Anda di halaman 1dari 31

Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 1

DIVISI
NEFROLOGI
Dr. Renny Bagus, SpA, Dr. Abdul Rohim,SpA,
Dr. Retno HMA, SpA, Dr. Marito Logor, SpA

1. Sindroma Nefrotik
2. Glomerulonefritis Akut (GNA)
3. Infeksi Saluran Kemih
4. Gagal Ginjal Akut
5. Gagal Ginjal Kronik
6. Hipertensi

Divisi Nefrologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 2

Divisi Nefrologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 3

1. SINDROMA NEFROTIK

I. BATASAN

 Sindroma nefrotik adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada anak,
merupakan suatu kumpulan gejala klinis yang ditandai oleh proteinuria masif,
hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia, dan sembab. Proteinuria masif apabila didapatkan
proteinuria sebesar > 50 – 100 mg/kg BB/hari. Albumin dalam darah menurun hingga < 2,5
gram/dl. Bisa disertai hematuria, hipertensi.
 Disebut sindroma nefrotik primer bila timbul akibat kelainan primer pada glomerulus dan
disebut sindroma nefrotik sekunder bila timbul akibat penyakit sistemik.
 Kelainan primer pada glomerulus bisa terjadi secara kongenital dan idiopatik.

II. ETIOLOGI

A. Sindroma nefrotik primer


 Sindroma Nefrotik yang primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa
ada penyebab lain.
 Golongan ini paling sering dijumpai pada anak.
 Faktor etiologinya tidak diketahui
 Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital, yaitu salah
satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1
tahun, diturunkan secara resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Biasanya
resisten terhadap semua pengobatan dengan prognosis yang buruk.
 Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer dikelompokkan
menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of Kidney Disease in Children )
seperti tercantum pada tabel dibawah. Kelainan glomerulus ini sebagian besar
ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskop cahaya.

Tabel 1. Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer3

Kelainan minimal (KM)


Glomerulosklerosis (GS)
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
Glomerulonefritis kresentik (GNK)
Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
GNMP tipe II dengan deposit intramembran
GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial
Glomerulopati membranosa (GM)
Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)

 Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa sindrom nefrotik
tipe kelainan minimal.

B. Sindroma nefrotik sekunder

Divisi Nefrologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 4

 Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari berbagai
sebab yang nyata, misalnya efek samping obat.
 Penyebab yang sering dijumpai adalah :
1. Penyakit metabolik : diabetes melitus, amiloidosis, miksedema.
2. Infeksi : Malaria, hepatitis virus B, toksoplasmosis, lepra, skistosomiasis, infeksi
streptokokus, lues, AIDS.
3. Toksin/alergen : logam berat (air raksa), bisa ular, racun serangga, penisillamin,
probenecid.
4. Penyakit sistemik/penyakit kolagen : Systemic lupus erythematosus (SLE), purpura
Henoch-Schőnlein, sarkoidosis.
5. Keganasan : Leukemia, penyakit Hodgkin, tumor paru, tumor gastrointestinal.
6. Glomerulonefritis akut/kronis

III. GEJALA KLINIS

 Sembab
Sembab timbul secara lambat sehingga keluarga mengira sang anak bertambah gemuk.
Pada fase awal sembab sering bersifat intermiten; awalnya tampak pada daerah-daerah
yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah (daerah periorbita, skrotum atau labia),
akhirnya menjadi menyeluruh dan masif (anasarka).
Sembab berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai sembab muka pada
pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi bengkak pada ekstremitas bawah
pada siang harinya. Bengkak bersifat lunak, meninggalkan bekas bila ditekan (pitting
edema). Pada penderita dengan sembab hebat, kulit menjadi lebih tipis dan mengalami
oozing.
 Sesak dapat terjadi karena hidrotoraks, sembab paru atau diafragma letak tinggi karena
asites.
 Gangguan gastrointestinal : diare, anoreksia karena sembab usus, nyeri perut karena
sembab dinding usus. Hepatomegali, ascites, hernia umbilikalis dan prolaps ani karena
ascites berat.
 Kadang-kadang terjadi hipertensi
 Gangguan psikososial

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM DAN PENUNJANG DIAGNOSIS

 Urine :
protein urin baik secara kuantitatif (Esbach) maupun kualitatif (uji rebus), sedimen urin.

- Uji rebus : hasil seangin lebih kurang setara dengan 10 mg/dl


+1 = + 30 mg/dL
+2 = + 100 mg/dL
+3 = + 300 mg/dL
+4 = + 1000 mg/dL

- Hematuri
- Sedimen urin : dapat ditemukan oval fat bodies (OFB), toraks hialin/noktah.
 Darah : LED, albumin, kolesterol, globulin, BUN, Serum kreatinin, elektrolit serum.
 X-foto dada : efusi pleura.
 USG : ascites, ginjal mengalami pembesaran ringan

V. DIAGNOSIS

Divisi Nefrologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 5

Diagnosis sindroma nefrotik dibuat berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
 Anamnesa : Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di ke dua kelopak mata,
perut, tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang berkurang.
 Pemeriksaan Fisik : Dapat ditemukan edema di kedua kelopak mata, tungkai, atau
adanya asites dan edema skrotum/labia, kadang-kadang ditemukan hipertensi.
 Pemeriksaan Penunjang :
- Proteinuria : Nilai diagnostik bila didapatkan protein urine > 50 mg/kgBB/24 jam.
Jumlah protein biasanya melebihi 100 mg/dL. Uji rebus +3 s/d +4
- Hipoalbuminemia : Kadar albumin plasma < 2,5 gram/dL
- Hiperkolesterolemia : Kadar kolesterol meningkat terutama pada tipe kelainan minimal
(biasanya > 250 mg/dl) disertai dengan peningkatan lipoprotein LDL dan VLDL.
- LED meningkat, ratio albumin/globulin terbalik, ureum dan kreatinin umumnya normal
kecuali ada penurunan fungsi ginjal.

VI. DIAGNOSA BANDING :

1. Sembab non-renal : gagal jantung kongestif, gangguan nutrisi, edema hepatal,


edema Quincke.
2. Glomerulonefritis akut
3. Lupus sistemik eritematosus

VII. KOMPLIKASI

 Renjatan karena sepsis, emboli atau hipovolemi karena asites yang timbul mendadak.
 Kelainan koagulasi dan tendensi trombosis.
 Infeksi
 Kelainan hormonal dan mineral
 Gangguan pertumbuhan
 Anemia
 Gagal ginjal akut atau kronik
 Efek samping steroid, misalnya : sindrom Cushing, hipertensi, osteoporosis, gangguan
emosi dan perilaku.

VIII. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan umum
1. Diit : tinggi kalori, tinggi protein, rendah lemak, rendah garam (pada stadium sembab dan
selama diberi steroid), cairan terbatas (pada stadium sembab dan hipernatremia),
pemberian vitamin D dan kalsium.
2. Membatasi aktivitas : dengan tirah baring pada stadium sembab, bila ada hipertensi, bahaya
trombosis dan bila relaps. Lingkungan sosial harus normal, hindarkan stress psikologis.
Rawat inap untuk mengatasi komplikasi serta kontrol teratur setelah pulang dari rumah
sakit.
3. Diuretika : dosis 1-2 mg/kgBB/dosis, 2-4 kali/24 jam, diberikan bila terdapat sembab yang
hebat untuk menghindarkan retensi natrium. Jika ada hipertensi dapat diberikan
antihipertensi.
4. Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan tranfusi plasma atau albumin.
5. Berantas infeksi.

Divisi Nefrologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 6

Penatalaksanaan khusus
Terapi prednison baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari setelah diagnosis sindrom nefrotik
ditegakkan untuk memastikan apakah penderita mengalami remisi spontan atau tidak. Bila
dalam waktu 14 hari terjadi remisi spontan, prednison tidak perlu diberikan, tetapi bila dalam
waktu 14 hari atau kurang terjadi pemburukan keadaan, segera berikan prednison tanpa
menunggu waktu 14 hari.
Untuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada anak dengan sindrom nefrotik
digunakan istilah-istilah seperti tercantum pada tabel berikut :

Tabel 2. Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak dengan
sindrom nefrotik
Proteinuria negatif atau seangin,
Remisi
atau proteinuria < 40 mg/m2/jam selama 3 hari berturut-turut

Proteinuria ≥ 2 + atau proteinuria ≥ 40 mg/m 2/jam selama


Kambuh
3 hari berturut-turut, dimana sebelumnya pernah mengalami remisi

Kambuh tdk sering Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam periode 12 bulan.

