuan bunuh diri muncul
sebgai akibat dari rasa sakit atau penderitaan yang dirasa pasien
tidak tertahankan. Mereka lebih memilih mati dari pada
meneruskan hidup dalam keadaan tersebut. Lebih jauh lagi,
banyak pasien menganggap mereka mempunyai hak untuk mati
dan bahkan hak memperoleh bantuan untuk mati. Dokter
dianggap sebagai instrumen kematian yang paling tepat karena
mereka mempunyai pengetahuan medis dan akses kepada obat-
obatan yang sesuai untuk mendapatkan kematian yang cepat dan
tanpa rasa sakit. Tentunya dokter akan merasa enggan memenuhi
permintaan tersebut karena merupakan tindakan yang ilegal di
sebagian besar negara dan dilarang dalam sebagian besar kode etik
kedokteran. Larangan tersebut merupakan bagian dari sumpah
Hippocrates dan telah dinyatakan kembali oleh WMA dalam
Declaration on Euthanasia.

6
Euthanasia yang merupakan tindakan mengakhiri hidup
seorang pasien dengan segera, tetaplah tidak etik bahkan jika
pasien sendiri atau keluarga dekatnya yang memintanya. Hal ini
tetap saja tidak mencegah dokter dari kewajibannya menghormati
keinginan pasien untuk membiarkan proses kematian alami dalam
keadaan sakit tahap terminal.
Penolakan terhadap euthanasia dan bantuan bunuh diri tidak
berarti dokter tidak dapat melakukan apapun bagi pasien dengan
penyakit yang mengancam jiwa pada stadium lanjut dan dimana
tindakan kuratif tidak tepat. Pada tahun-tahun terakhir telah
terjadi kemajuan yang besar dalam perawatan paliatif untuk
mengurangi rasa sakit dan penderitaan serta meningkatkan
kualitas hidup.
Pengobatan paliatif dapat diberikan pada pasien segala usia,
dari anak-anak dengan penyakit kanker sampai orang tua yang
hampir meninggal. Satu aspek dalam pengobatan paliatif yang
memerlukan perhatian lebih adalah kontrol rasa sakit. Semua
dokter yang merawat pasien sekarat harus yakin bahwa mereka
mempunyai cukup keterampilan dalam masalah ini, dan jika
mungkin juga memiliki akses terhadap bantuan yang sesuai dari
ahli pengobatan paliatif. Dan di atas semuanya itu, dokter tidak
boleh membiarkan pasien sekarat namun tetap memberikan
perawatan dengan belas kasih bahkan jika sudah tidak mungkin
disembuhkan.
Pendekatan terhadap kematian memunculkan berbagai
tantangan etis kepada pasien, wakil pasien dalam mengambil
keputusan, dan juga dokter. Kemungkinan memperpanjang hidup
dengan memberikan obat-obatan, intervensi resusitasi, prosedur
radiologi, dan perawatan intensif memerlukan keputusan
mengenai kapan memulai tindakan tersebut dan kapan
menghentikannya jika tidak berhasil.
Seperti dibahas di atas, jika berhubungan dengan komunikasi
dan ijin, pasien yang kompeten mempunyai hak untuk menolak
7
tindakan medis apapun walaupun jika penolakan itu dapat ”....
dokter tidak boleh membiarkan pasien sekarat namun tetap
memberikan perawatan dengan belas kasih bahkan jika sudah
tidak mungkin disembuhkan” menyebabkan kematian. Setiap
orang berbeda dalam menanggapi kematian; beberapa akan
melakukan apapun untuk memperpanjang hidup mereka, tak
peduli seberapapun sakit dan menderitanya; sedang yang lain
sangat ingin mati sehingga menolak bahkan tindakan yang
sederhana yang dapat membuat mereka tetap hidup seperti
antibiotik untuk pneumonia bakteri. Jika dokter telah melakukan
setiap usaha untuk memberitahukan kepada pasien semua
informasi tentang perawatan yang ada serta kemungkinan
keberhasilannya, dokter harus tetap menghormati keputusan
pasien apakah akan memulai atau melanjutkan suatu terapi.
Pengambilan keputusan di akhir kehidupan untuk pasien
yang tidak kompeten memunculkan kesulitan yang lebih besar
lagi. Jika pasien dengan jelas mengungkapkan keinginannya
sebelumnya seperti menggunakan bantuan hidup lanjut,
keputusan akan lebih mudah walaupun bantuan seperti itu
kadang sangat samar-samar dan harus diinterpretasikan
berdasarkan kondisi aktual pasien. Jika pasien tidak menyatakan
keinginannya dengan jelas, wakil pasien dalam mengambil
keputusan harus menggunakan kriteria-kriteria lain untuk
keputusan perawatan yaitu kepentingan terbaik pasien.

