Anda di halaman 1dari 38

PERLUNYA MANAJEMEN DALAM KONTEKS ADMINISTRASI PUBLIK

Administrasi Publik memiliki peran yang penting dalam konteks


penyelenggaraan pemerintahan di berbagai negara. Peran penting administrasi
publik adalah mewujudkan tujuan utama dibentuknya Negara yaitu kesejahteraan
seluruh rakyat. Dalam konteks Indonesia, tujuan negara adalah sebagaimana yang
tertuang dalam UUD 1945 alinea iv.

Perjalanan penyelenggaraan Administrasi Publik sebagai alat pencapai


tujuan utama negara yang demikian, telah mengalami berbagai macam
perkembangan mulai dari sebelum lahirnya konsep Negara Bangsa sampai lahirnya
ilmu modern Administrasi Publik yang hingga detik ini telah mengalami beberapa
pergeseran paradigma, mulai model klasik yang berkembang dalam kurun waktu
1855/1887 sampai akhir 1980an. New Public Management (NPM) yang
berkembang di tahun 1980an sampai pertengahan tahun 1990an; sampai
paradigma Good Governance yang berkembang sejak pertengahan tahun 1990an
hingga saat ini. Pergeseran paradigma Administrasi Publik membawa pengaruh
terhadap penyelenggaraan peran Administrasi Publik yang berkaitan dengan
pelaksanaan strategi, pengelolaan organisasi internal, dan interaksi antara aktor-
aktor dalam Administrasi Publik. Pengaruh pergeseran paradigma Administrasi
Publik terhadap aspek-aspek kehidupan negara tersebut akan sangat menentukan
model dan ragam dalam penyelenggaraan Pemerintahan dari sebuah Negara,
termasuk Indonesia yang pergeseran paradigma Administrasi Publik-nya dalam
suatu kondisi dipengaruhi dan mempengaruhi system-sistem lainnya. Model
Pemerintahan sangat ditentukan oleh bagaimana kondisi lokal di negara tersebut,
artinya sejauhmana Administrasi Publik di Negara tersebut telah beradaptasi
dengan perkembangan paradigma yang ada, dan sejauh mana adaptasi terhadap
perkembangan paradigma tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan
keadaan lokal, fenomena-fenomena dan permasalahan yang terdapat di Negara
tersebut.
Paradigma Administrasi Publik Klasik Dan Pergeserannya Menuju NPM

Administrasi Publik Klasik dikenal juga dengan sebutan Administrasi Negara


Tradisional atau Lama. Paradigma ini merupakan paradigma yang berkembang pada
awal kelahiran Ilmu Administrasi Publik. Tokoh paradigma ini adalah antara lain
adalah pelopor berdirinya Ilmu Administrasi Publik Woodrow Wilson dengan
karyanya “The Study of Administration”(1887) serta F.W. Taylor dengan bukunya
“Principles of Scientific Management”

Dalam bukunya ”The Study of Administration”, Wilson berargumen mengenai


empat konsep : (1) adanya pemisahan antara Politik dan Adminstrasi Publik; (2)
perlunya mempertimbangkan aktivitas pemerintah dari perspektif bisnis; (3) analisis
perbandingan antara organisasi politik dan privat melalui skema politik; serta (4)
pencapaian manajemen yang efektif melalui pemberian pelatihan kepada pegawai
negeri dan dengan memberi penilaian terhadap kualitas kinerja mereka. Wilson
juga berpendapat bahwa problem utama yang dihadapi pemerintah eksekutif
adalah rendahnya kapasitas administrasi. Untuk mengembangkan birokrasi
pemerintah yang efektif dan efisien, diperlukan pembaharuan administrasi
pemerintahan dengan jalan meningkatkan profesionalisme manajemen
Administrasi Publik. Untuk itu, diperlukan ilmu yang diarahkan untuk melakukan
reformasi birokrasi dengan mencetak aparatur publik yang profesional dan non-
partisan. Karena itu, tema dominan dari pemikiran Wilson adalah aparat atau
birokrasi yang netral dari politik. Administrasi negara harus didasarkan pada prinsip-
prinsip manajemen ilmiah dan terpisah dari hiruk pikuk kepentingan politik. Inilah
yang dikenal sebagai konsep dikotomi politik dan administrasi. Administrasi Publik
merupakan pelaksanaan hukum publik secara detail dan terperinci, karena itu
menjadi bidangnya birokrat tehnis. Sedang politik menjadi bidangnya politisi.
Pemisahan antara politik dan Administrasi Publik ini menjadi subyek perdebatan
hangat untuk jangka waktu yang lama. Perbedaan pandangan terhadap hal ini juga
menjadi pembeda terhadap sejumlah pemikiran dalam Ilmu Administrasi Publik.
Diskusi tentang dikotomi Politik dan Administrasi Publik memiliki peranan
penting karena turut memberi warna pada pemikiran tokoh Luther Gulick dan
Lyndall Urwick. Gulick dan Urwick merupakan pendiri Ilmu Administrasi
mengadopsi ide Henry Fayol kedalam teori komprehensif administrasi. Gulick dan
Urwick yakin bahwa penadopsian ide Fayol yang menawarkan perlakuan secara
sistematis dalam manajemen dapat diaplikasikan baik pada manajemen
perusahaan maupun pada Ilmu Administrasi Publik. Menurut Gulick dan Urwick dua
disiplin ilmu ini (Ilmu Manajemen dan Ilmu Administrasi Publik) tidak perlu
dipisahkan menjadi disiplin ilmu yang berbeda tetapi disatukan menjadi sebuah
ilmu tunggal dari administrasi yang akan melewati batas-batas antara sektor privat
dan sektor publik.

Administrasi Publik model klasik cenderung menggunakan pendekatan


legalistic. Karena dalam pandangan klasik, Administrasi Publik dianggap sebagi
perangkat Institusi NNegara, proses, prosedur, sistemdan struktur organisasi, serta
praktek dan perilaku mengelola urusan-urusan publik. Administrasi Publik sebagi
organisasi birokrasi bekerja malalui seperangkat aturan dengan legitimasi, delegasi,
kewenangan rasional-legal, keahlian, adil, kontinu, cepat dan akurat, dapat
diprediksi, berstandar, intregitas dan profesionalisme dalam rangka memuaskan
kepentingan masayarakat umum (ESC-UN, 2004). Administrasi Publik sebagai
sebuah instrument Negara diharapkan untuk menyediakan basis fundamental bagi
perkembangan masyarakat dan menjamin rasa aman, termasuk menjamin
kebebasan individu, perlindungan akan kehidupan dan kepemilikan, keadilan,
perlindungan HAM, stabilitas, dan resolusi konflik secara damai baik dalm
mengalokasikan atau mendistribusikan sumberdaya maupun dalam hal-hal lainnya
(Economic and Social Council UN, 2004, 5). Inti dari pendekatan legalistik yang
digunakan dalam Administrasi Publik Klasik adalah, efektifitas harus ada dalam
administrasi publik untuk menjamin keberlanjutan aturan hukum.

Dalam administrasi publik model klasik menurut Stoker (2004), pemerintah


memeiliki tugas kunci yaitu untuk menyampaikan sejumlah pelayanan publik serta
menyediakan kesejahteraan. Tugas kunci ini dapat diserahkan kepaa aparat
pemerintah dan politisi. Dalam menyediakan pelayanan sebagai wujud dari
pelaksanaan tugas kuncinya, Administrasi Publik menunjukkan dominasinya sebagi
aktor utama dan membiayainya dari hasil pemungutan pajak dan penggunaan
dana-dana pemerintah lainnya. Ole karena itu, menurut Stoker, dominasi yang
demikian dapat membuat penyediaan pelayanan tersebut menjadi tidak efisien
khusunya apabila terjadi kesenjangan sumberdaya dan kapasitas dari administrasi
publik manjadi tidak efektif (Stoker, 2004,20). Hal ini menjadi salah satu kritik
terhadap Administrasi Publik Klasik.

Kritik lain terhadap Administrasi Publik klasik berkaitan dengan karakteristik


dari Administrasi Publik klasik yang dianggap inter alia, red tape, lamban, tidak
sensitive terhadap kebutuhan masyarakat, penggunaan sumberdaya publik yang
sia-sia akibat hanya berfokus pada proses dan prosedur dibandingkan kepada hasil,
sehingga pada akhirnya menyebabkan munculnya pandangan negatif dari
masyarakat yang menganggap Administrasi Publik sebagai beban besar bagi para
pembayar pajak (Economic and Social Council UN, 2004, 6). Kritk-kritik sebagaimana
tersebut di atas kemudian menyebabkan dukungan bagi adanya Manajemen Publik
baru (New Public Management).

New Public Management (NPM) meurut Stoker (2004) mawalnya membari


penekanan tentang bagaimana menjaga biaya yang dikeluarkan dalam penyediaan
pelayanan melalui disiplin manajemen yang lebih tangguh seperti melalui efisiensi
tabungan, penggunaan target kinerja, serta penggunaan competitor untuk memilih
penyedia jasa yang paling murah. Dalam pandangan sebagai akibat dari
pertumbuhan orientasi konsumsi pemerintah dan perdebatan mengenai
reinventing government menyebabkan munculnya kebutuhan akan daya tanggap
dari Administrasi Publik dan pilihan yang lebih banyk akan penyadiaan pelayanan
publik dibandingkan hanya focus terhadap penghematan biaya saja. Intinya, yang
dimaksud dengan manajemen yang lebuh baik adalah apabila pelanggan
ditempatkan sebagai focus utama perhatian (putting customers first).
Secara umum, New Public Management (NPM) muncul tahun 1980an dan
menguat tahun 1990-an. New Public Management berusaha menggunakan pendekatan
sektor swasta dan bisnis ke sektor publik. NPM berbasis pada beberapa teori, salah satunya
adalah teori managerial movement. Managerial movement mendorong munculnya NPM
berdasarkan pada keberhasilan sektor bisnis dan publik bergantung pada profesionalitas
dan kualitas manajernya. Kemajuan dapat dicapai melalui produktivitas yang lebih besar,
dan produktivitas ini dapat ditingkatkan melalui disiplin yang ditegakkan oleh para manajer
yang berorientasi pada efisiensi dan produktivitas. NPM menggunakan mekanisme dan
terminology pasar sehingga memandang hubungan antara badan publik dengan
masyarakat sebagai layaknya transaksi penjual dan pembeli, atau layaknya sebagai
consumer dan customer tidak sebagai patron dan clien sebagaimana yang dianut oleh
paradigma sebelumnya yaitu old public administration. Dalam praktek NPM peran manajer
publik ditantang untuk selalu melakukan inovasi dalam pencapaian tujuan. Manajer publik
didesak untuk “mengarahkan bukannya mengayuh,” yang bermakna bahwa beban
pelayanan publik tidak dijalankan sendiri tetapi sebisa mungkin didorong untuk dijalankan
oleh pihak lain melalui mekanisme pasar.

New Public Management (NPM) muncul karena beberapa alasan, Owen E. Huges
di tahun 1994 mengemukakan alasan munculnya NPM: kegagalan old public administration
dalam mencapai efektifitas dan efisiensi sektor publik, sehingga perlu adanya perubahan
menuju ke arah yang berorientasi dan memusatkan perhatian pada akuntabilitas manajer
publik dan hasil (kinerja), adanya dorongan untuk berubah dari pemerintah yang kaku dan
tertutup menuju pemerintah, kebijakan dan kepegawaian yang lebih fleksibel dan
transparan. perlunya menetapkan tujuan organisasi secara jelas dan menetapkan tolak ukur
keberhasilan melalui indikator kinerja, perlu adanya komitmen politik bagi administrator
agar tidak semata-mata bersikap netral dan non-partisan, perlu adanya komitmen politik
bagi administrator agar tidak semata-mata bersikap netral dan non-partisan, dan adanya
kecenderungan untuk mereduksi peran pemerintah dengan melakukan kontrak dengan
pihak lain dan privatisasi.

Selain Owen E. Huges, pendapat tentang alasan munculnya NPM dikemukakan olen
Martin Minogue di tahun 2000: semakin membesarnya anggaran pemerintah yang
mengakibatkan beban sosial sehingga perlu adanya perubahan untuk lebih efisien dan
mengurangi peran pemerintah, rendahnya mutu pelayanan pemerintah pada masyarakat,
dan adanya nilai ideologi yang bersifat kontradiktif terhadap perubahan paradigma
pemerintahan yang membuka peluang bagi ditemukannya solusi untuk meningkatkan
kinerja pemerintah dan mereduksi ukuran dan peran pemerintah.

Sedangkan tujuan dari NPM adalah: meningkatkan efektivitas, efisiensi dan


ekonomisasi sektor publik, meningkatkan kualitas dan kuantitas out put sektor publik dan
orientasi pemerintahan yang berdaya hasil; memusatkan perhatian pada akuntabilitas
kepada pelanggan dan kinerja tinggi, restrukturisasi badan-badan publik, mendefinisi ulang
misi organisasi, menyederhanakan proses administrasi, dan mendesentralisasi pembuatan
keputusan.

Penerapan new public management dapat dilihat dari sepuluh prinsip “reinventing
government” karya Osborne & Gaebler (1992) yang diterapkan di AS. Prinsip-prinsip
tersebut adalah: catalytic government: steering rather than rowing (pemerintah hanya
katalis yang mengarahkan dan bukan melaksanakan), community-owned government:
empowering rather than serving (pemerintahan adalah milik rakyat, pemerintah
memberdayakan masyarakat), competitive government: injecting competition into service
delivery (pemerintahan yang kompetitif, mendorong kompetisi dalam pelayanan), mission-
driven government: transforming rule-driven organizations (pemerintahan yang digerakkan
oleh misi), results-oriented government: funding outcomes not inputs (pemerintah yang
berorientasi hasil), customer-driven government: meeting the needs of the customer not
the bureaucracy (pemerintahan yang berorientasi pelanggan bukan birokrasi), entreprising
government: earning rather than spending (pemerintahan yang memiliki semangat
wirausaha), anticipatory government: prevention rather than cure (pemerintahan yang
antisipatif), decentralized government: from hierarchy to participation and team work
(pemerintahan yang desentalisasi), market-oriented government:leveraging change
through the market (pemerintahan yang berorientasi pasar dan mendongkrak perubahan
melalui pasar).

