Anda di halaman 1dari 17

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Negara Indonesia memilki jumlah penduduk yang sangat padat ditambah dengan
jumlah pengangguran yang sangat banyak, sulitnya mencari pekerjaan serta persaingan yang
sangat ketat merupakan suatu kombinasi yang tepat dalam menciptakan kondisi yang
memunculkan potensi kejahatan yang kemudian akan menjadi tindak kejahatan atau
kriminalitas. Dengan munculnya kriminalitas maka bertambahlah masalah yang harus
dihadapi. Kriminalitas adalah tindakan melawan hukum yang nampaknya di masyarakat kita
sekarang ini sudah menjadi suatu hal yang tidak ditabukan lagi dan biasa hal ini dapat kita
lihat dengan makin banyaknya berita-berita tentang kriminalitas di berbagai media, bahkan
sampai membuat media-media tersebut memberikan tempat tersendiri terhadap berita berita
tentang kriminalitas.(Maramis, 2015)

Bagaimana cara untuk menangkap dan membuat jera pelaku kejahatan? Sebelumnya
pasti dilakukan penyelidikan , untuk mencari bukti-bukti, apakah memang benar itu suatu
tindak kejahatan, siapa yang melakukannya, atau siapakah korbannya bila tidak diketahui,
bagaimana tindak kejahatan tersebut dilakukan, kapan, dimana, dan pertanyaan lainnya.
Setelah tersangka pelaku kejahatan didapat pun, tidak serta merta tersangka tersebut bisa
langsung ditangkap dan dihukum atau dijebloskan ke penjara. Masih ada proses pengadilan.

Bagaimana pembuktiannya bahwa tersangka tersebut lah yang benar-benar melakukan


kejahatan tersebut, bukan orang lain. Hal ini harus berdasarkan bukti-bukti yang bisa
dipertanggung jawabkan di pengadilan. Bukan sekedar bukti asal comot.

Perspektif sistem peradilan pidana, pembuktian sangat memegang peranan penting


untuk menyatakan kesalahan terdakwa. Apabila dilihat dari visi letaknya dalam kerangka
yuridis, aspek pembuktian terbilang unik karena dapat diklasifikasikan dalam kelompok
hukum acara pidana, dan bila dikaji secara mendalam juga dipengaruhi pendekatan dari
hukum perdata. Aspek pembuktian telah dimulai pada tahap penyelidikan, hingga
1
penjatuhan vonis oleh hakim, dan secara dominan terjadi pada sidang di pengadilan, dalam
rangka hakim menemukan kebenaran materiil. Selain itu aspek pembuktian juga bermanfaat
pada kehidupan sehari-hari maupun kepentingan lembaga penelitian.(Ipakit, 2015)

Ilmu Forensik dikategorikan dikategorikan sebagai ilmu pengetahuan alam dan


dibangun berdasarkan metode ilmu alam. Dalam pandangan ilmu alam, sesuatu dianggap
ilmiah hanya dan hanya jika didasarkan pada fakta atau pengalaman (empirisme), kebenaran
ilmiah harus bisa dibuktian oleh semua orang melalui inderanya (positivisme), analisis dan
hasilnya mampu dituangkan secara masuk akal, baik deduktif maupun induktif dalam
struktur bahasa yang mempunyai makna (logika) dan hasilnya dapat dikomunikasikan ke
masyarakat luas dengan tidak mudah atau tanpa tergoyahkan (kritik ilmu).(Khorunnisa,
2014)

Ilmu-ilmu forensik (forensic sciences) dapat dikatakan sebagai ilmu yang digunakan
untuk mencari dan menghimpun dan menyusun serta menilai fakta-fakta yang berhubungan
dengan suatu perbuatan pidana dimana selanjutnya dapat dipasrahkan bagi pengadilan
dalam kepentingan melengkapi pembuktian dalam lapangan hukum acara pidana. Ilmu-ilmu
forensik meliputi semua ilmu pengetahuan yang mempunyai kaitan dengan masalah
kejahatan atau dapat dikatakan dari segi peranannya dalam penyelesaian kasus kejahatan,
maka ilmu-ilmu forensik memegang peranan penting.(Barama, 2011)

Adanya pembuktian ilmiah, diharapkan polisi, jaksa dan hakim tidaklah mengandalkan
pengakuan dari tersangka atau saksi hidup dalam penyidikan dan menyelesaikan suatu
perkara. Karena saksi hidup dapat berbohong atau disuruh berbohong, maka dengan hanya
berdasarkan keterangan saksi dimaksud, tidak dapat dijamin tercapainya tujuan penegakan
kebenaran dalam proses perkara pidana dimaksud.(Khoirunnisa, 2014)

I.2 Rumusan Masalah

2
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah “Mengapa ilmu forensik harus ada dalam
penegakan hukum pidana?”

