Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Hipertensi adalah keadaan di mana tekanan darah mengalami peningkatan


yang memberikan gejala berlanjut pada suatu organ target di tubuh. Hal ini dapat
menimbulkan kerusakan yang lebih berat, misalnya stroke (terjadi pada otak dan
menyebabkan kematian yang cukup tinggi), penyakit jantung koroner (terjadi
kerusakan pembuluh darah jantung), dan hipertrofi ventrikel kiri (terjadi pada otot
jantung). Hipertensi juga dapat menyebabkan penyakit gagal ginjal, penyakit
pembuluh lain dan penyakit lainnya (Syahrini et al., 2012).

Umumnya penyakit hipertensi terjadi pada orang yang sudah berusia lebih
dari 40 tahun. Penyakit ini biasanya tidak menunjukkan gejala yang nyata dan pada
stadium awal belum menimbulkan gangguan yang serius pada kesehatan penderitanya
(Gunawan, 2012). Hal ini serupa seperti yang dikemukakan oleh Yogiantoro (2006),
hipertensi tidak mempunyai gejala khusus sehingga sering tidak disadari oleh
penderitanya. Di dunia diperkirakan 7,5 juta kematian disebabkan oleh tekanan darah
tinggi. Pada tahun 1980 jumlah orang dengan hipertensi ditemukan sebanyak 600 juta
dan mengalami peningkatan menjadi hampir 1 milyar pada tahun 2008 (WHO, 2013).
Hasil riset WHO pada tahun 2007 menetapkan hipertensi pada peringkat tiga sebagai
faktor resiko penyebab kematian dunia. Hipertensi telah menyebabkan 62% kasus
stroke, 49% serangan jantung setiap tahunnya (Corwin, 2007).

Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil riset kesehatan tahun 2007 diketahui


bahwa prevalensi hipertensi di Indonesia sangat tinggi, yaitu rata-rata 3,17% dari total
penduduk dewasa. Hal ini berarti dari 3 orang dewasa, terdapat 1 orang yang
menderita hipertensi (Riskesdas, 2008). Hasil penelitian yang dilakukan oleh 2
Riskesdas menemukan prevalensi hipertensi di Indonesia pada tahun 2013 sebesar
25,8%. Daerah Bangka Belitung menjadi daerah dengan prevalensi hipertensi yang
tertinggi yaitu sebesar 30,9%, kemudian diikuti oleh Kalimantan Selatan (30,8%),
Kalimantan Timur (29,6%) dan Jawa Barat (29,4%) (Riskesdas, 2013). Di Provinsi
Kalimantan Timur berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah ditemukan prevalensi
sebesar 33,8% pada Kabupaten Kutai Kartanegara yang menempatkan kabupaten
tersebut menempati posisi kedua dengan prevalensi hipertensi terbanyak (Riskesdas,
2013).

Hipertensi krisis merupakan salah satu kegawatan dibidang kardiovaskular


yang sering dijumpai di instalasi gawat darurat.[1] Hipertensi krisis ditandai dengan
peningkatan tekanan darah secara akut dan sering berhubungan dengan gejala
sistemik yang merupakan konsekuensi dari peningkatan darah tersebut. Ini
merupakan komplikasi yang sering dari penderita dengan hipertensi dan
menyebabkan penanganan segera untuk mencegah komplikasi yang mengancam
jiwa.[2] Duapuluh persen pasien hipertensi yang datang ke UGD adalah pasien
hipertensi krisis. Dari 60 juta penduduk Amerika Serikat 30% diantaranya menderita
hipertensi dan hampir 1 – 2% akan berlanjut menjadi hipertensi krisis disertai
kerusakan organ target. Data mengenai hipertensi krisis di Indonesia masih belum
banyak diteliti, namun studi Multinational Monitoring of Trends and Determinants in
Cardiovacular Disease (Monica) yang dilakukan di Jakarta pada tahun 1988
menempatkan hipertensi sebagai faktor risiko utama kejadian kardiovaskular.[1] The
Seventh Report Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation and
Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) tidak menyertakan hipertensi krisis ke
dalam tiga stadium klasifikasi hipertensi, namun hipertensi krisis dikategorikan dalam
pembahasan hipertensi sebagai keadaan khusus yang memerlukan tatalaksana yang
lebih agresif.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Krisis hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan
darah yang sangat tinggi dengan kemungkinan akan timbulnya atau telah telah terjadi
kelainan organ target. Pada umumnya krisis hipertensi terjadi pada pasien hipertensi
yang tidak atau lalai meminum obat antihipertensi (Roesma, 2014). Krisis hipertensi
terjadinya peningkatan tekanan darah secara tiba-tiba dengan atau tanpa disertai
keusakan atau ancaman kerusakan organ target. Krisis hipertensi biasanya ditandai
dengan peningkatan tekanan darah diastolic yang melebihi 120-130 mmHg dan
tekanan darah sistolik mencapai 200-220 mmHg.

