Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Transurethral Resection Prostate (TURP) yaitu suatu tindakan endoskopis

pengurangan masa prostat (prostatektomi) dengan tujuan urinasi pada pasien yang

mengalami Benign Prostate Hyperplasia (BPH) stadium moderat atau berat selain

open prostatectomy (Lucia, 2013). Pada operasi ini dilakukan dengan alat

endoskopi yang dimasukkan ke dalam uretra. Pengerokan jaringan prostat dengan

bantuan elektrokauter. Indikasi TURP adakah ketika pasien dengan gejala

sumbatan yang menetap, progresif akibat pembesaran prostat, atau tidak dapat

diobati dengan terapi obat lagi, gejalagejala dari sedang sampai berat, volume

prostat kurang dari 60 gram dan pasien cukup sehat untuk menjalani operasi

(QHC, 2009). TURP merupakan tindakan non-invasif, namun dapat menimbulkan

beberapa komplikasi. Hahn, et al (2000) menjelaskan diantara adalah ejakulasi

retrograde (60-90%), infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh kolonisasi

bakteri pada prostat (2%), persistent urinary retention ketika pulang dari rumah

sakit dengan terpasang kateter (2.5%), stricture bladder (2- 10%), striktur uretra

(10%) dan komplikasi kardiovaskuler misalnya Acute Myocardial Infarction

(AMI). Selain itu terdapat komplikasi yang dapat 2 membahayakan kondisi

pasien, bahkan dapat mengakibatkan kematian, yaitu sindrom TURP.

Sindrom TURP adalah sindrom yang disebabkan karena kelebihan volume

cairan irigasi sehingga menyebabkan hiponatremia (Peters and Olson, 2011).

Sindrom ini disebabkan oleh post TUR tumor kandung kemih, diagnostik penyakit

dengan cystoscopy, percutaneus nephrolithotomy, arthroscopy, berbagai macam

tindakan ginekologi yang menggunakan endoskopi dan irigasi, kelebihan

1
penyerapan cairan irigasi TURP, terbukanya sinus pada prostat, tingginya tekanan

cairan irigasi, waktu operasi > 60 menit (Gravenstein D, 1997, Moorthy, 2002,

Hawary, 2009). Prevalensi kasus ini di Inggris selama dua puluh tahun terakhir

menunjukkan insiden sindrom TURP ringan ke sedang adalah 0,5% hingga 8%

dengan angka kematian 0,2% hingga 0,8%. Sedangkan untuk kategori berat

mencapai 25 % (Reich, 2008). Di Indonesia khususnya di RS PKU

Muhammadiyah Yogyakarta adalah 4,7 % dari 168 tindakan TURP (Data Rekam

Medis PKU I Yogyakarta, 2013) Patofisiologi dari sindrom ini dimulai ketika

absorpsi cairan irigasi melalui sinus prostatik selama TURP. 1 liter cairan irigasi

yang terserap ke pembuluh darah selama 1 jam operasi mampu menurunkan

konsentrasi natrium 5 hingga 8 mmol/L. Maka dari itu salah satu etiologi dari

sindrom ini adalah lamanya waktu operasi karena berdampak menurunkan

konsentrasi natrium ( 3 detik. Sedangkan yang berat ditandai dengan hipertensi,

takikardi, suara paru ronchi, kadar ureum dan kreatinin meningkat, kadar natrium

menurun (< 120 mmol/L), gangguan kadar kalium, koma, takipnue, fungsi

pengelihatan menurun, edema kaki (Claybon,2009; Hawary, 2009). Kejadian

sindrom TURP sangat cepat, dapat terjadi 15 menit setelah operasi selesai hingga

24 jam (Swaminathan and Tormey, 1981). Oleh karena itu penting untuk

dilakukan pemeriksaan post TURP secara dini.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Prostat

2.1.1 Anatomi Prostat

Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di bawah dari buli-buli,

di depan rektum dan membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti buah

kemiri dengan ukuran 4x3x2,5 cm dan beratnya kurang lebih 20gram

(Purnomo, 2012).

Prostat memiliki kapsula fibrosa yang padat dan dilapisi oleh

jaringan ikat prostat sebagai bagian fascia pelvis visceralis. Pada bagian

superior dari prostat berhubungan dengan vesika urinaria, sedangkan bagian

inferior bersandar pada diafragma urogenital. Permukaan ventral prostat

terpisah dari simpisis pubis oleh lemak retroperitoneal dalam spatium

retropubicum dan permukaan dorsal berbatas pada ampulla recti (Moore&

Agur, 2002).

3
Kelenjar prostat terdiri atas jaringan kelenjar dinding uretra yang mulai

menonjol pada masa pubertas. Biasanya kelenjar prostat dapat tumbuh

seumur hidup. Secara anatomi, prostat berhubungan erat dengan kandung

kemih, uretra, vas deferens, dan vesikula seminalis. Prostat terletak di atas

diafragma panggul sehingga uretra terfiksasi pada diafragma tersebut, dapat

terobek bersama diafragma bila terjadi cedera. Prostat dapat diraba pada

pemeriksaan colok dubur (Sjamsuhidajat dkk., 2012).