I.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui mengapa ilmu forensik harus
ada dalam penegakan hukum pidana.

BAB 2

TINJAUAN ILMU FORENSIK


3
2. 1 Definisi Ilmu Forensik

Forensik (berasal dari bahasa Latin forensis yang berarti "dari luar", dan serumpun
dengan kata forum yang berarti "tempat umum") adalah bidang ilmu pengetahuan yang
digunakan untuk membantu proses penegakan keadilan melalui proses penerapan ilmu atau
sains.

Ilmu forensik (biasa disingkat forensik) adalah sebuah penerapan dari berbagai ilmu
pengetahuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang penting untuk sebuah sistem
hukum yang mana hal ini mungkin terkait dengan tindak pidana. Namun disamping
keterkaitannya dengan sistem hukum, forensik umumnya lebih meliputi sesuatu atau
metode-metode yang bersifat ilmiah (bersifat ilmu) dan juga aturan-aturan yang dibentuk
dari fakta-fakta berbagai kejadian, untuk melakukan pengenalan terhadap bukti-bukti fisik
(contohnya mayat, bangkai, dan sebagainya). Atau untuk pengertian yang lebih mudahnya,
Ilmu Forensik adalah ilmu untuk melakukan pemeriksaan dan pengumpulan bukti-bukti
fisik yang ditemukan di tempat kejadian perkara dan kemudian dihadirkan di dalam sidang
pengadilan.

2. 2 Cabang-Cabang Ilmu Forensik

Dunia forensik begitu kaya dengan berbagai disiplin ilmu yang berlomba untuk
membangun eksistensi, mengerahkan seluruh kemampuannya dan mengaplikasikan
keilmuannya demi tegaknya supremasi hukum. Cabang-Cabang ilmu forensik yang
umumnya menyangkut kriminalistik antara lain :

a. Criminalistic,

Merupakan penerapan atau pemanfaatan ilmu-ilmu alam pada


pengenalan, pengumpulan / pengambilan, identifikasi, individualisasi, dan evaluasi dari
bukti fisik, dengan menggunakan metode / teknik ilmu alam di dalam atau untuk
kepentingan hukum atau peradilan. Pakar kriminalistik adalah tentunya seorang ilmuwan
forensik yang bertanggung jawab terhadap pengujian (analisis) berbagai jenis bukti fisik,
dia melakukan indentifikasi kuantifikasi dan dokumentasi dari bukti-bukti fisik. Dari
4
hasil analisisnya kemudian dievaluasi, diinterpretasi dan dibuat sebagai laporan
(keterangan ahli) dalam atau untuk kepentingan hukum atau peradilan (Eckert 1980).
Sebelum melakukan tugasnya, seorang kriminalistik harus mendapatkan pelatihan atau
pendidikan dalam penyidikan tempat kejadian perkara yang dibekali dengan kemampuan
dalam pengenalan dan pengumpulan bukti-bukti fisik secara cepat.

b. Kedokteran Forensik

Adalah penerapan atau pemanfaatan ilmu kedokteran untuk kepentingan penegakan


hukum dan pengadilan. Kedokteran forensik mempelajari hal ikhwal manusia atau organ
manusia dengan kaitannya peristiwa kejahatan. Di Inggris kedokteran forensik pertama
kali dikenal dengan ”Coroner”. Seorang coroner adalah seorang dokter yang bertugas
melalukan pemeriksaan jenasah, melakukan otopsi mediko legal apabila diperlukan,
melakukan penyidikan dan penelitian semua kematian yang terjadi karena kekerasan,
kemudian melalukan penyidikan untuk menentukan sifat kematian tersebut.
Di Amerika Serikan juga dikenal dengan ”medical examinar”. Sistem ini tidak berbeda
jauh dengan sistem coroner di Inggris. Dalam perkembangannya bidang kedokteran
forensik tidak hanya berhadapan dengan mayat (atau bedah mayat), tetapi juga
berhubungan dengan orang hidup. Dalam hal ini peran kedokteran forensik meliputi:
 melakukan otopsi medikolegal dalam pemeriksaan menyenai sebab-sebab kematian,
apakah mati wajar atau tidak wajar, penyidikan ini juga bertujuan untuk mencari
peristiwa apa sebenarnya yang telah terjadi,
 identifikasi mayat,
 meneliti waktu kapan kematian itu berlansung ”time of death”
 penyidikan pada tidak kekerasan seperti kekerasan seksual, kekerasan terhadap
anak dibawah umur, kekerasan dalam rumah tangga,
 pelayanan penelusuran keturunan,
 di negara maju kedokteran forensik juga menspesialisasikan dirinya pada bidang
kecelakaan lalu lintas akibat pengaruh obat-obatan ”driving under drugs influence”.
Bidang ini di Jerman dikenal dengan ”Verkehrsmedizin”

