Anda di halaman 1dari 4

1.

Labetalol
Obat antihipertensi lain yang efektif dan lazim digunakan di Amerika Serikat adalah labetalol
intravena – penyekat α1 dan penyekat β nonselektif. Sebagian ahli lebih memilih labetalol
dibandingkan hydralazine karena efek sampingnya yang lebih sedikit (Sibai, 2003). Sibai
(2003) menganjurkan dosis labetalol 20 hingga 40mg tiap 10-15 menit sebanyak yang
diperlukan, dengan dosis maksimum 220 mg per siklus terapi. Kelompok kerj NHBPEP (2000)
dan American College of Obstetricians and Gynecologists (2002) merekomendasikan untuk
memulai terapi dengan bolus intravena 20 mg. Jika tidak efektif dalam 10 menit, dilanjutkan
dengan dosis 40 mg, kemudian 80 mg tiap 10 menit, tetapi tidak boleh melebihi dosis total 220
mg per episode yang diterapi.
2. Hydralazine versus Labetalol
Studi perbandingan kedua obat antihipertensi ini menunjukkan hasil yang setara. Pada satu
penelitian, Mabie, dkk. (1987) membandingkan hydralazine intravena dengan labetalol untuk
mengendalikan tekanan darah pada 60 perempuan peripartum. Labetalol menurunkan tekanan
darah secara lebih cepat, dan lebih sedikit menimbulkan takikardia, tetapi hydralazine
menurunkan tekanan arteri terata ke tingkat yang aman secara lebih efektif. Hydralazine
menyebabkan takikardia dan palpitasi pada ibu yang lebih signifikan, sedangkan labetalol lebih
sering menyebabkan hipotensi dan bradikardia pada ibu. Selain takikardia pada ibu yang terjadi
pada penggunaan hydralazine, dan bradikardia yang sesekali terjadi pada ibu akibat labetalol,
belum pernah menjumpai aritmia pada penggunaan kedua obat ini.
3. Nifedipine
Obat penyekat kanal kalsium ini menjadi popular karena efektivitasnya dalam mengendalikan
hipertensi akut terkait kehamilan. Kelompok kerja NHBPEP (2000) dan Royal College of
Obstetricians and Gynaecologists (2006) menganjurkan dosis inisial 10 mg per oral, yang dapat
diulang dalam 30 menit jika diperlukan. Nifedipine yang diberikan sublingual tidak lagi
dianjurkan. Penelitian teracak yang membandingkan nifedipine dengan labetalol menemukan
bahwa tidak ada salah satu obat yang lebih unggul dari yang lain (Scardo dkk, 1999; Vermillion
dkk, 1999).
4. Obat Antihipertensi lain
Beberapa obat antihipertensi lain yang umumnya teredia telah diteliti dalam uji klinis,
tetapi belum digunakan secara luas. Belfort dkk, (1990) menggunakan antagonis kalsium,
verapamil, melalui infus intravena dengan kecepatan 5 hingga 10 mg per jam. Tekanan arteri
rerata diturunkan sebanyak 20 persen. Belfort dkk, (1996, 2003) melaporkan bahwa
nimodipine yang diberikan melalui infus kontinu atau per oral efektif untuk menurunkan
tekanan darah pada perempuan preeklamtik yang mendapatkan ketanserin intravena, suatu
penyekat reseptor serotonergik selektif.
Terdapat obat-oabatan antihipertensi eksperimental yang mungkin bermanfaat untuk terapi
preeklamsia. Dua di antaranya adalah calcitonin gene related pepade (CGRP), yang
merupakan vasodilator poten yang tersusun atas 37 asam amino, dan faktor endogen mirip
digitalis, yang disebut juga steroid kardiotonik (Bagrov dan Shapiro, 2008; Marquez-Rodas
dkk, 2006)
5. Diuretik
Diuresis poten dapat semakin memperburuk perfusi plasenta. Efek yang segera tampak
mencakup penurunan volume intravaskular, yang umumnya sudah berkurang sebelumnya
dibandingkan dengan volume pada kehamilan normal. Karena itu, sebelum pelahiran, diuretik
tidak digunakan untuk menurunkan tekanan darah (Zeeman dkk, 2009; Zondervan dkk, 1988)
6. Terapi cairan
Larutan Ringer Laktat diberikan secara rutin dalam laju 60 mL hingga tidak melebihi 125 mL
per jam, kecuali terdapat kehilangan cairan berlebihan akibat muntah, diare, atau diaphoresis,
atau yang lebih mungkin, kehilangan darah dalam jumlah berlebihan akibat pelahiran. Oliguria
umum dijumpai pada preeklamsia berat. Jadi, bila digabungkan dengan pengetahuan bahwa
volume darah ibu kemungkinan berkurang dibandingkan pada kehamilan normal, timbul
keinginan untuk memperbanyak pemberian cairan intravena. Namun, pemberian cairan yang
terkendali dan konservatif lebih dipilih untuk perempuan dengan eklamsia tipikal yang sudah
memiliki cairan ekstrasel dalam jumlah berlebihan, yang didistribusikan secara tidak seimbang
antara ruang intravascular dan ekstravaskular. Infus cairan dalam jumlah besar akan
menambah maldistribusi cairan ekstravaskular sehingga meningkatkan risiko edema paru dan
otak secara nyata (Sciscione, 2003; Sibai, 1987; Zinaman dkk, 1985).
7. Edema Paru
Perempuan dengan preeklamsia berat eklamsia yang mengalami edema paru umumnya
mengalami edema tersebut pascapartum (Cunningham dkk, 1986; Zinaman dkk, 1985).
Pertama, aspirasi isi lambung yang dapat terjadi akibat kejang, anesthesia, atau sedasi
berlebihan, harus disingkirkan. Terdapat tiga penyebab lazim edema paru pada perempuan
dengan sindrom preeklamsia berat-edema permeabilitas kapiler paru, edema kardiogenik, atau
kombinasi keduanya.
Sebagian besar perempuan dengan preeklamsia berat akan mengalami kongesti paru
ringan akibat edema permeabilitas. Hal ini disebabkan oleh perubahan normal pada kehamilan
yang diperburuk oleh sindrom preeklamsia. Penting diketahui, tekanan onkotik plasma
menurun secara bermakna pada kehamilan normal aterm karena terjadinya penurunan kadar
albumin dalam serum, dan tekanan onkotik bahkan turun lebih hebat lagi pada preeklamsia
(Zinaman dkk, 1985). Selain itu, baik peningkatan tekanan onkotik cairan ekstravaskular
maupun peningkatan permeabilitas kapiler telah ditemukan pada perempuan dengan
preeklamsia (Brown dkk, 1989).