≥ 2 x kambuh dlm 6 bulan pertama setelah respon awal, atau


Kambuh sering
≥ 4 x kambuh pd setiap periode 12 bulan

Responsif-steroid Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja

Terjadi 2x kambuh berturut-turut selama masa tappering terapi steroid, atau dlm
Dependen-steroid
waktu 14 hari setelah terapi steroid dihentikan
Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi prednison selama 8
Resisten-steroid
minggu
Remisi baru terjadi setelah 4 minggu terapi prednison
Responder lambat
60 mg/m2/hari tanpa tambahan terapi lain

Nonresponder awal Resisten-steroid sejak terapi awal

Nonresponder
Resisten-steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya responsif-steroid
lambat

1. Prednison :
a. Dosis induksi : 2 mg/kgBB/24 jam (maksimal 80 mg/24 jam), dibagi 3 dosis, selama 4
minggu.
b. Dosis rumatan : 1,5 mg/kgBB/24 jam, dosis tunggal pagi hari, selang sehari (setiap 48
jam sekali), selama 4 minggu. Setelah 4 minggu prednison dihentikan.
c. Bila Remisi terjadi pada 4 minggu I (R1) pengobatan dengan steroid, maka dosis
prednison AD diberikan 4 minggu (total terapi 8 minggu).
d. Bila remisi baru terjadi pada 4minggu kedua (R2) maka pengobatan dosis AD diteruskan
sampai 8 minggu (total terapi 12 minggu). Bila sampai 8 minggu terapi steroid belum
terjadi remisi, disebut steroid resisten.

Dosis penuh (FD) Dosis alternating (AD) – 3 kali seminggu


Diberikan setiap hari

 4 mg pertama   4 mg kedua   4 mg ketiga 

Divisi Nefrologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 7

R1 R2

Prednison
Prednison Imunosupresif
2 mg/kgBB/hr)
2/3 initial dose Agent lain

c. Bila kambuh tapi tidak sering : dosis induksi 2 mg/kgBB/24 jam (maksimal 80 mg/ 24
jam), dibagi 3 dosis, selama 3 minggu, dilanjutkan dengan dosis rumatan 1,5
mg/kgBB/24 jam, dosis tunggal pagi hari, selang sehari (setiap 48 jam sekali), selama 4
minggu. Setelah 4 minggu prednison dihentikan.
d. Bila kambuh sering : dosis induksi 2 mg/kgBB/24 jam (maksimal 80 mg/ 24 jam), dibagi
3 dosis, selama 3 minggu, dilanjutkan dengan dosis rumatan sebagai berikut :
 2 mg/kgBB/24 jam, dosis tunggal pagi hari, selang sehari (4 minggu).
 2/3 dosis induksi, dosis tunggal pagi hari, selang sehari (1 minggu).
 1/2 dosis induksi, dosis tunggal pagi hari, selang sehari (1 minggu).
 1/3 dosis induksi, dosis tunggal pagi hari, selang sehari (1 minggu).
 1/6 dosis induksi, dosis tunggal pagi hari, selang sehari (1 minggu), kemudian
dihentikan.
Dosis rumatan dikombinasikan dengan siklofosfamid oral 2-3 mg/kgBB/24 jam, dosis
tunggal pagi hari selama 8 minggu, kemudian dihentikan bersamaan dengan
dihentikannya prednison.

2. Sitostatika :
Indikasi pemberian sitostatika adalah resistensi terhadap prednison atau adanya efek
samping obat (gangguan pertumbuhan, osteoporosis, katarak, gangguan psikologis). Dapat
diberikan siklofosfamid oral 2 mg/kgBB/24 jam selama 3-8 minggu. Pemakaian sitostatika
terbatas karena efek sampingnya, diantaranya keracunan sumsum tulang, alopesia dan
sistitis hemoragika. Sedangkan jangka panjang dapat terjadi keganasan dan gonadotoksik.

VIII. PROGNOSIS

Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut :


1. Menderita untuk pertama kalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6 tahun.
2. Disertai oleh hipertensi.
3. Disertai hematuria.
4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
5. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.
Pada umumnya (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi respons yang baik terhadap
pengobatan awal dengan steroid, kira-kira 50% di antaranya akan relapse berulang dan sekitar
10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan steroid

Divisi Nefrologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 8

PROTOKOL TRANFUSI ALBUMIN/PLASMA


PADA SINDROMA NEFROTIK

I. DOSIS
Kebutuhan Albumin :
(3-Alb.serum) x 80 x BB = a gram
100

Jumlah yang diperlukan bila diberikan :

Albumin (20%) = a x 100 = 5 x a ml


20
Albumin (25%) = a x 100 = 4 x a ml
25
Plasma (3%) = a x 100 = 100 x a ml
3 3
Maksimal tranfusi Albumin perkali : 1 gram/kg/kali dengan kecepatan 1 ml/menit
Bila kebutuhan > dosis maksimal, Albumin harus diberikan dalam beberapa kali
Tranfusi dengan interval 12 jam/hari
Maksimal tranfusi plasma perkali : 20 ml/kg/kali
Bila kebutuhan > dosis maksimal, plasma harus diberikan dalam beberapa kali
Tranfusi dengan interval 12 jam/hari

II. FUROSEMIDE
Pada setiap kali tranfusi (Albumin maupun plasma), harus diberikan Furosemide 2
mg/kg/IV

III. PEMANTAUAN
Tekanan darah, Nadi, Pernapasan, suhu diukur dan dicatat dalam LPD pada saat basal
(B) dan setiap jam sejak 8 jam sebelum dan sesudah trnfusi dilakukan
Serum Albumin, BUN, Serum kreatinin dan serum elektrolit diperiksa pada saat 1 jam
sebelum dan sesudah tranfusi dilakukan

IV. EFEK SAMPING


1. Hipertensi : Bila terjadi Hipertensi (> 95 persentile menurut umur), diberikan
Nifedipine 0,1 mg/kg/kali sublingual, bila perlu diulang setiap 4 – 6 jam. Bila terjadi
krisis hipertensi, terapi sesuai protokol pengobatan krisis hipertensi, tranfusi
dihentikan.
2. Efek samping lain yang dijumpai, dicatat dalam LPD

Divisi Nefrologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 9

2. GLOMERULONEFRITIS AKUT
PASKA STREPTOKOKUS (GNAPS)

I. BATASAN

Glomerulonefritis akut paska streptokokus adalah suatu proses radang yang mengenai glomeruli
akibat infeksi kuman streptokokus beta hemolitikus grup A, tipe nefritogenik di tempat lain.
Penyakit ini sering mengenai anak-anak (5 – 15 tahun), jarang pada bayi. Dapat terjadi pada
anak laki-laki dan perempuan,dimana laki-laki dua kali lebih sering.

II. ETIOLOGI

Glomerulonefritis akut paska streptokokus sebagian besar (75%) timbul setelah infeksi saluran
pernapasan bagian atas yang disebabkan oleh kuman streptokokus beta hemolitikus grup A tipe
1,3,4,12,18,25,49. Tipe 2, 49, 55, 56, 57 dan 60 menyebabkan infeksi kulit. 8 – 14 hari setelah
infeksi, timbul gejala-gejala klinis. Infeksi kuman streptokokus beta hemolitikus mempunyai
resiko terjadinya GNAPS berkisar 10-15%.

III. GEJALA KLINIS

 Sembab preorbita pada pagi hari (75%)


 Malaise, sakit kepala, muntah panas, anoreksia.
 Asites (kadang-kadang)
 Takikardia, takipnea, rales pada paru dan cairan dalam rongga pleura.
 Hipertensi (tekanan darah > 95 persentil menurut umur) pada > 50% penderita.
 Air kemih berwarna merah seperti air daging, oliguria, kadang-kadang anuria.

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM/PENUNJANG DIAGNOSIS

 Pemeriksaan urine : proteinuria ringan (urine rebus), hematuria (mikroskopis/ makroskopis),


toraks granular/eritrosit.
 Pemeriksaan darah : BUN (naik pada fase akut lalu normal kembali), ASTO (> 100 kesatuan
Todd), komplemen C3 (< 50 mg/dL pada 4 minggu pertama)
 X-foto dada : bendungan pembuluh darah paru, cairan dalam rongga pleura, kardiomegali.

