Anda di halaman 1dari 324

LAPORAN

PENDAHULUAN
PADA KLIEN
APENDISITIS DI
RUANG 15
(BEDAH ANAK)
RSUD DR SAIFUL
ANWAR MALANG
Disusun Oleh :
FITRA ARIEF
NUR ROHMAN
2015.01.011

PROGRAM
STUDI
DIPLOMA III
KEPERAWATAN
SEKOLAH
TINGGI ILMU
KESEHATAN
BANYUWANGI
2018
LEMBAR
PENGESAHAN
Laporan
Pendahuluan
tentang
Apendisitis di
IRNA II Ruang 15
(Bedah Anak)
RSUD dr. Saiful
Anwar, Malang
telah disahkan dan
disetujui oleh :
Mahasiswa
FITRA ARIEF
NUR ROHMAN
2015.01.011
Pembimbing
CI/Ruangan
Pembimbing
Institusi ( ) ( )
Kepala Ruang 15
()
LEMBAR
PENGESAHAN
Asuhan
Keperawatan
tentang
Apendisitis di
IRNA II Ruang 15
(Bedah Anak)
RSUD dr. Saiful
Anwar, Malang
telah disahkan dan
disetujui oleh :
Mahasiswa
FITRA ARIEF
NUR ROHMAN
2015.01.011
Pembimbing
CI/Ruangan
Pembimbin
Institusi ( ) ( )
Kepala Ruang 15
()
KONSEP TEORI
A.

Anatomi
Apendiks
merupakan organ
berbentuk tabung,
panjangnya kira-
kira 10 cm
(kisaran 3-15),
dan berpangkal di
sekum. Lumennya
sempit di bagian
proksimal dan
melebar di bagian
distal. Namun
demikian, pada
bayi, apendiks
berbentuk
kerucut, lebar
pada pangkalnya
dan menyempit
kearah ujungnya.
Keadaan ini
mungkin menjadi
sebab rendahnya
insidens
apendisitis pada
usia itu (Soybel,
2001 dalam
Departemen
Bedah UGM,
2010). Secara
histologi, struktur
apendiks sama
dengan usus besar.
Kelenjar
submukosa dan
mukosa
dipisahkan dari
lamina
muskularis.
Diantaranya
berjalan
pembuluh darah
dan kelenjar
limfe. Bagian
paling luar
apendiks ditutupi
oleh lamina serosa
yang berjalan
pembuluh darah
besar yang
berlanjut ke dalam
mesoapendiks.
Bila letak
apendiks
retrosekal, maka
tidak tertutup oleh
peritoneum
viserale (Soybel,
2001 dalam
Departemen
Bedah UGM,
2010). Persarafan
parasimpatis
berasal dari
cabang n.vagus
yang mengikuti
a.mesenterika
superior dan
a.apendikularis,
sedangkan
persarafan
simpatis berasal
dari n.torakalis X.
Oleh karena itu,
nyeri viseral pada
apendisitis
bermula di sekitar
umbilikus
(Sjamsuhidajat,
De Jong, 2004).
Pendarahan
apendiks berasal
dari apendikularis
yang merupakan
arteri tanpa
kolateral. Jika
arteri ini
tersumbat,
misalnya karena
thrombosis pada
infeksi, apendiks
akan mengalami
gangrene
(Sjamsuhidajat,
De Jong, 2004).
Apendiks
menghasilkan
lendir 1-2 ml per
hari. Lendir itu
normalnya
dicurahkan ke
dalam lumen dan
selanjutnya
mengalir ke
sekum. Hambatan
aliran lendir di
muara apendiks
tampaknya
berperan pada
pathogenesis
apendisitis.
Imunoglobulin
sekreator yang
dihasilkan oleh
GALT (gut
associated
lymphoid tissue)
yang terdapat di
sepanjang saluran
cerna termasuk
apendiks, ialah
IgA.
Imunoglobulin ini
sangat efektif
sebagai
pelindung
terhadap infeksi.
Namun demikian,
pengangkatan
apendiks tidak
mempengaruhi
sistem imun tubuh
karena jumlah
jaringan limfe di
sini kecil sekali
jika
dibandingkan
dengan jumlahnya
di saluran cerna
dan di seluruh
tubuh
(Sjamsuhidajat,
De Jong, 2004).
B.

Konsep penyakit
a.
Definisi
Apendisitis adalah
peradangan pada
apendiks
vermiformis.
Apendisitis akut
adalah penyebab
paling umum
inflamasi akut
pada kuadran
kanan bawah
rongga abdomen,
penyebab paling
umum untuk
bedah abdomen
darurat (Smeltzer,
2001 dalam
Docstoc, 2010).
Apendisitis adalah
kondisi dimana
infeksi terjadi di
umbai cacing.
Dalam kasus
ringan dapat
sembuh tanpa
perawatan, tetapi
banyak kasus
memerlukan
laparotomi dengan
penyingkiran
umbai cacing
yang terinfeksi.
Bila tidak terawat,
angka kematian
cukup tinggi
dikarenakan oleh
peritonitis dan
syok ketika umbai
cacing yang
terinfeksi hancur
(Anonim, 2007
dalam Docstoc,
2010).
b.

Klasifikasi
Klasifikasi
apendisitis terbagi
menjadi dua yaitu,
apendisitis akut
dan apendisitis
kronik
(Sjamsuhidajat,
De Jong, 2004). 1.