Selain mengandung jaringan kelenjar, kelenjar prostat mengandung

cukup banyak jaringan fibrosa dan jaringan otot polos. Kelenjar ini ditembus

oleh uretra dan kedua duktus ejakulatorius, dan dikelilingi oleh suatu pleksus

vena. Kelenjar limfe regionalnya ialah kelenjar limfehipogastrik, sacral,

obturator, dan iliaka eksterna (Sjamsuhidajat dkk.,2012).

Arteri-arteri untuk prostat terutama berasal dari arteria vesicalis inferior

dan arteria rectalis media, cabang arteria iliaca interna. Vena-vena bergabung

membentuk plexus venosus prostaticus sekeliling sisi-sisi dan alas prostat.

Plexus venosus prostaticus yang terletak antara kapsula fibrosa dan sarung

prostat, ditampung oleh vena iliaka interna. Plexus venosus prostaticus juga

berhubungan dengan plexus venosus vesicalisdan plexus venosi vertebrales.

Pembuluh limfe terutama berakhir pada nodi lymphoidei iliaci interni dan

nodi lymphoidei externi (Moore & Agur, 2002).

4
2.1.2 Fisiologi Prostat

Kelenjar prostat menyekresi cairan encer, seperti susu, yang

mengandung kalsium, ion sitrat, ion fosfat, enzim pembekuan, dan

profibrinolisin. Selama pengisian, simpai kelenjar prostat berkontraksi sejalan

dengan kontraksi vas deferens sehingga cairan encer seperti susu yang

dikeluarkan oleh kelenjar prostat menambah jumlah semen lebih banyak lagi.

Sifat cairan prostat yang sedikit basa mungkin penting untuk keberhasilan

fertilisasi ovum, karena cairan vas deferens relatif asam akibat adanya asam

sitrat dan hasil akhir metabolisme sperma, dan sebagai akibatnya, akan

menghambat fertilisasi sperma. Selain itu, sekret vagina bersifat asam (pH

3,5−4). Sperma tidak dapat bergerak optimal sampai pH sekitarnya

meningkat menjadi 6−6,5. Akibatnya, cairan prostat yang sedikit basa mungkin

dapat menetralkan sifat asam cairan seminalis lainnya selama ejakulasi, dan juga

5
meningkatkan motilitas dan fertilitas sperma (Guyton & Hall, 2008; Sherwood,

2011).

2.2 TURP

2.2.1 Definisi TURP

Reseksi prostat transurethral sering membuka jaringan ekstensif sinus vena

pada prostat dan memungkinkan absorbsi sistemik dari cairan irigasi. Absorbsi

dari cairan dalam jumlah yang besar (2 liter atau lebih) menghasilkan konstelasi

gejala dan tanda yang disebut dengan sindrom TURP.

Tabel 1. Sindrom TURP

Manifestasi dari Sindrom TURP

1. Hiponatremia
2. Hipoosmolaritas
3. Overload cairan
4. Gagal jantung kongestif
5. Edema paru
6. Hipotensi
7. Hemolisis
8. Keracunan cairan
9. Hiperglisinemia
10. Hiperamonemia
11. Hiperglikemia
12. Ekspansi volume intravaskular

Tabel 2 Berbagai Penyulit TURP

6
Selama Operasi Pasca Bedah Pasca Bedah Lanjut

Perdarahan Perdarahan Inkontenensia

Sindrom TURP Infeksi local atau Disfungsi ereksi


sitemik

Perforasi Ejakulasi retrogad

Striktur uretra

2.2.2 Epidemiologi

Sindrom TURP adalah satu dari komplikasi tersering pembedahan

endoskopi urologi. Insiden sindrom TURP mencapai 20% dan membawa angka

mortalitas yang signifikan. Walaupun terdapat peningkatan di bidang anestesi

2,5%-20 % pasien yang mengalami TURP menunjukkan satu atau lebih gejala

sindrom TURP dan 0,5% - 5% diantaranya meninggal pada waktu perioperatif.

Angka mortalitas dari sindrom TURP ini sebesar 0,99%.

2.2.3. Etiologi – Cairan Irigasi

Reseksi kelenjar prostate transuretra dilakukan dengan mempergunakan

cairan irigasi agar daerah yang di irigasi tetap terang dan tidak tertutup oleh

darah5. Cairan elektrolit / ionik tidak bisa digunakan untuk irigasi saat TURP

karena cairan tersebut mendispersi aliran elektrokauter dan menyebabkan

hantaran saat operasi. Syarat cairan yang dapat digunakan untuk TURP adalah :

isotonik, non-hemolitik, electrically inert, non-toksik, transparan, mudah untuk

disterilisasi dan tidak mahal. Akan tetapi sayangnya cairan yang memenuhi syarat

seperti di atas belum ditemukan5.