V. DIAGNOSIS

 Diagnosis glomerulonefritis akut dibuat berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan


laboratorium (air kemih, ASTO > 100 kesatuan Todd, C3 < 50 mg/dl).
 Diagnosis banding glomerulonefritis akut diantaranya adalah :
- Hematuria berulang dengan glomerulonefritis fokal (IgA nefropati)
- Hematuria berulang ringan
- Purpura Henoch-Schonlein
- Glomerulonefritis progresif

Divisi Nefrologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 10

VI. KOMPLIKASI

 Hipertensi ringan sampai berat (Ensefalopati hipertensi)


 Anemia karena hipervolemia dan penurunan sintesis eritropoetik
 Payah jantung karena hipertensi dan hipervolemia (volume overload)
 Gagal ginjal

VII. PENATALAKSANAAN

 Istirahat total selama fase akut, hipertensi, edema untuk menghindari penyulit.
 Penisilin prokain 600.000 IU intramuskuler selama 10 hari untuk membunuh kuman
streptokokus beta hemolotikus grup A atau amoksisilin 50 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis
selama 10 hari. Jika alergi terhadap golongan Penisilin, diganti eritromisin 30 mg/kg BB/hari
dibagi 3 dosis.
 Diit rendah garam (1 gram/hari) dan rendah protein (1 gram/kgBB/hari) pada fase akut.
 Penanganan hipertensi :
- Pemberian cairan dikurangi
- Pemberian sedativa untuk menenangkan penderita sehingga cukup beristirahat
- Pemberian obat antihipertensi : Reserpin 0,03 mg/kgBB/hari atau nifedipin 0,1 mg /kgBB/
kali
 Diuretik : Furosemid 1 mg/kgBB/kali.
 Penanganan payah jantung
 Penanganan gagal ginjal akut

VIII. PROGNOSIS

Gejala klinis biasanya menghilang dalam minggu kedua atau ketiga, sedangkan tekanan darah
umumnya menurun dalam waktu seminggu. Hematuria dapat menetap selama 4-6 minggu.
Eksaserbasi kadang-kadang terjadi akibat infeksi akut selama fase penyembuhan, tetapi pada
umumnya tidak merubah proses penyakitnya. Diperkirakan 95% akan sembuh sempurna, 2%
meninggal selama fase akut dan 2% menjadi glomerulonefritis kronis.

Divisi Nefrologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 11

3. INFEKSI SALURAN KEMIH

I. BATASAN

Infeksi saluran kemih adalah infeksi yang terjadi pada saluran kemih mulai dari uretra, buli-buli,
ureter, piala ginjal sampai jaringan ginjal. Infeksi ini dapat berupa pielonefritis akut, pielonefritis
kronis, infeksi saluran kemih berulang, bakteriuria bermakna, bakteriuria asimtomatis.

II. ETIOLOGI

 Penyebab infeksi saluran kemih pada umumnya adalah bakteri gram negatif, seperti E. coli
(80%), Klebsiela, Enterobacter, Proteus dan Pseudomonas. Penyebab yang lain, diantaranya
Stafilokokus Aureus, bakteri anaerob, TBC, jamur, virus, dll
 Infeksi dapat terjadi melalui penyebaran hematogen (neonatus) atau secara asending
(anak-anak).
 Sebagai faktor predisposisi terjadinya infeksi adalah fimosis, alir balik vesikoureter, uropati
obstruktif, kelainan kongenital buli-buli atau ginjal dan diaper rash (ruam popok).

III. GEJALA KLINIS

 Infeksi saluran kemih dapat berlangsung dengan gejala (simtomatis) atau tanpa gejala
(asimtomatis).
 Gejala klinis infeksi saluran air kemih bagian bawah secara klasik yaitu nyeri bila buang air
kecil (dysuria), sering buang air kecil (frequency), dan ngompol. Gejala infeksi saluran
kemih bagian bawah biasanya panas tinggi, gejala gejala sistemik, nyeri di daerah pinggang
belakang. Namun demikian sulit membedakan infeksi saluran kemih bagian atas dan bagian
bawah berdasarkan gejala klinis saja.
 Pada yang simtomatis, makin muda usia anak gejala klinis makin tidak khas, dapat dilihat
pada tabel berikut :

Usia Gejala klinis


0 – 1 bulan Anoreksia, muntah dan diare, panas/hipotermi tanpa diketahui
penyebabnya, ikterus, gangguan pertumbuhan, kejang, koma.
1 – 2 bulan Panas/hipotermi tanpa diketahui penyebabnya, anoreksia, muntah, diare,
gangguan pertumbuhan, kejang, koma, kolik (anak menjerit keras), urin
berbau, berubah warna, kadang disertai nyeri perut/ pinggang
2 – 6 tahun Panas/hipotermi tanpa diketahui penyebabnya, tidak dapat menahan
kencing, polakisuria, disuria, enuresis, urin berbau dan berubah warna,
diare, muntah, anoreksia, gangguan pertumbuhan.
6 – 18 tahun Nyeri perut/pinggang, Panas tanpa diketahui penyebabnya, tidak dapat
menahan kencing, polakisuria, disuria, enuresis, urin berbau dan berubah
warna

 Infeksi asimtomatis pada umumnya ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan urin
rutin.
 Pada infeksi yang kronis atau kambuh berulang dapat terjadi tanda-tanda gagal ginjal kronis
atau hipertensi serta gangguan pertumbuhan.

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM/ PENUNJANG DIAGNOSIS.


Divisi Nefrologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 12

 Pemeriksaan urine : sedimen dan biakan urin. Penampungan urin untuk pembiakan dapat
dilakukan dengan cara urin pancaran tengah atau kateterisasi kandung kemih.
 Pemeriksan darah : BUN dan kreatinin serum untuk mengetahui derajat fungsi ginjal.
 Pemeriksaan radiologis : pielografi intravena (untuk mencari latar belakang infeksi saluran
kemih dan mengetahui struktur ginjal serta saluran kemih, kelainan kongenital, kelainan
obstruktif/ anatomis), USG (untuk mengetahui kelainan struktur ginjal dan kandung kemih).

V. DIAGNOSIS

 Diagnosis infeksi saluran kemih dibuat berdasarkan gejala klinis dan ditegakkan dengan
pemeriksaan biakan urin serta pemeriksaan penunjang diagnosis yang lain
 Diduga terdapat infeksi bila dari pemeriksaan urin didapatkan adanya kuman, piuria, atau
toraks leukosit.
 Dikatakan infeksi positif bila pada pemeriksaan biakan urin tampung porsi tengah ditemukan
kuman dengan jumlah > 105 /mL 2 kali berturut-turut.
 Diagnosis pielonefritis perlu difikirkan bila didapatkan infeksi disertai hipertensi, disertai
gejala-gejala umum, adanya faktor predisposisi, fungsi konsentrasi ginjal menurun dan
respon terhadap pemberian antibiotika kurang baik.

VI. DIAGNOSA BANDING

 Yang penting adalah membedakan antara pielonefritis dan sistitis. Pielonefritis apabila
didapatkan infeksi dengan hipertensi, disertai gejala-gejala umum, adanya faktor
predisposisi, fungsi konsentrasi ginjal menurun, respons terhadap antibiotik kurang baik.

VII. KOMPLIKASI

Pielonefritis berulang dapat mengakibatkan hipertensi, parut ginjal dan gagal ginjal kronis.
Pielonefritis timbul karena adanya faktor predisposisi.

VII. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan umum :
3 prinsip penatalaksanaan infeksi saluran air kemih :
1. Memberantas infeksi
2. Menghilangkan faktor predisposisi
3. Memberantas penyulit

Medikamentosa
Antibiotik sesuai dengan hasil biakan dan uji kepekaan. Sebelum ada hasil biakan urin dan uji
kepekaan, untuk eradikasi infeksi akut diberikan antibiotik secara empirik selama 7-10 hari.
Jenis antibiotik dan dosis dapat dilihat pada lampiran.

Bedah
Koreksi bedah sesuai dengan kelainan saluran kemih yang ditemukan untuk menghilangkan
faktor predisposisi.

Suportif

Divisi Nefrologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 13

Selain pemberian antibiotik, penderita ISK perlu mendapat asupan cairan cukup, perawatan
higiene daerah perineum dan periuretra, pencegahan konstipasi.

Lain-lain
- Pengobatan simtomatis terhadap keluhan panas, muntah, diare, dan lain-lain.
- Perlu dicari dan dihilangkan faktor predisposisi.

PEMANTAUAN
Dalam 2 x 24 jam setelah pengobatan fase akut dimulai gejala ISK umumnya
menghilang. Bila gejala belum menghilang, dipikirkan untuk mengganti antibiotik yang lain
sesuai dengan uji kepekaan antibiotik. Dilakukan pemeriksaan kultur dan uji resistensi urin
ulang 3 hari setelah pengobatan fase akut dihentikan, dan bila memungkinkan setelah 1 bulan
dan setiap 3 bulan dan seterusnya tiap 3 bulan selama 2 tahun. Jika ada ISK berikan antibiotik
sesuai hasil uji kepekaan.
Bila ditemukan ada kelainan anatomik maupun fungsional yang menyebabkan obstruksi,
maka setelah pengobatan fase akut selesai dilanjutkan dengan antibiotik profilaksis (lihat
lampiran). Antibiotik profilaksis juga diberikan pada ISK berulang, ISK pada neonatus, dan
pielonefritis akut.