2.2 Epidemiologi

Hipertensi ditemukan pada semua populasi dengan angka kejadian berbeda-


beda, sebab ada faktor-faktor genetic, ras, regional, sosibudaya yang juga
menyangkut gaya hidup yang juga berbeda. Hipertensi akan makin meningkat
bersama dengan bertambahnya umur. Haisl analisa the third national health and
nutrition examination survey (NHANES III) blood pressure data, hipertensi dapat
dibagi jadi dua kategori. 26% pada populasi muda (umur < 50 tahun), terutama pada
laki-laki (23%) yang biasanya didapatkan lebih banyak IDH disbanding ISH. 74%
pada populasi tua (umur > 50 tahun) utamanya pada wanita (58%) yang biasanya
didapatkan lebih banyak ISH disbanding IDH. Hipertensi mengambil porsi sekitar
60% dari seluruh kematian dunia. Pada anak-anak yang tumbuh kembang hipertensi
meningkat mengikuti dengan pertumbuhan badan. Dengan bertambahnya umur angka
kejadian hiprtensi juga makin meningkat, sehingga diatas umur 60 tahun
prevalensinya mencapai 65,4%. Obesitas, sindroma metabolic, kenaikan berat badan
adalah faktor resiko independen untik kejadian hipertensi. Faktor asupan NaCl pada
diet sangat erta hubungannya dengan kejadian hipertensi. Mengkonsumsi alcohol,
rokok, stress kehidupan sehari-hari, kurang olahraga juga berperan dalam kontribusi
kejadian hipertensi. Bila anamnesa keluarga ada yang didapatkan hipertensi, maka
sebelum umur 55 tahun resiko menjadi hipertensi diperkirakan sekitar 4 kali
dibandingkan dengan anamnesa keluarga yang tidak didaptkan hipertensi. Setelah
umur 55 tahun, seua orang akan menjadi hipertensi (90%). Menurut NHANES 1999-
2000, prevalensi tekanan darah tinggi pada populasi denwasa yang berumur diatas 20
tahun di Amerika Serikat adalah sebagai berikut. Normal 38%, prehipertensi 31%,
hipertensi 31%.

Secara global angka kejadian hipertensi primer yang mengalami progresi


menjadi krisis hipertensi hanya kurang dari 1%. Semua hipertensi memiliki potensi
untuk berkembang menjadi krisis hipertensi. Hipertensi emergensi dan urgensi sering
dijumpai di instalasi gawat darurat yakni sekitar 27,5% dari semua kasus-kasus
emergensi yang ada.

