Lapkas ANESTESI
Lapkas ANESTESI
PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan
aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.Istilah anestesi digunakan
pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes pada tahun 1846.1
Anestesi umum (general anesthesia) adalah suatu keadaan yang didapatkan
ketika agen obat-obatan anestetik mencapai konsentrasi tertentu untuk memberikan
efeknya secara reversibel pada sistem saraf pusat, dimana keadaan tidak sadar
(unconsciousness), amnesia, analgesik, immobilisasi, dan melemahnya respon
autonom pada stimulasi berbahaya telah dicapai.2
Tujuan anestesi dilakukan secara umum adalah untuk menciptakan
ketidaksadaran yang aman dan reversibel, mengoptimalisasi respon fisiologis, dan
menciptakan keadaan operasi yang kondusif. Anestesi umum memiliki tiga
komponen penting, yaitu hilangnya kesadaran, analgesik, dan relaksasi otot. 3
Terlepas dari cara penggunaanya suatu anestetik yang ideal sebenarnya harus
memperlihatkan 3 efek utama yang dikenal sebagai “Trias Anestesia”,yaitu efek
hipnotik (menidurkan), efek analgesia, dan efek relaksasi otot. Akan lebih baik lagi
kalau terjadi juga penekanan reflex otonom dan sensoris, seperti yang diperlihatkan
oleh eter.1,4
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
munculnya konsep ini, maka munculnya istilah “Balanced Anesthesia” untuk
menggambarkan keseimbangan dari kombinasi obat anestesi. 5
3
kontraindikasi mutlak anestesi umum adalah dekompresi kordis derajat III -IV, AV
blok derajat II-total (tidak ada gelombang P). 1
Kombinasi agen anestestik yang digunakan pada anestesi umum memiliki
beberapa tujuan, diantaranya: 1
a) Analgesia (respon terhadap nyeri hilang)
b) Amnesia (kehilangan memori atau tidak mengingat apa yang terjadi)
c) Immobilitas (hilangnya refleks motorik)
d) Kehilangan kesadaran
e) Relaksasi otot skeletal
Kelebihan:
a. Mengurangi kesadaran dan ingatan pasien selama operasi
b. Memungkinkan relaksasi otot untuk jangka waktu yang lama
c. Dapat mempertahankan jalan napas, pernapasan dan sirkulasi yang
adekuat
d. Dapat digunakan pada pasien yang sensitive terhadap agen anestetik
lokal
e. Dapat dilakukan tanpa merubah posisi pasien dari posisi supine
f. Dapat dengan mudah disesuaikan pada durasi yang tidak terduga atau
lebih lama
g. Dapat diberikan dengan cepat dan bersifat reversible.2
Kerugian:
a. Membutuhkan perawatan yang lebih rumit dan biaya yang lebih besar
b. Membutuhkan beberapa persiapan preoperative
c. Dapat menginduksi fluktuasi fisiologi yang membutuhkan intervensi
aktif
d. Berhubungan dengan komplikasi seperti mual, muntah, sakit
tenggorokan, sakit kepala, menggigil dan lamanya perbaikan
psikomotorik.2
4
2.1.6 Faktor Yang Mempengaruhi Anestesi Umum
1. Faktor Respirasi
2. Faktor Sirkulasi
5
3. Faktor Jaringan
1. Perbedaan tekanan parsial obat anestesika antara darah arteri dan
jaringan.
2. Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar zat
anestesika, kecuali halotan.
3. Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:
a) Jaringan kaya pembuluh darah (JKPD): otak, jantung, hepar, ginjal.
Organ-organ ini menerima 70-75% curah jantung hingga tekanan
parsial zat anestesika ini meninggi dengan cepat dalam organ-organ
ini. Otak menerima 14% curah jantung.
b) Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit.
c) Lemak : jaringan lemak
d) Jaringan sedikit pembuluh darah (JSPD) : relative tidak ada aliran
darah: ligament dan tendon. 1
4. Faktor Zat Anestesi
Tiap-tiap zat anestesi mempunyai potensi yang berbeda. Untuk
mengukur potensi obat anestesi inhalasi dikenal adanya MAC (minimal
alveolar concentration). Menurut Merkel dan Eger (1963), MAC adalah
konsentrasi obat anestesi inhalasi minimal pada tekanan udara 1 atm yang
dapat mencegah gerakan otot skelet sebagai respon rangsang sakit supra
maksimal pada 50% pasien. Makin rendah MAC makin tinggi potensi obat
anestesi tersebut. 1
6
ditandai oleh hilangnya reflekss bulu mata (untuk mengecek refleks tersebut
bisa kita raba bulu mata).
Stadium II : Stadium II (St. Eksitasi; St. Delirium) Mulai dari akhir
stadium I dan ditandai dengan pernapasan yang irreguler, pupil melebar
dengan refleks cahaya (+), pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+),
tonus otot meninggi dan diakhiri dengan hilangnya refleks menelan dan
kelopak mata.
Stadium III : Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi
pernapasan hingga hilangnya pernapasan spontan.Stadium ini ditandai oleh
hilangnya pernapasan spontan, hilangnya refleks kelopak mata dan dapat
digerakkannya kepala ke kiri dan kekanan dengan mudah.
– Plana 1 : Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi
gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak, pupil midriasis, refleks
cahaya ada, lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada, dan
belum tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna (tonus otot mulai
menurun).4
– Plana 2 : Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak menurun,
frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi di tengah, pupil
midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks
laring hilang sehingga dikerjakan intubasi.4
– Plana 3 : Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai
paralisis, lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring dan
peritoneum tidak ada, relaksasi otot lurik hampir sempuma (tonus otot
semakin menurun).4
– Plana 4 : Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot interkostal
paralisis total, pupil sangat midriasis, refleks cahaya hilang, refleks
sfmgter ani dan kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik sempuma
(tonus otot sangat menurun).4
Stadium IV : Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian
akan segera diikuti kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya pasien
meninggal. Pasien sebaiknya tidak mencapai stadium ini karena itu berarti
terjadi kedalaman anestesi yang berlebihan
7
2.1.8 Induksi Anestesi Umum
1. Premedikasi
8
alfentanil (20 menit) dan fentanil (30 menit). Dosis fentanil pada dewasa
3-6 mcg/kgBB atau 1-3 mcg/kgBB pada anak. 8
Barbiturat
Barbiturat (Pentobarbital dan Sekobarbital) biasanya diberikan
untuk sedasi dan untuk mengurangi kekhawatiran sebelum operasi. Obat
ini dapat diberikan secara oral atau IM. Dosis dewasa 100-150 mg dan 1
mg/kgBB pada anak di atas 6 bulan. Keuntungan dari pemakaian
barbiturate adalah masa pemulihan tidak diperpanjang dan efek
depresannya yang lemah terhadap pernapasan dan sirkulasi serta jarang
menyebabkan mual dan muntah.8
Benzodiazepine
Golongan benzodiazepine yang lebih dianjurkan dibandingkan
opioid dan berbiturat. Pada dosis biasa, obat tersebut tidak menambah
depresi napas akibat opioid. Opioid menyebabkan tidur, amnesia
retrograde fam dapat mengurangi rasa cemas. Penggunaan benzodiazepine
untuk premedikasi berbeda dosis dengan induksi, diazepam oral 0,2-0,5
mg/kgBB, midazolam intramuscular 0,07-0,15 mg/kgBB serta lorazepam
oral 0,05 mg/kgBB. 8
Neuroleptik
Kelompok obat neuroleptik digunakan untuk mengurangi mual dan
muntah akibat anestetik pada masa induksi maupun pemulihan, misalnya
droperidol yang biasa digunakan bersama fentanil. Kualitas sedasinya pun
lebih baik daripada kualitas sedasi yang ditimbulkan bila menggunakan
morfin saja. Golongan fenotiazin seperti klorpromazin atau prometazin
juga dapat mengurangi muntah, tetapi penggunaannya dibatasi oleh adanya
efek hipotensi intraoperatif dan takikardi . 8
9
1. Induksi
10
dalam cairan bening kepekatan 1% (1 ml = 10 mg), 5% (1 ml = 50 mg),
10% ( 1 ml = 100 mg). 9
d. Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)
Opioid diberikan dosis tinggi. Obat ini tidak mengganggu
kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien
dengan kelainan jantung. Anestesi opioid ini sendiri digunakan fentanil
dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit. 9
Teknik anestesi dengan menggunakan Intravena (TIVA)
merupakan teknik anestesi umum dengan hanya menggunakan obat-
obat anestesi yang dimasukkan lewat jalur intravena. TIVA digunakan
untuk ketiga trias anestesi yaitu hipnotik, analgetik maupun relaksasi
otot.yang lengkap.
