Reformasi Gereja Oleh Martin Luther: Pendahuluan

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 12

REFORMASI GEREJA OLEH MARTIN LUTHER

Pendahuluan
Reformasi gereja bukan merupakan hal yang baru lagi dalam lingkungan Kristiani
terlebih ddalam kalangan Kristen Protestan. Bila berbicara tentang reformasi maka tidak akan
terlepas dari pengaruh Renaisanns (abad pencerahan) dan humanisme yang terjadi di Eropa.
Keduanya memberi aspirasi baru bagi kehidupan manusia hingga saat sekarang.
Renaisanns yang terjadi pada akhir abad 14-17 dan puncaknya pada tahun 1500 telah
membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia. Manusia mulai melihat kembali
siapakah dia yang sebenarnya, sehingga manusia mulai keluar dari kehidupannya yang
sebelumnya. Pada masa ini juga mulai muncul bahasa Jerman (bahasa nasional). Ada
beberapa penyebab berkembangnya Renaissans ini, yaitu

1. Asimilasi pengetahuan dan kebudayaan Yunani dan Arab


2. Struktur sosial dan politik Italia bukan sebagai suatu kesatuan politik lagi melainkan
negara-negara kecil dan wilayah yang memiliki kebebasan politik, dan
3. Kematian hitam, dimana orang mulai tidak percaya pada agama sehingga ilmu
pengetahuan mulai dikembangkan di Eropa.

Reinassans mempengaruhi reformasi karena pada zaman renaissans mulai muncul


percetakan-percetakan yang membantu para reformator.
Humanisme merupakan aliran yang bertujuan untuk menghidupkan rasa peri
kemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang baik, sehingga menganggap manusia
sebagai obyek studi terpenting. Humanisme juga merupakan perkembangan dari Reinassans
atau cabang dari Renaissans. humanisme memberi perhatian pada masalah-masalah dan nilai-
nilai yang menjadi prinsip bagi kehidupan bersama umat manusia. Yang diutamakan pada
humanisme adalah kebahagiaan setiap individu. kebahagiaan setiap individu merupakan nilai
yang paling tinggi. Prinsip-prinsip humanisme ini pula yang mempengaruhi akan reformator
sehingga mereka pun melakukan reformasi terhadap gereja.
Reformasi itu sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perubahan
radikal untuk perbaikan dalam suatu masyarakat atau agama, baik itu dalam bidang politik,
sosial, maupun agama. Istilah reformasi secara langsung memberikan kesan bahwa
kekristenan Eropa Barat sedang diperbaharui. Namun Reformasi gereja yang dimaksud pada
awalnya merupakan suatu gerakan yang ingin memperbaiki hal-hal tertentu saja dalam Gereja
Katolik.1 Oleh karena keinginan yang begitu besar untuk memperbaiki akan hal-hal yang
dianggap salah dalam gereja, maka muncullah tokoh-tokoh reformator, seperti Marthin
Luther dan Yohanes Calvin. Namun sebelum kedua tokoh ini sudah ada dua tokoh yang
terlebih dahulu ingin merubah beberapa hal dalam gereja. kedua tokoh itu adalah John
Wicliff dari Inggris (1328-1384) dan John Huss dari Ceko (1369-1415). Namun kedua tokoh
ini tidak berhasil dalam melakukan perubahan dalam gereja karena tidak mendapat dukungan
dari siapapun. Perjuangan mereka dilanjutkan oleh Marthin Luther dan Yohanis Calvin.
Namun yang dibahas dalam paper ini merupakan reformasi yang dilakukan oleh Marthin
Luther.

Latar Belakang Reformasi


Reformasi gereja yang terjadi di Eropa Barat tidak dapat terlepas dari keadaan
masyarakat Eropa Barat dan organisasi gereja-gereja yang ada pada saat itu. Dalam struktur
hierarki gereja, hierarki paling tinggi adalah Paus yang berdomisili di Basilica St. Petrus
(Roma). Oleh karena itu, Paus memiliki wewenang yang begitu besar dalam gereja namun
wibawanya mulai berkurang. Paus yang ingin menyatukan seluruh orang Kristen dibawah
kepemimpinannya pun mulai pudar. Setiap raja-raja dan kaisar-kaisar ingin menguasai
daerah pemerintahannya sendiri, begitupun gereja-gerja yang ada dalam wilayah
kepemimpinannya. Pada saat itu pula perekonomian di Eropa sedang mengalami
perkembangan yang begitu pesat sehingga sistem sosial yang ada sebelumnya tidak cocok
lagi dengan kenyataan yang ada pada saat itu.2 Oleh karena perkembangan ini, masyarakat
mulai kritis pada keadaan yang ada dan berlaku dalam masyarakat. Gereja menjadi sasaran
empuk yang dikritisi oleh masyarakat karena gereja merupakan salah satu tiang penyangga
bagi masyarakat pada saat itu. Selain itu, dalam kebudayaan Eropa secara umum mulai
muncul keinginan untuk mempelajari akan kebudayaan Yunani dan Romawi sehingga orang-
orang ingin kembali pada dunia kebudayaan kuno mereka. Sikap ini juga yang
mempengaruhi akan munculnya reformasi karena mereka terdorong untuk mempelajari
Alkitab dalam bahasa asli karena sebelum munculnya perkembangan ini, masyarakat
hanyalah robot yang diperintahkan oleh para rohaniawan karena Alkitab yang digunakan
pada saat itu berbahasa Latin sehingga yang mengerti akan isi Alkitab itu hanyalah Paus dan
rohaniawan. Oleh karena itu, banyak jemaat yang sudah bosan dengan kaum rohaniawan

1 Drewes, B. F. dan J. Mojau, Apa itu Teologi. 2007 . p 45


2 End, Th. van den , Harta Dalam Bejana, 2009. p 152
yang hanya mementingkan akan kepentingan mereka sendiri tanpa mau memperhatikan akan
jemaatnya.
Selain krisis kepausan yang melatar belakangi munculnya reformasi, ternyata pada
saat itu, muncul pula krisis rohani di tengah jemaat. Banyak orang mencari pengalaman yang
bersifat mistik. Namun ada juga (khususnya rakyat sederhana) yang menyatakan
kesalehannya dengan hal-hal yang berbau lahiriah seperti penghormatan kepada santo dan
santa, berziarah ke tempat-tempat yang dianggap kudus dan juga mengadakan misa bagi
orang-orang yang telah meninggal.3 Karena pernyataan kesalehan yang seperti ini, banyak
orang yang berpendidikan menganggap itu sebagai ketakhayulan. Gereja pun tidak mampu
menjawab akan kebangkitan rohani yang terjadi dalam Gereja. Gereja sibuk memikirkan akan
hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan rohani jemaat. Gereja hanya memikirkan akn
teologi-teologi yang berkembang pada saat itu, terjebak dalam diskusi-diskusi skolastik.
Selain itu, pelayan-pelayan dan pemimpin-pemimpin gereja hanya mementingkan akan hal-
hal yang bersifat organisatoris saja. Oleh karena itu, jemaat menganggap bahwa organisasi
merupakan penghalang bagi pertumbuhan rohani jemaat, sehingga banyak orang (jemaat)
merindukan akan gereja yang mementingkan akan Iman Kristen yang sesuai dengan Alkitab,
seperti pada masa para Rasul dan juga tulisan-tulisan bapa-bapa kuno, seperti tulisan dari St.
Augustinus.
Karena sifat mementingkan diri dari para pemimpin dan pelayan Gereja, maka
tampillah tokoh reformator (Martin Luther) yang ingin merubah akan sistem yang ada dalam
gereja secara radikal untuk merubah sistem-sistem yang salah dalam gereja

Martin Luther
Martin Luther berasal dari keluarga sederhana, yaitu keluarga petani yang tinggal di
negeri Thüringen. Namun karena menginginkan penghidupan yang lebih layak orang tuanya
pindah ke Eisleben dan menjadi penggali tambang tembaga di sana.4 Ayahnya bernama Hans
Luther dan ibunya bernama Magdalena Lindemann. Martin Luther lahir pada tanggal 10
November 1483 dan pada keesokan harinya ia dibaptis di gereja Petrus dan ia diberi nama
sesuai dengan nama Santo pada saat itu yaitu St. Martinus dari Tours, sehingga ia diberi
nama Martin. Martin Luther dididik menurut cita-cita agama zamannya karena orang tuanya
pun dikenal sebagai keluarga yang setia pada gereja Katolik Roma. Karena didikan yang

3 Jounge Christiaan de, Gereja Mencari Jawab. 1993 p 23


4 Berkhof, H, Sejarah Gereja. 2009. p. 120
sedemikian rupa pula yang membuat Luther ketakutan bila mendengar nama Kristus karena
dia memandang Kristus sebagai seorang hakim yang keras dan pemurka.5
Martin Luther dikenal sebagai murid yang pandai. Oleh karena itu, ayahnya
mengirimnya ke sekolah menengah di kota Magdeburg untuk mendapat pendidikan yang
baik. Luther dan teman-temannya memiliki kebiasaan menyanyi di lorong-lorong kota untuk
mencari nafkah. Oleh karena sering menyanyi itu pun sehingga Luther dikenal sebagai
seorang yang berbakat dalam bidang musik. Pada umur 17 tahun Luther lulus pada sekolah
menengah dan memasuki universitas di Erfurt. Ayahnya sangat menginginkan Luther
menjadi seorang ahli hokum. Oleh karena itu, Luther perlu mempelajari ilmu filsafat terlebih
dahulu. Karena mempelajari ilmu filsafat, Luther pun harus mempelajari theology scholastic,
yang pada saat itu masih menguasai universitas di Erfurt. Namun filsafat dan teologi skolastik
tersebut dibuangnya namun pandangan Occam mempengaruhi akan pikirannya dalam
beberapa hal.
Pada tahun 1505, Martin Luther lulus dalam ujian dengan gelar magister artes
sehingga ia diperbolehkan untuk menuntut ilmu hukum, namun secara tiba-tiba terjadi
perubahan besar dalam diri Luther. Dalam perjalanannya menuju rumah orang tuanya, ia
ditimpa hujan deras dan disertai guruh dan halilintar yang membuatnya sangat ketakutan. Ia
pun meminta kepada St. Anna6 untuk menolongnya dengan memberikan janji bahwa ia akan
menjadi rahib. Luther memang menepati janjinya. Dua minggu kemudian ia masuk biara
yang memiliki aturan yang begitu keras, yaitu ordo Eremit Augustin. Keinginan Martin untuk
menjadi rahib sangat membuat ayahnya terpukul dan kecewa. Teman-temannya pun tidak
menyetujui ia menjadi rahib karena mereka akan kehilangan seseorang yang berbakat dalam
musik. Ayahnya sangat marah terhadapnya karena ia tidak mengabulkan permintaan ayahnya
supaya ia menjadi ahli hukum. Namun Martin tetap mempertahankan akan niatnya karena
dalam pikiran Martin, jika seseorang ingin mengorbankan sesuatu untuk Allah maka ia harus
mengorbankan sesuatu yang paling indah dan molek bagiNya.7 Selama 16 tahun ia tidak
berhubungan dengan ayahnya karena ayahnya masih marah dan kecewa terhadapnya. Namun
pada akhirnya pula konflik diantara mereka bias dipadamkan. Nazarnya yang hanya sesaat itu
boleh dikatakan sebagai pengalaman batinnya. Dalam biaranya ia berharap mendapat damai
bagi jiwanya yang takut akan maut dan neraka karena itulah hal yang selalu dicari-carinya.

5 End, Th. van den , Harta Dalam Bejana, 2009. p 153


6 St Anna dikenal sebagai St pelindung bagi mereka yang bepergian
7 Boehlke, Robert R. Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen I. 1997. p 309
Dalam biara Augustin itu, Martin dikenal paling cakap diantara rahib-rahib yang
seangkatan dengannya. Para pemimpin-pemimpin biara Augustin pun menyuruhnya untuk
menuntut ilmu teologi. Sehingga pada tahun 1507 ia ditahbiskan menjadi imam dan pada
tahun berikutnya ia dikirim ke Wittenberg untuk meneruskan akan studinya, yaitu studi
teologi. Namun pada tahun ia kembali ke Erfurt untuk memberikan pelajaran tentang
dogmatik di situ.
Pada tahun 1510 Luther dikirim ke Roma sebagai utusan dari ordo Augustin untuk
memecahkan persoalan mengenai aturan-aturan dalam ordo Augustin itu. Kesempatan ini
tidak disia-siakan oleh Martin karena ia berpikir bahwa ketenangan batin yang selam ini ia
cari akan ia dapatkan di sana, mengingat Roma merupakan pusat agama Kristen pada waktu
itu. Karena keinginannya yang begitu besar untuk mencari kedamaian baginya, maka ia pun
mengikuti setiap ritual suci di Gereja St. Petrus. Ia pun menaiki setiap tangga gereja dengan
lututnya dan berdoa Bapa Kami untuk para nenek moyangnya yang telah meninggal. Doa ini
menurut aturan pada saat itu adalah untuk melepaskan mereka dari siksa yang masih
dialaminya di dunia seberang sana. Namun ketika ia menaiki anak tangga yang terakhir, ia
mempertanyakan akan tindakan yang ia lakukan itu. Benar atau salahkah. Akhirnya ia pun
mengambil suatu kesimpulan bahwa surat Penghapusan Siksa di Purgatoriumlah yang
merajai jemaat pada saat itu dan bukan bagaimana mengalami anugerah Allah.8
Kembalinya ke Wittenberg, dua tahun kemudian ia mencapai gelar “doctor dalam
Kitab Suci” dan diangkat menjadi guru besar dalam ilmu teologi di Wittenberg. Tugas
utamanya adalah menafsirkan Alkitab, dan sampai pada tahun 1517 ia menafsirkan Kitab
Mazmur dan surat-surat Paulus, seperti Roma, Galatia dan Ibrani. Pada saat itu juga ia
mengepalai akan kesebelas biara propinsinya dan harus berkhotbah dan melayani jemaat di
Wittenberg.

Ketakutan Menjadi Motivasi


Walaupun telah menjadi mencapai kemajuan yang gemilang, telah menjadi seorang
professor, namun kegalauan hatinya akan ketakutannya pada maut dan api neraka. Ia ingin
selamat dari hari kiamat itu namun ia tak tahu bagaimana menyelamatkan dirinya. Berbagai
cara ia lakukan untuk melepaskan jiwanya dari ketakutan yang selama ini mencekamnya. Ia

8 Ibid. p 311
berusaha dan bersungguh-sungguh melakukan amal di dunia seperti yang dilakukan oleh
orang-orang lainnya. Mengikuti segala cara yang diperintahkan oleh gereja. Ia tak kenal lelah
berpuasa, berjaga-jaga pada waktu malam, sering mengaku dosa dan menerima sakramen
Misa. Oleh karena begitu rajinnya ia melakukan akan titah gereja, maka di mata teman-
temannya, Lutherah yang paling saleh, rajin dan beramal di dalam biara itu. Namun,
walaupun segala cara telah ia lakukan, segala aturan dan segala yang diperintahkan gereja
telah dilakukannya, namun ia belum juga mendapatkan damai dan kententraman bagi
jiwanya. Luther malah merasa ia semakin jauh dari rahmat Allah karena ia mengerti bahwa
segala perbuatan manusia meski sangat baik dan saleh sekalipun, tidak berharga di hadapan
Tuhan. Luther tidak percaya lagi bahwa setiap dosa manusia dihitung dalam buku kas
Sorgawi. Lutherpun insaf. Ia kemudian berpikir dan menganalogikan dirinya seperti pohon.
Jika mengharapkan sesuatu yang baik dari pohon itu, maka terlebih dahulu harus melihat
apakah pohon itu baik atau tidak. Luther menyadari bahwa mustahil ia akan mendapat damai
dan ketentraman bagi dirinya karena ia tahu bahwa semua yang dilakukannya tidak benar-
benar dari hatinya yang palin dalam, tidak benar-benar tulus. Ia menyadari bahwa selama ini
ia mementingkan akan dirinya sendiri. Ia mencari keselamatan untuk dirinya sendiri dan
bukan untuk kehormatan dan kemuliaan nama Allah. Makin besar usaha Luther untuk
menyucikan dirinya, makin sadar pulalah ia bahwa ia semakin menuju ke dalam kebinasaan.
Allah yang rahmani yang dicarinya semakin jauh saja dirasakannya, sehingga ia mulai putus
asa.
Terkadang hatinya terhibur bila ia bercakap-cakap dengan pemimpin biaranya, Johan
von Staupitz. Johan menasehatinya agar percaya kepada rahmat Kristus dan memandang
luka-luka yang dialami oleh sang Juruselamat. Menurut Staupitz lebih baik seperti itu dari
pada merenungkan apakah kita terpilih menjadi orang yang diselamatkan atau tidak karena
barangsiapa yang percaya pada Kristus, ia dapat yakin bahwa ia telah dipilih.9 Nasehat-
nasehat dari Staupitz cukup menghiburkan hatinya namun tetap tidak dapat melenyapkan
keresahan dalam hatinya karena semuanya itu berdasarkan sakramen-sakramen Gereja dan
amal serta jasa manusia saja.
Akhirnya, segala kegalauan dalam hatinyapun dapat terobati dari Firman Tuhan
sendiri (Alkitab). Dalam keputus asaanya itu ia meneukan dalam surat Roma 1: 17 tentang
tafsiran baru mengenai “keadilan Allah” (iustitia Dei) yang merupakan istilah yang menjadi

9 Berkhof, H, Sejarah Gereja. 2009. p 124


kunci dalam ajaran mengenai pembenaran manusia (iustificatio).10 Pada awalnya Luther tidak
mengerti akan maksud dari Roma 1: 17 yang berbunyi : “Sebab di dalamnya (Injil) nyata
kebenaran Allah, yang bertolak dari iman, seperti ada tertulis :orang benar akan hidup oleh
iman.” Siang dan malam Luther menggumuli akan maksud Paulus menulis seperti itu. Apa
hubungan antara kebenaran dan iman kita. Akhirnya dengan tiba-tiba, terlintaslah pikiran
terang kepadanya, ketika ia duduk merenung di menara biaranya (Turmerlebnis). Luther
menyadari bahwa kebenaran Allah itu tidak lain dari pada suatu pemberian yang
dianugerahkanNya kepada manusia untuk memberi hidup yang kekal kepadanya; dan
pemberian itu harus disambut dengan iman yang tulus. Dengan kata lain, kebenaran yang
dimaksudkan Paulus dikaruniakan Allah adalah kemenangan yang dialami Yesus dari salib
dan kebangkitanNya. Lutherpun akhirnya mulai mendapatkan akan kedamaian dan
kententraman yang selama ini dicari-carinya. Hal ini terjadi sekitar tahun 1514.
Segera pandangan-pandangan yang mengherankan itu mulai tersebar di Wittenberg.
Skolastik dan Aristoteles mulai ditolak oleh orang-orang. Alkitab dan teologia Agustinus
menjadi hal yang asyik untuk dipelajari Luther, serta diuraikannya dalam kuliahnya. Banyak
pandangan-pandangan baru yang didapatnya dari kitab-kitab Agustinus. 11
Luther tidak menyadari bahwa penemuan dan pertemuannya itu akan menimbulkan suatu
reformasi dalam gereja. Cukup bagi Luther untuk membentangkan Injil yang telah
menolongnya dalam khotbah dan pengajarannya. Walaupun awalnya Luther tidak ingin
memperbaharui gereja, namun kenyataan yang terjadi membuatnya harus melakukan
reformasi. Penemuan ini yang nanti akan meledak dan meruntuhkan susunan gereja

Indulgensia
Awal timbulnya reformasi gereja adalah perbedaan antara teologi dan praktek gereja
dengan ajaran Alkitab seperti yang ditemukan oleh Luther. Namun pemimpin-pemimpin
gereja pusat tidak menyadari akan bahaya yang mengancamnya. Paus Leo X dan tokoh-tokoh
gereja lainnya sibuk memikirkan akan pembangunan gereja raksasa, yaitu gereja Santo Petrus
di Roma, yang melambangkan keagungan Gereja Barat. Lalu Paus pun menyarankan kepada
Uskup Agung Albrecht dari Mainz untuk memperdagangkan surat penghapusan dosa secara
besar-besaran di Jerman.12 Perdagangan Indulgensia dengan maksud “tertentu” ini tidak

10 De Jounge Christiaan, Gereja Mencari Jawab. 1993. p 26


11 Ia mendapat ide-ide yang sama dalam karangan Agustinus (Roh dan Huruf)
12 Penjualan indulgensia ini adalah untuk melunasi hutang Uskup Agung Albrecht pada Fugger dan

untuk membangun Gereja St. Petrus.


diketahui oleh umat Kristen dan Luther pun tidak mengetahuinya. Namun cara
menjalankannya menimbulkan suatu kecurigaan tersendiri. Surat kuasa yang diberikan
Albrecht kepada para penjual menimbulkan sangkaan bahwa surat penghapusan siksa itu juga
dapat menebus dosa.
Johan Tetzel, seorang Dominician merupakan kepala penjualan indulgensia ini. Tetzel
melakukan propaganda besar-besaran yang mengosongkan dompet rakyat Jerman untuk
mengisi kantong Albrecht dan Leo X. Syarat indulgensia yaitu penyesalan yang sungguh-
sungguh tidak disebut lagi. Para pembeli mengaku dosa pada rahib-rahib yang tidak mereka
kenal. Rahib-rahib ini membantu Tetzel dalam melancarkan akan penjualan indulgensia itu.
Tetzel memperdaya masyarakat bahwa indulgensia selain mengahapus dosa pembeli juga
dapat melepaskan akan keluarganya dari api penyiksaan di alam seberang. Kata-kata Tetzel
yang melegenda berbunyi : “As soon as the money jingles in the chest, the soul springs out of
Purgatory”. 13
Jadi begitu koin masuk dalam peti sumbangan, jiwa mereka akan keluar dari
azab Api Penyucian.
Bereaksi pada penyalahgunaan indulgensi itu, Luther pada vigili hari raya semua
orang kudus (31 Oktober 1517) mengirimkan 95 dalil pada beberapa uskup dalam bahasa
Latin tentang tesis-tesis mengenai indulgensia. Karena tidak ada respon balik dari para uskup
maka Lutherpun mengirimkan 95 dalil itu kepada teolog-teolog. Indulgensia hanya
merupakan silih humum kanonik, yang ditanggungkan gereja dan bukan merupakan sesuatu
yang diperhatikan di dunia sana, tidak dapat diaplikasikan kepada para arwah. Dalam waktu
singkat, penjualan indulgensia itupun kehilangan untung besar. Hal ini menimbulkan
kemarahan besar bagi Albrecht dan banyak orang lainnya yang terkait dengan penjualan
indulgensia itu. Luther dituduh sebagai seorang penyesat.

Reaksi Hierarki Gereja Roma


Beredarnya tesis-tesis tentang indulgensia itu membuat Paus merasa terusik. Awalnya
ia tidak memperhatikan hal itu. Ia hanya menganggap bahwa hal itu hanya pertengkaran
diantara para rahib saja. Iapun meminta Luther untuk memungkiri akan pandangan-
pandangannya yang sesat itu, tetapi Luther tetap berdiri pada tempatnya. Luther menjelaskan
akan dalil-dalilnya kepada paus dalam sepucuk surat. Paus meminta Luther untuk menghadap
kepausan dalam tempo 60 hari.14 Namun Friederich “yang bijaksana” meminta agar Luther
didispensasi untuk hadir di Roma; dan cukuplah ia diinterogasi di Augsburg oleh Kardinal

13 Collins, Michael & Matthew A. Price, The Story of Christianity. 1999. p 132
14 Edwards, Mark U, Jr. Luther’s Last Battles. 1983. p 70
Thomas de Vio. Paus tidak berani melawan permintaan Friederich karena ia ingin
mecalonkan Friederich pada pemilihan kaisar pada tahun 1519, karena pencalonan Karel V
dari Spanyol tidak disetujuinya. Namun proses interegosai yang dilakukan oleh Thomas de
Vio (Cajetanus) tidak mebuahkan hasil karena Luther tetap pada pendiriannya dan tidak mau
menarik dalil-dalil yang telah dikeluarkannya. Luther meminta agar ia diadili oleh Paus
sendiri atau mengadakan konsili untuk menimbang dan memutuskan akan perkaranya.
Kemudian pada bulan Juni 1519 terjadi perdebatan yang sengit antara Luther dan
Johan Eck (guru besar di kota Ingolstad, Bavaria) di Leipzig. Walaupun Eck tidak berhasil
membuat Luther meninggalkan akan ajarannya, namun berhasil menjelaskan untuk pertama
kalinya kepada publik doktrin tentang primat dan infalibilitas konsili-konsili. Namun
sebenarnya yang beruntung adalah Luther karena dari perdebatan ini ia menyadari bahwa
hanyalah Alkitab yang menjadi ukuran dan patokan dan bukan paus ataupun konsili.
Hanyalah Firman Tuhan yang berkuasa atas orang beriman. Setelah perdebatan sengit itu,
Eck pun beranjak ke Roma untuk membantu mempersiapkan kecaman terhadap Luther.
Pada tanggal 15 Juni 1520, Paus Leo X mengeluarkan bulla Exsurge Domine
(Bangkitlah Tuhan), yang menutup proses terhadap Luther. Bulla ini mengecam 41 tesis yang
ditarik dari ajaran-ajaran Luther. Eck dan Duta Besar, Aleander yang bertanggung jawab atas
penyebaran bulla itu. Mereka mendesak Luther untuk menarik ajarannya itu dalam 2 bulan.
Mengikuti desakan mereka berarti ia harus menarik ajarannya yang telah tersebar luas. Lagi
pula sudah banyak barisan di belakang Luther dan bahkan Sylvester von Schaumburg
menawarkan pada Luther perlindungan berkekuatan 100 bangsawan Frankonian; Franz von
Sickengen dan Ulrich Hutten, yang menjunjung Luther setinggi langit sebagai : “Pemerdeka
Jerman.”15
Pada tahun 1520, Luther menerbitkan buku “An den christlichen Adel deutscher
Nation ( Kepada Bangsawan Kristen Bangsa Jerman). Buku ini dikhususkan untuk orang
Jerman. Dalam buku ini Luther ingin merobohkan akan 3 (tiga) tembok yang memungkinkan
gereja Roma bertahan. Tembok pertama adalah perbedaan antara imam (kekuasaan spiritual)
dan awam (kekuasaan duniawi). Tembok yang kedua adalah hak istimewa hierarki untuk
menafsirkan Kitab Suci. Tembok yang ketiga adalah previlese paus untuk memanggil konsili.
Kemudian Luther menulis buku “De captivitate babylonica ecclesiae praeludium
(Perihal Malapetaka Pembuangan Babilonia Gereja). Buku ini bertujuan untuk
menghancurkan doktin-doktrin gereja mengenai sakramen. Luther tetap mempertahankan

15Kristiyanto, Eddy A, OFM. Sejarah Pustaka Reformasi dari Dalam, Sejarah Gereja Zaman Modern.
2004. p 60
sakramen Baptis dan Ekaristi, sambil menyangkal transubstansiasi dan makna kurban
Ekaristi. Dalam De libertate Christiana (Tentang Kebebasan Kristen), Luther menyanjung
akan kebebasan (batin) manusia yang dibenarkan oleh karena iman dan kesatuan dengan
Kristus.16 Bagi Luther tindakan baik itu tidak bermanfaat sama sekali untuk pembenaran.
Tetapi tindakan baik itu wajib dilakukan karena manusia telah dibenarkan oleh iman.
Setelah melewati batas waktu yang ditentukan dari penetapan Exsurge Domine,
Melanchton17 bersama mahasiswa di Wittenberg ke lembah Sungai Elbe untuk melakukan
ritus pembakaran teks-teks hukum dan skolastik klasik serta buku-buku Eck. Luther sendiri
membakar Exsurge Domine, dan sebuah salinan Kitab Hukum Kanonik, dasar yuridis bagi
corpus Christianorum Abad Pertengahan. Dua hari berturut-turut mereka berdemonstarsi
melawan paus. Pemimpin Gereja Roma telah kelabakan dalam mengatasi Luther dan para
pendukungnya dan tidak tahu lagi bagaimana cara mempertahankan kekuasaannya di Jerman
tanpa dipermulakan. Akhirnya pada tanggal 3 Januari 1521, dikeluarkanlah bulla Decet
Romanum Pontificem yang mengekskomunikasikan Luther dan para pendukungnya.
Popularitas Luther makin teruji. Di setiap toko-toko buku di Worms berisikan buku-
buku Martin Luther. Parlemen Worms akhirnya memutuskan utnuk mengusir Luther dan para
pengikutnya dari kekaisaran; buku-bukunya dianggap sebagai bidah dan harus dimusnahkan;
penyebaraluasa doktrin Luther dilarang; siapa saja yang berkomunikasi dengan Luther maka
ia akan ditangkap dan harta kekayaannya akan disita.
Dalam perjalannya kembali ke Wittenberg, Luther “diculik” oleh pasukan berkuda
atas suruhan Friederich dari Saxonia dan mengamankannya di Kastel Wartburg. Selama satu
tahun (awal Mei 1521 hingga awal Maret 1522) Luther tinggal di kastel itu dan memakai
nama samaran Junker Georg. Dalam kastel ini, Luther merasa aman. Aktivitas sehari-harinya
adalah menerjemahkan Alkitab dari bahasa aslinya yaitu Ibrani dan Yunani ke bahasa
Jerman. Ia selesai menerjemakan Alkitab dalam waktu 3 bulan dan dicetak di Wittenberg
pada September 1522 sehingga disebut September Testament. Cetakan pertama terjual 3000
ekslempar dan cetakan keduanya pada bulan Desember dan disebut December Testament.
Luther berusaha supaya terjemhan itu sedekat mungkin dengan teks aslinya. Terjemahan
tersebut membawa perubahan positif di Jerman khususnya bagi perkembangan bahasa Jerman
dan nasionalisme. Pada tahun 1534 berhasil menerjemahkan seluruh Alkitab. Luther juga
menulis beberapa buku sekunder , misalnya Komentar Tentang Paulus, Surat-surat Paulus,
Bacaan-bacaan Dalam Perjamuan Tuhan, Argumen-argumen Melawan Bulla Ekskomunikasi.

16 Lane, Tony. Runtut Pijar. 1990. p 132


17 Salah seorang humanis dan juga rekan Luther di Wittenberg
Dan sebagai tanda terimakasihnya kepada Friederich karena telah menculiknya setelah
ekskomunikasi kepausan dijatuhkan, ia menulis sebuah buku Magnificat verdeutschet und
ausgelegt (1521).

Refleksi Teologi

Alkitab merupakan nama bagi kumpulan kitab-kitab yang diakui sebagai Firman
Allah dan juga sebagai kanonik. Alkitab dalam agama Kristen sangatlah diagung-agungkan
karena Alkitab dianggap sebagai Firman Allah yang secara langsung diberikan Allah kepada
manusia. Oleh karena pemikiran demikian, maka orang seringkali salah menafsirkan akan isi
Kitab Suci. Orang beranggapan bahwa apabila melakukan tindakan-tindakan yang sesuai
dengan apa yang tertulis dalam Alkitab maka kita telah melakukan apa yang diinginkan oleh
Tuhan. Orang tidak pernah menganggap bahwa Alkitab adalah tulisan-tulisan yang yang
ditulis oleh manusia biasa yang disesuaikan dengan konteks jemaat pada saat itu. Misalnya
saja dalam Efesus 5: 22-24 dimana di dalam ayat ini dikatakan bahwa seorang istri harus
tunduk pada suaminya. Karena tidak menyesuaikan dengan konteks jemaat Efesus pada saat
itu, maka banyak isteri-isterpun tunduk pada perintah suaminya tanpa melihat apakah
perintah itu berakibat baik atau buruk. Karena salah penafsiran pula, seringkali terjadi
kekerasan dalam rumah tangga dimana suami menindas isterinya. Isteri hanya meneima apa
yang diperlakukan suaminya terhadapnya tanpa menuntut keadilan sedikitpun. Selain dalam
keluarga, ada beberapa gereja yang tidak menerima pendeta perempuan karena salah
menafsirkan ayat yang mengatakan bahwa perempuan harus diam dalam suatu pertemuan.
Memang tidak salah bila menjadikan Alkitab sebagai penuntun dalam pedoman dan
tolak ukur kita dalam menjalani kehidupan didunia ini, tetapi bagaimana menyesuaikan akan
isi Alkitab dengan konteks yang ada pada saat ini sehingga tidak terjadi salah interpretasi
terhadap Alkitab. Karena ketika terjadi salah interpretasi terhadap Alkitab, maka akan terjadi
salah interpretasi juga pada sifat Allah. Bisa saja Allah dianggap sebagai Allah yang kejam
dan tidak adil karena lebih mengutamakan laki-laki dari pada perempuan. Jadi pemakaian
Alkitab harus disesuaikan dengan konteks dimana Alkitab itu akan diberitakan.
Daftar Pustaka

Drewes, B. F, Apa Itu Teologi, BPK Gunung Mulia. 2007


End, Th. van den, Harta Dalam Bejana. BPK Gunung Mulia. 2009

Jounge, Christian de, Gereja Mencari Jawab. BPK Gunung Mulia. 1993.

Berkhof, H, Sejarah Gereja. BPK Gunung Mulia. 2009

Boehlke, Robert R, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen.
BPK Gunung Mulia. 1997

Collins, Michael & Matthew A. Price, The Story of Christianity. Kanisius. 1999

Kristiyanto, Eddy A, OFM, Sejarah Pustaka Reformasi dari Dalam, Sejarah Gereja Zaman
Modern. Kanisius. 2004

Lane, Tony, Runtut Pijar. BPK Gunung Mulia. 1990

Edwards, Mark U, Jr, Luther’s Last Battles. Tuta Sub Aegide Pallas. 1983

Anda mungkin juga menyukai