c. Odontologi forensik,
5
Adalah ilmu forensik untuk menentukan identitas individu melalui gigi yang telah
dikenal sejak era sebelum masehi. Kehandalan teknik identifikasi ini bukan saja
disebabkan karena ketepatannya yang tinggi sehingga nyaris menyamai ketepatan teknik
sidik jari, akan tetapi karena kenyataan bahwa gigi dan tulang adalah material biologis
yang paling tahan terhadap perubahan lingkungan dan terlindung. Gigi merupakan
sarana identifikasi yang dapat dipercaya apabila rekaman data dibuat secara baik dan
benar. Beberapa alasan dapat dikemukakan mengapa gigi dapat dipakai sebagai sarana
identifikasi adalah sebagai berikut :

1. Gigi adalah merupakan bagian terkeras dari tubuh manusia yang komposisi bahan
organic dan airnya sedikit sekali dan sebagian besar terdiri atas bahan anorganik
sehingga tidak mudah rusak, terletak dalam rongga mulut yang terlindungi.
2. Manusia memiliki 32 gigi dengan bentuk yang jelas dan masing-masing mempunyai
lima permukaan.

d. Entomologi Forensik

Adalah aplikasi ilmu serangga untuk kepentingan hal-hal kriminal terutama yang
berkaitan dengan kasus kematian. Entomologi forensik mengevaluasi aktifitas serangga
dengan berbagai teknik untuk membantu memperkirakan saat kematian dan menentukan
apakah jaringan tubuh atau mayat telah dipindah dari suatu lokasi ke lokasi lain.
Entomologi tidak hanya bergelut dengan biologi dan histologi artropoda, namun saat ini
entomologi dalam metode-metodenya juga menggeluti ilmu lain seperti kimia dan
genetika. Dengan penggunaan pemeriksaan dan pengidentifikasi DNA pada tubuh
serangga dalam entomologi forensik, maka kemungkinan deteksi akan semakin besar
seperti akan memungkinkan untuk mengidentifikasi jaringan tubuh atau mayat
seseorang melalui serangga yang ditemukan pada tempat kejadian perkara.

e. Antropologi Forensik

Adalah subdivisi dari ilmu forensik yang menerapkan ilmu antropologi fisik (yang mana
dalam arti khusus adalah bagian dari ilmu antropologi yang mencoba menelusuri

6
pengertian tentang sejarah terjadinya beraneka ragam manusia dipandang dari sudut ciri-
ciri tubuhnya) dan juga menerapkan ilmu osteologi (yang merupakan ilmu anatomi
dalam bidang kedokteran yang mempelajari tentang struktur dan bentuk tulang
khususnya anatomi tulang manusia) dalam menganalisa dan melakukan pengenalan
terhadap bukti-bukti yang ada (contoh penerapan dari ilmu forensik ini adalah misalnya
melakukan pengenalan terhadap tubuh mayat yang sudah membusuk, terbakar,
dimutilasi atau yang sudah tidak dapat dikenali).

f. Digital Forensik

Adalah salah satu subdivisi dari ilmu forensik yang melakukan pemeriksaan dan
menganalisa bukti legal yang ditemui pada komputer dan media penyimpanan digital,
misalnya seperti flash disk, hard disk, CD-ROM, pesan email, gambar, atau bahkan
sederetan paket atau informasi yang berpindah dalam suatu jaringan komputer.

g. Psikologi Forensik

Psikologi forensik adalah salah satu cabang ilmu psikologi yang mempelajari subyek dari
segi kognitif, afektif dan perilaku dalam kaitannya dengan proses hukum. Dengan kata
lain, psikologi forensik merupakan titik temu antara bidang psikologi dan bidang
penegakan hukum.

