Anda di halaman 1dari 12

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Al-Quran merupakan sumber hukum Islam yang mengandung ayat-ayat
yang bersifat mujmal, mutlak, dan ‘am. Sehingga kehadiran hadis berfungsi
untuk “tabyin wa taudhih” terhadap ayat-ayat tersebut. Hal ini menunjukkan
bahwa hadis menduduki posisi yang sangat penting dalam literatur sumber
hukum Islam. Namun kesenjangan waktu antara sepeninggal Rasulullah SAW
dengan waktu pembukuan hadis merupakan kesempatan yang baik bagi orang-
orang atau kelompok tertentu untuk memulai aksinya membuat dan mengatakan
sesuatu yang kemudian dinisbatkan kepada Rasulullah SAW dengan berbagai
alasan. Penisbatan sesuatu kepada Rasulullah SAW seperti inilah yang
selanjutnya dikenal dengan palsu atau Hadis Maudhu’.
Salah satu di antara sederetan musibah atau fitnah besar yang pernah
menimpa umat Islam sejak abad pertama hijriah adalah tersebarnya hadis-hadis
dha'if dan maudlu' di kalangan umat Islam. Hal tersebut juga menimpa para
ulama, kecuali sederetan pakar hadits dan kritikus yang dikehendaki Allah
seperti Imam Ahmad, Bukhari, Ibnu Muin, Abi Hatim ar-Razi, dan lain-lain.
Tersebarnya hadis-hadis semacam itu di seluruh wilayah Islam telah
meninggalkan dampak negatif yang luar biasa. Para pakar hadits telah
melakukan penelitian dan menjelaskan keadaan hadis-hadis Rasulullah dengan
menghukuminya sebagai hadis sahih, dha'if, dan maudlu'. Mereka membuat
aturan dan kaidah-kaidah, khususnya yang berkenaan dengan ilmu tersebut.
Siapa saja yang berpengetahuan luas dalam ilmu ini akan mudah mengenali
derajat suatu hadits, sekalipun tanpa adanya nash. Inilah yang dikenal dengan
nama ilmu Mushthalah hadis.
Pada dasarnya hadis maudhu’ tidak layak untuk disebut sebagai sebuah
hadis. Hal ini dikarenakan hadis maudlu’ bukan sebuah hadis yang bisa
disandarkan pada Nabi Muhammad SAW. Hal ini dikarenakan Hadis maudlu’
sudah terdapat kejelasan akan kepalsuannya. Sebuah hadits dikatakan shahih
(shahih lidzatihi) apabila sanadnya muttashil, periwayatnya adil dan dhābit, dan
sanadnya terhindar dari syudzudz dan ‘illat. Pada masa Rasulullah SAW kritik

1
atas hadits tidaklah begitu besar. Keberadaan Rasul di tengah-tengah mereka
sudah dianggap cukup untuk menjadi narasumber atas persoalan-persoalan
agama. Pada masa pemerintahan khulafa’urrasyidin, kritik hadis mulai terlihat
mencuat. Terbukti dengan semakin berhati-hatinya para sahabat dalam
menerima hadis. Hal ini sebagaimana yang terjadi dengan Abu Bakar saat
ditanya tentang bagian warisan seorang nenek. Begitu juga ‘Umar saat bertanya
kepada Abu Musa al-‘Asy’ari tentang keabsahan anjuran mengetuk pintu
sebanyak tiga kali saat bertamu. Bahkan Ali bin Abi Thalib tidak akan
menerima hadits dari seseorang, sebelum ia bersumpah. Hal ini
mengindikasikan bahwa para sahabat begitu antusias untuk memelihara sunnah
Rasul.
Metode kritik hadits terus berkembang pesat, ditandai dengan lahirnya
beberapa karya ulama tentang kritik sanad hadis. Kritikan tersebut ditulis dalam
kitab tersendiri dan memuat seluruh riwayat yang dimiliki oleh masing-masing
perawi. Selanjutnya, penulisan kritik hadits menjadi lebih sistematis dengan
dilakukannya penelitian atas sanad secara terpisah dari matan. Hal ini digagas
oleh pakar kritik hadis seperti Ibnu Abi Hatim dalam bukunya.
Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dibahas mengenai hadis maudlu’
serta kritik keshahihan sanad dan matan hadis dengan menggunakan kaedah
kesahihan hadits dan pokok-pokok kritik matan
.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah pengertian hadis maudlu’?
2. Apa penyebab munculnya hadis maudlu’?
3. Bagaimana cara mengatasi munculnya hadis maudlu’?
4. Bagimana hukum meriwayatkan hadis maudhlu’?
5. Bagaimana kritik kesahihan sanad dan matan hadis?