Pencegahan Eklamsia

Telah terdapat sejumlah penelitian teracak yang dirancang untuk menguji efektivitas profilaksis
kejag pada perempuan dengan hipertensi gestasional, dengan atau tanpa proteinuria, dan dengan
demikian, pada preeklamsia. Pada sebagian besar penelitian ini, magnesium sulfat dibandingkan
dengan antikonvulsan lain atau dengan plasebo. Pada semua penelitian, magnesium sulfat
dilporkan lebih unggul dari obat pembanding dalam mencegah eklamsia. Lucas dkk (1995)
melaporkan bahwa terapi magnesium sulfat lebih unggul dari phenytoin untuk mencegah kejang
eklamtik pada perempuan dengan hipertensi gestasional, termasuk mereka yang mengalami
preeklamsia dalam derajat keparahan apapun. Belfort dkk (2003) membandingkan magnesium
sulfat dan nimodipine-penyekat kanal kalsium dengan aktivitas vasodilator serebral spesifik untuk
pencegahan eklamsia.

Penelitian komparatif terbesar adalah MAGnesium Sulfate for Prevention of Eclampsia (MAGPIE
Trial Collaboration Group, 2002). Lebih dari 10.000 perempuan dengan preeklamsia berat dari 33
negara dialokasikan secara acak ke kelompok yang mendapatkan magnesium sulfat atau kelompok
placebo. Perempuan yang diberikan magnesium memiliki risiko eklamsia yang lebih rendah secara
bermakna (58%) dibandingkan perempuan yang diberikan plasebo. Perempuan yang diberikan
placebo dan mengalami eklamsia diterapi dengan magnesium sulfat. Smyth, dkk (2009)
melaporkan data lanjutan mengenai bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yan diberikan magnesium
sulfat ini. Pada usia sekitar 18 bulan, perilaku anak tidak berbeda pada kelompok yang terpajan
dibandingkan dengan yang tidak terpajan magnesium sulfat.

Yang harus diberikan Magnesium Sulfat

Magnesium akan mencegah berulangnya kejang pada perempuan dengan penyakit yang
juga memburuk. Keparahan penyakit sulit dikuantifikasi sehingga sulit menentukan tiap
perempuan yang akan memperoleh manfaat terbesar dari profilaksis. Di Amerika Serikat,
consensus saat ini adalah perempuan yang dinilai mengalami preeklamsia berat harus diberikan
profilaksis magnesium sulfat. Rekomendasi yang sama juga diberikan oleh American College of
Obstetricians and Gynecologists (2002).

Di banyak Negara lain, dan khususnya setelah disebarluaskannya hasil penelitian Magpie
Trial Collaboration Group (2002), magnesium sulfat sekarang dianjurkan untuk perempuan
dengan preeklamsia berat. Namun, di beberapa negara, masih diperdebatkan apakah terapi hanya
perlu di berikan untuk perempuan dengan kejang eklamtik.

Anda mungkin juga menyukai