Tahap-Tahap Menjelang Ajal


Kubler-Rosa (1969), telah menggambarkan/membagi tahap-
tahap menjelang ajal (dying) dalam 5 tahap, yaitu :
1. Menolak/Denial
Pada fase ini, pasien tidak siap menerima keadaan yang
sebenarnya terjadi, dan menunjukkan reaksi menolak. Timbul
pemikiran-pemikiran seperti : “Seharusnya tidak terjadi dengan
diriku, tidak salahkah keadaan ini?” Beberapa orang bereaksi pada
8
fase ini dengan menunjukkan keceriaan yang palsu (biasanya
orang akan sedih mengalami keadaan menjelang ajal).
2. Marah/Anger
Kemarahan terjadi karena kondisi klien mengancam
kehidupannya dengan segala hal yang telah diperbuatnya sehingga
menggagalkan cita-citanya. Timbul pemikiran pada diri klien,
seperti : “Mengapa hal ini terjadi dengan diriku kemarahan-
kemarahan tersebut biasanya diekspresikan kepada objek-objek
yang dekat dengan pasien, seperti : keluarga, teman dan tenaga
kesehatan yang merawatnya.
3. Menawar/bargaining
Pada tahap ini kemarahan baisanya mereda dan pasien
malahan dapat menimbulkan kesan sudah dapat menerima apa
yang terjadi dengan dirinya. Pada pasien yang sedang dying,
keadaan demikian dapat terjadi, seringkali klien berkata : “Ya
Tuhan, jangan dulu saya mati dengan segera, sebelum anak saya
lulus jadi sarjana”.
4. Kemurungan/Depresi
Selama tahap ini, pasien cenderung untuk tidak banyak
bicara dan mungkin banyak menangis. Ini saatnya bagi perawat
untuk duduk dengan tenang disamping pasien yang sedangkan
melalui masa sedihnya sebelum meninggal.
5. Menerima/Pasrah/Acceptance
Pada fase ini terjadi proses penerimaan secara sadar oleh
pasien dan keluarga tentang kondisi yang terjadi dan hal-hal yang
akan terjadi yaitu kematian. Fase ini sangat membantu apabila
pasien dapat menyatakan reaksi-reaksinya atau rencana-rencana
yang terbaik bagi dirinya menjelang ajal. Misal ingin bertemu
dengan keluarga terdekat, menulis surat wasiat, dan sebagainya.

9
Tipe-Tipe Perjalanan Menjelang Kematian
Ada 4 tipe dari perjalanan proses kematian, yaitu :
1. Kematian yang pasti dengan waktu yang diketahui, yaitu adanya
perubahan yang cepat dari fase akut ke kronik.
2. Kematian yang pasti dengan waktu tidak bisa diketahui, biasanya
terjadi pada kondisi penyakit yang kronik.
3. Kematian yang belum pasti, kemungkinan sembuh belum pasti,
biasanya terjadi pada pasien dengan operasi radikal karena adanya
kanker.
4. Kemungkinan mati dan sembuh yang tidak tentu. Terjadi pada
pasien dengan sakit kronik dan telah berjalan lama.

Tanda-Tanda Klinis Saat Meninggal


1. Pupil mata melebar.
2. Tidak mampu untuk bergerak.
3. Kehilangan reflek.
4. Nadi cepat dan kecil.
5. Pernafasan Cheyene-Stoke dan ngorok.
6. Tekanan darah sangat rendah
7. Mata dapat tertutup atau agak terbuka.

Tanda-Tanda Meninggal Secara Klinis


Secara tradisional, tanda-tanda klinis kematian dapat dilihat
melalui perubahan-perubahan nadi, respirasi dan tekanan darah.
Pada tahun 1968, World Medical Assembly, menetapkan beberapa
petunjuk tentang indikasi kematian, yaitu :
1. Tidak ada respon terhadap rangsangan dari luar secara total.
2. Tidak adanya gerak dari otot, khususnya pernafasan.
3. Tidak ada reflek.
4. Gambaran mendatar pada EKG.

