Anda di halaman 1dari 5

a.

Campak di Indonesia

Program Pencegahan dan pemberantasan Campak di Indonesia pada saat ini berada
pada tahap reduksi dengan pengendalian dan pencegahan KLB. Hasil pemeriksaan
sample darah dan urine penderita campak pada saat KLB menunjukkan Igm positip
sekitar 70% – 100%. Insidens rate semua kelompok umur dari laporan rutin
Puskesmas dan Rumah Sakit selama tahun 1992 – 1998 cenderung menurun, terutama
terjadi penurunan yang tajam pada kelompok umur = 90%) dan merata disetiap desa
masih merupakan strategi ampuh saat ini untuk mencapai reduksi campak di
Indonesia pada tahun 2000. CFR campak dari Rumah Sakit maupun dari hasil
penyelidikan KLB selama tahun 1997 – 1999 cenderung meningkat, kemungkinan hal
ini terjadi berkaitan dengan dampak kiris pangan dan gizi, namun masih perlu dikaji
secara mendalam dan komprehensive.
Sidang WHO tahun 1988, menetapkan kesepakatan global untuk membasmi polio
atau Eradikasi Polio (Rapo), Eliminasi Tetanus Neonatorum (ETN) dan Reduksi
Campak (RECAM) pada tahun 2000. Beberapa negara seperti Amerika, Australia dan
beberapa negara lainnya telah memasuki tahap eliminasi campak. Pada sidang
CDC/PAHO/WHO tahun 1996 menyimpulkan bahwa campak dimungkinkan untuk
dieradikasi, karena satu-satunya pejamu (host) atau reservoir campak hanya pada
manusia dan adanya vaksin dengan potensi yang cukup tinggi dengan effikasi vanksin
85%. Diperkirakan eradikasi akan dapat dicapai 10 – 15 tahun setelah eliminasi.
Program imunisasi campak di Indonesia dimulai pada tahun 1982 dan masuk dalam
pengembangan program imunisasi. Pada tahun 1991, Indonesia dinyatakan telah
mencapai UCI secara nasional. Dengan keberhasilan Indonesia mencapai UCI
tersebut memberikan dampak positip terhadap kecenderungan penurunan insidens
campak, khususnya pada Balita dari 20.08/10.000 – 3,4/10.000 selama tahun 1992 –
1997 (ajustment data rutin SST). Walaupun imunisasi campak telah mencapai UCI
namun dibeberapa daerah masih terjadi KLB campak, terutama di daerah dengan
cakupan imunisasi rendah atau daerah kantong.

1) Tahapan pemberantasan Campak Pemberantasan campak meliputi beberapa


tahapan, dengan kriteria pada tiap tahap yang berbeda-beda.
a. Tahap Reduksi.
Tahap reduksi campak dibagi dalam 2 tahap: Tahap pengendalian campak.
Pada tahap ini terjadi penurunan kasus dan kematian, cakupan imunisasi
>80%, dan interval terjadinya KLB berkisar antara 4 – 8 tahun.
Tahap pencegahan KLB. Pada tahun ini cakupan imunisasi dapat
dipertahankan tinggi dan merata, terjadi penurunan tajam kasus dan kematian,
dan interval terjadinya KLB relative lebih panjang.
b. Tahap Eliminasi
Pada tahap eliminasi, cakupan imunisasi sudah sangat tinggi (>95%), dan
daerah-daerah dengan cakupan imunisasi rendah sudah sangat kecil
jumlahnya. Kasus campak sudah jarang dan KLB hampir tidak pernah ternadi.
Anak-anak yang dicurigai tidak terlindung (susceptible) harus diselidiki dan
mendapat imunisasi tambahan.
c. Tahap Eradikasi
Cakupan imunisasi tinggi dan merata, dan kasus campak sudah tidak
ditemukan. Transmisi virus sudah dapat diputuskan, dan negara-negara di
dunia sudah memasuki tahap eliminasi. Pada TCG Meeting, Dakka, 1999,
menetapkan Indonesia berada pada tahap reduksi dengan pencegahan
terjadinya KLB.

2) Tujuan Reduksi Campak


Reduksi campak bertujuan menurunkan angka insidens campak sebesar 90%
dan angka kematian campak sebesar 95% dari angka sebelum program
imunisasi campak dilaksanakan. Di Indonesia, tahap reduksi campak
diperkirakan dengan insiden menjadi 50/10.000 balita, dan kematian 2/10.000
(berdasarkan SKRT tahun 1982).

3) Strategi Reduksi Campak


Reduksi campak mempunyai strategi yaitu:
 Imunisasi Rutin 2 kali, pada bayi 9-11 bulan dan anak Sekolah Dasar
Kelas I (belum dilaksanakan secara nasional) dan Imunisasi Tambahan
atau Suplemen.
 Surveilans Campak.
 Penyelidikan dan Penanggulangan KLB Manajemen Kasus
 Pemeriksaan Laboratorium
4) Masalah pokok Surveilans dalam reduksi campak di Indonesia.
Surveilans dalam reduksi campak di Indonesia masih belum sebaik surveilans
eradikasi polio. Kendala utama yang dihadapi adalah, kelengkapan
data/laporan rutin Rumah Sakit dan Puskesmas yang masih rendah, beberapa
KLB campak yang tidak terlaporkan, pemantauan dini (SKD – KLB) campak
pada desa-desa berpotensi KLB pada umumnya belum dilakukan dengan baik
terutama di Puskesmas, belum semua unit pelayanan kesehatan baik
Pemerintah maupun Swasta ikut berkontribusi melaporkan bila menemukan
campak. Dukungan dana yang belum memadai, terutama untuk melaksanakan
aktif surveilans ke Rumah Sakit dan pengembangan surveilans campak pada
umumnya. Surveilans campak sangat penting untuk menilai perkembangan
pemberantasan campak dan untuk menentukan strategi pemberantasannya di
setiap daerah.

