(Analisis Kasus PT. Freeport Indonesia dan Kaitannya dengan Pemenuhan Hak Asasi
Masyarakat Papua dan Keajiban Pemerintah )
180610150034
Moto : Saya memiliki keberanian untuk percaya bahwa orang di mana mereka berada
dapat makan tiga kali sehari untuk tubuh mereka, pendidikan dan kebudayaan untuk
pikiran mereka, dan martabat, kualitas, dan kebebasan untuk jiwa mereka. Saya percaya
bahwa apa yang dihancurkan oleh orang- orang yang hanya memikirkan dirinya sendiri
dapat dibangun kembali oleh orang-orang yang memikirkan orang lain.
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2016
BAB I
Pendahuluan
Pada tahun 1995 Freeport baru secara resmi mengakui menambang emas di Papua.
Sebelumnya sejak tahun 1973 hingga tahun 1994, Freeport mengaku hanya sebagai penambang
tembaga. Jumlah volume emas yang ditambang selama 21 tahun tersebut tidak pernah
diketahui publik, bahkan oleh orang Papua sendiri. Panitia Kerja Freeport dan beberapa
anggota DPR RI Komisi VII pun mencurigai telah terjadi manipulasi dana atas potensi
produksi emas Freeport. Mereka mencurigai jumlahnya lebih dari yang diperkirakan sebesar
2,16 hingga 2,5 miliar ton emas. DPR juga tidak percaya atas data kandungan konsentrat yang
diinformasikan sepihak oleh Freeport. Anggota DPR berkesimpulan bahwa negara telah
dirugikan selama lebih dari 30 tahun akibat tidak adanya pengawasan yang serius. Bahkan
Departemen Keuangan melalui Dirjen Pajak dan Bea Cukai mengaku tidak tahu pasti berapa
produksi Freeport berikut penerimaannya.
Dari tahun ke tahun Freeport terus mereguk keuntungan dari tambang emas, perak, dan
tembaga terbesar di dunia. Para petinggi Freeport terus mendapatkan fasilitas, tunjangan dan
keuntungan yang besarnya mencapai 1 juta kali lipat pendapatan tahunan penduduk Timika,
Papua. Keuntungan Freeport tak serta merta melahirkan kesejahteraan bagi warga sekitar.
Kondisi wilayah Timika bagai api dalam sekam, tidak ada kondisi stabil yang menjamin masa
depan penduduk Papua.
1. Bagaimana Pendekatan secara Historis, Sosiologis, dan Yuridis tentang permasalahan hak
Masyarakat Papua atas Freeport ?
4. Apa Dampak pertambangan emas yang dilakukan Freeport terhadap alam sekitarnya ?
5. Bagaimana Kasus Pelanggaran HAM yang Disebabkan oleh Pihak Freeport dan Kaitanya
dengan Pancasila ?
Pendekatan
2.1 Historis
2.2 Sosiologis
Para petinggi Freeport mendapatkan fasilitas, tunjangan dan keuntungan yang besarnya
mencapai 1 juta kali lipat pendapatan tahunan penduduk Timika, Papua. Keuntungan Freeport
tak serta merta melahirkan kesejahteraan bagi warga sekitar. Di sisi lain, negara pun mengalami
kerugian karena keuntungan Freeport yang masuk ke kas negara sangatlah kecil jika
dibandingkan keuntungan total yang dinikmati Freeport.
Hampir seluruh penduduk miskin Papua adalah warga asli Papua. Jadi penduduk asli
Papua yang miskin adalah lebih dari 66% dan umumnya tinggal di pegunungan tengah, wilayah
Kontrak Karya Frepoort. Kepala Biro Pusat Statistik propinsi Papua JA Djarot Soesanto,
merelease data kemiskinan tahun 2006, bahwa setengah penduduk Papua miskin (47,99 %).
Di sisi lain, pendapatan pemerintah daerah Papua demikian bergantung pada sektor
pertambangan. Sejak tahun 1975-2002 sebanyak 50% lebih PDRB Papua berasal dari
pembayaran pajak, royalti dan bagi hasil sumberdaya alam tidak terbarukan, termasuk
perusahaan migas. Artinya ketergantungan pendapatan daerah dari sektor ekstraktif akan
menciptakan ketergantungan dan kerapuhan yang kronik bagi wilayah Papua.