Kebanyakan obat-obat anestesi intravena hanya mencakup 2
komponen anestesi, akan tetapi ketamin mempunyai trias anestesi.12
Kelebihan TIVA adalah: 12
1. TIVA dapat dikombonasikan atau terpisah dan dapat dititrasi
dalam dosis yang lebih akurat dalam pemakaiannya.
2. Tidak mengganggu jalan nafas pada pasien
3. TIVA mudah untuk dilakukan
11
3. TIVA diteteskan lewat infuse.
2. Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan
secara intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit
pasien tidur.8
3. Induksi inhalasi
a) N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida)
Berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan
beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus disertai O2 minimal
25%. Bersifat anastetik lemah, analgesinya kuat, sehingga sering
digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi
inhalasi jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi dengan salah satu
cairanan astetik lain seperti halotan.10
b) Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan
anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan
analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring.Kelebihan
dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi
hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi
miokard, dan inhibisi reflex baroreseptor. Merupakan analgesi lemah,
anestesi kuat. Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga
meninggikan kadar gula darah. 10
c) Enfluran (etran, aliran)
Efek depresi napas lebih kuat disbanding halotan dan enfluran lebih
iritatif dibanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat
disbanding halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek
relaksasi terhadap otot lurik lebih baik dibanding halotan. 10
12
d) Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial.
Peninggian aliran darah otak dan tekanan intracranial dapat dikurangi
dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran banyak
digunakan untuk bedah otak.Efek terhadap depresi jantung dan curah
jantung minimal, sehingga digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan
banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner. 8,10
e) Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%),
bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek
depresi napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan napas
atas sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi. 8,10
f) Sevofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran.
Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga
digemari untuk induksi anestesi inhalasi di samping halotan.8,10
4. Induksi perektal
Obat induksi per rektal adalah tiopental atau midazolam.
Midazolam memiliki kontraindikasi dengan glaukoma sudut sempit akut,
miastenia gravis, syok atau koma, intoksikasi alkohol akut dengan depresi
tanda- tanda vital, bayi prematur. Efek samping dapat menyebabkan
kejadian- kejadian kardiorespirasi, fluktuasi pada tanda- tanda vital. 8
13
2) Dinding perut kaku
3) Ada tahanan pada inflasi paru
3. Rumatan
i. Rumatan anestesia (maintenance) dapat diberikan secara intravena
(anestesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran
intravena dan inhalasi. Rumatan anestesia biasanya mengacu pada trias
anestesia yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia
cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan
nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup. 1
ii. Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi,
fentanil 10-50 mikrogram/kgbb. Dosis tinggi opioid menyebabkan
pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan
relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan
opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infus propofol 4-12
mg/kgbb/jam. Bedah lama dengan anestesia total intravena
menggunakan opioid, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk
mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara O2 atau N2O
dan O2.1
14
5. Mempersiapkan obat atau alat guna menanggulangi penyulit
yang diramalkan.11
Pada kasus bedah elektif, evaluasi pra anestesia dilakukan
beberapa hari sebelum operasi. Kemudian evaluasi ulang dilakukan sehari
menjelang operasi, selanjutnya evaluasi ulang dilakukan lagi pada pagi
hari menjelang pasien dikirim ke kamar operasi dan evaluasi terakhir
dilakukan di kamar persiapan Instalasi Bedah Sentral (IBS) untuk
menentukan status fisik ASA. 11
Pada kasus bedah darurat, evaluasi dilakukan pada saat itu juga di
ruang persiapan operasi Instalasi Rawat Darurat (IRD), karena waktu yang
tersedia untuk evaluasi sangat terbatas, sehingga sering kali informasi
tentang penyakit yang diderita kurang akurat. 11
Tatalaksana Evaluasi
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan dengan pasien sendiri atau dengan orang lain
(keluarganya/pengantarnya), meliputi: 11
a. Identitas pasien atau biodata
b. Anamnesis khusus yang berkaitan dengan penyakit bedah yang
mungkin menimbulkan gangguan fungsi sistem organ
c. Anamnesis umum, meliputi:
1) Riwayat penyakit sistemik yang pernah diderita atau sedang
menderita penyakit sistemik selain penyakit bedah yang diderita,
yang bisa mempengaruhi anestesia atau dipengaruhi anestesia
2) Riwayat pemakaian obat yang telah/sedang digunakan yang
mungkin berinteraksi dengan obat anestesia, misalnya
kortikosteroid, obat antihipertensi, obat anti-diabetik, antibiotik
golongan aminoglikosid, digitalis, diuretika, transquilizer, obat
penghambat enzim mono-amin oksidase dan bronkodilator
3) Riwayat operasi/anestesia terdahulu, misalnya apakah pasien
mengalami komplikasi anestesia
15
4) Kebiasaan buruk, antara lain; perokok, peminum minuman keras
(alkohol), pemakai obat-obat terlarang (sedatif dan narkotik)
5) Riwayat alergi terhadap obat atau yang lain
2. Pemeriksaan
Pemeriksaan yang dilakukan adalah: 11
a. Pemeriksaan atau pengukuran status pasien: kesadaran, vital
sign, berat dan tinggi badan untuk menilai status gizi/BMI
b. Pemeriksaan fisik umum, meliputi pemeriksaan status:
1) Psikis: gelisah, takut, atau kesakitan
2) Saraf (otak, medula spinalis, dan saraf tepi)
3) Respirasi
4) Hemodinamik
5) Penyakit darah
6) Gastrointestinal
7) Hepatobilier
8) Urogenital dan saluran kencing
9) Metabolik dan endokrin
10) Otot rangka
11) Integumen
3. Pemeriksaan laboratorium, radiologi dan yang lainnya11
a. Pemeriksaan rutin
Ditujukan kepada pasien yang dipersiapkan untuk operasi kecil
dan sedang. Hal-hal yang diperiksa adalah:
1) Darah: Hb, Ht, eritrosit, leukosit dan hitung jenis, trombosit,
masa perdarahan dan masa pembekuan
2) Urin: pemeriksaan fisik, kimiawi dan sedimen urin
b. Pemeriksaan khusus
Ditujukan kepada pasien yang dipersiapkan untuk operasi besar
dan pasien yang menderita penyakit sistemik tertentu dengan
indikasi tegas. Hal-hal yang diperiksa adalah:
16
1) Pemeriksaan laboratorium lengkap meliputi: fungsi hati,
fungsi ginjal, analisis gas darah, elektrolit, hematologi dan
faal hemostasis lengkap, sesuai dengan indikasi.
2) Pemeriksaan radiologi: foto toraks, IVP dan yang lainnya
sesuai indikasi
3) Evaluasi kardiologi terutama untuk pasien yang berumur di
atas usia 35 tahun.