Setelah menelaah sedikit bagaimana penekanan Administrasi Publik klasik dan isu-
isu apa yang ada di dalamnya, kemudian berkaca dari itu muncullah suatu paradigma baru
sebagai suatu reformasi administrasi publik yang diterapkan berangkat dari kesadaran
tentang pentingnya kualitas manajemen dalam lingkungan administrasi di mana roda
administrasi dijalankan. Dengan kata lain, penciptaan dan pemantapan Total Quality
Management yang dalam penerapannya mencakup beberapa hal sebagai berikut:
• fokus perhatian adalah pada kepuasan pelanggan

• perbaikan dilaksanakan secara terusmenerus

• peningkatan mutu atas segala sesuatu yang dilakukan dan dihasilkan oleh organisasi

• adanya pengukuran yang disertai alat ukur yang jelas

• pemberdayaan sumber daya manusia yang harus dilakukan secara terusmenerus sesuai
dengan fenomena yang berkembang di lingkungan organisasi

Rif’an Zamhari

115030101111089

NEW PUBLIC SERVICE DAN PEMERINTAHAN LOKAL PARTISIPATIF


M.R. Khairul Muluk
Staf Pengajar Administrasi Publik Universitas BrawijayaKandidat Doktor Ilmu
Administrasi di Universitas Indonesia
Sistem administrasi publik di Negara Kesatuan Republik Indonesia mengenal tiga
tingkatan pemerintahan, yakni pemerintahan pusat, pemerintahan propinsi, dan
pemerintahan kabupaten atau kota. Secara resmi tidak terdapat tingkatan
pemerintahan di luar hal tersebut. Dengan demikian, semua urusan pemerintahan
dibagi habis dalam tiga tingkatan pemerintahan tersebut. Namun demikian masih
terdapat satu jenis pemerintahan lain yang memperoleh tempat khusus baik dalam
peraturan perundang-undangan maupun dalam kajian administrasi publik. Jenis
pemerintahan tersebut adalah pemerintahan lokal yang dimanifestasikan baik dalam
bentuk pemerintahan kelurahan maupun desa. Penyelenggaraan administrasi publik
di berbagai tingkatan pemerintahan ini pada dasarnya tidak terlepas dari
perkembangan pemikiran administrasi publik. Tulisan ini bertujuan untuk membahas
perkembangan pemikiran mutakhir tentang administrasi publik dan berusaha
meletakkannya dalam jenis pemerintahan sub-regional yang cukup strategis, yakni
pemerintahan lokal.
Kajian dan praktek administrasi publik di berbagai negara terus berkembang.
Berbagai perubahan terjadi seiring dengan berkembangnya kompleksitas persoalan
yang dihadapi oleh administrator publik. Kompleksitas ini ditanggapi oleh para
teoritisi dengan terus mengembangkan ilmu administrasi publik. Denhardt &
Denhardt mengungkapkan bahwa terdapat tiga perspektif dalam administrasi
publik.1 Perspektif tersebut adalah old public administration, new public
management, dan new public service.2 Perspektif
1 Janet Vinzant Denhardt and Robert B. Denhardt. The New Public Service:
Serving, Not Steering. (New York: M.E. Sharpe, 2004).
2 Senada dengan pembagian tiga perspektif dalam administrasi publik ini, Tony
Bovaird dan Elke Loffler (2003) juga mengemukakan pandangan yang sangat mirip.
Kedua penulis tersebut menyimpulkan bahwa terdapat tiga pendekatan dalam
administrasi publik, yakni public administration, public management, dan public
governance. Tiga pendekatan ini mirip dengan tiga perspektif yang dijelaskan oleh
Denhardt & Denhardt, namun dengan istilah yang berbeda. Baik Bovaird & Loffler
dan Denhardt & Denhardt mengemukakan adanya pendekatan baru administrasi
publik sebagai
pertama yang merupakan perspektif klasik berkembang sejak tulisan Woodrow
Wilson di tahun 1887 yang berjudul “the study of administration”. Terdapat dua
gagasan utama dalam perspektif ini. Gagasan pertama menyangkut pemisahan
politik dan administrasi. Administrasi publik tidak secara aktif dan ekstensif terlibat
dalam pembentukan kebijakan karena tugas utamanya adalah implementasi
kebijakan dan penyediaan layanan publik. Dalam menjalankan tugasnya,
administrasi publik menampilkan netralitas dan profesionalitas. Administrasi publik
diawasi oleh dan bertanggung jawab kepada pejabat politik yang dipilih.3
Gagasan kedua menyangkut nilai yang dikedepankan oleh perspektif ini, bahwa
administrasi publik seharusnya berusaha sekeras mungkin untuk mencapai efisiensi
dalam pelaksanaan tugasnya. Efisiensi ini dapat dicapai melalui struktur organisasi
yang terpadu dan bersifat hierarkis. Gagasan ini terus berkembang melalui para
pakar seperti Frederick Winslow Taylor (1923) dengan “scientific management”,
Leonard D. White (1926) dan
W.F. Willoughby (1927) yang mengembangkan struktur organisasi yang sangat
efisien, dan Gullick & Urwick (1937) yang sangat terkenal dengan akronimnya
POSDCORB.4
Dengan mengacu pada dua gagasan utama tersebut, perspektif ini menaruh perhatian
pada fokus pemerintahan pada penyediaan layanan secara langsung kepada
masyarakat melalui badan-badan publik. Perspektif ini berpandangan bahwa
organisasi publik beroperasi paling efisien sebagai suatu sistem tertutup sehingga
keterlibatan warga negara dalam pemerintahan dibatasi. Perspektif ini berpandangan
pula bahwa peran utama administrator publik dibatasi dengan tegas dalam bidang
perencanaan, pengorganisasian, pengelolaan pegawai, pengarahan,
pengkoordinasian, pelaporan, dan penganggaran.5
Selama masa berlakunya perspektif old public administration ini, terdapat dua
pandangan utama yang lainnya yang berada dalam arus besar tersebut. Pertama
adalah pandangan Herbert A. Simon yang tertuang dalam karya klasiknya (1957)
“administrative behavior”. Simon mengungkapkan bahwa preferensi individu dan
kelompok seringkali berpengaruh pada berbagai urusan manusia. Organisasi pada
dasarnya tidak sekedar berkenaan dengan standar tunggal efisiensi, tetapi juga
dengan berbagai standar lainnya. Konsep utama yang ditampilkan oleh Simon
adalah rasionalitas. Manusia pada dasarnya
kelanjutan dari pendekatan public management. Pendekatan baru tersebut adalah
new public service
menurut Denhardt & Denhardt atau public governance menurut Bovaird & Loffler. 3
Denhardt & Denhardt, op.cit., pp. 5-7. 4 Ibid., pp. 7-8. 5 Ibid., pp. 11-12.
dibatasi oleh derajat rasionalitas tertentu yang dapat dicapainya dalam menghadapi
suatu persoalan, sehingga untuk mempertipis batas tersebut manusia bergabung
dengan yang lainnya guna mengatasi segala persoalannya secara efektif. Meski nilai
utama yang hendak dijadikan dasar bertindak manusia adalah rasionalitasnya,
namun Simon mengungkapkan bahwa dalam organisasi manusia yang rasional
adalah yang menerima tujuan organisasi sebagai nilai dasar bagi pengambilan
keputusannya. Dengan demikian orang akan berusaha mencapai tujuan organisasi
dengan cara yang rasional dan menjamin perilaku manusia untuk mengikuti langkah
yang paling efisien bagi organisasi. Dengan pandangan ini akhirnya posisi
rasionalitas dipersamakan dengan efisiensi. Hal ini tampak dalam pandangan
Denhardt & Denhardt bahwa “for what Simon called ‘administrative man,’ the most
rational behavior is that which moves an organization efficiently toward its
objective.”6
Pandangan berbeda kedua dalam perspektif old public administration adalah public
choice (pilihan publik). Pandangan ini merupakan penafsiran baru atas perilaku
administrasinya Simon, dan yang lebih dekat dengan pandangan economic man.
Teori pilihan publik ini didasarkan pada tiga asumsi kunci.7 Pertama, teori ini
memusatkan perhatian pada individu dengan asumsi bahwa pengambil keputusan
perorangan adalah orang yang rasional, mementingkan dirinya sendiri, dan berusaha
memaksimalkan manfaat yang diperolehnya. Dengan demikian, seseorang
senantiasa berusaha mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan
sekecil-kecilnya. Kedua, teori ini memusatkan perhatian pada public goods
(komoditas publik) sebagai output dari badan-badan publik. Ketiga, teori ini
didasarkan pada asumsi bahwa situasi keputusan yang berbeda akan menghasilkan
pendekatan yang berbeda dalam penentuan pilihan. Dengan alasan ini, teori pilihan
publik berupaya menstrukturasi proses pembuatan keputusan sehingga dapat
mempengaruhi pilihan-pilihan manusia. Hal ini merupakan kunci beroperasinya
badan-badan publik. Teori pilihan publik inilah yang merupakan jembatan
penghubung antara old public administration dengan new public management.
Perspektif administrasi publik kedua, new public management, berusaha
menggunakan pendekatan sektor swasta dan pendekatan bisnis dalam sektor publik.
Selain berbasis pada teori pilihan publik, dukungan intelektual bagi perspektif ini
berasal dari public policy schools (aliran kebijakan publik) dan managerialism
movement. Aliran
6 Ibid. p. 9. 7 Ibid, pp. 10-11.
kebijakan publik dalam beberapa dekade sebelum ini memiliki akar yang cukup kuat
dalam ilmu ekonomi, sehingga analis kebijakan dan para ahli yang menggeluti
evaluasi kebijakan terlatih dengan konsep market economics, costs and benefit, dan
rational models of choice. Selanjutnya, aliran ini mulai mengalihkan perhatiannya
pada implementasi kebijakan, yang selanjutnya mereka sebut sebagai public
management. Penggunaan istilah yang berbeda ini dilakukan unt
uk membedakannya dari public administration dengan mengabaikan fakta bahwa
keduanya memiliki perhatian yang sama, yakni implementasi kebijakan publik.
Denhardt & Denhardt mengakui bahwa public administration merupakan sinonim
dengan public management, namun jika antara keduanya ada yang membedakan
maka istilah public management cenderung bias pada interpretasi ekonomi terhadap
perilaku manajerial sementara istilah public administration cenderung dipergunakan
dalam ilmu politik, sosiologi, atau analisis organisasi.8
Dukungan intelektual dari managerialism movement berakar dari pandangan bahwa
keberhasilan sektor bisnis dan publik bergantung pada kualitas dan profesionalisme
para manajernya. Kemajuan dapat dicapai melalui produktivitas yang lebih besar,
dan produktivitas ini dapat ditingkatkan melalui disiplin yang ditegakkan oleh para
manajer yang berorientasi pada efisiensi dan produktivitas. Untuk memainkan peran
penting ini, para manajer harus diberi “the freedom to manage” dan bahkan “the
right to manage.”9
Secara praktek, gerakan manajerialis memperoleh pengaruh besar dalam reformasi
administrasi publik di berbagai negara maju, seperti Selandia Baru, Australia,
Inggris, dan Amerika Serikat. Di Inggris, reformasi administrasi publik dijalankan
sejak masa PM Margaret Thatcher. Dukungan intelektual dalam gerakan ini di
Inggris tampak dari karya Emmanual Savas10 dengan “Privatization”nya, Normann
Flynn 11dengan “Public Sector Management”nya. Di Amerika Serikat, gerakan ini
memperoleh popularitas besar berkat karya terkenal David Osborne dan Ted
Gaebler, Reinventing Government.12 Gerakan ini menyebar ke seluruh dunia
sehingga menjadi inspirasi utama di banyak negara dalam
8 Ibid., p. 20. 9 Ibid., pp. 21-22.
10 Emanuel S. Savas. 2000. Privatization and Public-Private Partnerships. (New
York : Chatam House
Publishers). 11 Norman Flynn. 1990. Public Sector Management. (Brighton:
Wheatsheaf). David Osborne and Ted Gaebler. Reinventing Government : How the
Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector. (New York : A William
Patrick Book, 1992).
mereformasi administrasi publik baik dengan melakukan privatisasi gaya Inggris
atau dengan gerakan mewirausahakan birokrasi gaya Amerika Serikat.
Perspektif ini menekankan penggunaan mekanisme dan terminologi pasar sehingga
memandang hubungan antara badan-badan publik dengan pelanggannya sebagai
layaknya transaksi yang terjadi antara penjual dan pembeli. Peran manajer publik
berubah karena ditantang untuk selalu menemukan cara-cara baru dan inovatif
dalam mencapai tujuan, atau menswastakan berbagai fungsi yang semula dijalankan
oleh pemerintah. Manajer publik didesak untuk “mengarahkan bukannya
mengayuh,” yang bermakna bahwa beban pelayanan publik tidak dijalankan sendiri
tetapi sebisa mungkin didorong untuk dijalankan oleh pihak lain melalui mekanisme
pasar. Dengan demikian manajer publik memusatkan perhatian pada akuntabilitas
kepada pelanggan dan kinerja tinggi, restrukturisasi badan-badan publik,
mendefinisi ulang misi organisasi, menyederhanakan proses administrasi, dan
mendesentralisasi pembuatan keputusan.
Gambaran yang lebih utuh tentang perspektif new public management ini dapat
dilihat dari pengalaman Amerika Serikat sebagaimana tertuang dalam sepuluh
prinsip “reinventing government” karya Osborne & Gaebler. Prinsip-prinsip tersebut
adalah: catalytic government: steering rather than rowing, community-owned
government: empowering rather than serving, competitive government: injecting
competition into service delivery, mission-driven government: transforming rule-
driven organizations, results-oriented government: funding outcomes not inputs,
customer-driven government: meeting the needs of the customer not the
bureaucracy, entreprising government: earning rather than spending, anticipatory
government: prevention rather than cure, decentralized government: from hierarchy
to participation and team work, market-oriented government: leveraging change
through the market.13
PERSPEKTIF BARU ADMINISTRASI PUBLIK
Perspektif new public management memperoleh kritik keras dari banyak pakar
seperti Wamsley & Wolf (1996), Box (1998), King & Stivers (1998), Bovaird &
Loffler (2003), dan Denhardt & Denhardt (2003). Mereka memandang bahwa
perspektif ini, seperti halnya perspektif old public administration, tidak hanya
membawa teknik administrasi baru namun juga seperangkat nilai tertentu.
Masalahnya terletak pada nilai-
13 Ibid.
nilai yang dikedepankan tersebut seperti efisiensi, rasionalitas, produktivitas dan
bisnis karena dapat bertentangan dengan nilai-nilai kepentingan publik dan
demokrasi. Jika pemerintahan dijalankan seperti halnya bisnis dan pemerintah
berperan mengarahkan tujuan pelayanan publik maka pertanyaannya adalah
siapakah sebenarnya pemilik dari kepentingan publik dan pelayanan publik? Atas
dasar pemikiran tersebut Denhardt & Denhardt memberikan kritik terhadap
perspektif new public management sebagaimana yang tertuang dalam kalimat “in
our rush to steer, perhaps we are forgetting who owns the boat.”14
Menurut Denhardt & Denhardt, karena pemilik kepentingan publik yang sebenarnya
adalah masyarakat maka administrator publik seharusnya memusatkan perhatiannya
pada tanggung jawab melayani dan memberdayakan warga negara melalui
pengelolaan organisasi publik dan implementasi kebijakan publik. Perubahan
orientasi tentang posisi warga negara, nilai yang dikedepankan, dan peran
pemerintah ini memunculkan perspektif baru administrasi publik yang disebut
sebagai new public service. Warga negara seharusnya ditempatkan di depan, dan
penekanan tidak seharusnya membedakan antara mengarahkan dan mengayuh tetapi
lebih pada bagaiamana membangun institusi publik yang didasarkan pada integritas
dan responsivitas. Pada intinya, perspektif baru ini merupakan “a set of idea about
the role of public administration in the governance system that place public service,
democratic governance, and civic engagement at the center.”15
Perspektif new public service mengawali pandangannya dari pengakuan atas warga
negara dan posisinya yang sangat penting bagi kepemerintahan demokratis. Jati diri
warga negara tidak hanya dipandang sebagai semata persoalan kepentingan pribadi
(self interest) namun juga melibatkan nilai, kepercayaan, dan kepedulian terhadap
orang lain. Warga negara diposisikan sebagai pemilik pemerintahan (owners of
government) dan mampu bertindak secara bersama-sama mencapai sesuatu yang
lebih baik. Kepentingan publik tidak lagi dipandang sebagai agregasi kepentingan
pribadi melainkan sebagai hasil dialog dan keterlibatan publik dalam mencari nilai
bersama dan kepentingan bersama.16
Perspektif new public service menghendaki peran administrator publik untuk
melibatkan masyarakat dalam pemerintahan dan bertugas untuk melayani
masyarakat.
14 Denhardt & Denhardt, op.cit., p. 23.
15 Ibid., p. 24.
16 Denhardt & Denhardt, op.cit., p. 170.
Dalam menjalankan tugas tersebut, administrator publik menyadari adanya beberapa
lapisan kompleks tanggung jawab, etika, dan akuntabilitas dalam suatu sistem
demokrasi. Administrator yang bertanggung jawab harus melibatkan masyarakat
tidak hanya dalam perencanaan tetapi juga pelaksanaan program guna mencapai
tujuan-tujuan masyarakat. Hal ini harus dilakukan tidak saja karena untuk
menciptakan pemerintahan yang lebih baik tetapi juga sesuai dengan nilai-nilai
demokrasi. Dengan demikian, pekerjaan administrator publik tidak lagi
mengarahkan atau memanipulasi insentif tetapi pelayanan kepada masyarakat.17
Secara ringkas, perspektif new public service dapat dilihat dari beberapa prinsip
yang dilontarkan oleh Denhardt & Denhardt.18 Prinsip-prinsip tersebut adalah:
Pertama adalah serve citizens, not customers. Karena kepentingan publik merupakan
hasil dialog tentang nilai-nilai bersama daripada agregasi kepentingan pribadi
perorangan maka abdi masyarakat tidak semata-mata merespon tuntutan pelanggan
tetapi justeru memusatkan perhatian untuk membangun kepercayaan dan kolaborasi
dengan d
an diantara warga negara. Kedua, seek the public interest. Administartor publik
harus memberikan sumbangsih untuk membangun kepentingan publik bersama.
Tujuannya tidak untuk menemukan solusi cepat yang diarahkan oleh pilihan-pilihan
perorangan tetapi menciptakan kepentingan bersama dan tanggung jawab bersama.
Ketiga, value citizenship over entrepreneurship. Kepentingan publik lebih baik
dijalankan oleh abdi masyarakat dan warga negara yang memiliki komitmen untuk
memberikan sumbangsih bagi masyarakat daripada dijalankan oleh para manajer
wirausaha yang bertindak seolah-olah uang masyarakat adalah milik mereka sendiri.
Keempat, think strategically, act democratically. Kebijakan dan program untuk
memenuhi kebutuhan publik dapat dicapai secara efektif dan bertanggungjawab
melalui upaya kolektif dan proses kolaboratif. Kelima, recognize that accountability
