Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan keganasan yang muncul pada

daerah nasofaring (area di atas tenggorok dan di belakang hidung). Karsinoma ini

terbanyak merupakan keganasan tipe sel skuamosa. Berdasarkan IARC

(International Agency for Research on Cancer) 2012, terdapat 87.000 kasus baru

nasofaring muncul setiap tahunnya (dengan 61.000 kasus baru terjadi pada laki-

laki dan 26.000 kasus baru pada perempuan) dengan 51.000 kematian akibat KNF

(36.000 pada laki-laki, dan 15.000 pada perempuan).1,2 KNF terutama ditemukan

pada pria usia produktif (perbandingan pasien pria dan wanita adalah 2,18:1) dan

60% pasien berusia antara 25 hingga 60 tahun.3

Angka kejadian tertinggi di dunia terdapat di Cina yakni sebesar 40-50

kasus kanker nasofaring diantara 100.000 penduduk.3 Kanker nasofaring sangat

jarang ditemukan di daerah Eropa dan Amerika Utara dengan angka kejadian

sekitar <1/100.000 penduduk. Di Indonesia, karsinoma nasofaring merupakan

salah satu jenis keganasan yang sering ditemukan, berada pada urutan ke-4 kanker

terbanyak di Indonesia setelah kanker payudara, kanker leher rahim, dan kanker

paru.4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Nasofaring

Nasofaring merupakan bagian yang terdapat pada belakang rongga hidung dan

diatas orofaring. Ukuran nasofaring sekitar 2-3 cm depan ke belakang dan sekitar

3-4 cm atas ke bawah. Bagian atap dan dinding belakang dibentuk oleh basis

sphenoid, basis occiput dan ruas pertama tulang belakang. Bagian depan

berhubungan dengan rongga hidung melalui koana. Orificium dari tuba eustachius

berada pada dinding samping dan pada bagian depan dan belakang terdapat

ruangan yang disebut dengan torus tubarius. Bagian atas dan samping dari torus

tubarius merupakan reses dari nasofaring yang disebut dengan fossa rosenmuller.

Nasofaring berhubungan dengan orofaring pada bagian soft palatum.5

Gambar 1. Anatomi Nasofaring

Fossa russenmuller mempunyai hubungan anatomi dengan sekitarnya,

sehingga berperan dalam kejadian dan prognosis KNF. Tepat di atas apeks dari

fossa russenmuller terdapat foramen laserum, yang berisi arteri karotis interna
dengan sebuah lempeng tipis fibrokartilago. Lempeng ini mencegah penyebaran

KNF ke sinus kavernosus melalui karotis yang berjalan naik. Tepat di anterior

fossa russenmuller, terdapat nervus mandibula (V3) yang berjalan di dasar

tengkorak melalui foramen ovale. Kira-kira 1.5 cm posterior dari fossa

russenmuller terdapat foramen jugulare, yang dilewati oleh nervus kranial IX-XI,

dengan kanalis hipoglosus yang terletak paling medial.5

Fossa russenmuller yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan

tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi ruang ini menjadi 3

kompartemen, yaitu : 1) kompartemen prestiloid, berisi a. maksilaris, n. lingualis

dan n. alveolaris inferior; 2) kompartemen poststiloid, yang berisi arteri karotis;

dan 3) kompartemen retrofaring. Kompartemen retrofaring ini berhubungan

dengan kompartemen retrofaring kontralateral, sehingga pada keganasan

nasofaring mudah terjadi penyebaran menuju kelenjar limfa leher kontralateral.

Lokasi fossa russenmuller yang demikian itu dan dengan sifat KNF yang invasif,

menyebabkan mudahnya terjadi penyebaran KNF ke daerah sekitarnya yang

melibatkan banyak struktur penting sehingga timbul berbagai macam gambaran

klinis.5

Lapisan mukosa daerah nasofaring dilapisi oleh mukosa dengan epitel kubus

berlapis bersilia pada daerah dekat koana, sedangkan pada daerah posterior dan

inferior nasofaring terdiri dari epitel skuamosa berlapis. Daerah dengan epitel

transisional terdapat pada daerah pertemuan antara bagian atas nasofaring dan

dinding lateral. Lamina propria seringkali diinfiltrasi oleh jaringan limfoid,

sedangkan lapisan submukosa mengandung kelenjar serosa dan mukosa.5


Pembuluh darah arteri utama yang memperdarahi daerah nasofaring adalah

arteri faringeal asendens, arteri palatina asendens, arteri palatina desendens, dan