7
Untuk TURP biasanya menggunakan cairan nonelektrolit hipotonik

sebagai cairan irigasi seperti air steril, Glisin 1,5% (230 mOsm/L), atau campuran

Sorbitol 2,7% dengan Mannitol 0,54% (230 Osm/L). Cairan yang boleh juga

dipakai tapi jarang digunakan adalah Sorbitol 3,3%, Mannitol 3%, Dekstrosa 2,5-

4% dan Urea 1%..

a. Air steril / akuades (H2O)

Walaupun air steril memiliki banyak kualitas yang diperlukan sebagai

cairan irigasi yang ideal, kerugian dalam penggunaannya adalah air dapat

menyebabkan hipotonisitas yang ekstrim, hemolisis, hiponatremia delusional dan

gagal ginjal serta syok. Air / Akuades (H20) menunjukkan visibilitas yang bagus

karena air dengan sifat hipotonisnya melisis sel darah merah, tetapi absorbsi yang

signifikan bisa menghasilkan acute water intoxication. Penggunaan air sebagai

cairan irigasi dilarang hanya pada reseksi transurethral tumor bladder.

b. Glycine 1.2%, 1.5%. 2.2%:

Glycine, asam amino endogen dianjurkan sebagai cairan irigasi yang

sesuai, mengingat beberapa keuntungannya yaitu : harganya murah walaupun

tidak semurah air steril, isotonik dengan plasma hanya pada konsentrasi 2,2%

namun efek samping glisin pada konsentrasi ini lebih banyak. Osmolaritas glisin

dengan konsentrasi 1,5% adalah 230 mOsm/liter bila dibandingkan dengan

osmolalitas serum 290 mOsm/liter sehingga toksisitas ginjal dan kardiovaskular

dapat terjadi. Penurunan konsentrasi glisin dapat menyebabkan komplikasi yang

lebih banyak akibat hipotonisitasnya sehingga tidak dapat lagi digunakan sebagai

8
cairan irigasi. Keuntungan glisin 1,5% bila dibandingkan dengan air steril adalah

tendensitasnya menyebabkan gagal ginjal dan hemolisis yang lebih rendah.

c. Mannitol 3%

Mannitol dianggap tidak memiliki toksisitas yang disebabkan glisin,

namun dapat mendorong air keluar dari sel sehingga dapat menyebabkan overload

dari sirkulasi. Disamping itu harganya lebih mahal dibandingkan glisin.

Ekskresinya melalui ginjal sehingga akan menurun pada pasien dengan gangguan

fungsiginjal.

d. Dekstrosa 2.5% - 4%

Tidak digunakan lagi secara luas karena dapat menyebabkan membakar

jaringan yang direseksi dan berkaitan dengan hiperglikemia apabila diabsorbsi ke

dalam sirkulasi. Juga tidak disukai karena membuat lengket instrumen dan sarung

tangan ahli bedah saat operasi.

e. Cytal

Cytal adalah campuran dari Sorbitol 2.7% dan Mannitol 0.54% banyak

digunakan di Amerika Serikat sebagai cairan irigasi, namun tidak popular di India

karena harganya yang mahal dan tidak tersedia secara luas. Didalam tubuh,

Sorbitol dimetabolisme menjadi fruktosa, yang dapat menimbulkan masalah baru

pada pasien yang hipersensitif terhadap fruktosa

f. Urea 1%

Urea dapat menyebabkan kristalisasi pada intrumen selama reseksi maka dari itu

tidak dipilih untuk cairan irigasi.

9
Berdasarkan keuntungan dan kerugian tersebut diatas maka glisin 1,5% dan air

steril yang paling sering digunakan sebagai cairan irigasi pada operasi urologi

endoskopi.

2.2.4. Patofisiologi dan Gejala Klinis

Sindrom TURP ini muncul intraoperatif maupun postoperatif dengan

gejala sakit kepala, kelelahan terus menerus, confusion, sianosis, dispnea, aritmia,

hipotensi dan seizure. Selain itu bisa berakibat lebih parah yaitu bisa

bermanifestasi overload sirkulasi cairan, toksisitas dari cairan yang digunakan

sebagai cairan irigasi. Sindrom TURP bisa terjadi setiap saat dan telah diobservasi

awal setelah pembedahan dimulai dan beberapa jam setelah pembedahan selesai

Jumlah cairan yang dapat memasuki daerah vaskularisasi dipengaruhi

beberapa faktor yaitu : tekanan hidrostatik dari cairan irigasi, jumlah venous sinus

yang terbuka, lama reseksi / paparan dan perdarahan vena yang terjadi. Tekanan

hidrostatis cairan irigasi yang rendah, semakin banyaknya vena yang terbuka saat

reseksi dan semakin lama waktu reseksi meningkatkan absorbsi air ke dalam

sistem sirkulasi.

1. Overload Sirkulasi

Uptake dari sejumlah kecil cairan irigasi dapat ditunjukkan pada setiap

operasi TURP melalui venous netwok of prostatic bed. Absorbsi cairan diteliti

dengan cara memeriksa udara ekspirasi dari etanol setelah penambahan etanol

sampai dengan konsentrasi lebih dari 1% ke dalam cairan irigasi. Uptake dari 1

liter cairan dalam satu jam yang berkaitan dengan penurunan akut dari konsentrasi

10
natrium serum 5-8 mmol/liter adalah jumlah volume yang secara statistic

meningkatkan resiko gejala terkait absorpsi (absorption related symptoms).