17
ASA 3 : pasien panyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat
yang disebabkan karena berbagai penyebab tetapi tidak
mengancam nyawa
ASA 4 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat
yang secara langsung mengancam kehidupannya
ASA 5 : pasien penyakit bedah yang disertai dengan penyakit sistemik
berat yang sudah tidak mungkin ditolong lagi, dioperasi
ataupun tidak dalam 24 jam pasien akan meninggal
ASA 6 : pasien penyakit bedah yang telah dinyatakan mati otaknya
yang mana organnya akan diangkat untuk kemudian
diberikan sebagai organ donor bagi yang membutuhkan
Apabila tindakan pembedahannya dilakukan secara darurat, dicantumkan
tanda E (emergency) di belakang angka, misalnya ASA 1 E. 11
2. Persiapan Praanestesia
Langkah lanjut dari hasil evaluasi pra operatif khususnya anestesia
untuk mempersiapkan pasien, baik psikis maupun fisik pasien agar pasien
siap dan optimal untuk menjalani prosedur anestesia dan diagnostik atau
pembedahan yang akan direncanakan. 12
1. Persiapan pasien:
a. Persiapan psikis
Berikan penjelasan kepada pasien dan atau keluarganya
agar mengerti perihal rencana anestesi dan pembedahan yang
direncanakan sehingga dengan demikian diharapkan pasien dan
keluarganya bisa tenang.
b. Persiapan fisik
Diinformasikan agar pasien melakukan:
1) Menghentikan kebiasaan-kebiasaan seperti : merokok,
minuman keras dan obat-obatan tertentu minimal dua minggu
sebelum anestesia atau minimal dimulai sejak evaluasi
pertama kali di poliklinik
2) Melepas segala macam protesis dan asesoris
18
3) Tidak mempergunakan kosmetik misalnya cat kuku atau cat
bibir
4) Puasa.
c. Diharuskan agar pasien ditemani oleh salah satu keluarga atau
orang tua atau teman dekatnya untuk menjaga kemungkinan penyulit
yang tidak diinginkannya
d. Membuat surat persetujuan tindakan medik
e. Mengganti pakaian yang dipakai dari rumah dengan pakaian khusus
kamar operasi
2. Premedikasi
Adalah tindakan pemberian obat-obatan pendahuluan dalam
rangka pelaksanaan anestesia, dengan tujuan:
1) Menimbulkan suasana nyaman bagi pasien, yaitu
menghilangkan rasa cemas, memberi ketenangan, membuat
amnesia, bebas nyeri dan mencegah mual/muntah
2) Memudahkan dan memperlancar induksi
3) Mengurangi dosis anestesia
4) Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan
5) Menekan dan mengurangi sekresi kelenjar
3. Pemasangan infus12
1) Tujuan:
a) Mengganti defisit cairan selama puasa
b) Koreksi defisit cairan prabedah
c) Fasilitasi vena terbuka untuk memasukkan obat-obatan
selama operasi
d) Memberikan cairan pemeliharaan
e) Koreksi defisit atau kehilangan cairan selama operasi
f) Koreksi cairan akibat terapi lain
g) Fasilitas transfusi darah
19
4. Persiapan di kamar operasi :12
a. Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan
b. Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya
c. Alat-alat resusitasi: alat bantu napas, laringoskop, pipa jalan
napas, alat isap, defibrilator dan lain-lain
d. Obat-obat anestesia yang diperlukan
e. Obat-obat resusitasi: adrenalin, atropin, aminofilin, natrium
bikarbonat
f. Tiang infus, plester dan lain-lain
g. Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang
h. Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi,
misalnya “Pulse Oxymeter” dan “Capnograf”
i. Kartu catatan medik anesthesia
3. Pemberian Anestesi
1. Induksi Anestesi
Pemberian/induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat
pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan
dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi anestesi dapat dikerjakan
secara intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal. Setelah pasien tidur
akibat induksi anestesi langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan
anestesi sampai tindakan pembedahan selesai. Sebelum memulai induksi
anestesi disiapkan peralatan dan obat-obatan yang diperlukan, sehingga
jika terjadi keadaan gawat darurat dapat diatasi lebih cepat dan lebih
baik.1 Setelah pasien tidur akibat induksi anestesia langsung dilanjutkan
dengan pemeliharaan anestesia sampai tindakan pembedahan selesai. 1
20
Hidung dan mulut dibagian depan dipisahkan oleh palatum durum
dan palatum molle dan dibagian belakang bersatu di hipofaring. Hipofaring
menuju esophagus dan laring dipisahkan oleh epiglotis menuju ke trakea.
Laring terdiri dari tulang rawan tiroid, krikoid, epiglotis dan sepasang
aritenoid, kornikulata dan kuneiform.
Manuver triple jalan napas
Terdiri dari:
1. Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital.
2. Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula
3. Mulut dibuka
Dengan maneuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan napas bebas,
sehingga gas atau udara lancar masuk ke trakea lewat hidung atau mulut.
Jalan napas faring
Jika maneuver tripel kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan napas
mulut-faring lewat mulut (oro-pharyngeal airway) atau jalan napas lewat
hidung (naso-pharyngeal airway).
Sungkup muka
Mengantar udara / gas anestesi dari alat resusitasi atau sistem anestesi ke
jalan napas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga ketika
digunakan untuk bernapas spontan atau dengan tekanan positif tidak bocor
dan gas masuk semua ke trakea lewat mulut atau hidung.
Sungkup laring (Laryngeal mask)
Merupakan alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar
berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat
dikembang-kempiskan seperti balon pada pipa trakea. Tangkai LMA dapat
berupa pipa keras dari polivinil atau lembek dengan spiral untuk menjaga
supaya tetap paten. Dikenal 2 macam sungkup laring:
1. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas
2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan
lainnya pipa tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan
esophagus
Pipa trakea (endotracheal tube)
21
Mengantar gas anestesi langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari
bahan standar polivinil-klorida. Pipa trakea dapat dimasukan melalui mulut
(orotracheal tube) atau melalui hidung (nasotracheal tube).
Laringoskopi dan intubasi
Fungsi laring ialah mencegah benda asing masuk paru. Laringoskop
merupakan alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung
supaya kita dapat memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara
garis besar dikenal dua macam laringoskop:
1. Bilah, daun (blade) lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa
2. Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa.
22
Indikasi:
1. Untuk tindakan yang singkat (0,5 – 1 jam) tanpa membuka
rongga perut.
2. Keadaan umum pasien cukup baik (PSA ASA 1 atau 2).
3. Lambung harus kosong.
Kontra indikasi
1. Operasi di daerah kepala dan jalan napas
2. Operasi dengan posisi miring atau tertelungkup
23
Urutan tindakan:
1. Periksa peralatan yang akan digunakan (seperti pada masa pra-
induksi).
2. Pasang infus dengan kanul intravena atau jarum kupu-kupu
3. Persiapan obat
4. Induksi, dapat dilakukan dengan propofol 2-2.5 mg/kgBB
5. Selesai induksi, sampai pasien tertidur dan reflek bulu mata
hilang, sungkup muka ditempatkan pada muka. Sebaiknya dagu
ditahan atau sedikit ditarik ke belakang (posisi kepala ekstensi)
agar jalan napas bebas dan pernapasan lancar. Pengikat sungkup
muka ditempatkan di bawah kepala.
6. Kalau pernapasan masih tidak lancar dicoba mendorong kedua
pangkal rahang ke depan dengan jari manis dan tengah tangan
kiri kita. Kalau perlu dengan kedua tangan kita yaitu kedua ibu
jari dan telunjuk yang memegang sungkup muka dan dengan
jari-jari yang lain menarik rahang ke atas. Tangan kanan kita
bila bebas dapat memegang balon pernapasan dari alat anestesi
untuk membantu pernapasan pasien (menekan balon sedikit bila
pasien melakukan inspirasi).