10
Macam Tingkat Kesadaran/Pengertian Pasien dan Keluarganya
Terhadap Kematian
Strauseetall (1970), membagi kesadaran ini dalam 3 tipe :
1. Closed Awareness/Tidak Mengerti
Pada situasi seperti ini, dokter biasanya memilih untuk tidak
memberitahukan tentang diagnosa dan prognosa kepada pasien
dan keluarganya. Tetapi bagi perawat hal ini sangat menyulitkan
karena kontak perawat lebih dekat dan sering kepada pasien dan
keluarganya. Perawat sering kali dihadapkan dengan pertanyaan-
pertanyaan langsung, kapan sembuh, kapan pulang, dan
sebagainya.
2. Mutual Pretense/Kesadaran/Pengertian yang Ditutupi
Pada fase ini memberikan kesempatan kepada pasien untuk
menentukan segala sesuatu yang bersifat pribadi walaupun
merupakan beban yang berat baginya.
3. Open Awareness/Sadar akan Keadaan dan Terbuka
Pada situasi ini, pasien dan orang-orang disekitarnya
mengetahui akan adanya ajal yang menjelang dan menerima untuk
mendiskusikannya, walaupun dirasakan getir. Keadaan ini
memberikan kesempatan kepada pasien untuk berpartisipasi
dalam merencanakan saat-saat akhirnya, tetapi tidak semua orang
dapat melaksanakan hal tersebut.

