Anda di halaman 1dari 38

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Hemodialisa merupakan suatu tindakan yang digunakan pada klien gagal

ginjal untuk menghilangkan sisa toksik, kelebihan cairan dan memperbaiki

ketidakseimbangan elektrolit dengan prinsip osmosis dan difusi dengan

menggunakan sistem dialisa dan eksternal dan internal. (Andra, 2013)

Penyakit gagal ginjal kronis didunia saat ini mengalami peningkatan dan

menjadi masalah kesehatan serius, hasil penelitian Global Burden of Disease tahun

2010, penyakit gagal ginjal kronis merupakan penyebab kematian peringkat ke 27

didunia tahun 1990 dan meningkat menjadi urutan ke 18 pada tahun 2010. Lebih dari

2 juta penduduk di dunia mendapatkan perawatan dengan dialisis atau transplantasi

ginjal dan hanya sekitar 10% yang benar - benar mengalami perawatan tersebut. Dan

berdasarkan estimasi Badan Kesehatan Dunia (WHO), menyebutkan bahwa

pertumbuhan jumlah penderita gagal ginjal pada tahun 2013 telah meningkat 50%

dari tahun sebelumnya. Di Amerika Serikat, kejadian dan prevelasi gagal ginjal

meningkat 50% di tahun 2014. Data tersebut menunjukkan bahwa setiap tahun

diperkirakan sekitar 200.000 orang Amerika menjalani hemodialisa karena gangguan

gagal ginjal kronis artinya 1140 ribu dalam per satu juta penduduknya adalah pasien

dialisis. (Burden of disease, 2014)

Di Indonesia berdasarkan hasil data yang dirilis oleh Riset kesehatan dasar

pada tahun 2013 menunjukkan bahwa prevelasi gagal ginjal kronik sebesar 2%0 yaitu

sekitar 499.800 orang atau 2 orang per 1000 penduduk yang mengalami gagal ginjal

kronis, untuk urutan pertama ditempati oleh provinsi Sulawesi Tengah dengan

prevalensi permil 5%0 atau sekitar 50 orang per satu juta penduduk dan Sumatera

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


2

Selatan dengan prevalensi permil 1,5%0 atau sekitar 15 orang per satu juta penduduk,

sedangkan pada tahun 2018 jumlah penderita gagal ginjal kronis meningkat posisi

tertinggi di provinsi Kalimantan Utara dengan prevalensi 6,4%0 atau diperkirakan

sekitar 64 orang per satu juta penduduk. dan Sumatera Selatan menduduki urutan ke

29 dengan prevalensi 2,4%0 atau diperkirakan 24 orang per satu juta penduduknya

mengalami gagal ginjal kronik. (Depkes RI, 2018)

Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Ibnu Sutowo yang merupakan Rumah

Sakit di Kota Baturaja yang menyediakan pelayanan hemodialisa, dan menurut hasil

catatan rekam medik RSUD Dr. Ibnu Sutowo Baturaja, klien yang menderita

penyakit Gagal Ginjal Kronik tahun 2012 ada 17,7% penderita, pada tahun 2013 ada

18,45% penderita, pada tahun 2014 ada 49,5% penderita, dan sedangkan pada tahun

2016 ada 69,9% penderita penyakit gagal ginjal kronik. (RSUD Dr. Ibnu Sutowo

Baturaja, 2016)

Asupan cairan dan natrium adalah salah satu faktor yang perlu diperhatikan

dalam penatalaksanaan gagal ginjal untuk mencegah komplikasi akibat kekurangan

volume cairan seperti sianosis, hipotensi, dan peningkatan laju pernapasan (Sudoyo

et al., 2009). Proporsi pasien yang tidak patuh pada pembatasan cairan menurut

Mardjun (2014) sebanyak 53,3% sedangkan menurut Sari (2009) sebanyak 66,7%.

Menurut Sari (2009) kepatuhan asupan cairan berhubungan dengan pendidikan dan

sikap sedangkan menurut Chan et al. (2012) usia, jenis kelamin, status bekerja, lama

menjalani hemodialisis, dan dukungan sosial berhubungan dengan kepatuhan pasien

GGK yang menjalani hemodialisis.

Berdasarkan data - data diatas dan terlihat bahwa setiap tahunnya jumlah

penderita gagal ginjal kronis terus meningkat dan perlunya pengetahuan tentang

manajemen kebutuhan cairan klien dalam memberikan terapi hemodialisa, dan

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


3

mengingat masalah fisiologis yang terjadi maka penulis tertarik untuk

mendokumentasikan kedalam laporan tugas akhir tentang “Penetapan manajemen

cairan klien dengan risiko defisit volume cairan pada klien dengan tindakan

hemodialisis di RSUD Dr. Ibnu Sutowo Baturaja Tahun 2019”.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana “Penerapan manajemen cairan klien dengan risiko defisit volume

cairan pada klien dengan tindakan hemodialisis di RSUD Dr. Ibnu Sutowo Baturaja

Tahun 2019”

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Tujuan Umum

Menggambarkan manajemen cairan klien dengan risiko defisit volume cairan

pada klien dengan tindakan hemodialisis di RSUD Dr. Ibnu Sutowo Baturaja.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Diperoleh data status kesehatan klien untuk merumuskan diagnosa.

2. Diperoleh gambaran diagnosa keperawatan pada klien gagal ginjal kronis yang

menjalani hemodialisa dengan pemantauan kebutuhan cairan klien.

3. Diperoleh gambaran rencana keperawatan pada gagal ginjal kronis yang menjalani

hemodialisa dengan pemantauan kebutuhan cairan klien.

4. Diperoleh gambaran tindakan keperawatan pada klien gagal ginjal kronis yang

menjalani hemodialisa dengan pemantauan kebutuhan cairan klien.

5. Diperoleh gambaran evaluasi keperawatan pada klien gagal ginjal kronis yang

menjalani hemodialisa dengan pemantauan kebutuhan cairan klien.

1.4 Manfaat Penulisan

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


4

a. Bagi Tenaga Kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Ibnu Sutowo Baturaja

diharapkan dapat dipergunakan untuk membantu klien gagal ginjal kronis yang

memiliki masalah devisit cairan.

b. Bagi Program Studi Keprawatan Baturaja Hasil laporan ini diharapkan dapat

dijadikan sebagai informasi atau sumber penelitian bagi akademik dalam

meningkatkan kualitas pendidikan serta dapat dijadikan sebagai bahan untuk

kelengkapan perpustakaan.

c. Bagi Peneliti Dapat menambah pengetahuan serta pengalaman dalam penanganan

klien gagal ginjal kronis yang menjalani tindakan hemodialisa dengan Penetapan

manajemen cairan dengan risiko devisit volume cairan pada klien dengan tindakan

hemodialisis.

d. Bagi Klien Meningkatkan pemahaman tentang penyakit gagal ginjal kronis yang

menjalani terapi hemodialisa.

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Penyakit Gagal Ginjal Kronis

2.1.1. Pengertian

Gagal ginjal kronis adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan

fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut.

Kegagalan ginjal menahun merupakan suatu kegagalan fungsi ginjal yang

berlangsung perlahan - lahan, karena penyebab yang berlangsung lama, sehingga

tidak dapat menutupi kebutuhan biasa lagi dan menimbulkan gejala sakit. (Swann

Morton & England B.S, 2013)

2.1.2 Etiologi

a. Gangguan pembuluh darah ginjal : Berbagai jenis lesi vaskular dapat

menyebabkan iskemik ginjal dan kematian jaringan ginjal. Lesi yang paling sering

adalah aterosklerosis pada arteri renalis yang besar, dengan kontriksi skleratik

progresif pada pembuluh darah. Hiperplasia fibromuskular pada satu atau lebih arteri

besar yang juga menimbulkan sumbatan pembuluh darah. Nefrosklerosis yaitu suatu

kondisi yang disebabkan oleh hipertensi lama yang tidak diobati, dikarekteristikan

oleh penebalan, hilangnya elastisitas sistem, perubahan darah ginjal mengakibatkan

penurunan aliran darah dan akhirnya gagal ginjal.

b. Gangguan imunologis : seperti glomeruloneritis dan SLE.

c. Infeksi : Dapat disebabkan oleh beberapa jenis bakteri terutama E. Coli yang

berasal dari kontaminasi tinja pada traktus urinarius bakteri.