h. Balistik Forensik

Berbicara tentang ilmu balistik kebanyakan orang cenderung memikirkan senjata api dan
peluru, namun pada kenyataannya balistik adalah ilmu mengenai gerakan, sifat dan efek
dari proyektil, khususnya peluru, bom gtravitasi, roket, dan lain-lain; ilmu atau seni
merancang dan menggerakkan proyektil untuk mendapatkan hasil yang diinginkan.

i. Dokumen dan uang palsu forensik (Dokupalfor)

7
Bidang Dokumen forensik meliputi pemeriksaan : tulisan tangan, tanda tangan, dan
ketik. Bidang uang palsu forensik meliputi pemeriksaan ; bahan cetak, perangko dan
uang palsu. Bidang fotografi forensik meliputi pemeriksaan : makro dan mikro fotografi.

j. Toksikologi forensik

Toksikologi mempelajari sifat fisika kimia dari racun, efek psikologi yang
ditimbulkannya pada organisme, metode analisis racun baik kualitatif maupun
kuantitatif dari materi biologic atau non-biologic, serta mempelajari tindakan-tindakan
pencegahan bahaya keracunan.

k. Serologi/Biologi molekuler forensik

Bertujuan untuk :
1. Uji darah untuk menentukan sumbernya (darah manusia, atau hewan atau getah
tumbuhan, darah pelaku atau korban dalam tindak kejahatan),
2. Uji cairan tubuh lainnya (seperti air liur, semen vagina atau sperma, rambut, potongan
kulit) untuk menentukan sumbernya,
3. Uji imunologi atau DNA individu untuk mencari identitas seseorang.

BAB 3
KONSEP HUKUM PIDANA

Hukum pidana adalah bagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara,
yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
a. Menetukan perbuatan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan
disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan
tersebut.
8
b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-
larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada
orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu sarana
penanggulangan kejahatan yang di dalamnya terdapat sub-sub sistem yang saling berkaitan.
Dengan perkataan lain, sistem peradilan pidana dapat digambarkan secara singkat sebagai suatu
sistem yang bertujuan untuk “menanggulangi kejahatan”, salah satu usaha masyarakat untuk
mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang dapat
diterimanya. Pengertian di atas mencerminkan bahwa dalam sistem peradilan pidana itu terdapat
kumpulan-kumpulan lembaga yang saling berkaitan satu dengan yang lain, yang meliputi
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakat.

Pengertian sistem peradilan pidana (criminal justice system) disebut juga dengan istilah
law enforcement system, karena di dalamnya mengandung suatu pemahaman, bahwa pada
dasarnya apa yang dilakukan oleh lembaga-lembaga itu merupakan usaha kongkrit untuk
menegakkan aturanaturan hukum abstrak. Dengan demikian, dapat disimpulkan, bahwa sistem
peradilan pidana merupakan suatu komponen (sub sistem) peradilan pidana yang saling
terkait/tergantung satu sama lain dan bekerja untuk mencapai tujuan, yaitu untuk menanggulangi
kejahatan sampai batas yang dapat ditoleransi oleh masyarakat. Secara eksplisit, pengertian
sistem peradilan pidana itu menggambarkan adanya keterpaduan antara sub-sub sistem yang ada
dalam peradilan, sehingga dikenal dengan sebutan sistem peradilan pidana terpadu (integrated
criminal justice system).(Ali, 2007)