Apendisitis akut
Apendisitis akut
sering tampil
dengan gejala
khas yang didasari
oleh radang
mendadak pada
apendiks yang
memberikan tanda
setempat, disertai
maupun tidak
disertai rangsang
peritonieum lokal.
Gejala apendisitis
akut ialah nyeri
samar dan tumpul
yang merupakan
nyeri viseral
didaerah
epigastrium
disekitar
umbilikus.
Keluhan ini sering
disertai mual,
muntah dan
umumnya nafsu
makan menurun.
Dalam beberapa
jam nyeri akan
berpindah ke titik
Mc.Burney. Nyeri
dirasakan lebih
tajam dan lebih
jelas letaknya
sehingga
merupakan nyeri
somatik setempat.
Apendisitis akut
dibagi menjadi : a.
Apendisitis Akut
Sederhana Proses
peradangan baru
terjadi di mukosa
dan sub mukosa
disebabkan
obstruksi. Sekresi
mukosa
menumpuk dalam
lumen appendiks
dan terjadi
peningkatan
tekanan dalam
lumen yang
mengganggu
aliran limfe,
mukosa appendiks
menebal, edema,
dan kemerahan.
Gejala diawali
dengan rasa nyeri
di daerah
umbilikus, mual,
muntah,
anoreksia, malaise
dan demam ringan
(Rukmono, 2011).
b.

Apendisitis Akut
Purulenta
(Supurative
Appendicitis)
Tekanan dalam
lumen yang terus
bertambah disertai
edema
menyebabkan
terbendungnya
aliran vena pada
dinding apendiks
dan menimbulkan
trombosis.
Keadaan ini
memperberat
iskemia dan
edema pada
apendiks.
Mikroorganisme
yang ada di usus
besar berinvasi ke
dalam dinding
apendiks
menimbulkan
infeksi serosa
sehingga serosa
menjadi suram
karena dilapisi
eksudat dan fibrin.
Apendiks dan
mesoappendiks
terjadi edema,
hiperemia, dan di
dalam lumen
terdapat eksudat
fibrinopurulen.
Ditandai dengan
rangsangan
peritoneum lokal
seperti nyeri
tekan, nyeri lepas
di titik Mc.
Burney, defans
muskuler dan
nyeri pada gerak
aktif dan pasif.
Nyeri dan defans
muskuler dapat
terjadi pada
seluruh perut
disertai dengan
tanda-tanda
peritonitis umum
(Rukmono, 2011).
c.
Apendisitis Akut
Gangrenosa Bila
tekanan dalam
lumen terus
bertambah, aliran
darah arteri mulai
terganggu
sehingga terjadi
infark dan
gangren. Selain
didapatkan tanda-
tanda supuratif,
apendiks
mengalami
gangren pada
bagian tertentu.
Dinding apendiks
berwarna ungu,
hijau keabuan
atau merah
kehitaman. Pada
apendisitis akut
gangrenosa
terdapat
mikroperforasi
dan kenaikan
cairan peritoneal
yang purulen
(Rukmono, 2011).
d.

Apendisitis
Infiltrat
Apendisitis
infiltrat adalah
proses radang
apendiks yang
penyebarannya
dapat dibatasi
oleh omentum,
usus halus,
sekum, kolon dan
peritoneum
sehingga
membentuk
gumpalan massa
flegmon yang
melekat erat satu
dengan yang
lainnya
(Rukmono, 2011).
e.
Apendisitis Abses
Apendisitis abses
terjadi bila massa
lokal yang
terbentuk berisi
nanah (pus),
biasanya di fossa
iliaka kanan,
lateral dari sekum,
retrosekal,
subsekal dan
pelvikal
(Rukmono, 2011).
f.
Apendisitis
Perforasi
Apendisitis
perforasi adalah
pecahnya
apendiks yang
sudah gangren
yang
menyebabkan pus
masuk ke dalam
rongga perut
sehingga terjadi
peritonitis umum.
Pada dinding
apendiks tampak
daerah perforasi
dikelilingi oleh
jaringan nekrotik
(Rukmono, 2011).
2.

Apendisitis kronik
Diagnosis
apendisitis kronik
baru dapat
ditegakkan jika
ditemukan adanya
riwayat nyeri
perut kanan
bawah lebih dari 2
minggu, radang
kronik apendiks
secara
makroskopik dan
mikroskopik.
Kriteria
mikroskopik
apendisitis kronik
adalah fibrosis
menyeluruh
dinding apendiks,
sumbatan parsial
atau total lumen
apendiks, adanya
jaringan parut dan
ulkus lama di
mukosa dan
adanya sel
inflamasi kronik.
Insiden apendisitis
kronik antara 1-
5%. Apendisitis
kronik kadang-
kadang dapat
menjadi akut lagi
dan disebut
apendisitis kronik
dengan
eksaserbasi akut
yang tampak jelas
sudah adanya
pembentukan
jaringan ikat
(Rukmono, 2011)
c.