2.3 Klasifikasi

Terdapat perbedaan beberapa penulis mengenai terminologi peningkatan darah


secara akut. Terminologi yang paing sering dipakai adalah:
1. Hipertensi emergensi (darurat), yaitu peningkatan tekanan darah sistolik > 180
mmHg atau diastoik > 120 mmHg secara mendadak disertai kerusakan organ
terget. Hipertensi emergensi harus ditanggulangi sesegera mungkin dalam satu jam
dengan memberikan obat – obatan anti hipertensi intravena.
2. Hipertensi urgensi (mendesak), yaitu peningkatan tekanan darah seperti pada
hipertensi emergensi namun tanpa disertai kerusakan organ target. Pada keadaan
ini tekanan darah harus segera diturunkan dalam 24 jam dengan memberikan obat
– obatan anti hipertensi oral.
Dikenal beberapa istilah yang berkaitan dengan hipertensi krisis antara lain:
1. Hipertensi refrakter: respon pengobatan yang tidak memuaskan dan tekanan darah
> 200/110 mmHg, walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif (triple drug)
pada penderita dan kepatuhan pasien.
2. Hipertensi akselerasi: peningkatan tekanan darah diastolik > 120 mmHg disertai
dengan kelainan funduskopi KW III. Bila tidak diobati dapat berlanjut ke fase
maligna.
3. Hipertensi maligna: penderita hipertensi akselerasi dengan tekanan darah diastolik
> 120 – 130 mmHg dan kelainan funduskopi KW IV disertai papiledema,
peninggian tekanan intrakranial, kerusakan yang cepat dari vaskular, gagal ginjal
akut, ataupun kematian bila penderita tidak mendapatkan pengobatan. Hipertensi
maligna biasanya pada penderita dengan riwayat hipertensi essensial ataupun
sekunder dan jarang pada penderita yang sebelumnya mempunyai tekanan darah
normal.
4. Hipertensi ensefalopati: kenaikan tekanan darah dengan tiba-tiba disertai dengan
keluhan sakit kepala yang hebat, perubahan kesadaran dan keadaan ini dapat
menjadi reversibel bila tekanan darah tersebut diturunkan.
Tabel 1. Klasifikasi krisis hipertensi
2.4 Patofisiologi
Faktor penyebab hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi masih belum
dipahami. Peningkatan tekanan darah secara cepat disertai peningkatan resistensi
vaskular dipercaya menjadi penyebab. Peningkatan tekanan darah yang mendadak ini
akan menyebabkan jejas endotel dan nekrosis fibrinoid arteriol kemudian berdampak
pada kerusakan vaskular, deposisi platelet, fibrin dan kerusakan fungsi autoregulasi.
Autoregulasi merupakan penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap kebutuhan dan
pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran darah
dengan berbagai tingkatan perubahan kontraksi/dilatasi pembuluh darah. Bila tekanan
darah turun maka akan terjadi vasodilatasi dan jika tekanan darah naik akan terjadi
vasokonstriksi. Pada individu normotensi, darah orak masih tetap pada fluktuasi
Mean Atrial Pressure (MAP) 60 – 70 mmHg. Bila MAP turun di bawah batas
autoregulasi, maka otak akan mengeluarkan oksigen lebih banyak dari darah untuk
kompensasi dari aliran darah yang menurun. Bila mekanisme ini gagal, maka akan
terjadi iskemia otak dengan manifestasi klinik seperti mual, menguap, pingsan dan
sinkop. Pada penderita hipertensi kronis, penyakit serebrovaskuar dan usia tua, batas
ambang autoregulasi ini akan berubah dan bergeser ke kanan pada kurva, sehingga
pengurangan aliran darah dapat terjadi pada tekanan darah yang lebih tinggi.
Peningkatan tekanan darah yang tinggi secara akut yang dapat dipicu oleh
beberapa faktor seperti kelainan hormonal tertentu, misalnya krisis tiroid, krisis
feokromositoma, kehamilan dengan preeclampsia/eklampsia, penyalahgunaan obat –
obat tertentu seperti cocaine dan amfetamin, luka bakar, trauma kepala,
glomerulonephritis akut, pembedahan dan lain – lain akan memicu terjadinya
peningkatan resistensi vascular sistemik yang selanjutnya bisa berdampak terjadinya
kerusakan organ target melalui dua jalur, yaitu peningkatan tekanan darah yang
demikian akan menimbulkan kerusakan sel – sel endotel pembuluh darah yang akan
diikuti dengan pengendapan sel – sel platelet dan fibrin sehingga menyebabkan
terjadinya nekrosis fibrinoid dan proliferasi intimal. Disisi lain terjadi peningkatan
sekresi zat – zat vasokontriktor ,seperti renninangiotensin dan katekolamin,sebagai
mekanisme kompensasi yang semakin mempertinggi peningkatan tekanan darah
sehingga terjadi pula natriuresis spontan yang mengakibatkan penurunan volume
intravascular.Kedua jalur mekanisme tersebut akan mengakibatkan peningkatan
tekanan darah yang semakin tinggi sehingga menimbulkan iskemia jaringan dan pada
akhirnya menyebabkan disfungsi organ. Kerusakan organ target yang sering dijumpai
pada pasien dengan hipertensi emergensi terutama berkaitan dengan otak, jantung dan
ginjal.
1. Sistem Saraf Pusat
Kenaikan tekanan darah yang mendadak menimbulkan reaksi vasospasme
arteriol yang hebat disertai penurunan aliran darah otak dan iskemi.
Vasospasme dan iskemi akan menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler,
nekrosis, fibrinoid, dan perdarahan kapiler yang selanjutnya mengakibatkan
kegagalan sawar darah otak sehingga timbul edema otak. Tekanan darah tinggi
yang melampaui batas regulasi dan mendadak menyebabkan kegagalan
autoregulasi sehingga tidak terjadi vaskontriksi tetapi justru vasodilatasi).
Vasodilatasi awalnya terjadi secara segmental (sesauge string pattern), tetapi
akhirnya menjadi difus. Permeabilitas segmen endotel yang dilatasi terganggu
sehingga menyebabkan ekstravasasi komponen plasma yang akhirnya
menimbulkan edema otak. Aliran darah ke otak pada penderita hipertensi kronis
tidak mengalami perubahan bila Mean Arterial Pressure ( MAP ) 120 mmHg –
160 mmHg, sedangkan pada penderita hipertensi baru dengan MAP diantara 60
– 120 mmHg. Pada keadaan hiperkapnia, autoregulasi menjadi lebih sempit
dengan batas tertinggi 125 mmHg, sehingga perubahan yang sedikit saja dari
tekanan darah menyebabkan asidosis otak akan mempercepat timbulnya edema
otak.
2. Kardiovaskular
Hipertensi kronis menyebabkan peningkatan kekakuan arteri, peningkatan
tekanan darah sistolik, dan tekanan nadi melebar. Faktor-faktor ini berperan
untuk menurunkan tekanan perfusi koroner, meningkatkan konsumsi oksigen
miokard, dan menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri. Selama hipertensi
emergensi, ventrikel kiri tidak mampu mengkompensasi kenaikan tahanan
vaskuler akut sistemik. Hal ini mengarah ke gagal ventrikel kiri dan edema paru
atau iskemia miokard.
3. Ginjal
Hipertensi kronis menyebabkan perubahan patologis pada arteri kecil
ginjal. Arteri berkembang menjadi disfungsi endotel dan vasodilatasi
terganggu, yang mengubah autoregulasi ginjal. Ketika sistem autoregulatori
ginjal terganggu, tekanan intra glomerular mulai bervariasi secara langsung
dengan tekanan arteri sistemik, sehingga menawarkan perlindungan untuk
ginjal selama fluktuasi BP. Selama krisis hipertensi, ini dapat menyebabkan
iskemia ginjal akut (Christy, 2010).