7. N2O mulai diberikan 4 L dengan O2 2 L/menit untuk
memperdalam anestesi, bersamaan dengan halotan dibuka
sampai 1 % dan sedikit demi sedikit dinaikkan sampai 3-4 %
tergantung reaksi tubuh penderita.
24
8. Kedalaman anestesi dinilai dari tanda – tanda mata (bola mata
menetap), nadi tidak cepat dan terhadap rangsang operasi tidak
banyak berubah.
9. Kalau stadium anestesi sudah cukup dalam, masukkan pipa
orofaring
10. Halotan kemudian dikurangi menjadi 1-1.5 % dan dihentikan
beberapa menit sebelum operasi selesai
11. Selesai operasi N2O dihentikan dan penderita diberi O2 100%
beberapa menit untuk mencegah hipoksi difusi.
Ukuran ETT :
Pipa endotrakheal. terbuat dari karet atau plastik. Untuk operasi
tertentu misalnya di daerah kepala dan leher dibutuhkan pipa yang tidak
bisa ditekuk yang mempunyai spiral nilon atau besi (non kinking).
Untuk mencegah kebocoran jalan nafas, kebanyakan pipa endotrakheal
mempunyai balon (cuff) pada ujung distalnya. Pipa tanpa balon
biasanya digunakan pada anak-anak karena bagian tersempit jalan nafas
adalah daerah rawan krikoid. Pada orang dewasa biasa dipakai pipa
dengan balon karena bagian tersempit adalah trachea. Pipa pada orang
dewasa biasa digunakan dengan diameter internal untuk laki-laki
berkisar 8,0 – 9,0 mm dan perempuan 7,5 – 8,5 mm (Latief, 2007).
25
Untuk intubasi oral panjang pipa yang masuk 20 – 23 cm. Pada anak-
anak dipakai rumus :
26
g. Extensi leher yang tidask maksimal : Artritis rematik, spondilosis
arkilosing, halo traction
h. Variasi anatomi : Mikrognatia, prognatisme, lidah besar, leher
pendek, gigi moncong.
Teknik Intubasi
1. Mesin siap pakai
2. Cuci tangan
3. Memakai sarung tangan steril
4. Periksa balon pipa/ cuff ETT
27
5. Pasang macintosh blade yang sesuai
6. Anjurkan klien berdoa, karena intubasi/ induksi akan dimulai
7. Beri oksigen 100% dengan masker/ ambu bag 4 liter/ menit
8. Masukkan obat-obat sedasi dan relaksan
9. Lakukan bagging sesuai irama pernafasan
10. Buka mulut dengan teknik cross finger dengan tangan kanan
11. Masukkan laringoskop dengan tangan kiri sampai terlihat epiglotis,
dorong blade sampai pangkal epiglotis
12. Berikan anestesi daerah laring dengan xylocain spray 10%
13. Masukkan ETT yang sebelumnya sudah diberi jelly dengan tangan
kanan
14. Sambungkan dengan bag/ sirkuit anestesi, berikan oksigen dengan
nafas kontrol 8-10 kali/ menit dengan tidal volume 8-10 ml/kgBB
15. Kunci cuff ETT dengan udara ± 4-8 cc, sampai kebocoran tidak
terdengar
16. Cek suara nafas/ auskultasi pada seluruh lapangan paru kiri kanan
17. Pasang OPA/NPA sesuai ukuran
18. Lakukan fiksasi ETT dengan plester
19. Lakukan pengisapan lendir bila terdapat banyak lendir
20. Bereskan dan rapikan kembali peralatan
21. Lepaskan sarung tangan, cuci tangan.
28
diperhatikan pergerakan dada kanan kiri yang simetris. Kemudian
konsentrasi halotan sedikit demi sedikit dikurangi dan
dipertahankan dengan 0.5-1 %.
Obat pelumpuh otot dapat diulang lagi dengan 1/3 dosis jika
pasien sudah terlihat ada usaha untuk mulai bernafas sendiri.
Halotan dapat dihentikan jika lapisan fasi kulit sudah terjahit.
N2O dihentikan apabila lapisan kulit mulai dijahit.
Ekstubasi dapat dilakukan apabila nafas spontan telah normal
kembali. O2 diberikan secara terus-menerus selama 2-3 menit
untuk mencegah terjadinya hipoksia difusi.
Jika napas sesudah ditunggu beberapa menit masih lemah, dapat
diberikan obat anti pelumpuh otot non depolarisasi sebelum di
ekstubasi yang terdiri dari kombinasi obat atropine 2 ampul (2 x
0,25 mg) dengan prostigmin 2 ampul (2 x 0,5 mg). Kombinasi
obat ini akan menghilangkan sisa efek obat pelumpuh otot.
Komplikasi intubasi13
1. Selama intubasi
- Trauma gigi geligi
- Laserasi bibir, gusi, laring
- Merangsang saraf simpatis
- Intubasi bronkus
- Intubasi esophagus
- Aspirasi
- Spasme bronkus
2. Setelah ekstubasi
- Spasme laring
- Aspirasi
- Gangguan fonasi
- Edema glottis-subglotis
- Infeksi laring, faring, trakea
29
2.1.9 Monitoring Perianestesi
1. Monitoring Standar
Monitoring dasar pada pasien dalam keadaan anestesia adalah
monitoring tanpa alat atau dengan alat sederhana seperti stetoskop dan
tensimeter, serta dengan pemeriksaan fisik inspeksi, palpasi, perkusi, dan
auskultasi.11
a. Monitoring Kardiovaskular11
a) Nadi
Monitoring terhadap nadi merupakan keharusan, karena
gangguan sirkulasi sering terjadi selama anastesi. Makin bradikardi
makin menurunkan curah jantung. Monitoring terhadap nadi dapat
dilakukan dengan cara palpasi arteria radialis, brakialis, femoralis atau
karotis. Dengan palpasi dapat diketahui frekuensi, irama dan kekuatan
nadi. Selain palpasi dapat dilakukan auskultasi dengan menempelkan
stetoskop di dada atau dengan kateter khusus melalui sofagus.
b) Tekanan darah
Tekanan darah dapat diukur secara manual atau otomatis
dengan manse tang harus tepat ukurannya. Tekanan sistolik-diastolik
diketahui dengan cara auskultasi, palpasi, sedangkan tekanan arteri
rata-rata (mean arterial pressure) diketahui secara langsung dengan
monitor tekanan darah elektronik atau dengan menghitung yaitu 1/3
(tekanan sistolik + 2 x tekanan diastolik) atau tekanan diastolik + 1/3
(tekanan sistolik – tekanan diastolik).
c) Banyaknya perdarahan
b. Monitoring Respirasi
Dengan inspeksi kita dapat mengawasi pasien secara langsung
gerakan dada-perut baik pada saat bernapas spontan atau dengan napas
kendali dan gerakan kantong cadang apakah sinkron. Untuk oksigenasi
warna mukosa bibir, kuku pada ujung jari dan darah pada luka bedah
apakah pucat, kebiruan atau merah muda.
30
c. Monitoring Suhu Badan
Dilakukan pada bedah lama atau pada bayi dan anak kecil.