Etiologi
Apendisitis akut
merupakan infeksi
bakteria. Berbagai
hal berperan
sebagai faktor
pencetusnya.
Sumbatan lumen
apendiks
merupakan faktor
yang diajukan
sebagai faktor
pencetus
disamping
hiperplasia
jaringan limfe,
fekalit, tumor
apendiks, dan
cacing askaris
dapat pula
menyebabkan
sumbatan.
Penyebab lain
yang diduga dapat
menimbulkan
apendisitis adalah
erosi mukosa
apendiks karena
parasit
seperti E.
histolytica
(Sjamsuhidajat,
De Jong, 2004).
Penelitian
epidemiologi
menunjukkan
peran kebiasaan
makan makanan
rendah serat dan
pengaruh
konstipasi
terhadap
timbulnya
apendisitis.
Konstipasi akan
menaikkan
tekanan
intrasekal, yang
berakibat
timbulnya
sumbatan
fungsional
apendiks dan
meningkatnya
pertumbuhan
kuman flora kolon
biasa. Semuanya
ini akan
mempermudah
timbulnya
apendisitis akut
(Sjamsuhidajat,
De Jong, 2004).
d.
Manifestasi Klinis
Untuk
menegakkan
diagnosa pada
apendisitis
didasarkan atas
anamnese
ditambah dengan
pemeriksaan
laboratorium serta
pemeriksaan
penunjang
lainnya. 3
anamnesa penting
yakni:
1.

Anoreksia
biasanya tanda
pertama. 2.

Nyeri, permulaan
nyeri timbul pada
daerah sentral
(viseral) lalu
kemudian
menjalar ketempat
appendics yang
meradang
(parietal).
Retrosekal/nyeri
punggung/pingga
ng. Postekal/nyeri
terbuka. 3.

Diare, Muntah,
demam derajat
rendah, kecuali
ada perforasi.
Gejala usus buntu
bervariasi
tergantung
stadiumnya; 1.

Penyakit Radang
Usus Buntu akut
(mendadak) Pada
kondisi ini gejala
yang ditimbulkan
tubuh akan panas
tinggi Demam
bisa mencapai
37,8-38,8°
Celsius, mual-
muntah, nyeri
perut kanan
bawah, buat
berjalan jadi sakit
sehingga agak
terbongkok,
namun tidak
semua orang akan
menunjukkan
gejala seperti ini,
bisa juga hanya
bersifat meriang,
atau mual-muntah
saja 2.

Penyakit Radang
Usus Buntu
kronik Pada
stadium ini gejala
yang timbul
sedikit mirip
dengan sakit maag
dimana terjadi
nyeri samar
(tumpul) di daerah
sekitar pusar dan
terkadang demam
yang hilang
timbul. Seringkali
disertai dengan
rasa mual, bahkan
kadang muntah,
kemudian nyeri
itu akan berpindah
ke perut kanan
bawah dengan
tanda-tanda yang
khas pada
apendisitis akut
yaitu nyeri pd titik
Mc Burney (titik
tengah antara
umbilicus dan
Krista iliaka
kanan).
Penyebaran rasa
nyeri akan
bergantung pada
arah posisi/letak
usus buntu itu
sendiri terhadap
usus besar,
Apabila ujung
usus buntu
menyentuh
saluran kencing
ureter, nyerinya
akan sama dengan
sensasi nyeri kolik
saluran kemih,
dan mungkin ada
gangguan
berkemih. Bila
posisi usus
buntunya ke
belakang, rasa
nyeri muncul pada
pemeriksaan tusuk
dubur atau tusuk
vagina. Pada
posisi usus buntu
yang lain, rasa
nyeri mungkin
tidak spesifik.
(Anonim, 2008)
e.