2.5 Manifestasi klinis

Manifestasi klinis hipertensi krisis berhubungan dengan kerusakan organ target


yang ada. Tanda dan gejala hipertensi krisis berbeda – beda setiap pasien. Sakit
kepala, perubahan tingkat kesadaran dan atau tanda neurologi fokal bisa terjadi pada
pasien dengan hipertensi ensefalopati. Pada pemeriksaan fisik pasien bisa saja
ditemukan retinopati dengan perubahan arteriola, perdarahan dan eksudasi maupun
papiledema. Pada sebagian pasien yang lain manifestasi kardiovaskular bisa saja
muncul lebih dominan seperti; angina, akut miokardial infark atau gagal jantung kiri
akut. Dan beberapa pasien yang lain gagal ginjal akut dengan oligouria dan atau
hematuria bisa saja terjadi. Didaptakan tekanan darah >180/120 mmHg, dan
hipertensi emergensi memiliki manifestasi klinik kerusakan pada organ target.
1. Serebral dan mata Mengetahui tanda dan gejala kerusakan target organ
terutama di otak seperti adanya nyeri kepala hebat, mual, muntah, penglihatan
kabur, penurunan kesadaran, kejang.
2. Jantung dan paru  mengetahui ada tidaknya distensi vena jugular atau
crackles pada paru, palpitasi, nyeri dada, sesak, edem pada tungkai, tidur
nyaman dengan bantal yang lebih tinggi.
3. Ginjal  poliuria, nokturia, hematuria, proteinuria, anuria.

2.6 Penegakan diagnosis

A. Anamnesis
1. Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah
2. Indikasi adanya hipertensi sekunder
3. Faktor-faktor resiko hipertensi
- Riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien atau keluarga pasien
- Riwayat hiperlipidemia pada pasien atau keluarga
- Riiwayat diabetes pada pasien dan keluarga
- Kebiasaan merokok
- Pola makan
- Kegemukan, intensitas olahraga
4. Gejala kerusakan organ
- Otak dan mata : sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan, transient
ischemic attacks, deficit sensoris atau motoris
- Jantung : palpitasi, nyeri dada, sesak, edem pada tungkai, tidur dengan
bantal tinggi (lebih dari 2 bantal)
- Ginjal : haus, poliuria, nokturia, hematuria
- Arteri perifer : ekstremitas dingin, klaudikasio intermiten
5. Penggunaan obat hipertensi sebelumnya
6. Faktor-faktor pribadi, lingkungan dan keluarga
B. Pemeriksaan fisik

Pengukuran tekanan darah dilakukan pada penderita yang dalam keadaan nyaman
dan rileks, dan tidak tertutup atau tertekan pakaian. Hal yang perlu diperhatikan
dalam pemeriksaan:
1. Pasang manset pada lengan atas dengan pusat inflatable bag diatas arteri
brakhialis, dan sisi bawah manset kurang lebih 2,5 cm diatas fossa cubiti.
Posisi lengan penderita sedikit fleksi pada siku, lengan harus di sangga,
pastikan bahwa manset setinggi jantung.
2. Lakukan pemeriksaan palpasi darah sistolik diatas arteri brakhialis, manset
dipompa atau dikembangkan sampai kurang lenih 30 mmHg diatas tingkat
dimana pulsasi mulai tidak teraba, kemudian manset pelan-pelan
dikendurkan.
3. Selanjutnya stetoskop diletakkan diatas arteri brakhialis, kemudian manset
dipompa kembali dan tentukan sistolik dan diastolic. Pengukuran harus
dilakukan pada lengan kanan dan kiri. Normal antara kanan dan kiri
terdapat perbedaan 5-10 mmHg.

C. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang pada pasien hipertensi terdiri atas : tes darah rutin,
glukosa darah, kolesterol total serum, kolesterol HDL dan LDL serum, trigliserida
serum, asam urat serum, kreatinin serum, kalium serum, hemoglobin dan
hematokrit, urinalisis, dan elektrokardiogram. Beberapa pedoman penanganan
hipertensi menganjurkan tes lain seperti : ekokardiogram, USG karotis, C-reaktive
protein, mikroalbuminuria atau perbandingan albumin atau kreatinin urin.
Evaluasi pasien hipertensi juga diperlukan untuk menentukan adanya penyakit
peneyerta sisitemik, yaitu : aterosklerosis (melalui pemeriksaan profil lemak),
diabetes (pemeriksaan gula darah), fungsi ginjal (pemeriksaan proteinuria,
kreatinin serum, serta memperkirakan laju filtrasi glomerulus).

D. Pemeriksaan kerusakan organ target


Pada pasien hipertensi beberapa pemeriksaan untuk menentukan adanya
kerusakan organ target dapat dilakukan secara rutin, sedangkan pemeriksaan
lainnya hanya dilakukan bila ada keceurigaan yang didukung oleh keluhan dan
gejala pasien. Pemeriksaan untuk mengevaluasi adanya kerusakan organ target
meliputi:
1. Jantung : pemeriksaan fisik, foto polos dada (untuk melihat adanya
pembesaran jantung, kondisi arteri intrathorax, dan sirkulasi pulmoner),
elektrokardiografi (untuk deteksi iskemia, gangguan konduksi, aritmia,
serta hipertrofi ventrikel kiri), ekokardiografi.
2. Otak : pemeriksaan neurologis, diagnosis stroke ditegakkan dengan
menggunakan ct scan atau MRI ( untuk pasien dengan keluhan neural,
kehilangan memori atau gangguan kognitif)
3. Mata : fundoskopi retina
4. Ginjal : pemeriksaan fungsi ginjal dan penentuan adanya proteinuria atau
makroalbumin serta rasio albumin kreatinin urin, laju filtrasi glomerulus.
2.7 Tatalaksana