Sebagai suatu sistem, sistem peradilan pidana memiliki ciri tertentu yang membedakan
dengan sistem yang lain. Ciri-ciri tersebut adalah;
a. Bersifat terbuka (open system),
Bersifat terbuka (open system) dimaksudkan, sistem peradilan pidana dalam gerakannya
akan selalu mengalami interface (interaksi, interkoneksi dan interdependensi) dengan
lingkungannya dalam peringkat-peringkat masyarakat, yaitu: ekonomi, politik,
9
pendidikan, dan teknologi, serta sub-sub sistem peradilan pidana itu sendiri (the sub
system of criminal justice systems).
b. Memiliki tujuan,
Tujuan sistem peradilan pidana meliputi tujuan jangka pendek, tujuan jangka menengah
dan tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendek sistem peradilan pidana adalah
diharapkan pelaku menjadi sadar akan perbuatannya sehingga tidak melakukan kejahatan
lagi. Demikian pula orang lain tidak melakukan kejahatan sehngga tingkat kejahatan
menjadi berkurang. Tujuan jangka menengah adalah terwujudnya suasan tertib, aman dan
damai di dalam masyarakat, sedangkan tujuan jangka panjang sistem peradilan pidana
adalah terciptanya tingkat kesejahteraan yang menyeluruh di kalangan masyarakat. Ada
juga yang merumuskan tujuan sistem peradilan pidana dalam rangkat untuk mencegah
masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi
sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan bersalah telah dipidana,
dan mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi
kejahatannya.
c. Transformasi nilai,
Transformasi nilai dalam arti sistem peradilan pidana dalam operasi kerjanya pada setiap
komponen-komponennya harus menyertakan nilai-nilai dalam setiap tindakan dan
kebijakan yang dilakukan, seperti nilai keadilan, nilai kebenaran serta nilai kepatutan dan
kejujuran.

d. Adanya mekanisme kontrol.


Mekanisme kontrol yaitu menjalankan pengawasan sebagai respon terhadap
penanggulangan kejahatan. Sistem peradilan pidana menjadi perangkat hokum yang
dapat digunakan dalam menanggulangi berbagai bentuk kriminalitas sebagai bagian dari
upaya perlindungan masyarakat. Karakteristik demikian ini melekat pada fungsi sistem
peradilan pidana sebagai sarana masyarakat untuk menahan dan mengendalikan
kejahatan pada tingkat tertentu (crime containment system), serta mengurangi kejahatan
di kalangan mereka yang pernah melakukan tindak pidana dan mereka yang bermaksud
melakukan kejahatan, melalui proses deteksi,
pemidanaan dan pelaksanaan pidana.
10
Di samping itu, dalam sistem peradilan pidana yang jamak dikenal selalu melibatkan dan
mencakup sub-sub sistem dengan ruang lingkup masing-masing proses peradilan pidana antara
lain kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan, dan advokat.

BAB 4
KEDUDUKAN ILMU FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN
DAN PENEGAKAN HUKUM PIDANA

Lembaga peradilan merupakan institusi negara yang mempunyai tugas pokok untuk
memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan oleh
warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui lembaga peradilan hanya akan berjalan dengan
baik, apabila semua pihak yang terlibat di dalamnya, baik pihak-pihak yang berperkara maupun
hakimnya sendiri mengikuti aturan main (rule of game) secara jujur sesuai tertib peraturan yang

11
ada. Suatu perkara diajukan ke pengadilan tidak lain untuk mendapatkan penyelesaian dan
pemecahan secara adil sesuai dengan harapan dan keinginan para pencari keadilan
(justiciabellen). Suatu perkara supaya dapat diputus secara adil harus diketahui duduk
perkaranya secara jelas, yaitu mana peristiwa yang benar dan mana peristiwa yang salah. Untuk
menentukan mana peristiwa yang benar dan mana peristiwa yang salah dapat dilakukan lewat
proses pembuktian di persidangan.
Pihak-pihak yang berperkara dalam persidangan harus mengemukakan peristiwa-
peristiwa yang dapat dijadikan dasar untuk meneguhkan haknya, maupun untuk membantah hak
pihak lain. Peristiwa-peristiwa yang dikemukakan oleh para pihak tentu saja tidak cukup sekedar
disampaikan begitu saja secara lisan maupun tertulis, tetapi harus disertai dan didukung dengan
bukti-bukti yang sah menurut hukum agar dapat dipastikan kebenarannya. Dengan kata lain
peristiwa-peristiwa itu harus disertai pembuktian secara yuridis. Adapun tujuan dari pembuktian
yuridis adalah untuk mencari atau menemukan kebenaran peristiwa yang digunakan sebagai
dasar putusan hakim, yang mempunyai akibat hukum. Di dalam membuktikan secara yuridis
untuk mencari kebenaran tidaklah sama. Kebenaran yang hendak dicari hakim dalam
menyelesaikan suatu perkara, dapat berupa kebenaran formil maupun kebenaran materiil yang
keduanya termasuk dalam lingkup kebenaran hukum yang bersifat kemasyarakatan.(Lintogareng,
2011).
Dari beberapa pandangan teoritisi dan praktisi hukum, dapatlah dikemukakan bahwa
dalam pengertian "pembuktian " terkandung elemen-elemen sebagai berikut:
1. Merupakan upaya untuk mencari kepastian tentang kebenaran suatu peristiwa, baik dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari, dalam ilmu pengetahuan alam maupun dalam praktek
peradilan (ilmu hukum).
2. Dalam ilmu hukum, yang dimaksud pembuktian adalah pembuktian dalam arti yuridis.
Pembuktian di sini merupakan : (a) suatu proses untuk meyakinkan hakim terhadap kebenaran
dalil-dalil yang dikemukakan para pihak yang berperkara dalam sidang pengadilan ; (b)
didasarkan atas bukti-bukti yang diatur dalam undang-undang ;(c) merupakan dasar bagi
hakim dalam rangka menjatuhkan putusan. (Lintogareng, 2013)
Pasal 183 KUHAP berbunyi sebagai berikut :