Reseksi biasanya berlangsung 45-60 menit dan rata-rata 20mL/menit dari

cairan irigasi diserap / diabsorbsi selama operasi TURP. Karena volume sirkulasi

yang meningkat, volume darah akan meningkat, tekanan sistolik dan diastolik

meningkat dan dapat menyebabkan gagal jantung. Absorbsi cairan mendilusi

protein serum dan menurunkan tekanan onkotik darah. Hal ini bersamaan dengan

peningkatan tekanan darah mendorong cairan dari vaskular menuju ke

kompartmen interstisial, menyebabkan edema paru dan serebri. Ditemukan pada

absorbsi langsung ke dalam sirkulasi, hampir lebih dari 70% cairan irigasi

terakumulasi dalam ruang interstisiil (periprostatik, retroperitoneal ). Untuk setiap

100 ml cairan yang memasuki ruangan interstisial 10-15 mEq Na ikut masuk ke

dalamnya.

Durasi operasi berpengaruh pada jumlah absorbsi dan overload sirkulasi.

Morbiditas dan mortalitas ditemukan lebih tinggi pada operasi dengan waktu lebih

dari 90 menit. Absorbsi intravaskular dipengaruhi ukuran prostat sedangkan

absorbsi interstisial dipengaruhi integritas kapsul prostat. Overload sirkulasi

terjadi apabila berat dari prostat lebih dari 45 gr. Faktor penting lainnya adalah

tekanan hidrostatik dari prostatic bed. Tekanan ini dipengaruhi ketinggian kolom

cairan irigasi dan tekanan dalam kandung kemih saat pembedahan. Tinggi yang

ideal dari cairan adalah 60 cm sehingga kira-kira 300 ml cairan dapat dihasilkan

per menit untuk mendapatkan penglihatan yang baik.

2. Water Intoxication

11
Beberapa pasien dengan sindrom TURP menunjukkan gejala intoksikasi

air dan kelainan neurologis disebabkan karena peningkatan jumlah air dalam

otaknya. Pasien awalnya menjadi somnolen, inkoheren dan gelisah. Kejang dapat

berkembang menjadi koma dalam posisi deserebrasi. Terdapat klonus dan respon

Babinski positif. Papiledema, yaitu pupil yang terdilatasi dan bereaksi lambat

dapat terjadi. EEG menunjukkan tegangan rendah bilateral. Gejala ini muncul

apabila level Natrium turun sampai di bawah 15-20 mEq / liter di bawah level

normal.

3. Hyponatremia – Hiperosmolaritas

Kehilangan natrium klorida dari cairan ekstraseluler atau penambahan air

yang berlebihan pada cairan ekstra seluler akan menyebabkan penurunan

konsentrasi natrium plasma. Kehilangan natrium klorida primer biasanya terjadi

pada dehidrasi hipoosmotik dan berhubungan dengan volume cairan ekstraseluler.

Natrium penting dalam fungsinya untuk eksitasi sel, terutama pada jantung

dan otak. Hiponatremia dapat terjadi pasien yang mengalami TURP melalui

berbagai mekanisme :

1. Dilusi serum Na akibat kelebihan absorbsi cairan irigasi

2. Hilangnya Na menuju aliran cairan irigasi pada tempat reseksi prostat

3. Hilangnya Na menuju ruangan interstisial pada periprostat dan

retroperitoneal

12
4. Jumlah besar glisin menstimulasi pelepasan atrial natriuretik peptida pada

kelebihan volume cairan menyebabkan natriuresis..

Gejala hiponatremia adalah gelisah, kebingungan, inkoheren, koma dan

kejang. Ketika Na serum turun sampai di bawah 120 mEq / liter, hipotensi dan

penurunan kontraktilitas miokardial terjadi. Dibawah 115 mEq / l, bradikardi dan

perluasan dari kompleks QRS pada EKG dapat terjadi, ektopik ventrikuler dan

inversi gelombang T dapat terjadi. Di bawah 100 mEq / liter maka kejang umum,

koma, henti nafas, Ventricular Tachycardia (VT), Ventricular Fibrillation (VF)

dan henti jantung terjadi. Kebutuhan Na dihitung berdasarkan formula :

Sodium Deficit = Normal serum Na - Estimated serum Na x Volume of body water

Namun gangguan fisiologis yang menyebabkan gangguan system saraf

pusat bukanlah hiponatremia tersebut melainkan hipoosmolalitas yang terjadi.

Seperti yang kita tahu bahwa sawar darah otak bersifat impermeabel terhadap

natrium namun permeabel terhadap air. Edema serebri terjadi akibat

hipoosmolalitas akut yang terjadi meningkatkan tekanan intrakranial,

menyebabkan bradikardi dan hipertensi (Cushing reflex).

4. Glycine Toxicity

Kelebihan glisin yang diabsobrsi ke sirkulasi bersifat toksik pada jantung

dan retina dan dapat menyebabkan hiperammonia. Pada pasien glisin 1,5%

berhubungan efek subakut dari miokardium, muncul sebagai depressi atai inverse

gelombang T. pada EKG 24 jam setelah pembedahan. Absorbsi lebih dari 500 ml

13
menunjukkan dua laki resiko jangka panjang acute myocardial infarction. ini yang

menyebabkan jumlah mortalitas yang lebih tinggi antara operasi transuretra vs

open prostatectomy masih diperdebatkan oleh urologis hingga saat ini. Dilutional

hypocalcemia juga dapat menjadi penyebab gangguan kardiovaskular ketika glisin

di absorbsi. Namun kalsium dijaga tetap normal secara cepat dengan mobilisasi

kalsium dari tulang. Glisin adalah asam amino yang berperan sebagai

neurotransmitter utama pada system saraf pusat. Tempat kerja glisin adalah

terutama pada batang otak dan medulla spinalis berbeda dengan neurotransmitter

lainnya yaitu GABA yang bekerja pada area subkortikal dan kortikal area. .