1. Hipertensi Urgensi

A. Penatalaksanaan Umum

Manajenem penurunan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi urgensi


tidak membutukan obat-obatan parenteral. Pemberan obat-obatan oral aksi cepat akan
memberi manfaat untuk menurunkan tekanan darah dalam 24 jam awal (Mean
Arterial Pressure (MAP) dapat diturunkan tidak lebih dari 25%). Pada fase awal goal
standar penurunan tekanan darah dapat diturunkan sampai 160/110 mmHg.
Penggunaan obat-obatan anti-hipertensi parenteral mauun oral bukan tanpa resiko
dalam menurunkan tekanan darah. Pemberian loading dose obat oral antihipertensi
dapat menimbulkan efek akumulasi dan pasien akan mengalami hipotensi saat pulang
ke rumah. Optimalisasi penggunaan kombinasi obat oral merupakan pilihan terapi
untuk pasien dengan hipertensi urgensi.

B. Obat – obatan spesifik untuk hipertensi urgensi


 Captopril adalah golongan angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor
dengan onset mulai 15 – 30 menit. Captopril dapat diberikan 25 mg sebagai dosis
awal kemudian tingkatkan dosisnya 50 – 100 mg setelah 90 – 120 menit
kemudian. Efek yang sering terjadi yaitu batuk, hipotensi, hiperkalemia,
angioedema, dan gagal ginjal (khusus pada pasien dengan stenosis pada arteri
renal bilateral).
 Nicardipine adalah golongan calcium channel blocker yang sering digunakan
pada psien dengan hipertensi urgensi. Pada penelitian yang dilakukan pada 53
pasien dengan hipertensi urgensi secara random terhadap penggunaan nicardipin
atau plasebo. Nicardipin memiliki efektifitas yang mencapai 65% dibandingkan
plasebo yang mencapai 22% (P=0,002). Penggunaan dosis oral biasanya 30 mg
dan dapat diulang setiap 8 jam hingga tercapai tekanan darah yang diinginkan.
Efek samping yang sering terjadi seperti palpitasi, berkeringat dan sakit kepala.
 Labetolol adalah gabungan antara α1 dan β-adrenergic blocking dan memiliki
waktu kerja mulai antara 1 – 2 jam. Dalam penelitian labetolol memiliki dose
range yang sangat lebar sehingga menyulitkan dalam penentuan dosis. Penelitian
secara random pada 36 pasien, setiap group ada yang diberikan dosis 100, 200
dan 300 mg secara oral dan menghasilkan penurunan tekan darah sistolik dan
diastolik secara signifikan. Secara umum labetolol dapat diberikan mulai dari
dosi 200 mg secara oral dan dapat diulangi setiap 3 – 4 jam kemudian. Efek
samping yang sering muncul adalah mual dan sakit kepala.
 Clonidin adalah obat-obatan golongan simpatolitik sentral (α2-adrenergic
receptor agonist) yang memiliki onset kerja antara 15 – 30 menit dan puncaknya
antara 2 – 4 jam. Doasi awal bisa diberikan 0,1 – 0,2 mg kemudian berikan 0,05
– 0,1 setiap jam sampai tercapainya tekanan darah yang diinginkan, dosis
maksimal adalah 0,7 mg. efek samping yang sering terjadi adalah sedasi, mulut
kering dan hipotensi ortostatik.
 Nifedipine adalah golongan calcium channel blocker yang memiliki pucak kerja
antara 10 – 20 menit. Nifedipine kerja cepat tidak dianjurkan oleh FDA untuk
terapi hipertensi urgensi kerana dapat menurunkan tekanan darah yang mendadak
dan tidak dapat diperidisikan sehingga berhungan dengan kejadian strok. Pada
tahun 1995 National Heart, Lung, and Blood Institute meninjau kembali bukti
keamanan tentang penggunaan obat golongan Ca channel blocker terutama
nifedipine kerja cepat harus digunakan secara hati-hati terutama pada
penggunaan dosis besar untuk terapi hipertensi.

2. Hipertensi emergensi

A. Penatalaksanaan Umum

Terapi hipertensi emergensi harus disesuaikan setiap individu tergantung pada


kerusakan organ target. Managemen tekanan darah dilakukan dengan obatobatan
parenteral secara tepat dan cepat. Pasien harus berada di dalam ruangan ICU agar
monitoring tekanan darah bisa dikonrol dengan pemantauan yang tepat. Tingkat
ideal penurunan tekanan darah masih belum jelas, tetapi Penurunan Mean Arterial
Pressure (MAP) 10% selama 1 jam awal dan 15% pada 2 – 3 jam berikutnya.
Penurunan tekanan darah secara cepat dan berlebihan akan mengakibatkan jantung
dan pembuluh darah orak mengalami hipoperfusi.