Pengukuran suhu sangat penting pada anak terutama bayi, karena bayi
mudah sekali kehilangan panas secara radiasi, konveksi, evaporasi dan
konduksi, dengan konsekuensi depresi otot jantung, hipoksia, asidosis,
pulih anastesia lambat dan pada neonatus dapat terjadi sirkulasi persistent
fetal.
d. Monitoring Ginjal
Untuk mengetahui keadaan sikulasi ginjal. Produksi air kemih
normal minimal 0.5-1,0 ml/kgBB/jam dimonitor pada bedah lama dan
sangat bermanfaat untuk menghindari retensi urin atau distenti buli-buli.
e. Monitoring Blokade Neuromuskular
Stimulasi saraf untuk mengetahui apakah relaksasi otot sudah
cukup baik atau sebaliknya setelah selesai anestesia apakah tonus otot
sudah kembali normal.
f. Monitoring Sistem Saraf
Pada pasien sehat sadar, oksigenasi pada otaknya adekuat kalau
orientasi terhadap personal, waktu dan tempat baik. Pada saat pasien dalam
keadaan tidak sadar, monitoring terhadap SSP dikerjakan dengan
memeriksa respon pupil terhadap cahaya, respons terhadap trauma
pembedahan, respons terhadap otot apakah relaksasi cukup atau tidak.
2. Monitoring Khusus
Monitoring tambahan biasanya digunakan pada bedah mayor atau
bedah khusus seperti bedah jantung, bedah otak posisi telungkup atau posisi
duduk, bedah dengan teknik hipotensi atau hipotermi dan bedah pada pasien
keadaan umum kurang baik yang disertai oleh kelainan sistemis. Oksimeter
denyut, infrared CO2 dan analisa zat anestetik dapat memberitahukan kita
adanya gangguan dini, tetapi alat ini ada yang menggolongkan monitoring
tambahan ada yang memasukkan dalam monitoring standar. Ketiga alat ini
walaupun sangat bermanfaat, tetapi sering diganggu oleh kauter listrik,
intervensi cahaya dan sering alarm walaupun pasien dalam keadaan klinis
baik.
31
2.1.9 Tatalaksana Pasca Bedah
Setelah operasi selesai pasien dibawa ke ruang pemulihan (recovery room)
atau ke ruang perawatan intensif (bila ada indikasi). Secara umum, ekstubasi terbaik
dilakukan pada saat pasien dalam anestesi ringan atau sadar. Di ruang pemulihan
dilakukan pemantauan keadaan umum, kesadaran, tekanan darah, nadi, pernapasan
suhu, sensibilitas nyeri, pendarahan dari drain, dan lain-lain. 11
Pemeriksaan tekanan darah, frekuensi nadi, dan frekuensi pernapasan
dilakukan paling tidak setiap dalam 15 menit pertama atau hingga stabil, setelah itu
dilakukan setiap 15 menit, selama 2 jam pertama. Dan setiap 30 menit selama 4 jam
berikutnya Pulse oximetry dimonitor hingga pasien sadar kembali. Pemeriksaan
suhu juga dilakukan. 11
Seluruh pasien yang sedang dalam masa pemulihan dari anestesi umum
harus mendapat oksigen 30 – 40 % untuk mencegah hipoksemia yang mungkin
terjadi. Pasien yang memiliki resiko hipoksia adalah pasien yang mempunyai
kelainan paru sebelumnya atau yang dilakukan tindakan operasi didaerah abdomen
atas atau daerah dada. Pemeriksaan analisa gas darah dapat dilakukan untuk
mengkonfirmasi penilaian oksimetri yang abnormal. Terapi oksigen benar-benar
diperhatikan pada pasien dengan riwayat penyakit paru obstruksi kronis atau
dengan riwayat retensi CO2 sebelumnya. 11
Bila keadaan umum dan tanda vital pasien normal dan stabil, maka pasien
dapat dipindahkan ke ruang rawat dengan pemberian instruksi pasca operasi. 11
1. Gangguan Pernapasan 11
Obstruksi napas parsial (napas berbunyi) atau total, tak ada ekspirasi (tidak
ada suara napas). Pasien pasca anastesia umum yang belum sadar sering
mengalami: lidah jatuh menutup faring atau oleh edema laring. Selain itu dapat
terjadi spasme laring karena laring terangsang oleh benda asing, darah, ludah
sekret atau sebelumnya ada kesulitan pada saat intubasi intubasi trakea.
Apabila terjadi obstruksi saat pasien masih dalam anestesi dan lidah
menutup faring, maka harus dilakukan manufer tripel dengan memasang jalan
napas mulut-faring, hidung faring dan tentunya berikan O2 100%. Jika tidak
berhasil menolong pasang sungkup laring.
32
Bila terjadi obstruksi karena kejang laring atau edema laring, selain perlu
O2 100%, harus dibersihkan jalan napas, berikan preparat kortokosteroid
(oradekson) dan kalau tak berhasil perlu dipertimbangkan memberikan pelumpuh
otot.
Obstruksi napas mungkin tidak terjadi, tetapi pasien sianosis (hiper-karbi,
hiper-kapni, PaCO2>45 mmHg) atau saturasi O2 menurun (hipoksemi, SaO2<90).
Hal ini disebabkan pernapasan pasien lambat dan dangkal (hipoventilasi).
Pernapasan lambat sering akibat opioid terlalu banyak dan dangkal sering akibat
pelumpuh otot masih bekerja. Jika penyebab jelas karena opioid, dapat diberikan
nalokson dan kalau oleh pelumpuh otot dapat diberikan prostikmin-atropin.
Hipoventilasi yang berlanjut menyebabkan asidosis, hipertensi, takikardi yang
dapat berakhir dengan depresi sirkulasi dan henti jantung.
2. Gangguan Kardiovaskular 11
Hipertensi dapat disebabkan karena nyeri akibat pembedahan, iritasi pipa
trakea, cairan infus berlebihan, buli-buli penuh atau aktivasi saraf simpatis karena
hipoksia, hiperkapni dan asidosis. Hipertensi akut dan berat yang berlangsung
lama menyebabkan gagal ventrikel kiri, infark miokard, disritmia, edema paru
atau pendarahan otak. Terapi hipertensi ditujukan pada faktor penyebab dan kalau
perlu dapat diberikan klonidin (catapres) atau nitroprusid (niprus) 0.5 - 1.0
µg/kg/menit.
Hipotensi yang terjadi isian balik vena (venous return) menurun
disebabkan pendarahan, terapi cairan kurang adekuat, diuresis, kontraksi
miokardium kurang kuat atau tahanan veskuler perifer menurun. Hipotensi harus
segera diatasi untuk mencegah terjadi hipoperfusi organ vital yang dapat berlanjut
dengan hipoksemia dan kerusahan jaringan. Terapi hipotensi disesuaikan dengan
faktor penyebabnya. Berikan O2 100%dan infus kristaloid RL atau Asering 300-
500 ml.
Distritmia yang terjadi dapat disebabkan oleh hipokalemia, asidosis-
alkalosis, hipoksia, hiperkapnia atau penyakit jantung.
33
3. Gelisah 11
Gelisah pasca anestesia dapat disebabkan oleh hipoksia, asidosis,
hipotensi, kesakitan, efek samping obat misalnya ketamin atau buli-buli penuh.
Setelah disingkirkan sebab-sebab tersebut diatas, pasien dapat diberikan penenang
midazolam (dormikum) 0.05 – 0.1 mg/kgBB.
4. Mual-Muntah 11
Mual-muntah pasca anestesi sering terjadi setelah anestesi umum terutama
pada penggunaan opioid, bedah intra-abdomen, hipotensi dan pada analgesia
regional. Obat mual-muntah yang sering digunakan pada perianestesia adalah :
a. Dehydrobenzoperidol 0.05-0.1 mg/kgBB (amp 5 mg/ml) i.m atau i.v.
b. Metoklopramid 0.1 mg/kgBB i.v.,supp 20 mg
c. Ondansetron 0.05-0.1 mg/kgBB i.v
d. Cyclizine 25-50 mg.
5. Menggigil 11
Menggigil (shivering) terjadi akibat hipotermia atau efek obat anestesi.
