Anda di halaman 1dari 9

Mekanisme dan Diagnosis Multidrug Resistant Tuberculosis (MDR Tb)

Arif Riswahyudi Hanafi, Prasenohadi


Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Persahabatan, Jakarta

Pendahuluan
Tuberkulosis (Tb) merupakan penyebab terbesar penyakit dan kematian di dunia khususnya
di Asia dan Afrika dan sejak tahun 2005 terdapat peningkatan yang disebabkan oleh
pertumbuhan populasi di India, Cina, Indonesia, Afrika Selatan dan Nigeria. Menurut WHO
prevalens kasus TB tahun 2006 ada 14,4 juta kasus dan multidrug resistant Tb (MDR Tb) ada
0,5 juta kasus dengan Tb kasus baru MDR 23.353 kasus. Jumlah total kasus Tb baru MDR
yang diobati tahun 2007 dan 2008 sekitar 50.000 kasus. Prevalens Tb di Indonesia tahun
2006 adalah 253/100.000 penduduk angka kematian 38/100.000 penduduk. Tb kasus baru
didapatkan MDR Tb 2% dan Tb kasus yang telah diobati didapatkan MDR Tb 19%.

Timbulnya resistensi obat dalam terapi Tb khususnya MDR Tb merupakan masalah besar
kesehatan masyarakat di berbagai negara dan fenomena MDR menjadi salah satu batu
sandungan program pengendalian Tb. Pengobatan pasien MDR Tb lebih sulit, mahal, banyak
efek samping dan angka kesembuhannya relatif rendah. Penyebaran resistensi obat di
berbagai negara tidak diketahui dan tatalaksana pasien MDR Tb masih tidak adekuat.

Mekanisme
Multidrug resistant tuberculosis (MDR Tb) adalah Tb yang disebabkan oleh Mycobacterium
Tuberculosis (M. Tb) resisten in vitro terhadap isoniazid (H) dan rifampisin (R) dengan atau
tanpa resisten obat lainnya. Terdapat 2 jenis kasus resistensi obat yaitu kasus baru dan kasus
telah diobati sebelumnya. Kasus baru resisten obat Tb yaitu terdapatnya galur M. Tb resisten
pada pasien baru didiagnosis Tb dan sebelumnya tidak pernah diobati obat antituberkulosis
(OAT) atau durasi terapi kurang 1 bulan. Pasien ini terinfeksi galur M. Tb yang telah resisten
obat disebut dengan resistensi primer. Kasus resisten OAT yang telah diobati sebelumnya
yaitu terdapatnya galur M. Tb resisten pada pasien selama mendapatkan terapi Tb sedikitnya
1 bulan. Kasus ini awalnya terinfeksi galur M Tb yang masih sensitif obat tetapi selama
perjalanan terapi timbul resistensi obat atau disebut dengan resistensi sekunder (acquired).
Secara mikrobiologi resistensi disebabkan oleh mutasi genetik dan hal ini membuat obat tidak
efektif melawan basil mutan. Mutasi terjadi spontan dan berdiri sendiri menghasilkan
resistensi OAT. Sewaktu terapi OAT diberikan galur M. Tb wild type tidak terpajan. Diantara
populasi M. Tb wild type ditemukan sebagian kecil mutasi resisten OAT. Resisten lebih 1
OAT jarang disebabkan genetik dan biasanya merupakan hasil penggunaan obat yang tidak
adekuat. Sebelum penggunaan OAT sebaiknya dipastikan M. Tb sensitif terhadap OAT yang
akan diberikan. Sewaktu penggunaan OAT sebelumnya individu telah terinfeksi dalam
jumlah besar populasi M. Tb berisi organisms resisten obat.
Populasi galur M. Tb resisten mutan dalam jumlah kecil dapat dengan mudah diobati. Terapi
Tb yang tidak adekuat menyebabkan proliferasi dan meningkatkan populasi galur resisten
obat. Kemoterapi jangka pendek pasien resistensi obat menyebabkan galur lebih resisten
terhadap obat yang digunakan atau sebagai efek penguat resistensi. Penularan galur resisten
obat pada populasi juga merupakan sumber kasus resistensi obat baru. Meningkatnya
koinfeksi Tb HIV menyebabkan progresi awal infeksi MDR Tb menjadi penyakit dan
peningkatan penularan MDR Tb.
Banyak faktor penyebab MDR Tb. Beberapa analisis difokuskan pada ketidakpatuhan pasien.
Ketidakpatuhan lebih berhubungan dengan hambatan pengobatan seperti kurangnya
pelayanan diagnostik, obat, transportasi, logistik dan biaya pengendalian program Tb. Survei
global resistensi OAT mendapatkan hubungan antara terjadinya MDR Tb dengan kegagalan
program Tb nasional yang sesuai petunjuk program Tb WHO. Terdapatnya MDR Tb dalam
suatu komuniti akan menyebar. Kasus tidak diobati dapat menginfeksi lebih selusin penduduk
setiap tahunnya dan akan terjadi epidemic khususnya di dalam suatu institusi tertutup padat
seperti penjara, barak militer dan rumah sakit. Penting sekali ditekankan bahwa MDR Tb
merupakan ancaman baru dan hal ini merupakan manmade phenomenon.
Pengendalian sistematik dan efektif pengobatan Tb yang sensitive melalui DOTS merupakan
senjata terbaik untuk melawan berkembangnya resistensi obat. Terdapat 5 sumber utama
resisten obat Tb menurut kontribusi Spigots, yaitu :
1. Pengobatan tidak lengkap dan adekuat menyebabkan mutasi M. Tb resistensi
2. Lamanya pasien menderita infeksi disebabkan oleh keterlambatan diagnosis MDR Tb dan
hilangnya efektiviti terapi sehingga terjadi penularan galur resisten obat terhadap kontak yang
masih sensitif.
3. Pasien resisten obat Tb dengan kemoterapi jangka pendek memiliki angka kesembuhan
kecil dan hilangnya efek terapi epidemiologi penularan.
4. Pasien resisten obat Tb dengan kemoterapi jangka pendek akan mendapatkan resistensi
lanjut disebabkan ketidak hati—hatian pemberian monoterapi (efek penguat).
5. Koinfeksi HIV dapat memperpendek periode infeksi menjadi penyakit Tb dan penyebab
pendeknya masa infeksi.