Patofisiologi
Hingga saat ini
etiologi dari
apendisitis akut
masih belum jelas
diketahui dengan
pasti. Selama ini
dipercaya bahwa
obstruksi lumen
apendiks
merupakan
penyebab
tersering, diikuti
oleh infeksi
bakteri sekunder
pada dinding
apendiks. Fekalit,
hiperplasi limfoid,
benda asing,
parasit dan tumor
merupakan
penyebab
obstruksi pada
apendisitis akut
(Prystowsky,
2005; Birnbaum
dan Wilson,
2000). Pada
penelitian
eksperimental
yang dilakukan
oleh Wangensteen
dan Dennis (1939)
ditemukan
obstruksi lumen
yang pada
akhirnya menjadi
apendisitis akut.
Dasar teori ini
adalah obstruksi
menyebabkan
inflamasi,
meningkatkan
tekanan
intralumen dan
pada akhirnya
terjadi iskemia.
Apendiks
mempunyai lumen
yang relatif lebih
kecil apabila
dihubungkan
dengan
panjangnya.
Konfigurasi ini
merupakan
predisposisi
terbentuknya
obstruksi “closed
-
loop” dan
berlanjut menjadi
inflamasi.
Obstruksi
lumen yang
terjadi pada
bagian proksimal
membuat tekanan
intralumen di
distal dari
obstruksi
meningkat.
Kapasitas lumen
apendiks hanya 1
ml, dimana
peningkatan
volume
intralumen
sebesar 0,5 ml
dapat
meningkatkan
tekanan
intralumen
sebesar 50-65
mmHg. Sekali
tekanan
intralumen
melebihi 85
mmHg, terjadilah
trombosis pada
vena yang
menyebabkan
kongesti
pembuluh darah,
drainase limfatik
terganggu dan
apendiks
membengkak.
Pada saat
pembuluh darah
kongesti, mukosa
apendiks menjadi
hipoksik dan
terjadi ulserasi.
Hal ini
menimbulkan
kerusakan pada
barrier.
mukosa
menyebabkan
invasi bakteri
intralumen ke
dinding apendiks.
Kebanyakan
bakteri yang
teridentifikasi
merupakan bakteri
gram negatif,
yaitu Escherichia
coli (70%),
Bacteroides
fragilis (70%),
Enterococcus
(30%) dan
Pseudomonas
(20%). Secara
umum, lebih dari
10 jenis bakteri
dapat ditemukan.
Perbandingan
bakteri anaerobik
dan aerobik
adalah 3:1. Pada
tahap awal
apendisitis akut,
kerusakan mukosa
yang terjadi oleh
karena infeksi dan
inflamasi
merupakan
karakteristik yang
ditemukan pada
pemeriksaan
patologi. Proses
inflamasi dapat
berlanjut pada
serosa apendiks,
melibatkan
peritoneum
parietalis sehingga
menyebabkan
nyeri yang
spesifik pada
perut kanan
bawah. Jika
proses ini
terlampaui,
tekanan
intralumen
meningkat
merangsang
terjadinya infark
vena,
nekrosis “full
-
thickness” dan
akhirnya perfor
asi. Perforasi
dapat berlanjut
menjadi
peritonitis atau
berkembang
membentuk abses.
Waktu untuk
terjadinya gangren
dan perforasi
bervariasi. Waktu
terjadinya nyeri
abdomen pada
apendiks
gangrenosa adalah
46,2 jam dan pada
perforasi adalah
70,9 jam
(Prystowsky,
2005; Petroianu,
2012). Fekalit
yang diduga
sebagai penyebab
obstruksi pada
apendisitis akut
seringkali tidak
ditemukan pada
saat operasi (Carr,
2000). Pada
penelitian dalam
skala kecil yang
dilakukan oleh
Horton (1977),
dilaporkan fekalit
hanya ditemukan
sebanyak 9%
sedangkan 25%
lumen berisi
kosong. Sisa
kasus lainnya
lumen berisi feses
yang lembek dan
material purulen.
Penelitian tersebut
diperkuat oleh
Arnbjörnsson dan
Bengmark (1984)
yang mengukur
tekanan
intralumen pada
33 pasien yang
menjalani
apendisektomi.
Mereka
melaporkan
tekanan
intralumen yang
tidak meningkat
pada sebagian
besar kasus,
terutama pada
apendisitis
phlegmonosa.
Obstruksi
apendiks dengan
peningkatan
tekanan
intralumen timbul
oleh karena
proses inflamasi
dan berhubungan
dengan apendisitis
gangrenosa.
Sisson, dkk.
(1971)
melaporkan
ulserasi yang
terbentuk pada
mukosa
superfisial terjadi
lebih awal
daripada dilatasi
apendiks. Infeksi
virus disinyalir
memiliki peran
penting
terbentuknya
ulserasi tersebut.
Hal ini diikuti
oleh invasi
bakteri sekunder
yang pada
akhirnya
menyebabkan
timbulnya
apendisitis akut.
Apendisitis akut
lebih sering
dijumpai di
negara maju
dibanding negara
berkembang.
Kebiasaan dalam
mengkonsumsi
makanan rendah
serat dan
pengaruh
konstipasi
berperan dalam
timbulnya
penyakit
apendisitis. Feses
yang keras dapat
menyebabkan
terjadinya
konstipasi.
Kemudian
konstipasi akan
menyebabkan
meningkatnya
tekanan intrasekal
yang berakibat
timbulnya
sumbatan
fungsional
apendiks dan
meningkatnya
pertumbuhan
kuman flora kolon
biasa. Sayuran
hijau dan tomat
memegang peran
sebagai pelindung
mukosa apendiks
dari invasi bakteri
(Prystowsky,
2005).
Terputusnya
kontinuitas jaringan
Resiko infeksi Nyeri
Resiko kekurangan
volume cairan
f.

Pathway / WOC
(Web Of Caution)
Idiopatik makan
tak teratur Kerja
fisik yang keras
Massa keras feses
Obstruksi lumen
Suplay aliran
darah menurun
Mukosa terkikis

Perforasi
Peradangan pada
appendiks distensi
abdomen

Abses

Peritonitis
nyeri
Menekan gaster
Appendiktomy
pembatasan intake
cairan
peningkatan
produksi HCL
Insisi bedah mual,
muntah
Ansietas
Gangguan pola
eliminasi
Kerusakan integritas
kulit
g.
Pemeriksaan
Diagnostik
1)

Pemeriksaan
darah lengkap:
menunjukkan
adanya
peningkatan
jumlah leukosit.
2)

Pemeriksaan urin
rutin: ditemukan
sejumlah kecil
eritrosit dan
leukosit. 3)

Foto abdomen:
gambaran fekalit,
adanya massa
jaringan lunak di
abdomen kanan
bawah, dan
mengandung
gelembung-
gelembung udara.
4)

USG
menunjukkan
gambaran
apendiksitis. 5)

Pemeriksaan fisik
nyeri tekan pada
titik Mc Burney.
h.
Komplikasi
1)

Abses akibat dari


perforasi dinding
apendiks. 2)
Peritonitis akibat
infeksi dari
perforasi dinding
apendiks yang
menyebar ke
seluruh rongga
perut.
i.
Terapi dan
pengobatan medis
1)

Pre Operasi
-
Istirahat tirah
baring: untuk
observasi dalam
8-12 jam setelah
keluhan.

-
Puasa: pemberian
cairan parenteral
jika pembedahan
langsung
dilakukan.

-
Terapi
pharmacologic:
narkotik dihindari
karena dapat
menghilangkan
tanda dan gejala,
antibiotik untuk
menanggulangi
infeksi.
-

NGT untuk
mengeluarkan
cairan lambung
jika diperlukan.
-

Enema dan
laxantria tidak
boleh diberikan
karena dapat
meningkatkan
peristaltik usus
meningkat dan
menyebabkan
perforasi.