cabang faringeal arteri sfenopalatina. Semua pembuluh darah tersebut berasal dari

arteri karotis eksterna dan cabang-cabangnya. Pembuluh darah vena berada di

bawah membran mukosa yang berhubungan dengan pleksus pterigoid di daerah

superior dan fasia posterior atau vena jugularis interna di bawahnya.5

Gambar 2. Pendarahan Nasofaring

Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal yang terdapat di atas otot

konstriktor faringeus media. Pleksus faringeus terdiri dari serabut sensoris saraf

glossofaringeus (IX), serabut motoris saraf vagus (X) dan serabut saraf ganglion

servikalis simpatikus. Sebagian besar saraf sensoris nasofaring berasal dari saraf

glossofaringeus, hanya daerah superior nasofaring dan anterior orifisuim tuba

yang mendapat persarafan sensoris dari cabang faringeal ganglion sfenopalatina

yang berasal dari cabang maksila saraf trigeminus (V1).5


Gambar 3. Persarafan nasofaring

Nasofaring mempunyai pleksus submukosa limfatik yang luas. Kelompok

pertama adalah kelompok nodul pada daerah retrofaringeal yang terdapat pada

ruang retrofaring antara dinding posterior nasofaring, fasia faringobasilar dan

fasia prevertebra. Pada dinding lateral terutama di daerah tuba Eustachius paling

kaya akan pembuluh limfe. Aliran limfenya berjalan ke arah anterosuperior dan

bermuara di kelenjar retrofaringeal atau ke kelenjar yang paling proksimal dari

masing-masing sisi rantai kelenjar spinal dan jugularis interna, rantai kelenjar ini

terletak di bawah otot sternokleidomastoid pada tiap prosessus mastoid. Beberapa

kelenjar dari rantai jugular letaknya sangat dekat denan saraf-saraf kranial terakhir

yaitu saraf IX,X,XI,XII. Metastase ke kelenjar limfe ini dapat terjadi sampai

dengan 75% penderita KNF, yang mana setengahnya datang dengan kelenjar

limfe bilateral.5
Gambar 4. Sistem limfatik

2.2 Karsinoma Nasofaring

2.2.1 Definisi Karsinoma Nasofaring

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel

epitel permukaan nasofaring. Tumor ini bermula dari dinding lateral

nasofaring (fosa russenmuller) dan dapat menyebar ke dalam atau keluar

nasofaring menuju dinding lateral, posterosuperior, dasar tengkorak, palatum,

kavum nasi, dan orofaring serta metastase ke kelenjar limfe leher.6

2.2.2 Epidemiologi

Angka insiden karsinoma nasofaring cukup tinggi tergantung dari letak

geografinya. Berdasarkan IARC (International Agency for Research on

Cancer) 2012, terdapat 87.000 kasus baru nasofaring muncul setiap tahunnya

(dengan 61.000 kasus baru terjadi pada laki-laki dan 26.000 kasus baru pada

perempuan) dengan 51.000 kematian akibat KNF (36.000 pada laki-laki, dan

15.000 pada perempuan). KNF terutama ditemukan pada pria usia produktif
(perbandingan pasien pria dan wanita adalah 2,18:1) dan 60% pasien berusia

antara 25 hingga 60 tahun.1,2

Insiden tertinggi dilaporkan berasal dari provinsi Guandong dan daerah

Guangxi Cina Selatan yaitu mencapai lebih dari 50 per 100.000 orang/tahun.