is not simple. Dalam perspektif ini abdi masyarakat seharusnya lebih peduli daripada
mekanisme pasar. Selain itu, abdi masyarakat juga harus mematuhi peraturan
perundang-undangan, nilai-nilai kemasyarakatan, norma politik, standar profesional,
dan kepentingan warga negara. Keenam, serve rather than steer. Penting sekali bagi
abdi masyarakat untuk menggunakan kepemimpinan yang berbasis pada nilai
bersama dalam membantu warga negara mengemukakan kepentingan bersama dan
memenuhinya daripada mengontrol atau mengarahkan masyarakat ke arah nilai
baru. Ketujuh, value people, not
17 Ibid.
18 ibid., pp. 42-43.
just productivity. Organisasi publik beserta jaringannya lebih memungkinkan
mencapai keberhasilan dalam jangka panjang jika dijalankan melalui proses
kolaborasi dan kepemimpinan bersama yang didasarkan pada penghargaan kepada
semua orang.
Munculnya perspektif new public service ini didukung oleh beberapa tulisan lain
yang berkembang beberapa tahun sebelumnya sebagai reaksi terhadap dominasi
perspektif new public management di berbagai belahan dunia. Pertama, Wamsley &
Wolf (1996) melakukan kritik keras atas reinventing government dengan
menyunting buku berjudul “refounding democratic public administration.” Wamsley
& Wolf mengumpulkan banyak tulisan yang melukiskan betapa pentingnya
melibatkan masyarakat dalam administrasi publik dalam posisi sebagai warga negara
bukan sekedar sebagai pelanggan. Buku tersebut menekankan betapa pentingnya
democratic government yang mengedepankan partisipasi masyarakat dalam
administrasi publik.19 Tulisan Little dalam buku tersebut yang berjudul “thinking
government: bringing democratic awareness to public administration” menjelaskan
konsepsi democratic public administration dengan memaparkan konsekuensi tiga
substansi demokrasi. Government of the people berarti pemerintahan masyarakat
akan membawa legitimasi bagi administrasi publik. Government by the people
berarti menjamin adanya representasi administrator publik dan akuntabilitas
administrasi publik terhadap masyarakat. Government for the people berarti bahwa
administrasi publik akan benar-benar menjalankan kepentingan publik, bukan
kepentingan birokrasi.20
Tulisan lainnya dipersembahkan oleh King & Stivers (1998) dengan judul
‘government is us: public administration in an anti-government era.” Gagasan yang
diusung ke dua penulis tersebut adalah seyogyanya administrasi publik memandang
warga negara sebagai warga negara bukan sekedar sebagai pelanggan karena
pemerintahan itu adalah milik masyarakat. Untuk itu, tema utama buku tersebut
tertuang dalam ungkapan “Government is Us is a democratic public administration
that involves active citizenship and active administration.”21 Yang dimaksud dengan
active administration adalah tidak sekedar meningkatkan kekuasaan administrasi
tetapi memperkuat kerja kolaboratif dengan warga negara. Untuk itu, administrator
publik seharusnya berbagi kuasa dengan
Gary L. Wamsley,. and James F. Wolf (ed.) Refounding democratic public
administration: modern
paradoxes, postmodern challenges. (Thousand Oaks, California: Sage Publications,
1996). 20 John H. Little. “Thinking government: bringing democratic awareness to
public administration” in Gary L.
Wamsley,. and James F. Wolf (ed.) Refounding democratic public administration:
modern paradoxes,
postmodern challenges. (Thousand Oaks, California: Sage Publications, 1996), Pp.
327-350. 21 Cheryl Simrell King and Camilla Stivers. Government is us: public
administration in an anti-government
era. (Thousand Oaks, California: Sage Publications, 1998). P. 195.
masyarakat dan mengurangi kendali terhadap masyarakat serta meningkatkan
kepercayaan kepada masyarakat melalui kolaborasi penyelenggaraan pemerintahan
dengan masyarakat. Pemerintahan masyarakat ini merupakan partisipasi integratif
antara masyarakat aktif dengan administrator aktif untuk memenuhi kebutuhan,
tujuan, dan sasaran bersama.
PEMERINTAHAN LOKAL PARTISIPATIF
Perspektif new public service juga memperoleh dukungan intelektual dari karya Box
(1998) yang berjudul “citizen governance”. Karya ini sekaligus juga menjelaskan
bahwa gagasan dari perspektif ini juga telah merambah administrasi publik pada
tingkatan pemerintahan daerah. Box menyarankan bahwa pemerintahan daerah
seyogyanya direstrukturisasi sehingga mampu meningkatkan keterlibatan
masyarakat dalam proses kepemerintahan. Box mengungkapkan bahwa terdapat
empat prinsip yang dipergunakan untuk menjelaskan mengapa demokratisasi
administrasi publik perlu dilakukan pada tingkatan pemerintahan daerah.22
Pertama adalah the scale principle yang menjelaskan bahwa terdapat beberapa
fungsi yang lebih tepat diatur dan diurus pada tingkatan pemerintah pusat dan
terdapat beberapa fungsi lain yang lebih tepat diatur dan diurus pada tingkatan
pemerintahan daerah. Jika penyelenggaraan suatu fungsi ingin melibatkan partisipasi
masyarakat yang lebih besar maka sebaiknya diberikan pada tingkatan pemerintahan
daerah karena lebih memungkinkan masyarakat berpartisipasi lebih aktif dan efektif.
Kedua adalah the democracy principle yang menjelaskan bahwa pada dasarnya
proses pemerintahan seharusnya melibatkan masyarakat. Prinsip menekankan
perlunya pembahasan kebijakan dan pengambilan keputusan secara terbuka dan
bebas. Partisipasi masyarakat merupakan kunci penyelenggaraan prinsip ini.
Ketiga adalah the accountability principle yang menjelaskan bahwa pemerintahan
pada dasarnya adalah milik masyarakat. Oleh karena itu, akuntabilitas publik berarti
pertanggung jawaban kepada masyarakat sebagai pemilik pemerintahan. Untuk
mencapai akuntabilitas publik dibutuhkan keterlibatan masyarakat dalam proses
kebijakan bersama dengan para wakilnya dan administrator publik. Akuntabilitas
publik menuntut adanya
Richard C. Box. Citizen governance: Leading American communities into the 21st
century. (Thousand Oaks: Sage Publications. 1998), p. 163.
keterkaitan langsung warga masyarakat dengan penyusunan dan pelaksanaan
program-program publik.
Keempat adalah the rationality principle yang menjelaskan bahwa proses partisipasi
publik dalam pemerintahan daerah haruslah ditanggapi secara rasional. Pengertian
rasional dalam hal ini lebih mengacu pada kesadaran dan pengakuan bahwa proses
partisipasi membutuhkan waktu yang memadai, pemikiran yang cermat, kesempatan
kepada masyarakat untuk menyatakan pendapatnya, perlunya mendengar beragam
pendapat yang muncul serta penghargaan atas perbedaan pendapat.23
Berdasarkan seluruh uraian di atas, perspektif new public service membawa angin
perubahan dalam administrasi publik. Perubahan ini pada dasarnya menyangkut
perubahan dalam cara memandang masyarakat dalam proses pemerintahan,
perubahan dalam memandang apa yang dimaksud dengan kepentingan masyarakat,
perubahan dalam cara bagaimana kepentingan tersebut diselenggarakan, dan
perubahan dalam bagaimana administrator publik menjalankan tugas memenuhi
kepentingan publik. Perspektif ini mengedepankan posisi masyarakat sebagai warga
negara dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan. Perspektif ini membawa
upaya demokratisasi administrasi publik. Pelayanan kepada masyarakat merupakan
tugas utama bagi administrator publik sekali
gus sebagai fasilitator bagi perumusan kepentingan publik dan partisipasi
masyarakat dalam pemerintahan. Perspektif ini juga mengakui bahkan menuntut
adanya partisipasi masyarakat dalam berbagai jenjang pemerintahan, termasuk
daerah. Dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal, partisipasi masyarakat
merupakan unsur penting dalam perspektif new public service, yang merupakan
perspektif baru dalam administrasi publik.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah secara partisipatoris pada dasarnya dapat
dilakukan dengan berbagai cara. Norton menjelaskan bahwa ada empat bentuk
partisipasi masyarakat dalam praktek pemerintahan daerah di seluruh dunia. Pertama
adalah referenda yang dilaksanakan untuk mengambil keputusan terhadap isu-isu
vital di daerah tersebut. Kedua adalah konsultasi dan kerjasama dengan masyarakat
sesuai kebutuhan dan tuntutan lokal. Ketiga adalah penempatan pejabat lokal yang
diisi berdasarkan prosedur pemilihan (elected member) sebagai bentuk pemerintahan
perwakilan sehingga para pejabat memiliki akuntabilitas yang lebih besar kepada
masyarakat. Keempat adalah melakukan
23 Ibid., pp. 20-21.
desentralisasi kepada unit-unit pemerintahan yang lebih kecil dalam lingkup daerah
itu sendiri. Bentuk yang keempat ini seringkali disebut dengan decentralization
within cities.24
Desentralisasi dalam bentuk partisipasi yang keempat tersebut dapat diterjemahkan
secara luas sehingga meliputi desentralisasi secara politis, administratif, fungsional,
maupun ekonomis. Desentralisasi secara ekonomis berarti terjadi pembentukan
badan usaha milik daerah atau penyerahan sebagaian fungsi pemerintah daerah
kepada usaha swasta. Desentralisasi secara fungsional berarti pembentukan lembaga
fungsional untuk menjalan urusan tertentu dari pemerintah daerah. Dalam kebijakan
pemerintahan daerah di Indonesia, decentralization within cities diterjemahkan
secara langsung dalam dua pengertian yakni desentralisasi secara administratif dan
politik.
Desentralisasi secara administrasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah
diwujudkan dalam bentuk pemerintahan kelurahan. Pemerintahan kelurahan pada
dasarnya dipilih dan dibentuk untuk memberikan layanan kepada masyarakat yang
memiliki corak perkotaan. Nilai dasar yang hendak dikembangkan dalam
penyelenggaraan pemerintah kelurahan adalah efisiensi struktural sehingga
kebutuhan masyarakat perkotaan yang lebih bersifat majemuk, dinamis,
individualistis lebih terpenuhi. Aparat pemerintah kelurahan seluruhnya diisi
berdasarkan prosedur pengangkatan (selected officer) sehingga merupakan pejabat
birokrasi dengan jalur karir yang terintegrasi dengan perangkat daerah lainnya.
Secara umum, karena merupakan bagian integral dari pemerintah daerah maka
akuntabilitas pemerintah kelurahan lebih kuat pada pemerintah daerah dibandingkan
kepada masyarakat.
Desentralisasi secara politis dilakukan oleh pemerintah daerah dengan menyerahkan
sebahagian urusan dan dana yang ada kepada pemerintah desa. Pemerintahan desa
dipilih dan dibentuk dengan dasar melestarikan nilai-nilai tradisional yang sudah
berkembang dalam corak masyarakat pedesaan. Corak masyarakat demikian
bercirikan adanya iklim paguyuban, cenderung statis, dan cenderung homogen. Nilai
dasar yang hendak dikembangkan dalam pemerintahan desa adalah partisipasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Pejabat pemerintah desa diisi berdasarkan prosedur
pemilihan (elected officer). Dengan demikian, masyarakat sejak awal telah terlibat
secara langsung dalam menentukan pejabat pemerintahan desa. Pamong desa ini
tidak memiliki jalur karir birokrasi yang terintegrasi dengan perangkat daerah
lainnya. Karena dipilih oleh
24 Alan Norton. International handbook of local and regional government: a
comparative analysis of advanced democracies. (Cheltenham: Edwar Elgar, 1994).
masyarakat dan pengambilan keputusan desa dilangsungkan secara musyawarah
maka akuntabilitas publik dari pemerintah desa kepada masyarakat lebih besar
dibandingkan dengan akuntabilitas publik pemerintah kelurahan kepada mayarakat.
Berdasarkan karakteristik pemerintahan desa sebagaimana dijelaskan di atas maka
unit pemerintahan ini merupakan laboratorium yang tepat untuk menjalankan
perspektif new public service. Posisi penting desa sebagai pengejawantahan
pemerintahan lokal dalam demokratisasi administrasi publik didukung pula oleh
Diana Conyers yang mengatakan bahwa tingkatan yang lebih tepat bagi partisipasi
ideal adalah pada level komunitas desa. Pendapat ini dilatari alasan bahwa
partisipasi membutuhkan batasan-batasan masyarakat dan keterjangkauan
masyarakat terhadap proses partisipasi. Dengan mempertimbangkan bahwa tidak
mudah menentukan batas-batas masyarakat dan bahwa tidak satupun komunitas
yang sifatnya sederhana dan merupakan kesatuan yang homogen maka partisipasi
masyarakat akan dapat berlangsung ideal justeru pada tingkatan pemerintahan
desa.25
Dukungan penerapan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan pada level desa
juga dikemukakan oleh Timothy D. Sisk, dkk. Ada tiga pertimbangan mendasar
mengapa hal ini terjadi. Pertama, penerapan secara lebih nyata subsidiarity principle,
yakni prinsip yang menyatakan bahwa keputusan seharusnya dibuat pada level yang
paling dekat dengan rakyat sepanjang ia masih layak dan tidak memerlukan
koordinasi regional dan nasional. Kedua, pengutamaan capaian partisipasi yang
efektif yang diyakini sebagai situasi partisipasi ketika warga memiliki peluang yang
sama dan memadai untuk mengungkapkan keinginan mereka, mengajukan
pertanyaan tentang agenda tertentu, dan mengartikulasikan alasan untuk
mengesahkan suatu kebijakan. Ketiga, penguatan sistem demokrasi pada aras lokal
merupakan basis utama bagi penguatan sistem demokrasi pada jenjang pemerintahan
yang lebih tinggi sehingga sistem demokrasi suatu negara akan menjadi lebih efektif
dan berkelanjutan.26
Dengan mengacu pada pendapat Box, Conyers, dan Sisk, dkk. Maka dapat
dimengerti mengapa perspektif new public service mestinya dapat diterapkan secara
lebih efektif pada pemerintahan desa dibandingkan tingkatan pemerintahan lainnya.
Peluang
25 Diana Conyers. Perencanaan sosial di dunia ketiga: suatu pengantar. (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1992)
26 Timothy D. Sisk, et.al. Democracy at the local level: the International IDEA
Handbook on participation,
conflict management, and governance. (Stockholm: International Institute for
Democracy and Electoral
Assistance, 2001).
pemerintahan desa secara partisipatif di Indonesia telah terbuka lebar seiring
terjadinya perubahan pengaturan pemerintahan desa dari UU No. 5 tahun 1979
menjadi UU No. 22 tahun 1999. Landasan pemikiran dalam pengaturan
pemerintahan desa dalam UU era reformasi tersebut adalah pengakuan atas
keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan pemberdayaan
masyarakat. Sebagai perwujduan demokrasi dalam pemerintahan desa maka
dibentuklah di setiap desa sebuah Badan Perwakilan Desa atau sebutan lainnya yang
sesuai dengan budaya setempat. Fungsi yang diemban lembaga ini adalah legislasi
dan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa, dan Keputusan Kepala Desa. Melalui UU ini pula demokratisasi
pemerintahan desa berjalan sesuai dengan budaya asli setempat. Namun demikian,
sebenarnya terdapat keraguan tentang apakah budaya setempat sebagaimana
diinginkan masih ada dan bertahan hidup setelah 20 tahun terjadi perubahan melalui
UU No. 5 tahun 1979. Hal ini tentu memerlukan pengkajian secara seksama.
Penelitian yang dilakukan oleh Desna Aromatica tentang Pemerintahan Nagari di
Sumatera Barat dan Andreas Bernath Sekolengo tentang Perbandingan antara BPD
dan Mosalaki di Nusa Tenggara Timur menarik untuk disimak. Temuan dari dua
kajian tersebut menunjukkan bahwa Pemerintahan Desa pasca berlakunya UU 22
tahun 1999 memang menunjukkan adanya pertanda kemajuan penyelenggaraan
pemerintahan yang demokratis dan berbasis pada budaya lokal. Namun hal lain yang
perlu dicermati sebagai hasil dari temuan tersebut adalah budaya patrimonial di
masyarakat yang diteliti juga masih sangat kuat. Ketaatan masyarakat pada elit lokal
sedemi
kian kuatnya sehingga pemerintahan bersifat elitis karena penyelenggara
pemerintahan desa adalah elit lokal tradisional. Meski hal ini dapat diterima secara
umum oleh masyarakat namun muncul pertanda non-demokratis seperti tertutupnya
peluang masyarakat pendatang sebagai pamong desa dan penentuan pemimpin desa
berdasarkan garis keturunan. Ini berarti menunjukkan bahwa tidak setiap orang
memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi pejabat publik. Kondisi ini tentu
perlu dicermati di masa mendatang karena dapat mempengaruhi corak pemerintahan
desa di Indonesia.
Kini UU No. 22 tahun 1999 telah diperbaharui menjadi UU No. 32 tahun 2004.
Banyak pihak mengkritik kebijakan baru sebagai telah mengurangi otonomi desa
dan memperkuat posisi Negara terhadap desa.27 Pada dasarnya penyelenggaraan
urusan desa
27 Abdur Rozaki, dkk. Prakarsa desentralisasi dan otonomi desa. (Yogyakarta: IRE,
2005).
tidak mengalami perubahan namun secara kelembagaan terdapat perubahan yang
cukup berarti. Badan Perwakilan Desa kini berubah menjadi Badan
Permusyawaratan Desa. Perubahan nomenklatur ini didasarkan pada pertimbangan
untuk mengoptimalkan proses pembuatan keputusan bersama dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan desa dan tidak dimaksudkan untuk menciptakan
kondisi check and balance antara Kepala Desa dan BPD. Dalam peraturan baru ini,
Kepala Desa tidak lagi bertanggung jawab kepada BPD namun secara substansial
lebih bertanggung jawab Kepada Kepala Daerah. Ini berarti hubungan desa dengan
pemerintahan supra desa dalam UU No. 32 tahun 2004 lebih kuat dibandingkan UU
No. 22 tahun 1999.
Terlepas dari polemik yang ada dalam penerapan UU No. 32 tahun 2004 dan
sejumlah masalah yang masih tersisa, secara mendasar kini pemerintahan desa
dianggap jauh lebih demokratis dibandingkan pengaturan dalam UU No. 5 tahun
1979 karena adanya pengakuan terhadap keanekaragaman, partisipasi masyarakat,
otonomi asli dan demokratisasi. Kondisi ini sebenarnya merupakan landasan yang
kuat bagi penerapan perspektif baru administrasi publik, new public service. Karena
partisipasi masyarakat yang ideal lebih dapat terlaksana pada komunitas yang lebih
kecil maka sesuai dengan subsidiarity principle perspektif baru administrasi publik
akan terlaksana dengan lebih baik pada pemerintahan desa. Jika penyelenggaraan
pemerintahan desa dapat berlangsung secara partisipatif maka partisipasi masyarakat
dalam tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi dapat diharapkan dapat terjadi.

