Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR PELVIS

A. Konsep Penyakit
1. Anatomi dan Fisiologi
Pelvis merupakan struktur mirip cincin yang terbentuk dari tiga tulang:
sacrum dan dua tulang innominata, yang masing-masing terdiri dari ilium,
ischium dan pubis. Tulang-tulang innominata menyatu dengan sacrum di
bagian posterior pada dua persendian sacroiliaca; di bagian anterior, tulang-
tulang ini bersatu pada simfisis pubis. Simfisis bertindak sebagai penopang
sepanjang memikul beban berat badan untuk mempertahankan struktur
cincin pelvis.
Tiga tulang dan tiga persendian tersebut menjadikan cincin pelvis stabil
oleh struktur ligamentosa, yang terkuat dan paling penting adalah
ligamentum-ligamentum sacroiliaca posterior. Ligamentum-ligamentum
ini terbuat dari serat oblik pendek yang melintang dari tonjolan posterior
sacrum sampai ke spina iliaca posterior superior (SIPS) dan spina iliaca
posterior inferior (SIPI) seperti halnya serat longitudinal yang lebih
panjang melintang dari sacrum lateral sampai ke spina iliaca posterior
superior (SIPS) dan bergabung dengan ligamentum sacrotuberale.
Ligamentum sacroiliaca anterior jauh kurang kuat dibandingkan dengan
ligamentum sacroiliaca posterior. Ligamentum sacrotuberale adalah
sebuah jalinan kuat yang melintang dari sacrum posterolateral dan aspek
dorsal spina iliaca posterior sampai ke tuber ischiadicum. Ligamentum ini,
bersama dengan ligamentum sacroiliaca posterior, memberikan stabilitas
vertikal pada pelvis. Ligamentum sacrospinosum melintang dari batas
lateral sacrum dan coccygeus sampai ke ligamentum sacrotuberale dan
masuk ke spina ischiadica. Ligamentum iliolumbale melintang dari
processus transversus lumbalis keempat dan kelima sampai ke crista iliaca
posterior; ligamentum lumbosacrale melintang dari processus transversus
lumbalis ke lima sampai ke ala ossis sacri (gambar 1).
Gambar 1. Pandangan Posterior (A) dan Anterior (B) dari Ligamen Pelvis

Arteri iliaca communis terbagi, menjadi arteri iliaca externa, yang terdapat
pada pelvis anterior diatas pinggiran pelvis. Arteri iliaca interna terletak
diatas pinggiran pelvis. Arteri tersebut mengalir ke anterior dan dalam dekat
dengan sendi sacroliliaca. Cabang posterior arteri iliaca interna termasuk
arteri iliolumbalis, arteri glutea superior dan arteri sacralis lateralis. Arteri
glutea superior berjalan ke sekeliling menuju bentuk panggul lebih besar,
yang terletak secara langsung diatas tulang. Cabang anterior arteri iliaca
interna termasuk arteri obturatoria, arteri umbilicalis, arteri vesicalis, arteri
pudenda, arteri glutea inferior, arteri rectalis dan arteri hemoroidalis. Arteri
pudenda dan obturatoria secara anatomis berhubungan dengan rami pubis
dan dapat cedera dengan fraktur atau perlukaan pada struktur ini. Arteri-
arteri ini dan juga vena-vena yang menyertainya seluruhnya dapat cedera
selama adanya disrupsi pelvis (gambar 2).

Pemahaman tentang anatomi pelvis akan membantu ahli bedah ortopedi


untuk mengenali pola fraktur mana yang lebih mungkin menyebabkan
kerusakan langsung terhadap pembuluh darah mayor dan mengakibatkan
perdarahan retroperitoneal signifikan.
Gambar 2. Aspek internal pelvis yang memperlihatkan pembuluh darah
mayor yang terletak pada dinding dalam pelvis

2. Definisi Penyakit

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang di tandai oleh rasa


nyeri, pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan , dan
krepitasi (Muttaqin, 2012).

Fraktur merupakan terputusnya kontinuitas tulang. Fraktur dapat berbentuk


transversa, oblik, atau spiral. (Amin dan Hardhi, 2016)

Fraktur Pelvis adalah putusnya kontinuitas tulang, tulang rawan epifisis


atau tulang rawan sendi dan gangguan struktur tulang dari pelvis. Pada
orang tua penyebab paling umum adalah jatuh dari posisi berdiri. Namun,
fraktur yang berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas terbesar
melibatkan pasukan yang signifikan misalnya dari kecelakaan kendaraan
bermotor atau jatuh dari ketinggian.