Etnis Cina yang bermigrasi ke luar negeri juga mempunyai angka insiden yang

tinggi, tetapi etnis Cina yang lahir di Amerika Utara, mempunyai angka

insiden yang rendah dibandingkan dengan yang lahir di Cina. Temuan ini

mengindikasikan bahwa faktor genetik, etnik, dan lingkungan memegang

peranan penting terhadap meningkatnya KNF. Insiden yang tinggi juga

ditemukan pada penduduk Eskimo di Alaska, Greenland dan Tunisia sebanyak

15-20 kasus per 100.000 orang per tahun. Angka insiden sedang ditemukan

pada daerah Afrika Utara dan Asia Tenggara (Vietnam, Indonesia, Thailand,

Filipina) yaitu antara 3-8 per 100.000/tahun. Dan jarang terjadi pada negara

Eropa dan Amerika Utara dengan angka kejadian sekitar <1/100.000

penduduk.3

Di Indonesia memberikan hasil yang beragam, dengan laki-laki lebih

banyak menderita KNF daripada perempuan. Kelompok umur yang terbanyak

terjadi adalah pada umur 41- 50 tahun. Di Indonesia, karsinoma nasofaring

merupakan salah satu jenis keganasan yang sering ditemukan, berada pada

urutan ke-4 kanker terbanyak di Indonesia setelah kanker payudara, kanker

leher rahim, dan kanker paru.1,4

2.2.3 Etiologi
Penyebab dari karsinoma nasofaring adalah infeksi virus Epstein-Barr

(VEB), karena pada semua pasien kanker nasofaring didapatkan titer anti virus

EB yang cukup tinggi. Titer ini lebih tinggi dari titer orang sehat, pasien tumor

ganas leher dan kepala lainnya, tumor organ tubuh lainnya, bahkan pada

kelainan nasofaring yang lain sekalipun.7

2.2.4 Faktor Risiko

Para peneliti telah mengidentifikasi beberapa faktor yang tampaknya

meningkatkan resiko terkena karsinoma nasofaring, termasuk :

1. Jenis Kelamin

Karsinoma nasofaring lebih sering terjadi pada pria daripada wanita dan

apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada

hubungannya dengan factor genetik, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-

lain.

2. Ras

Kanker jenis ini lebih sering mempengaruhi orang-orang di Asia dan

Afrika Utara. Ras mongoloid merupakan factor dominan timbulnya kanker

nasofaring, sehingga kekerapan cukup tinggi pada penduduk Cina bagian

selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura dan

Indonesia. Pada orang eskimo diduga penyebabnya adalah karena mereka

memakan makanan yang diawetkan dalam musim dingin dengan

menggunakan bahan pengawet nitrosamine.


3. Umur

Kanker nasofaring dapat terjadi pada semua usia, tetapi paling sering

didiagnosis pada orang dewasa antara usia 30 tahun dan 50 tahun.

4. Makanan yang diawetkan

Bahan kimia yang dilepaskan dalam uap saat memasak makanan, seperti

ikan dan sayuran diawetkan, dapat masuk ke rongga hidung, meningkatkan

risiko karsinoma nasofaring. Kebiasaan makan makanan terlalu panas,

paparan bahan kimia ini pada usia dini, lebih dapat meningkatkan risiko.

5. Genetik

Kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat

tertentu relatif lebih menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis

korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen

pengkode enzim sitokrom p4502E (CYP2E1) kemungkinan adalah gen

kerentanan terhadap karsinoma nasofaring, mereka berkaitan dengan

sebagian besar karsinoma nasofaring. Memiliki anggota keluarga dengan

karsinoma nasofaring meningkatkan risiko penyakit. Pengaruh genetik

terhadap karsinoma nasofaring sedang dalam pembuktian dengan

mempelajari cell mediated immunity dari virus EB dan tumor associated

antigens pada karsinoma nasofaring.

6. Lingkungan

Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, asap

sejenis kayu tertentu. Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat-zat berikut

berkaitan dengan timbulnya karsinoma nasofaring yaitu golongan


Nitrosamin, diantaranya dimetilnitrosamin dan dietilnitrosamin,

hidrokarbon aromatic dan unsur renik, diantaranya nikel sulfat.8

2.2.5 Patogenesis

Kanker nasofaring merupakan tumor ganas yang diasosiasikan dengan

virus EBV (Epstein-Barr virus). Telah ditemukan bahwa perkembangan

kanker nasofaring salah satunya dipengaruhi faktor risiko yang sudah sering

dikemukakan yaitu kenaikan titer antibody anti-EBV yang konsisten. Akan

tetapi, mekanisme molekuler dan hubungan patofisiologis dari karsinogenesis

terkait EBV masih belum sepenuhnya jelas.9 Selain itu, meski kanker

nasofaring seringkali diasosiasikan dengan EBV, EBV tidak mengubah sel-sel

epitel nasofaring menjadi sel-sel klon yang proliferative, meski ia dapat

mentransformasi sel B primer. Agar terbentuk kanker nasofaring, mula-mula

dibutuhkan infeksi laten dan litik EBV yang diduga disokong oleh perubahan

genetik yang dapat diidentifikasi pada epitel nasofaring premalignan. Setelah

itu infeksi laten dan litik terjadi dan menghasilkan produk-produk tertentu,

barulah ekspansi klonal dan transformasi sel epitel nasofaring premalignan

menjadi sel kanker. Selain faktor genetik, faktor lingkungan berupa konsumsi

karsinogen dalam diet pada masa kanak-kanak juga dapat mengakibatkan

akumulasi dari lesi genetik dan peningkatan risiko kanker nasofaring. Selain

diet, faktor-faktor lainnya adalah pajanan zat-zat kimia pada pekerjaan,

misalnya formaldehida dan debu kayu yang mengakibatkan inflamasi kronis di

nasofaring.10
Seperti yang telah dijelaskan, setelah faktor genetik dan lingkungan

merangsang perubahan pada epitel nasofaring, virus EBV memperparah

keadaan epitel tersebut. Virus EBV menginfeksi sel nasofaring secara laten.

Virus ini kemudian memasuki fase infeksi litik yang produktif. Tumor

nasofaring diketahui mengekspresikan tiga protein yang dikode EBV, RNA

kecil dan mikroRNA. Protein-protein yang diekspresikan di antaranya adalah

EBNA1, LMP1, dan LMP2. Dalam perkembangannya, diduga LMP1

memiliki peran sentral. LMP1 disekresi melalui eksosom dan masuk ke dalam

sel-sel yang tidak terinfeksi EBV melalui endositosis. LMP1 juga

mempengaruhi lingkungan di sekeliling tumor. LMP1 merupakan onkogen

primer yang dapat meniru fungsi salah satu reseptor TNF, yakni CD40.

Akibatnya, ia dapat menginisiasi beberapa pathway persinyalan yang

merangsang perubahan fenotip dan morfologi sel epitel. LMP 1 juga

mengakibatkan peningkatan EMT (epithelial-mesenchymal transition). Pada

proses EMT, sel-sel karsinoma akan menurunkan penanda epitel tertentu dan

meningkatkan penanda mesenkim tertentu sehingga menimbulkan

perkembangan fenotip promigratori yang penting dalam metastasis. Oleh

karena itu, LMP1 juga berperan dalam menimbulkan sifat metastasis dari

kanker nasofaring. Peningkatan EMT oleh LMP1 ini diikuti dengan ekspresi

penanda sel punca kanker/sel progenitor kanker serta pemberian sifat-sifat

mirip sel punca/sel progenitor kepada sel.9

Protein-protein lainnya serta ekspresi RNA virus juga memiliki peranan

dalam karsinogenesis kanker nasofaring, contohnya LMP2 yang


mempertahankan latensi virus. Peran-peran protein dan RNA serta proses

patogenesis kanker nasofaring terangkum dalam berikut.9

Gambar 5.

Patogenesis KNF

2.2.6 Gejala & tanda

Gejala kanker nasofaring dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu gejala

nasofaring sendiri, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta metastasis atau

gejala dileher. Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan

hidung, untuk itu nasofaring harus diperiksa secara cermat, kalau perlu dengan

nasofaringoskop, karena sering gejala belum ada sedangkan tumor sudah

tumbuh ata tumor tidak tampak karena masih terdapat dibawah mukosa

(creeping tumor). 11

Gangguan pada telinga merupakan gejala dini karena tempat asal tumor

dekat muara tuba Eustachius (fosa Rosenmuller). Gangguan dapat berupa

tinnitus, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia).
Tidak jarang pasien dengan gangguan pendengaran ini baru kemudian disadari

bahwa penyebabnya adalah karsinoma nasofaring. 11

Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui

beberapa lobang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai

geajala lanjut karsinoma ini. Penjalaran melalui foramen laserum akan

mengenai saraf otak ke III, IV, VI dan dapat pula ke V, sehingga tak jarang

gejala diploplia yang membawa pasien terlebih dahulu ke dokter mata.

Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf

jika belum terdapat keluhan lain yang berarti. 11

Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan

XII jika penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang relative

jauh dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut sindrom Jackson. Bila sudah

mengenai selurih saraf otak disebut sindrom unilateral. Dapat pula disertai

dengan destruksi tulang tengkorak dan bila sudah terjadi demikian, biasanya

prognosisnya buruk. 11

Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang

mendorong pasien untuk berobat, karena sebelumnya tidak terdapat keluhan

lain. Suatu kelainan nasofaring yang disebut lesi hiperplastik nasofaring atau

LHN telah diteliti di Cina yaitu 3 bentuk yang mencurigakan pada nasofaring,

seperti pembesaran adenoid pada orang dewasa, pembesaran nodul dan

mukosistis berat pada daerah nasofaring. Kelainan ini bila diikuti bertahun-

tahun kemudian akan menjadi karsinoma nasofaring.11

2.2.7 Diagnosis
Persoalan diagnostik sudah dapat dipecahkan dengan pemeriksaan CT-

Scan daerah kepala dan leher, sehingga pada tumor primer yang tersembunyi

pun tidak akan terlalu sulit ditemukan. Pemeriksaan foto tengkorak potongan

anteroposterior, lateral dan Waters menunjukan massa jaringan lunak di

daerah nasofaring. Foto dasar tengkorak memperlihatkan destruksi atau erosi

tulang di daerah fossa serebri media. Pemeriksaan darah tepi, fungsi hati,

ginjal dan lain -lain dilakukan untuk mendeteksi metastasis. 11

Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus

E-B telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring.

Tetapi pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menentukan prognosis

pengobatan. Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsi nasofaring.

Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung atau dari mulut.

Biopsi dari hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsi).

Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menelusuri konka media ke

nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy. 11

Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang

dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada didalam mulut

ditarik keluar dan diklem bersam-sama ujung kateter yang di hidung.

Demikian juga dengan kateter dari hidung disebelahnya, sehingga palatum

mole tertarik keatas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring.

Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai

nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat

lebih jelas. Biopsi tumor nasofaring umumnya dilakuan dengan anestsi topical
dengan Xylocain 10%.Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang

memuaskan maka dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral

nasofaring dalam nakrosis. Endoskopi dapat membantu dokter untuk melihat

bagian dalam tubuh dengan hanya menggunakan thin,fexible tube. Pasien

disedasi semasa tuba dimasukkan melalui mulut ataupun hidung untuk

menguji area kepala ataupun leher. Apabila endoskopi telah digunakan untuk

melihat nasofaring,disebut nasofaringoskopi.11

2.2.8 Stadium

Klasifikasi TNM berdasarkan AJCC (American Joint Committee On

cancer, Edisi 7, 2010)12

Tumor Primer (T)

TX Tumor primer tidak dapat dinilai

T0 Tidak terdapat tumor primer

Tis Karsinoma in situ

T1 Tumor terbatas pada nasofaring, atau tumor meluas

ke orofaring dan atau rongga hidung tanpa perluasan ke parafaringeal

T2 Tumor dengan perluasan ke parafaringeal

T3 Tumor melibatkan struktur tulang dari basis kranii dan atau sinus

paranasal

T4 Tumor dengan perluasan intrakranial dan atau

keterlibatan saraf kranial, hipofaring, orbita, atau dengan perluasan ke

fossa infratemporal / masticator space

KGB regional (N)


NX KGB regional tidak dapat dinilai

N0 Tidak terdapat metastasis ke KGB regional

N1 Metastasis unilateral di KGB, 6 cm atau kurang di atas fossa

supraklavikula

N2 Metastasis bilateral di KGB, 6 cm atau kurang dalam dimensi terbesar

di atas fosa supraklavikula

N3 Metastasis di KGB, ukuran > 6 cm

N3a Ukuran >6cm

N3b Perluasan ke fosa supraklavikula

Metastasis Jauh (M)

MX Metastasis jauh tidak dapat dinilai

M0 Tidak terdapat metastasis jauh

M1 Terdapat metastasis jauh

Pengelompokkan Stadium (Stage Grouping)