Mekanisme kerjanya diakibatkan dari hiperpolarisasi dari membran postsinaps

dengan meningkatkan hantaran klorida. Pada konsentrasi tinggi menyebabkan

efek pada sistem saraf pusat dan gangguan penglihatan. Glycolic acid, formal dan

formaldehyde adalah metabolit lain dari glisin yang juga menyebabkan gangguan

penglihatan. Tanda seseorang mengalami toksisitas glisin adalah mual, muntah,

respirasi lambat, kejang, spell apneoea dan sianosis, hipotensi, oligouria, anuria

dan kematian.

Nilai normal glisin pada pria adalah 13-17 mg / liter. Glycine toxicity

jarang pada pasien TURP mungkin karena hampir seluruh glisin yang diabsorbsi

ditahan pada ruang periprostatik dan retroperitoneal yang tidak memiliki efek

sistemik.

5. AmmoniaToxicity

Amonia adalah produk mayor dari metabolisme glisin. Konsentrasi

ammonia yang tinggi menekan pelepasan norepinefrin dan dopamine dalam otak.

14
Hal ini menyebabkan encephalopati TURP syndrome. Namun hal ini jarang

terjadi pada manusia. Karakteristik toksisitas yang terjadi adalah satu jam setelah

pembedahan. Pasien tiba-tiba mual dan muntah dan menjadi koma. Ammonia

darah meningkat menjadi 500 mikromol / liter (nilai normal : 11-35 mikromol /

liter). Hyperammonemia dapat bertahan sampai lebih dari 10 jam paska operasi

karena glisin secara kontinu diabsorbsi dari ruang periprostat.

Mekanisme mengapa hiperammonia tidak diderita oleh semua pasien yang

mengalami TURP masih belum jelas. Hiperamonia mengimplikasikan bahwa

tubuh tidak dapat memetabolisme glisin secara sempurna melalui glisin cleavage

system., citric acid cycle dan konversi glycolic dan glioxylic acid.

Makanisme lain yang dapat menjelaskan adalah defisiensi arginin. Amonia

normalnya diubah menjdi urea dalam hati melalui ornithine cycle. Arginin adalah

produk intermediet dari siklus ini. Defisiensinya menandakan bahwa ornithine

cycle tidak berlangsung sempurna dan terjadi akumulasi amonia

6. Hipovolemi, Hipotensi

Tanda hemodinamika klasik dari Sindrom TURP, ketika glisin digunakan

sebagai cairan irigasi,terdiri dari transient arterial hipertension, yang bisa tidak

muncul jika pendarahan berlebihan, diikuti dengan perpanjangan hipertensi.

Pelepasan substansi jaringan prostatik dan endotoksin menuju sirkulasi dan

asidosis mtabolik yang bisa berkontribusi terhadap hipotensi. Kehilangan darah

saat Sindrom TURP akan menimbulkan hipovolemia, menyebabkan kehilangan

kemampuan mengangkut oksigen secara signifikan sehingga bisa menuju iskemia

myokardial dan infark miokard. Kehilangan darah berkorelasi dengan ukuran

15
kalenjar prostat yang direseksi, lamanya pembedahan dan skill dari operator.

Rata-rata kehilangan darah saat TURP adalah 10ml/gram dari reseksi prostat.

7. Gangguan Penglihatan

Salah satu komplikasi dari Sindrom TURP adalah kebutaan sementara,

pandangan berkabut, dan melihat lingkaran disekitar objek. Pupil menjadi dilatasi

dan tidak merespons. Lensa mata normal. Gejala bisa muncul bersamaan dengan

gejala lain dari Sindom TURP atau bisa juga menjadi gejala yang tersembunyi.

Penglihatan kembali normal 8-48 jam setelah pembedahan. Kebutaan TURP

disebabkan oleh disfungsi retina yang kemungkinan karena keracunan glisin.

Karena itu persepsi dari cahaya dan refleks mengedipkan mata dipertahankan dan

respon pupil terhdap cahaya dan akomodasi hilang pada kebutaan TURP, tidak

seperti kebutaan yang disebabkan karena disfungsi kortikal serebri.

8. Perforasi

Perforasi dari kandung kemih bisa terjadi saat TURP berkaitan dengan

instrumen pembedahan, pada reseksi yang sukar, distensi berlebihan dari kantung

kemih dan letusan didalam kantung kemih. Perforasi instrumen dari kapsul

prostatik telah diestimasi terjadi pada 1% dari pasien yang melakukan TURP.