Fraktur pelvis secara potensial merupakan cidera yang paling berbahaya,


karena dapat menimbulkan perdarahan eksanguinasi. Sumber perdarahan
biasanya pleksus vascular yang melekat pada dinding pelvis, tetapi dapat
juga dari cidera pembuluh darah iliaka, iliolumbal, atau femoral. Bila
terdapat tanda – tanda renjatan hipovolemik, maka harus dilakukan
transfuse darah dini. Selain itu, pasien dapat juga diberikan aplikasipakaian
antirenjatan pneumatik. Reduksi dari fraktur yang tidak stabil juga dapat
mengurangi perdarahan. Pada fraktur pelvis, fraktur dimana perdarahan
paling sering terjadi adalah sacrum atau ilium, ramus pubis bilateral,
separasi dari simfisis pubis, dan dislokasi dari artikulasio sakroiliaka.
(Sjamsuhidajat, 2013)
Klasifikasi

Menurut Tile (1988)

Tipe A ; stabil : Pasien tidak mengalami syok berat tetapi merasa nyeri bila
berusaha berjalan. Terdapat nyeri tekan lokal tetapi jarang terdapat
kerusakan pada visera pelvis.

 A1 ; fraktur panggul tidak mengenai cincin


 A2 ; stabil, terdapat pergeseran cincin yang minimal dari fraktur

Tipe A termasuk fraktur avulsi atau fraktur yang mengenai cincin panggul
tetapi tanpa atau sedikit sekali pergeseran cincin.

Tipe B ; tidak stabil secara rotasional, stabil secara vertikal :

 B1 ; open book
 B2 ; kompresi lateral : ipsilateral
 B3 ; kompresi lateral : kontralateral (bucket handle)

Tipe B mengalami rotasi eksterna yang mengenai satu sisi panggul (open
book) atau rotasi interna atau kompresi lateral yang dapat menyebabkan
fraktur pada ramus isio-pubis pada satu atau kedua sisi disertai trauma pada
bagian posterior tetapi simfisis tidak terbuka (closed book).

Tipe C ; tidak stabil secara rotasi dan vertikal :

 C1 ; unilateral
 C2 ; bilateral
 C3 ; disertai fraktur asetabulum
Terdapat disrupsi ligamen posterior pada satu atau kedua sisi disertai
pergeseran dari salah satu sisi panggul secara vertikal, mungkin juga
disertai fraktur asetabulum.

Gambar 3. Klasifikasi Fraktur Pelvis

3. Etiologi
Etiologi fraktur pelvis menurut Sjamsuhidajat 2013 adalah :
a. Trauma langsung: benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur
pada tempat tersebut.
b. Trauma tidak langsung: bilamana titik tumpul benturan dengan
terjadinya fraktur berjauhan.
c. Proses penyakit: kanker dan riketsia.
d. Compresion force: klien yang melompat dari tempat ketinggian dapat
mengakibatkan fraktur kompresi tulang belakang.
e. Muscle (otot): akibat injuri/sakit terjadi regangan otot yang kuat
sehingga dapat menyebabkan fraktur (misal; elektrik shock dan tetani).
Mekanisme trauma

Trauma biasanya terjadi secara langsung pada panggul karena tekanan yang
besar ataukarena jatuh dari ketinggian. Pada orang tua dengan osteoporosis
atau osteomalasia dapatterjadi fraktur stress pada ramus pubis. Oleh karena
rigiditas panggul maka keretakan pada Fraktur Pelvis salah satu bagian
cincin akan disertai robekan pada titik lain, kecuali pada trauma
langsung.Sering titik kedua tidak terlihat dengan jelas atau mungkin terjadi
robekan sebagian atauterjadi reduksi spontan pada sendi sakro-iliaka.
Mekanisme trauma pada cincin panggul terdiri atas :

 Kompresi anteroposterior
Hal ini biasanya terjadi akibat tabrakan antara seorang pejalan kaki
dengan kendaraan.Ramus pubis mengalami fraktur, tulang inominata
terbelah, dan mengalami rotasieksterna disertai robekan simfisis.
Keadaan ini disebut sebagaiopen book injury. Bagian posterior ligamen
sakro-iliaka mengalami robekan parsial atau dapat disertai fraktur
bagian belakang ilium.
 Kompresi lateral
Kompresi dari samping akan menyebabkan cincin mengalami
keretakan. Hal initerjadi apabila ada trauma samping karena kecelakaan
lalu lintas atau jatuh dariketinggian. Pada keadaan ini ramus pubis
bagian depan pada kedua sisinya mengalamifraktur dan bagian
belakang terdapat strain dari sendi sakri-iliaka atau fraktur ilium
ataudapat pula fraktur ramus pubis pada sisi yang sama.
 Trauma vertical
Tulang inominata pada satu sisi mengalami pergerakan secara vertikal
disertai fraktur ramus pubis dan disrupsi sendi sakro-iliaka pada sisi
yang sama. Hal ini terjadi apabilaseseorang jatuh dari ketinggian pada
satu tungkai.
 Trauma kombinasi
Pada trauma yang lebih hebat dapat terjadi kombinasi kelainan di atas
4. Tanda dan Gejala
Tanda dan Gejala menurut Sjamsuhidajat 2013 :

