Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jalan raya merupakan salah satu prasarana transportasi yang sangat penting
dalam menunjang perkembanagn satu wilayah. Jalan raya adalah penghubung
antar tempat yang perlu diperhatikan keberadaannya. Jalan akan
menghubungkan lingkup daerah yang kecil hingga lingkup yang luas, misalnya
menghubungkan antar kota, antar kabupaten, antar desa dan lain sebagainya.

Keberadaan jalan raya sangat dibutuhkan untuk menunjang laju


pertumbuhan ekonomi seiring dengan meningkatnya kebutuhan sarana
transportasi yang dapat menjangkau daerah-daerah terpencil.

Perkembangan kapasitas maupun kwantitas kendaraan yang


menghubungkan kota-kota antar provinsi dan terbatasnya sumber dana untuk
pembangunan jalan rayaserta belum optimalnya pengoperaisan prasarana lalu
lintas yang ada, menjadi salah satu masalah yang dihadapi Indonesia dan
negara-negara berkembang lainnya.

Untuk mendapatkan jalan yang baik dan nyaman, sesuai dengan klas jalan
yang telah ditetapkan oleh pemerintah yaitu Derektorat Jendral Bina Marga
maka perlu ditinjau aspek geometriknya sebagai dasar perencanaan untuk
menentukan kecepatan rencana yang layak untuk jalan tersebut. Kecepatan
rencana (Vr) adalan kecepatan yang dipilih sebagai dasar perencanaan
geometric yang memungkinkan kendaraan-kendaraan bergerak dengan aman
dan nyamandengan kondisi cuaca yang cerah, lalu lintas yang lenggang dan
pengaruh samping jalan yang tidak berarti (Sukiman S, 1994).

Berdasarkan uraian tersebut, maka penyusun tertarik untuk merencanakan


geometric fungsi jalan Kolektor kelas I :

1
“perencanaan desain jalan gajayana – jalan bendungan sutami - jalan galunggung
jalan raya langsep, sta 0+000 sampai 1+918.445,SKecamatan Klojen, Kota
Malang, Provinsi Jawa Timur”
Dalam perencanaan jalan yang dibuat ini, Proses Perencanaan Teknik Jalan
Raya akan dipaparkan. Perencanaan ini dibuat sesuai dengan standar
perencanaan “Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota” yang
dikeluarkan oleh direktorat Jendral Bina Marga dengan terbitan resmi
No.038T/BM/1997.

1.2 Rumusan Masalah


Dari uraian di atas, dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah yaitu :
1.2.1 Bagaimana proses perencanaan lebar jalan ?
1.2.2 Bagaimana proses perencanaan alinyemen horizontal ?
1.2.3 Bagaimana proses perencanaan alinyemen vertical ?
1.2.4 Bagaimana proses perencanaan intersection ?
1.2.5 Bagaimana proses perhitungan cut and fill ?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tttujuan dari penelitian adalah sebagai berikut :
1.3.1 Memahami bagaimana proses perencanaan lebar jalan
1.3.2 Memahami bagaimana proses perencanaan alinyemen horizontal
1.3.3 Memahami bagaimana proses perencanaan alinyemen vertical
1.3.4 Memahami bagaimana proses perencanaan intersection
1.3.5 Memahami bagaimana proses perhitungan cut and fill

1.4 Manfaat
Hasil perencanaan teknik jalan raya ini diharapkan dapat dipakai sebagai
informasi ilmiah kepada instansi terkait yang berkompeten terhadap
permasalahan ini, dalam perancangan jalan raya untuk menunjang
perkembangan laju ekonomi untuk Indosesia, khususnya pembangunan
prasarana transportasi. Selain itu hasil dari perencanaan ini diharapkan
dapat menjadi rujukan atau pembanding bagi perencanaan lain.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jalan Raya


2.1.1 Pengertian Jalan Raya
Jalan Raya adalah merupakan suatu lintasan yang bertujuan untuk melewatkan
lalu-lintas orang/ barang dari suatu tempat ke tempat. Lintasan menyangkut
jalur tanah yang diperkuat (diperkeras) maupun jalur tanah tanpa perkerasan.
Lalu lintas menyangkut kegiatan lalu lalang atau gerak semua benda dan
makhluk yang melewati jalur tersebut baik kendaraan bermotor, kendaraan
tidak bermotor seperti (Sepeda, Gerobak,dll) manusia maupun hewan.