Penatalaksanaan khusus : Jenis dan dosis antibiotik untuk terapi ISK

Tabel : Dosis antibiotika pareneteral (A), Oral (B), Profilaksis (C)


Obat Dosis mg/kgBB/hari Frekuensi/ (umur bayi)
(A) Parenteral
Ampisilin 100 tiap 12 jam (bayi < 1 minggu)
tiap 6-8 jam (bayi > 1 minggu)
Sefotaksim 150 dibagi setiap 6jam
Gentamisin 5 tiap 12 jam (bayi < 1 minggu)
tiap 8 jam (bayi > 1 minggu)
Seftriakson 75 sekali sehari
Seftazidim 150 dibagi setiap 6 jam

(B) Oral
Rawat jalan antibiotik oral (pengobatan standar)
Amoksisilin 20-40 mg/Kg/hari q8h
Ampisilin 50-100 mg/Kg/hari q6h
Amoksisilin-asam klafulanat 50 mg/Kg/hari q8h
Sefaleksin 50 mg/Kg/hari q6-8h
Sefiksim 4 mg/kg q12h
Nitrofurantoin* 6-7 mg/kg q6h
Trimetoprim* 6-12 mg/kg q6h
Sulfametoksazole 30-60 mg/kg q6-8h
 Tidak direkomendasikan untuk neonatus dan penderita dengan insufisiensi ginja

(C) Terapi profilaksis

Divisi Nefrologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 14

Nitrofurantoin* 1 -2 mg/kg
Sulfisoksazole* 50 mg/Kg (1x malam hari)
Trimetoprim* 2mg/Kg
Sulfametoksazole 30-60 mg/kg

Pengobatan dan pencegahan infeksi berulang :


- Setiap infeksi berulang harus diobati seperti infeksi akut.
- Bila relaps atau reinfeksi terjadi lebih dari 2 kali, maka pengobatan dilanjutkan dengan
pengobatan profilaksis dengan obat-obat tersebut diatas selama 3 bulan. Bila disertai
kelainan anatomis, pencegahan dilanjutkan sampai kelainan anatomis dikoreksi.

VIII. PROGNOSIS

Infeksi saluran kemih tanpa disertai kelainan anatomis mempunyai prognosis yang baik bila
dilakukan pengobatan yang adekuat dan disertai pengawasan terhadap kemungkinan infeksi
berulang. Deteksi dini terhadap adanya kelainan anatomis, pengobatan yang segera pada fase
akut serta kerjasama yang baik antara dokter, ahli bedah urologi dan orang tua penderita
sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya perburukan yang mengarah ke fase terminal
gagal ginjal kronis.

Divisi Nefrologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 15

4. GAGAL GINJAL AKUT

I. BATASAN

Gagal ginjal akut adalah suatu keadaan klinis dimana terjadi penurunan fungsi ginjal secara
mendadak dengan akibat kemampuan ginjal untuk mempertahankan homeotasis tubuh hilang,
dan disertai dengan disertai gejala-gejala sebagai akibat gangguan keseimbangan air, elektrolit
dan asam basa serta gangguan eliminasi limbah metabolisme.

II. ETIOLOGI

 Faktor prarenal : hipoperfusi ginjal akibat dehidrasi, hipoalbuminemia, luka bakar, gagal
jantung.
 Faktor renal : akibat kerusakan jaringan ginjal, baik pada glomeruli maupun tubuli ginjal,
sehingga faal ginjal langsung terganggu. Dapat juga akibat hipoperfusi prarenal yang tidak
teratasi sehingga mengakibatkan iskemia kemudian nekrosis jaringan ginjal. Penyakit ginjal
yang bisa menyebabkan gagal ginjal intrinsik ini diantaranya adalah glomerulonefritis,
gangguan vaskularisasi ginjal, nekrosis tubular akut, pielonefritis.
 Faktor pascarenal : menyebabkan obstruksi pada saluran kemih yang bersifat bilateral,
misalnya kristal, batu, tumor, bekuan darah, trauma, kelainan bawaan.

III. GEJALA KLINIS

Keluhan dan gejala gagal ginjal akut pada anak umumnya tidak khas. Gagal ginjal akut
hendaknya dipertimbangkan pada anak dengan gejala sebagai berikut :
 Gejala non spesifik uremia : mual, muntah, anoreksia, drowsiness atau kejang.
 Oliguria atau anuria ( produksi urin < 300 mL/m2/hari atau < 1 mL/kgBB/jam)
 Hiperventilasi karena asidosis.
 Sembab
 Hipertensi
 Hematuria, proteinuria
 Tanda obstrusi saluran kemih, misalnya pancaran urine lemah, kencing menetes atau
adanya masa pada palpasi abdomen.
 Adanya keadaan-keadaan yang merupakan faktor predisposisi terjadinya gagal ginjal akut,
misalnya diare dengan dehidrasi berat, pemakaian aminoglikosida, kemoterapi pada
leukemia akut.

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

 Bla dicurigai secara klinis terdapat gagal ginjal akut maka segera dilakukan pemeriksaan
BUN dan kreatinin serum. Kreatinin serum merupakan gambaran dari laju filtrasi glomerulus
(GFR) yang dapat diperhitungkan dari rumus :

GFR (mL/menit/1,73m2) = 0,55 X Tinggi badan (cm)


Kreatinin serum (mg/100mL)

 Pemeriksaan elektrolit serum dan analisa gas darah.


 Pemeriksaan urin : volume, protein, berat jenis, osmolalitas, Natrium urin, urea urin.
 Ultrasonografi (USG).

Divisi Nefrologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 16

V. DIAGNOSIS

 Diagnosis gagal ginjal akut dibuat berdasarkan adanya gejala klinis dan didapatkan
penurunan laju filtrasi glomerulus.
 Perlu segera dibedakan jenis gagal ginjal akut prarenal, renal dan pascarenal, karena
masing-masing mempunyai aspek pengobatan yang berbeda. Gagal ginjal pascarenal
(karena obstruksi) paling mudah dipastikan dengan pemeriksaan USG, sedangkan untuk
membedakan gagal ginjal prarenal dan renal dapat dilakukan 2 macam cara pemeriksaan :

1. Perbedaan secara laboratorium :

Pemeriksaan urin Gagal ginjal prarenal Gagal ginjal renal


Volume Sedikit Sedikit
Protein Negatif Sering positif
Sedimen Normal Toraks granular/eritrosit
Berat jenis > 1020 1010-1015
Natrium urin (mmol/L) < 10 > 25
Urea urin (mmol/L) > 250 < 160
Osmolalitas (mmol/L) > 500 200-350
Rasio osmolalitas Urin > 1,3 < 1,1
Plasma

2. Perbedaan secara pemberian terapi :


Cara ini hendaknya dilakukan secara hati-hati untuk mencegah terjadinya overload
cairan ataupun dehidrasi.
a. Terapi cairan dengan NaCl 0,9 % atau RL 20 mL/kgBB selama 1 jam, dilanjutkan
pemberian diuretik. Bila terjadi diuresis > 2 mL/kgBB/jam berarti gagal ginjal
prarenal.
b. Diuretika (boleh dilakukan bila faktor prarenal telah dikoreksi) dengan furosemid 1-2
mg/kgBB/kali IV, 2 kali (selang 4 jam) atau manitol 0,5-1 gram/kgBB/kali IV dalam
10-20 menit, 1 kali. Bila terjadi diuresis > 2 mL/kgBB/jam berarti gagal ginjal
prarenal, bila < 2 mL/kgBB/jam berarti gagal ginjal renal.

VI. PENATALAKSANAAN

 Faktor prarenal (penyebab dehidrasi) harus segera dikoreksi dengan pemberian cairan yang
sesuai dan adekuat. Pemberian cairan pada gagal ginjal akut harus hati-hati untuk
menghindarkan overload cairan. Dapat dipakai rumus dimana jumlah cairan yang diperlukan
diperhitungkan terhadap jumlah kalori yang dikeluarkan, yaitu : Kebutuhan cairan sehari =
25 mL tiap 100 kalori yang dikeluarkan + jumlah volume urin sehari.

Berat badan (kg) Kebutuhan kalori sehari


3-10 100 kalori/kgBB
11-20 1000 kalori + 50 kalori/kgBB diatas 10 kg
> 20 1500 kalori + 20 kalori/kgBB diatas 20 kg

 Pemantauan pemberian cairan :


- Penurunan berat badan 0,5-1,0% tiap hari menunjukkan pemberian cairan yang tepat.
- Penurunan kadar natrium menunjukkan overhidrasi.
Asidosis harus dikoreksi. Koreksi dengan Natrium Bicarbonat 2-3 meq/kg BB, setiap 12
jam diberikan intravena dalam 10-15 menit. Bila dengan koreksi tersebut tidak
menunjukkan hasil, dialisis merupakan indikasi.
 Bila terdapat hiperkalemia berat (> 7 mEq/L, terdapat perubahan pada EKG), perlu segera
diberikan :
Divisi Nefrologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 17

- Kalsium glukonat 10% 0,5 mL/kgBB intravena dalam 10-15 menit.