Bantuan yang Dapat Diberikan


1. Bantuan Emosional
a. Pada fase Denial/Menolak
Dokter/perawat perlu waspada terhadap isyarat pasien
dengan denial dengan cara mananyakan tentang kondisinya
atau prognosisnya dan pasien dapat mengekspresikan
perasaan-perasaannya.
b. Pada Fase Marah
Biasanya pasien akan merasa berdosa telah
mengekspresikan perasaannya yang marah. Dokter/Perawat
11
perlu membantunya agar mengerti bahwa masih merupakan
hal yang normal dalam merespon perasaan kehilangan
menjelang kamatian. Akan lebih baik bila kemarahan
ditujukan kepada perawat sebagai orang yang dapat dipercaya,
memberikan rasa aman dan akan menerima kemarahan
tersebut, serta meneruskan asuhan sehingga membantu
pasien dalam menumbuhkan rasa aman.
c. Pada Fase Menawar
Pada fase ini dokter/perawat perlu mendengarkan segala
keluhannya dan mendorong pasien untuk dapat berbicara
karena akan mengurangi rasa bersalah dan takut yang tidak
masuk akal.
d. Pada Fase Depresi
Pada fase ini dokter/perawat selalu hadir di dekatnya dan
mendengarkan apa yang dikeluhkan oleh pasien. Akan lebih
baik jika berkomunikasi secara non verbal yaitu duduk dengan
tenang disampingnya dan mengamati reaksi-reaksi non verbal
dari pasien sehingga menumbuhkan rasa aman bagi pasien.
e. Pada Fase Penerimaan
Fase ini ditandai pasien dengan perasaan tenang, dan
damai. Kepada keluarga dan teman-temannya dibutuhkan
pengertian bahwa pasien telah menerima keadaannya dan
perlu dilibatkan seoptimal mungkin dalam program
pengobatan dan mampu untuk menolong dirinya sendiri
sebatas kemampuannya.
2. Bantuan Memenuhi Kebutuhan Fisiologis
a. Kebersihan Diri
Kebersihan dilibatkan untuk mampu melakukan
kebersihan diri sebatas kemampuannya dalam hal kebersihan
kulit, rambut, mulut, badan, dan sebagainya.
b. Mengontrol Rasa Sakit
Beberapa obat untuk mengurangi rasa sakit digunakan
pada pasien dengan sakit terminal, seperti morphin, heroin, dan
12
lainya. Pemberian obat ini diberikan sesuai dengan tingkat
toleransi nyeri yang dirasakan pasien. Obat-obatan lebih baik
diberikan Intra Vena dibandingkan melalui
IntraMuskular/Subcutan, karena kondisi sistem sirkulasi
sudah menurun.
c. Membebaskan Jalan Nafas
Untuk pasien dengan kesadaran penuh, posisi Fowler
akan lebih baik dan pengeluaran sekresi lendir perlu dilakukan
untuk membebaskan jalan nafas, sedangkan bagi pasien yang
tidak sadar, posisi yang baik adalah dengan dipasang drainase
dari mulut dan pemberian oksigen.
d. Bergerak
Apabila kondisinya memungkinkan, pasien dapat dibantu
untuk bergerak, seperti turun dari tempat tidur, ganti posisi
tidur (miring kiri, miring kanan) untuk mencegah decubitus dan
dilakukan secara periodik, jika diperlukan dapat digunakan alat
untuk menyokong tubuh pasien, karena tonus otot sudah
menurun.
e. Nutrisi
Pasien seringkali anorexia, nausea karena adanya
penurunan peristaltik. Dapat diberikan anti ametik untuk
mengurangi nausea dan merangsang nafsu makan serta
pemberian makanan tinggi kalori dan protein serta vitamin.
Karena terjadi tonus otot yang berkurang, terjadi dysphagia,
dokter perlu menguji reflek menelan klien sebelum diberikan
makanan, kalau perlu diberikan makanan cair atau Intra
Vena/Infus.
f. Eliminasi
Karena adanya penurunan atau kehilangan tonus otot
dapat terjadi konstipasi, inkontinensiaurin dan feses. Obat
laxant perlu diberikan untuk mencegah konstipasi. Pasien
dengan inkontinensia dapat diberikan urinal, pispot secara
teratur atau dipasang duk yang diganti setiap saat atau
13
dipasang kateter. Harus dijaga kebersihan pada daerah sekitar
perineum, apabila terjadi lecet, harus diberikan salep
g. Perubahan Sensori
Pasien dengan dying, penglihatan menjadi kabur, pasien
biasanya menolak/menghadapkan kepala kearah
lampu/tempat terang. Pasien masih dapat mendengar, tetapi
tidak dapat/mampu merespon, perawat dan keluarga harus
bicara dengan jelas dan tidak berbisik-bisik.
3. Bantuan Memenuhi Kebutuhan Sosial
Pasien dengan dying akan ditempatkan di ruang isolasi, dan
untuk memenuhi kebutuhan kontak sosialnya, perawat dapat
melakukan :
a. Menanyakan siapa-siapa saja yang ingin didatangkan untuk
bertemu dengan pasien dan didiskusikan dengan keluarganya,
misalnya: teman-teman dekat, atau anggota keluarga lain
b. Menggali perasaan-perasaan pasien sehubungan dengan
sakitnya dan perlu diisolasi
c. Menjaga penampilan pasien pada saat-saat menerima
kunjungan kunjungan teman-teman terdekatnya, yaitu dengan
memberikan pasien untuk membersihkan diri dan merapikan
diri
d. Meminta saudara/teman-temannya untuk sering mengunjungi
dan mengajak orang lain dan membawa buku-buku bacaan bagi
pasien apabila pasien mampu membacanya.
4. Bantuan Memenuhi Kebutuhan Spiritual
a. Menanyakan kepada pasien tentang harapan-harapan
hidupnya dan rencana-rencana pasien selanjutnya menjelang
kematian
b. Menanyakan kepada pasien untuk bila ingin mendatangkan
pemuka agama dalam hal untuk memenuhi kebutuhan
spiritual sesuai dengan keyakinannya.
c. Membantu dan mendorong pasien untuk melaksanakan
kebutuhan spiritual sebatas kemampuannya.
14
Keyakinan spiritual mencakup praktek ibadah sesuai dengan
keyakinannya/ritual harus diberi dukungan. Petugas kesehatan
dan keluarga harus mampu memberikan ketenangan melalui
keyakinan-keyakinan spiritualnya. Petugas kesehatan dan
keluarga harus sensitif terhadap kebutuhan ritual pasien yang
akan menghadapi kematian, sehingga kebutuhan spiritual klien
menjelang kematian dapat terpenuhi.

B. Tujuan
Panduan Perawatan Pasien Tahap Terminal ini bertujuan agar
asesmen dan asesmen ulang bersifat individual sesuai dengan
kebutuhan pasien dalam tahap terminal dan keluarganya

C. Definisi
1. Keadaan terminal adalah suatu keadaan sakit dimana menurut
akal sehat tidak ada harapan lagi bagi si sakit untuk sembuh.
Keadaan sakit itu dapat disebabkan oleh suatu penyakit atau
kecelakaan.
2. Kematian adalah suatu pengalaman tersendiri, dimana setiap
individu akan mengalami/menghadapinya seorang diri, sesuatu
yang tidak dapat dihindari dan merupakan suatu kehilangan.