12
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali dengan sekurang-kurangnya
dua alat bukti yang sah ia telah memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. “
Yang dimaksud alat bukti dapat dilihat dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP, ialah sebagai
berikut :
Alat bukti yang sah adalah :
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa

Hakim dalam putusannya harus sadar, cermat dalam menilai dan mempertimbangkan
kekuatan pembuktian yang ditemukan selama pemeriksaan persidangan. Hakim dalam
meletakkan kebenaran yang ditemukan pada pemeriksaan sidang di pengadilan, maka kebenaran
itu harus diuji dengan alat bukti yang ditemukan dalam undang-undang sebagaimana Pasal 184
KUHAP setidaknya secara limitatif. Cara mempergunakan dan menilai kekuatan pembuktian
yang melekat pada setiap alat bukti, dilakukan dalam batas-batas yang dibenarkan undang-
undang, agar dalam mewujudkan kebenaran yang hendak dijatuhkan, Hakim terhindar dari
pengorbanan kebenaran yang harus dibenarkan. Hakim harus senantiasa berpedoman pada
pembuktian, dan menghindari dari pikiran subjektif.(Ipakit, 2015)
Apabila ditinjau dari hukum acara pidana, maka keterangan ahli diperlukan dalam setiap
tahapan proses pemeriksaan, hal itu tergantung perlu tidaknya mereka dilibatkan dalam
membantu tugas-tugas baik dari penyidik, jaksa maupun hakim dalam terhadap suatu perkara
pidana seperti yang banyak terjadi dalam perkara tindak pidana pembunuhan, penganiayaan,
tindak pidana keasusilaan, tindak pindana kealpaan, dan lain-lain.(Barama, 2011)
Salah satu contoh penggunaan bantuan ahli atau keterangan ahli dalam membantu
menjernihkan suatu perkara pidana dalam salah satu aspeknya yaitu visum et repertum, dalam
kedokteran kehakiman yaitu yang dikenal dalam bidang ilmu kedokteran forensik,
psikiatri/neurologi forensik dan kimia forensik.
Visum et repertum selaku keterangan dalam bentuk formil menyangkut hal-hal yang
dilihat dan ditemukan oleh dokter pada benda-benda yang diperiksa sesungguhnya adalah
pengganti barang bukti, bahwa pada keharusannya dalam pembuktian mestinya orang yang
13
menjadi obyek penganiayaan, pembunuhan, atau kejahatan lainnya dari suatu peristiwa pidana
sepatutnya diajukan menjadi barang bukti misalnya orang yang dianiaya atau mati terbunuh
sudah barang tentu kesulitan dalam praktek; karenanya orang yang meninggal (mayat) harus
dikebumikan sebab dapat membusuk untuk selanjutnya mengalami proses alamiah hancur
menjadi debu tanah. (Barama, 2011)
Ilmu forensik dapat membuat terang suatu perkara dengan cara memeriksa dan
menganalisa barang bukti mati, sehingga dengan ilmu forensik haruslah didapat berbagai
informasi yaitu :
a. Information on corpus delicti, dari pemeriksaan baik TKP maupun barang bukti dapat
menjelaskan dan membuktikan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana.
b. Information on modus operandi, beberapa pelaku kejahatan mempunyai cara-cara
tersendiri dalam melakukan kejahatan, dengan pemeriksaan barang bukti kaitannya
dengan modus operandi sehingga dapat diharapkan terbongkar siapa pelakunya.
c. Linking a suspect with a victim, pemeriksaan terhadap barang bukti di TKP atau korban
dapat mengakibatkan keterlibatan tersangka dengan korban, karena dalam suatu tindak
pidana pasti ada material dari tersangka yang tertinggal pada korban.
d. Lingking a person to a crime scene, setelah terjadi tindak pidana banyak kemungkinan
terjadi terhadap TKP atau korban yang dilakukan oleh orang lain selain tersangka
mengambil keuntungan.
e. Disproving or supporting a whitness’s testimony, pemeriksaan terhadap barang bukti
dapat memberikan petunjuk apakah keterangan yang diberikan oleh saksi atau tersangka
berbohong atau tidak.
f. Identification of a suspect, barang bukti terbaik yang dapat digunakan untuk
mengidentiifikasi seorang tersangka adalah sidik jari, karena sidik jari mempunyai sifat
sangat karakteristik dan sangat individu bagi setiap orang.
g. Providing investigative lead, pemeriksaan barang bukti dapat memberi arah yang jelas
dalam penyelidikan.