Hipotermi terjadi akibat suhu ruang operasi, ruang UPPA yang dingin, cairan
infus dingin, cairan irigasi dingin, bedah abdomen luas dan lama. Terapi petidin
10-20 mg i.v. pada pasien dewasa, selimut hangat, infus hangat dengan infusion
warmer, lampu t untuk menghangatkan suhu tubuh.
34
- Napas adekuat dan dapat batuk 2
Score ≥ 8
- Napas kurang adekuat/ hipoventilasi/ usaha 1
Boleh Pindah
bernapas Ruangan
- Apneu 0
3. Sirkulasi
- TD berbeda ± 20% dari semula preanesthesi 2
- TD berbeda ± 20% - 50% dari semula preanesthesi 1
- TD berbeda ± 50% dari semula preanesthesi 0
4. Kesadaran
- Sadar penuh 2
- Bangun jika dipanggil 1
- Tidak ada respon / belum sadar 0
5. Warna kulit
- Kemerahan 2
- Pucat 1
- Sianosis 0
Total
2. Respirasi
- Batuk / menangis 2
- Berusaha bernapas 1
- Perlu bantuan bernapas 0
3. Aktivitas motorik
- Gerakan bertujuan 2
- Gerakan tanpa tujuan 1
- Tidak bergerak 0
Total
35
2.2 KISTA EDOMETRIOSIS
2.2.1 Definisi
Endometriosis adalah suatu keadaan dimana jaringan endometrium yang
masih berfungsi terdapat di luar kavum uteri. Jaringan ini terdiri atas kelenjar-
kelenjar dan stroma.2 Kista endometriosis adalah suatu jenis kista yang berasal dari
jaringan endometrium. Ukuran kista bisa bervariasi antara 0.4-4 inchi. Jika kista
mengalami ruptur, isi dari kista akan mengisi ovarium dan rongga pelvis.3
2.2.2 Etiologi
Beberapa ahli mencoba menerangkan kejadian endometriosis yaitu berupa
beberapa teori,antara lain :4,5
a. Teori Implantasi dan Regurgitasi.
Teori ini menerangkan adanya darah haid yang dapat menjalar dari kavum
uteri melalui tuba Falopii, tetapi teori ini tidak dapat menerangkan kasus
endometriosis di luar pelvis.
b. Teori Metaplasia.
Teori ini menerangkan terjadinya metaplasia pada sel-sel coelom yang
berubah menjadi endometrium.
Perubahan ini dikatakan sebagai akibat dari iritasi dan infeksi atau hormonal
pada epitel coelom. Secara endokrinologis hal ini benar karena epitel
germinativum dari ovarium, endometrium dan peritoneum berasal dari epitel
coelom yang sama.
c. Teori Hormonal.
Telah lama diketahui bahwa kehamilan dapat menyembuhkan endometriosis.
Rendahnya kadar FSH, LH, dan E2 dapat menghilangkan endometriosis.
Pemberian steroid seks dapat menekan sekresi FSH, LH, dan E2. Pendapat
yang sudah lama dianut mengemukakan bahwa pertumbuhan endometriosis
sangat tergantung dari kadar estrogen di dalam tubuh.
d. Teori Imunologik.
Secara embriologis, sel epitel yang membungkus peritoneum parietal dan
permukaan ovarium sama asalnya, oleh karena itu sel endometriosis sejenis
36
dengan mesotel. Banyak peneliti berpendapat bahwa endometriosisn adalah
suatu penyakit autoimun karena memiliki criteria cenderung lebih banyak
pada wanita, bersifat familiar, menimbulkan gejala klinik, melibatkan
multiorgan, menunjukkan aktivitas sel B-poliklonal.
2.2.3 Patofisiologi
Gambaran mikroskopik dari endometrium sangat variabel. Lokasi yang sering
terdapat ialah pada ovarium dan biasanya bilateral. Pada ovarium tampak kista-kista
biru kecil sampai besar berisi darah tua menyerupai coklat. Darah tua dapat keluar
sedikit-sedikit karena luka pada dinding kista dan dapat menyebabkan perlekatan
antara permukaan ovarium dengan uterus, sigmoid dan dinding pelvis. Kista coklat
kadang-kadang dapat mengalir dalam jumlah banyak ke dalam rongga peritoneum
karena robekan dinding kista dan menyebabkan akut abdomen. Tuba pada
endometriosis biasanya normal.2
Pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan ciri-ciri khas bagi endometriosis
yakni kelenjar-kelenjar dan stroma endometrium dan perdarahan bekas dan baru
berupa eritrosit, pigmen hemosiderin dan sel-sel makrofag berisi hemosiderin.
Disekitarnya tampak sel-sel radang dan jaringan ikat sebagai reaksi dari jaringan
normal disekelilingnya. Jaringan endometriosis seperti juga jaringan endometrium di
dalam uterus dapat dipengaruhi oleh estrogen dan progesteron. Sebagai akibat dari
pengaruh hormon-hormon tersebut, sebagian besar sarang endometriosis berdarah
secara periodik yang menyebabkan reaksi jaringan sekelilingnya berupa radang dan
perlekatan.2
Pada kehamilan dapat ditemukan reaksi desidual jaringan endometriosis.
Apabila kehamilannya berakhir, reaksi desidual menghilang disertai dengan regresi
sarang endometriosis. Pengaruh baik dari kehamilan kini menjadi dasar pengobatan
endometriosis dengan hormon untuk mengadakan apa yang dinamakan kehamilan
semu (pseudopregnancy).2
37
2.2.4 Gejala Klinis
Nyeri perut bawah yang progresif dan dekat paha yang terjadi pada dan
selama haid (dismenore). Sebab dari dismenore ini tidak diketahui tetapi
mungkin ada hubungannya dengan vaskularisasi dan perdarahan dalam
sarang endometriosis pada waktu sebelum dan semasa haid. Nyeri tidak
selalu didapatkan pada endometriosis walaupun kelainan sudah luas
sebaliknya kelainan ringan dapat menimbulkan gejala nyeri yang hebat. Nyeri
yang hebat dapat menyebabkan mual, mntah, dan diare. Dismenore primer
terjadi selama tahun-tahun awal mestruasi, dan semakin meningkat dengan
usia saat melahirkan anak, dan biasanya hal ini tidak berhubungan dengan
endometriosis. Dismenore sekunder terjadi lebih lambat dan akan semakin
meningkat dengan pertambahan usia. Hal ini bisa menjadi tanda peringatan
akan terjadinya endometriosis, walaupun beberapa wanita dengan
endometriosis tidak terlalu merasakannya.
Dispareunia merupakan gejala yang sering dijumpai disebabkan oleh karena
adanya endometriosis di kavum Douglasi.
Nyeri waktu defekasi, terjadi karena adanya endometriosis pada dinding
rekstosigmoid. Kadang-kadang bisa terjadi stenosis dari lumen usus besar
tersebut.
Poli dan hipermenorea, dapat terjadi pada endometriosis apabila kelainan
pada ovarium sangat luas sehingga fungsi ovarium terganggu.
Infertilitas, hal ini disebabkan apabila motilitas tuba terganggu karena fibrosis
dan perlekatan jaringan disekitarnya. Sekitar 30-40% wanita dengan
endometriosis menderita infertilitas.
2.2.5 Diagnosis
Tidak ada pemeiksaan yang sederhana untuk mendiagnosis endometriosis.