Tanda awal dari perforasi, yang sering tidak diperhatikan adalah penurunan

kembalinya cairan irigasi dari kantung kemih. Dan diikuti oleh nyeri abdomen,

distensi dan nausea. Bradikardi dan hipotensi arterial juga ditemukan. Juga ada

resiko tinggi kesalahan diurese spontan. Pada perforasi intraperitoneal, gejalanya

berkembang lebih cepat. Nyeri alih bahu yang berkaitan dengan iritasi pada

diafragma merupakan gejala khas Pallor, diaphoresis, rigiditas abdomen, nausea,

16
muntah dan hipotensi bisa terjadi. Perforasi ekstraperitonial, pergerakan refleks

dari ekstemitas bawah bisa terjadi. Letusan didalam kantung kemih jarang terjadi.

Kauter dari jaringan prostat dipercaya bisa membebaskan gas yang mudah

terbakar. Secara normal, tidak cukup oksigen yang terdapat didalam kantung

kemih agar bisa terjadi letusan. Tetapi jika udara masuk bersama dengan cairan

irigasi akan bisa berakibat timbulnya ledakan.

9. Koagulopati

DIC (Disseminated Intravasculer Coagulation) bisa terjadi berkaitan

dengan pelepasan partikel prostat yang kaya akan jaringan thrombopalstin menuju

sirkulasi yang menyebabkan fibrinolisis sekunder. Dilutional trombositopenia bisa

memperbusuk situasi. DIC bisa dideteksi pada darah dengan timbulnya penurunan

jumlah platelet, FDP (Fibrin Degradation Products) yang tinggi (FDP > 150

mg/dl) dan plasma fibrinogen yang rendah (400 mg/dl).

10. Bakteremia, Septisemia dan Toksemia

Sekitar 30% dari semua pasien TURP memiliki urin yang terinfeksi saat

preoperatif. Ketika prostat sinus vena terbuka dan digunakan irigasi dengan

tekanan tinggi, maka bakteri akan masuk menuju sirkualsi. Pada 6% pasien,

bakteremia menjadi septisemia. Absorbsi dari endotoksin bakteri dan produksi

toksin dari koagulasi jaringan akan berakibat keadaan toksik pada pasien

postoperatif. Gemetar yang parah, demam, dilatasi kapiler dan hipertensi bisa

terjadi secara temporer pada pasien ini.

11. Hipotermia

17
Hipotermia merupakan observasi yang selalu dilakukan pada pasien yang

akan dilakukan TURP. Penurunan dari suhu tubuh akan mengubah situasi

hemodinamika, yang mengakibatkan pasien menggigil dan peningkatan konsumsi

oksigen. Irigasi kandung kemih merupakan sumber utama dari hilangnya panas

dan penggunaan cairan irigasi pada suhu ruangan menghasilkan penurunan suhu

tubuh sekitar 1-2oC. Ini diperburuk oleh keadaan ruangan operasi yang bersuhu

dingin. Pasien geriatri diduga akan mengalami hipotermia karena disfungsi

otonom. Vasokonstriksi dan asidosis bisa berefek pada jantung dan berkontribusi

terhadap manifestasi sistem saraf pusat. Menggigil juga bisa diperparah oleh

pendarahan dari tempat reseksi.

18
Gambar 3. Skema Patofisiologi sindrom TURP

2.2.5 Diagnosis

Diagnosis TURP syndrome didasarkan atas gejala klinis. Dibawah

pengaruh anastesi umum, diagnosis Sindrom TURP sukar dan sering ditunda.

Tanda umum adalah peningkatan yang tidak bisa dijelaskan, kemudian tekanan

darah menurun dan terjadi bradikardia refrakter. Perubahan dalam EKG seperti

ritme nodal, perubahan ST, gelombang U dan pelebaran kompleks QRS dapat

19
diobservasi. Pengembalian dari anestesi umum dan penggunaan pelemas otot bisa

tertunda.

TURP dengan menggunakan anestesia regional tanpa sedasi (Awake

TURP) lebih dipilih daripada anestesia umum karena hal berikut :

1. Manifestasi awal dari Sindrom TURP lebih bisa dideteksi pada pasien

yang sadar

2. Vasodilatasi periferal berfungsi untuk membantu meminimalisir overload

sirkulasi.

3. Memberikan lebih banyak tingkat analgesia postoperatif

4. Kehilangan darah akan lebih sedikit

Ketika dalam pengaruh anastesi regional, maka satu dari empat tanda

mayor ini dapat muncul. : peningkatan tekanan darah sistolik dengan sedikit

peningkatan pada tekanan darah diastolik, denyut yang lambat, perubahan

aktivitas saraf pusat (seperti kebingungan, semicoma, gelisah, nyeri kepala, mual,

muntah). Kongestif paru dengan tanda dyspnea, sianosis dan wheezing. Denyut

jantung menurun.

Jika tidak diterapi secara cepat, maka pasien bisa mengalami sianotik dan

hipotensi dan menjadi henti jantung. Beberapa pasien muncul dengan gejala

neurologikal. Pasien menjadi lemah kemudian tidak sadar. Pupil dilatasi dan

lambat beraksi terhadap cahaya. Ini bisa diikuti dengan episode singkat dari

kejang tonik - klonik sebagai awal dari keadaan koma. Tetapi kemungkinan

20
fluktuasi hemodinamis yang tiba-tiba dari anestesia spinal atau epidural sebaiknya

dipertimbangkan sebelum melakukan anastesi regional.