DAFTAR PUSTAKA
Aromatica, D. “Perubahan pemerintahan desa menjadi pemerintahan nagari dalam
rangka otonomi daerah: suatu studi pada Pemerintah Nagari Salayo Kecamatan
Kubung Kabupaten Solok Propinsi Sumatera Barat.” Skripsi tidak dipublikasikan
pada Jurusan Administrasi Publik Universitas Brawijaya. Malang: 2004.
Bovaird, T. & Loffler, E. (ed.). Public Management and Governance. (London:
Routledge, 2003).
Box, R.C. Citizen governance: Leading American communities into the 21st century.
(Thousand Oaks: Sage Publications. 1998)
Conyers, D. Perencanaan sosial di dunia ketiga: suatu pengantar. (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1992)
Denhardt, J.V. & Denhardt, R.B. The New Public Service: Serving, Not Steering.
(New York: M.E. Sharpe, 2004).
Flynn, N. Public Sector Management. (Brighton: Wheatsheaf, 1990).
King, C.S. & Stivers, C. Government is us: public administration in an anti-
government era. (Thousand Oaks, California: Sage Publications, 1998).
Little, J.H. “Thinking government: bringing democratic awareness to public
administration” in Gary L. Wamsley,. and James F. Wolf (ed.) Refounding
democratic public administration: modern paradoxes, postmodern challenges.
(Thousand Oaks, California: Sage Publications, 1996).
Norton, A. International handbook of local and regional government: a comparative
analysis of advanced democracies. (Cheltenham: Edwar Elgar, 1994)
Osborne, D. & Gaebler, T. Reinventing Government : How the Entrepreneurial
Spirit is Transforming the Public Sector. (New York : A William Patrick Book,
1992).
Rozaki, A. dkk. Prakarsa desentralisasi dan otonomi desa. (Yogyakarta: IRE, 2005).
Savas, E.S. Privatization and Public-Private Partnerships. (New York : Chatam
House Publishers, 2000).
Sekolengo, A.B. “Fungsi BPD dan Lembaga Adat (Mosalaki) dalam
penyelenggaraan pemerintahan desa: suatu studi di Desa Sokoria, Kecamatan Ndona
Timur, Kabupaten Ende, Propinsi Nusa Tenggara Timur.” Skripsi tidak
dipublikasikan pada Jurusan Administrasi Publik Universitas Brawijaya. Malang:
2004.
Sisk, T.D., et.al. Democracy at the local level: the International IDEA Handbook on
participation, conflict management, and governance. (Stockholm: International
Institute for Democracy and Electoral Assistance, 2001).
Wamsley, G.L. & Wolf, J.F. (ed.) Refounding democratic public administration:
modern paradoxes, postmodern challenges. (Thousand Oaks, California: Sage
Publications, 1996).
New Public Management (part 1)
Artikel, Tugas Kuliah

by rimaru

Perdebatan tentang kinerja administrasi publik di seluruh dunia selalu


ditandai dengan ketidakpuasan. Baik politisi maupun warga, bahkan juga Pegawai
administrasi sendiri, mengkritisi administrasi dengan kata kunci: ”terlalu lamban,
terlalu mahal, terlalu jauh dari kebutuhan manusia, korup, buruk mutu serta
pemborosan anggaran dan sumber daya manusia”.