2.3 Yuridis
adanya upaya pencegahan bagi kerusakan lingkungan lebih lanjut, jadi seharusnya pemerintah
menghentikan aktivitas penambangan Freeport, kemudian melakukan upaya perbaikan
lingkungan. Pemerintah dapat mengehentikan kontrak karya pertambangan karena kerusakan
lingkungan yang terjadi di Timika. Proses penambangan dapat dihentikan sementara sampai
kerusakan lingkungan dapat diperbaiki dan perbaikan kerusan lingkungan menjadi tanggung
jawab Freeport.
Freeport telah mengakibatkan kerusakan alam dan mengubah bentang alam serta
mengakibatkan degradasi hutan yang seharusnya ditindak tegas pemerintah. Hal ini karena
mengancam kelestarian lingkungan dan melanggar prinsip pembangunan berwawasan
lingkungan yang diamanatkan UUD 1945 pasal 33.
BAB III
Pembahasan
Freeport berkembang menjadi perusahaan dengan penghasilan 2,3 miliar dolar AS.
Menurut Freeport, keberadaannya memberikan manfaat langsung dan tidak langsung kepada
Indonesia sebesar 33 miliar dolar dari tahun 1992–2004. Angka ini hampir sama dengan 2
persen PDB Indonesia. Dengan harga emas mencapai nilai tertinggi dalam 25 tahun terakhir,
yaitu 540 dolar per ons, Freeport diperkirakan akan mengisi kas pemerintah sebesar 1 miliar
dolar. Mining International, sebuah majalah perdagangan, menyebut tambang emas Freeport
sebagai yang terbesar di dunia.
Para petinggi Freeport mendapatkan fasilitas, tunjangan dan keuntungan yang besarnya
mencapai 1 juta kali lipat pendapatan tahunan penduduk Timika, Papua. Keuntungan Freeport
tak serta merta melahirkan kesejahteraan bagi warga sekitar. Keberadaan Freeport tidak banyak
berkontribusi bagi masyarakat Papua, bahkan pembangunan di Papua dinilai gagal. Kegagalan
pembangunan di Papua dapat dilihat dari buruknya angka kesejahteraan manusia di Kabupaten
Mimika. Penduduk Kabupaten Mimika, lokasi di mana Freeport berada, terdiri dari 35%
penduduk asli dan 65% pendatang. Pada tahun 2002, BPS mencatat sekitar 41 persen penduduk
Papua dalam kondisi miskin, dengan komposisi 60% penduduk asli dan sisanya pendatang.
Pada tahun 2005, Kemiskinan rakyat di Provinsi Papua, yang mencapai 80,07% atau 1,5 juta
penduduk.
Hampir seluruh penduduk miskin Papua adalah warga asli Papua. Jadi penduduk asli
Papua yang miskin adalah lebih dari 66% dan umumnya tinggal di pegunungan tengah, wilayah
Kontrak Karya Frepoort. Kepala Biro Pusat Statistik propinsi Papua JA Djarot Soesanto,
merelease data kemiskinan tahun 2006, bahwa setengah penduduk Papua miskin (47,99 %).
Di sisi lain, pendapatan pemerintah daerah Papua demikian bergantung pada sektor
pertambangan. Sejak tahun 1975-2002 sebanyak 50% lebih PDRB Papua berasal dari
pembayaran pajak, royalti dan bagi hasil sumberdaya alam tidak terbarukan, termasuk
perusahaan migas. Artinya ketergantungan pendapatan daerah dari sektor ekstraktif akan
menciptakan ketergantungan dan kerapuhan yang kronik bagi wilayah Papua.
Beberapa kerusakan lingkungan yang diungkap oleh media dan LSM adalah, Freeport
telah mematikan 23.000 ha hutan di wilayah pengendapan tailing. Merubah bentang alam
karena erosi maupun sedimentasi. Meluapnya sungai karena pendangkalan akibat endapan
tailing. Freeport telah membuang tailing dengan kategori limbah B3 (Bahan Beracun
Berbahaya) melalui Sungai Ajkwa. Limbah ini telah mencapai pesisir laut Arafura. Tailing
yang dibuang Freeport ke Sungai Ajkwa melampaui baku mutu total suspend solid (TSS) yang
diperbolehkan menurut hukum Indonesia. Limbah tailing Freeport mencemari perairan di
muara sungai Ajkwa dan mengontaminasi sejumlah besar jenis mahluk hidup serta mengancam
perairan dengan air asam tambang berjumlah besar. Tailing yang dibuang Freeport merupakan
bahan yang mampu menghasilkan cairan asam berbahaya bagi kehidupan aquatik. Bahkan
sejumlah spesies aquatik sensitif di sungai Ajkwa telah punah akibat tailing Freeport. Menurut
perhitungan Greenomics Indonesia, biaya yang dibutuhkan untuk memulihkan lingkungan
yang rusak adalah Rp 67 trilyun.