Dalam kenyataannya, satu-satunya cara untuk mendiagnosis pasti endometriosis
adalah dengan melakukan laparoskopi dan melakukan biopsi jaringan. Pemeriksaan
ini merupakan standar emas dalam mendiagnosis endometriosis.6
38
Endometriosis dicurigai bila ditemukan adanya gejala nyeri di daerah pelvis
dan adanya penemuan-penemuan yang bermakna selama pemeriksaan fisik. Melalui
pemeriksaan rektovaginal (satu jari di dalam vagina dan satu jari lagi di dalam
rectum) akan teraba nodul (jaringan endometrium) di belakang uterus dan di
sepanjang ligamentum yang menyerang dinding pelvis. Suatu saat bisa saja nodul
tidak teraba, tetapi pemeriksaan ini sendiri dapat menyebabkan rasa nyeri dan tidak
nyaman.7
2.2.6 Penatalaksanaan
39
in vitro dengan preterapi endometriosis tingkat 3 dan 4 dengan agonis
gonadotropin-releasing hormone (GnRH).
Terapi interval
o Beberapa peneliti percaya bahwa endometriosis dapat ditekan dengan
pemberian profilaksis berupa kontrasepsi oral kombinasi
berkesinambungan, analog GnRH, medroksiprogesteron, atau danazol
sebagai upaya untuk meregresi penyakit yang asimtomastik dan
mengatasi fertilitas subsekuen.
o Ablasi melalui pembedahan untk endometriosis simptomatik juga dapat
meningkatkan kesuburan dalam 3 tahun setelah follow-up.
Tidak ada hubungan antara endometriosis dengan abortus rekuren dan tidak
ada penelitian yang menunjukkan bahwa terapi medikamentosa atau
pembedahan dapat mengurangi angka kejadian abortus.
Terapi medis: pil kontrasepsi oral kombinasi, danazol, agen progestational,
dan analog GnRH. Semua obat ini memiliki efek yang sama dalam
mengurangi nyeri dan durasinya.
o Pil kontrasepsioral kombinasi berperan dalam supresi ovarium dan
memperpanjang efek progestin.
o Semua agen progesteron berperan dalam desidualisasi dan atrofi
endometrium.
Medroksiprogesteron asetat berperan dalam mengurangi nyeri.
Megestrol asetat juga memiliki efek yang sama
The levonorgestrel intrauterine system (LNG-IUS) berguna dalam
mengurangi nyeri akibat endometriosis.
o Analog GnRH berguna untuk menurunkan gejala nyeri, namun tidak
berefek dalam meningkatkan angka fertilitas. Terapi dengan GnRH
menurunkan gejala nyeri pada 85-100% wanita dengan endometriosis.
o Danazol berperan untuk menghambat siklus follicle-stimulating hormone
(FSH) and luteinizing hormone (LH) dan mencegah steroidogenesis di
korpus luteum.
40
Terapi Bedah
Pembedahan konservatif
o Tujuannya adalah merusak jaringan endometriosis dan melepaskan
perlengketan perituba dan periovarian yang menjadi sebab timbulnya
gejala nyeri dan mengganggu transportasi ovum. Pendekatan laparoskopi
adalah metode pilihan untuk mengobati endometriosis secara konservatif.
Ablasi bisa dilakukan dengan dengan laser atau elektrodiatermi. Secara
keseluruhan, angka rekurensi adalah 19%. Pembedahan ablasi
laparoskopi dengan diatermi bipolar atau laser efktif dalam
menghilangkan gejala nyeri pada 87%. Kista endometriosis dapat diterapi
dengan drainase atau kistektomi. Kistektomi laparoskopi mengobati
keluhan nyeri lebih baik daripada tindakan drainase. Terapi medis
dengan agonis GnRH mengurangi ukuran kista tetapi tidak berhubungan
dengan hilangnya gejala nyeri.
o Flushing tuba dengan media larut minyak dapat meningkatkan angka
kehamilan pada kasus infertilitas yang berhubungan dengan
endometriosis.
o Untuk dismenorhea yang hebat dapat dilakukan neurektomi presakral.
Bundel saraf yang dilakukan transeksi adalah pada vertebra sakral III,
dan bagian distalnya diligasi.
o Laparoscopic Uterine Nerve Ablation (LUNA) berguna untuk
mengurangi gejala dispareunia dan nyeri punggung bawah.
o Untuk pasien dengan endometriosis sedang, pengobatan hormonal
adjuvant postoperative efektif untuk mengurangi nyeri tetapi tidak ada
41
berefek pada fertilitas. Analog GnRH, danazol, dan medroksiprogesteron
berguna untuk ini.
Pembedahan semikonservatif
o Indikasi pembedahan jenis ini adalah wanita yang telah melahirkan anak
dengan lengkap, dan terlalu muda untuk menjalani pembedahan radikal,
dan merasa terganggu oleh gejala-gejala endometriosis. Pembedahan
yang dimaksud adalah histerektomi dan sitoreduksi dari jaringan
endometriosis pelvis. Kista endometriosis bisa diangkat karena
sepersepuluh dari jaringan ovarium yang berfungsi diperlukan untuk
memproduksi hormon. Pasien yang dilakukan histerektomi dengan tetap
mempertahankan ovarium memiliki risiko enam kali lipat lebih besar
untuk mengalami rekurensi dibandingkan dengan wanita yang dilakukan
histerektomi dan ooforektomi.
o Terapi medis pada wanita yang telah memiliki cukup anak yang juga
memiliki efek dalam mereduksi gejala.
Pembedahan radikal
o Histerektomi total dengan ooforektomi bilateral dan sitoreduksi dari
endometrium yang terlihat. Adhesiolisis ditujukan untuk memungkinkan
mobilitas dan menormalkan kembali hubungan antara organ-organ di
dalam rongga pelvis.
o Obstruksi ureter memerlukan tindakan bedah untuk mengeksisi begian
yang mengalami kerusakan. Pada endometriosis dengan obstruksi usus
dilakukan reseksi anastomosis jika obstruksi berada di rektosigmoid
anterior.
42
BAB III
LAPORAN KASUS
43
Riwayat penyakit keluarga :
Pada keluarga tidak ada yang mengalami keluhan serupa. Tidak terdapat
riwayat penyakit keluarga yang berhubungan.
Riwayat Pengobatan :
Pasien tidak mengkonsumsi obat.
Kebiasaan :
Pasien tidak memiliki riwayat alergi makanan maupun obat, merokok (-),
riwayat meminum alkohol (-)
B. Status Generalisata
1) Pemeriksaan kepala
Kepala : Normosefali
Mata : konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik.
Hidung : tidak ada polip, perdarahan, maupun deviasi septum.
Mulut : Sianosis (-), pucat (-), bibir kering (-) Uvula berada di
tengah. Dinding posterior faring dan palatum molle
terlihat (Mallampati grade I) Tonsil T1-T1, Tidak ada
kripta dan detritus.
Leher : KGB tidak membesar, kelenjar tiroid tidak teraba
membesar, tidak terdapat struma, sikatrik.
2) Pemeriksaan Thoraks
Inspeksi : dinding dada simetris,tidak ditemukan retraksi pada
dinding dada
Perkusi : ditemukan bunyi sonor pada kedua lapangan paru
Palpasi : vokal fremitus kanan kiri simetris.
44
Auskultasi : suara nafas vesikuler, tidak terdengar ronkhi maupun
wheezing pada kedua lapang paru.
3) Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Tidak ditemukan perubahan warna kulit, tidak
ditemukan jaringan parut, tumor (-).
auskultasi : Bising usus normal
Perkusi : Terdapat timpani pada seluruh lapangan abdomen
Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (+) dan nyeri
lepas (-)
4) Ekstremitas : Akral hangat, odem (-)
5) Status Lokalis Genitalia Wanita
Inspeksi : keluar darah sedikit dari vagina, genitalia tampak tidak ada
kelainan dan tidak ditemukan adanya tanda- tanda radang.