Patologi birokrasi, seperti pungli, korupsi, kolusi, nepotisme, diskriminasi


pelayanan, proseduralisme dan berbagai macam kegiatan yang tidak efektif dan
efisien, telah mengakibatkan terpuruknya kinerja administrasi publik di mata
masyarakat.

Buruknya kinerja administrasi publik tidak hanya pada masa orde baru yang
sentralistik, tapi juga masih menggurita pada masa sekarang sebagaimana hasil
penelitian dan penilaian Bank Dunia yang dilaporkan dalam World Development
Report 2004 dan Governance and Desentralization Survey (GDS) 2002.

Untuk menjawab masalah tersebut muncullah paradigma baru administrasi publik


yang disebut “New Public Management”. “New Public Management” (NPM)
merupakan sistem manajemen administrasi publik yang paling aktual di seluruh
dunia dan sedang direalisasikan di hampir seluruh negara industri.

Sistem ini dikembangkan di wilayah anglo Amerika sejak paruh kedua tahun 80-an
dan telah mencapai status sangat tinggi khususnya di Selandia Baru. Perusahaan-
perusahaan umum diprivatisasi, pasar tenaga kerja umum dan swasta dideregulasi,
dan dilakukan pemisahan yang jelas antara penetapan strategis wewenang negara
oleh lembaga-lembaga politik (apa yang dilakukan negara) dan pelaksanaan
operasional wewenang oleh administrasi (pemerintah) dan oleh badan penanggung
jawab yang independen atau swasta (bagaimana wewenang dilaksanakan).

Administrasi dan badan penanggung jawab melaksanakan tugas yang diserahkan


oleh negara atas dasar perumusan “order”” secara kuantitatif dan kualitatif, lalu
disepakatilah anggaran biaya untuk pelaksanaan order tersebut (order kerja dan
anggaran umum). Pada intinya new public management adalah adminisitrasi publik
yang mampu bekerja secara efisien, yakni mampu memenuhi kebutuhan rakyat.

A. Sejarah Kelahiran dan Perkembangan New Public Management


Sekitar tahun 80-an dan pertengahan tahun 90-an berkembang konsep atau
pendekatan baru yang disebut pendekatan manajerial, sebagai respon adanya
ketidakpuasan pada model tradisional administrasi publik. Pendekatan ini memiliki
banyak nama, antara lain: “New Public Administration” (Bellone, 1980), “The New
Science of Organizations” (Ramos, 1981), “Managerialism” (Pollit, 1990), “New
Public Management” (Hood, 1991 dan Ferlie, 1996), “Market-based Public
Administration” (Lan and Rosenbloom, 1992). Konsep-konsep itu pada awalnya
ingin mengemukakan pandangan baru yang bisa mencerahkan konsep ilu
administrasi negara.

Khusus konsep New Public Management, konsep ini ingin memperkenalkan


konsep-konsep yang biasa diberlakukan untuk kegiatan bisnis dan di sektor privat.
Inti dari konsep ini adalah untuk mentransformasikan kinerja yang selama ini
dipergunakan dalam sektor privat dan bisnis ke sektor publik. Slogan yang terkenal
dalam konsep ini ialah “Run Government like business”

Isu berikutnya yang berkembang tidak hanya membatasi pada bagaimana


mentransformasikan kinerja sektor bisnis ke sektor pemerintahan, melainkan lebih
jauh lagi New Public Managementtelah menjadi suatu model normatif, yang
ditandai dengan meninjau kembali peran administrator public, peran dan sifat dari
profesi administrasi, dan mengapa serta bagaimana sebaiknya bertibdak dan
berperan.

Lebih dari dua dekade New Public Management telah berkembang sebagai
suatu konsep yang bisa mengganti peran dan arti dari Old Public Administration di
hampir seluruh belahan dunia ini. Sebagai hasilnya sejumlah perubahan yang positif
telah banyak dilakukan di sektor publik.

Seperti yang dikatakan di atas bahwa New Public Management muncul pada tahum
80-an dan pertengahan 90-an khususnya diNew Zealand,Australia, Inggris, dan
Amerika sebagai akibat munculnya krisis kesejahteraan negara. Paradigma ini
kemudian menyebar secara luas karena adanya promosi dari lembaga Internasional
seperti bank dunia, IMF, Sekretariat Negara Persemakmuran, dan kelompok-
kelompok konsultan manajemen (Olawu, 2002)

Konsep New Public Management seperti diuraikan di atas telah diterapkan di


Amerika Serikat ketika David Osborne dan Ted Gaebler menerbitkan buku
terlaris “Reinventing Government” (1992) dan kemudian dilanjutkan dengan
menerbitkan buku “Banishing Bureucracy”I (1997) bersama Peter Plastrik.

Dengan mengambil pengalaman dari negara-negara lain terutama dari Inggris dan
New Zealand dan pengalaman dari beberapa negara bagian di Amerika. Osborne
memperkenalkan New Public Management dalam birokrasi pemerintah dan ternyata
disambut baik oleh pemerintahan Bill Clinton yang menindakanjuti dengan
melakukan pembaharuan di dalam birokrasi pemerintahannya.
Read more http://rimaru.web.id/public-management-part-1/

B. Pengertian New Public Management

Administrasi negara berawal dari sesuatu yang semata-mana teknis, yaitu demi
efisiensi dan efektivitas, bagaimana bekerja dengan ongkos seminim mungkin, dan
mencapai tujuan semaksimal mungkin. Kemudian lebih diarahkan kepada human
resource development, yang dalam administrasi negara tua secara samar-samar
disebut sebagai human relations. Namun, kini pendekatan itu bergeser lagi ke dalam
apa yang disebut sebagai New Public Management (NPM).

Inti dari perkembangan baru dalam administrasi negara ini adalah bagaimana
membawa paradigma bisnis yang menguntungkan ke dalam administrasi negara atau
dengan kata lain privatisasi administrasi negara. Pertanyaan paling utama di sana
adalah bagaimana mengelola administrasi pemerintahan yang lamban, lesu darah,
dan tidak bergairah menjadi suatu lembaga yang hidup, bervisi, dan juga bermisi dan
karena itu berencana dan merencanakan bukan hidupnya sendiri, tetapi masyarakat
yang dipimpinnya (Fadel Mohammad). Dengan begitu, paradigma public service
harus dibalikkan menjadi public partners, mitra dalam bekerja, yang hanya
dibedakan dalam fungsi.

New Public Management tidak selalu dipahami sama oleh semua orang. Bagi
sebagian orang, NPM adalah suatu sistem manajemen desentral dengan perangkat
perangkat manajemen baru seperti controlling, benchmarking dan lean management;
bagi yang lain, NPM dipahami sebagai privatisasi sejauh mungkin atas aktivitas
pemerintah. Sebagian besar penulis membedakan antara pendekatan manajemen
sebagai perangkat baru pengendalian pemerintah dan pendekatan persaingan sebagai
deregulasi secara maksimal serta penciptaan persaingan pada penyediaan layanan
pemerintah kepada rakyat.

Pengendalian yang berorientasi pada persaingan dengan cara pemisahan wewenang


antara pihak yang memberi dana dan pihak pelaksana tugas; pemfokusan pada
efektifitas, efisiensi dan mutu pelaksanaan tugas; pemisahan manajemen strategis
dari manajemen operasional. Dalam pemberian order dan anggaran umum,
pelaksana order swasta dan pemerintah diberlakukan sama. Adanya upaya
meningkatkan inovasi yang terarah (sebagai bagian dari order kerja) karena adanya
pendelegasian (bukan hanya desentralisasi) manajemen operasional.

Tujuan New Public Management adalah untuk merubah administrasi publik


sedemikian rupa sehingga, kalaupun belum bisa menjadi perusahaan, ia bisa lebih
bersifat seperti perusahaan. Administrasi publik sebagai penyedia jasa bagi warga
harus sadar akan tugasnya untuk menghasilkan layanan yang efisien dan efektif.
Tapi, di lain pihak ia tidak boleh berorientasi pada laba. Padahal ini wajib bagi
sebuah perusahaan kalau ia ingin tetap bertahan dalam pasar yang penuh persaingan.
Tujuan di atas bukanlah satu tujuan yang tak dapat dicapai, seperti yang ditunjukkan
oleh pengalaman dari berbagai negara (Swedia, Belanda, Selandia Baru, AS,
Britania Raya, dls.) yang beberapa tahun lalu merasa harus melakukan
reformasi terhadap kinerja administrasi publik di negara mereka. Reformasi ini juga
menjadi semakin penting di negara-negara lain dan juga di Amerika Latin.

Tema pokok dalam New Public Management antara lain bagaimana menggunakan
mekanisme pasar dan terminologi di sektor publik. Bahwa dalam melakukan
hubungan antara instani pemerintah dengan pelanggannya dipahami sebagai proses
hubungan transaksi. Dengan mentransformasikan kinerja pasar seperti ini maka
dengan kata lain akan mengganti atau mereform kebiasaan kinerja sektor publik
yang berlandaskan aturan dan proses yang menggantungkan pada otoritas pejabat
menjadi orientasi pasar, dan dipacu untuk berkompetisi sehat.

Di dalam konsep New Public Management semua pimpinan didorong untuk


menemukan cara baru dan inovatif untuk memperoleh hasil yang maksimal atau
melakukan privatisasi terhadap fungsi-fungsi pemerintah. Mereka tidak lagi
memimpin dengan cara melakukan semuanya sampai jenis pekerjaan terkecil, tidak
lagi melakukan rowing menyapu bersih semua pekerjaan. Melainkan mereka
melakukan steering membatasi terhadap pekerjaan atau fungsi mengendalikan,
memimpin, mengarahkan yang strategis saja.

Dengan demikian kunci New public management adalah menitikberatkan pada


mekanime pasar dalam mengarahkan program publik. Pengaturan seperti ini
termasuk upaya melakukan kompetisi di dalam instansi pemerintah.

Konsep New public management ini dapat dipandang sebagai suatu konsep baru
yang ingin menghilangkan monopoli pelayanan yang tidak efisien yang dilakukan
oleh instansi dan pejabat-pejabat pemerintah. Dengan konsep seperti ini maka New
Public Management akan mengubah cara dan model birokrasi publik yang
tradisional ke arah model bisnis privat dan perkembangan pasar.

Untuk lebih mewujudkan konsep New Public Manajement dalam birokrasi publik,
maka diupayakan agar para pemimpin birokrasi meningkatkan produktivitas dan
menemukan cara baru pelayanan publik berdasarkan perspektif ekonomi. Mereka
didorong untuk memperbaiki dan mewujudkan akuntabilitas publik kepada
pelanggan, meningkatkan kinerja, restrukturisasi lembaga birokrasi publik,
merumuskan kembali misi organisasi, melakukan desentralisasi proses pengambilan
kebijakan.

Kettl dan Jonathan Boston (1991) menyatakan bahwa pusat perhatian dan doktrin
New Public Management adalah lebih menekankan pada proses pengelolaan
(manajemen) ketimbang perumusan kebijakan, perubahan dari penggunaan kontrol
masukan ke penggunaan kontrol-kontrol yang bisa dihitung terhadap output dan
kinerja target, devolusi manajemen kontrol sejalan bersama dengan pengembangan
mekanisme sistem pelaporan, monitoring dan akuntabilitas baru, disagregrasi
struktur birokrasi yang besar menjadi struktur instansi yang kuasai otonomi, secara
khusus melalukan pemisahan antara fungsi-fungsi komersial dengan non komersial,
menggunakan prepensi untuk kegiatan privat seperti privatisasi, sistem kontrak
sampai dengan penggunaan sistem penggajian dan renumerasi yang efektif dan
efisien.

Dalam upaya melakukan perbaikan birokrasi pemerintah sering kita mendengar


istilah Reinventing Bureaucracy. Istilah ini sebenarnya sama halnya dengan upaya
untuk melakukan pembaharuan di bidang birokrasi pemerintah yang biasa pula
dikatakan sebagi upaya mewiraswastakan birokrasi pemerintah.

Mewiraswastakan birokrasi pemrintah bukan berarti setiap pejabat diharuskan


berdangang untuk mencari laba, melainkan adanya upaya para pejabat disertai
semua komponen instansi publik untuk senantiasa bekerja keras untuk meningkatkan
agar sumber-sumber yang berpotensi ekonomi yang dipunyai oleh instansi
pemerintah dari yang tidak berproduktif menjadi berproduktif, dari yang
produksinya rendah ke produksi yang lebih tinggi.

Sehingga dapat dikatakan bahwa reinventing government adalah


mentransformasikan atau mengadopsi kinerja dalam dunia usaha ke kinerja birokrasi
atau organisasi pemerintah, sehingga sering pula disebut mewiraswastakan atau
privatisasi birokrasi.