5) Angka Insidens
Insidens campak di Indonesia selama tahun 1992 – 1998 dari data rutin Rumah
sakit dan Puskesmas untuk semua kelompok umur cenderung menurut dengan
keleng – kapan laporan rata-rata Puskesmas kurang lebih 60% dan Rumah
sakit 40%. Penurunan Insidens paling tajam terjadi pada kelompok umur
Kejadian Luar Biasa (KLB).
Dampak keberhasilan cakupan imunisasi campak nasional yang tinggi dapat
menekan insidens rate yang cukup tajam selama 5 tahun terakhir, namun di
beberapa desa tertentu masih sering terjadi KLB campak. Asumsi terjadinya
KLB campak di beberapa desa tersebut, disebabkan karena cakupan imunisasi
yang rendah (90%) atau kemungkinan masih rendahnya vaksin effikasi di desa
tersebut. Rendahnya vaksin effikasi ini dapat disebabkan beberapa hal, antara
lain kurang baiknya pengelolaar: rantai dingin vaksi yang dibawa kelapangan,
penyimpanan vaksin di Puskesmas cara pemberian imunisasi yang, kurang
baik dan sebagainya.
Dari beberapa hasil penyelidikan lapangan KLB campak dilakukan oleh
Subdit Surveilans dan Daerah selama tahun 1998 – 1999, terlihat kasus-kasus
campak yang belum mendapat imunisasi masih cukup tinggi, yaitu kurang
lebih 40% – 100% (Grafik: 9). Dari sejumlah kasus-kasus yang belum
mendapat imunisasi tersebut, pada umumnya (>70%) adalah Balita. Frekuensi
KLB campak berdasarkan laporan yang dikirim dari seluruh propinsi
Indonesia ke Subdit Surveilans melalui laporan (W 1) selam tahun 1994 –
1999 terlihat ber fluktuasi, dan cenderung meningkat dari tahun 1998 – 1999
yaitu dari 32 kejadian menjadi 56 kejadian (grafik: 2). Angka frekuensi
tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas laporan W1 dari Propinsi atau
Kabupaten/Kota. Daerah-daerah dengan sistern pencatatan dan pelaporan Wl
yang cukup intensive dan mempunyai kepedulian yang cukup tinggi terhadap
pelaporan Wl KLB, mempunyai kontribusi yang besar terhadap
kecenderungan meningkatnya frekuensi KLB campak di Indonesia (Jawa
Barat, NTB, Jambi Bengkulu, Yogyakarta). Dari sejumlah KLB yang
dilaporkan ke Subdit Surveilans, diperkirakan KLB campak yang
sesungguhnya terjadi jauh lebih baik. Dengan pengertian lain, masih cukup
banyak KLB campak yang tidak terlaporkan oleh Daerah dengan berbagai
kendala. Walaupun frekuensi KLB campak yang dilaporkan mengalami
peningkatan, namun jumlah kasusnya cenderung menurun dengan rata-rata
kasus setiap KLB selam tahun 1994 – 1999 sekitar 15 – 55 kasus pada setiap
kejadian. Berarti besarnya jumlah kasus setiap episode KLB campak selama
periode tahun tersebut rata-rata tidak lebih dari 15 kasus (grafik: 3 dan 4).
Dari 19 lokasi KLB campak yang diselidiki o1eh Subdit Surveilans dan
Daerah serta mahasiswa FETP (UGM) selama tahun 1999, terlihat Attack Rate
pada KLB campak dominan pada kelompok umur Balita, (Grafik 5 dan 6′).
(pie diagram). Angka proporsi penderita pada KLB campak tahun 1998 – 1999
juga menunjukkan proporsi terbesar pada kelompok umur 1 – 4 tahun dan S –
9 tahun dibandingkan pada kelompok umur yang lebih tua (10 – 14 tahun)
grafik:7.
Pada kelompok KLB campak telah dilakukan pengambilan spesimen serologis
dan urine untuk memastikan diagnosa lapangan dan mengetahui virus campak.
Hasil pemeriksaan sampel serologis dan urine penderita campak pada 12
lokasi KLB campak di beberapa Daerah selama tahun 1998 – 1999 yang
diperiksa oleh Puslit. Penyakit Menular Badan Litbangkes RI, menunjukkan
IgM positif sekitar 70% – 100%, (tabel: l). Angka tersebut mengindikasikan
ketajaman diagnosa campak dilapangan pada saat KLB berlangsung.
Angka Fatalitas Kasus (AFP atau CFR) campak di Rumah Sakit maupun pada
saat KLB terjadi selama tahun (1997 – 1999) cenderung meningkat, masing-
masing dari 0,1% – 1,1% dan 1,7% – 2,4% (grafik 8). Kecenderungan
peningkatan CFR ini perlu pengkajian yang mendalam dan koprehensive.
Jadi, Insidens Rate Campak dari data rutin selama tahun 1992 – 1998 di
Indonesia cenderung menurun untuk semua kelompok umur. Penurunan paling
tajam pada kelompok umur

Anda mungkin juga menyukai