B. Penatalaksanaan khusus untuk hipertensi emergensi


 Neurologic emergency. Kegawat daruratan neurologi sering terjadi pada
hipertensi emergensi seperti hypertensive encephalopathy, perdarahan
intrakranial dan strok iskemik akut. American Heart Association
merekomendasikan penurunan tekanan darah > 180/105 mmHg pada
hepertensi dengan perdarahan intrakranial dan MAP harus dipertahankan di
bawah 130 mmHg. Pada pasien dengan strok iskemik tekanan darah harus
dipantau secara hati-hati 1 – 2 jam awal untuk menentukan apakah tekanan
darah akan menurun secara sepontan. Secara terus-menerus MAP
dipertahakan > 130 mmHg.
 Cardiac emergency. Kegawat daruratan yang utama pada jantung seperti
iskemik akut pada otot jantung, edema paru dan diseksi aorta. Pasien dengan
hipertensi emergensi yang melibatkan iskemik pada otot jantung dapat
diberikan terapi dengan nitroglycerin. Pada studi yang telah dilakukan, bahwa
nitroglycerin terbukti dapat meningkatkan aliran darah pada arteri koroner.
Pada keadaan diseksi aorta akut pemberian obatobatan β-blocker (labetalol
dan esmolol) secara IV dapat diberikan pada terapi awal, kemudian dapat
dilanjutkan dengan obat-obatan vasodilatasi seperti nitroprusside. Obat-obatan
tersebut dapat menurunkan tekanan darah sampai target tekan darah yang
diinginkan (TD sistolik > 120 mmHg) dalam waktu 20 menit.
 Kidney failure. Acute kidney injury bisa disebabkan oleh atau merupakan
konsekuensi dari hipertensi emergensi. Acute kidney injury ditandai dengan
proteinuria, hematuria, oligouria dan atau anuria. Terapi yang diberikan masih
kontroversi, namun nitroprusside IV telah digunakan secara luas namun
nitroprusside sendiri dapat menyebabkan keracunan sianida atau tiosianat.
Pemberian fenoldopam secara parenteral dapat menghindari petensi keracunan
sianida akibat dari pemberian nitroprusside dalam terapi gagal ginjal
 Hyperadrenergic states. Hipertensi emergensi dapat disebabkan karena
pengaruh obat – obatan seperti katekolamin, klonidin dan penghambat
monoamin oksidase. Pasien dengan kelebihan zat-zat katekolamin seperti
pheochromocytoma, kokain atau amphetamine dapat menyebabkan over
dosis. Penghambat monoamin oksidase dapat mencetuskan timbulnya
hipertensi atau klonidin yang dapat menimbukan sindrom withdrawal. Pada
orang – orang dengan kelebihan zat seperti pheochromocytoma, tekanan darah
dapat dikontrol dengan pemberian sodium nitroprussid (vasodilator arteri)
atau phentolamine IV (ganglion-blocking agent). Golongan β-blockers dapat
diberikan sebagai tambahan sampai tekanan darah yang diinginkan tercapai.
Hipertensi yang dicetuskan oleh klonidin terapi yang terbaik adalah dengan
memberikan kembali klonidin sebagai dosis inisial dan dengan penambahan
obat-obatan anti-hipertensi yang telah dijelaskan di atas.
2.8 Prognosis

Sebelum ditemukannya obat anti-hipertensi yang efektif harapan hidup penderita


hipertensi maligna kurang dari 2 tahun, dengan penyebab kematian tersering adalah
strok, gagal ginjal dan gagal jantung. Kematian disebabkan oleh uremia (19%), gagal
jantung kongestif (13%), cerebro vascular accident (20%), gagal jantung kongestif
disertai uremia (48%), infark miokard (1%) dan diseksi aorta (1%). Prognosis
menjadi lebih baik berkat ditemukannya obat yang efektif dan penanggulangan yang
tepat pada dekade terakhir.
BAB III

ANALISA KASUS

Nama Tn. Armansyah


Umur 69 Tahun 11 bulan 11 hari
Agama Islam
Alamat Dusun II kijang safa
Pekerjaan -
Status perkawinan Menikah
No rekam medik 165708
Tanggal masuk 12 Desember 2018 Jam : 21.47 WIB

Anamnesis

• Keluhan utama : Nyeri perut ± 21 minggu yang lalu SMRS

• Riwayat penyakit sekarang: Pasien datang dengan keluhan nyeri perut ± 1


minggu yang lalu SMRS. Nyeri perut dirasakan hilang timbul dan
mengeluhkan mual dan muntah tiap mau makan. Pasien tidak mengeluhkan
demam, pusing, maupun batuk. Pasien juga mengeluhkan sudah sejak 1
minggu tidak BAB.

• Riwayat penyakit dahulu: Pasien sebelumnya belum pernah mengalami hal


yang sama. Pasien memiliki riwayat tekanan darah tinggi yang tidak
terkontrol, dan mengaku memiliki kadar kolesterol yang tinggi. Pasien tidak
memiliki riwayat gula darah tinggi

• Riwayat penyakit keluarga: Keluarga pasien tidak ada mengalami hal yang
sama dan pada keluarga ayah pasien tidak mengetahui apakah memiliki
riwayat hipertensi dan tidak ada yang memiliki riwayat DM
Resume Anamnesis :

Tn. A datang diantar oleh keluarganya ke Rumah Sakit Umum Daerah


Bangkinang pada tanggal 12 Desember 2018 Jam : 21.47 WIB dengan nyeri pada
perut ± 1 minggu yang lalu SMRS, sesak semakin meningkat ketika pasien
beraktivitas, nyeri uluh hati (+), mual (-), muntah(-) batuk (-) .