Tis T1 T2 T3 T4

N0 0 I II III IVA

N1 II II III IVA

M0

N2 III III III IVA

N3 IVB IVB IVB IVB

M1 IVC IVC IVC IVC 2.2.9


Penatalaksanaan

Stadium I : Radioterapi

Stadium II & III : Kemoradiasi

Stadium IV dengan N<6cm : Kemoradiasi

Stadium IV dengan N>6cm : Kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi11

1. Terapi

Terapi radiasi adalah mengobati penyakit dengan menggunakan

gelombang atau partikel energi radiasi tinggi yang dapat menembus jaringan

untuk menghancurkan sel kanker. Radioterapi masih memegang peranan

terpenting dalam pengobatan karsinoma nasofaring. Radioterapi merupakan

pengobatan utama, sedangkan pengobatan tambahan yang diberikan dapat

berupa diseksi leher, pemberian tetra siklin, faktor transfer, interferon,

kemoterapi, seroterapi, vaksin dan anti virus. emua pengobatan tambahan ini

masih dalam pengembangan, sedangkan kemoterapi masih tetap terbaik

sebagai terpai adjuvant. 2,11

Kemoterapi merupakan pengobatan kanker dengan obat-obatan.

Kemoterapi dapat menjalar melalui tubuh dan dapat membunuh sel kanker

dimanapun di dalam tubuh. Kemoterapi juga dapat merusak sel normal dan

sehat, terutama sel sehat dalam lapisan mulut dan sistem gastrointestinal,

sumsung tulang serta kantung rambut. Pemberian adjuvant kemoterapi Cis-

platinum, bleomycin dan 5-fluorouracil saat ini sedang dikembangkan dengan

hasil sementara yang cukup memuaskan. Demikian pula telah dilakukan

penelitian pemberian kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan cis-


platinum, meskipun ada efek samping yang cukup berat, tetapi memberikan

harapan kesembuhan yang lebih baik.11

Kombinasi kemoterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral setiap

hari sebelum diberikan radiasi yang bersifat radiosensitizer memperlihatkan

hasil yang memberi harapan akan kesembuhan total pasien karsinoma

nasofaring.Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap

benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul

kembali setelah penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah

hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologi dan serologi. Operasi

sisa tumor induk (residu) atau kambuh (residif) diindikasikan, tetapi sering

timbul komplikasi yang berat akibat operasi. 11

2. Perawatan paliatif

Perawatan paliatif harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi.

Mulut rasa kering disebakan oleh keusakan kelenjar liur mayor maupun minor

sewaktu penyinaran. Tidak banyak yang dilakukan selain menasihatkan pasien

untuk makan dengan banyak kuah, membawa minuman kemanapun pergi dan

mencoba memakan dan mengunyah bahan yang rasa asam sehingga

merangsang keluarnya air liur. Gangguan lain adalah mukositis rongga mulut

karena jamur, rasa kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan akibat

penyinaran, sakit kepala, kehilangan nafsu makan dan kadang-kadang muntah

atau rasa mual.2,11

Kesulitan yang timbul pada perawatan pasien pasca pengobatan

lengkap dimana tumor tetap ada (residu) akan kambuh kembali (residif).
Dapat pula timbul metastasis jauh pasca pengobatan seperti ke tulang, paru,

hati, otak. Pada kedua keadaan tersebut diatas tidak banyak tindakan medis

yang dapat diberikan selain pengobatan simtomatis untuk meningkatkan

kualitas hidup pasien. Pasien akhirnya meninggal dalam keadaan umum yang

buruk , perdarahan dari hidung dan nasofaring yang tidak dapat dihentikan dan

terganggunya fungsi alat-alat vital akibat metastasis tumor.11

3. Dukungan nutrisi

Pasien karsinoma nasofaring (KNF) sering mengalami malnutrisi (35%)