Pembedahan:
apendiktomi
secepatnya
dilakukan bila
diagnosanya tepat.
2)

Post Operasi
-
Observasi TTV:
syok, hipertermi,
gangguan
pernafasan

-
Klien dipuasakan
sampai fungsi
usus kembali
normal.

-
Berikan minum
mulai 15 ml/am
selama 4-5 jam
lalu naikkan
menjadi 30
ml/jam. Keesokan
harinya diberikan
makanan saring
dan hari
berikutnya lunak.

Aktivitas: satu
hari pasca operasi
klien dianjurkan
untuk duduk tegak
di tempat tidur
selama 2x30
menit. Pada hari
kedua klien dapat
berdiri dan duduk
di luar kamar.

-
Antibiotik dan
analgesik.

Jahitan diangkat
hari ketujuh.
C.

Konsep askep a.

Pengkajian
Pengkajian
merupakan tahap
awal dan landasan
proses
keperawatan
untuk mengenal
masalah klien,
agar dapat
memberi arah
kepada tindakan
keperawatan.
Tahap pengkajian
terdiri dari tiga
kegiatan, yaitu
pengumpulan
data,
pengelompokkan
data dan
perumusan
diagnosis
keperawatan.
(Lismidar, 1990).
a)

Identitas pasien
Identitas pasien
meliputi nama,
umur, jenis
kelamin, agama,
pendidikan,
pekerjaan,
alamat, status
pekerjaan. b)

Riwayat
kesehatan

Keluhan Utama
Nyeri pada
daerah abdomen
kanan bawah,
nyeri sekitar
umbilicus.

Keluhan utama
saat pengkajian

Riwayat
kesehatan
sekarang Pasien
mengatakan nyeri
pada daerah
abdomen kanan
bawah yang
menembus
kebelakang
sampai pada
punggung dan
mengalami
demam tinggi.

Riwayat
kesehatan dahulu
Apakah klien
pernah mengalami
operasi
sebelumnya pada
colon.

Riwayat alergi

Riwayat
kesehatan
keluarga Apakah
anggota keluarga
ada yang
mengalami jenis
penyakit yang
sama. c)

Pola fungsi
kesehatan 1.
Persepsi dan
pemeliharaan
kesehatan
Adakah ada
kebiasaan
merokok,
penggunaan obat-
obatan, alkohol
dan kebiasaan
olah raga (lama
frekwensinya),
karena dapat
mempengaruhi
lamanya
penyembuhan
luka. 2.
Nutrisi dan
metabolic Klien
biasanya akan
mengalami
gangguan
pemenuhan nutrisi
akibat
pembatasan
intake makanan
atau minuman
sampai peristaltik
usus kembali
normal. 3.
Aktivitas dan
latihan Aktivitas
dipengaruhi oleh
keadaan dan
malas bergerak
karena rasa nyeri,
aktifitas biasanya
terbatas karena
harus bedrest
berapa waktu
lamanya setelah
pembedahan. 4.

Tidur istirahat
Insisi pembedahan
dapat
menimbulkan
nyeri yang sangat
sehingga dapat
mengganggu
kenyamanan pola
tidur klien. 5.

Eliminasi Pada
pola eliminasi
urine akibat
penurunan daya
konstraksi
kandung kemih,
rasa nyeri atau
karena tidak biasa
BAK ditempat
tidur akan
mempengaruhi
pola eliminasi
urine. Pola
eliminasi alvi
akan mengalami
gangguan yang
sifatnya sementara
karena pengaruh
anastesi sehingga
terjadi penurunan
fungsi. 6.

Pola persepsi
kesehatan (konsep
diri) Penderita
menjadi
ketergantungan
dengan adanya
kebiasaan gerak
segala kebutuhan
harus dibantu.
Klien mengalami
kecemasan
tentang keadaan
dirinya sehingga
penderita
mengalami emosi
yang tidak stabil.
7.

Peran dan
hubungan social
Dengan
keterbatasan gerak
kemungkinan
penderita tidak
bisa melakukan
peran baik dalam
keluarganya dan
dalam
masyarakat.
Penderita
mengalami emosi
yang tidak stabil.
8.

Seksual dan
reproduksi
Adanya larangan
untuk
berhubungan
seksual setelah
pembedahan
selama beberapa
waktu. 9.

Manajemen
koping Sebelum
MRS : klien kalau
setres
mengalihkan pada
hal lain. Sesudah
MRS : klien kalau
stress murung
sendiri, menutup
diri 10.
Kognitif
perceptual
Ada tidaknya
gangguan sensorik
nyeri, penglihatan
serta
pendengaran,
kemampuan
berfikir,
mengingat masa
lalu, orientasi
terhadap orang
tua, waktu dan
tempat. 11.
Nilai dan
kepercayaan
Sebelum MRS :
klien rutin
beribadah, dan
tepat waktu.
Sesudah MRS :
klien biasanya
tidak tepat waktu
beribadah. d)

Pemeriksaan Fisik
a.

Kedaan umum :
kesadaran
composmentis,
wajah tampak
menyeringai,
konjungtiva
anemis. b.

Sistem
kardiovaskuler :
ada distensi vena
jugularis, pucat,
edema, TD
>110/70mmHg;
hipertermi. c.

Sistem respirasi :
frekuensi nafas
normal (16-
20x/menit), dada
simetris, ada
tidaknya
sumbatan jalan
nafas, tidak ada
gerakan cuping
hidung, tidak
terpasang O
2
, tidak ada ronchi,
whezing, stridor.
d.

Sistem hematologi
: terjadi
peningkatan
leukosit yang
merupakan tanda
adanya infeksi
dan pendarahan.
e.