1.3 Tujuan dan Manfaat


Adapun tujuan dan manfaat penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian hadis maudlu’.

2
2. Untuk mengetahui penyebab munculnya hadis maudlu’.
3. Untuk mengetahui cara mengatasi munculnya hadis maudlu’.
4. Untuk mengetahui hukum meriwayatkan hadis maudlu’.
5. Untuk mengetahui kritik kesahihan sanad dan matan hadis.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hadis Maudhu’

Hadis Maudhu’ yang lebih dikenal dengan hadis palsu. Secara etimologis,
kata maudhu’ merupakan bentuk isim maf’ul dari kata ‫وضع – يضع‬. Kata ‫وضع‬
memiliki beberapa makna, sebagaimana dikemukakan Dr. Muhammad Ajaj Al-
Khatib (2006) antara lain: ‫اإل ْسقَاط‬
ِ (menggugurkan), ‫( الت َْرك‬meninggalkan), ‫َو‬
‫اال ْفتِ َراء ا ِال ْختِ ََلق‬
ِ (mengada-ada dan membuat-buat). Adapun secara terminologis,
pengertian maudhu’ menurut ulama hadis ialah:

ّ ‫الرسول صلّى هللا عليه وسلّم اختَلقا و كذبا ه ّما لم يقله أو يفعله أو‬
‫يقره‬ ّ ‫هوما نسب إلى‬

Artinya : “Sesuatu yang dinisbatkan kepada Rasul Saw. dengan cara


mengada-ngada dan dusta,yaitu yang tidak pernah beliau sabdakan, beliau
perbuat, dan beliau taqrir-kan.

Para ahli hadis mendefinisikan bahwa Hadis Maudhu adalah: Hadis yang
diciptakan dan dibuat-buat oleh orang-orang pendusta dan kemudian dikatakan
bahwa itu hadis Rasulullah saw. (Subhi Shalih : 263)
Berdasarkan pengertian di atas dapat kita simpulkan bahwa Hadist maudhu’
adalah segala sesuatu (riwayat) yang disandarkan pada Nabi Muhammad saw,
baik perbuatan, perkataan, maupun taqrir secara di buat-buat atau disengaja dan
sifatnya mengada-ada atau berbohong. Tegasnya hadis maudhu adalanh hadis
yang diada-ada atau dibuat-buat (Ajaj al Khatib, 2006).
Hadis maudhu’ adalah hadis dhaif yang paling jelek dan paling
membahayakan bagi agama Islam dan pemeluknya. Para ulama sepakat bahwa
tidak halal meriwayatkan hadis maudhu’ bagi seseorang yang mengetahui
keadaannya, apapun misi yang diembannya kecuali disertai penjelasan tentang
ke-maudhu-annya dan disertai peringatan untuk tidak mempergunakannya
(Nuruddin, 2012). Hadis semacam ini tentu saja tidak benar dan tidak dapat
diterima tanpa terkecuali, sebab ini sesungguhnya bukan hadis, tindakan seperti
demikian merupakan pendustaan terhadap Nabi Muhammad SAW yang

4
pelakunya diancam dengan neraka. dan hadis ini haram untuk disampaikan pada
masyarakat umum kecuali hanya sebatas memberikan penjelasan dan contoh
bahwa hadist tersebut adalah maudhu’ (palsu).