III. PEMERIKSAAN TANDA VITAL (VITAL SIGN)

Dilakukan pada tanggal : 12 Desember 2018 pukul: 21.47 WIB

Tekanan darah : 230/120 mmHg

Suhu tubuh : 36,0oC

Frekuensi denyut nadi : 90 kali/menit

Frekuensi nafas : 20 kali/menit

IV. PEMERIKSAAN FISIK DIAGNOSTIK :

IV. A. Keadaan Umum

GCS : 15 (E4V5M6)

Kesadaran : Komposmentis

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Tinggi badan : 171 cm

Berat badan : 83 kg

Indeks Massa Tubuh : 31,25 (Overwight)


Skema manusia

Status Lokalis : Tidak tampak kelainan lokal

IV.B. Pemeriksaan Kepala : Normochepal, deformitas (-), rambut rontok (-),


konjungtiva anemis (+), sklera ikterik (-),
hidung dalam batas normal, dan bibir sianosis
(-),

IV.C. Pemeriksaan Leher

Inspeksi : Leher tampak simetris, benjolan/massa (-).

Palpasi : Massa (-), nyeri tekan (-), pembesaran kelenjar


getah bening (-), peningkatan vena jugularis (-
).

Pemeriksaan trakea : Posisi trakea simetris, deviasi trakea (-)

Pemeriksaan kelenjar tiroid : Pembesaran kelenjar tiroid (-), nyeri tekan (-)
IV.D. Pemeriksaan Thoraks

a. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat,
Palpasi : Kuat angkat, ictus cordis teraba di ICS VI
linea midclavikula sinistra.
Perkusi :
Kanan atas jantung : ICS III linea sternalis dextra
Kanan bawah jantung : ICS IV linea parasternal dextra
Kiri atas jantung : ICS III linea midsternalis sinistra
Kiri bawah jantung : ICS VI linea aksilaris anterior
sinistra
Auskultasi : BJ I-II regular, bising (-), murmur (-), gallop -
b. Paru

Inspeksi : Tampak pergerakan dinding dada simetris


kanan dan kiri, scar (-/-), retraksi dinding dada
(-/-).

Perkusi : sonor di kedua lapang paru.

Palpasi : Ditemukan pergerakan fremitus taktil menurun


di lapang paru dextra bawah dan nyeri tekan (-
/-)

Auskultasi : Suara napas bronchial + di lapangan paru


kanan, wheezing (-/-), ronchi basah (-/-).

IV.E. Pemeriksaan Abdomen:

Inspeksi : Datar, scar (-), massa/tumor (-), peristaltic (-).

Auskultasi : Bising usus (+) kesan menurun


Perkusi : Timpani

Palpasi : nyeri tekan ke 4 kuadran (-), massa/tumor (-


),nyeri tekan epigastrium (-).

Pemeriksaan ginjal : Tidak dilakukan

Pemeriksaaan hepar : Palpasi hepar tidak teraba

Pemeriksaan lien : Palpasi lien tidak teraba

IV.F. Pemeriksaan Ekstremitas:

Superior Inferior
Akral dingin (-/-) (-/-)
Edema (-/-) (-/-)
Sianosis (-/-) (-/-)

V. RESUME PEMERIKSAAN FISIK :

Pada pemeriksaan fisik didapatkan tingkat kesadaran komposmentis, keadaan


umum tampak sakit sedang, suhu 36,5oC, status IMT Overweight, Pada pemeriksaan
thoraks, ictus kordis teraba di SIC VI line midclavicula sinistra. Pada pemeriksaan
abdomen, perut tampak datar, bising usus (+).

VI. DAFTAR MASALAH PASIEN (BERDASARKAN DATA ANAMNESIS


DAN PEMERIKSAAN FISIK)
a. Hipertensi, anemia, psmba

VII. RENCANA
VII.A. Tindakan Terapi:
a. Farmakologi
- IVFD Nacl 0,9% 12 tpm
- Injeksi Furosemid 2X1
- Dioxan peroral 160 1x1
- Amblodipin peroral 10 1x1
- Bisoprolol 2.5 1x1
- Tranfusi 3 lb PRC

b. Terapi non-farmakologi
- Tirah baring
- Diet rendah garam
VII.B. Tindakan Diagnostik/PemeriksaanPenunjang:
- Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Penunjang
Radiologi : Tidak dilakukan

EKG : Tidak dilakukan

Laboratorium :
Darah Rutin :
Hb : 7,5 g/dl (13-18)
Eritrosit : 3,0 (4,5-6,5)
Leukosit : 15,7 106 /mm3 (5-11)
Hematokrit : 21,9 % (37-47)
MCV : 73.0 (80-96)
MCH : 25,0 (30-35)
Tromobosit : 326 103/mm3 (150-450)
Hitung jenis leukosit
Eosinofil : 3,6 % (1-3)
Basofil : 0,7 % (0-1)
Netrofil segmen : 71,2 % (50-70)
Limfosit : 14,2 % (20-40)
Monosit : 10,3 % (2-8)

Diabetes:
Glukosa Darah (Stick) : 136 mg/dl (<=150)

Fungsi ginjal:
Creatinin : 2,4 mg/dl (0,5-1,4)
Ureum : 30 mg/dl (10-50)

Follow up

Tanggal S O A P
pemeriksaan
13-12-2018 Sesak, tidak TD: HT+PSMBA IVFD NS 12 TPM
bisa tidur 130/80 mmHg Inj. Furosemid 2X1
malam, nyeri T : 35,8 oC Inj. Ranitidin / 24 jam
dada, nyeri N : 93 x/min P/O:
perut, kaki R : 28 x/min - Dioxan 160 : 1x1
dan tangan - Amblodipin 10 : 1x1
bengkak - Bisoprolol 2,5 mg :
1x1

14-12-2018 Sesak, tidak TD: HT+PSMBA IVFD NS 12 TPM


bisa tidur 120/80mmHg Inj. Furosemid 2X1
malam,nyeri N: 80x/min Inj. Ranitidin / 24 jam
perut, kaki R: 24x/min P/O:
dan tangan T : 36,0°C - Dioxan 160 : 1x1
bengkak - Amblodipin 10 : 1x1
- Bisoprolol 2,5 mg :
1x1

15-12-2018 Penurunan TD:97/65mmHg HT+PSMBA IVFD NS 12 TPM


kesadaran N: 102x/min Inj. Furosemid 2X1
R: 26x/min Inj. Ranitidin / 24 jam
T : 38,4°C P/O:
NGT + - Dioxan 160 : 1x1
O2 + - Amblodipin 10 : 1x1
Kateter + - Bisoprolol 2,5 mg :
1x1
PEMBAHASAN

DAFTAR PUSTAKA

Bisognano JD. Malignant Hypertension. Medscape Article [data base on the internet]
2013. [cited February 22, 2013]. pp. 43 – 50. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/241640-overview#showall.

Derhaschnig U, Testori C, Riedmueller E, et al. Hypertensive emergencies are


associated with elevated markers of inflammation, coagulation, platelet activation and
fibrinolysis. J Hum Hypertens 2013;27:368-73

Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, et al. Harrison's
Principles of Internal Medicine. Seventeenth Edition. [text books of internal
medicine] 2008. United States of America: The McGraw-Hill Companies.

Hopkins C. Hypertensive Emergencies in Emergency Medicine. Medscape Article


[data base on the internet] 2011. [cited on February 22, 2003]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1952052overview?
pa=3QEKRWRb083C64sgKB3xlATWV3tEcYgMKwy9Z49iwNgDq%2F
iI01G9ar41BQtDWBtiLCEJNCrbkqLWYvqLrhntWA%3D%3D#showall.

Immink RV, Born BH, Montfrans GA, Koopmans RP, Karemaker JM, et al. Impaired
Cerebral Autoregulation in Pasient with Malignant Hypertension. Journal of the
American Heart Association [database on the internet] 2004. [cited February 24,
2013]. 110:2241-2245. Available from:
http://circ.ahajournals.org/content/110/15/2241.full.pdf.

Madhur MS. Hypertension. Medscape Article. [database on the internet] 2012. [cited
February 2013, 21]. Vol.3, No.4 :163-8. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/241381overview?pa=g9YPJFBPkO
n%2FxeT6PfGOhnN48mGJ4tbjfnC6TtgPW0i5S6p0rRh8mklVRUL%2B1
hDX56MI7dGTgNawPfsOtJla9Q%3D%3D#showall.

Majid A. Krisis Hipertensi Aspek Klinis dan Pengobatan. USU Digital Library
[database on the internet] 2004. [cited February 2013, 21]. Available from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1999/1/ fisiologi-abdul % 20
majid.pdf.

Rampengan SH. Krisis Hipertensi. Hipertensi Emergensi dan Hipertensi Urgensi.


BIK Biomed. [database on the internet] 2007. [cited February 2013, 21]. Vol.3, No.4
:163-8. Available from: http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/3408163168.pdf.

Roesma, J. (2014). Krisis Hipertensi. Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
VI:2300-2302

Saguner AM, Dür S, Perrig M, Schiemann U, Stuck AE, et al. Risk Factors
Promoting Hypertensive Crises: Evidence From a Longitudinal Study. Am J
Hypertens [database of Nature Publishing Group] 2010. [cited February 2013, 21].
23:775-780. Available from: http://ajh.oxfordjournals. org/content /23/7/775. full.pdf.

Thomas L. Managing Hypertensive Emergency in the ED. Can Fam Physician


[article on the internet] 2011. [cited February 2013, 22]. 57:1137-41. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3192077/pdf/0571137.pdf.

Yogiantoro, M. (2014). Pendekatan Klinis Hipertensi. Pusat Penerbit Ilmu Penyakit


Dalam. Edisi VI:2259-2283

Whelton PK, Carey RM, Aronow WS. (2017). guideline for the prevention, detection,
evaluation, and management of high blood pressure in adults: a report of the
American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Clinical
Practice Guidelines [published online ahead of print November 13, 2017].
Hypertension. doi: 10.1161/ HYP.0000000000000065.

Anda mungkin juga menyukai