- Natrium bikarbonat 8,4% 2,5 mEq/kgBB intravena
- Glukosa 0.5 g/kg bb per infus selama 30 menit ditambah insulin 0,1 unit/kg bb atau 0,2
unit/g glukosa
 Pencegahan hipokalsemia dan hiperfosfatemia dilakukan dengan pemberian suplemen
kalsium. Bila timbul tetani akibat hipokalsemia, perlu diberi glukonas kalsikus 10% IV 0,5
ml/kg bb pelan 5-10 menit, dilanjutkan dosis rumatan kalsium oral 1-4 gram/hari. Diit
rendah fosfat, dapat pula dilakukan pengikatan fosfat dalam usus dengan menggunakan
kalcium karbonate 50 mg/kg bb/hari.
 Transfusi tidak dianjurkan bila gejala klinis anemia tidak terlihat atau kadar Hb masih diatas
6 g/dL, karena transfusi dapat memperberat hiperkalemia, hipertensi dan payah jantung.
Bila Hb < 6 g/dl atau Ht < 20%, tranfusi dilakukan dengan mempergunakan pack red cell
(PRC) 10 ml/kg BB dengan tetesan lambat 4-6 jam (lebih kurang 10 tetes/menit).
 Bila terdapat hipertensi dilakukan restriksi cairan dan natrium, pemberian diuretika dan bila
perlu diberikan antihipertensi, kaptopril 0,3 mg/kg BB/kali diberikan 2-3 kali sehari. Obat
anti hipertensi lain adalah Propranolol (1-10 mg/kg BB/hari). Pada hipertensi krisis dapat
diberikan nifedipin sublingual 0,1 mg/kg BB/kali dengan pemberian maksimum 1 mg/kg
BB/hari.
 Infeksi biasanya menyerang saluran kemih. Pengobatan dengan antibiotika yang sesuai
harus segera diberikan, dosis harus disesuaikan dengan turunnya fungsi ginjal.
 Bila timbul kejang (biasanya karena hipovolemia, hipokalsemia, hipertensi atau peningkatan
BUN yang cepat atau timbul pasca transfusi darah/albumin, karena terjadi ekspansi secara
tiba-tiba dari fluid compartment) dapat diberikan anti kejang yaitu diazepam 0,3-0,5 mg/kg
BB IV dapat diulang tiap 15 menit seperti menangani kejang pada umumnya, dan
dilanjutkan rumatan dengan phenobarbital 4-8 mg/kg BB/hari.
 Prinsip nutrisi yang diberikan adalah diit tinggi kalori dan rendah protein. Jumlah kalori ideal
60-100 kalori/kgBB/hari diberikan terutama dalam bentuk glukosa dan lemak. Protein
dibatasi 0,85-1 gram/kgBB/hari dalam bentuk protein hewani. Sebaiknya diberikan pula
vitamin.
 Edema paru merupakan keadaan yang sangat berbahaya dan dapat menimbulkan kematian
dalam waktu singkat. Tindakan yang dilakukan dengan memberikan furosemid IV 1 mg/kg
BB . Di samping itu dapat diberi morfin 0,1 mg/kg BB. Bila tindakan tersebut tidak berhasil
dalam waktu 20 menit, maka dialisis harus segera dilakukan.
 Indikasi untuk dilakukan hemodialisis, bila :
- Ureum darah > 200 mg%
- Hiperkalemia > 7,5 mEq/L
- Gejala-gejala overhidrasi (sembab paru, gagal jantung, hipertensi yang tidak membaik
dengan pemberian obat)
- Terjadi perburukan keadaan umum dan terjadi gejala uremia yang berat (perdarahan,
penurunan kesadaran sampai koma).
- Tidak berhasil dengan terapi konservatif.

VII. PROGNOSIS

Prognosis gagal ginjal prarenal baik, sedangkan gagal ginjal renal kurang baik.

Divisi Nefrologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 18

5. GAGAL GINJAL KRONIK

I. BATASAN

Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah keadaan dimana terjadi penurunan fungsi ginjal secara
progresif, terdiri dari GGK ringan, sedang, berat sampai gagal ginjal terminal atau tahap akhir.
Penurunan fungsi ginjal terjadi sesuai dengan penurunan jumlah dari massa ginjal. Fungsi ginjal
dinyatakan sebagai laju filtrasi glomerulus (LFG/GFR).

Tabel 1. Pembagian gagal ginjal kronik

Massa ginjal yang masih LFG Gejala-gejala


berfungsi (%) (ml/menit/1.73m2)
Gagal ginjal ringan 50 – 25 80 – 50 Asimptomatik
Gagal ginjal sedang 25 – 15 50 – 30 Gangguan metabolik dan
Gagal ginjal berat 15 – 5 30 – 10 pertumbuhan
Gagal ginjal terminal <5 ≤ 10 Membutuhkan terapi pengganti
ginjal

II. ANGKA KEJADIAN

Angka kejadian gagal ginjal kronik sulit ditentukan secara pasti. Data GGK di Indonesia belum
diketahui secara pasti. Di RSCM Jakarta dilaporkan 21 dari 252 anak yang menderita penyakit
ginjal kronik.

III. ETIOLOGI

Penyebab terjadinya GGK bermacam-macam. Namun terdapat tiga penyebab utama GGK pada
anak yaitu kelainan kongenital, kelainan herediter, dan glomerulonefritis. Dapat juga
disebabkan oleh penyakit multisistem (lupus eritematosus, henoch schoenlein), tumor ginjal.

IV. MANIFESTASI KLINIS

Gejala klinis pada GGK dapat disebabkan oleh penyakit yang mendasari maupun akibat dari
GGK sendiri yaitu :

1. Kegagalan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit


2. Penumpukan metabolit toksik atau toksin uremik
3. Kekurangan hormon yang diproduksi di ginjal yaitu eritropoietin dan vit. D 3 aktif
4. Respon abnormal dari end organ terhadap hormon pertumbuhan

V. DIAGNOSIS

Divisi Nefrologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 19

Untuk menegakkan diagnosa GGK, anamnesis merupakan petunjuk yang sangat penting
untuk mengetahui penyakit yang mendasari. Namun demikian pada beberapa keadaan
memerlukan pemeriksaan-pemeriksaan khusus. Pemeriksaan yang diperlukan untuk
mengetahui beratnya GGK adalah sebagai berikut :

- Darah lengkap : hemoglobin, leukosit, trombosit, differential count, hapusan


darah.
- Kimia darah : Serum elektrolit (K, Na, Ca, P, Cl), ureum, kreatinin, serum
albumin, total protein, asam urat.
- Pemeriksaan urin : albumin/protein, sedimen urin.
- Laju Filtrasi Glomerulus, dapat ditentukan dengan menggunakan rumus Haycock-
Schwartz

LFG = ( K x h )
Pcr

o LFG : Laju Filtrasi Glomerulus


o K : konstanta sesuai dengan tinggi badan dan massa otot
o h : tinggi badan dalam cm
o Pcr : kadar kreatinin dalam plasma (µmol/L atau mg/dL)
o Nilai K berbeda menurut umur
Umur Pcr (mg/dL)
Preterm 0,27
Neonatus 0,37
Bayi ( 0-1 th ) 0,45
Anak ( 2-12 th) 0,55
Perempuan ( 13-21 th ) 0,55
Laki-laku ( 13-21 th) 0,70
- Foto tangan kiri dan pelvis untuk mengetahui bone age serta terjadinya
osteodistrofi ginjal.
- Thorax foto, elektrokardiografi (EKG) dan echocardiografi untuk mengetahui
terjadinya hipertrofi ventrikel.
- Pemeriksaan khusus yang diperlukan sesuai dengan penyakit yang mendasari :
o Ultrasonografi ginjal
o Urinalisis
o Pemeriksaan mikroskop urin, kultur
o Komplemen C3, LE sel

VI. PENGOBATAN

Penanganan penderita GGK meliputi penanganan :


 Penyakit yang mendasari
 Keadaan sebelum mencapai gagal ginjal terminal
 Gagal ginjal terminal
Penanganan penyakit yang mendasari misalnya pengobatan glomerulonefritis, reflux nefropati,
uropati obstruktif, serta penyakit-penyakit sistemik yang mendasari.

Penanganan sebelum penderita mencapai gagal ginjal terminal meliputi :


A. Pengobatan secara konservatif
a) Pengobatan secara simptomatis, yaitu mengurangi gejala uremia seperti mual,
muntah
Divisi Nefrologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 20

b) Mengusahakan kehidupan penderita menjadi normal kembali, sehingga dapat


melakukan aktifitas seperti sekolah dan kehidupan sosial
c) Mempertahankan pertumbuhan yang normal
d) Menghambat laju progresifitas menjadi gagal ginjal terminal
e) Mempersiapkan penderita dan keluarga untuk menjalani terapi pengganti ginjal
misalnya dialisis, transplantasi ginjal
B. Pemberian nutrisi
Pemberian nutrisi penting untuk memperbaiki nutrisi dan pertumbuhan penderita.
Pemberian nutrisi pada GGK:
a) Kalori yang adekuat mengacu pada recommended daily allowance (RDA) seperti
pada Tabel2.
b) Protein yang diberikan harus cukup untuk pertumbuhan namun tidak memperberat
keadaan uremia.
c) Pemberian diet yang mengandung fosfat harus dibatasi untuk mencegah terjadinya
hiperparatiroidism sekunder. Dianjurkan mempergunakan kalsium karbonat untuk
mengikat fosfat.

Tabel 2. Kebutuhan kalori dan protein yang direkomendasikan untuk anak dengan
gagal ginjal kronik

Umur Tinggi (cm) Energi (Kkal) Protein (g) Ca (g) P (g)


0-12 bulan 55 120/kg 2,2/kg 0,4 0,2
2-6 bulan 63 110/kg 2,0/kg 0,5 0,4
6-12 bulan 72 100/kg 1,8/kg 0,6 0,5
1-2 tahun 81 1000 18 0,7 0,7
2-4 tahun 96 1300 22 0,8 0,8
4-6 tahun 110 1600 29 0,9 0,9
6-8 tahun 121 2000 29 0,9 0,9
8-10 tahun 131 2200 31 1 1
10-12 tahun 141 2450 36 1,2 1,2
12-14 tahun L 151 2700 40 1,4 1,4
P 154 2300 34 1,3 1,3
14-18 tahun L 170 3000 45 1,4 1,4
P 159 2350 35 1,3 1,3
18-20 tahun L 175 2800 42 0,8 0,8
P 163 2300 33 0,8 0,8

C. Pemberian cairan dan elektrolit

Pengaturan cairan pada penderita GGK harus mengacu pada status hidrasi penderita.
Dilakukan evaluasi turgor kulit, tekanan darah, dan berat badan. Pada penderita GGK
dengan poliuria pemberian cairan harus cukup adekuat untuk menghindari terjadinya
dehidrasi. Harus ada keseimbangan antara jumlah cairan yang dikeluarkan (urin,
muntah, dan lain-lain) dengan cairan yang masuk. Pemberian cairan juga harus
memperhitungkan insensible water loss. Pembatasan cairan biasanya tidak diperlukan,
sampai penderita mencapai gagal ginjal tahap akhir atau terminal.

D. Koreksi asidosis dengan pemberian NaHCO3 1-2 meq/kg/hari peroral dalam dosis
terbagi. Keadaan asidosis yang berlangsung lama akan mengganggu pertumbuhan.
Pengobatan asidosis harus dimonitor. Pada asidosis berat dilakukan koreksi IV. Satu
tablet NaHCO3 500 mg = 6 Meq HCO3-.
E. Osteodistrofi ginjal
Osteodistrofi ginjal dapat dicegah dengan pemberian kalsium, pengikat fosfat serta
vitamin D. Dosis kalsium yang sering digunakan 100-300 mg/m 2/hari. Vitamin D yang

Divisi Nefrologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 21

sering digunakan 1,25 OH, vitD3 (rocatrol) dengan dosis 0,25 μg/hari (15-40
ng/kgBB/hari).
F. Hipertensi
Hipertensi pada GGK penyebabnya multifaktor. Pengobatan hipertensi meliputi non
farmakologis yaitu diet rendah garam, menurunkan berat badan dan olah raga.
Pengobatan farmakologis, obat yang sering dipergunakan yaitu : diuretik, calcium
channel blocker, ACE (angiotensin converting enzym) inhibitor, beta blocker, vasodilator
perifer.
Pengobatan hipertensi diawali dengan pemberian diuretik golongan furosemid 1-4
mg/kgBB/hari dibagi 1-4 dosis. Bila tidak berhasil dapat diberi antihipertensi calcium
channel blocker ( nifedepin 1-2 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis ), ACE inhibitor ( kaptopril
0,3 mg/kgBB/kali diberikan 2-3 kali sehari), beta blocker (propanolol 1-10
mg/kgBB/hari), dan lain-lain. Pada hipertensi krisis dapat diberikan nifedipin secara
sublingual 0,1mg/kgBB/kali maksimum 1 mg/kgBB/hari.
G. Anemia
Pemberian asam folat diberikan pada penderita dengan defisiensi asam folat, dosis 1-5
mg/hari (selama 3-4 minggu). Penderita dengan dialisis diberi dosis rumatan 1 mg/hari.
H. Gangguan jantung
Bila terjadi gagal jantung dan hipertensi, maka pengobatan diberikan furosemide secara
oral atau intravena dan pemberian calcium channel blocker. Bila terjadi perikarditis dan
uremia berat adalah indikasi dilakukan dialisis.
I. Gangguan pertumbuhan
Evaluasi pertumbuhan penderita GGK terutama dibawah umur 2 tahun dengan
melakukan pengukuran tinggi badan, berat badan, dan lingkar kepala secara teratur.
Sehingga adanya gangguan pertumbuhan dapat segera diketahui. Pemberian nutrisi
yang adekuat dapat mencegah terjadinya gangguan pertumbuhan.
J. Dialisis dilakukan pada penderita dengan indikasi sebagai berikut :
- Gejala-gejala uremia yaitu letargi, anoreksia, muntah-muntah.
- Hiperkalemia yang tidak respon dengan koreksi
- Overload cairan
- Ada 2 macam dialisis yaitu : Peritoneal dialisis dan Hemodialisis

Pada anak peritoneal dialisis lebih disukai daripada hemodialisis. Saat ini tindakan dialisis
cenderung dilakukan lebih awal yaitu bila LFG kurang dari 15 mL/menit/1,73 m 2 luas
permukaan tubuh.

Divisi Nefrologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 22

6. HIPERTENSI

I. BATASAN

Hipertensi ialah suatu keadaan tekanan darah sistolik dan atau diastolik > persentil ke 95 untuk
umur dan jenis kelamin pada pengukuran 3 kali berturut-turut.

TABEL 1. BATASAN HIPERTENSI

ISTILAH BATASAN
Normal TD sistolik dan diastolik < 90 persentil menurut umur dan jenis kelamin.
Rata-rata TD sistolik dan diastolik diantara 90 dan 95 persentil menurut
Normal-tinggi*
umur dan jenis kelamin.
Rata-rata TD sistolik dan diastolik > 95 persentil menurut umur dan jenis
Hipertensi
kelamin pada pengukuran tiga kali berturut-turut.
menurut The Second Task Force on Blood Pressure Control in Children

* Jika tekanan darah yang terbaca normal-tinggi untuk umur, tetapi anak lebih tinggi atau massa
otot berlebih untuk umurnya, maka anak ini dianggap mempunyai nilai tekanan darah normal.

TABEL 2. KRITERIA DERAJAT HIPERTENSI BERDASARKAN KENAIKAN TEKANAN


DIASTOLIK DI ATAS TEKANAN DIASTOLIK NORMAL SESUAI DENGAN UMUR

Umur (tahun)
Prosentase kenaikan di
Derajat hipertensi 1-5 6-12
atas batas normal
Td D (mmHg) Td S (mmHg)
Ringan 5-15% 75-85 90-100
Sedang 15-30% 85-95 100-110
Berat 30 - 50 % 95-112 110-120
Krisis > 50 % >112 > 120

Krisis hipertensi bila tekanan sistolik > 180 mmHg dan atau diastolik > 120 mmHg, atau setiap
kenaikan tekanan darah yang mendadak dan disertai gejala ensefalopati hipertensif, gagal ginjal,
gagal jantung, maupun retinopati.
Prevalensi kenaikan tekanan sistolik dan diastolik yang menetap pada anak usia sekolah sebesar 1,2%
dan 0,37%. Pada anak, kejadian hipertensi sekunder lebih banyak daripada hipertensi primer, dan
hampir 80% penyebabnya berasal dari penyakit ginjal.

II. ETIOLOGI

Hipertensi pada anak umumnya disebabkan oleh penyakit ginjal (hipertensi sekunder). Terjadinya
hipertensi pada penyakit ginjal adalah karena :

1. Hipervolemia.
Hipervolemia oleh karena retensi air dan natrium, efek ekses mineralokortikoid terhadap
peningkatan reabsorpsi natrium dan air di tubuli distal, pemberian infus larutan garam fisiologik,
koloid, atau transfusi darah yang berlebihan pada anak dengan laju filtrasi glomerulus yang buruk.
Hipervolemia menyebabkan curah jantung meningkat dan mengakibatkan hipertensi. Keadaan ini
sering terjadi pada glomerulonefritis dan gagal ginjal.

2. Gangguan sistem renin, angiotensin dan aldosteron.


Divisi Nefrologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 23

Renin adalah ensim yang diekskresi oleh sel aparatus juksta glomerulus. Bila terjadi penurunan
aliran darah intrarenal dan penurunan laju filtrasi glomerulus, aparatus juksta glomerulus
terangsang untuk mensekresi renin yang akan merubah angiotensinogen yang berasal dari hati,
angiotensin I. Kemudian angiotensin I oleh “ angiotensin converting enzym” diubah menjadi
angiotensin II. Angiotensin II menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah tepi, dan menyebabkan
tekanan darah meningkat. Selanjutnya angiotensin II merangsang korteks adrenal untuk
mengeluarkan aldosteron. Aldosteron meningkatkan retensi natrium dan air di tubuli ginjal, dan
menyebabkan tekanan darah meningkat.
3. Berkurangnya zat vasodilator
Zat vasodilator yang dihasilkan oleh medula ginjal yaitu prostaglandin A 2, kilidin, dan bradikinin,
berkurang pada penyakit ginjal kronik yang berperan penting dalam patofisiologi hipertensi renal.
Koarktasio aorta, feokromositoma, neuroblastoma, sindrom adrenogenital, hiperaldosteronisme
primer, sindrom Cushing, dapat pula menimbulkan hipertensi dengan patofisiologi yang berbeda.
Faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan hipertensi sekunder pada anak antara lain, luka bakar,
obat kontrasepsi, kortikosteroid, dan obat-obat yang mengandung fenilepinefrin dan
pseudoefedrin.

III. GEJALA KLINIS

Hipertensi ringan atau sedang umumnya tidak menimbulkan gejala. Gejala hipertensi baru muncul
bila hipertensi menjadi berat atau pada keadaan krisis hipertensi. Gejala-gejala dapat berupa sakit
kepala, pusing, nyeri perut, muntah, anoreksia, gelisah, berat badan turun, keringat berlebihan,
murmur, epistaksis, palpitasi, poliuri, proteinuri, hematuri, atau retardasi pertumbuhan.

Pada krisis hipertensi dapat timbul ensefalopati hipertensif, hemiplegi, gangguan penglihatan dan
pendengaran, parese n. facialis, penurunan kesadaran, bahkan sampai koma. Manifestasi klinik krisis
hipertensi yang lain adalah dekompensasi kordis dengan edema paru yang ditandai dengan gejala oleh
gejala edema, dispneu, sianosis, takikardi, ronki, kardiomegali, suara bising jantung, dan
heptaomegali. Dengan funduskopi dapat dilihat adanya kelainan retina berupa perdarahan, eksudat,
edema papil, atau penyempitan pembuluh darah arteriol retina.

Foto toraks menunjukkan adanya pembesaran jantung dengan edema paru. Pada EKG kadang-kadang
ditemukan pembesaran ventrikel kiri. Pada CT-scan kepala kadang-kadang ditemukan atrofi otak. Bila
segera ditangani gejala dapat menghilang tanpa gejala sisa.

IV. DIAGNOSA

Anamnesis
Selain adanya gejala-gejala yang dikeluhkan penderita, anamnesis yang teliti dan terarah sangat
diperlukan untuk evaluasi hipertensi pada anak. Riwayat pemakaian obat-obatan seperti kortkosteroid,
atau obat-obat golongan simpatomimetik (misal efedrin). Riwayat penyakit dalam keluarga, misalnya
hipertensi, stroke, gagal ginjal, dan lain-lain.

Pemeriksaan fisik
Dilakukan pengukuran tekanan darah pada ke empat ekstremitas untuk mencari koarktasio aorta.
Kesadaran dapat menurun sampai koma, tekanan sistolik dan diastolik meningkat, denyut jantung
meningkat. Dapat ditemukan bunyi murmur dan bruit, tanda gagal jantung, dan tanda ensefalopati.
Pada pemeriksaan funduskopi dapat ditemukan kelainan retina berupa perdarahan, eksudat, edema
papil atau penyempitan pembuluh darah arteriol retina.

Divisi Nefrologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 24

Teknik pengukuran tekanan darah

Untuk mendapatkan hasil pengukuran tekanan darah yang tepat perlu diperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
1. Manset yang digunakan harus cocok untuk ukuran anak (lihat Tabel di bawah ini). Bila
menggunakan manset yang terlalu sempit akan menghasilkan angka pengukuran yang
lebih tinggi, sebaliknya bila menggunakan manset yang terlalu lebar akan memberikan hasil
angka pengukuran lebih rendah.
2. Lebar kantong karet harus menutupi ⅔ panjang lengan atas sehingga memberikan ruangan
yang cukup untuk meletakkan bel stetoskop di daerah fossa kubiti, sedang panjang
kantong karet sedapat mungkin menutupi seluruh lingkaran lengan atas.
3. Periksa terlebih dahulu sphigmomanometer yang digunakan apakah ada kerusakan mekanik
yang mempengaruhi hasil pengukuran.
4. Pengukuran tekanan darah sebaiknya dilakukan dalam suasana yang tenang, usahakan
agar anak jangan sampai menangis, karena keadaan ini akan mempengaruhi hasil
pengukuran.

Pada anak yang lebih besar, pengukuran dilakukan dalam posisi duduk, sedang pada anak yang lebih
kecil pengukuran dilakukan dalam posisi anak berbaring. Tekanan darah diukur pada ke dua lengan
atas dan paha, untuk mendeteksi ada atau tidaknya koarktasio aorta. Cara yang lazim digunakan
untuk mengukur tekanan darah adalah cara indirek dengan auskultasi. Manset yang cocok untuk
ukuran anak dibalutkan kuat-kuat pada ⅔ panjang lengan atas. Tentukan posisi arteri brakialis dengan
cara palpasi pada fossa kubiti. Bel stetoskop kemudian ditaruh di atas daerah tersebut. Manset
dipompa kira-kira 20 mmHg di atas tekanan yang diperlukan untuk menimbulkan sumbatan pada
arteri brakialis. Tekanan di dalam manset kemudian diturunkan perlahan-lahan dengan kecepatan 2-3
mmHg/detik sampai terdengar bunyi suara lembut. Bunyi suara lembut yang terdengar ini disebut fase
1 dari Korotkoff (K1) dan merupakan petunjuk tekanan darah sistolik. Fase 1 kemudian disusul fase 2
(K2), yang ditandai dengan suara bising (murmur), lalu disusul dengan fase 3 (K3) berupa suara yang
keras, setelah itu suara mulai menjadi lemah (fase 4 atau K4) dan akhimya menghilang (fase 5 atau
K5). Pada anak jika fase 5 sulit didengar, maka fase 4 digunakan sebagai petunjuk tekanan diastolik.
The Second Task Force on Blood Pressure Control in Children menganjurkan untuk menggunakan fase
4 (K4) sebagal petunjuk tekanan diastolik untuk anak-anak berusia kurang dari 13 tahun, sedang fase
5 (K5) digunakan sebagai petunjuk tekanan diastolik untuk anak usia 13 tahun ke atas.

TABEL 3. UKURAN-UKURAN MANSET YANG TERSEDIA Dl PASARAN UNTUK EVALUASI


PENGUKURAN TEKANAN DARAH PADA ANAK
Jenis Manset Lebar kantong karet (cm) Panjang kantong karet (cm)
Neonatus 2.5 - 4.0 5.0 - 9.0
Bayi 4.0 - 6.0 11.5 -18.0
Anak 7.5 - 9.0 17.0 - 19.0
Dewasa 11.5 -13.0 22.0 - 26.0
Lengan besar 14.0 -150 30.5 - 33.0
Paha 18.0 -19.0 36.0 - 38.0

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang untuk mencari penyakit primer dibagi dalam 2 tahap (lihat lampiran).
Pemeriksaan tahap 2 dilakukan bila pada pemeriksaan tahap 1 didapatkan kelainan, dan jenis
pemeriksaan yang dilakukan disesuaikan dengan kelainan yang didapat.

Divisi Nefrologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 25

TABEL 4. PEMERIKSAAN TAHAP 1 UNTUK EVALUASI DIAGNOSTIK KEARAH


PENYEBAB HIPERTENSI SEKUNDER

Pemeriksaan untuk mendeteksi penyakit ginjal


Urinalisis, biakan urin
Kimia darah (kolesterol, albumin, globulin, asam urat, ureum, kreatinin)
Klirens kreatinin dan ureum
Darah lengkap
Pielografi intravena (bila skanning ginjal dan USG tak tersedia)
Pemeriksaan untuk mendeteksi penyakit endokrin
Elektrolit serum
Evaluasi akibat hipertensi terhadap organ target
EKG, foto thorax dan ekokardiografi

TABEL 5. PEMERIKSAAN TAHAP 2 UNTUK EVALUASI DIAGNOSTIK KEARAH PENYEBAB


HIPERTENSI SEKUNDER

ASTO, Komplemen (C3), kultur apus tenggorok/keropeng infeksi kulit


Sel LE

IV. DIAGNOSIS BANDING

Hipertensi akut

Hipertensi akut dapat disebabkan oleh glomerulonefritis akut pasca streptokokus, lupus eritematosus
sistemik, dan purpura Henoch-Schonlein.

Pemeriksaan air kemih, kadar elektrolit, IgG, IgM, IgA, C3, ASSTO, ANA, sel LE, BUN, kreatinin serum,
dan hematologi, dapat membedakan penyebab hipertensi tersebut.

Hipertensi kronik

Hipertensi kronik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis kronik, pielonefritis kronik, uropati
obstruktif, penyempitan pembuluh darah ginjal, dan gagal ginjal tahap akhir.

Hipertensi sekunder pada anak dapat pula disebabkan oleh hiperaldosteronisme primer, sindrom
Cushin, feokromositoma, hipertiroid, hiperparatiroid, pengobatan steroid jangka panjang,
neurofibromatosis, sindrom Guillain-Barre, dan luka bakar.

V. Komplikasi

- Ensefalopati hipertensif
- Payah jantung
- Gagal jantung
- Retinopati hipertensif yang dapat mengkibatkan kebutaan.

VI. PENGOBATAN

A. Medikamentosa
Penggunaan obat antihipertensi pada anak dimulai bila tekanan darah berada 10 mmHg di atas
persentil ke-95 untuk umur dan jenis kelamin. Langkah pengobatan dan dosis obat antihipertensi
dapat dilihat pada lampiran.
Divisi Nefrologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 26

Pengobatan hipertensi non krisis :


1. Tekanan diastolik 90-100 mmHg : diuretik furosemid
2. Tekanan diastolik 100-120 mmHg : furosemid ditambah kaptopril, jika belum turun, ditambah
antihipertensi golongan beta bloker atau golongan lain.
Pengobatan krisis hipertensi :
1. Nifedipin oral diberikan dengan dosis 0,1 mg/kgBB/kali. Dinaikkan 0,1 mg/kgBB/kali setiap 30
menit (dosis maksimal 10 mg/kali). Ditambah furosemid 1 mg/kgBB/kali, 2 kali sehari , bila tidak
turun diberi kaptopril 0,3 mg/kgBB/kali diberikan 2-3 kali pehari.
2. Klonidin drip 0,002 mg/kgBB/8 jam + 100 ml dektrose 5%. Tetesan awal 12 mikrodrip/menit, bila
tekanan darah belum turun, tetesan dinaikkan 6 mikrodrip/mnt setiap 30 menit (maksimum 36
mikrodrip/mnt), bila tekanan darah belum turun ditambahkan kaptopril 0,3 mg/kgBB/kali, diberikan
2-3 kali sehari (maksimal 2 mg/kgBB/kali). Diberikan bersama furosemid 1 mg/kgBB/kali, 2 kali
sehari.

Cara penurunan dosis obat anti hipertensi (Stepped-Down Therapy)

Penurunan obat antihipertensi secara bertahap perlu dilakukan pada anak, setelah tekanan darah
terkontrol dalam batas normal untuk suatu periode waktu. Petunjuk untuk langkah penurunan dosis
obat-obat antihipertensi pada anak dan rernaja seperti terlihat pada tabel berikut.

TABEL 6. PETUNJUK UNTUK STEPPED-DOWN THERAPY PADA ANAK ATAU REMAJA


Kenaikan tekanan darah terkontrol untuk 1 bulan. Dosis obat tidak
Bayi ditingkatkan. Bila tekanan darah tetap konstan dan terkontrol, dosis obat
diturunkan setiap minggu dan berangsur-angsur dihentikan.
Tekanan darah terkontrol dalam batas normal untuk 6 bulan sampai 1
tahun. Kontrol tekanan darah dengan interval waktu 6 sampai 8 minggu.
Ubah menjadi monoterapi. Setelah terkontrol berlangsung kira-kira 6
minggu, turunkan monoterapi setiap minggu dan bila memungkinkan
Anak atau Remaja berangsur-angsur dihentikan.
Jelaskan pentingnya arti pengobatan nonfarmakologik untuk
pengontrolan tekanan darah.
Jelaskan pentingnya memonitor tekanan darah secara terus menerus,
dan bahwa terapi farmakologik dapat dibutuhkan pada setiap waktu.

B. Bedah

Sesuai dengan kelainan yang ditemukan.

C. Suportif

 Pemberian nutrisi yang rendah garam dapat dilakukan. Pada anak yang obesitas diperlukan usaha
untuk menurunkan berat badan. Olahraga dapat merupakan terapi pada hipertensi ringan.
 Restriksi cairan.

D. Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya dll)

Rujukan ke Bagian Mata untuk melihat keterlibatan retina. Rujuk ke dokter nefrologi anak bila tidak
berhasil dengan pengobatan atau terjadi komplikasi .

Divisi Nefrologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 27

Lampiran

1. Kurve tekanan darah sistolik dan diastolik menurut umur dan jenis kelamin

Divisi Nefrologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 28

GAMBAR 1. Nilai tekanan darah normal, hipertensi berat, sedang dan berat untuk anak perempuan (menurut
the Report of the National Heart, Lung and Blood Institute's Task Force on Blood Pressure Control in
Children).

Divisi Nefrologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 29

Gambar 2. Nilai tekanan darah normal, hipertensi ringan, sedang, dan berat untuk anak laki-laki
(menurut the Report of the National Heart, Lung and Blood Institute's Task Force on Blood Pressure
Control in Children).

Divisi Nefrologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 30

2. Dosis obat anti hipertensi oral pada anak

Dosis (oral) per hari


Klasifikasi/Nama obat Interval dosis
Awal Maksimal
Diuretika
Hidroklorotiazid 1 mg/kg 4 mg/kg tiap 12jam
Spironolakton 1 mg/kg 3 mg/kg tiap 12jam
Furosemid 2 mg/kg 6 mg/kg tiap 6-8 jam
Penghambat adrenergik
Penghambat beta
Propranolol 0,5 mg/kg 10mg/kg tiap 8 jam
Penghambat alfa
Prazosin 0,05 mg/kg 0,4 mg tiap 8 jam
Antiadrenergik sentral
Klonidin 0,002 mg/kg 0,06 mg tiap 8 jam
Metildopa 5 mg/kg 40mg/kg tiap 6-8 jam

Bekerja pada ujung-ujung saraf simpatetik

Reserpin 0,02-0,07 mg/kg 2,5 mg sekali sehari


Vasodilator langsung
Hidralazin 1-2mg/kg 8 mg/kg tiap8-12jam
Calcium Channel Blockers
Nifedipine 0,25 mg/kg 1 mg/kg tiap 6-8 jam
Diltiazem 2mg/kg 3,5mg/kg tiap 12 jam
ACE Inhibitors
0,5 mg/kg
Captopril 5 mg/kg tiap 8 jam
Neonatus 0,05-0,5mg/kg

3. DOSIS OBAT ANTIHIPERTENSI UNTUK PENANGGULANGAN KRISIS HIPERTENSI

Cara Lamanya
Pemb respo
Obat Dosis awal Respon awal Efek samping
erian n

Takikardia. flushing,
Hidralazin IV atau IM 0,1-0,2mg/kg 10-30 men 2-6 jam
sakit kepala
0,002 mg/kg'kali
IV
ulangi setiap 4-6 jam. Dosis IV: 5 menit Mengantuk, mulut
bisa ditingkatkan sampai 3 x IM.beberapa
Klonidin IM Beberapa jam kering, hipertensi
lipat menit lebih
rebound
lama
Infus

0,007 mg/kg, Hidung tersumbat,


Reserpin IM 1,5-3 jam 2-12 jam
maksimal 2,5 mg respon awal lambat

Divisi Nefrologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 31

Divisi Nefrologi

Anda mungkin juga menyukai