2.2 Sebab Timbulnya Hadis Maudhu’


Terjadi silang pendapat dikalangan ahli terkait masa awal kemunculan Hadis
Mauḍū’; Satu pendapat mengatakan bahwa pemalsuan Hadis telah terjadi sejak
zaman Rasulullah Saw. Adapula yang berpendapat bahwa pemalsuan Hadis
mulai terjadi pada tahun 40 Hijriah. Sedangkan pendapat lainnya menyatakan
bahwa pemalsuan Hadis baru terjadi pada akhir abad kesatu Hijriah (Najib,
2001).
Diantara tokoh yang meyakini munculnya Hadis Mauḍū’ sejak zaman
Rasulullah Saw. adalah Aḥmad Amin. Ia berpandangan bahwa ungkapan Hadis
...‫ي متع ّمدا‬
ّ ‫( من كذب عل‬Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja…)
yang disabdakan oleh Rasulullah Saw. merupakan konsekuensi logis bahwa
Hadis telah dipalsukan sejak zaman beliau. Dalam ungkapan lain telah terjadi
kebohongan atas nama Rasulullah Saw. pada saat itu, sehingga beliau
memberikan peringatan dan ancaman bagi orang-orang yang berdusta atas
namanya. Akan tetapi, pendapat ini dianggap tidak memiliki alasan historis,
apalagi pemalsuan Hadis pada zaman Rasulullah Saw. tidak termuat dalam kitab-
kitab standar terkait dengan asbāb al-wurud (Mudasir, 2005). Dalam hal ini, Ajaj
Al-Khatib menafikan terjadinya pemalsuan Hadis sejak zaman Rasulullah Saw.
Menurutnya hal itu tidak mungkin terjadi, apalagi jika dilakukan oleh para
sahabat, sangat tidak logis. Ia menggambarkan bagaimana perjuangan para
sahabat mendampingi Rasulullah Saw., berkorban dengan harta dan jiwa demi
tegaknya agama Allah Swt., serta menghadapi berbagai siksaan. Disamping itu
para sahabat hidup dibawah bimbingan Rasulullah Saw. dan mereka menjalani
hidup dengan penuh ketaqwaan dan wara. Sehingga tidak mungkin jika ada salah
seorang diantara mereka yang melakukan kedustaan atas nama Rasulullah Saw
(Ajaj Al Khatib, 2006). Dalam ungkapan lain, anggapan bahwa ada diantara
sahabat yang melakukan pemalsuan Hadis sangat kontradiktif dengan konsep
"‫"الصحابة جميعهم عدول‬. Selain menafikan partisipasi sahabat dalam pemalsuan

5
Hadis, ia juga menafikan keikutsertaan para pembesar dan ulama dari kalangan
tabi’in. Karena pada masa tabi’in pemalsuan Hadis relatif lebih sedikit dan
itupun dilakukan oleh kalangan jahil yang terdorong oleh perbedaan politik
maupun aliran.
Sementara pendapat lainnya menyebutkan bahwa Hadis Mauḍū’ telah
muncul sejak masa kekhalifahan ‘Uṡmān bin ‘Affān. Diantara yang berpendapat
demikian adalah Akram al-Umari, Abū Syuhbah, dan Abū Zahu (Najib, 2001).
Berdasarkan uraian yang dikemukakan oleh para ahli, setidaknya dapat
dideskripsikan latar belakang dan motif kemunculan Hadis Mauḍū’. Motif-motif
yang mendorong para pendusta membuat hadits maudhu’ adalah sebagai berikut
(Misbah, 2010) :
1. Perselisihan Politik Atau Madzhab
Pemalsuan hadis disinyalir mulai muncul sejak tahun 41 Hijriyyah,
pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Tholib r.a yakni ketika
kaum muslimin saling berselisih dan terpecah belah dalam beberapa
kelompok, mayoritas muslimin, golongan syi’ah, golongan
mu’awiyyah, serta golongan khowarij yang mendeklarasikan diri pasca
pecahnya perang “Shiffin”. Demi memperjuangkan idiologi dan tujuan
politiknya, tidak jarang mereka yang selalu menuruti hawa nafsu dari
masing-masing aliran, membuat hadis-hadis palsu dengan
mengatasnamakan Rasulullah SAW.
2. Sengaja Merusak Tatanan Islam
Diantara contoh hadis palsu yang mereka susupkan untuk merusak
kemurnian dan keluhuran Islam : “Aku adalah pungkasan para Nabi,
tidak ada Nabi setelahku, kecuali Allah berkehendak (lain)”
3. Ta’ashshub (fanatik)
Ta’ashshub disini bisa berupa fanatisme kebangsaan, suku, bahasa,
atau kultus individu para imam madzhab. Sikap fanatik terhadap suku
atau bahasa tertentu, pernah mengemuka pada era kepemimpinan
dinasti Umaiyyah, ketika terjadi kesenjangan antara warga Arab dan
non Arab, yang dipicu oleh perlakuan diskriminatif sebagian pemegang
kekuasaan.

6
4. Mencari Murka di Hadapan Penguasa
Memang sangat menyedihkan bila ada segelintir ulama’ yang rela
mempertaruhkan akhir demi kepentingan dunia. Kisah kisah Ghiats bin
Ibrahim an Nakho’iy Al Kuffi ketika menghadap khalifah Al Mahdi
adalah salah satu contohnya. Suatu hari Ghiats mau menghadap amirul
mukminin Al mahdi yang menyukai burung merpati, dan kebetulan
pada saat itu al mahdi sedang bemain-main dengan merpatinya. Lalu
ada seseorang yang mengatakan pada Ghiats :”terangkanlah sebuah
hadis pada amirul mukminin !” Ghiats kemudian berkata “Fullan
menceritakan kepadaku dari si fullan bahwa nabi SAW pernah bersabda
: “Tidak boleh ada perlombaan kecuali dalam panah, unta, kuda atau
burung”.
5. Menarik Minat Pendengar Dengan Mengetengahkan Dongeng-
Dongeng Atau Kisah Menakjubkan
Tukang dongeng yang berlagak pintar dan ingin membuat terkesima
para pendengarnya kadang juga menjadi sebab pemalsuan hadits,
dengan menceritakan hadits yang aneh-aneh. Dalam hal ini, ada kisah
menarik yang disampaikan Abu Ja’far Ath Thoyalisi. Suatu ketika
Imam Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma’in melaksanakan sholat di
masjid Ar-Roshofah, lalu berdirilah seorang pendongeng dan berkata
“Menceritakan kepadaku Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma’in,
mereka berdua berkata : Abdurrozaq menceritakan kepadaku dari
Ma’nar dari Qotadah dari An-Nas r.a berkata : Rosululloh SAW
bersabda : “Barangsiapa mengucapakan Laa Ilaaha Illallah maka dari
setiap kalimat itu, Alloh menciptakan seekor burung berparuh emas dan
berbulu marjan... dan seterusnya ”
6. Bertujuan Targhib Atau Tarhib
Para ahli hadits menilai, dari sekian sebab munculnya hadits-hadits
maudhu’, yang paling berbahaya dan lebih besar dampak buruknya
adalah hadits palsu yang dilatar belakangi unsur targhib atau tarhib
(merangsang masyarakat untuk melakukan amalan baik atau
meninggalkan amalan buruk).

7
2.3 Upaya Penanggulangan Hadis Maudhu

Para ulama mengambil langkah yang sangat baik untuk memberantas dan
memerangi pemalsu hadi serta berusaha menanggulangi dan menghindarkan
bahaya para pemalsu hadis. Untuk itu, mereka menggunakan berbagai cara yang
sangat baik diantaranya sebagai berikut (Nuruddin, 2012):

1) Meneliti karakteristik para rawi dengan mengamati tingkah laku dan


riwayat mereka.
2) Memberi peringatan keras kepada para pendusta dan mengungkap
kejelekan mereka, dengan mengumumkan kedustaan mereka kepada
para pemuka masyarakat.
3) Pencarian sanad hadis, sehingga mereka tidak menerima hadis yang
tidak bersanad, bahkan hadis yang demikian mereka anggap sebagai
hadis yang batil.
4) Menguji kebenaran hadis dengan membandingkannya dengan riwayat
yang melalui jalur lain dan hadi-hadis yang telah diakui keberadaannya.
5) Menetapkan pedoman-pedoman untuk mengungkapkan hadis maudhu’.

2.4 Hukum Meriwayatkan Hadis Maudhu


Diharamkan meriwayatkan hadits maudhu dengan menyandarkannya
kepada Nabi saw, kecuali hanya memberikan contoh tentang hadis maidlu dengan
menjelaskan kepalsuannya. Kerena meriwayatkan hadis maudlu adalah satu
bentuk dusta kepa nabi saw. Nabi saw bersabda:

َ َ‫ع متَ َعلَي َكذ‬


. ‫ب َو َم ْن‬ َ ‫ف مدًا‬ َ ‫ار ال ِمنَ َم ْقعَدَه أْ و ْل َيت‬
َ ‫َب‬ ِ ‫ن‬
Artinya: “Siapa yang berdusta terhadapku dengan sengaja maka hendaklah
dia menempatitempatnya di neraka ”(HR. Bukhari)
Keharaman meriwayatkan hadis Maudhu ini, berlaku pada semua keadaan,
baik yang berkaitan dengan hal hukum, certera, targhib-tarhib (dorongan kebaikan
–ancaman keburukan) juga yang berkaitan dengan lainnya. Nabi saw bersabda:
‫ث َم ْن‬ َ ‫ َك ِذ أَنه َرََ ى ي‬،‫ف ب‬
َ ‫هو َو ِب َحدِيث َحد‬ َ ‫ا ِبين ْلكَذ ا د أ َ َح‬
َ ‫هو‬

8
Artinya: “Siapa yang menceriterakan suatu hadis (tentang aku) dan dia tahu
bahwa itu dusta, maka dia termasuk golongan pendusta”(HR Ahmad : 18211).

2.5 Kritik Kesahihan Sanad dan Matan Hadis


Meski para ulama sudah mewanti-wanti umat islam agar menghindari hadits
maudhu’,namun kenyataannya hadits tersebut sebagian sudah terlanjur mashur di
masyarakat. Berikut beberapa contoh hadits palsu yang telah masyhur sekali di
kalangan kita beserta penjelasan-penjelsannya yang disimpulkan dari beberapa
kitab yang bersangkutan.
‫ف َربه‬ َ ‫ف نَ ْف‬
َ ‫سه فَقَدْ َع َر‬ َ ‫َم ْن َع َر‬
“Barang siapa mengenali dirinya maka ia telah mengenal tuhannya”.
Ungkapan ini bukan hadits, tetapi ucapan Yahya bin Mu'adz al-Razi. Walaupun
bukan hadits tapi ungkapan ini tidak bertentangan dengan hadits nabi yang
diriwayatkan oleh 'Aisah ra, yaitu ketika Nabi ditanya “Siapakah orang yang paling
mengenali tuhannya?" nabi menjawab "orang-orang yang paling mengenali
dirinya".
‫ان‬
ِ ‫اإل ْي َم‬ َ ‫الو‬
ِ َ‫ط ِن ِمن‬ َ ُّ‫حب‬
“Cinta tanah air sebagian dari iman".
Ungkapan ini pun bukan hadits, dan tidak mempunyai asal (lā as ̣la lahu). Namun
ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Dhahhak ia berkata ketika Nabi keluar
meninggalkan Mekah, beliau merindukan tanah kelahirannya itu ketika perjalanan
beliau baru sampai daerah Zuhfah. Kemudian Allah berfirman: “sesungguhnya
yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al-Quran, benar–benar
akan mengembalikan kamu ke tempat kembali…"Nabi berkata "ke Makkah". al-
Ashmu'i berkata: "aku mendengar seorang a'rabi (badui) berkata: jika kamu ingin
mengetahui kesatriaan seorang laki-laki maka lihatlah bagaimana ia menyayangi
dan merindukan tanah air dan saudara-saudaranya, dan bagaimana tangisannya
ketika ia teringat sesuatu yang telah ia lalui.
‫ان‬
ِ ‫اإل ْي َم‬ َ ‫الن‬
ِ َ‫ظافَة ِمن‬
“kebersihan itu sebagian dari iman”.
Ungkapan ini sangat masyhur sekali di kalangan kita, bahkan di kalangan
masyarakat luas pun demikian. Kita menganggap ungkapan ini dari nabi atau

9
dengan kata lain Hadits Nabi, bahkan suatu ketika saat seksi kebersihan di pesantren
kami menyampaikan sambutannya dengan semangat kebersihan yang menggebu-
gebu di kala belajar khitobah berlangsung, ia menggunakan dalil dan
muqaddimahnya dengan ungkapan ini dengan tambahan kata-kata "qolan nabi
shollallahu 'alihi wasallam" pada permulaannya. Padahal - sebagaimana yang
dijelaskan oleh pengarang kitab syaraḫ nadzam Baiqûniyah - ungkapan ini
bukanlah hadits. Adapun hadits yang menjelaskan kebersihan itu sebenarnya
banyak, di antaranya
ْ ‫طه ْور ش‬
‫َطراْ ِإليْما َ ِن‬ ُّ ‫ال‬, artinya:"kesucian itu separuh iman". (HR.Muslim).

10
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hadis maudlu (palsu) adalah Segala riwayat yang dinisbahkan kepada
Rasulullah saw dengan jalan mengada-ada atau berbohong tentang apa yang tidak
pernah diucapkan dan dikerjakan oleh Rasulullah saw, serta tidak pula disetujui
beliau. Sebab timbulnya hadis maudhu ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :
perselisihan politik atau madzab, sengaja merusak tatanan islam, Ta’ashshub
(fanatik), mencari murka di hadapan penguasa, menarik minat pendengar dengan
mengetengahkan dongeng-dongeng atau kisah menakjubkan dan bertujuan targhib
atau tarhib. Penanggulangan terhadap hadis maudhu dilakukan para ulama
dilakukan dengan: meneliti perawi hadist, pencarian dan penelitian sanad, tindakan
tegas terhadap pemalsu hadis dan mengungkap keburukannya, menetapkan
ketentuan untuk mengungkap hadis Maudlu, dan menyusun kitab-kitab kumpulan
hadis maudlu agar diketahui masyarakat. Hukum meriwayatkan hadis maudhu ialah
haram kecuali hanya untuk memberikan contoh bahwasannya hadis tersebut ialah
palsu.

3.2 Saran

Dalam mempelajari ilmu agama seperti hadis disarankan untuk lebih


berhati-hati dalam memilah dan memahami hadits, bisa jadi hadits tersebut
tergolong hadit maudlu’ (palsu). Jangan mudah percaya dan telusuri lebih lanjut
akan hadis yang didapat.

11
DAFTAR PUSTAKA

Dr. Ajaj Al-Khatib. 2006. Usūlul Ḥadīṡ wa Ulūmuhu wa Mustalaḥhu. Beirut: Dārul
Fikr.

Misbah A.B. 2010. Mutiara Ilmu Hadis. Kediri: Mitra Pesantren.


Mudasir. 2005. Ilmu Hadis. Bandung: Pustaka Setia

Mohamad Najib. 2001. Pergolakan Politik Umat Islam Dalam Kemunculan Hadis
Maudhu. Bandung: Pustaka Setia

Nurrudin. 2012. Ulumul Hadis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.


Subhi al Shaleh. 1997. Ulum al Hadits wa Musthalahuhu. Beirut : Darul ilm.

12

Anda mungkin juga menyukai