Palpasi :-
45
Diagnosis post operasi : Post Operasi Laparotomi
V. STATUS ANASTESI
ASA I (Pasien tidak memiliki kelainan organik maupun sistemik selain
penyakit yang akan dioperasi)
VI. TINDAKAN
Dilakukan :Laparotomi
Tanggal :26 Februari 2019
46
B. Penatalaksanaan Anestesi
Tanggal operasi : 26 Februari 2019
Mulai operasi : 10.00 WIB
Selesai operasi : 11.05 WIB
Lama operasi : 1 jam
Diagnosa pra bedah: Kista Endometriosis
Jenis operasi : Laparotomi
Ahli bedah : dr. Reno, Sp.OG
Ahli Anastesi : dr. Lasmaria Flora, Sp.An. M.kes
Teknik anastesi : General anestesi, Endotracheal Tube (ETT)
Premedikasi :
o Dexamethason 10 mg IV
o Ondansetron 4 mg IV
Medikasi Intra Operatif:
o N2O inhalasi dengan O2 3L/menit
o Sevoflurance 2L/menit
o Propofol 100 mg
o Fentanyl 100 mcg
o Rocuronium Bromide 30 mg
o Midazolam 2 mg
Medikasi Post Operatif:
o Ketorolac 30 mg
o Tramadol drip 200 mg dalam futrolit 20 tpm
Teknik anestesi:
1. Pasien diposisikan terlentang.
2. Persiapan praoperasi (monitor, alat tensi, Saturasi, obat-
obatan)
3. Pasien diberikan bolus ondansentron 4 mg, dexsamethason
10 mg, propofol 100 mg, fentanyl 100 mcg, midazolam 2 mg,
dan rocuronium bromide 30 mg.
47
4. Anestesi umum dengan induksi propofol dan midazolam.Setelah pasien
tertidur, untuk menguasai jalan nafas pasien, dilakukan intubasi
meggunakan ETT nomor 7,5. Setelah terintubasi pasien diberikan
maintanance berupa N2O, sevoflurance dengan O2 3L/menit dan di
pasang oro-pharyngeal airway (OPA) untuk mencegah lidah jatuh
kebelakang dan dengan menggunakan manuver head tilt -chin liftt, dan
setelah proses operasi selesai pasien diberikan bolus ketorolac 30 mg
dan tramadol drip 200 mg dalam futrolit dengan kecepatan 20 tetes
permenit.
5. Pasien kemudian di observasi selama 1 jam di ruang observasi.
Jumlah cairan yang masuk :
Kristaloid = 1500 cc
Pemantauan selama anestesi :
o Mulai anestesi : 09.55 WIB
o Mulai operasi : 10.00 WIB
o Selesai operasi :11.05 WIB
Tekanan darah, saturasi O2, dan nadi selama anestesi:
Waktu Tekanan darah Saturasi O2 (%) Nadi
10.00 120/80 100 86
10.10 100/70 100 63
10.20 95/65 100 61
10.30 102/68 100 63
10.40 110/74 100 78
10.50 120/75 100 84
11. 00 115/65 100 88
- Post Operatif
Pasien masuk ke dalam ruang pemulihan kemudian dibawa kembali
ke ruang Fatimah kelas II
48
Kesadaran : compos mentis
TD : 120/80
Nadi : 77x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 36,8 0C
3. Sirkulasi
- TD berbeda ± 20% dari semula preanesthesi 2 2
- TD berbeda ± 20% - 50% dari semula preanesthesi 1
- TD berbeda ± 50% dari semula preanesthesi 0
4. 4. Kesadaran
- Sadar penuh 2 2
- Bangun jika dipanggil 1
- Tidak ada respon / belum sadar 0
5. Warna kulit
- Kemerahan 2 2
- Pucat 1
- Sianosis 0
Total 9
2.3 PROGNOSA
Dubia ad bonam
49
BAB IV
PEMBAHASAN
50
gas melalui sungkup muka dengan pola nafas spontan. Komponen trias anestesi
yang dicapai adalah hipnotik, analgesik, dan relaksasi otot ringan.
Pasien diposisikan tidur terlentang dan dipasang endotracheal tube dan oro-
pharyngeal airway (OPA) dengan mempertahankan jalan napas head tilt -chin lift-
jaw thrust, anastesi inhalasi menggunakan kombinasi Sevoflurance dengan N20 dan
O2 3L/menit.
• Pasien sudah tidak makan dan minum ± 12 jam, maka kebutuhan cairan
pada pasien dengan BB = 50 kg:
• Pemeliharaan cairan per jam:
(4 X 10) + (2 X 10) + (1 X 30) = 90 mL/jam
• Pengganti defisit cairan puasa:
12 X 90 mL = 1.080 mL
• Kebutuhan kehilangan cairan saat pembedahan:
4 X 50 = 200 mL
• Jumlah terapi cairan:
90 + 810 + 200 = 1370 ml atau + 3,9 kolf Ringer Laktat (kristaloid)
51
BAB V
SIMPULAN
52
DAFTAR PUSTAKA
53
15. Crum Christoper P., Lester Susan C., Cotran Ramzi S. Sistem Genitalia
Perempuan dan Payudara. Dalam : Robbins, Stanley L., Kumar Vinay.,
Cotran Ramzi S. Robbins Buku Ajar Patologi. Volume 2. Edisi 7. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 2007. Hal. 793 – 794.
16. Farrow Joseph H. Fibroadenoma of The Breast. Available from :
http://caonline.amcancersoc.org/.
17. Roubidoux Marilyn A. Breast, Fibroadenoma. Available from :
http://emedicine.medscape.com/. Update on July 26, 2009.
18. Sjamsuhidajat, R., De Jong Wim. Dalam : Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 2005. Hal. 388 – 393.
19. Zieve David., Wechter Debra G. Fibroadenoma – Breast. Available from :
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/. Update on December 17, 2009.
20. Shirley S.E., Mitchell D.I.G., Soares D.P., James M., Escoffery C.T., Rhodrn
A.M., Wolff C., Choy L., Wilks R.J. Clinicopathologic Features of Breast
Disease in Jamaica : Findings of the Jamaican Breast Disease Study. 2000 –
2002. Available from : http://lib.bioinfo.pl/ .
21. Hillegas Kathleen Branson. Gangguan Sistem Reproduksi Perempuan. Dalam
: Anderson, Sylvia Price., Wilson Lorraine McCarty. Patofisiologi, Konsep
Klinis Proses – Proses Penyakit. Volume 2. Edisi 6. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta. 2006. Hal. 1301 – 1302.
22. Ryan Stephanie., McNicholas Michelle., Eustace Stephen. In : Anatomy for
Diagnostic Imaging. Saunders, Elsevier Health. Philadephia. 2004. Hal. 308
– 310.
23. Desen Wan. Dalam : Buku Ajar Onkologi Klinis. Edisi 2. Balai Penerbit
FKUI. Jakarta. 2008. Hal. 366 – 369.
24. Fleischer Arthur C., Cullinan Jeanne A. Ultrasonography in Obsetrics and
Gynaecology; Obsetric Radiology. In : Grainger Ronald G., Allison David.
Grainger & Allison’s Diagnostic Radiology : A Textbokk of Medical
Imaging. Third Edition. Churchill Livingstone. New York. 1997, Hal. 2003 –
2011.
54
25. Gravelle I.H. Mammography. In : Sutton David. A Textbook of Radiology
and Imaging. Volume 2. Churchill Livingstone. Great Britain. London. 1993,
Hal. 1364 – 1366.
26. Eisenberg Ronald L. In : Clinical Imaging An Atlas of Differential Diagnosis.
Fifth Edition. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia. 2010. Hal. 1392
– 1395.
27. Muttarak Malai. Breast Imaging : A Comprehensive Atlas. Booknet
Company. Thailand. 2002. Hal. 33 – 177.
28. Kelcz Fred. Breast Imaging Using 3D-GRE. Available from :
http://www.gehealthcare.com/.
55