Diagnosis
Langkah awal mendiagnosis resisten obat Tb adalah mengenal pasien dalam risiko dan
mempercepat dilakukannya diagnosis laboratorium. Deteksi awal MDR Tb dan memulai
sejak awal terapi merupakan faktor penting untuk mencapai keberhasilan terapi. Pemeriksaan
yang dilakukan meliputi sputum BTA, uji kultur M. Tb dan resistensi obat. Kemungkinan
resistensi obat Tb secara simultan dipertimbangkan dengan pemeriksaan sputum BTA
sewaktu menjalani paduan terapi awal. Kegagalan terapi dapat dipertimbangkan sebagai
kemungkinan resisten obat Tb sampai ada hasil uji resistensi obat beberapa minggu kemudian
yang menunjukkan terdapatnya paduan terapi yang tidak adekuat. Identifikasi cepat pasien
resistensi obat Tb dilakukan terutama pasien memiliki risiko tinggi karena program
pengendalian Tb lebih sering menggunakan paduan terapi empiris, minimalisasi penularan,
efek samping OAT, memberikan terapi terbaik dan mencegah resistensi obat lanjut.
Prediksi seseorang dalam risiko untuk melakukan uji resistensi obat adalah langkah awal
deteksi resistensi obat. Prediktor terpenting resistensi obat adalah riwayat terapi Tb
sebelumnya, progresiviti klinis dan radiologi selama terapi Tb, berasal dari daerah insidens
tinggi resisten obat dan terpajan individu infeksi resisten obat Tb. Setelah pasien dicurigai
MDR Tb harus dilakukan pemeriksaan uji kultur M. Tb dan resistensi obat. Laboratorium
harus mengikuti protokol jaminan kualiti dan memiliki akreditasi nasional / internasional.
Khususnya 2 sampel dengan hasil yang berbeda dari laboratorium dengan tingkat yang
berbeda direkomendasikan untuk diperiksakan pada laboratorium yang lebih balk. Penting
sekali laboratorium menekankan pemeriksaan uji resistensi obat yang cepat, adekuat, valid
dan mudah dicapai oleh pasien dan layanan kesehatan. Mewujudkan laboratorium seperti ini
disuatu daerah merupakan tantangan untuk program pengendalian Tb.