Fraktur pelvis merupakan salah satu trauma multiple yang dapat mengenai
organ-organ lain dalam panggul. Keluhan yang dapat terjadi pada fraktur
panggul antara lain :

a. Nyeri
b. Pembengkakan
c. Deformitas
d. Perdarahan subkutan sekitar panggul
e. Hematuria
f. Perdarahan yang berasal dari vagina, urethra, dan rectal
g. Syok

Penderita datang dalam keadaan anemi dan syok karena perdarahan yang
hebat. Terdapat gangguan fungsi anggota gerak bawah. Pada cedera tipe A
pasien tidak mengalami syok berat tetapi merasa nyeri bila berusaha
berjalan. Terdapat nyeri tekan lokal tetapi jarang terdapat kerusakan pada
visera pelvis. Sinar-X polos dapat memperlihatkan fraktur.
Pada tipe cedera B dan C pasien mengalami syok berat, sangat nyeri dan tak
dapat berdiri; dia mungkin juga tidak dapat kencing. Mungkin terdapat
darah di meatus eksternus. Nyeri tekan dapat bersifat lokal tetapi sering
meluas, dan usaha menggerakkan satu atau kedua ala osis ilii akan sangat
nyeri. Salah satu kaki mungkin mengalami anestetik sebagiankarena cedera
saraf skiatika dan penarikan atau pendorongan dapat mengungkapkan
ketidakstabilan vertikal (meskipun ini mungkin terlalu nyeri). Cedera ini
sangat hebat,sehingga membawa risiko tinggi terjadinya kerusakan viseral,
perdarahan di dalam perut dan retroperitoneal, syok, sepsis, dan ARDS,
angka kematiannya cukup tinggi
5. Patofisiologi

Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila
tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.
Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit (Smelter dan Bare, 2013)

Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah


ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga
biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat
setelah fraktur. Sel- sel darah putih dan sel anast berakumulasi
menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktivitas
osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut
callus. Bekuan fibrin direabsorbsidan sel- sel tulang baru mengalami
remodeling untuk membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah
atau penekanan serabut syaraf yang berkaitan dengan pembengkakan
yang tidak di tangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan
mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi
darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut
syaraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini di namakan sindrom
compartment (Brunner dan Suddarth, 2013).

Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak


seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur
tertutup. Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak seperti
tendon, otot, ligament dan pembuluh darah (Smeltzer dan Bare, 2013).
Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita
komplikasi antara lain : nyeri, iritasi kulit karena penekanan, hilangnya
kekuatan otot. Kurang perawatan diri dapat terjadi bila sebagian tubuh di
imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan kemampuan prawatan diri
(Carpenito, 2007).

Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen- fragmen tulang di


pertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun pembedahan
meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan itu sendiri
merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya tidak
mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan
selama tindakan operasi (Price dan Wilson, 2012).
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang menurut Muttaqin, 2012 adalah :
a. Radiografi
Radiograf anteroposterior pelvis merupakan skrining test dasar dan
mampu menggambarkan 90% cedera pelvis. Namun, pada pasien
dengan trauma berat dengan kondisi hemodynamic tidak stabil
seringkali secara rutin menjalani pemeriksaan CT scan abdomen dan
pelvis, serta foto polos pelvis yang tujuannya untuk memungkinkan
diagnosis cepat fraktur pelvis dan pemberian intervensi dini.
b. CT-Scan
CT scan merupakan imaging terbaik untuk evaluasi anatomi panggul
dan derajat perdarahan pelvis, retroperitoneal, dan intraperitoneal. CT
scan juga dapat menegaskan adanya dislokasi hip yang terkait dengan
fraktur acetabular.
c. MRI
MRI dapat mengidentifikasi lebih jelas adanya fraktur pelvis bila
dibandingkan dengan radiografi polos (foto polos pelvis). Dalam satu
penelitian retrospektif, sejumlah besar positif palsu dan negatif palsu
itu dicatat ketika membandingkan antara foto polos pelvis dengan MRI.
d. Ultrasonografi
Sebagai bagian dari the Focused Assessment with Sonography for
Trauma (FAST), pemeriksaan pelvis seharusnya divisualisasikan untuk
menilai adanya pendarahan/cairan intrapelvic. Namun, studi terbaru
menyatakan ultrasonografi memiliki sensitivitas yang lebih rendah
untuk mengidentifikasi hemoperitoneum pada pasien dengan fraktur
pelvis. Oleh karena itu, perlu diingat bahwa, meskipun nilai prediksi
positif mencatat hemoperitoneum sebagai bagian dari pemeriksaan
FAST yang baik, keputusan terapeutik menggunakan FAST sebagai
pemeriksaan skrining mungkin terbatas.
e. Cystography
Pemeriksaan ini dilakukkan pada pasien dengan hematuria dan urethra
utuh.