Selama anestesia umum berbagai tanda hipovolemia terjadi pada pasien.

Gejala sistem saraf pusat tidak ditemukan sampai pasien dibwawa ke ruang

pemulihan. Tanda respirasi tidak terlihat akibat ventilasi kendali atau assisted sera

konsentrasi tinggi O2 yang digunakan dalam anestesia. Namun ketika pasien

tersadar dari pengaruh anestesia ia akan merasa sangat mengantuk, bingung, koma

karena intoksikasi air dalam otak atau peningkatan amonia dari metabolisme

glisin.

2.2.6. Tata Laksana Sindrom TURP

Terapi Sindrom TURP meliputi koreksi berbagai mekanisme

patofisiologikal yang bekerja pada homeostasis tubuh. Idealnya terapi tersebut

harus dimulai sebelum tejadi komplikasi sistem saraf pusat dan jantung yang

serius. Ketika Sindrom TURP didiagnosa, prosedur pembedahan sebaiknya

diakhiri secepatnya. Kebanyakan pasien bisa dimanajemen dengan restriksi cairan

dan diuretic loop

Identifikasi gejala awal sindrom TURP dan pencegahan, penting untuk

mencegah efek yang fatal bagi pasien yang mengalami pembedahan endoskopik.

Hiponatremia yang terjadi sebelum operasi harus dikoreksi terutama pada pasien

yang menggunakan obat-obatan diuretic dan diet rendah garam. Antibiotic

profilaksis memiliki peran dalam pensegahan bakterimia dan septisemia. Central

Venous Pressure (CVP) monitoring atau kateterisasi arteri pulmonalis diperlukan

untuk pasien dengan penyakit jantung. Tinggi ideal cairan irigasi adalah 60 cm.

21
Untuk mengurangi timbulnya sindroma TURP operator harus membatasi diri

untuk tidak melakukan reseksi lebih dari 1 jam. Di samping itu beberapa operator

memasang sistotomi suprapubik terlebih dahulu sebelum reseksi diharapkan dapat

mengurangi penyerapan air ke sistemik. Untuk kasus dengan operasi lebih dari

satu jam staging TURP harus dilakukan. Kapsul prostat harus dijaga dan distensi

kandung kemih harus dicegah. Caranya dengan sering mengosongkan kandung

kemih. Koreksi hiponatremia sebaiknya dilakukan dengan diuresis dan pemberian

salin hipertonis 3-5% secara lambat dan tidak lebih dari 0,5 meq/per 1 jam atau

tidak lebih cepat dari 100 ml/jam. Tepatnya 200 ml salin hipertonis diperlukan

untuk mengkoreksi hiponatremia. Pemberian secara cepat dari salin akan

mengakibatkan edema paru dan central pontine myelinolysis. Dua pertiga dari

salin hipertonis mengembalikan serum sodium dan osmolaritas, sedangkan 1/ 3

meredistribusi air dari sel menuju ruang ekstraseluler, dimana akan diterapi

dengan terapi diuretik menggunakan furosemide.

Furosemide sebaiknya diberikan dengan dosis 1 mg/kg bb secara

intravena. Tetapi, penggunaan furosemide dalam terapi Sindrom TURP

dipertanyakan karena meningkatkan ekskresi natrium. Oleh sebab itu 15% manitol

disarankan sebagai pilihan, dalam kaitan dengan kerjanya yang bebas dari

ekskresi natrium dan kecenderungan untuk meningkatkan osmolaritas

ekstraseluler. Oksigen harus diberikan dengan penggunaan nasal kanul. Edema

paru sebaiknya dimanajemen dengan intubasi dan ventilasi dengan penggunaan

100% oksigen. Gas darah, hemoglobin dan serum sodium dinilai. Kalsium

intravena bisa digunakan untuk merawat gangguan gangguan jantung akut saat

pembedahan. Kejang sebaiknya diterapi dengan diazepam / midazolam /

22
barbiturat / dilantin aau penggunaan pelemas otot tergantung dari tingkat

keparahannya. Gejala hiponatremia yang bisa berakibat seizure bisa dihubungkan

dengan dosis kecil dari midazolam (2-4 mg), diazepam (3-5 mg), thiopental (50-

100 mg). Kehilangan darah diterapi dengan transfusi PRC. Pada kasus dengan

DIC, maka fibrinogen 3-4 gram sebaiknya diberikan secara intravena diikuti

dengan infus heparin 2000 unit secara bolus ( dan kemudian diberikan 500 unit

tiap jam). Fresh Frozen Plasma (FFP) dan platelet juga bisa digunakan tergantung

dari jenis koagulasinya. Drainase pembedahan dari cairan retroperitoneal pada

kasus perforasi bisa menurunkan morbiditas dan mortalitas secara signifikan.

Arginin dapat diberikan sebagai tambahan infus glisin untuk menurunkan efek

toksik dari glisin pada jantung. Mekanisme bagaimana arginin memproteksi

jantung belum diketahui. Phenytoin yang diberikan secara intravena (10-20

mg/kg) juga harus dipertimbangkan untuk memperoleh aktivitas antikonvulsan.