Kesimpulan
Tuberkulosis sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan di dunia dan diperparah
dengan timbulnya masalah baru berupa MDR Tb. Kebanyakan MDR Tb terjadi karena
kekurang patuhan dalam pengobatan Tb.Resistensi yang terjadi dapat berupa resistensi
primer dan resistensi sekunder. Deteksi awal MDR Tb dan memulai terapi sedini mungkin
merupakan faktor penting untuk tercapainya keberhasilan terapi.
TUBERKULOSIS MULTI DRUG RESISTANT (TB-MDR)
dr. Mirsyam Ratri Wiratmoko, Sp.P, FCCP
Bagian II

PENGOBATAN TB-MDR

Pengobatan TB-MDR terdiri atas 2 fase. Fase pertama menggunakan obat injeksi dan
fase kedua tidak menggunakan obat injeksi. Durasi terapi fase awal dan lanjutan diberikan
18-24 bulan minimal 18 bulan setelah konversi sputum BTA. Fase awal direkomendasikan
injeksi selama 6 bulan sejak sputum BTA dan uji kultur M.Tb positif. Pengobatan seharusnya
terdiri atas sedikitnya 4 obat utama atau efektif. Obat injeksi digunakan minimal 6 bulan
dengan 2-3 bulan terakir diberikan obat injeksi 3 kali dalam seminggu dan atau 4 bulan
setelah kultur negatif. Lama pengobatan TB-MDR sesuai sputum Menyusun rejimen OAT
untuk TB-MDR memiliki berbagai tantangan, dipersulit dengan keterbatasan pilihan obat
disertai dengan toksisitas yang lebih besar dan kurangnya efektivitas terapi. Penggunaan obat
kombinasi merupakan suatu keharusan untuk mencegah timbulnya resistens lebih lanjut.
Resistens silang juga perlu dipertimbangkan dalam pemilihan obat saat menyusun rejimen
pengobatan TB-MDR. Saat ini terdapat 3 strategi terapi yang direkomendasikan WHO yaitu
terapi standar, terapi empiris, terapi individual.4,15

Terapi standar adalah pemberian obat sesuai panduan yang berlaku sama untuk semua
pasien dalam suatu daerah. Panduan obat terapi standar mengacu disusun oleh pihak yang
berwenang berdasarkan data surveilans resistens obat pada populasi sehingga setiap pasien
mendapatkan rejimen obat yang sama walaupun data uji kepekaan obannnnnnt secara
individual tidak tersedia. Terapi jenis ini memudahkan penanganan TB-MDR di daerah tidak
memiliki akses yang cukup terhadap uji kepekaan obat. Namun demikian, setiap kasus suspek
TB- MDR hendaknya diupayakan untuk dapat dipastikan dengan uji kepekaan obat.3

Terapi empiris adalah pemberian rejimen secara individual berdasarkan riwayat OAT
sebelumnya dengan mempertimbangkan data uji kepekaan obat dari populasi yang sama. Jika
data uji kepekaan obat pasien tersebut sudah tersedia maka dianjurkan untuk melakukan
penyesuaian rejimen terapi sesuai uji kepekaan tersebut. Terapi ini juga dapat diterapkan
pada daerah yang memiliki akses uji kepekaan obat yang terbatas. Terapi empiris dapat
diberikan pada kasus suspek TB-MDR sementara menunggu hasil uji kepekaan obat pasien
karena penundaan dimulainya terapi dapat meningkatkan risiko morbiditas, mortalitas serta
menurunkan angka keberhasilan pengobatan.3

Terapi individual pemberian rejimen disusun untuk setiap pasien berdasarkan riwayat
OAT sebelumnya serta hasil uji kepekaan obat masing-masing pasien. Mengingat lamanya
waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil uji kepekaan obat, terapi individual dapat
sebelumnya diawali oleh terapi standar atau terapi empiris. Hal ini dimaksudkan untuk
meningkatkan keberhasilan terapi, mengurangi risiko morbiditas dan mortalitas. Ketiga terapi
ini tetap harus mengikuti prinsip umum penyusunan rejimen terapi TB-MDR. Kasus suspek
TB-MDR sebaiknya dipastikan dengan uji kepekaan obat jika memungkinkan.3

Rejimen terapi terdiri dari sedikitnya 4 obat yang dipastikan atau hampir pasti efektif.
Jika bukti efikasi suatu obat tidak jelas, maka obat tersebut dapat tetap masuk dalam rejimen
terapi namun tidak dianjurkan menjadi andalan keberhasilan terapi. Lebih dari 4 macam obat
dapat digunakan pada permulaan terapi jika data uji kepekaan obat belum tersedia, efektivitas
suatu obat diragukan, atau bila terdapat lesi paru yang luas dan bilateral. Pemilihan obat
sebaiknya mempertimbangkan riwayat OAT sebelumnya, hasil uji kepekaan OAT baik lini
pertama maupun lini kedua serta daftar obat-obatan yang umum digunakan paada suatu
daerah/negara tertentu. Uji kepekaan obat sebaiknya menggunakan uji dengan
reprodusibilitas dan realibilitas tinggi dari laboratorium yang dapat dipercaya. Uji kepekaan
obat beberapa OAT lini pertama serta OAT lini kedua masih belum dapat diandalkan
sepenuhnya sehingga interpretasi terhadap hasil uji kepekaan obat-obat tersebut harus
dilakukan dengan hati-hati. Uji kepekaan obat juga tidak dapat memastikan efikasi suatu obat
ataupun sebaliknya.3,4,15

Pemberian pirazinamid, etambutol dan fluorokuinolon sebaiknya diberikan dalam


dosis tunggal jika memungkinkan karena dianggap memiliki eﬕkasi yang lebih tinggi.
Pemberian dosis tunggal juga dapat dilakukan untuk obat lini kedua jika dapat ditoleransi
dengan baik oleh pasien kecuali untuk etionamid/protionamid, sikloserin dan PAS yang
dianjurkan dalam dosis terbagi guna mengurangi efek samping yang tidak diinginkan. Pada
pasien yang mendapatkan sikloserin harus ditambahkan piridoksin (vitamin B6) dengan dosis
50 mg untuk setiap 250 mg sikloserin.

Penanganan efek samping obat dilakukan dengan segera dan adekuat untuk
mengurangi risiko terhentinya pengobatan serta mencegah morbiditas dan mortalitas akibat
efek samping yang berat. Penentuan dosis mengacu pada berat badan pasien. Pirazinamid
dapat digunakan selama pengobatan jika dinilai efektif. Sebagian besar pasien TB-MDR
mengalami inflamasi paru sehingga diperkirakan menghasilkan suasana asam. Pirazinamid
dapat berkerja dengan baik pada suasana asam. Jika pasien mengalami perbaikan,
pirazinamid dapat dihentikan bersama dengan penghentian obat injeksi sehingga pasien
hanya melanjutkan pengobatan dengan 3 macam obat yang dipastikan atau hampir pasti
efektif.3,4,15

Dari 5 kelompok OAT yang ada, rejimen terapi individual sebaiknya


mengikutsertakan OAT kelompok 1 yang masih sensitif atau diduga efektif (lini pertama).
Salah satu OAT injeksi pada kelompok 2, ditambahkan dengan salah satu fluorokuinolon
serta OAT kelompok 4 sampai tercukupi minimal kebutuhan 4 macam obat yang dipastikan
atau hampir pasti efektif pada pasien. Obat pada kelompok 5 tidak digunakan untuk TB-MDR
dan hanya untuk kasus TB-XDR (extensively-drug resistant). Langkah-langkah penyusunan
rejimen terapi TB-MDR dapat dilihat pada tabel 3.3

Tabel 3. Langkah-langkah penyusunan rejimen terapi TB-MDR/XDR

Langkah terapi Keterangan


Langkah 1 Menggunakan OAT lini  Memulai dengan OAT lini pertama yang
pertama yang bisa digunakan masih sensitif atau hampir pasti efektif

Kelompok 1:  Bila kemungkinan resisten tinggi,


sebaiknya tidak digunakan
Pirazinamid
 Hati-hati menginterpretasikan uji
Etambutol kepekaan obat
Langkah 2 Ditambah dengan kelompok 2  Penambahan dilakukan berdasarkan uji
kepekaan dan riwayat pengobatan
OAT injeksi sebelumnya

Kanamisin (atau amikasin,  Penggunaan streptomisin hendaknya


kapreomisin, streptomisin) dihindari walaupun uji kepekaan obat
masih sensitif karena tingginya angka
resisten pada berbagai galur TB-MDR dan
toksisitas yang lebih tinggi
Langkah 3 Ditambah dengan kelompok  Penambahan florokuinolon berdasarkan
3 uji kepekaan obat dan riwayat pengobatan
sebelumnya
Flourokuinolon
 Pada kasus dengan resisten ofloksasin
Levofloksasin atau TB XDR dapat menggunakan
florokuinolon generasi yang lebih baru
Moksifloksasin tetapi bukan sebagai obat andalan

Ofloksasin

Langkah 4 Pilih salah satu atau lebih  Tambahkan obat kelompok 4 sampai
obat kelompok 4: tercukupi kebutuhan minimal 4 macam
bakteriostatik oral lini kedua obat yang efektif atau hampir pasti efektif
asam para-aminosalisilat
(PAS), sikloserin (atau  Pilihan obat berdasarkan riwayat
terizadone) etionamid (atau pengobatan sebelumnya, efek samping,
protionamid) dan biaya

 Uji kepekaan obat bukan merupakan


standar untuk pemilihan obat kelompok ini
Langkah 5 Pertimbangkan penambahan  Penambahan obat kelompok 5 hendaknya
obat kelompok 5: obat-obatan berkonsultasi lebih dahulu dengan ahli
yang belum jelas diketahui TB-MDR dan dilakukan bila kebutuhan
efektivitasnya dalam terapi minimal 4 macam obat belum terpenuhi
TB-MDR dari 4 langkah sebelumnya

Klofazimin  Penambahan obat kemompok 5 sebaiknya


lebih dari 1, sekurang-kurangnya 2 macam
Linezolid
 Uji kepekaan obat bukan merupakan
Amoksisilin/klavulanat standar pemilihan obat

Tiosetazon  Obat ini tidak diberikan pada terapi TB-


MDR
Imipenem/silastatin

Isoniazid dosis tinggi

Klaritromisin

Dikutip dari (3,15)

Hasil pengobatan terhadap pasien TB-MDR ini kurang menggembirakan. Pada pasien
non HIV, konversi hanya didapat pada sekitar 50% kasus, sedangkan response rate didapat
pada 65% kasus dan kesembuhan pada 56% kasus. Pemberian OAT yang benar dan terawasi
dengan baik merupakan salah satu kunci penting mencegah dan mengatasi masalah resisten
ganda. Konsep DOTS merupakan salah satu upaya penting dalam menjamin keteraturan
berobat paisen dan menanggulangi masalah TB khususnya TB-MDR.16,17

Obat lini kedua sangat mahal dan mempunyai efek samping yang besar sehingga
meskipun uji tersebut dapat dilakukan belum tentu pasien dengan MDR-TB dapat membeli.
Oleh karena itu salah satu cara terbaik adalah menggiatkan tindakan pencegahan melalui
program DOTS agar pasien TB tidak menjadi resisten terhadap pengobatan lini pertama.43
penelitian restrospektif oleh Yew WW dkk membandingkan keefektifan antara ofloksasin
dengan levofloksasin pada pasien MDR-TB. Hasil yang didapatkan adalah levofloksasin
lebih efektif dibandingkan dengan ofloksasin dengan perbandingan angka kesembuhan
sebesar 79%-90%.18

MONITOR

Pasien MDR-TB seharusnya dimonitor secara ketat yaitu anamnesis dan pemeriksaan
fisis secara teratur. Gejala klasik TB seperti batuk, produksi sputum, demam dan penurunan
berat badan. Gejala TB yang rekurens setelah BTA konversi sebagai contoh mungkin
menjadi gejala pertama dari gagalnya pengobatan. Di samping perbaikan klinis juga bisa
diikuti dengan konversi sputum BTA. Foto toraks tidak berubah atau hanya sedikit
menunjukkan perbaikan khususnya pada pasien-pasien yang mendapatkan pengobatan
berulang dengan lesi paru yang kronis. Foto toraks sebaiknya dilakukan sekurang kurangnya
6 bulan saat diperlukan intervensi bedah atau secara klinis pasien mengalami perburukan.
Yang paling penting secara objektif adalah perbaikan dari konversi BTA sputum dan kultur
negatif.19

