Sayonara

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 3

Sayonara

Sayonara sayonara
Sampai berjumpa pula
Sayonara sayonara
Sampai berjumpa pula
Pagi ini saya bangun dengan kelegaan luar biasa. Mensyukuri bahwa kedua bola mata masih
terbuka, kedua telinga masih mendengar suara sekitar, dan satu sistem pernapasan masih berfungsi
apa adanya. Ada sesuatu yang berbeda pada pagi hari ini setelah beberapa pertemuan.
Pertemuan beberapa malam di ibukota membuat saya sadar bahwa hidup ini memang penuh
drama. Berjumpa dengan rekan-rekan, yang telah menghabiskan waktunya dengan kegiatan yang
menghebatkannya, membuat saya sadar, saya belum ada apa-apanya. Saya merantau, tapi hanya
merantau saja. Pendewasaan yang saya alami barangkali belum ada seujung kuku dari
pendewasaan yang rekan-rekan saya alami.
Di dalam tukar-menukar pendapat, ada tiga bagian besar yang dibahas. Walaupun ada juga bagian-
bagian minor lain dikulik, tetapi tidak terlalu penting. Tiga bagian besar itu membuat saya lega,
sangat lega.
Pertama, hanya ada kepentingan abadi di politik. Mengawali pembahasan dari bagian paling besar.
Semua orang di bangsa ini sepakat bahwa tahun ini dan tahun depan adalah tahun genting di
Indonesia. Perhelatan lima tahun sekali bernama Pemilihan Umum akan digelar tahun 2019. Entah
mengapa, prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luberjurdil) masih sulit
terlaksana. Khususnya bagian rahasia. Semua sekarang menjadi tahu semua. Dengan kemajuan
teknologi, bahkan pilihan di kotak suara bisa dipublikasikan di media. Efeknya jangan dikira
sederhana. Membuat semuanya menjadi serba transaksional. Deklarasi calon presiden dan calon
wakil presiden beberapa waktu ini berubah menjadi ruang tawar-menawar yang kalau dipikirkan
hampir sama dengan kegiatan jual kecap. Sama-sama mengobral rasa manis yang tidak bisa
dirasakan kalau belum dimiliki.
Bila ada kemajuan dari lima tahun lalu, hanya karena kita dibuat sadar bahwa hanya ada
kepentingan abadi di politik. Dulu kawan sekarang lawan. Ada juga yang sebaliknya. Itu
merupakan suatu kemajuan, mengingat bangsa Indonesia belum satu abad berdemokrasi dan sudah
mengalami dinamisasi proses yang demikian baik.
Bahwa untuk memenangkan kontes, diperlukan tiga hal paling mendasar: mengelola harapan,
memberdayakan relawan, dan menguasai opini publik. Hal ini tidak terbantahkan tahun 2014 dan
siapapun yang ingin menjadi pemenang di 2019 minimal harus mampu mengulangi hal yang sama.
Pemilihan umum harus membawa harapan baru, atau melanjutkan harapan yang sudah ada.
Harapan harus bisa dirasakan semua orang dan membuat senang, walau senang dalam tahap yang
tidak bisa dijelaskan. Relawan adalah sumber daya yang lebih baik dibandingkan mesin partai
politik yang sekarang lebih sering memakai jubah oranye dibandingkan jubah warnanya masing-
masing. Opini publik, apalagi dengan gencarnya kampanye di media sosial, harus bisa dimainkan,
agar kiranya angin pencitraan yang baik membuat perahu layar calon jagoan mencapai pulau
seberang.
Kedua, pendidikan jembatan awal dari karir. Walaupun tujuan berdirinya republik ini salah
satunya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, akan tetapi, masih sulit kita saksikan republik ini
mengelola orang cerdasnya dengan baik. Tidak sulit kita melihat bahwa pendidikan tinggi yang
ada tidak mampu menyalurkan orang ke dalam bidang yang sudah ditekuninya.
Saya salah satunya. Bekerja dengan bidang yang berbeda dari ilmu kuliah. Dengan segala
pembenaran, bahwa penghasilan adalah panglima, hal itu seolah bisa dibenarkan. Namun, mau
sampai kapan seperti itu? Selagi masih ada waktu, teruslah menempuh pendidikan tinggi. Kuliah
lagi, di dalam atau luar negeri, lewat beasiswa atau yayasan ayah-bunda, adalah jalan yang lebih
mulia. Jangan lupa pula, biasanya orang akan cenderung berumah tangga setelah mulai menjajaki
karir yang lebih tinggi.
Agak sentimental, tetapi apa mau dikata, bila nanti kepala rumah tangga bisa diperalat pasangan
karena pendidikannya yang lebih rendah. Ini menjadi sulit bagi saya karena saya menyadari bahwa
sudah begitu banyak kaum wanita bangsa ini yang menempuh pendidikan sarjana dan itu membuat
posisi tawar saya menjadi rendah. Sekolah lagi!
Ketiga, hidup itu melangkah ke depan. Di ruang publik membahas hal privat. Setelah basa-basi
menanyakan kabar, alangkah baiknya segera merelakan. Dengan memaafkan, tidak akan
berjumpa, saya mengalami pencerahan. Pencerahan itu bahwa segala yang saya perjuangkan
selama ini di ruang privat, tidak mengalami keberhasilan. Yang saya perjuangkan tidak peduli. Itu
membuat saya lega. Saya merasakan ada beban yang hilang di pundak saya, beban untuk berharap.
Mengetahui kabar seseorang sehat selalu, merasakan bahwa ada ketidakmungkinan,
mengikhlaskan yang terbaik yang terjadi, menjadikan saya dewasa. Ada saat dimana saya menjadi
bahagia karena pencerahan ini.
Saya menyadari ada sebuah kebaikan dari Sang Kuasa yang menciptakan makhluknya demikian
teratur. Terdapat keindahan yang hanya bisa dipandang tanpa bisa dimiliki. Semua makhluk di
dunia memiliki keindahan dengan tujuannya masing-masing. Dan tujuan saya dan seseorang tidak
harus bersama. Bila terus memikirkan dan merenungkan hal yang sama, kapan saya akan menjadi
dewasa? Merayakan hal itu, saya akan mendoakan dari jauh, tetapi dengan doa paling tulus yang
mengantarnya ke gerbang perayaan kehidupan.
Menutup tulisan ini, saya sempat mengingat kembali dengan kenangan manis di waktu lampau.
Hidup akhirnya harus melangkah maju. Waktu berjalan ke suatu saat ketidaktahuan. Tidak tahu
apa yang akan terjadi dan bagaimana-bagaimananya. Hal itu membuat semua menjadi misteri dan
kita adalah pelaku utamanya.
Dalam setiap momen, kita mesti menikmatinya sebisa mungkin. Melakukan segala hal yang
mungkin, khususnya dengan keluarga terdekat. Sementara hidup akan terus dipenuhi ambisi, saya
bisa dengan bangga, mengucapkan selamat tinggal untuk salah satu beban dalam kehidupan saya.
Beban yang selama ini membuat saya lupa berbahagia dan mengalami kesedihan tidak terjelaskan.
Sayonara!
Buat apa susah, buat apa susah
Susah itu tak ada gunanya
Buat apa susah, buat apa susah
Susah itu tak ada gunanya

Anton Kurniawan
Pondok Gede, 29 Agustus 2018
Pukul 06.00 WIB

Anda mungkin juga menyukai