Sistem
urogenital : ada
ketegangan
kandung kemih
dan keluhan sakit
pinggang serta
tidak bisa
mengeluarkan
urin secara lancer
f.
Sistem
muskuloskeletal :
ada kesulitan
dalam
pergerakkan
karena proses
perjalanan
penyakit. g.
Sistem Integumen
: terdapat oedema,
turgor kulit
menurun, sianosis,
pucat. h.
Abdomen :
terdapat nyeri
tekan
,
peristaltik pada
usus ditandai
dengan distensi
abdomen.
b.
Diagnosa
keperawatan a.

Pre Operasi 1.

Nyeri
berhubungan
dengan distensi
jaringan usus oleh
inflamasi, adanya
insisi bedah. 2.

Gangguan pola
eliminasi
(konstipasi)
berhubungan
dengan penurunan
peritaltik. 3.

Resiko
kekurangan
volume cairan
berhubungan
dengan
berhubungan
dengan inflamasi
peritoneum
dengan cairan
asing, muntah
praoperasi,
pembatasan pasca
operasi. 4.
Cemas
berhubungan
dengan akan
dilaksanakan
operasi.
b.
Post Operasi 1.

Nyeri
berhubungan
dengan agen injuri
fisik (luka insisi
post operasi
appenditomi).
2.

Resiko infeksi
berhubungan
dengan tidak ade
kuatnya
pertahanan utama,
perforasi,
peritonitis
sekunder terhadap
proses inflamasi.
3.

Risiko
kekurangan cairan
berhubungan
dengan mual dan
muntah
c.

Intervensi
Keperawatan
a.
Pre Operasi
Diagnosa
Keperawatan
Tujuan dan
Kriteria Hasil
Intervensi
Rasional
Nyeri
berhubungan
dengan distensi
jaringan usus oleh
inflamasi, adanya
insisi bedah.
Setelah diberikan
asuhan
keperawatan
selama .. x.. jam
diharapkan nyeri
dapat berkurang
dengan kriteria
hasil : 1.

Pasien tampang
tenang. 2.
Pasien tampak
rileks. 3.

Pasien dapat
istrahat dengan
cukup. 1.
Kaji skala nyeri
lokasi,
karakteristik dan
laporkan
perubahan nyeri
dengan tepat. 2.
Observasi skala
nyeri pasien. 3.

Pertahankan
istirahat dengan
posisi semi
powler. 4.
Beri lingkungan
yang nyaman. 5.

Lakukan tehnik
distraksi. 6.
Kolaborasi
pemberian
analgetik 1.

Digunakan untuk
pengawasan dan
keefesien obat,
kemajuan
penyembuhan,
perubahan dan
karakteristik
nyeri. 2.

Untuk mengetahui
tingkat nyeri
pasien dan
membandingkan
sebelum dan
sesudah dilakukan
intervensi. 3.

Menghilangkan
tegangan abdomen
yang bertambah
dengan posisi
terlentang. 4.

Lingkungan
berpengaruh
terhadap keadaan
nyeri pasien.
5.

Dengan
mengalihkan
perhatian pasien
diharapkan
perhatian pasien
tidak terfokus
pada nyeri
sehingga pasien
dapat
memanajemen
nyeri. 6.

Untuk
mengurangi nyeri
pasien. Gangguan
pola eliminasi
(konstipasi)
berhubungan
dengan
penurunan
peritaltik. Setelah
diberikan asuhan
keperawatan
selama .. x.. jam
diharapkan
konstipasi pasien
dapat teratasi
dengan kriteria
hasil : 1.
BAB 1-2 kali/hari.
2.

Feses lunak. 3.

Bising usus 5-30


kali/menit 1.
Pastikan
kebiasaan
defekasi klien dan
gaya hidup
sebelumnya. 2.

Auskultasi bising
usus. 3.
Tinjau ulang pola
diet dan jumlah /
tipe masukan
cairan. 4.

Berikan makanan
tinggi serat. 5.
Berikan obat
sesuai indikasi,
contoh : pelunak
feses. 1.

Membantu dalam
pembentukan
jadwal irigasi
efektif 2.

Kembalinya
fungsi
gastriintestinal
mungkin
terlambat oleh
inflamasi intra
peritonial. 3.

Masukan adekuat
dan serat,
makanan kasar
memberikan
bentuk dan cairan
adalah faktor
penting dalam
menentukan
konsistensi feses.
4.

Makanan yang
tinggi serat dapat
memperlancar
pencernaan
sehingga tidak
terjadi konstipasi.
5.

Obat pelunak
feses dapat
melunakkan feses
sehingga tidak
terjadi konstipasi.
Resiko
kekurangan
volume cairan
berhubungan
dengan inflamasi
peritoneum
dengan cairan
asing, muntah
praoperasi,
pembatasan pasca
operasi. Setelah
diberikan asuhan
keperawatan
selama .. x.. jam
diharapkan
kebutuhan volume
cairan dapat
terpenuhi dengan
kriteria hasil : 1.

Nafsu makan
baik. 2.

Tidak terjadi mual


dan muntah. 3.
Membran mukosa
lembab. 4.

Turgor kulit baik.


1.
Kaji tanda-tanda
dehidrasi pasien.
2.

Awasi cairan
masuk dan cairan
keluar. 3.
Awasi vital sign:
Evaluasi nadi,
pengisian kapiler,
turgor kulit dan
membran mukosa.
4.
Beri cairan sedikit
demi sedikit tapi
sering. 5.