Tabel 4. Monitor selama pengobatan MDR-TB

Monitor Evaluasi
Evalusi oleh dokter Awal sekurang-kurangnya setiap bulan sampai
terjadi konversi sputum, dilakukan setiap 2-3 bulan
sekali
Pemeriksaan sputum BTA dan kultur Sputum BTA dan kultur setiap bulan selama
pengobatan sampai sputum konversi selanjutnya
sputum BTA setiap bulan dan kultur setiap 3 bulan
sekali
Berat badan Awal pengobatan dan setiap bulan
Foto toraks Awal pengobatan selanjutnya setiap 6 bulan sekali
Kreatinin serum Awal pengobatan selanjutnya setiap bulan jika
memungkinkan saat mendapatkan obat injeksi setiap
1-3 minggu sekali pada pasien HIV
Kalium serum Setiap bulan selama mendapat obat injeksi. setiap 1-
3 minggu sekali pada pasien HIV
TSH (thyroid stimulating hormone) Setiap 6 bulan sekali jika mendapatkan etionamid
atau proteonamid dan atau PAS dan dimonitor setiap
bulan untuk keluhan dan gejala dari hipotiroid
Enzim hepar serum Monitor setiap 1-3 bulan sekali pada pasien yang
mendapatkan pirazinamid sedangkan pasien HIV
dilakukan setiap bulan.
HIV screening Awal pengobatan dan diulang apabila ada indikais
Hemoglobin dan jumlah leukosit Jika mendapat linezolit dimonitor setiap minggu
pertama pengobatan dilanjutkan setiap bulan atau
didapatkan gejala. Pasien HIV yang mendapat ART
termasuk aziklovir monitor setiap awal bulan
pengobatan dan bila terdapat gejala
Lipase Diindikasikan pada pasien nyeri lambung yang
menunjukkan pankreatitis pada pasien yang
mendapat linezolit
Asidosis laktat Diindikasikan pada pasien yang mendapat linezolit
Glukosa serum Jika pasien mendapat gatifloksasin monitor glukosa
dilakukan setiap minggu sekali dan melatih pasien
terhadap keluhan dan gejala hipoglikemi dan
hiperglikemi

Dikutip dari (19)

HASIL PENGOBATAN

Hasil pengobatan pasien TB-MDR yang sesuai dengan program berdasarkan hasil
sputum BTA dan kultur di laboratorium sebagai alat monitor dan akan dibuat dalam bentuk
laporan. Hasil pengobatan seharusnya diterapkan untuk pasien yang sudah mengikuti
pengobatan sesuai program DOTs. Didapatkan 6 kategori hasil pengobatan yang terdiri atas:3

1. Sembuh, yaitu pasien dinyatakan sembuh bila pasien telah menyelesaikan pengobatan
secara lengkap dan pemeriksaan dengan sputum paling sedikit 3-5 kali dengan
interval 3 bulan berturut-turut hasilnya negatif
2. Pengobatan lengkap, pengobatan yang dilakukan sesuai dengan program tetapi tidak
ditemukan definisi sembuh karena hasil pemeriksaan kultur kurang dari 5 kali
pemeriksaan (hasil kultur kurang dari 5 selama 12 bulan akhir pengobatan)

3. Meninggal, yaitu pasien TB-MDR meninggal dengan alasan apapun selama


pengobatan TB-MDR

4. Gagal pengobatan TB-MDR, yaitu dua atau lebih dari 5 hasil kultur pada akhir
pengobatan 12 bulan masih kultur positif atau jika 1 dari 3 kultur masih positif

5. Putus obat TB-MDR, yaitu pengobatan terhenti 2 bulan atau lebih untuk berbagai
alasan

6. Pindah, yaitu pasien TB-MDR yang laporan hasil akhirnya telah dipindahkan
kelaporan lain atau tidak diketahui hasil pengoba

Sumber Berita: www.fkkumj.ac.id

http://www.fkkumj.ac.id/berita-tuberkulosis-multi-drug-resistant-
tbmdr.html#ixzz43oc4QFRL

Anda mungkin juga menyukai