15
BAB II
RUANG LINGKUP

Ruang lingkup pelayanan pasien pada tahap terminal di Rumah


Sakit Jiwa Grhasia, meliputi :
A. Tempat Pelayanan
1. Instalasi Rawat Inap
2. Instalasi Gawat Darurat
3. Instalasi Rawat Instensif
4. Instalasi Penanganan Korban Napza
5. Instalasi Pemulasaraan Jenazah

B. Waktu Pelayanan
Pelayanan pasien pada tahap terminal dilaksanakan mulai dari
ditetapkannya pasien dalam kondisi tahap terminal oleh DPJP hingga
waktu kematian pasien tersebut ditetapkan.

16
BAB III
TATA LAKSANA

A. Asesmen dan Asesmen Ulang


Asesmen dan asesmen ulang pasien terminal bersifat individual
dan menyesuaikan kebutuhan pasien dalam tahap terminal dan
keluarganya, yang harus menilai kondisi pasien seperti :
1. Gejala mual dan kesulitan pernapasan
2. Faktor yang mempengaruhi gejala fisik
3. Managemen gejala sekarang dan respon pasien
4. Orientasi spiritual pasien dan keluargaserta keterlibatan dalam
kelompok tertentu
5. Keprihatinan spiritual pasien dan keluarga seperti putus asa,
penderitaan, dan rasa bersalah
6. Status psikososial pasien dan keluarga (kekerabatan, kelayakan
perumahannya, pemeliharaan lingkungan, cara mengatasi serta
reaksi pasien dan keluarganya menghadapi penyakit.
7. Kebutuhan bantuan atau penundaan layanan untuk pasien dan
keluarga
8. Kebutuhan alternatif layanan atau tingkat layanan
9. Faktor resiko bagi yang ditinggalkan dalam hal cara mengatasi dan
potensi reaksi patologis atas kesedihan

B. Identifikasi Tanda-Tanda Klinis Menjelang Kematian


1. Kehilangan Tonus Otot, ditandai dengan :
a. Relaksasi otot muka sehingga dagu menjadi turun.
b. Kesulitan dalam berbicara, proses menelan dan hilangnya reflek
menelan.
c. Penurunan kegiatan traktus gastrointestinal, ditandai dengan
nausea, muntah, perut kembung, obstipasi, dan lainnya.
d. Penurunan kontrol spingter urinari dan rektal.
e. Gerakan tubuh yang terbatas.

17
2. Kelambatan dalam Sirkulasi, ditandai dengan :
a. Kemunduran dalam sensasi.
b. Sianosis pada daerah ekstermitas.
c. Kulit dingin, pertama kali pada daerah kaki, kemudian tangan,
telinga dan hidung.
3. Perubahan-perubahan dalam tanda-tanda vital
a. Nadi lambat dan lemah.
b. Tekanan darah turun.
c. Pernafasan cepat, cepat dangkal dan tidak teratur.
4. Gangguan Sensori
a. Penglihatan kabur.
b. Gangguan penciuman dan perabaan.
Variasi-variasi tingkat kesadaran dapat dilihat sebelum kematian,
kadang-kadang pasien tetap sadar sampai meninggal. Pendengaran
merupakan sensori terakhir yang berfungsi sebelum meninggal.

C. Identifikasi Tanda-Tanda Meninggal Secara Klinis


Secara tradisional, tanda-tanda klinis kematian dapat dilihat
melalui perubahan-perubahan nadi, respirasi dan tekanan darah.
Pada tahun 1968, World Medical Assembly, menetapkan beberapa
petunjuk tentang indikasi kematian, yaitu :
1. Tidak ada respon terhadap rangsangan dari luar secara total.
2. Tidak adanya gerak dari otot, khususnya pernafasan.
3. Tidak ada reflek.
4. Gambaran mendatar pada EKG.

D. Intervensi
1. Diagnosa I
Ansietas/ketakutan (individu, keluarga) yang berhubungan
dengan situasi yang tak dikenal. Sifat kondisi yang tak dapat
diperkirakan takut akan kematian dan efek negatif pada gaya
hidup. Kriteria hasil yang diperoleh adalah klien atau keluarga
akan :
18
 Mengungkapkan ketakutannya yang berhubungan dengan
gangguan
 Menceritakan tentang efek gangguan pada fungsi normal,
tanggung jawab, peran dan gaya hidup
Maka tindakan yang harus dilaksanakan adalah :
a. Bantu klien untuk mengurangi ansietasnya :
- Berikan kepastian dan kenyamanan
- Tunjukkan perasaan tentang pemahman dan empati, jangan
menghindari pertanyaan
- Dorong klien untuk mengungkapkan setiap ketakutan
permasalahan yang berhubungan dengan pengobatannya
- Identifikasi dan dukung mekanisme koping efektif. Klien yang
cemas mempunyai penyempitan lapang persepsi dengan
penurunan kemampuan untuk belajar. Ansietas cenderung
untuk memperburuk masalah. Menjebak klien pada lingkaran
peningkatan ansietas tegang, emosional dan nyeri fisik
b. Kaji tingkat ansietas klien : rencanakan penyuluhan bila
tingkatnya rendah atau sedang. Beberapa rasa takut didasari
oleh informasi yang tidak akurat dan dapat dihilangkan dengan
memberikan informasi akurat. Klien dengan ansietas berat atau
parah tidak menyerap pelajaran
c. Dorong keluarga dan teman untuk mengungkapkan ketakutan-
ketakutan mereka. Pengungkapan memungkinkan untuk saling
berbagi dan memberikan kesempatan untuk memperbaiki
konsep yang tidak benar
d. Berikan klien dan keluarga kesempatan dan penguatan koping
positif. Menghargai klien untuk koping efektif dapat
menguatkan renson koping positif yang akan datang
2. Diagnosa II
Berduka yang berhubungan penyakit terminal dan kematian
yang akan dihadapi penurunan fungsi, perubahan konsep diri dan
menarik diri dari orang lain. Kriteria hasil yang diperoleh adalah
klien akan :
19
 Mengungkapkan kehilangan dan perubahan
 Mengungkapkan perasaan yang berkaitan kehilangan dan
perubahan
 Menyatakan kematian akan terjadi
Dan anggota keluarga akan melakukan hal berikut :
 Mempertahankan hubungan erat yang efektif
 Menghabiskan waktu bersama klien
 Mempertahankan kasih sayang, komunikasi terbuka dengan
klien
 Berpartisipasi dalam perawatan
Maka tindakan yang harus dilaksanakan adalah :
a. Berikan kesempatan pada klien dan keluarga untuk
mengungkapkan perasaannya, diskusikan kemungkinan rasa
kehilangan secara terbuka, dan gali makna pribadi dari
kehilangan. Jelaskan bahwa berduka adalah reaksi yang umum
dan berikan pengetahuan bahwa tidak ada lagi pengobatan
yang dibutuhkan dan bahwa kematian sedang menanti dapat
menyebabkan menimbulkan perasaan ketidakberdayaan,
marah dan kesedihan yang dalam dan respon berduka yang
lainnya. Diskusi terbuka dan jujur dapat membantu klien dan
anggota keluarga menerima dan mengatasi situasi dan respon
mereka terhadap situasi tersebut.
b. Berikan dorongan penggunaan strategi koping positif yang
terbukti yang memberikan keberhasilan pada masa lalu.
Strategi koping positif membantu penerimaan dan pemecahan
masalah.
c. Berikan dorongan pada klien untuk mengekpresikan atribut diri
yang positif. Memfokuskan pada atribut yang positif
meningkatkan penerimaan diri dan penerimaan kematian yang
terjadi.
d. Bantu klien mengatakan dan menerima kematian yang akan
terjadi, jawab semua pertanyaan dengan jujur. Proses berduka,

20
proses berkabung adaptif tidak dapat dimulai sampai kematian
yang akan terjadi diterima.
e. Tingkatkan harapan dengan perawatan penuh perhatian,
menghilangkan ketidaknyamanan dan dukungan. Penelitian
menunjukkan bahwa klien pada saat terminal paling
menghargai tindakan keperawatan berikut :
- Membantu berdandan
- Mendukung fungsi kemandirian
- Memberikan obat nyeri saat diperlukandan
- Meningkatkan kenyamanan fisik (skoruka dan bonet, 1982)
3. Diagnosa III
Perubahan proses keluarga yang berhubungan dengan gangguan
kehidupan, takut akan hasil (kematian) dan lingkungannya penuh
stres (tempat perawatan). Kriteria hasil yang diperoleh adalah
anggota kelurga atau kerabat terdekat klien akan :
 Mengungkapkan akan kekhawatirannya mengenai prognosis
klien
 Mengungkapkan kekhawatirannya mengenai lingkungan
tempat perawatan
 Melaporkan fungsi keluarga yang adekuat dan kontinyu selama
perawatan klien
Maka tindakan yang harus dilaksanakan adalah :
a. Luangkan waktu bersama keluarga atau orang terdekat klien
dan tunjukkan pengertian yang empati. Kontak yang sering dan
mengkomunikasikan sikap perhatian dan peduli dapat
membantu mengurangi kecemasan dan meningkatkan
pembelajaran
b. Ijinkan keluarga klien atau orang terdekat untuk
mengekspresikan perasaan, ketakutan dan kekhawatiran.
Saling berbagi memungkinkan perawat untuk mengidentifikasi
ketakutan dan kekhawatiran kemudian merencanakan
intervensi untuk mengatasinya

21
c. Jelaskan lingkungan dan peralatan bantuan hidup yang
digunakan. Informasi ini dapat membantu mengurangi ansietas
yang berkaitan dengan ketidaknyamanan.
d. Jelaskan tindakan keperawatan dan kemajuan post-operasi
yang dipikirkan dan berikan informasi spesifik tentang
kemajuan klien
e. Anjurkan untuk sering berkunjung dan berpartisipasi dalam
tindakan perawatan. Kunjungan dan partisipasi yang sering
dapat meningkatkan interaksi keluarga berkelanjutan
f. Konsul dengan atau berikan rujukan ke sumber komunitas dan
sumber lainnya Keluarga dengan masalah-masalah seperti
kebutuhan finansial, koping yang tidak berhasil atau konflik
yang tidak selesai memerlukan sumber-sumber tambahan
untuk membantu mempertahankan fungsi keluarga
4. Diagnosa IV
Resiko terhadap distres spiritual yang berhubungan dengan
perpisahan dari sistem pendukung keagamaan, kurang privasi
atau ketidakmampuan diri dalam menghadapi ancaman kematian.
Kriteria hasil yang diperoleh adalah klien akan mempertahankan
praktek spiritualnya yang akan mempengaruhi penerimaan
terhadap ancaman kematian.
Maka tindakan yang harus dilaksanakan adalah :
a. Gali apakah klien menginginkan untuk melaksanakan praktek
atau ritual keagamaan atau spiritual yang diinginkan, bila klien
memang menghendaki maka beri kesemptan pada klien untuk
melakukannya. Bagi klien yang mendapatkan nilai tinggi pada
doa atau praktek spiritual lainnya, praktek ini dapat
memberikan arti dan tujuan dan dapat menjadi sumber
kenyamanan dan kekuatan.
b. Ekspesikan pengertrian dan penerimaan anda tentang
pentingnya keyakinan dan praktik religius atau spiritual klien.
Menunjukkan sikap tak menilai dapat membantu mengurangi

22
kesulitan klien dalam mengekspresikan keyakinan dan
prakteknya.
c. Berikan privasi dan ketenangan untuk melaksanakan ritual
spiritual sesuai kebutuhan klien. Privasi dan ketenangan
memberikan lingkungan yang memudahkan refresi dan
perenungan.
d. Bila klien menginginkan untuk berdoa bersama klien lainnya
atau membaca buku keagamaan, maka meskipun tidak
menganut agama atau keyakinan yang sama dengan klien tapi
perawat dapat membantu klien untuk memenuhi kebutuhan
spritualnya tersebut.
e. Tawarkan untuk menghubungkan pemimpin religius atau
rohaniawan rumah sakit yang sesuai dengan
agama/kepercayaan klien untuk mengatur kunjungan pada
klien tersebut.

23
BAB IV
DOKUMENTASI

Penetapan pasien dalam kondisi tahap terminal oleh DPJP


didokumentasikan atau dicatat dalam lembar Pengkajian Pasien
Terminal dan CPT di berkas rekam medis pasien.

Ditetapkan di Yogyakarta
pada tanggal 02 Februari 2019

DIREKTUR

dr. AKHMAD AKHADI S., MPH


NIP. 19680714 200012 1 002

24

Anda mungkin juga menyukai