Ilmu-ilmu forensik yang menangani tindak kriminal sebagai masalah teknis. Kejahatan
dipandang sebagai masalah teknis, karena kejahatan dari segi wujud perbuatannya maupun alat
yang digunakannya memerlukan penanganan secara teknis dengan menggunakan bantuan diluar
14
hukum pidana maupun hukum acara pidana. Dalam hal ini menggunakan berbagai macam ilmu
forensik tersebut (misalnya kedokteran forensik, kimia forensik, toksikologi, serologi forensik,
balistik forensik, dll). Sehingga pada umumnya laboratorium forensik dimanfaatkan untuk
kepentingan peradilan, khususnya perkara pidana. Dalam sistem peradilan pidana yang berlaku
di Indonesia, peradilan perkara pidana diawali oleh penyidikan yang dilakukan oleh penyidik
tunggal (lebih tepatnya penyidik umum) yang dilakukan oleh kepolisian (Polri), dalam kasus-
kasus khusus (tindak kejahatan ekonomi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia) pihak kejaksaan
dapat melakukan penyidikan.(Khoirunnisa, 2014)

BAB V
PENUTUP

5. 1 Kesimpulan
Ilmu forensik adalah ilmu untuk melakukan pemeriksaan dan pengumpulan bukti-bukti
fisik yang ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP) dan kemudian dihadirkan di dalam
sidang pengadilan. Disiplin ilmu forensik dapat membuat terang suatu perkara dengan cara
memeriksa dan menganalisa barang bukti. Pembuktian dari suatu perkara pidana adalah upaya
untuk membuktikan bahwa benar terjadi suatu tindak pidana yang diperkarakan dan bahwa benar
si terdakwalah yang melakukan tindak pidana tersebut. Oleh karena itu ilmu forensik sangat
dibutuhkan dalam penegakan hukum pidana.

5.2 Saran
Mengingat peran penting dari ilmu forensik dalam penegakan hukum pidana, maka
sebaiknya ilmu forensik di Indonesia semakin dikembangkan sesuai dengan kemajuan zaman
dan teknologi.
15
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mahrus.2007. Sistem Peradilan Pidana Progresif; Alternatif Dalam Penegakan Hukum
Pidana. Dalam Jurnal Hukum No.2, Vol. 14, April 2017.

Barama, Michael. 2011. Kedudukan Visum et Repertum Dalam Hukum Pembuktian. Karya
Ilmiah. Universitas Sam Ratulangi, Manado.

Ipakit, Ronaldo. 2015. Urgensi Pembuktian Alat Bukti Dalam Praktek Peradilan Pidana. Dalam
Lex Crimen. Vol IV, No.2.April 2015

Khoirunnisa, Cut. 2014. Manfaat Ilmu Forensik Terhadap Penegakan Hukum di Indonesia.
Dalam Reusam Jurnal Imu Hukum. Vol III, No.1 Mei 2014. Hal.191-205.

Lintogareng, Jerol Vandrixton. 2013. Analisa Keyakinan Hakim Dalam Pengambilan Keputusan
Perkara Pidana di Pengadilan. Dalam Les Crimen, Vol II,No.3 Juli 2013.

Maramis, Michael R. 2015. Peran Ilmu Forensik Dalam penyelesaian Kasus Kejahatan Seksual
Dalam Dunia Maya(Internet). Dalam Jurnal Ilmu Hukum Vol.II, no.7 Juli-Destember 2015.

16
17

Anda mungkin juga menyukai