7. Penatalaksanaan

Menurut Mansjoer (2000) dan Muttaqin (2012) konsep dasar yang harus
dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur pelvis sebagai berikut :
a. Tindakan operatif bila ditemukan kerusakan alat-alat dalam rongga
panggul

b. Stabilisasi fraktur panggul misalnya :

1) Fraktur avulsi atau stabil diatasi dengan pengobatan konservatif


seperti istirahat, traksi, pelvic sling

2) Fraktur tidak stabil diatasi dengan fiksasi ekstema atau dengan


operasi yang dikembangkan oleh grup ASIF

Berdasarkan klasifikasi Tile :

a. Fraktur Tipe A : hanya membutuhkan istirahat ditempat tidur yang


dikombinasikan dengan traksi tungkai bawah. Dalam 4-6 minggu
pasien akan lebih nyaman dan bisa menggunakan penopang

b. Fraktur Tipe B :

1) Fraktur tipe open book

Jika celah kurang dari 2,5 cm, diterapi dengan cara beristirahat
ditempat tidur, kain gendongan posterior atau korset elastis. Jika
celah lebih dari 2,5 cm dapat ditutup dengan membaringkan pasien
dengan cara miring dan menekan ala ossis ilii menggunakan fiksasi
luar dengan pen pada kedua ala ossis ilii.

2) Fraktur tipe close book


Beristirahat ditempat tidur selama sekita 6 minggu tanpa fiksasi
apapun bisa dilakukan, akan tetapi bila ada perbedaan panjang kaki
melebihi 1,5cm atau terdapat deformitas pelvis yang nyata maka
perlu dilakukan reduksi dengan menggunakan pen pada krista
illiaka.
c. Fraktur Tipe C

Sangat berbahaya dan sulit diterapi. Dapat dilakukan reduksi dengan


traksi kerangka yang dikombinasikan fiksator luar dan perlu istirahat
ditempat tidur sekurang-kurangnya 10 minggu.

8. Komplikasi
Komplikasi fraktur menurut Smeltzer dan Bare (2013) dan Price (2012)
antara lain:
Komplikasi awal

1. Shock Hipovolemik/traumatik
Fraktur (ekstrimitas, vertebra, pelvis, femur) → perdarahan
kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak → shock
hipovolemi.
Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (banyak
kehilangan darah eksternal maupun yang tidak kelihatan yang bias
menyebabkan penurunan oksigenasi) dan kehilangan cairan ekstra sel
ke jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur ekstrimitas, thoraks,
pelvis dan vertebra
2. Emboli lemak
Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam pembuluh
darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler
atau karena katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stress pasien akan
memobilisasi asam lemak dan memudahkan terjasinya globula lemak
pada aliran darah.
3. Tromboemboli vena
Berhubungan dengan penurunan aktivitas/kontraksi otot/bedrest.
4. Infeksi

Fraktur terbuka: kontaminasi infeksi sehingga perlu monitor tanda


infeksi dan terapi antibiotik. Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada
trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada
kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus
fraktur terbuka, tapi bias juga karena penggunaan bahan lain dalam
pembedahan seperti pin dan plat.
5. Sindrom kompartemen
Merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot
kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa
disebabkan karena penurunan ukuran kompartement otot karena fasia
yang membungkus otot terlalu ketat, penggunaan gibs atau balutan
yang menjerat ataupun peningkatan isi kompatement otot karena edema
atau perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah (misalnya :
iskemi,dan cidera remuk).
6. Kerusakan Arteri

Pecahnya arteri karena trauma bias ditandai denagan tidak ada nadi,
CRT menurun, syanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan
dingin pada ekstrimitas yang disbabkan oleh tindakan emergensi
splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan.
Komplikasi lambat