Alasan mengapa politik dan administrasi tertarik pada NPM sangat beranekaragam
dan cenderung tak jelas: adminsitrasi mengharapkan memperoleh otonomi yang
lebih besar dan debirokratisasi, pihak politisi yang mengurus masalah keuangan
(parlemen, DPRD) ingin secepat mungkin mereformasi anggaran, sementara
pemerintah dan juga parlemen mengharapkan memperoleh kemungkinan
pengendalian yang lebih besar dan baru.

Banyak politisi khawatir, dengan anggaran umum (Globalbudget) pihak pemerintah


dan administrasi hendak melepaskan diri dari kewajiban justifikasi dan ingin
melucuti wewenang parlemen dalam membuat keputusan dengan cara mengajukan
anggaran yang tak berarti. Pihak pelaksana order kecewa jika dilakukan
pemangkasan anggaran atas dasar perbandingan produksi dan biaya (benchmarking).
Indikator produksi dianggap “tak memadai” atau keseluruhannya dilihat sebagai
“dampak negatif ekonomi” yang tak pada tempatnya atau sebagai penghinaan
terhadap administrasi yang profesional.

Untuk menilai administrasi dalam kasus konkritnya, orang harus terlebih dulu
menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:

1. Hasil atau tujuan apa saja yang akan dicapai? (outcome)


2. Kerja apa saja yang diperlukan untuk bisa memenuhi tujuan (hasil) ini?
(output)
3. Siapa yang harus melaksanakan kerja tersebut?
4. Berapa banyak dana pemerintah yang harus digunakan untuk itu?
Read more http://rimaru.web.id/public-management-part-2/

Semakin monopolistik kondisi umum yang harus dihadapinya maka makin penting
pula perbandingan hasil kerja dan biaya dalam administrasi publik. Akibatnya, si
“klien” (warga) tidak bisa “memilih” sekolah, jasa pembuangan sampah atau polisi
(karena semuanya ditangani pemerintah atau pemkot). Karena seringkali tidak ada
dana yang memadai, maka pajakpun atau “harga pasar” tidak mempengaruhi sistem,
misalnya sistem kepolisian.

Selain biaya, outcome, output dan lain-lainnya juga harus dipahami dengan teliti. Ini
selalu memunculkan kontroversi besar menyangkut pengukuran dan kualitasnya.
Karena itu jaminan kualitas dalam sektor publik masih lebih penting, tapi juga
kadang-kadang lebih rumit daripada di perusahaan-perusahaan swasta.

Karena, misalnya, harus dilakukan evaluasievaluasi yang menyeluruh dan banyak


makan biaya. Artinya, harus ada evaluasi yang menggunakan metode yang dapat
merambah seluruh bidang dalam administrasi publik terhadap dampak yang telah
dicapai dari upaya-upaya yang dilakukan.

New Public Management tidak memiliki teori yang menyeluruh dan umumnya
didasari pada pengalaman-pengalaman empirik hasil eksperimen yang bertujuan
membuat administrasi publik menjadi lebih baik dan lebih efisien. Tujuan ini bukan
ditunjang pada keyakinan bahwa pemerintah (administrasi publik) akan bekerja
lebih baik dan lebih cepat, tetapi karena kekurangan dana: jadi bekerja secara efisien
dan lebih baik adalah keniscayaan bagi administrasi publik.

Tidak ada buku pedoman untuk penerapan New Public Management yang menjamin
kesuksesan jika ia direalisasikan secara konsisten. Berhasil atau tidaknya New
Public Management akan sangat tergantung pada kehendak politik dari semua yang
terlibat. Itu syarat pertama. Jika syarat ini terpenuhi, harus dibuat analisa khusus
terhadap situasi, dan dalam analisa inilah ditaksir kelebihan dan kekurangan serta
risiko-risiko yang mungkin timbul – di saat dilakukan perombakan ke arah
administrasi publik yang modern, atau risiko-risiko yang memang sudah ada.

Ini merupakan situasi klasik yang menjadi titik tolak untuk mengembangkan
strategi. Tanpa strategi seperti ini, implementasi biasanya tidak akan berhasil, dan
akan mandek di tengah jalan. Lalu, hasilnya pun akan lebih buruk dari kondisi yang
pernah ada sebelumnya.

Di lain pihak, ketidakpuasan warga terhadap efisiensi administrasi atau


penyelenggaraan pemerintahan dan tuntutan dari pihak donatur internasional serta
mitra memaksa penyelenggara pemerintah mengkaji tema “Good Governance” ke
satu arah yang mendorong terciptanya peningkatan dan perbaikan kinerja – yang
pada gilirannya menghalangi terjadinya penyalahgunaan dana dan mengakhiri
pemborosan dana.
Dengan penerapan New Public Management, praktek-praktek seperti korupsi dan
nepotisme pasti bisa ditemukan dan dihentikan sejak dini. Pada saat yang sama,
melalui pembatasan tanggung jawab yang jelas, mereka yang melakukan kesalahan
bisa diminta pertanggungjawabannya. Dengan demikian, New Public Management
sangat perlu diterapkan – meski itu menuntut pekerjaan yang tak ringan.

C. Prinsip New Public Management

Langkah untuk menerapkan New Public Management bisa dilakukan dengan syarat
ada cukup jumlah pendukung “yang kritis” yang menghendaki
reformasi.Parapendukung ini harus berasal dari administrasi (pemda, pemkot) dan
politik; berarti mereka harus seorang birokrat dan politisi. Warga juga akan setuju
dengan penerapan NPM ini karena mereka banyak mengkritisi kelemahan atau
kinerja administrasi yang loyo. Namun demikian, reformasi ini harus didukung
bersama agar warga bisa memberikan tekanan yang dibutuhkan terhadap politisi dan
pihak administrasi untuk menyelesaikan proses reformasi dengan sukses.

Harus jelas bahwa restrukturisasi seperti ini punya harga, tapi harus disadari pula
bahwa penghematan yang dihasilkan reformasi ini bisa dengan mudah membiayai
kembali investasi.

Mifta Thoha dalam bukunya Ilmu Administrasi Kontemporer menyebutkan sepuluh


prinsip New Public Management, sebagai berikut :

1. Pemerintahan harus bersifat katalis

Pemerintah katalis merupakan suatu fungsi yang mampu memisahkan sebagai


pengarah (membuat kebijakan, peraturan, undang-undang) dengan fungsi sebagai
pelaksana. Selain itu, kemudian menggunakan berbagai metode untuk mencapai
organisasi public mencapai tujuan, memilih metode yang paling sesuai untuk
mencapai efisiensi, efektivitas, persamaan, pertanggungjawaban, fleksibilitas.

2. Pemerintah milik masyarakat

Pemerintah mengalihkan wewenang control yanag dimilikinya ke tangan


masyarakat. Masyarakat diberdayakan sehingga mampu mengontrol pelayanan yang
diberikan oleh birokrasi pemerintah. Dengan adanya control dari masyarakat,
pegawai negeri akan memiliki komitmen yang lebih baik, lebih peduli, dan lebih
kreatif dalam memecahkan masalah.

3. Pemerintah kompetitif

Pemerintah kompetitif mensyaratkan adanya persaingan antara penyampai jasa atau


untuk bersaing berdasarkan kinerja dan harga. Memahami bahwa kompetisi
merupakan kekuatan fundamental untuk memaksa badan atau birokrasi pemerintah
melakukan perbaikan.

4. Pemerintah berorientasi misi


Pemerintah berorientasi misi melakukan diregulasi internal, menghapus banyak
peraturan dan ketentuan internal yang tidak efektif, dan secara radikal
menyederhanakan sistem administratif yang terlampau pangjang dan menghambat,
serta mensyaratkan setiap badan pemerintah untuk mendapatkan misi yang jelas,
kemudian memberikan kebebasan kepada pemimpin untuk menetukan cara terbaik
mewujudkan misi tersebut dalam batas-batas legal dan sah.

5. Pemerintah berorientasi pada hasil

Pemerintah yang berorientasi pada hasil mengubah fokus dari input menjadi
akuntabilitas pada keluaran (output) atau hasil.Parapimpinan organisasi pemerintah
mengukur kinerja instansi pemerintah, menetapkan target, memberi imbalan kepada
instansi-instansi pemerintah yang mencapai atau melebihi target, dengan
menggunakan anggaran untuk mengungkapkan tingkat kinerja yang diharapkan
dalam bentuk besarnya anggaran.

6. Pemerintah berorientasi pelanggan

Dalam hal ini pemerintah memberlakukan masyarakat sebagai pelanggan yang harus
diutamakan. Pimpinan organisasi pemerintah melakukan survey kepada pelanggan
apa yang mereka inginkan dan butuhkan ketika berhubungan dengan instansi
pemerintah. Dengan masukan dan insentif dari masyarakat itu kemudian dirancang
suatu pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan yang diinginkan

7. Pemerintah wiraswasta

Berupaya untuk meningkatkan sumber-sumber ekonomi yang dimiliki oleh instansi


pemerintah dari yang tidak produktif diusahakan berproduktif, dari yang
produksinya rendah menjadi berproduksi tinggi, yaitu dengan mengadopsi prinsip-
prinsip kerja swasta yang relevan dalam administrasi publik.

8. Pemerintah antisipatif

Pemerintah antisipatif adalah suatu pemerintahan yang berpikir ke depan.


Pemerintah berusah mencegah timbulnya masalah daripada memberikan pelayanan
untuk menyelesaikan masalah, dengan menggunakan perencanaan strategis,
pemberian visi masa depan, dan berbagai metode lain untuk melihat masa depan.

9. Pemerintah desentralisasi

Pemerintah desentralisasi adalah suatu pemerintah yang melimpahkan sebagian


wewenag pusat kepada daerah melalui organisasi atau sistem yang ada. Sehingga
Pegawai di tingkat daerah dapat langsung memberikan pelayanan dan mampu
membuat keputusan secara mandiri, sehingga tercipta efisiensi dan efektifitas.

10. Pemerintah berorientasi pasar


Pemerintah yang berorientasi pasar acap kali memanfaatkan struktur pasar swasta
untuk memecahkan masalah dari pada menggunakan mekanisme administratif,
seperti menyampaikan pelayanan atau pemerintah dan kontrol dengan menggunakan
peraturan. Dengan menciptakan insentif keuangan-insentif pajak, pajak hijau,
sehingga dengan cara ini organisasi swasta atau anggota masyarakat berperilaku
yang mengarah pada pemecahan masalah sosial.

Prinsip NPM menurut Borins dan Warrington (1996), adalah sebagai berikut :

1. Penanganan oleh manajemen profesional


2. Keberadaan standar dan ukuran kinerja
3. penekanan pada pengawasan keluaran dan manajemen wirausaha
4. Unit yang tidak mengumpul
5. Kompetisi dalam pelayanan publik
6. Penekanan padagayasektor privat dalam praktek manajemen
7. Penekanan yang lebih besar pada disiplin dan penghematan
8. Penekana terhadap peran dari manajer publik dalam menyediakan layanan
yang berkualitas tinggi
9. Mengadvokasi otonomi mamajerial dengan mengurangi pengawasan peran
lembaga pusat
10. Tuntutan, pengukuran, dan penghargaan terhadap kinerja individu dan
organisasi
11. Menyadari pentingnya penyediaan sumber daya manusia dan teknologi yang
dibutuhkan manjer dalam memenuhi target kinerja
12. Menjaga penerimaan terhadap kompetisi dan wawasan yang terbuka
mengenai bagaimana tujuan publik harus dilaksanakan oleh aparat
pemerintah.

Menurut Christopher Hood, New Public Management memiliki tujuh karakteristik


atau komponen utama, yaitu:

1. Manajemen profesional di sektor public


2. Adanya standar kinerja dan ukuran kinerja
3. Penekanan yang lebih besar terhadap pengendalian output dan outcome
4. Pemecahan unit-unit kerja di sektor public
5. Menciptakan persaingan di sektor public
6. Pengadopsiangayamanajemen di sektor bisnis ke dalam sektor public
7. Penekanan pada disiplin dan penghematan yang lebih besar dalam
menggunakan
8. Sumber daya

Perangkat-Perangkat New Public Management

1. Manajemen kontrak
2. Penyerahan tanggung jawab di bidang sumber daya
3. Orientasi pada hasil kerja (output)
4. Controlling
5. Orientasi pada warga/pelanggan
6. Teknik informasi
7. Manajemen kualitas

PENUTUP

Kesimpulan

Inti dari New Public Management adalah bagaimana membawa paradigma bisnis
yang menguntungkan ke dalam administrasi negara atau dengan kata lain privatisasi
administrasi negara. Dengan mentransformasikan kinerja pasar seperti ini maka
dengan kata lain akan mengganti atau mereform kebiasaan kinerja sektor publik
yang berlandaskan aturan dan proses yang menggantungkan pada otoritas pejabat
menjadi orientasi pasar, dan dipacu untuk berkompetisi sehat. Paradigma ini
menginginkan inovasi yang pada akhirnya akan menghasilkan efisiensi dan
efektifitas dalam administrasi publik

Konsep New public management ini dapat dipandang sebagai suatu konsep baru
yang ingin menghilangkan monopoli pelayanan yang tidak efisien yang dilakukan
oleh instansi dan pejabat-pejabat pemerintah. Dengan konsep seperti ini maka New
Public Management akan mengubah cara dan model birokrasi publik yang
tradisional ke arah model bisnis privat dan perkembangan pasar. Hal ini
dimungkinkan dengan diberikannya asas persaingan dan berbagai prinsip-prinsip
dan perangkat New Public Management, seperti yang telah dibahas sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ferlie, Ewan, Louise, Andrew. 1996. The New Public Management in Action.New
York:OxfordUniversity.
Http://poedj.multiply.com/journal/item/38/new_public_mamagement_di_Indonesia.
download 20 April 2009.

http://www.kedaikebebasan.org/berita/demokrasi/article.php?id=215. download 20
April 2009

Thoha, M. 2008. Ilmu Administrasi Publik Kontemporer.Jakarta: Kencana Prenada


Media Group

Read more http://rimaru.web.id/public-management-part-3/

Semangat NPM di Indonesia


Semangat mewujudkan New Public Management (NPM) mulai termuncul ketika
disadari bahwa organisasi sektor publik diidentikkan dengan tidak produktif, tidak
efisien, selalu merugi, rendah kualitas miskin inovasi dan kreativitas, sarang KKN,
berbelit-belit dan lain sebagainya. Karakteristik utama NPM adalah perubahan
lingkungan birokrasi lingkungan birokrasi yang didasarkan pada aturan baku menuju
system manajemen publik yang lebih fleksibel dan lebih dan lebih berorentasi pada
kepentingan publik. Konsep ini yang dalam konteks ke-indonesia-an saat ini lebih
dikenal dalam istilah Reformasi Birokrasi.