3.4 Kasus Pelanggaran HAM yang Disebabkan oleh Pihak Freeport dan Kaitanya
dengan Pancasila
Komnas HAM melakukan investigasi pelanggaran HAM yang terjadi di daerah Timika
dan sekitarnya. Kesimpulan anggota tim investigasi Komnas HAM, mengungkapkan bahwa
selama 1993-1995 telah terjadi 6 jenis pelanggaran HAM, yang mengakibatkan 16 penduduk
terbunuh dan empat orang masih dinyatakan hilang. Pelanggaran ini dilakukan baik oleh aparat
keamanan FI maupun pihak tentara Indonesia. Dalam selembar surat jawaban kepada editor
American Statement, Ralph Haurwitz, Atase Penerangan Kedubes Amerika Serikat di Jakarta
Craig J. Stromme menyatakan bahwa tidak ditemukan bukti yang dapat dipercaya atas tuduhan
pelanggaran HAM oleh Freeport di Irian Jaya. Gugatan Tom Beanal, Ketua Lembaga Adat
Suku Amungme (Lemasa) terdaftar di pengadilan Louisiana, markas besar FCX, dengan kasus
no.96- 1474. Belakangan, gugatan ini ditolak dan pengadilan menyatakan Freeport tidak
terbukti melakukan pelanggaran HAM.
Hampir seluruh kasus pelanggaran HAM terkait tambang Freeport tidak jelas
penyelesaiannya. Para pelaku kejahatan HAM ini umumnya tidak ditemukan atau mendapat
perlindungan sehingga lolos dari jerat hukum. Keadilan bagi korban pelanggaran HAM kasus-
kasus Freeport tampaknya memang suatu hal yang absurd. Tidak ada investigasi yang
menemukan keterkaitan Freeport se- cara langsung dengan pelanggaran HAM, tetapi semakin
banyak orang-orang Papua yang menghubungkan Freeport dengan tindak kekerasan yang
dilakukan oleh TNI, dan pada sejumlah kasus kekerasan itu dilakukan dengan menggunakan
fasilitas Freeport. Seorang ahli antropologi Australia, Chris Ballard, yang pernah bekerja untuk
Freeport, dan Abigail Abrash, seorang aktivis HAM dari Amerika Serikat, memperkirakan,
sebanyak 160 orang telah dibunuh oleh militer antara tahun 1975–1997 di daerah tambang dan
sekitarnya.
Kasus pelanggaran HAM ini tidak sesuai dengan sila kedua pancasila yang berbunyi
kemanusiaan yang adil dan beradab, karena seharusnya mereka menghormati hak warga yang
berada di sekitar wilayah pertambangan Freeport bukan malah sebaliknya. Pihak Freeport
terkesan mengabaikan hak warga yang berada disana, yang berakibat pada perlawanan warga
terhadap freeport.
Tahun 2010 dan 2011 adalah tahun-tahun yang sangat penting untuk masyarakat asli
Papua yang tinggal di belahan barat Pulau New Guinea. Tahun 2010 menjadi tahun di mana
laporan tentang aksi penyiksaan terhadap masyarakat asli Papua telah dipublikasikan ke dunia
luas. Melalui tayangan video yang mengejutkan dan mengerikan, dunia luas akhirnya
mengetahui bagaimana Tentara Nasional Indonesia secara sengaja melakukan penyiksaan
terhadap masyarakat asli Papua.
Kebijakan pemerintah Indonesia untuk mengisolasi Papua dari dunia luar –dengan
tidak memberikan akses kepada jurnalis asing, pekerja HAM internasional, peneliti dan
diplomat– akhirnya tidak mampu untuk menutupi kebrutalan yang dilakukan oleh anggota
tentara terhadap masyarakat Papua. Penyiksaan yang terjadi pada tahun 2010 bukanlah kasus
penyiksaan pertama yang dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia, dan tampaknya juga
bukanlah yang terakhir.
Pada kenyataannya, masyarakat Papua telah menderita dalam kurun waktu yang cukup
lama karena pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Sejak
Indonesia mengambil alih wilayah Papua pada tahun 1963, tentara Indonesia telah melakukan
setidaknya sepuluh operasi militer besar terhadap orang asli Papua. Masyarakat Papua yang
tinggal di tempat-tempat di mana operasi militer dilaksanakan memiliki cerita mengerikan
tentang pelanggaran yang mereka derita. Mereka menceritakan, misalnya, bagai- mana mereka
menyaksikan rumah mereka dibakar, juga kebun dan sumber mata pencaharian mereka yang
dihancurkan. Mereka menggambarkan bagaimana mereka melihat teman-teman, kenalan dan
anggota keluarga mereka diintimidasi, disiksa dan dibunuh selama operasi militer.
Janji pemerintah akan keadilan adalah tidak lebih daripada kata-kata kosong. Hal ini
dibuktikan dengan fakta sederhana bahwa sangat sedikit personil militer yang diminta
bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia terhadap masyarakat Papua. Selain itu,
pelaku pelanggaran, kadang-kadang, bahkan diakui sebagai pahlawan nasional oleh
pemerintah. Masyarakat Papua tidak pernah mendengar cerita tentang keber- hasilan
pemerintah dalam memenjarakan pelaku pe- langgaran hak asasi manusia.
Bahkan jika pelaku berhasil diidentifikasi dan dihukum, penganiayaan dan pelanggaran
hak asasi manusia lainnya akan terus berlanjut. Ini terbukti dengan adanya tiga batalion baru
telah ditempatkan di Papua, dan beberapa komando daerah militer baru telah diperluas. Ribuan
pasukan juga telah ditempatkan di sepanjang perbatasan dengan Papua Nugini. Semakin
banyak pelanggaran HAM juga diprediksikan akan terjadi, bukan saja karena, aparat keamanan
yang tidak menganggap masyarakat Papua sebagai warga negara Indonesia, mereka bahkan
tidak menganggap mereka sebagai manusia. Setiap masyarakat asli Papua dicurigai sebagai
separatis atau pendukung gerakan separatis yang dapat menimbulkan ancaman bagi integritas
teritorial Indonesia. Akibatnya, pasukan Indonesia yang ditempatkan di tengah-tengah
masyarakat asli Papua menganggap bahwa mereka di antara musuh negara Indonesia. Mereka
mendapat perintah bahwa tugas utama mereka adalah untuk mempertahankan integritas
teritorial negara Indonesia, dan juga memberantas gerakan separatis di Papua.
Sebagai akibatnya, ribuan penduduk Papua diyakini telah menjadi korban operasi
militer yang dilakukan untuk memberantas separatisme. Banyak masyarakat asli Papua yang
menderita sebagai akibat dari peng- aniayaan dan berbagai bentuk pelanggaran yang dilakukan
oleh aparat keamanan. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa hampir setiap masyarakat
asli Papua dapat dengan mudah dibunuh oleh militer atau polisi kapan saja dan di mana saja di
Papua, berdasarkan pada kecurigaan atas separatisme.
Banyak pihak di Indonesia yang telah menyadari bahwa akan lebih banyak pelanggaran
hak asasi manusia mungkin terjadi di Papua, kecuali jika akar penyebab dari separatisme Papua
diselesaikan. Pemerintah dan masyarakat asli Papua seharusnya terlibat dalam dialog
konstruktif untuk mengidentifikasi akar penyebab dari masalah ini dan menyelesaikannya
tanpa pertumpahan darah yang tidak perlu. Pemerintah harus mengambil inisiatif dengan
menunjukkan kepada masyarakat internasional keinginan dan komitmen untuk menye-
lesaikan masalah separatisme Papua melalui dialog dengan masyarakat Papua.
(Rektor Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STTF) “Fajar Timur” di Abepura, Papua, dan
koordinator dari Jaringan Damai Papua (JDP) )
media asing untuk beroperasi di Papua Barat.38 Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) menyambut kehadiran dan karya organisasi hak asasi manusia internasional
dan dukungan mereka terhadap LSM lokal. Mantan mitra lokal dari organisasi PBI
menekankan pentingnya keberadaan organisasi internasional hak asasi manusia di Papua.
Namun, keterbatasan dana asing untuk proyek-proyek lokal HAM memberikan pengaruh
negatif terhadap keberlanjutan pekerjaan mereka.
Dengan beberapa batasan seperti yang ada saat ini, situasi masyarakat Papua seperti
hampir tidak teramati ditingkat internasional, kecuali untuk informasi yang muncul dari
kelompok tersembunyi dan laporan informal. Hal ini juga mungkin memiliki pengaruh negatif
pada solusi damai bagi masalah-masalah yang mempengaruhi Papua dengan memunculkan
keluhan masyarakat sipil Papua terhadap pemerintah pusat dan pendekatan mereka terhadap
Papua.
Tabel 1: Kasus-kasus yang berkaitan dengan MIFEE
Juli 2010
Kematian dari Wartawan yang menimbulkan debat politik yang intens
mengenai MIFEE.
Ardiansyah Matra’is
(Sumber: TAPOL and Down to Earth, the
International Campaign for Ecological Justice,
2010:
http://tapol.gn.apc.org/press/files/pr100811.html)
November 2010
Warga desa Domande minyak pijat, jeans, dan sepeda motor yang
harganya 10-20 kali lebih tinggi dari harga pasar
menuntut kompensasi
pada umumnya. Walaupun faktanya di desa itu
tidak ada sinyal, ponsel juga turut dijual. Hampir
semua uang yang didapat sudah dihabiskan, yang
ada hanya tinggal penduduk desa tanpa tanah atau
kompensasi.
yang melibatkan warga setempat di daerah berlarian melalui pintu belakang.5 Sampai
Penutup
4.1 Simpulan
Freeport dari segi finansial memang memberikan pemasukan yang besar bagi
Indonesia, tetapi hal tersebut tidak sebanding dengan pemasukan yang diterima oleh pihak
Freeport yang merupakan perusahaan milik asing dan berbagai dampak negatif yang
ditimbulkan oleh freeport. Berbagai konflik dan pelanggaran HAM juga mewarnai perjalanan
Freeport yang semua itu terkesan kurang mendapat perhatian dari pemerintah, karena semua
kasus pelanggaran HAM yang terjadi tidak pernah terselesaikan dengan baik. Apabila
dihubungkan dengan pancasila, maka Freeport telah melanggar sila kedua pancasila karena
pihak Freeport telah banyak mengabaikan apa yang menjadi hak warga sekitar.
4.2 Saran
Freeport merupakan salah satu perusahaan tambang yang dikelola oleh pihak asing.
Sebagian besar keuntungan yang didapat dari hasil tambang pasti akan masuk ke devisa milik
asing dan bukan ke Indonesia. Indonesia kaya akan hasil tambang, seharusnya kita lebih
meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang kita miliki supaya berbagai tambang yang
kita miliki dapat kita kelola sendiri dan keuntungan yang didapat akan mengalir ke cadangan
devisa negara. Pemerintah juga sudah seharusnya lebih serius dalam menyelesaikan masalah
yang terkait dengan Freeport supaya tidak ada lagi kasus pelanggaran HAM yang terjadi dan
kasusnya tidak pernah terselesaikan.
Referensi
http://rimanews.com/read/20110706/33855/abaikan-hak-masyarakat-adat-freeport- rampok-
kekayaan-alam-papua (diakses tanggal 8 April 2016)
http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Freeport_Indonesia&action=edit§ion=9
(diakses tanggal 8 April 2016)
http://www.ranesi.nl/arsipaktua/Asia/kabar_papua051117/konflik_freeport060414???d
isclaimer.link??? (diakses tanggal 8 April 2016)
http://www.papuabaratnews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1
218:sejarah-kelam-tambang-freeport-bagian-1&catid=73:opini&Itemid=417 (diakses tanggal
8 April 2016)
Jurnal Hak Asasi Manusia Di Papua ©Franciscans International
April 2011
ISBN: 978-962-
8314-52-2 (paperback Print) ISBN: 978-962-8314-5-9 (pdf )
Mandessy Ary, MBA Dr. Bambang Rudito , Jurnal Adaptasi Pola Kekuasaan Pemimpin Adat
di Sekitae PT Freeport Indonesia,
Sugandi Yulia ,Jurnal Analisis Konflik dan Rekomendasi Kebijakan mengenai Papua