1. Delayed union
Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan dengan
kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. Delayed union
merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang
dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena
penurunan suplai darah ke tulang.
Proses penyembuhan fraktur sangat lambat dari yang diharapkan
biasanya lebih dari 4 bulan. Proses ini berhubungan dengan proses
infeksi. Distraksi/tarikan bagian fragmen tulang.
2. Non union
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9
bulan. Nonunion di tandai dengan adanya pergerakan yang berlebih
pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseuardoarthrosis.
Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang (Price dan
Wilson, 2012).
Proses penyembuhan gagal meskipun sudah diberi pengobatan. Hal ini
disebabkan oleh fibrous union atau pseudoarthrosis.
3. Mal union
Malunion dalam suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh
dalam posisi yang tidak seharusnya. Malunion merupaka penyembuhan
tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan
bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan
reimobilisasi yang baik.
Proses penyembuhan terjadi tetapi tidak memuaskan (ada perubahan
bentuk).
4. Nekrosis avaskuler di tulang

Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak


atau terganggu yang bias menyebabkan nekrosis tulang dan di awali
dengan adanya Volkman’s Ischemia (Smeltzer dan Bare, 2013).

B. Rencana Asuhan Keperawatan


Pada pengkajian fokus yang perlu di perhatikan pada pasien fraktur merujuk
pada teori menurut Doenges (2002) dan Muttaqin (2012) ada berbagai macam
meliputi:
1. Pengkajian
a. Riwayat keperawatan
1) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan
darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
2) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan.
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien
digunakan:
a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang
menjadi faktor presipitasi nyeri.
b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
c) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa
sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan
seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan
terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut
sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian
tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme
terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan
menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan
penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering
sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di
kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan
juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan,
dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik
6) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya
dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga
ataupun dalam masyarakat
7) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan
obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium,
pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya
dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak
b) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya
untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap
pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang
tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar
matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah
muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga
menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
c) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola
eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi,
konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi
alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi,
kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga
dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga
hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain
itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana
lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan
obat tidur.
d) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu
banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah
bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada
beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur
dibanding pekerjaan yang lain
e) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap
f) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan
akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image)
g) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian
distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.
begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu
juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur
h) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan
keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu
juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak,
lama perkawinannya
i) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi
tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak
efektif.
j) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah
dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa
disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.
b. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda,
seperti:
a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien.
b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat
dan pada kasus fraktur biasanya akut.
c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
a) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
oedema, nyeri tekan.
b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi
maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
e) Mata
Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi
perdarahan)
f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi
atau nyeri tekan.
g) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
h) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa
mulut tidak pucat.
i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
j) Paru
 Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada
riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
 Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
 Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
 Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan
lainnya seperti stridor dan ronchi.
k) Jantung
 Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
 Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
 Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
l) Abdomen
 Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
 Auskultasi
Peristaltik usus normal 20 kali/menit.

 Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
 Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan
BAB.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan menurut Amin dan Hardhi, 2016 sebagai berikut :
a. Nyeri akut b.d terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen tulang,
edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/ immobilisasi, stress,
ansietas.
b. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d penurunan suplay darah ke
jaringan
c. Kerusakan integritas kulit b.d fraktur terbuka
d. Hambatan mobilitas fisik b.d nyeri, kerusakan musculoskeletal, terapi
pembatasan aktifitas, penurunan kekuatan/tahanan
e. Resiko infeksi b.d stasis cairan tubuh, respon inflamasi tertekan, prosedur
invasi dan jalur penusukan, luka/ kerusakan kulit, insisi pembedahan
f. Resiko syok ( hipovolemik ) b.d kehilangan volume darah akibat trauma
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Hardhi. 2016. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarakan Diagnosa Medis


& NANDA NIC NOC, Jilid 1. Yogyakarta : Media Action Publishing

Arif, M 2012. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi III. Jakarta : Penerbitan
Media Aesculapius FKUI
Brunner & Suddarth. (2013). Keperawatan Medikal-Bedah Edisi 12. Jakarta : EGC
Carpenito, L. J. (2007). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 6. Jakarta : EG

Dongoes, M. E. (2002). Rencana Asuhan Keperawatan, Jakarta : EGC


Mansjoer, A, 2000. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Muskuluskletal, Jakarta : EGC
Price Sylvia A, Wilson Lorraine M. 2012. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Jakarta : EGC
Sjamsuhidajat, R. 2013. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC
Smeltzer & Bare. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Brunner &
Suddarth Edisi 8. Volume 2 (alih bahasa : H. Y Kuncara, dkk. Editor E.
Pakaryaningsih). Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai