Anda di halaman 1dari 5

Menigkatkan Industri Ekonomi Kreatif Indonesia di ASEAN

Ekonomi kreatif merupakan suatu bentuk kegiatan ekonomi dengan bermodalkan gagasan.
Kemampuan dari suatu gagasan untuk dikombinasikan dengan nilai seni, teknologi,
pengetahuan, dan budaya menjadi suatu peluang besar untuk menciptakan pengembangan
ekonomi Indonesia. Perkembangan ekonomi global akhir-akhir ini memberikan sinyal akan
pentingnya peningkatan kemandirian dan daya saing sebuah negara di dunia internasional,
apalagi Indonesia akan dihadapkan dengan implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA), yang pelaksanaannya akan dimulai pada 31 Desember 2015.
Pemberlakuan MEA dapat dimaknai sebagai harapan akan prospek dan peluang bagi
kerjasama ekonomi antar kawasan dalam skala yang lebih luas, melalui integrasi ekonomi
regional kawasan Asia Tenggara, yang ditandai dengan terjadinya arus bebas (free flow):
barang, jasa, investasi, tenaga kerja, dan modal. Ini juga akan menjadikan kawasan ASEAN
yang lebih dinamis dan kompetitif.
Dengan hadirnya MEA, Indonesia sejatinya memiliki peluang untuk memanfaatkan
keunggulan dengan meningkatkan skala ekonomi aggregate, sebagai dasar untuk
memperoleh keuntungan, dengan menjadikannya sebagai sebuah momentum untuk
memacu pertumbuhan ekonomi. Bagi Indonesia, MEA akan menjadi peluang karena
hambatan perdagangan akan cenderung berkurang bahkan perdagangan antar negara
ASEAN menjadi bebas tanpa hambatan. Hal tersebut akan berdampak pada peningkatan
ekspor yang pada akhirnya akan meningkatkan GDP Indonesia.
Namun sebaliknya, pemberlakuan MEA 2015 akan dapat menjadikan kita sebagai
konsumer, yang ditandai dengan hanya menjadi pasar impor. Apabila tanpa persiapan yang
matang dalam meningkatkan produktivitas, efesiensi, dan daya saing. Apalagi saat ini
Indonesia adalah pengimpor pangan yang sangat besar. Jika tidak mampu meningkatkan
produksi pangannya secara mandiri, Indonesia akan terus mengalami defisit neraca
perdagangan yang berdampak pada melemahnya nilai Rupiah.
Produktivitas yang tinggi mencerminkan daya saing tinggi dan daya saing tinggi
berpotensi menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Untuk bisa menjadi negara
dengan daya saing tinggi harus ada beberapa yang harus terpenuhi diantaranya meliputi
infrastruktur, kualitas birokrasi, stabilitas ekonomi makro, serta pendidikan, yang
kesemuanya bermuara pada upaya meningkatkan daya saing ekonomi.
Kreativitas akan menjadi aktivitas ekonomi mendatang, menggantikan fokus kini
pada informasi. Menurut sejarah, agrikultur, perindustrian, dan informasi merupakan hal
yang dominan dalam aktivitas ekonomi manusia. Prediksinya menempatkan kreativitas
dalam paradigma kategori historis yang membentuk sejarah ekonomi manusia dari sejak
permulaan waktu. Maka, seperti halnya revolusi industri menggantikan agrikultur sebagai
aktivitas ekonomi dominan, kreativitas pun akan menggantikan abad informasi sebagai
fokus dominan ekonomi global (Nomura Research Center).
Meningkatnya daya saing Indonesia tercermin dari laporan Forum Ekonomi Dunia
atau World Economic Forum (WEF), yang merilis Indeks Daya Saing Global 2014-2015.
Dalam rilis itu dikemukakan, daya saing Indonesia naik 4 tingkat menjadi peringkat 34 dari
144 negara di dunia. Peringkat Indonesia mengungguli Spanyol (35), Portugal (36), Filipina
(52), Rusia (53), Brasil (57), India (71), Yunani (81), Mesir (119) dan Pakistan (129). Pada
tahun 2012 daya saing Indonesia ada pada peringkat 50, tahun 2013 urutan ke-38 dan tahun
ini menempati urutan ke-34.
Membaiknya daya saing Indonesia antara lain ditopang oleh pertumbuhan ekonomi
nasional di atas 5% per tahun sejak 2005. Di tengah melambatnya perekonomian global.
Peningkatan daya saing Indonesia juga banyak didorong oleh kemajuan pembangunan
infrastruktur. Meskipun infrastruktur kita masih banyak masalah, namun dalam kurun waktu
5 tahun terakhir progresnya cepat, terutama infrastruktur konektivitas.
Selain itu ada beberapa fakta yang dikemukakan oleh McKinsey Global Institute:
Bahwa Indonesia hari ini menduduki kekuatan ekonomi peringkat 16 di dunia dan kuat
kemungkinan akan duduk manis di peringkat tujuh ekonomi terkuat di dunia pada tahun
2030, dan Indonesia memiliki populasi anak muda yang tumbuh cepat di daerah urban,
faktor ini memberi kekuatan tersendiri untuk meningkatkan pemasukan negara.
Fakta tersebut memberi peluang yang sangat besar bagi para pelaku ekonomi
kreatif di Indonesia. Namun hal tersebut juga bisa menjadi bumerang tatkala pemerintah
Indonesia tidak menggenjot dan mendukung kegiatan ekonomi kreatif di Indonesia sehingga
ditakutkan konsumen potensial ini akan dipikat oleh produk-produk kreatif dari luar negeri
dan pada akhirnya kita hanya menjadi bangsa konsumen seperti yang kita alami selama ini.
Pemerintah RI terus meningkatkan komitmennya dalam mendukung optimalisasi daya saing
guna memacu produktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, dengan terbitnya
Inpres No. 6 Tahun 2014 pada 1 September 2014.
Melalui Inpres tersebut, Presiden RI menginstruksikan kepada jajaran pemerintah di
seluruh Indonesia, untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan tugas,
fungsi, dan kewenangan masing-masing secara terkoordinasi dan terintegrasi untuk
meningkatkan daya saing nasional dan melakukan persiapan pelaksanaan MEA yang akan
dimulai pada Tahun 2015.
Diharapkan melalui Inpres tersebut peningkatan daya saing dapat terus ditingkatkan,
utamanya dengan mengedepankan beberapa strategi dasar di antaranya:

1. Pengembangan industri nasional yang berfokus pada pengembangan industri prioritas


dalam rangka memenuhi pasar ASEAN; pengembangan industri dalam rangka
mengamankan pasar dalam negeri. Selanjutnya, pengambangan industri kecil menengah;
pengembangan SDM dan penelitian; dan penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI).
2. Pengembangan pertanian, dengan fokus pada peningkatan investasi langsung di sektor
pertanian, dan peningkatan akses pasar.
3. Pengembangan kelautan dan perikanan, dengan fokus pada penguatan kelembagaan dan
posisi kelautan dan perikanan; penguatan daya saing kelautan dan perikanan; penguatan
pasar dalam negeri; dan penguatan dan peningkatan pasar ekspor.
4. Pengembangan energi, yang fokus pada pengembangan sub sektor ketenagalistrikan dan
pengurangan penggunaan energi fosil (Bahan Bakar Minyak); sub sektor energi baru,
terbarukan dan konservasi energi; dan peningkatan pasokan energi dan listrik agar dapat
bersaing dengan negara yang memiliki infrastruktur lebih baik.
5. Selain itu masih ada sepuluh sektor pengembangan lainnya, yang meliputi pengembangan
infrastruktur; pengembangan sistem logistik nasional; pengembangan perbankan; investasi;
usaha mikro, kecil, dan menengah; tenaga kerja; kesehatan; perdagangan; kepariwisataan;
dan kewirausahaan.

Peningkatan daya saing Indonesia juga banyak didorong oleh kemajuan pembangunan
infrastruktur. Meskipun infrastruktur kita masih banyak masalah, namun dalam kurun waktu 5
tahun terakhir progresnya cepat, terutama infrastruktur konektivitas.Kenaikan peringkat daya
saing Indonesia seyogyanya dapat terus diupayakan percepatannya dalam menghadapi
persaingan MEA 2015 mendatang, strategi utama yang dapat dipertimbangkan adalah memacu
percepatan reformasi birokrasi.Hal ini didasari atas kenyataan masih belum
kondusifnya dukungan birokrasi dalam mengoptimalkan peningkatan daya saing, terutama
terkait dengan mengembangkan kemudahan berbisnis (doing business) sebagai salah satu tolok
ukur utama daya saing negara.Dari berbagai riset dan literatur sudah diidentifikasi bahwa
rendahnya kapasitas kelembagaan birokrasi merupakan penyebab rendahnya tingkat
kemudahan menjalankan bisnis di Indonesia.Hal ini kontraproduktif dengan proyeksi semakin
meningkatnya kompleksitas pengelolaan makroekonomi jelang pemberlakuan MEA
2015, yang memerlukan penguatan dan peningkatan kapasitas institusional secara memadai
dan berkesinambungan.Kapasitas kelembagaan birokrasi bukan hanya mencakup institusi yang
efisien, namun juga jajaran staf birokrasi yang berkualitas dan regulasi yang kondusif bagi
pengembangan iklim investasi.Survei yang dilakukan Bank Dunia juga menunjukkan korelasi
kuat antara tingkat kemudahan menjalankan bisnis dan tingkat daya saing ekonomi. Masalah
pemberdayaan kelembagaan birokrasi tampaknya memang menjadi soal sangat serius bagi
Indonesia ke depannya.
Upaya-upaya berkelanjutan dalam menciptakan efektif dan efisiensi birokrasi
seyogyanya menjadi upaya bersama untuk diwujudkan percepatannya. Kementerian/lembaga
yang terkait dengan pelayanan publik harus menjadi aktor-aktor utama perubahan kelembagaan
yang lebih baik yang diikuti dengan kesamaan dalam menerjemahkan visi sampai dengan level
birokrasi di pemerintah daerah.Di tingkat daerah, pemerintah daerah seyogyanya mengubah
paradigma penggalian pendapatan daerah yang bersumber dari pungutan daerah, serta
menjadikan pemodal atau investor yang akan menanamkan modalnya di daerah sebagai pihak
yang membutuhkan pelayanan yang baik.
Harus dipahami bahwa persaingan di tingkat regional Asean, Asia, bahkan global, akan
menghadapkan birokrasi pemerintahan Indonesia dengan negara-negara lain. Maka, unsur
birokrasi pemerintahan pada level pusat dan daerah, harus bersiap diri untuk berkompetisi
dengan birokrat dari negara-negara lain.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) untuk basis inovasi di
kelembagaan pemerintahan juga perlu dilakukan karena arah birokrasi ke depan adalah otomasi
atau bahkan digitalisasi yang akan makin mengefisienkan roda birokrasi.Implementasi prinsip-
prinsip effective and efficient government dengan menata ulang struktur birokrasi, memacu daya
adaptasi birokrasi terhadap perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan, merupakan kata
kunci dalam mengoptimalkan peran kelembagaan birokrasi bagi peningkatan daya saing
nasional.

Dari sisi SDM, perlu terus diupayakan membangun meritokrasi sistem staffing birokrasi,
melalui implementasi open recruitment, dengan open recruitment, diharapkan akan
didapatkan calon-calon yang kapabel untuk memegang jabatan tertentu.

Menata ulang kelembagaan dan SDM birokrasi seyogyanya menjadi prioritas pada semua
tataran birokrasi, mengingat semakin ketatnya persaingan ekonomi kawasan pada masa
mendatang.

Ketatnya persaingan akan menjadikan semakin sentralnya peran birokrasi sebagai “center of
activity” yang menjamin akselerasi berbagai implementasi kebijakan dan program yang
dirancang untuk memenangkan persaingan jelang MEA 2015.

Birokrasi harus mampu memberi sumbangsih dalam pemberdayaan masyarakat, menjadi


katalisator dan inovator serta membangun kompetisi dalam arti positip, menjadikan birokrasinya
saling bersaing, antar bagian dalam memberikan pendampingan dan penyediaan regulasi dan
barang-barang kebutuhan publik.

Transformasi jiwa-jiwa entrepreneurship ke dalam birokrasi dapat menjadi alternatif solusi


dalam menjawab tantangan tersebut, mewirausahakan birokrasi sejatinya adalah sebuah usaha
reformasi birokrasi dari aspek sumber daya manusia, yang dapat dilakukan paralel
dengan usaha untuk mereformasi birokrasi dari aspek sistem dan kelembagaan birokrasi yang
ada.

Mentransformasikan jiwa-jiwa entrepreneurship ke dalam birokrasi, membangun pemerintahan


yang kompetitif dan berwawasan ke depan, sebagaimana konsepsi David Osborne dan Ted
Gaebler dalam buku “Reinventing Goverment” tampaknya layak dipertimbangkan dalam
menyongsong pemberlakuan MEA 2015.

Mengembangkan spirit wirausahawan pada birokrasi dapat menjadi alternatif pilihan dalam
memenangkan persaingan MEA 2015, dengan mewirausahakan birokasi akan menghasilkan
individu-individu birokrasi yang beroreintasi kepada tindakan yang bermotivasi tinggi dalam
menjalankan tugas-tugasnya, efesien, kreatif dan inovatif dalam memasarkan potensi unggulan
daerah, agar memiliki nilai tambah ekonomi tinggi.

Sikap-sikap mental yang positif dari jiwa-jiwa entrepreneurship dapat menjadi sebuah daya yang
besar dalam mengoptimalkan kinerja birokrasi dalam mengembangkan investasi, mengatasi
masalah ketenagakerjaan, pembangunan infrastruktur dan mengembangkan ekonomi kreatif.
Optimalisasi kinerja birokrasi sangat dibutuhkan dalam memenangkan kompetisi yang terjadi di
segala lini dari mulai persaingan mendapatkan investasi, kualitas dan harga jual produk ekspor,
pasar tenaga kerja, kualitas infrastruktur, hingga regulasi yang pro-investasi.

Anda mungkin juga menyukai