Apabila pasien
menunjukkan
tanda-tanda 1.
Untuk melihat
apakah pasien
mengalami tanda-
tanda dehidrasi
agar dapat
mengetahui
tindakan yang
harus dilakukan.
2.
Untuk menjaga
keseimbangan
volume cairan
tubuh. 3.

Indikator hidrasi
volume cairan
sirkulasi dan
kebutuhan
intervensi. 4.

Untuk
5.

Tanda

tanda vital stabil.
dehidrasi, berikan
cairan melalui
intravena.
meminimalkan
hilangnya cairan.
5.

Untuk memenuhi
kebutuhan cairan
pasien, jangan
memberi cairan
per oral karena
pasien yang akan
dilakukan
tindakan
apendiktomi harus
dipuasakan.
Cemas
berhubungan
dengan akan
dilaksanakan
operasi. Setelah
diberikan asuhan
keperawatan
selama .. x.. jam
diharapkan
kecemasan pasien
berkurangdengan
kriteria hasil : 1.
Melaporkan
ansietas menurun
sampai tingkat
teratasi 2.

Pasien tampak
rileks 1.
Evaluasi tingkat
ansietas, catat
verbal dan non
verbal pasien. 2.

Jelaskan dan
persiapkan untuk
tindakan prosedur
sebelum
dilakukan 3.

Jadwalkan
istirahat adekuat
dan periode
menghentikan
tidur. 4.

Anjurkan keluarga
untuk menemani
1.
Ketakutan dapat
terjadi karena
nyeri hebat,
penting pada
prosedur
diagnostik dan
pembedahan. 2.
Dapat
meringankan
ansietas terutama
ketika
pemeriksaan
tersebut
melibatkan
pembedahan. 3.
Membatasi
kelemahan,
menghemat energi
dan meningkatkan
disamping klien
kemampuan
koping. 4.

Mengurangi
kecemasan klien
b.
Post Operasi
Diagnosa
Keperawatan
Tujuan dan
Kriteria Hasil
Intervensi
Rasional
Nyeri
berhubungan
dengan agen injuri
fisik (luka insisi
post operasi
appenditomi).
Setelah diberikan
asuhan
keperawatan
selama .. x.. jam
diharapkan nyeri
dapat berkurang
dengan kriteria
hasil : 1.

Melaporkan nyeri
berkurang. 2.
Klien tampak
rileks. 3.

Dapat tidur
dengan tepat. 4.
Tanda-tanda vital
dalam batas
normal. 5.

TD (systole 110-
130mmHg,
diastole 70-
90mmHg),
HR(60-
100x/menit), RR
(16-1.

Kaji skala nyeri


lokasi,
karakteristik dan
laporkan
perubahan nyeri
dengan tepat. 2.

Monitor tanda-
tanda vital. 3.

Pertahankan
istirahat dengan
posisi semi
powler. 4.

Dorong ambulasi
dini. 5.

Berikan aktivitas
hiburan. 6.
Kolborasi tim
dokter dalam
pemberian
analgetika. 1.

Berguna dalam
pengawasan dan
keefesien obat,
kemajuan
penyembuhan,per
ubahan dan
karakteristik
nyeri. 2.
Deteksi dini
terhadap
perkembangan
kesehatan pasien.
3.

Menghilangkan
tegangan
abdomen yang
bertambah
dengan posisi
terlentang. 4.

Meningkatkan
kormolisasi fungsi
organ. 5.
Meningkatkan
relaksasi. 6.

Menghilangkan
nyeri.
24x/menit), suhu
(36,5-37,5
0
C) Resiko infeksi
berhubungan
dengan tidak ade
kuatnya
pertahanan
utama, perforasi,
peritonitis
sekunder terhadap
proses inflamasi.
Setelah diberikan
asuhan
keperawatan
selama .. x.. jam
diharapkan tidak
terjadi infeksi
dengan kriteria
hasil : 1.

Pertumbuhan luka
berjalan baik. 2.
Tidak ada tanda
infeksi dan
peradangan. 1.

Kaji tanda-tanda
infeksi pada
pasien. 2.
Ukur tanda-tanda
vital. 3.

Observasi tanda-
tanda infeksi. 4.

Lakukan
perawatan luka
dengan
menggunakan
teknik septik dan
aseptik. 5.

Jaga luka agar


tetap steril. 6.
Observasi luka
insisi. 7.

Informasikan
kepada keluagra
pasien untuk
tidak membuka
balutan luka,
menjaga luka agar
tetap kering. 8.

Berikan salep
betadine di atas
luka pasien. 1.
Untuk melihat
apakah ada tanda-
tanda infeksi
(kalor, dolor,
lubor, tumor, dan
perubahan
fungsi), pus,
jaringan nekrotik.
2.
Untuk mendeteksi
secara dini gejala
awal terjadinya
infeksi 3.
Deteksi dini
terhadap infeksi
akan mudah 4.

Menurunkan
terjadinya resiko
infeksi dan
penyebaran
bakteri. 5.

Untuk
menghindari
perkembangan
bakteri pada luka.
6.
Memberikan
deteksi dini
terhadap infeksi
dan
perkembangan
luka. 7.

Luka yang lembab


menyebabkan
infeksi karena
bakteri dapat
berkembang. 8.
Untuk mencegah
infeksi pada luka.
Risiko
kekurangan cairan
berhubungan
dengan mual dan
muntah
Setelah diberikan
asuhan
keperawatan
selama .. x.. jam
diharapkan
kebutuhan volume
cairan dapat
terpenuhi dengan
kriteria hasil : 1.

Nafsu makan
baik. 2.

Tidak terjadi mual


dan muntah. 3.
Membran mukosa
lembab. 4.

Turgor kulit baik.


5.

Tanda

tanda vital stabil.
1.

Kaji tanda-tanda
dehidrasi pasien.
2.
Awasi cairan
masuk dan cairan
keluar. 3.

Awasi vital sign:


Evaluasi nadi,
pengisian kapiler,
turgor kulit dan
membran mukosa.
4.

Beri cairan sedikit


demi sedikit tapi
sering. Apabila
pasien
menunjukkan
tanda-tanda
dehidrasi, berikan
cairan melalui
intravena. 1.

Untuk melihat
apakah pasien
mengalami tanda-
tanda dehidrasi
agar dapat
mengetahui
tindakan yang
harus dilakukan.
2.
Untuk menjaga
keseimbangan
volume cairan
tubuh. 3.

Indikator hidrasi
volume cairan
sirkulasi dan
kebutuhan
intervensi. 4.

Untuk
meminimalkan
hilangnya cairan.
Untuk memenuhi
kebutuhan cairan
pasien, jangan
memberi cairan
per oral karena
pasien yang akan
dilakukan
tindakan
apendiktomi harus
dipuasakan
Kerusakan
integritas kulit
berhubungan
dengan faktor
mekanik (mis.,
daya gesek, tekan,
imobilitas fisik)
(00046)
Setelah dilakukan
tindakan
keperawatan
selama 3 x 24
jam, di harapkan
integritas kulit
membaik
Nursing Outcome
Classification
(NOC)
:
Peyembuhan luka:
primer (1102)
(hal: 431) 1.
Memperkirakan
[kondisi] kulit (4-
5) 2.

Memperkirakan
[kondisi] tepi luka
(4-5) 3.
Pembentukan
bekas luka (4-5)
Keterangan : 1.
Berat 2. Agak
Berat 3. Sedang 4.
Sedikit 5. Tidak
Ada
Pengawasan kulit
1.
Observasi
ekstremitas untuk
warna, keringat,
nadi, tekstur,
edema dan luka 2.
Monitor adanya
infeksi 3.

Catat perubahan
kulit dan
membran
Manajemen
Tekanan
1.

Monitor status
nutrisi pasien 2.

Monitor sumber
tekanan 3.
Mobilisasi pasien
minimal setiap 2
jam sekali 4.

Ajarkan pasien
untuk
menggunak an
pakaian yang 1.
menentukan garis
dasar dimana
perubahan pada
status dapat
dibandingkan dan
melakukan
intervensi yang
tepat 2.

memonitor adanya
infeksi untuk
mengantisipasi
terjadinya infeksi
3.
mengevaluasi
perubahan kulit
dan membran 1.

nutrisi berguna
untuk proses
penyembuhan
sehingga
mempercepat
pertumbuhan sel-
sel kulit baru 2.

tekanan dapat
mempengaruhi
terhambatnya
pertumbuhan
kulit baru 3.

menghindari
terjadinya
penekanan diarea
kulit yang terluka
4.
menghindari
terjadinya gesekan
antara permukaan
kulit
longgar. yang luka
dan pakaian
1.

Implementasi
Pada tahap ini
dilakukan
pelaksanaan dari
perencanaan
keperawatan yang
telah ditentukan
dengan tujuan
untuk memenuhi
kebutuhan klien
secara
optimal.Pelaksana
an adalah
pengelolaan dan
perwujudan dari
rencana
keperawatan yang
telah di susun
pada tahap
pencanaan.
(Nasrul Effe).
2.
Evaluasi
Evaluasi adalah
tahap akhir proses
keperawatan.
Sesuai dengan
rencana tindakan
yang telah
diberikan,
dilakukan
penilaian
(evaluasi) dengan
menggunakan
SOAP secara
oprasional. S :
Subjektif.
Disesuaikan
dengan data fokus
dan NOC. O :
Objektif.
Disesuaikan
dengan data fokus
dan NOC. A :
Assisment. Ada 3
alternatif
diantaranya tujuan
tercapai, tujuan
tercapai sebagian,
dan tujuan tidak
tercapai. P :
Planning.
Menggunakan
rencana
keperawatan
selanjutnya
berupa
pertahankan
kondisi pasien,
dan lanjutkan
intervensi.
DAFTAR
PUSTAKA
Elizabeth, J,
Corwin. (2009).
Biku saku
Fatofisiologi,
EGC, Jakarta.
Johnson, M.,
et all,
2002,
Nursing
Outcomes
Classification
(NOC)
Second Edition,
IOWA
Intervention
Project, Mosby.
NANDA, 2012,
Diagnosis
Keperawatan
NANDA :
Definisi dan
Klasifikasi.
Smeltzer, Bare
(2002).
Buku Ajar
Keperawatan
Medikal Bedah
. Brunner &
suddart. Edisi 8.
Volume 2. Jakarta,
EGC Doengoes,
M. E. (2000),
Rencana Asuhan
Keperawatan :
Pedoman
Perencanaan
untuk
Perencanaan dan
Pendokumentasia
n Perawatan
Pasien. EGC,
Jakarta. Engram,
Barbara. (1991)
Rencana Asuhan
Keperawatan
Medikal Bedah.
Alih bahasa
Suharyati Samba,
Volume I, EGC,
Jakarta Reeves, J.
C. dkk (2001),
Keperawatan
Medikal Bedah,
Penerjemah Joko
Setyono, Salemba
Medika, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai