Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Lupus Eritematous Sistemik (SLE) adalah penyakit rematik autoimun yang ditandai ini adanya
infalamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau system dalam tubuh. Penyakit ini
berhubungan dengan desposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan kerusakan
jaringan.6

B. EPIDEMIOLOGI
Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk, sementara prevalensi SLE
di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk,10 dengan rasio gender wanita dan laki-laki antara
9-14:1.10,11 Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun
2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan
pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam12, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291
Pasien SLE atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010.4-5
Manifestasi klinis SLE sangat luas, meliputi keterlibatan kulit dan mukosa, sendi, darah, jantung, paru,
ginjal, susunan saraf pusat (SSP) dan sistem imun. Dilaporkan bahwa pada 1000 pasien SLE di Eropa yang
diikuti selama 10 tahun, manifestasi klinis terbanyak berturut-turut adalah artritis sebesar 48,1%, ruam
malar 31,1%, nefropati 27,9%, fotosensitiviti 22,9%, keterlibatan neurologik 19,4% dan demam 16,6%
sedangkan manifestasi klinis yang jarang dijumpai adalah miositis 4,3%, ruam diskoid 7,8 %, anemia
hemolitik 4,8%, dan lesi subkutaneus akut 6,7%.3
Morbititas dan mortalitas pasien SLE masih cukup tinggi. Berturut-turut kesintasan (survival) SLE
untuk 1-5, 5-10, 10-15, 15-20, dan 20 tahun adalah 93-97%15-17, 84- 95%15-16,18-19, 70-85%15-16,18-
19, 64-80%15,19, dan 53-64%15,20. Penyakit ini dapat mengenai berbagai usia dan jenis kelamin, terutama
perempuan usia produktif (20 - 40).xx Kesintasan 5 tahun pasien SLE di RSCM adalah 88% dari pengamatan
terhadap 108 orang pasien SLE yang berobat dari tahun 1990-200221 Angka kematian pasien dengan SLE
hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum.15,22 Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE
berkaitan dengan aktivitas penyakit dan infeksi (termasuk infeksi M. tuberculosis, virus, jamur dan
protozoa, sedangkan dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit vaskular aterosklerosis.4

C. ETIOPATOGENESIS
Etiopatogenesis dari SLE masih belum diketahui secara jelas, dimana terdapat banyak bukti
bahwa pathogenesis SLE bersifat multifaktorial seperti faktor genetik, faktor lingkungan dan faktor
hormonal terhadap respon imun.
Figure 1 Patogenesis LES2
Figure 2 Patogenesis SLE

Respon imun terhadap antigen nuklir endogen merupakan ciri khas dari SLE. Autoantigen dirilis oleh sel
apoptosis disajikan oleh sel dendritik ke sel T untuk aktivasi. Sel T yang teraktivasi pada gilirannya
membantu sel B untuk memproduksi antibodi dengan mensekresi sitokin seperti interleukin 10 ( IL10 )
dan IL23 dan oleh molekul permukaan sel seperti CD40L dan CTLA-4. Selain sel T – dependent produksi
autoantibodi, data terakhir mendukung mekanisme sel T- independen dari stimulasi sel B melalui
dikombinasikan sel B antigen reseptor ( BCR ) dan sinyal TLR. Patogenesis SLE melibatkan banyak sel dan
molekul yang berpartisipasi dalam apoptosis, bawaan dan adaptif respon imun.2

PATOGENESIS
Peningkatan jumlah endogen yang berhubungan dengan apoptosis asam nukleat merangsang
produksi IFNα dan mempromosikan autoimunitas dengan melanggar diri toleransi melalui aktivasi sel
antigen -presenting (Figur 3 ). Sekali dimulai, reaktan kekebalan seperti kompleks imun memperkuat dan
mempertahankan infl yang inflamasi respon.2
Apoptosis : sumber autoantigen dan molekul dengan adjuvant / sitokin ( interferon α (
IFNα ) ) aktivitas inducer. apoptosis blebs sel kaya autoantigens lupus. Peningkatan
apoptosis spontan, peningkatan tingkat apoptosis ultraviolet yang diinduksi di sel-sel
kulit, atau gangguan pembersihan sel darah perifer apoptosis telah ditemukan pada
beberapa pasien lupus.
Asam nukleat ( DNA dan RNA ): target yang unik pada lupus terkait dengan apoptosis.
Pengakuan EIR th pada orang sehat adalah dilarang oleh berbagai hambatan yang
dielakkan dalam lupus dimana alarmins dirilis oleh dari jaringan menekankan ( HMGB1
), peptida antimikroba, perangkap ekstraseluler neutrofil (jaring), dan kompleks imun
memfasilitasi mereka pengakuan dan transfer ke sensor endosomal ( lihat di bawah
TLRs , NLRs ).
Innate Imunity:
 Toll Like Receptors ( TLR ) : dilestarikan reseptor sistem imun bawaan strategis terletak
di membran sel , sitosol dan di kompartemen endosomal mana mereka survei ruang
ekstraseluler dan intraseluler . TLRs mengenali nukleat Asam ( TLRs - 3 , -7 , -8 dan -9 )
yang endosomal . Autoreaktif B atau T limfosit damai berdampingan dengan jaringan
mengekspresikan antigen yang relevan dapat menjadi patogen keterlibatan belakang er
dari TLRs . TLRs juga mengaktifkan APC ( dendritik , MO , sel B ) meningkatkan
presentasi autoantigen . sel B dari pasien lupus aktif telah meningkat ekspresi TLR9 .
Dibandingkan dengan lainnya antigen , kromatin mengandung kompleks imun adalah
100 kali lipat lebih efi cacious dalam merangsang sel lupus B karena Kehadiran asam
nukleat dan resultan gabungan BCR dan TLR stimulasi.
 sel dendritik : Dua jenis : sel dendritik plasmasitoid ( pDCs ) dan myeloid ( CD11c + ) DC (
mDCs ) .
 pDCs : mewakili pabrik ' IFNα ' asli . Pada lupus , faktor eksogen / antigen ( yaitu , virus )
atau autoantigen diakui oleh reseptor sistem imun bawaan mengaktifkan DC dan
menghasilkan IFNα . mDCs : terlibat dalam presentasi antigen dengan mDCs
konvensional dewasa mempromosikan toleransi sementara autoreactivity matang .
Pada lupus , beberapa faktor ( IFNα , kekebalan tubuh kompleks , TLRs )
mempromosikan MDC pematangan dan dengan demikian autoreactivity .
 Interferon α : sitokin pluripoten yang dihasilkan terutama oleh pDCs baik melalui TLR -
dependent dan TLR – independen mekanisme dengan ampuh proyek- biologis eff pada
DC , B dan sel T , sel endotel , sel-sel neuron , sel penduduk ginjal , dan jaringan lain .
Beberapa gen yang berhubungan dengan lupus menyandi protein yang memediasi atau
mengatur sinyal TLR dan berkaitan dengan meningkat IFNα plasma antara pasien
dengan spesifik c autoantibodi yang mungkin memberikan asam nukleat stimulasi
untuk TLR7 atau TLR9 di kompartemen intraseluler mereka . Aktivasi jalur IFN telah
dikaitkan dengan kehadiran autoantibodi c spesifik untuk protein RNA terkait . aktivasi
RNA - dimediasi TLR merupakan mekanisme penting berkontribusi terhadap produksi
IFNα dan sitokin proinfl peradangan lainnya . Aktivasi jalur IFN berhubungan dengan
penyakit ginjal dan banyak langkah-langkah aktivitas penyakit
 Komplemen : Aktivasi komplemen membentuk infl kekebalan inflamasi respon dan
memfasilitasi clearance apoptosis bahan.
 Neutrofil : Dalam lupus subset yang berbeda dari proinfl neutrofil inflamasi (low density
granulosit ) menginduksi kerusakan pembuluh darah dan menghasilkan IFNα . varian
patogen dari Itam meningkatkan mengikat ICAM dan leukosit adhesi untuk diaktifkan
sel endotel .
 sel endotel : Dalam lupus , gangguan degradasi DNA sebagai akibat dari cacat dalam
endonuklease perbaikan ( TREX1 ) meningkatkan akumulasi ssDNA berasal dari
endogen retro - unsur dalam sel endotel dan dapat mengaktifkan produksi IFNα oleh
mereka . IFNα pada gilirannya menyebarkan kerusakan endotel dan merusak
perbaikannya .
Adaptif Imun
 sel T dan B : Interaksi antara co - stimulasi ligan dan reseptor pada T dan sel B ,
termasuk CD80 dan CD86 dengan CD28 , diinduksi costimulator ( ICOS ) ligan dengan
ICOS , dan CD40 ligan dengan CD40 , memberikan kontribusi ke B diff sel diferensiasi
untuk antibodi yang memproduksi sel-sel plasma . Autoantibodi juga memfasilitasi
penyampaian asam nukleat stimulasi untuk TLRs . sitokin dan kemokin yang diproduksi
oleh sel T dan B juga membentuk respon kekebalan tubuh dan meningkatkan kerusakan
jaringan
 B lymphocyte stimulator ( BLyS ) : Th e larut anggota keluarga TNF BLyS adalah
kelangsungan hidup sel B dan diff diferensiasi . BLyS adalah meningkat pada serum
banyak pasien lupus ; penghambatan BLyS mencegah ares lupus fl .
 kompleks imun : Pada individu yang sehat , kompleks imun yang dibersihkan oleh FCR
dan melengkapi reseptor . Dalam lupus , variasi genetik dalam gen FCR dan gen
reseptor C3bi ( ITGAM ) dapat mengganggu pembukaan kompleks imun yang kemudian
deposit dan menyebabkan cedera jaringan di situs seperti kulit dan ginjal .

D. MEKANISME PENYAKIT DAN KERUSAKAN JARINGAN


Kompleks imun dan jalur aktivasi komplemen yng amemediasi fungsi efektor dan cedera
jaringan. Dalam individu yang sehat, kompleks imun yang dibersihkan oleh Fc dan komplemen reseptor;
kegagalan untuk membersihkan kompleks imun menghasilkan deposisi jaringan dan cedera jaringan di
area tersebut. Kerusakan jaringan dimediasi oleh perekrutan sel inflamasi, intermediet oksigen reaktif,
produksi infl peradangan sitokin, dan modulasi dari kaskade koagulasi.2
Cedera jaringan autoantibody telah terlibat pada neuropsikiatri SLE ( NPSLE ), di mana antibodi
bereaksi dengan kedua reseptor DNA dan glutamat pada sel neuron dapat memediasi kematian sel
neuron eksitotoksik atau disfungsi.2
Sitokin yang diproduksi secara lokal, seperti IFNα dan tumor nekrosis factor ( TNF ),
berkontribusi untuk affecte cedera jaringan dan inflamasi. Mediator ini, bersama-sama dengan sel-sel
yang memproduksi mereka (makrofag, leukosit, dendritik sel dan limfosit), adalah subyek penyelidikan
sebagai target terapi yang potensial di lupus. Studi terbaru memiliki juga menyoroti peran faktor
diungkapkan secara lokal untuk perlindungan jaringan diserang kekebalan tubuh. Untuk misalnya, cacat
pada kallikreins dapat membahayakan kemampuan ginjal lupus untuk melindungi diri dari cedera, PD - 1 -
ligan down- mengatur aktivitas infiltratif infi limfosit, dan regulasi gangguan komplemen cedera vaskular
amplifies.2
Kerusakan pembuluh darah pada SLE telah menerima peningkatan perhatian dalam
pandangan hubungannya dengan aterosklerosis dipercepat. Homosistein dan sitokin dgn kasih sayang
proinfl, seperti IFNα, merusak fungsi endotel dan menurunkan ketersediaan sel prekursor endotel untuk
memperbaiki cedera endotel . Pro - infl peradangan lipoprotein tinggi density ( HDL ) dan disfungsi HDL
dimediasi oleh antibodi juga telah terlibat dalam perbaikan cacat endothelium. Selain itu, varian patogen
dari Itam (immuno - tirosin aktivasi motif) mengubah mengikat untuk ICAM - 1 (intercellular adhesion
molekul 1) dan dapat meningkatkan kepatuhan leukosit ke sel endotel diaktifkan. Gangguan degradasi
DNA sebagai akibat dari mutasi dari 3 ' perbaikan exonuclease 1( TREX1 ), dan peningkatan akumulasi
DNA beruntai tunggal yang berasal dari endogen retro - unsur dalam sel endotel, dapat mengaktifkan
respon DNA IFN - stimulasi dan cedera imun langsung ke pembuluh darah.2

E. DIAGNOSIS
Diagnosis SLE, dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan laboratorium. American College of
Rheumatology (ACR), pada tahun 1982, mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi SLE, dimana bila
didapatkan 4 kriteria, maka diagnosis SLE dapat ditegakkan.4,6
Tabel. Kriteria Diagnosis Lupus Eritematous Sistemik6
Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema menetap, datar atau menonjol,
pada malar eminence dan lipat
nasolabial.
Ruam discoid Bercak eritema menonjol dengan
gambaran SLEi keratoti dan sumbatan
folikular. Pada SLEi lanjut dapat
ditemukan parut atrofik.
Fotosensitifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi
abnormal terhadap sinar matahari,
baik dari anamnesis pasien atau yang
dilihat oleh dokter pemeriksa.
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofarinf, umumnya
tidak nyeri dan di lihat oleh dokter
pemeriksa.
Artritis non – erosive Melibatkan dua atau lebih sendi
perifer, ditandai oleh rasa nyeri,
bengkak dan efusi.
Pleuritis atau pericarditis Pleuritis – riwayat nyeri pleuritik atau
pleuritic friction rub yang didengar
oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi
pleura.
atau
Perikarditis – bukti rekaman EKG atau
pericardial friction rub yang didengar
oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi
pericardial.
Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0,5 gram per
hari atau >3+
Atau
b. seluler – dapat eritrotit, hemoglobin,
granular, tubular atau gabungan.
Gangguan neurologi a. Kejang – tanpa disebabkan oleh obat –
obatan atau gangguan metabolik,
misalnya uremia, ketoasidosis atau
ketidak - seimbangan elektrolit.
Atau
b. Psikosis – tanpa disebabkan oleh obat
– obatan atau gangguan metabolic,
Gangguan hematologik a. Anemia hemolitik k dengan retikulosis
atau
b. Lekopenia <4.000/mm3 pada dua
kali pemeriksaan atau lebih
atau
c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua
kali pemeriksaan atau lebih
atau
d. Trombositopenia <100.000/mm3
tanpa disebabkan oleh obat-obatan
Gangguan imunologik a. Anti -DNA: antibodi terhadap naive
DNA dengan titer yang abnormal
atau
b. Anti -Sm: terdapatnya antibodi
terhadap antigen nuklear Sm
atau
c. Temuan posifif terhadap antibodi
antifosfolipid yang didasarkan atas:
1) kadar serum antibodi antikardiolipin
abnormal baik IgG atau IgM,
2) Tes lupus antikoagulan positif
menggunakan metoda standard, atau
3) hasil tes serologi positif palsu
terhadap sifi lis sekurang-kurangnya
selama 6 bulan dan dikonfi rmasi
dengan test imobilisasi Treponema
pallidum atau tes fluoresensi absorpsi
an• bodi treponema.
Antibodi antinuclear positif (ANA) Titer abnormal dari antibodi anti -
nuklear berdasarkan pemeriksaan
imunofluoresensi atau pemeriksaan
seti ngkat pada seyiap kurun waktu
perjalan penyakit tanpa keterlibatan
obat yang diketahui berhubungan
dengan sindroma lupus yang diinduksi
obat.

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensiti•itas 85% dan spesi•isitas 95%.
Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis
bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila
hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka
panjang diperlukan.6
Kecurigaan akan penyakit SLE perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau lebih kriteria sebagaimana
tercantum di bawah ini, yaitu:6
1. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat badan.
3. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositis
4. Kulit: ruam kupu-kupu (butterlfy atau malar rash), fotosensitivitas, lesi membrana mukosa, alopesia,
fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.
5. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik
6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
7. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal,lesi parenkhim paru.
8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditi
9. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali
10. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
11. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis transversus, gangguan kognitif neuropati
kranial dan perifer.
Kecurigaan tersebut dilanjutkan dengan melakukan eksklusi terhadap penyakit lainnya.

F. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ yang terlibat dimana dapat
melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan perjalanan klinis yang kompleks, sangat
bervariasi, dapat ditandai oleh serangan akut, periode aktif, kompleks, atau remisi dan seringkali pada
keadaan awal tidak dikenali sebagai LES. Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinis penyakit LES ini
seringkali tidak terjadi secara bersamaan. Seseorang dapat saja selama beberapa tahun mengeluhkan
nyeri sendi yang berpindah-pindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudian diikuti oleh manifestasi klinis
lainnya seperti fotosensitivitas dan sebagainya yang pada akhirnya akan memenuhi kriteria LES.

Manifestasi Konstitusional
Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada penderita LES dan biasanya mendahului
berbagai manifestasi klinis lainnya.. Kelelahan ini agak sulit dinilai karena banyak kondisi lain yang dapat
menyebabkan kelelahan seperti anemia, meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian
obat seperti prednison. Apabila kelelahan disebabkan oleh aktivitas penyakit LES, diperlukan pemeriksaan
penunjang lain yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons
terhadap pemberian steroid atau latihan.6
Penurunan berat badan dijumpai pada sebagian penderita LES dan terjadi dalam beberapa bulan
sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan ini 12 dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu
makan atau diakibatkan gejala gastrointestinal.
Demam sebagai salah satu gejala konstitusional LES sulit dibedakan dari sebab lain seperti infeksi
karena suhu tubuh lebih dari 40oC tanpa adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis. Demam akibat LES
biasanya tidak disertai menggigil.6
Manifestasi Muskuloskeletal
Pada penderita LES, manifestasi pada muskuloskeletal ditemukan poliartritis, biasanya simetris
dengan episode artralgia pada 90% kasus. Pada 50% kasus dapat ditemukan kaku pagi, tendonitis juga
sering terjadi dengan akibat subluksasi sendi tanpa erosi sendi. Gejala lain yang dapat ditemukan berupa
osteonekrosis yang didapatkan pada 5-10% kasus dan biasanya berhubungan dengan terapi steroid.8
Selain itu, ditemukan juga mialgia yang terjadi pada 60% kasus, tetapi miositis timbul pada penderita
LES< 5% kasus. Miopati juga dapat ditemukan, biasanya berhubungan dengan terapi steroid dan
kloroquin. Osteoporosis sering didapatkan dan berhubungan dengan aktifitas penyakit dan penggunaan
steroid.

Manifestasi Kulit
Kelainan kulit yang sering didapatkan pada LES adalah fotosensitivitas, butterfly rash, ruam malar, lesi
diskoid kronik, alopesia, panikulitis, lesi psoriaform dan lain sebagainya. Selain itu, pada kulit juga dapat
ditemukan tandatanda vaskulitis kulit, misalnya fenomena Raynaud, livedo retikularis, ulkus jari,
gangrene.8

Manifestasi Kardiovaskular
Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial, dapat berupa perikarditis ringan,
efusi perikardial sampai penebalan perikardial. Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai
oleh takikardia, aritmia, interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai gagal jantung.8
Endokarditis Libman-Sachs, seringkali tidak terdiagnosis dalam klinik, tapi data autopsi mendapatkan
50% LES disertai endokarditis Libman-Sachs. Adanya vegetasi katup yang disertai demam harus dicurigai
kemungkinan endokarditis bakterialis. Wanita dengan LES memiliki risiko penyakit jantung koroner 5-6%
lebih tinggi dibandingkan wanita normal. Pada wanita yang berumur 35-44 tahun, risiko ini meningkat
sampai 50%.8

Manifestasi Paru-paru
Kelainan paru-paru pada LES seringkali bersifat subklinik sehingga foto toraks dan spirometri harus
dilakukan pada pasien LES dengan batuk, sesak nafas atau kelainan respirasi lainnya. Pleuritis dan nyeri
pleuritik dapat ditemukan pada 60% kasus. Efusi pleura dapat ditemukan pada 30% kasus, tetapi biasanya
ringan dan secara klinik tidak bermakna. Fibrosis interstitial, vaskulitis paru dan pneumonitis dapat
ditemukan pada 20% kasus, tetapi secara klinis seringkali sulit dibedakan dengan pneumonia dan gagal
jantung kongestif. Hipertensi pulmonal sering didapatkan pada pasien dengan sindrom antifosfolipid.
Pasien dengan nyeri pleuritik dan hipertensi pulmonal harus dievaluasi terhadap kemungkinan sindrom
antifosfolipid dan emboli paru.8
Manifestasi Ginjal
Penilainan keterlibatan ginjal pada pasien LES harus dilakukan dengan menilai ada/tidaknya
hipertensi, urinalisis untuk melihat proteinuria dan silinderuria, ureum dan kreatinin, proteinuria
kuantitatif, dan klirens kreatinin. Secara histologik, WHO membagi nefritis lupus atas 5 kelas. Pasien SLE
dengan hematuria mikroskopik dan/atau proteinuria dengan penurunan GFR harus dipertimbangkan
untuk biopsi ginjal.8
Manifestasi Hemopoetik1
Pada LES, terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan anemia normositik
normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif
dengan perdarahan dan anemia hemolitik autoimun.
Selain itu, ditemukan juga lekopenia dan limfopenia pada 50-80% kasus. Adanya leukositosis harus
dicurigai kemungkinan infeksi. Trombositopenia pada LES ditemukan pada 20% kasus. Pasien yang mula-
mula menunjukkan gambaran trombositopenia idiopatik (ITP), seringkali kemudian berkembang menjadi
LES setelah ditemukan gambaran LES yang lain.

Manifestasi Susunan Saraf8


Keterlibatan Neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa migrain, neuropati perifer, sampai
kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik dengan antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab
terbanyak kelainan serebrovaskular pada LES. Neuropati perifer, terutama tipe sensorik ditemukan pada
10% kasus.
Ketelibatan saraf otak, jarang ditemukan.Kelainan psikiatrik sering ditemukan, mulai dari anxietas,
depresi sampai psikosis. Kelainan psikiatrik juga dapat dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan
serebrospinal seringkali tidak memberikan gambaran yang spesifik, kecuali untuk menyingkirkan
kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi (EEG) juga tidak memberikan gambaran yang 16 spesifik. CT
scan otak kadang-kadang diperlukan untuk membedakan adanya infark atau perdarahan.

Manifestasi Gastrointestinal
Dapat berupa hepatomegali, nyeri perut yang tidak spesifik, splenomegali, peritonitis aseptik,
vaskulitis mesenterial, pankreatitis. Selain itu, ditemukan juga peningkatan SGOT dan SGPT harus
dievaluasi terhadap kemungkinan hepatitis autoimun.8

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Penunjang Minimal Lain yang Diperlukan untuk Diagnosis dan
Monitoring4
1. Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)*
2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan kreatinin urin.
3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)*
4. PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid
5. Serologi ANA§, anti-dsDNA†, komplemen †(C3,C4))
6. Foto polos thorax
*pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk monitoring.
§Setiap 3-6 bulan bila stabil
†Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif.
ANA, antibodi antinuklear; PT/PTT, protrombin time/partial tromboplastin time.
Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi SLE. Waktu pemeriksaan untuk
monitoring dilakukan tergantung kondisi klinis pasien.
Pemeriksaan Serologi pada SLE
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE adalah tes ANA generik.(ANA IF
dengan Hep 2 Cell). Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah
pada SLE. Pada penderita SLE ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes ANA
dapat positif pada beberapa penyakit lain yang mempunyai gambaran klinis menyerupai SLE misalnya
infeksi kronis (tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed connective tissue disease (MCTD), artritis
rematoid, tiroiditis autoimun), keganasan atau pada orang normal.4
Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan, tetapi perjalanan penyakit
reumatik sistemik termasuk SLE seringkali dinamis dan berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes
ANA pada waktu yang akan datang terutama jika didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Bila tes
ANA dengan menggunakan sel Hep-2 sebagai substrat; negatif, dengan gambaran klinis tidak sesuai SLE
umumnya diagnosis SLE dapat disingkirkan.4
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes antibodi terhadap antigen
nuklear spesi ik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP, Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini
dikenal sebagai pro il ANA/ENA. Antibodi anti-dsDNA merupakan tes spesi ik untuk SLE, jarang didapatkan
pada penyakit lain dan spesifitasnya hampir 100%. Titer anti-dsDNA yang tinggi hampir pasti
menunjukkan diagnosis SLE dibandingkan dengan titer yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin
dapat terjadi pada pasien yang bukan SLE.4
Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positif menunjang diagnosis SLE sementara
bila anti ds-DNA negatif tidak menyingkirkan adanya SLE. Meskipun anti-Sm didapatkan pada 15% -30%
pasien SLE, tes ini jarang dijumpai pada penyakit lain atau orang normal. Tes anti-Sm relatif spesi ik untuk
SLE, dan dapat digunakan untuk diagnosis SLE. Titer anti-Sm yang tinggi lebih spesi ik untuk SLE. Seperti
anti-dsDNA, anti-Sm yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis.4
Rekomendasi
o Test ANA merupakan test yang sensitif, namun tidak spesi!ik untuk SLE
o Test ANA dikerjakan hanya jika terdapat kecurigaan terhadap SLE
o Test Anti dsDNA positif menunjang diagnosis SLE, namun jika negatif tidak menyingkirkan diagnosis SLE

H. DIAGNOSIS BANDING
Beberapa penyakit atau kondisi di bawah ini seringkali mengacaukan diagnosis akibat gambaran klinis
yang mirip atau beberapa tes laboratorium yang serupa, yaitu:4
a. Undifferentiated connective tissue disease
b. Sindroma Sjögren
c. Sindroma antibodi antifosfolipid (APS)
d. Fibromialgia (ANA positif)
e. Purpura trombositopenik idiopatik
f. Lupus imbas obat
g. Artritis reumatoid dini
h. Vaskulitis

I. DERAJAT PENYAKIT SLE


Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan SLE, terutama menyangkut obat yang akan
diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan pemantauan efek samping obat yang diberikan pada pasien.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk memperkecil berbagai kemungkinan kesalahan adalah dengan
ditetapkannya gambaran tingkat keparahan SLE.
Penyakit SLE dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam nyawa.4
Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:
1. Secara klinis tenang
2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi,
hematologi dan kulit.
Contoh SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit.
Penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang manakala ditemukan:
1. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
2. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
3. Serositis mayor
Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan sebagaimana tercantum di
bawah ini, yaitu:
a. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis, tamponade jantung,
hipertensi maligna.
b. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru, infark paru, ibrosis
interstisial, shrinking lung.
c. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
d. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
e. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).
f. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa, mononeuritis,
polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi.
g. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3), trombositopenia < 20.000/mm3 ,
purpura trombotik trombositopenia, thrombosis vena atau arteri.

J. PENATALAKSANAAN
Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan gabungan strategi pengobatan atau disebut
pilar pengobatan. Pilar pengobatan SLE ini seyogyanya dilakukan secara bersamaan dan
berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai. Perlu dilakukan upaya pemantauan penyakit mulai
dari dokter umum di perifer sampai ke tingkat dokter konsultan, terutama ahli reumatologi.4
Pilar Pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik
a. Edukasi dan konseling
b. Program rehabilitasi
c. Pengobatan medikamentosa
1. OAINS
2. Anti malaria
3. Steroid
4. Imunosupresan / Sitotoksik
d. Terapi lain

A. Edukasi dan Konseling


Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari sekitarnya dengan
maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan akan perjalanan penyakit dan kompleksitasnya. Pasien
memerlukan pengetahuan akan masalah aktivitas •isik, mengurangi atau mencegah kekambuhan antara
lain melindungi kulit dari paparan sinar matahari (ultra violet) dengan memakai tabir surya, payung atau
topi; melakukan latihan secara teratur. Pasien harus memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu
pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia. Diperlukan
informasi akan pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan aktivitas penyakit ataupun
akibat pemakaian obat-obatan. Butir-butir edukasi pada pasien SLE terlihat pada tabel dibawah ini:4
Butir - butir edukasi terhadap pasien SLE4

1. Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya.


2. Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing – masing tipe tersebut.
3. Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan terutama yang terkait
dengan pemakaian steroid osteoporosis, istirahat, pemakaian alat bantu maupun
diet, mengatasi infeksi secepatna maupun pemakaian kontrasepsi.
4. Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman diri pasien SLE,
mengatasi rasa lelah, stress emosional, trauma psikis, masalah terkait dengan
keluarga atau tempat kerja dan pekerjaan itu sendiri, mengatasi rasa nyeri.
5. Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pembeian dan sebagainya. Perlu
tidaknya suplementasi mineral dan vitamin. Obat – obatan yang dipakai jangka
panjang contohnya obat anti tuberkulsis dan beberapa jenis lainnya termasuk
antibiotikum.
6. Dimana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE, adalah kelompok
pendukung, yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan SLE dan sebagainya.

Terkait dengan pendekatan biopsikososial dalam penatalaksanaan SLE, maka setiap pasien SLE perlu
dianalisis adanya masalah neuro-psikologik maupun sosial. Berdasarkan data penelitian di RSCM (2010)
ditemukan adanya gangguan fungsi kognitif sebesar 86,49%.21 Pembuktian dilakukan menggunakan alat
pemeriksaan yang lebih teliti seperti TRAIL A, TRAIL B maupun Pegboard. Hal ini memperlihatkan
besarnya gangguan neuropsikiatrik yang tersembunyi pada SLE, karena secara nyata gangguan tersebut
tidak melebihi 20%. Adanya stigmata psikologik pada keluarga pasien masih memerlukan pembuktian
lebih lanjut. Namun adanya gangguan •isik dan kognitif pada pasien SLE dapat memberikan dampak
buruk bagai pasien didalam lingkungan sosialnya baik tempat kerja atau rumah.4
Edukasi keluarga diarahkan untuk memangkas dampak stigmata psikologik akibat adanya keluarga
dengan SLE, memberikan informasi perlunya dukungan keluarga yang tidak berlebihan. Hal ini
dimaksudkan agar pasien dengan SLE dapat dimengerti oleh pihak keluarganya dan mampu mandiri
dalam kehidupan kesehariannya.4

B. Program Rehabilitasi
Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan SLEtergantung maksud dan
tujuan dari program ini. Salah satu hal penting adalahpemahaman akan turunnya masa otot hingga 30%
apabila pasien dengan SLEdibiarkan dalam kondisi immobilitas selama lebih dari 2 minggu. Disamping itu
penurunan kekuatan otot akan terjadi sekitar 1-5% per hari dalam kondisiimobilitas. Berbagai latihan
diperlukan untuk mempertahankan kestabilan sendi. Modalitas •isik seperti pemberian panas atau dingin
diperlukan untuk mengurangirasa nyeri, menghilangkan kekakuan atau spasme otot. Demikian pula
modalitas lainnya seperti transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) memberikan manfaat yang
cukup besar pada pasien dengan nyeri atau kekakuan otot. Secara garis besar, maka tujuan, indikasi dan
tekhnis pelaksanaan program rehabilitasi yang melibatkan beberapa maksud di bawah ini, yaitu:4
a. Istirahat
b. Terapi fisik
c. Terapi dengan modalitas
d. Ortotik
e. Lain-lain.
f.
C. Terapi Medikamentosa
Berikut ini adalah jenis, dosis obat yang dipakai pada SLE serta pemantauannya, selanjutnya dapat
dilihat pada table dibawah ini:
Jenis dan Dosis Obat yang Dapat Dipakai pada SLE4

Jenis Dosis Jenis Evaluasi Pemantauan


Obat Toksisitas Awal Klinis Laboratorik

OAINS Tergant Perdarahan Darah Gejala Darah


ung saluan rutin, gastroin rutin,
OAINS cerna, kreatini, testinal kreatini,
hepatotoksik urin rutin, AST/ALT
, AST/ALT setiap 6
sakit kepala, bulan
hipertensi,
aseptik
meningitis,
nefrotoksik.
Kortikos Tergant Cushingoid, Gula Tekanan Gluksa
teroid ung hipertensi, darah, darah
derajat dislipidemi, profi l
SLE osteonekrosi lipid,
s, DXA,
hiperglisemi tekanan
a, Darah
katarak,
oesteoporosi
s
Klorokui 250 Retinopati, Evaluasi Fundusk
n mg/har keluhan GIT, mata, opi dan
i rash, G6PD lapanga
*Hidroks (3,5-4 mialgia, sakit pada n
iklorokui mg/kg kepala, pasien pandan
n BB/hr) anemi berisiko g
200- hemoli• k mata
400 pada setiap 3-
mg/ pasien 6
hari dengan bulan
defi siensi
G6PD
Azatiopr 50-150 Mielosupresi Darah tepi Gejala Darah tepi
in mg f, lengkap, mielosu lengkap
per hepatotoksik krea• nin, presif • ap 1-2
hari, , AST minggu
dosis gangguan / ALT dan
terbagi limfoprolifer selanjutnya
1-3, a• f 1-3 bulan
tergant interval.
ung AST tiap
berat tahun dan
badan. pap smear
secara
teratur.
Siklofosf Per Mielosupresi Darah tepi Gejala Darah tepi
amid oral: f, lengkap, mielosu lengkap
50- gangguan hitung presif, dan urin
150 mg limfoprolifer jenis hematur lengkap
per atif, leukosit, ia dan tiap bulan,
hari. keganasan, urin infertilit sitologi
IV: 500- imunosupres lengkap. as. urin dan
750 i, pap smear
mg/m2 sistitis tiap tahun
dalam hemoragik, seumur
Dextros infetilitas hidup.
e sekunder
250 ml,
infus
selama
1 jam.
Metotre 7.5 – Mielosupresi Darah tepi Gejala Darah tepi
ksat 20 mg f, lengkap, mielosu lengkap
/ fibrosis foto presif, terutama
minggu hepatik, toraks, sesak hitung
, sirosis, serologi nafas, trombosit
dosis infiltrat hepatitis B mual tiap
tunggal pulmonal dan dan 4-8 minggu,
atau dan C pada muntah, AST /
terbagi fibrosis. pasien ulkus ALT dan
3. risiko mulut. albumin
Dapat tinggi, tiap 4-8
diberik AST, fungsi minggu,
an pula Hati, , urin
melalui kreatinin. lengkap
injeksi. dan
kreatinin.
Siklospo 2.5–5 Pembengkak Darah tepi Gejala Kreatinin,
rin A mg/kg an, lengkap, hiperse LFT,
BB, nyeri gusi, kreatinin, nsitifitas Darah tepi
atau peningkatan urin terhada lengkap.
sekitar tekanan lengkap, p castor
100 darah, LFT. oil
– 400 peningkatan (bila
mg per pertumbuha obat
hari n diberika
dalam rambut, n
2 dosis, gangguan injeksi),
tergant fungsi tekanan
ung ginjal, nafsu darah,
berat makan fungsi
badan. menurun, hatidan
tremor. ginjal.
Mikofen 1000 – Mual, diare, Darah tepi Gejala Darah tepi
olat 2.000 leukopenia. lengkap, gastroin lengkap
mofetil mg fese testinal terutama
dalam lengkap. seperti leukosit
2 mual, dan hitung
dosis. muntah. jenisnya.

Keterangan:
OAINs: obat anti in•lamasi non steroid, AST/ALT: aspartate serum transaminase/ alanine serum
transaminase, LFT:liver function test
*hidroksiklorokuin saat ini belum tersedia di Indonesia.
Kortikosteroid
Kortikosteroid (KS) digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan SLE. Meski
dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping, KS tetap merupakan obat yang banyak
dipakai sebagai antiin•lamasi dan imunosupresi. Dosis KS yang digunakan juga bervariasi. Untuk
meminimalkan masalah interpretasi dari pembagian ini maka dilakukanlah standarisasi berdasarkan
patofisiologi dan farmakokinetiknya.4
Terminologi Pembagian Kortikosteroid4

Terminologi pembagian dosis kortikosteroid tersebut adalah :


Dosis rendah : < 7.5 mg prednison atau setara perhari
Dosis sedang : >7.5 mg, tetapi < 30 mg prednison atau setara perhari
Dosis tinggi : >30 mg, tetapi < 100 mg prednison atau setara perhari
Dosis sangat tinggi : >100 mg prednison atau setara perhari
Terapi pulse : >250 mg prednison atau setara perhari untuk 1 hari atau beberapa hari

Indikasi Pemberian Kortikosteroid


Pembagian dosis KS membantu kita dalam menatalaksana kasus rematik. Dosis rendah sampai sedang
digunakan pada SLE yang relatif tenang. Dosis sedang sampai tinggi berguna untuk SLE yang aktif. Dosis
sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untuk krisis akut yang berat seperti pada vaskulitis luas, nephritis
lupus, lupus cerebral.4,9

Farmakodinamik Pemakaian Kortikosteroid Pada Reumatologi4

*Klinis; retensi natrium dan air, kalium berkurang


Simbol : - =tidak; ++ tinggi, +++ tinggi ke sangat tinggi; ++++=sangat tinggi

Efek Samping Kortikosteroid


Efek samping kortikosteroid tergantung kepada dosis dan waktu, dengan meminimalkan jumlah KS,
akan meminimalkan juga risiko efek samping.

Efek samping yang sering ditemui pada pemakaian Kortikosteroid 4

Cara Pemberian Kortikosteroid


Pulse Terapi Kortikosteroid
Pulse terapi KS digunakan untuk penyakit rematik yang mengancam nyawa, induksi atau pada
kekambuhan. Dosis tinggi ini biasanya diberikan intravena dengan dosis 0,5-1 gram metilprednisolon
(MP). Diberikan selama 3 hari berturut-turut (lihat lampiran 2: pulse MP).9
Cara pengurangan dosis kortikosteroid
Karena berpotensial mempunyai efek samping, maka dosis KS mulai dikurangi segera setelah
penyakitnya terkontrol. Tapering harus dilakukan secara hati-hati untuk menghindari kembalinya aktivitas
penyakit, dan de isiensi kortisol yang muncul akibat penekanan aksis hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA)
kronis. Tapering secara bertahap memberikan pemulihan terhadap fungsi adrenal. Tapering tergantung
dari penyakit dan aktivitas penyakit, dosis dan lama terapi, serta respon klinis.4
Sebagai panduan, untuk tapering dosis prednison lebih dari 40 mg sehari maka dapat dilakukan
penurunan 5-10 mg setiap 1-2 minggu. Diikuti dengan penurunan 5 mg setiap 1-2 minggu pada dosis
antara 40-20 mg/hari. Selanjutnya diturunkan 1-2,5 mg/ hari setiap 2-3 minggu bila dosis prednison < 20
mg/hari. Selanjutnya dipertahankan dalam dosis rendah untuk mengontrol aktivitas penyakit.4
Sparing agen kortikosteroid
Istilah ini digunakan untuk obat yang diberikan untuk memudahkan menurunkan dosis KS dan
berfungsi juga mengontrol penyakit dasarnya. Obat yang sering digunakan sebagai sparing agent ini
adalah azatioprin, mikofenolat mofetil, siklofosfamid dan metotrexate. Pemberian terapi kombinasi ini
adalah untuk mengurangi efek samping KS.
Rekomendasi
- Pengobatan SLE meliputi edukasi dan konseling, rehabilitasi medik dan medika mentosa
- Pemberian terapi kotrikosteroid merupakan lini pertama, cara penggunaan, dosis dan efek samping perlu
diperhatikan
- Terapi pendamping (sparing agent) dapat digunakan untuk memudahkan menurunkan dosis
kortikosteroid, mengontrol penyakit dasar dan mengurangi efek samping KS.
Pengobatan SLE Berdasarkan Aktivitas Penyakitnya.
a. Pengobatan SLE Ringan
Pilar pengobatan pada SLE ringan dijalankan secara bersamaan dan berkesinambungan serta ditekankan
pada beberapa hal yang penting agar tujuan di atas tercapai, yaitu:10
Obat-obatan
 Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan.
 Obat anti in lamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis dan pengelolaan nyeri dan in lamasi.
 Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan potensi ringan)
 Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet klorokuin 250 mg mengandung 150 mg
klorokuin basa) catatan periksa mata pada saat awal akan pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan,
sementara hidroksiklorokuin dosis 5- 6,5 mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa mata setiap 6-12
bulan.
 Kortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau yang setara.
Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection factor sekurangkurangnya 15 (SPF 15)
b. Pengobatan SLE Sedang
Pilar penatalaksanaan SLE sedang sama seperti pada SLE ringan kecuali pada pengobatan. Pada SLE
sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan tertentu serta mengikuti protokol pengobatan yang
telah ada. Misal pada serosistis yang refrakter: 20 mg / hari prednison atau yang setara.
c. Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa
Pilar pengobatan sama seperti pada SLE ringan kecuali pada penggunaan obat- obatannya. Pada SLE berat
atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-obatan sebagaimana tercantum di bawah ini.

Glukokortikoid Dosis Tinggi


Lupus nefritis, serebritis atau trombositopenia: 40 – 60 mg / hari (1 mg/kgBB) prednison atau yang
setara selama 4-6 minggu yang kemudian diturunkan secara bertahap, dengan didahului pemberian
metilprednisolon intra vena 500 mg sampai 1 g / hari selama 3 hari bertutut-turut.4,8,10
Obat Imunosupresan atau Sitotoksik
Terdapat beberapa obat kelompok imunosupresan / sitotoksik yang biasa digunakan pada SLE, yaitu
azatioprin, siklofosfamid, metotreksat, siklosporin, mikofenolat mofetil.
Pada keadaan tertentu seperti lupus nefritis, lupus serebritis, perdarahan paru atau sitopenia,
seringkali diberikan gabungan antara kortikosteroid dan imunosupresan / sitotoksik karena memberikan
hasil pengobatan yang lebih baik.

Algoritma Penatalaksanan SLE


d. Terapi Lain
Beberapa obat lain yang dapat digunakan pada keadaan khusus SLE mencakup:
- Intra vena imunoglobulin terutama IgG, dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari, terutama pada pasien SLE
dengan trombositopenia, anemia hemilitik, nefritis, neuropsikiatrik SLE, manifestasi mukokutaneus, atau
demam yang refrakter dengan terapi konvensional.
- Plasmaferesis pada pasien SLE dengan sitopeni, krioglobulinemia dan lupus serberitis.
- Thalidomide 25-50 mg/hari pada lupus diskoid.
- Danazol pada trombositopenia refrakter.
- Dehydroepiandrosterone (DHEA) dikatakan memiliki steroid-sparring eff ect pada SLE ringan.
- Dapson dan derivat retinoid pada SLE dengan manifestasi kulit yang refrakter dengan obat lainnya.
- Rituximab suatu monoklonal antibodi kimerik dapat diberikan pada SLE yang
berat.
- Belimumab suatu monoklonal antibodi yang menghambat aktivitas stimulator limfosit sel B telah
dilaporkan efektif dalam terapi SLE42 (saat ini belum tersedia di Indonesia)
- Terapi eksperimental diantaranya antibodi monoklonal terhadap ligan CD40 (CD40LmAb).
- Dialisis, transplantasi autologus stem-cell.

K. PROGNOSIS, MORBIDITAS, KOMORBIDITAS DAN MORTALITAS


Meskipun pengobatan lupus telah membaik untuk kelangsungan hidup secara dramatis,
berkepanjangan; didefinisikan sebagai 5 tahun tanpa gejala klinis dan laboratorium klinis membuktikan
tidak terdapat penyakit aktif dan tidak ada dalam pengobatan lagi, sulit dipahami sebagian besar pasien.
Kejadian yang pernah ada mengestimasikan untuk 0,65 pasien per tahun harus di follow up. Bahkan,
secara jumlah angka yang signifikan dari pasien (10-20% di pusat rujukan tersier) tidak merespon secara
memadai untuk terapi imunosupresif.2
Pada lupus, terapi berhubungan dengan morbiditas mungkin tidak mudah dipisahkan dari morbiditas
terkait penyakit. Insiden pada penerimaan di rumah sakit untuk pasien dengan lupus 0.69 penerimaan per
pasien-tahun. Infeksi, penyakit arteri koroner, dan manajemen ortopedi osteonekrosis merupakan alasan-
alasan utama untuk rawat inap. Pola mortalitas bimodal pertama dijelaskan pada tahun 1974
menunjukkan bahwa kematian dini pada SLE dikaitkan dengan aktivitas lupus dan infeksi, sedangkan
kematian akhir dikaitkan dengan komplikasi aterosklerosis.2

Anda mungkin juga menyukai