dan malnutrisi berat kaheksia pada kanker kepala-leher (termasuk KNF) dapat

mencapai 67%. Malnutrisi dan kaheksia dapat mempengaruhi respons terapi,

kualitas hidup dan survival rate pasien. Pasien KNF juga sering mengalami

efek samping terapi, berupa mukositis, xerostomia, mual, muntah, diare, dan

lain-lain. Berbagai kondisi tersebut dapat meningkatkan stres metabolisme,

sehingga pasien perlu mendapatkan tatalaksana nutrisi secara optimal. Pada

anak dengan karsinoma nasofaring, efek samping yang sering ditimbulkan

ialah kehilangan nafsu makan, perubahan indra perasa, penurunan sistim

kekebalan, muntah, diare, gangguan saluran cerna lainnya seringkali berakibat

terhadap jumlah asupan makronutrien dan mikronutrien yang diperlukan pada

anak. Para penderita perlu mendapatkan edukasi dan terapi gizi untuk

meningkatkan kualitas hidup pasien.12,13

Pasien kanker nasofaring dapat mengalami gangguan saluran cerna, berupa

mukositis oral, diare, konstipasi, atau mual-muntah akibat tindakan


pembedahan serta kemo- dan /atau radio-terapi. Tatalaksana khusus pada

kondisi tersebut, diberikan sesuai dengan kondisi pasien.

Rekomendasi tingkat A

 Penderita kanker sebaiknya memiliki BB ideal dan menerapkan


pola makan yang sehat, tinggi buah, sayur dan biji-bjian, serta
rendah daging merah, dan alkohol.
 Direkomendasikan untuk mempertahankan atau meningkatkan
aktifitas fisik pada pasien kanker selama dan setelah
pengobatan untuk membantu pembentukan otot, fungsi fisik
dan metabolisme tubuh.
 Direkomendasikan bagi para penderita kanker untuk terus
melakukan aktivitas fisik sesuai kemampuan secara teratur. 14

2.2.10 Follow Up

Tidak seperti keganasan kepala leher yang lainnya, KNF mempunyai resiko

terjadinya rekurensi dan follow-up jangka panjang diperlakukan. Kekambuhan

tersering terjadi kurang lebih 5 tahun, 5-15% kekambuhan sering terjadi pada 5-10

tahun. Sehingga pasien KNF perlu di follow-up setidaknya 10 tahun setelah

terapi.11

2.2.11 Pencegahan

Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah

dengan risiko tinggi. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah serta mengubah

cara memasak makanan untuk mencegah kesan buruk yang timbul dari bahan-
bahan yang berbahaya. Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat,

meningkatkan keadaan sosial-ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan

kemungkinan- kemungkinan faktor penyebab. Akhir sekali, melakukan tes

serologik IgA-anti VCA dan IgA anti EA bermanfaat dalam menemukan

karsinoma nasofaring lebih dini.11,13

2.2.12 Prognosis

Prognosis pasien dengan KNF dapat sangat berbeda antara subkelompok

yang satu dengan subkelompok yang lain. Penelitian tentang faktor-faktor yang

dapat memengaruhi prognosis masih terus berlangsung hingga saat ini.

Kebanyakan faktor-faktor prognosis bersifat genetik ataupun molekuler. klinik

(pemeriksaan fisik maupun penunjang). Sampai saat ini belum ada uji meta

analisis yang menggabungkan angka survival rate dari berbagai studi yang telah

ada. Prognosis pada pasien keganasan paling sering dinyatakan sebagai survival

rate 5 tahun. Menurut AJCC tahun 2010, survival rate relatif 5-tahun pada pasien

dengan KNF Stadium I hingga IV secara berturutan sebesar 72%, 64%, 62%, dan

38%.1
BAB V

KESIMPULAN

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel

permukaan nasofaring. Di Indonesia, karsinoma nasofaring merupakan salah satu

jenis keganasan yang sering ditemukan, berada pada urutan ke-4 kanker terbanyak

di Indonesia setelah kanker payudara, kanker leher rahim, dan kanker paru.

Penyebab dari karsinoma nasofaring adalah infeksi virus Epstein-Barr (VEB),

karena pada semua pasien karsinoma nasofaring didapatkan titer anti virus EB

yang cukup tinggi. Para peneliti telah mengidentifikasi beberapa faktor yang

tampaknya meningkatkan resiko terkena karsinoma nasofaring, termasuk jenis

kelamin, usia, ras, genetik, lingkungan, danmakanan yang diawetkan.

Gejala kanker nasofaring dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu gejala

nasofaring sendiri, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta metastasis atau

gejala dileher. Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsi nasofaring.