Intubasi endotrakeal secara umum disarankan untuk mencegah aspirasi sampai

status mental pasien menjadi normal. Jumlah dan kadar salin hipertonik (3-5 %)

diperlukan untuk mengkoreksi hiponatremia menjadi batas / level yang aman,

yang didasarkan konsentrasi serum sodium pasien. Solusi salin hipertonis harus

tidak diberikan dengan kecepatan tidak lebih dari 100 ml/jam sehingga tidak

menimbulkan eksaserbasi overload dari cairan sirkulasi. Hipotermi dapat

dihindari dengan meningkatkan suhu ruang operasi, penggunaan selimut hangat

dan menggunakan cairan irigasi dan intravena yang telah dihangatkan sampai

suhu 370 C. Manajemen pasien yang mengalami koma harus meliputi oksigenasi,

sirkulasi yang memadai, penurunan tekanan intrakranial, penghentian kejang,

terapi infeksi, menjaga keseimbangan asam basa dan elektrolit dan suhu tubuh.

23
Pemantauan yang dilakukan glukosa, elektrolit (Na, K, Ca,. Cl, CO3, PO4), urea

kreatinin, osmolaritas, glisin, dan amonia. Pemeriksaan gas darah dapat melihat

PH, PO2, PCO2, dan karbonat. Perlu juga dilakukan EKG untuk memonitor

fungsi kardiovaskular.8

24
BAB III

KESIMPULAN

1. Transurethral Resection Prostate (TURP) yaitu suatu tindakan endoskopis

pengurangan masa prostat (prostatektomi) dengan tujuan urinasi pada pasien yang

mengalami Benign Prostate Hyperplasia (BPH) stadium moderat atau berat selain

open prostatectomy.
2. Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di bawah dari buli-buli,

di depan rektum dan membungkus uretra posterior.


3. Sindrom TURP ini muncul intraoperatif maupun postoperatif dengan

gejala sakit kepala, kelelahan terus menerus, confusion, sianosis, dispnea, aritmia,

hipotensi dan seizure.


4. Penyulit TURP :
 Selama operasi : perdarahan, sindrom TURP, perforasi
 Pasca bedah dini : perdarahan dan infeksi local
 Pasca bedah lanjut : inkontinensia, disfungsi ereksi, ejakulasi retrogad, striktura

uretra.
5. Sindrom TURP ini dimulai ketika absorpsi cairan irigasi melalui sinus

prostatik selama TURP. 1 liter cairan irigasi yang terserap ke pembuluh darah

selama 1 jam operasi mampu menurunkan konsentrasi natrium 5 hingga 8

mmol/L. Maka dari itu salah satu etiologi dari sindrom ini adalah lamanya waktu

operasi karena berdampak menurunkan konsentrasi natrium


6. Terapi Sindrom TURP meliputi koreksi berbagai mekanisme

patofisiologikal yang bekerja pada homeostasis tubuh. Idealnya terapi tersebut

harus dimulai sebelum tejadi komplikasi sistem saraf pusat dan jantung yang

serius. Ketika Sindrom TURP didiagnosa, prosedur pembedahan sebaiknya

diakhiri secepatnya.

25
DAFTAR PUSTAKA

26
1. Moore KL, Dalley AF, Agur AM, Moore ME, 2014. Anatomi berorientasi

klinis. Edisi ke-5. Jakarta: Erlangga.


2. Mescher, A. L., 2011. Histologi Dasar Junqueira, Teks dan Atlas. Edisi 12.

Jakarta: EGC.
3. Sherwood, L., 2014. Fisiologi Manusia: dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta:

EGC.
4. Smeltzer, S. C., & Bare B. G. 2009. Buku Ajar Medikal Bedah Brunner &

Suddarth. Edisi 8. Volume 1. Jakarta: EGC.


5. Price, S. A. Dan Wilson, L. M. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-

Proses Penyakit, Edisi 6, Volume 1. Jakarta: EGC.


6. Baredo, M,. Dayrit, M. W., & Siswadi, Y. 2008. Buku Ajar Bedah. Jakarta:

EGC.
7. Cooperberg M. R., Presti J. C., Shinohara K., Carrol P. R. Neoplasms of the

prostate gland. In: McAninch J. W., Lue T. F., Editors. Smith & Tanagho’s

General Urology. McGraw-Hill Medical Journal.


8. Basuki B. Purnomo. 2000. Dasar-dasar Urologi. Jakarta: CV Sagung Seto. H.

1-4
9. (Krieger dkk, 2008).
10. Franco G, De Nunzio C, Leonardo C, Tubaro A, Ciccariello M, De Dominicis

C et al. Ultrasound assessment of intravesical prostatic protrusion and

detrusor wall thickness--new standards for noninvasive bladder outlet

obstruction diagnosis? Department of Urology, La Sapienza University,

Rome, Italy. J Urol. 2010; 183: 2270-4 ( Baradero, dkk 2007).


11. Sjamsuhidajat, R. Dan De Jong W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta:

EGC.
12. Roehrborn, C. G., 2012. Benign Prostate Hyperplasia. In: Campbell-Walsh

Urology. 10th ed. Elsevier Inc.

27

Anda mungkin juga menyukai