Reformasi Birokrasi merupakan perubahan signifikan elemen-elemen birokrasi,


antara lain kelembagaan, sumber daya manusia aparatur, ketatalaksanaan,
akuntabilitas aparatur, pengawasan, dan pelayanan publik. Hal penting dalam
reformasi birokrasi adalah perubahan mind-set dan culture-set serta pengembangan
budaya kerja. Reformasi Birokrasi diarahkan pada upaya-upaya mencegah dan
mempercepat pemberantasan korupsi, secara berkelanjutan, dalam menciptakan tata
pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa (good governance), pemerintah
yang bersih (clean government), dan bebas KKN.

Kendala-kendala Good Governance


Hasil pengamatan Sofian Effendi (Rektor UGM) menyimpulkan, sampai dengan
saat ini Indonesia masih dihadapkan banyak masalah dalam mengembangkan good
governance, antara lain tantangan dalam pemberantasan KKN, clean government,
kebijakan yang tidak jelas, kelembagaan belum ditata dengan baik, penempatan
personil tidak kredibel, dan enforcement menggunakan sentra kehidupan politik
yang kurang berorientasi pada kepentingan bangsa.

Reformasi Birokrasi dihadapkan pada upaya mengatasi inefisiensi, inefektivitas,


tidak profesional, tidak netral, tidak disiplin, tidak patuh pada aturan, rekrutmen
PNS tidak transparan, belum ada perubahan mindset, KKN yang marak di berbagai
jenjang pekerjaan, abdi masyarakat belum terbangun, pemerintahan belum
akuntabel, transparan, partisipatif, dan kredibel, pelayanan publik belum berkualitas
dan pelayanan publik prima belum terbangun secara luas. Strategi Reformasi
Birokrasi melalui upaya-upaya peningkatan kualitas pelayanan publik, percepatan
pemberantasan korupsi, peningkatan kinerja SDM aparatur, manajemen
kepegawaian berbasis kinerja, remunerasi dan meritokrasi, diklat berbasis
kompetensi, penyelesaian status tenaga honorer, pegawai harian lepas (PHL), dan
pegawai tidak tetap (PTT), serta deregulasi dan debirokratisasi.

Reformasi Birokrasi di Pusat dan Daerah


Gaung reformasi birokrasi bergema di pemerintah pusat dan daerah. Saat ini ada
lima lembaga yang dijadikan percontohan reformasi birokrasi, yakni Departemen
Keuangan, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara. Hingga kini sekitar 180 daerah telah
membentuk sistem pelayanan publik secara terpadu sebagai cara mereformasi
birokrasi. Hal ini terbukti mampu mengangkat daerah dari rezim birokrasi yang
lambat, mahal dan korup. Jembrana, Sragen, Bontang, Semarang, Sidoardjo, Riau,
dan Gorontalo, hanyalah beberapa daerah yang telah lebih dulu merintis reformasi
birokrasi dalam lingkup lokal. Meskipun masih dilakukan secara parsial, penataan
sistem pelayanan publik secara nyata memberi perubahan terhadap iklim investasi
daerah. Beberapa daerah telah menata sistem manajemen birokrasi, khususnya
dengan menerapkan sistem remunerasi yang berbasis pada kinerja.

Reformasi Depkeu RI
Reformasi Birokrasi di Departemen Keuangan saat ini mencakup tiga pilar, meliputi:
penataan organisasi, perbaikan proses bisnis, dan peningkatan manajemen sumber
daya manusia (SDM). Penataan organisasi meliputi modernisasi dan pemisahan,
penggabungan, serta penajaman fungsi. Perbaikan proses bisnis meliputi analisa dan
evaluasi jabatan, analisa beban kerja, dan penyusunan standard operating
procedure(SOP). Sementara peningkatan manajemen SDM meliputi
penyelenggaraan pendidikan dan latihan berbasis kompetensi, pembangunan
assessment center, penyusunan pola mutasi, peningkatan disiplin dan
pengintegrasian Sistem Informasi Manajemen Pegawai (SIMPEG).

Reformasi birokrasi Departemen Keuangan adalah perubahan fundamental dari


Departemen Keuangan yang dulu sangat tertutup menjadi terbuka. Tujuannya ada
dua. Pertama, menciptakan aparatur negara yang bersih, profesional, dan
bertanggung jawab. Kedua, menciptakan birokrasi yang efisien dan efektif sehingga
dapat memberikan pelayanan publik yang prima. Contoh paling spektakuler adalah
dikeluarkannya 6.475 Standard Operating Procedures (SOP), yang mengatur dengan
rinci mekanisme pelayanan, lama pelayanan, serta berapa biaya pelayanan.
Reformasi renumerasi juga dilakukan dengan basis kinerja, sehingga kini terdapat 27
grade, dengan rentang terendah Rpxxx (grade 27) dan tertinggi Rpxxx (grade 1).

Tuntutan di Departemen Lain: Remunerasi


Di awal Februari 2009 ini, geliat reformasi birokrasi mulai nampak di beberapa
kementerian/lembaga. Sebanyak 17 instansi pemerintah diusulkan oleh Sekretariat
Negara (Setneg) dan Sekretariat Kabinet (Sekab)untuk ditingkatkan gaji pegawainya
hingga 80 persen. Kenaikan gaji bertujuan agar reformasi pada instansi yang
bersangkutan segera tercapai. Instansi tersebut antara lain Kejaksaan, Polri, TNI,
Kementerian Perekonomian, Kementerian Kesra, dan Kementerian Polhukham,
Departemen Pertahanan, Departemen Hukum dan HAM, Kementerian PAN,
Bappenas, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Arsip Nasional, Lembaga
Administrasi Negara, dan Badan Kepegawaian Negara.

Reformasi sistem remunerasi menjadi hal yang menarik dalam sauatu sistem
berbasis kinerja. Dalam NPM, sistem remunerasi dapat menjadi suatu consequence,
kondisi yang membuat pegawai termotivasi. Akan tetapi sistem remunerasi yang
tidak berdasarkan kinerja yang berkeadilan, baik individu maupun organisasi dapat
menimbulkan kecemburuan. Pola pengukuran kinerja menjadi syarat utama
remunerasi yang berkeadilan. Penempatan dan promosi pegawai hendaknya
berdasarkan standar kompetensi. Oleh karena itu, pelaksanaan asessment centre
pegawai, program up-grading, serta pengembangan kapasitas pegawai menjadi hal
penting dalam hal ini.

Performance Management Tools


Ketersediaan standar kinerja dan pengukuran kinerja sebagai karakteristik NPM pun
masih menjadi pekerjaan rumah bagi instansi-instansi pemerintah saat ini. Memang
pengukuran beban kerja dan penyusunan LAKIP dapat menjadi salah satu penunjuk
bahwa kita mulai menyadari pentingnya standar kinerja dan pengukuran kinerja.
Akan tetapi, standar kinerja saat ini lebih kepada target kinerja dan ukuran
pencapaian kinerja bagi organisasi, bukan bagi organisasi dan pegawai. Dalam
manajemen kinerja yang baik, suatu misi, visi, sasaran strategi, dan target kinerja
sedapat mungkin menjadi ”milik” organisasi dan juga ”milik” pegawai. Seperti
dalam konsep Balanced Scorecard Robert Kaplan, melakukan cascading misi, misi,
dan sasaran strategik perlu dilakukan sampai ke pegawai.

Penerapan anggaran berbasis kinerja sebagai salah satu langkah reformasi di bidang
pengelolaan keuangan harus berhadapan dengan sejumlah kendala. Persoalan utama
adalah belum terdapatnya output dan outcome pemerintah yang bersifat SMART
(Spesific, Measurable, Achievable, Result dan Timebond). Output dan outcome
yang tercantum dalam RKAKL (Rencana Kerja Anggaran K/L) serta DIPA (Daftar
Isian Pelaksanaan Anggaran) masih banyak bersifat “abstrak” dan “tidak terukur
secara kuantitatif”. DIPA masih cenderung berisi angka-angka yang akan
dibelanjakan suatu instansi pemerintah. Hal ini tentu saja masih bermula dari masih
buruknya manajemen kinerja di instansi pemerintah.

Program-program pemerintah yang termuat dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP)


memerlukan pembenahan di aspek struktur dan penganggung jawab. Hal ini penting
mengingat sistem anggaran berbasis kinerja kita mengikuti struktur fungsi, sub
fungsi, program dan kegiatan seperti yang tercantum dalam RKP tersebut. Tumpang
tindih para pemegang tanggung jawab program antar eselon I dalam satu
kementerian dan antar kementerian dapat mengaburkan jalur-jalur pertanggung
jawaban. Idealnya, 1 eselon satu hanya bertanggung jawab atas satu atau dua
program saja. Program-program yang bersifat generik dan melekat di setiap instansi
pemerintah seperti Program Penyelenggaraan Kepemimpinan yang Baik serta
Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur sebaiknya dihilangkan dan
dilebur ke program yang lain. Bila kita telusuri dua program tersebut umumnya
hanya berisi aktivitas eks-belanja rutin dan eks-project yang disatukan untuk segera
meng-unified budget-kan anggaran kita sesuai amanat UU Nomor 17 Tahun 2003.
Kegiatan-kegiatan yang semula berada di dua program tersebut dapat di lebur
sebagai bagian dari aktifitas pendukung dalam pencapaian sasaran program utama
setiap unit eselon I, misalnya di BPPK Depkeu sebagai pendukung pencapaian
Program Pengelolaan dan Peningkatan Kapasitas SDM Aparatur.

Penerepan New Public Management di


Indonesia
Artikel, Tugas Kuliah

by rimaru

Negara merupakan alat masyarakat dalam rangka mempertahankan eksistensinya


baik secara intern maupun ekstern. Sedangkan pemerintah merupakan alat negara
yang melaksanakan fungsi-fungsi dalam penyelenggaraan negara. Oleh karena itu,
pemerintah juga merupakan alat masyarakat, yang berfungsi memberikan pelayanan
publik kepada masyarakat. Tugas pemerintah Indonesia dinyatakan dalam
pembukaan Undang-undang Dasar 1945, yang juga merupakan tujuan nasional.

Pemerintah melaksanakan pelayanan publik, baik melalui Badan Layanan Umum


(BLU) ataupun non BLU, yang mana pelayanan ini bersifat non profit oriented. Di
samping itu, pemerintah juga melaksanakan kegiatan yang bersifat profit
oriented melalui BUMN yang menyediakan barang atau jasa kepada masyarakat,
dan masyarakat harus mengeluarkan sejumlah uang tertentu untuk mendapatkannya
seperti layaknya dengan sektor swasta.

Di dalam sistem pemerintahan dikenal istilah New Public Management (NPM), yang
konsepnya terkait dengan manajemen kinerja sektor publik, yang mana pengukuran
kinerja merupakan salah satu dari prinsip-prinsipnya. New Public Management pada
awalnya lahir di negara-negara maju di Eropa dan Amerika.

Namun, negara-negara berkembang juga sudah mulai menggunakan konsep ini,


begitu juga dengan Indonesia. Tuntutan masyarakat agar sektor publik dapat
meningkatkan kinerjanya semakin besar. Jika sektor publik masih menggunakan
pendekatan administrasi, maka sektor publik akan tidak mampu memenuhi tuntutan
itu. Oleh karena itu, organisasi sektor publik perlu mengadopsi prinsip-prinsip New
Public Management.

Penerapan New Public Management di Indonesia dapat dilihat dari penerapan


beberapa karakteristik-karakteristiknya di dalam praktik-praktik yang tengah di
jalankan oleh instansi-instansi pemerintahan diIndonesia.
NPM menghendaki organisasi sektor publik dikelola secara profesional. Manajemen
profesional mensyaratkan ditentukannya batasan tugas pokok dan fungsi serta
deskripsi yang jelas, serta juga adanya kejelasan wewenang dan tanggung jawab.
Beberapa instansi pemerintahan di Indonesia sekarang sudah menyadari pentingnya
prosedur kerja yang jelas.

Untuk itu dibuatlah SOP (System Operating Prosedure), yang menjelaskan apa yang
harus dikerjakan, siapa yang mengerjakan dan waktu yang diperlukan untuk
menyelesaikan pekerjaan, serta bagaimana melaksanakannya. Pada Direktorat
Jenderal Pajak juga dibangun nilai-nilai yang menunjukkan dedikasinya yang tinggi,
yaitu integritas, profesionalisme, inovasi, dan teamwork.

Konsep NPM mensyaratkan organisasi memiliki tujuan yang jelas dan adanya
penetapan target kinerja. Penetapan target kinerja harus dikaitkan dengan standar
kinerja dan indikator kinerja. Dalam pengukuran kinerja, digunakan istilah Key
Performance Indicator (KPI). KPI merupakan ukuran keuangan dan non-keuangan
yang digunakan untuk membantu suatu organisasi menentukan dan mengukur
kemajuan menuju tujuan organisasi.

Berdasarkan program prioritas Roadmap 2008-2009 dan arahan Menteri Keuangan,


saat ini di Departemen Keuangan telah disusun lima tema peta strategi dan KPI,
yang meliputi tema pendapatan negara, belanja negara, pembiayaan APBN,
kekayaan negara, serta pasar modal dan lembaga keuangan non bank.

Dalam NPM, semua sumber daya organisasi harus dikerahkan dan diarahkan untuk
mencapai target kinerja, yang mana penekanannya adalah pada pencapaian hasil
(outcome), bukan pemenuhan prosedur. Sebagai contoh, outcome yang diharapkan
pada Direktorat Jenderal Pajak adalah pertumbuhan penerimaan pajak yang tinggi;
tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi; tingkat kepatuhan wajib pajak yang
tinggi; serta penambahan subyek dan obyek pajak. Output dan outcome harus
menjadi fokus perhatian utama organisasi.

Konsep NPM menghendaki organisasi dipecah-pecah dalam unit-unit kerja. NPM


menghendaki adanya desentralisasi, devolusi (pendelegasian), dan pemberian
kewenangan yang lebih besar kepada bawahan, yang bertujuan untuk menciptakan
organisasi yang lebih efisien.

Di indonesia, pelaksanaan desentralisasi terlihat jelas dengan adanya otonomi


daerah, yang mana daerah diberikan hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan (UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah).

Kemudian, untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan


sumber-sumber pendanaan berdasarkan kewenangan pemerintah pusat,
desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan, diatur perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah berupa sistem keuangan yang
diatur berdasarkan pembagian kewenangan, tugas, dan tanggung jawab yang jelas
antar susunan pemerintahan (UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah).

Contoh lain, pada Departemen Keuangan, telah dilakukan pemisahan beberapa


fungsi yaitu antara penyusun anggaran dengan pelaksana anggaran, yaitu Ditjen
Anggaran, Ditjen Perbendaharaan, dan Ditjen Perimbangan Keuangan.

NPM menyatakan bahwa organisasi sektor publik perlu mengadopsi mekanisme


pasar untuk menciptakan persaingan, yang dilakukan dengan mekanisme kontrak
dan tender. Hal ini dimaksudkan dalam rangka menghemat pengeluaran dan
memperoleh hasil yang lebih berkualitas, serta dapat mendorong sektor swasta atau
sektor ketiga (misalnya LSM) agar lebih berkembang.

Contoh pelayanan publik yang dikontrakkan ke pihak ketiga adalah seperti


pemungutan sampah, perawatan dan pemeliharaan aset pemerintah, pengawasan
pelaksanaan kebijakan/program pemerintah, dan lain-lain.

Read more http://rimaru.web.id/penerepan-public-management-di-indonesia/

Pelaksanaan NPM bukanlah tanpa kritik. Terdapat sejumlah hal yang dianggap
sebagai kelemahan dari NPM, ketika Administrasi Publik berusaha memahami pesan
yang ditawarkan oleh pendekatan pasar maka permasalahan yang muncul adalah
terkait dengan pernyataan bahwa tidak ada perbedaan antara menajeman sektor
publik dengan sektor privat dalam mengimplementasikan NPM. Selain itu, terdapat
sejumlah pertanyaan lain yang mengemuka mengenai validitas empirik dari NPM
dalam hal klaimnya terhadap manajemen sektor privat yang dianggap ideal untuk
sektor publik. Terdapat sejumlah pertentangan antara klaim dalam NPM terhadap
kondisi yang ada disektor publik. Model usahawan seringkali dapat mengurangi
esensi dari nilai-nilai demokratis seperti keadilan, peradilan, keterwakilan dan
partisipasi. Hal ini diakibatkan oleh adanya perbedaan besar antara kekuatan pasar
dengan kepentingan publik, dan kekuatan pasar ini tidak selalu dapat memenuhi apa
yang menjadi kepentingan publik. Bahkan dalam banyak hal, publik seringkali tidak
dilibatkan untuk berpartisipasi dalam menentukan, merencanakan, mengawasi, dan
mengevaluasi tindakan-tindakan pemerintah. Lebih jauh lagi mengingatkan bahwa
menganggap masyarakat hanya sebagai konsumen semata menyebabkan masyarakat
dijauhkan dari haknya untuk berpartisipasi.

Dimana NPM telah menumbuhkan sejumlah tantangan dalam penyediaan pelayanan


publik terkait dengan legitimasi pelayanan publik, etika pelayanan publik, serta
motivasi pelayanan publik. Selain itu, pandangan tersebut juga telah mengubah misi
dari birokrasi publik, mempengaruhi sifat dan komposisi jasa-jasa yang diberikan
sektor publik kepada masyarakat sekaligus menyebabkan transformasi pola
hubungan antara pemerintah dengan masyarakat.

Pola hubungan yang baru antara warga dengan birokrasi tersebut membawa
implikasi terhadap 5 hal yakni: (1) Redefinisi kewargaan/masyarakat dalam
pelayanan publik, (2) Transformasi etika administrasi yang mempengaruhi
masyarakat, (3) Transisi dalam perilaku dan motivasi birokrasi terhadap masyarakat,
(4) Perubahan peran dan kapasitas pelayanan publik dalam melayani masyarakat,
serta (5) Restrukturisasi hak masyarakat terhadap pelayanan publik.

Redefinisi kewargaan/masyarakat dalam pelayanan publik harus dilakukan


mengingat sebelumnya pelayanan publik dituntut untuk dapat melayani semua kelas
dan kelompok masyarakat tanpa terkecuali, khususnya kelas yang terpinggirkan
yang biasanya ditinggalkan oleh sektor privat dalam mekanisme pasar. Namun
demikian, seiring dengan diadopsinya pendekatan berorientasi pasar menyebabkan
masyarakat diredefinisikan sebagai konsumen atau klien dan karenanya memiliki
implikasi terhadap pola hubungan antara pemerintah dengan masyarakat. Dalam
pola hubungan yang baru tersebut melibatkan adanya transaksi keuangan antara
masyarakat dengan pemerintah dalam proses penyediaan pelayanan publik.
Karenanya, kondisi yang semacam ini khususnya di negara berkembang dapat
merugikan bagi kelompok masyarakat miskin yang tidak memiliki kapasitas
keuangan sebagai konsumen atau pengguna pelayanan.

Akibat lain dari adopsi pendekatan berorientasi pasar terhadap penyedia pelayanan
publik adalah terjadinya transformasi standar etika pelayanan publik selama ini
seperti akuntabilitas, keterwakilan, netralitas, daya tanggap, integritas, kesetaraan,
pertanggungjawaban, ketidakberpihakan, serta kebaikan dan keadilan yang
digantikan denngan nilai-nilai pasar seperti efisiensi, produktivitas, biaya yang
efektif, kompetisi, dan pencarian keuntungan.

Adapun transisi dalam perilaku dan motivasi birokrasi terhadap masyarakat terjadi
sebagai akibat dari adanya pergeseran perhatian pegawai negeri dari kepentingan
masyarakat kepada sasaran organisasi seperti produktivitas dan efisiensi. Atau
dengan kata lain, pegawai negeri akan lebih responsive terhadap konsumen (yang
mampu membayar) sementara menjadi lebih apatis terhadap kebutuhan dari
masyarakat berpenghasilan rendah.

Sementara itu, perubahan peran dan kapasitas pelayanan publik dalam melayani
masyarakat terjadi akibat semakinn pasifnya pemerintah dalam menyediakan barang
dan jasa kepada masyaraka. Dampaknya kemudian terjadi perubahan pola hubungan
masyarakat dan pemerintah dalam 2 hal, yakni pemerintah menjadi lebih
memfasilitasi daripada mengarahkan atau dengan kata lain “menyetir” daripada
“mendayung”, serta menurunya kapasitas dari sektor publik dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat akibat adanya kebijakan privatisasi, penghematan, dan
pemotongan anggaran. Melemahnya kemampuan dari sektor publik ini
menyebabkan mereka tidak mampu melayani kebutuhan dasar masyarakat terkait
pendidikan, perumahan, dan kesehatan, khususnya apabila mayoritas warga
masyarakat sangat menggantungkan diri terhadap sektor publik untuk pelayanan-
pelayanan dasar yang dibutuhkannya.

Pada akhirnya implikasi-implikasi diatas membawa dampak juga terhadap


restrukturisasi hak masyarakat terhadap pelayanan publik, dimana hak masyarakat
akan pelayanan publik dasar yang harus disediakan oleh pemerintah menjadi
berkurang. Hal ini, disebut sebagai berkurangnya derajat “ke-publik-an” ini
dipengaruhi oleh 5 dimensi yakni (1) tingkat perbedaan dengan privat, (2) ruang
lingkup dan komposisi dari penerima pelayanan, (3) besaran dan intensitas dari
peranan terhadap social ekonomi, (4) derajat akuntabilitas publik, (5) tingkat
kepercayaan publik. Sebagai akibatnya, dalam penyediaan pelayanan publik oleh
pemerintah terjadi pengikisan perbedaan antara publik dengan privat, menyempitnya
komposisi dari penerima pelayanan, melemahnya peranan sektor publik, munculya
masalah akuntabilitas publik, serta meningkatnya tantangan terhadap kepercayaan
publik dalam pelayanan publik.

Dampak yang ditimbulkan dari perubahab-perubahan dia tasa adalah terjadinya


krisis identitas pada sektor publik, berkurangnya kepercayaan publik terhadap
pemetintah sehingga menyebabkan kurangnya legitimasi publik, serta restrukturisasi
hubungan masyarakat dengan pemerintah dalam penyediaan pelayanan publik.

Read more http://rimaru.web.id/kritik-terhadap-npm-new-public-management/

Pergeseran paradigma model


pelayanan publik
Artikel, Tugas Kuliah

by rimaru

Menurut perpektif teoritik telah terjadi pergeseran paradigm pelayanan publik dari
model administrasi publik tradisional (old public administratiton) ke model
manajemen publik yang baru (new pulic management) dan akhirnya menuju model
pelayanan publik baru (new public service) seperti tampak pada tabel berikut ini:

ASPEK OLD PUBLIC NEW PUBLIC NEW PUBLIC


ADMINISTRATION ADMINISTRATI SERVICE
ON
Dasar Teoritis Teori politik Teori ekonomi Teori Demokrasi
Konsep kepentingan p Kepentingan Kepentingan Kepentingan publ
ublik ik
publik adalah publik mewakili
adalah hasil dari
sesuatu yang agregasi dari
dialog tentang
didefinisikan kepentingan individ
u berbagai nilai
secara politis dan

yang tercantum

dalam atur
Kepada Klien (clients) dan Pelanggan (Custom Warga Negara
siapa birokrasi pemilih er) (citizens)
harus bertanggungjaw
ab
Peran pemerintah Pengayuh (Rowing) Mengarahkan (Stee Menegoisasikan
ring) dan

mengelaborasika
n

berbagai kepentin
gan

warga negara dan

kelompok komun
itas
Akuntabilitas Menurut hirarki admini Kehendak Multi aspek:
stratif
pasar yang akuntabel pada

merupakan hasil hukum,nilai

keinginan komunitas,

pelanggan norma politik,

(customers) standar

profesional,

kepentingan

warga negara

Dalam model new public service, pelayanan publik berlandaskan teori demokrasi
yang mengajarkan egaliter dan persamaan hak diantara warga negara. Dalam model
ini kepentingan publik dirumuskan sebagai hasil dialog dari berbagai nilai yang ada
di dalam masyarakat.
Kepentingan publik bukan dirumuskan oleh elite politik seperti yang tertera dalam
aturan. Birokrasi yang memberikan pelayanan publik harus bertanggung jawab
kepada masyarakat secara keseluruhan. Peranan pemerintah daerah adalah
melakukan negosiasi dan menggali berbagai kepentingan dari masyarakat dan
berbagai kelompok komunitas yang ada. Dalam model ini birokrasi publik bukan
hanya sekedar harus akuntabel pada berbagai aturan hukum melainkan juga harus
akuntabel pada nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, norma politik yang berlaku,
standar profesional dan kepentingan masyarakat.

Dasar teoritis pelayanan publik yang ideal menurut paradigma new public service
yaitu pelayanan publik yang harus responsif terhadap berbagai kepentingan dan
nilai-nilai publik yang ada. Tugas pemerintah daerah adalah melakukan negosiasi
dan mengelaborasi berbagai kepentingan masyarakat dan kelompok komunitas, hal
ini mengandung pengertian bahwa karakter dan nilai yang terkandung didalam
pelayanan publik tersebut harus berisi preferensi nilai-nilai yang ada di dalam
masyarakat. Karena masyarakat bersifat dinamis maka karakter pelayanan publik
juga harus selalu berubah mengikuti perkembangan masyarakat. (Dwiyanto,
2006:145).

Disamping itu pelayanan publik model baru harus bersifat nondiskriminatif


sebagaimana dimaksud dasar teoritis yang digunakan yaitu teori demokrasi yang
menjamin adanya persamaan warga negara tanpa membeda-bedakan asal-usul,
kesukuan, ras, etnik, agama, dan latar belakang kepartaian. Ini berarti setiap warga
negara diperlakukan secara sama ketika berhadapan dengan birokrasi publik untuk
menerima pelayanan sepanjang syarat-syarat yang dibutuhkan terpenuhi. Hubungan
yang terjalin antara birokrat publik dengan warga negara adalah hubungan
impersonal sehingga terhindar dari sifat nepotisme dan primodialisme.

Read more http://rimaru.web.id/pergeseran-paradigma-model-pelayanan-publik/

Anda mungkin juga menyukai