2.1.2 Klasifikasi Jalan Raya


2.1.2.1 Dari sejarah, jalan dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
2.1.2.1.1 Sesuai pelayanan yang didasarkan atas :
 Prasarana social dan ekonomis (jalan ekonomis)
 Prasarana politik dan militer (jalan strategi)
2.1.2.1.2 Sesuai dengan pengawasan seperti :
 Jalan desa, yang meliputi semua jalan di desa.
 Jalan kabupaten atau kotamadya, yang meliputi semua jalan di
kabupaten dan kotamadya.
 Jalan propinsi, selain melayani lalu lintas dalam propinsi, juga
berfungsi mengubungkan dengan propinsi lainnya.
 Jlaan negara, berfungsi menghubungkan ibukota-ibukota
propinsi.

Semua jalan tersebut dibiayai oleh pemerintah setempat (DATI


1/DATI II) kecuali jalan negara yang dibiayai oleh Departemen
Pekerjaan Umum (Direktorat Jenderal Bina Marga).

3
2.1.2.2 Klasifikasi jalan berdasarkan Undang-Undang :
Menurut UURI Nomor 38 Tahun 2004 tentang jalan (Pasal 6 ayat 2),
jalan dikelompokkan berdasarkan 4 hal, yaitu :
2.1.2.2.1 Sistem Jaringan Jalan
Sistem jaringan jalan ini dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu
:
 Sistem Jaringan Jalan Primer
Sistem jaringan jalan primer disusun mengikuti rencana tata
ruang dan memperhatikan keterhubungan antar kawasan
perkotaan yang merupakan pusat-pusat kegiatan sperti
menghubungkan secara menerus pusat kegiatan nasional, pusat
kegiatan wilayah, pusat kegiatan local sampai ke pusat kegiatan
lingkungan, dan menghubungkan antar pusat kegiatan nasional.
 Sisten Jaringan Jalan Sekunder
Sistem jaringan jalan sekunder disusun mengikuti rencana tata
ruang wilayah kota/kabupaten yang menghubungkan secara
menerus kawasan-kawasan yang mempunyai fungsi primer,
fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder
ketiga, dan seterusnyasampai kepersil.

2.1.2.2.2 Fungsi Jalan


Berdasarkan sifat dan pergerakan lalu lintas dan angkutan jalan,
fungsi jalan dibedakan atas :
 Merupakan jalan yang melayani angkutan utama dengan
ciri perjalanan jauh kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah
jalan masuk dibatasi secara efisien dalam komposisi lalu
lintasnya tidak tedapat kendaraan lambat dan kendaraan
tak bermotor. Jalan raya dalam kelas ini merupakan jalan
raya yang berjalur banyak dengan konstruksi perkerasan
dari jenis yang terbaik.
 Jalan Kolektor ( Sekunder )

4
Merupakan jalan yang melayani angkutan
pengumpul/pembagian dengan cir-ciri perjalanan jarak
sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan
masuk dibatasi
2.1.2.2.3 Berdasarkan komposisi dan sifat lalu lintasnya jalan sekunder
dibagi dalan tiga kelas,yaitu :
 Kelas II A
Merupakan jalan raya sekunder dua jalur atau lebih
denga konstruksi permukaan jalan dari lapisan aspal
beton atau yang setara.
 Kelas II B
Merupakan jalan raya sekunder dua jalur dengan
konstruksi permukaan jalan dari penetrasi berganda atau
yang setara dimana dalam komposisi lalu lintasnya
terdapat kendaraan lambat dan kendaraan tak bermotor.
 Jalan Lokal ( Penghubung )
Merupakan jalan yang melayani angkutan setempat
dengan ciri – ciri perjalanan yang dekat, kecepatan rata-
rata rendah dan jumlah jalan yang masuk tidak dibatasi.
Keterangan :
D : Datar
B : Bukit
G : Gunung
2.1.2.2.4 Status Jalan
Jalan umum dikelompokkan menjadi 5 golongan, yaitu :
 Jalan Nasional
Jalan yang pengelolaan dan wewenangnya berada di
tingkat nasional.
 Jalan Provinsi
Jalan yang pengelolaan dan wewenangnya berada di
tingkat propinsi.

5
 Jalan Kabupaten
Jalan yang pengelolaan dan wewenganya berada di
tingkat kabupaten.
 Jalan kota
Jalan yang pengelolaan dan wewenangnya berada di
tingkat kota.
 Jalan Desa
Jalan yang pengelolaan dan wewenangnya berada di
tingkat desa.
2.1.2.2.5 Kelas Jalan.
Penentuan kelas jalan berdasarkan penggunaan jalan dan
kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan, serta spesifikasi
penyediaan prasarana jalan. Penentuannya diatur dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang lalu lintas
dan angkutan jalan. Pengelompokan kelas jalan berdasarkan
spesifikasi penyediaan prasarana jalan, terdiri atas :
 Jalan Bebas Hambatan
Jalan bebas hambatan merupakan jalan yang memiliki
prasarana yang dapat meminimalisir hambatan
perjalanan. Sehingga jalan bebas hambatan memiliki
pengendalian akses masuk secara penuh, tidak boleh ada
persimpangan sebidang, dilengkapi pagar ruang milik
jalan, dilengkapi dengan median, setidaknya mempunyai
dua lajur setiap arah dan lebar setiap lajur paling sedikit
3,5 meter.
 Jalan Raya
Jalan Raya merupakan jalan umum untuk lalu lintas
secara terus menerus dengan pengendalian akses masuk
secara terbatas. Jalan ini dilengkapi dengan median,
paling tidak ada dua lajur setiap arah dengan lebar
minimum 3,5 meter.

6
 Jalan Sedang
Jalan menengah adalah jalan umum dengan tujuan
perjalanan jarak sedang dan pengendalian akses masuk
yang tidak dibatasi. Jalan ini memiliki paling sedikit dua
lajur untuk dua arah dengan lebar lajur paling sedikit
adalah 7 meter.
 Jalan Kecil
Jalan kecil merupakan jalan umum yang melayani lalu
lintas lokal setempat. Jalan ini setidaknya memiliki dua
lajur untuk dua arah dengan lebar lajur paling sedikit 5,5
meter.

Klasifikasi jalan didasarkan pada tekanan latar belakang


yang menyatakan berat total kendaraan yakni berat
kendaraan termasuk muatannya.

Klasifikasi Jalan Berat Tekanan Gandar

I 7 ton
II 5 ton
III 3.5 ton
III A 2.75 ton
IV 2 ton
V 2 ton

2.1.2.2.6 Berdasarkan Undang-Undang Lalu Lintas Baru


Sesuai dengan Pengaturan Geometrik Jalan Raya No.
13/1970 dari Direktorat Eksplorasi, Survey dan Perencanaan
Direktorat Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum,
maka jalan dibagi dalam kelas-kelas yang berdasarkan :

7
2.1.2.2.6.1 Fungsi jalan, mencakup tiga golongan penting,yakni :
Jalan utama, yaitu jalan raya yang melayani lalu lintas
berfrekwensi tinggi antara kota-kota penting sehingga harus
direncanakan untuk dapat melayani lalu lintas yang cepat dan
berat.
Jalan sekunder, yaitu jalan raya yang melayani lalu lintas
berfekwensi cukup tinggi antara kota-kota penting kecil serta
sekitarnya.

Jalan penghubung, yakni jalan untuk keperluan aktifiktas


daerah yang juga dipakai sebagai penghubung antara jalan-
jalan dari golongan yang sama atau berlebihan.
2.1.2.2.6.2 Penyediaan Prasarana Jalan
Sumber: PP 34/2006 tentang Jalan

Spesifikasi Jalan
KELAS JALAN
Lebar
(berdasarkan Diperuntukkan Jumlah
Penyediaan Pengendalian Persimpangan Lajur
bagi Lajur Median Pagar
Akses Sebidang atau Jalur
Prasarana Jalan) lalu-lintas Minimum
Minimum

JALAN BEBAS Terkontrol 2 lajur Jalur Min Pagar


Tidak Ada Median
HAMBATAN Umum, Penuh per arah 7.00 m Rumija
menerus,
jarak jauh 2 lajur 3.5 m per
JALAN RAYA Terbatas Ada Median -
per arah lahur

2 lajur
Umum, jarak Jalur Min
JALAN SEDANG - Ada untuk - -
sedang 7.00 m
2 arah
2 lajur
Umum, Jalur Min
JALAN KECIL - Ada untuk - -
setempat 5.50 m
2 arah

8
2.1.2.2.6.3 Klasifikasi penggunaan jalan

2.1.3 Persyaratan teknis jalan (PP34/2006)

9
2.1.4 Tipikal Ruang Jalan
Sumber : Penjelasan PP 34/2006

10
2.1.5 Ruang Jalan
Sumber : UU 38/2004 & PP 34/2006, tentang Jalan

2.1.6 Tipe Jalan


2.1.6.1 Jalan Tidak Terbagi (TB)
Yaitu ruan jalan yang pembatas jalurnya berupa marka jalan
(terputus-putus atau menerus/solid)
2.1.6.2 Jalan Terbagi
Yaitu ruas jalan yang pembatas jalurnya berupa bangunan, yang
disebut median secara teknis berupa bangunan yang dilengkapi dengan taman
atau sekedar pasangan kerb beton.
a) Jalan 2 jalur, 2 lajur, 2 arah
b) Jalan 1 jalur, 2 lajur, 1 arah
c) Jalan 2 jalur-4 lajur terbagi

11
2.1.7 Proses Perencanaan Geometrik Jalan

12
2.2 Perencanaan Geometrik Jalan Raya
2.2.1 Alinyemen Horizontal
Alinyemen horizontal/trase jalan, terutama di titik beratkan pada
perencanaan sumbu jalan. Pada gambar tersebut akan terlihatkan apakah
jalan tersebut jalan lurus, garis menikung ke kiri, atau menikung ke
kanan. Sumbu jalan terdiri dari rangkaian garis lurus, lengkung
berbentuk lingkaran dan berbentuk lengkung peralihan. Perencanaan
geometrik jalan memfokuskan pilihan letak dan panjang dari bagian –
bagian jalan, sesuai dengan kondisi medan sehingga terpenuhi kebutuhan
akan pengoperasian lalu lintas dan keamanan (ditinjau dari jarak
pandang pengemudi kendaraan di tikungan).

a. Rumus umum lengkung horizontal

25
Dmax = 2.𝜋.𝑅 x 360°

𝑉𝑟 2
Rmin =
127 (𝑒𝑚𝑎𝑥+ 𝑓𝑚𝑎𝑥)

Dimana :
Rmin = Jari-jari minimum (m)
Dmax = Derajat maksimum
VR = Kecepatan kendaraan rencana (km/jam)
emax = Superelevasi maksimum (%)
Fmax = Koefisien gesekan melintang maksimum
Dimana nilai fmax dicari dengan menggunakan grafik berikut:

13
(f) KOEFISIEN GESEKAN MELINTANG

Grafik – 5.2 : Grafik nilai (f), untuk (e) maks 6%, 8% dan 10%
(menurut AASHTO)
b. Bentuk lengkung horizontal
b.1 Full Circle

Dapat dihitung dengan rumus berikut ini :


Rumus :

Tc = Rc . tg
2

Ec = Tc . tg 4

Lc = 360° . 2𝜋. 𝑅𝑐

14
b.2 Spiral – Circle – Spiral

Dapat dihitung dengan rumus di bawah ini :


Rumus :

90° .𝐿𝑠
𝜃s = 𝜋 .𝑅𝑐

𝜃𝑐 = ∆ − 2 . 𝜃𝑠
𝜃𝑐 .𝜋 .𝑅𝑐
Lc = 180°

L = Lc + 2 . Ls
𝐿𝑠2
P = 6 .𝑅𝑐 – Rc (1 – cos 𝜃𝑠)
𝐿𝑠2
K = Ls - 40.𝑅𝑐 2 – Rc . sin 𝜃𝑠

Ts = (Rc + P) . tg 2 + K

Es = (Rc + P) . sec 2 – Rc

15
b.3 Spiral – Spiral

Dapat dihitung dengan rumus di bawah ini :


Rumus:

𝜃s = 2
𝜃𝑠 .𝜋.𝑅𝑐
Ls =
90°

Ts = (Rc + P) . tg 2 + K

Es = (Rc + P) . sec 2 – Rc

L = 2 . Ls
𝐿𝑠2
P = 6 .𝑅𝑐 – Rc (1 – cos 𝜃𝑠)
𝐿𝑠2
K = Ls - 40.𝑅𝑐 2 – Rc . sin 𝜃𝑠

2.2.2. Alinyemen Vertikal


Pada gambar akan terlihat apakah jalan tersebut tanpa kelandaian ,
mendaki atau menurun, pada perencanaan alinyemen vertical ini dipertimbangkan
bagaimana meletakkan sumbu jalan sesuai kondisi medan dengan memperhatikan
sifat operasi kendaraan, keamanan jarak pandangdan fungsi jalan. Pemilihan

16
alinyemen vertical, berkaitan dengan pekerjaan tanah yang mungkin timbul akibat
adanya galian dan timbunan yang harus dilakukan.
Kondisi yang baik antara alinyemen vertical dan horizontal memberikan
keamanan dan kenyamanan pada pemakai jalan. Perencanaan ini diharapkan dapat
meningkatkan umur pada konstruksi jalan tersebut. Selain itu dari segi ekonomis
diharapkan dapat menguntungkan.
a. Kelandaian maksimum
Pembatasan kelandaian (maksimum) dimaksudkan untuk
memungkinkan kendaraan bergerak terus tanpa harus kehilangan kecepatan
yang berarti.

b. Panjang lengkung vertical


Lengkung vertical harus disediakan pada setiap lokasi yang
mengalami perubahan kelandaian, dengan tujuan :
1. Mengurangi goncangan akibat perubahan kelandaian , dan
2. Menyediakan jarak pandang henti.

17
Lengkung vertical dalam standar ini ditetapkan berbentuk parabola
sederhana. Panjang lengkung vertical cembung, berdasarkan jarak pandang henti
dapat ditentukan dengan rumus berikut :
1. Jika jarak pandang lebih kecil dari panjang lengkung vertical (S < l)

𝐴.𝑆 2
L= 658

2. Jika jarak pandang lebih besar dari panjang lengkung vertical (S>L)

658
L = 2S - 𝐴

Panjang minimum lengkung vertical cembung berdasarkan jarak pandang


henti, untuk setiap kecepatan rencana (VR) dapat menggunakan Tabel 20.

Panjang lengkung vertical cekung berdasarkan jarak pandangan


henti dapat ditentukan dengan rumus berikut (AASHTO, 2001 ) :
1. Jika jarak pandang lebih kecil dari panjang lengkung vertical (S<L)

𝐴.𝑆 2
L= 120+3.5𝑆

18
2. Jika jarak pandang lebih besar dari panjang lengkung vertical (S>L)

120+3.5𝑆
L= 2S - 𝐴

dengan pengertian :
L, panjang lengkung cekung (m)
A, perbedaan aljabar landau (%)
S, jarak pandang henti (m)

Panjang minimum lengkung vertical cekung berdasarkan


jarak pandangan henti, untuk setiap kecepatan rencana (VR) dapat
menggunakan tabel 21.

Panjang lengkung vertical cekung berdasarkan jarak


pandangan lintasan di bawah dapat ditentukan dengan rumus berikut
(AASHTO, 2001)
1. Jika jarak pandang lebih kecil dari panjang lengkung vertical (S<L)

𝐴.𝑆 2
L= 800 (𝐶−1.5)

19
2. Jika jarak pandang lebih besar dari panjang lengkung vertical (S>L)

800 (𝐶−1.5)
L= 2S – ( )
𝐴

Dengan perngertian :
L = panjang lengkung vertical cekung (m)
A = perbedaan aljabar lantai (%)
S = jarak pandang (m)
C = kebebasan vertical (m)

20
2.2.3 Intersection

2.2.3.1 Pengertian Persimpangan


Persimpanga merupakan daerah pertemuan dua atau lebih ruas
jalan, bergabung, berpotongan, atau bersilang. Persimpangan
juga dapat disebut sebagai pertemuan antara dua jalan atau lebih,
baik sebidang maupun tidak sebidang atau titik jaringan jalan
dimana jalan-jalan bertemu dan lintasan jalan saling
berpotongan (Morlok, 1991).
2.2.3.2 Persimpangan dapat dibagi atas dua jenis, yaitu :
 Persimpanagn sebidang (At Grade Intersection)
Merupakan pertemuan dua atau lebih jalan raya dalam
satu bidang yang mempunyai elevasi yang sama. Desain
persimpangan ini berbentuk huruf T, huruf Y,
persimpangan empat kaki dan persimpangan banyak
kaki.
 Persimpangan tak sebidang (Grade Separate
Intersection)
Merupakan suatu persimpangan dimana jalan yang satu
dengan jalan yang lainnya tidak saling bertemu dalam
satu bidang dan mempunyai beda tinggi (elevasi) antara
keduanya.

Masalah – masalah yang umumnya timbul pada persimpangan adalah :


1. Volume dan kapasitas (secara langsung mempengaruhi hambatan.)
2. Desain geometrik dan kebebasan pandang.
3. Perilaku lalu lintas dan panjang antrian.
4. Kecepatan.
5. Pengaturan lampu lalu lintas.
6. Kecelakaan dan keselamatan.
7. Parkir.

21
2.2.3.3 Pengaturan Persimpangan
Persimpngan adalah factor utama dalam menentukan kapasitas
jaringan jalan terutama di perkotaan. Idealnya persimpangan
diatur secara berhirarki berdasarkan volume lalu lintas yang
melewatinya. Hirarki pengaturan adalah tanpa pengaturan,
prioritas, bundaran, lampu lalu lintas dan persimpangan tidak
sebidang untuk volume tertinggi atau persilangan antara jalan
utama dengan rel kereta api (Dirjen Perhubungan Darat, 1998).
Penjelasan hirarki pengendalian persimpangan yang dapat
berdasarkan volume lalu lintas adalah :
1. Apabila pada arus minor kendaraan/ hari kurang dari
9000kend/hari dan arus mayor kurang dari 45000 kend/hari
maka digunakan persimpangan prioritas.
2. Apabila pada arus minor kendaraan/hari lebih dari 9000
kend/hari dan kurang dari 12000 kend/hari sedangkan di arus
mayor kurang dari 40000 kend/hari maka digunakan
pengaturan lalu lintas dengan bundaran.
3. Apabila pada arus minor kendaraan/hari lebih dari 12000
kend/hari, maka digunakan pengaturan menggunakan
persimpangan tidak sebidang.
2.2.3.4 Bentuk Persimpanagn
2.2.3.4.1 Bentuk persimpangan sebidang yang disarankan
seperti diilustrasikan pada Gambar 4.1, yaitu terdiri
atas :
 Simpangan tiga, dan
 Simpangan empat.

Gambar Bentuk Persimpangan

22
2.2.3.4.2 Semua persimpangan sebidang dimana pertemuan lengan
dengan lengan harus saling tegak lurus, toleransi sudut bias
sampai ±200.
2.2.3.4.3 Untuk hal – hal dimana kondisi medan sangat sulit (karena
paktor topografi atau lahan terbatas) maka bentuk
persimpangan saling tegak lurus sulit diperoleh, maka
bentuk persimpangan bias tidak saling tegak lurus seperti :
 Simpang tiga tidak tegak
 Simpang empat tidak tegak

 Simpang tiga ganda


 Simpang lima
Lihat Gambar berikut ini :
Gambar Bentuk Persimpangan Tidak Saling Tegak

Sudut persimpangan terkecil harus lebih besar dari 650,


lihat gambar berikut ini :

Gambar Sudut Persimpangan

23
2.2.3.4.4 Simpang tiga ganda (senjang) dimana parameter
perencanaan harus memenuhi :
 Jarak lengan persimpangan harus lebih kecil dari 40
meter lihat gambar 4.4.
 Lintasan lalu lintas utama dilayani oleh jalur lurus.

24

Anda mungkin juga menyukai