Stadium KNF dibuat berdasarkan klasifikasi TNM dari AJCC (American Joint

Committee On cancer tahun 2010). Penatalaksanaan KNF tergantung dari stadium

penyakit.

Tidak seperti keganasan kepala leher yang lainnya, KNF mempunyai resiko

terjadinya rekurensi dan follow-up jangka panjang diperlakukan. Pencegahan

terhadap KNF ini bisa dilakukan dengan pemberian vaksin, penyuluhan tentang

faktor resiko yang berpengaruh terhadap karsinoma nasofaring, penerangan akan


kebiasaan hidup yang salah serta mengubah cara memasak makanan untuk

mencegah kesan buruk yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya.

Prognosis pada penderita karsinoma nasofaring menurut AJCC tahun 2010,

survival rate relatif 5-tahun pada pasien dengan KNF Stadium I hingga IV secara

berturutan sebesar 72%, 64%, 62%, dan 38%.


DAFTAR PUSTAKA

1. IARC: Estimated Cancer Incidence, Mortality and Prevalence Worldwide

in 2012. Globocan; 2012. p. 3–6.

2. Ferlay J. Cancer incidence and mortality worldwide: sources, methods and

major patterns in GLOBOCAN 2012. Int. J. Cancer; 2015. p. 136

3. Chang ET, Adami HO. The enigmatic epidemiology of nasopharyngeal

carcinoma. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev; 2006. p.1765–77.

4. Adham M, Kurniawan AN, Muhtadi AI, et al. Nasopharyngeal carcinoma

in indonesia: Epidemiology, incidence, signs, and symptoms at

presentation. Chin J Cancer; 2012. p.185–96.

5. Head and neck cancer guide. Available

at:http://www.headandneckcancerguide.org/adults/introduction-to-head-

and-neck-cancer/throat-cancer/nasopharyngeal-cancer/anatomy/

6. Chan J, PIlch B, Kuo T, Wenig B, Lee A. Tumours of the nasopharynx.

WHO classification of tumours: head & neck tumours. Lyon: IARC Press.;

2005. p. 81 - 106.

7. Chen Y, Zhao W, Lin L, et al. Nasopharyngeal Epstein-Barr Virus Load:

An efficient supplementary method for population-based nasopharyngeal

carcinoma screening. Plos One; 2015. 10(7).

8. Guo X, Johnson R, Deng H, Liao J, Guan L, Nelson G. Evaluation of non-

viral risk factors for nasopharyngeal carcinoma in a high-risk population

of Southern China. Int J Cancer; 2009. p. 2942–7.


9. Yoshizaki T, Kondo S, Wakisaka N, Murono S, Endo K, Sugimoto H, et

al. Pathogenic role of Epstein-Barr virus latent membrane protein-1 in the

development of nasopharyngeal carcinoma. Cancer Lett. 2013 May 12;

337:1-7. doi: 10/1016/j.canlet.2013.05.018.

10. Tsao SW, Yip YL, Tsang CM, Pang PS, Lau VMY, Zhang G, et al.

Etiological factors of nasopharyngeal carcinoma. Oral oncol. 2014 Mar 12;

50:330-338. doi: 10.1016/j.oraloncology.2014.02.006.

11. Soepardi E A, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti R D. Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala dan Leher. Rinitis

Alergi. 7 ed. Jakarta: FK UI; 2012. p. 158-63

12. American Joint Commite on Cancer. AJCC cancer staging atlas: a

companion to the 7th editions of AJCC cancer staging manual and

handbook. 2nd ed. New York: Springer; 2012.

13. Irungu C, Obura H, Ochola B. Prevalence and predictor of malnutrition in

nasopharyngeal carcinoma. Clin Med Insights Ear Nose Throat. 2015;

8:19-12.

14. Ledesma N. Prostate cancer. In Marian M, Robert S, editors. Clinical

nutrition for oncology.: Jones and Bartlett Publishers; 2010. p. 245-259.

15. American Cancer Society. [Online]. Available from:

http://www.cancer.org/cancer/nasopharyngealcancer/detailed

guide/nasopharyngeal-cancer-survival-rates.

Anda mungkin juga menyukai