Anda di halaman 1dari 5

Suatu ketika Raja Siliwangi memanggil seorang resi yang bernama Sidik

Wicaksana. Lelaki itu adalah seorang pertapa di Gunung Pandan. Ia dikenal sangat
sakti dan pandai meramalkan sesuatu yang akan terjadi. Raja Siliwangi meminta
agar Resi Sidik Wicaksana meramal keadaan kerajaan Galuh Pakuwon di masa
yang akan datang.

Sebenarnya Prabu Siliwangi agak percaya dengan ramalan itu. Untuk meyakinkan
hatinya, maka pada suatu kesempatan ia menguji kesaktian Resi Sidik Wicaksana
kembali. Raja Siliwangi mempunyai seorang permaisuri dan seorang selir.

Permaisurinya bernama Dewi Ningrum, sedangkan selirnya bernama Dewi


Pangreyep. Permaisurinya diminta untuk berdandan seperti layaknya wanita hamil.
Dewi Ningrum kemudian mengganjal perutnya dengan sebuah bokor. Begitu juga
sang selir, Dewi Pangreyep mengganjal perutnya dengan kuwali.

Keduanya seperti orang yang benar-benar hamil. Resi Sidik Wicaksana kemudian
diminta untuk meramalkan anak yang dikandung kedua wanita itu.

Tanpa banyak bicara Prabu Siliwangi mencabut keris dan membunuh sang Resi.
Seketika itu Resi Sidik Wicaksana roboh ke tanah. Namun dengan sangat ajaib,
tubuhnya berubah menjadi ular besar berkulit belang-belang. Seisi istana menjadi
panic. Ular itu kemudian disebut Kiai Poleng. Perlahan-lahan Kiai Poleng pergi
kembali ke Gunung Pandan.

Sesaat setelah kepergian Kiai Poleng, Dewi Ningrum maupun Dewi Pangreyep
mengeluarkan kuali dan bokor dari balik pakaiannya. Namun mereka ternganggah
karena keduanya benar-benar hamil. Prabu Siliwangi pun tercengang menghadapi
keajaiban itu. Sadalah ia bahwa Resi Sidik Wicaksana memang seoarng yang sakti
mandraguna. Ia sangat menyesal mengapa melakukan perbuatan yang sangat
tercela.

Berhari-hari setelah kejadian itu, Prabu Siliwangi sering tertegun seorang diri.
Hatinya gunda. Ia benar-benar percaya bahwa ramalan sang Resi benar. Ia juga
cemas karena memikirkan kelak keturunannya akan membuat kekacauan dan
merebutkan tahta kerajaan.

Prabu Siliwangi kemudian memanggil Patih Pakebonan. Untuk sementara waktu,


roda pemerintahan kerajaan Galuh diserahkan kepada sang Patih. Ia pergi bertapa
ke tempat sunyi untuk mentetramkan hatinya. Hari-hari sepeninggalan Prabu
Siliwangi, perut Dewi Ningrum maupun Dewi Pangreyep semakin besar. Ketika
mendekati kelahiran, Dewi Pangreyep mengatur siasat. Jika Dewi Ningrum dan
putranya yang hendak lahir tidak disingkirkan. Maka putra Dewi Pangreyep tak
akan punya kesempatan menjadi raja. Sebab Dewi Pangreyep hanyalah seorang
selir belaka. Bagaimanapun yang menjadi pewaris tahta adalah putra permaisuri.

Diam-diam ia menyuruh seorang punggawa untuk membawa Dewi Ningrum ke


hutan, kemudian membunuhnya. Sampai di hutan sang punggawa tidak tega
membunuh Dewi Ningrum yang sedang hamil tua. Bahkan ketika itu, sang
Permaisuri Prabu Siliwangi melahirkan. Bayinya laki-laki.

Sepeninggalan Dewi Ningrum, sang Punggawa tersebut memasukan bayi ke dalam


kendaga. Lalu kendaga tersebut dihanyutkan ke sungai. Ketika kembali ke istana,
punggawa berbohong dan mengatakan bahwa Dewi Ningrum telah dibunuhnya.

Beberapa hari kemudian, Prabu Siliwangi kembali ke istana. Dewi Pangreyep


berusaha mengelabuhi Prabu Siliwangi. Ia mengatakan bahwa Dewi Ningrum
melahirkan seekor anjing. Agar istana Galuh tidak terkena aib, maka permaisuri itu
dibuang ke tengah hutan. Prabu Siliwangi percaya begitu saja sehingga memuji
kecerdasan selirnya. Sementara itu, kendana yang berisi bayi Putra Dewi Ningrum
diketemukan oleh seorang pencari ikan bernama Balangtaran. Lelaki itu kemudian
cepat-cepat pulang dan menunjukan bayi yang diketemukannya. Istrinya merasa
senang dan berniat mengasuh bayi itu sampai besar.

Sejalan dengan waktu, bayi itu tumbuh menjadi remaja kecil. Namun sampai
sebesar itu, Balangtaran belum memberi nama anaknya. Suatu ketika si bocah
tersebut melihat seekor burung berwarna hitan yang berbunyi
tiung….tiung…kemudian di dekatnya terdapat seekor monyet bergelantung. Si
bocah bertanya kepada Balangtaran.

Ayahnya tertawa. Ia merasa senang dan setuju atas usul anaknya. Akhirnya si
bocah itu diberi nama Ciung Wanara. Ciung wanara suka sekali bermain-main ke
dalam hutan sendirian. Suatu hari ia menemukan sebutir telur. Lalu dibawanya
pulang. Namun ketika tidur malam, ia bermimpi bertemu dengan ular belang yang
mengaku bernama Kiai Poleng. Ular itu mengharapkan agar Ciung Wanara
menemuinya di bukit Pandan dengan membawa telur temuannya. Pagi harinya
Ciung Wanara pergi ke Bukit Pandan. Ia bertemu dengan seekor ular belang yang
tubuhnya sebesar pohon kelapa. Anehnya, ular itu bisa bicara seperti manusia.
Ciung Wanara berkenalan dengan ular belang yang mengaku bernama Kiai Poleng.
Ular itu persis seperti yang dijumpai dalam mimpinya.

Dari cerita Kiai Poleng, Ciung Wanara akhirnya mengetahui bahwa sebenarnya ia
adalah Putra Prabu Siliwangi dan pewaris tunggal tahta kerajaan Galuh Pakuwon.
Kiai Poleng pun menceritakan bahwa Ciung Wanara adalah anak dari seorang
permasuri bernama Dewi Ningrum yang kini bertapa di hutan Larangan. Akhirnya,
Kiai Poleng meminta telur yang dibawa oleh Ciung Wanara untuk dieraminya.
Setelah hampir sebulan, Ciung Wanara diminta untuk dating lagi ke Bukit Pandan.
Ketika Ciung Wanara dating lagi, telur itu menetas menjadi anak ayam yang sehat
dan cantik. Ciung Wanara kemudian memeliharanya. Ternyata anak ayam tersebut
diketahui sebagai si jantan. Bahkan akhirnya menjadi ayam aduan yang tak
terkalahkan oleh musuh-musuhnya. Sementara itu Putra Dewi Pangreyep yang
bernama Jaka Suruh telah diangkat menjadi raja menggantikan sang Prabu. Jaka
Suruh bergelar Prabu Siliwangi II. Ia mempunyai kegemaran menyabung ayam.
Suatu ketika ia mendengar bahwa di negeri itu terdapat seekor ayam jantan yang
tangguh. Ia penasaran. Maka Prabu Siliwangi II menyuruh sang Patih untuk
mencari siapakah pemilik ayam tersebut. Ciung Wanaran diajak oleh Patih ke
istana dengan membawa serta ayam kesayangannya. Raja Siliwangi II tertarik
untuk mengadu ayamnya dengan ayam milik Ciung Wanara.

Dua ekor ayam yang sama-sama tangguh pun diadu. Ternyata ayam istana dapat
dikalahkan oleh ayam Ciung Wanara. Raja Siliwangi menyesal mengapa
mempertaruhkan separuh kerajaannya. Namun titah raja pantang dicabut kembali.
Akhirnya Kerajaan Galuh Pakuwon dibagi menjadi dua, yaitu Galuh Barat dan
Galuh Timur. Galuh Barat diberikan kepada Ciung Wanara.

Semenjak peristiwa itu, Prabu Silliwangi II merasa tidak puas. Ia mencari siasat
untuk merebut kembali separuh wilayahnya dari kekuasaan Ciung Wanara. Maka
terjadilah peperangan yang cukup melelahkan. Keduanya kemudian mengadakan
perjanjian perdamaian. Bahwa wilayah Galuh Barat dan Galuh Timur dibatasi oleh
sungai Pamali. Pihak yang melanggar akan dikenakan sanksi.

Meskipun demikian, kedua kerajaan itu tidak pernah akur. Selalu saja ada
ketegangan-ketegangan. Raja Siliwangi II kemudian menggadaikan Galuh Timur
kepada kerajaan Singosari di Jawa Timur. Sedangkan Ciung Wanara memperkuat
pemerintahannya dan mendirikan kerajaan yang bernama Pajajaran.
NAMA : ERLIZA ISTIQLALIYAH
KHAIRUNISA A
PUTRI OCTAVIANI
KELOMPOK : 3

Anda mungkin juga menyukai