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


6

Bakteri ini mencapai ginjal ginjal melalui aliran darah atau yang lebih sering secara

ascenden dari traktus urinarius bagian bawah lewat ureter ke ginjal sehingga dapat

menimbulkan kerusakan irreversibel ginjal yang disebut plenlonefritis.

d. Gangguan metabolik : seperti DM yang menyebabakan mobilisasi lemak

meningkat sehingga terjadi penebalan membran kapiler dan diginjal dan berlanjut

dengan disfungsi endotel sehingga terjadi nefropatik amiloidosis yang disebabkan

oleh endapan zat - zat proteinemia abnormal pada dinding pembuluh darah secara

serius merusak membran glomerulus.

e. Gangguan tubulus primer : terjadinya nefrotoksis akibat analgesik atau logam

berat.

f. Obstruksi traktus urinarius : oleh batu ginjal, hipertrofi prostat, dan konstriksi

uretra.

g. Kelainan kongenital dan hirediter : penyakit polikistik = kondisi keturana

yang dikarakteristik oleh terjadinya kista/kantong berisi cairan di dalam ginjal dan

organ lain, serta tidak adanya jar. Ginjal yang bersifat kongenital (hipoplasia renalis)

serta adanya asidosis.

(Andra, 2013)

2.1.3 Patofisiologi

a. Penurunan GFR

Penurunan GFR dapat dideteksi dengan mendapatkan urin 24 jam untuk

pemeriksaan klirens kreatinin. Akibt dari penurunan GFR, maka klirens kretinin

akan menurun, kreatinin akn meningkat, dan nitrogen urea darh (BUN) juga akan

meningkat.

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


7

b. Gangguan klirens renal

Banyak maslah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah

glumeruli yang berfungsi, yang menyebabkan penurunan klirens (substansi darah

yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal)

c. Retensi cairan dan natrium

Ginjal kehilangan kemampuan untuk mengkonsentrasikan atau mengencerkan

urin secara normal. Terjadi penahanan cairan dan natrium; meningkatkan resiko

terjadinya edema, gagal jantung kongestif dan hipertensi.

d. Anemia

Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adequate,

memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi, dan kecenderungan untuk

terjadi perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari saluran GI.

e. Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat

Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan yang saling timbal

balik, jika salah satunya meningkat, yang lain akan turun. Dengan menurunnya GFR,

maka terjadi peningkatan kadar fosfat serum dan sebaliknya penurunan kadar

kalsium. Penurunan kadar kalsium ini akan memicu sekresi paratormon, namun

dalam kondisi gagal ginjal, tubuh tidak berespon terhadap peningkatan sekresi

parathormon, akibatnya kalsium di tulang menurun menyebabkab perubahan pada

tulang dan penyakit tulang.

f. Penyakit tulang uremik(osteodistrofi)

Terjadi dari perubahan kompleks kalsium, fosfat, dan keseimbangan

parathormon.

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


8

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


9

2.1.4 Klasifikasi

Gagal ginjal kronis dibagi menjadi 3 stadium :

a. Stadium I

Penurunan cadangan ginjal, ditandai dengan kehilangan fungsi nefron 40 -

75%, pasien biasanya tidak mempunyai gejala, dan karena sisa nefron ang

ada dapat membawa fungsi - fungsi normal ginjal.

b. Stadium II = Insufisiensi ginjal.

Kehilngan fungsi ginjal 75 - 90%. pada tingkat ini terjadi kreatinin serum

dan nitrogen urea darah, ginjal kehilangan kemampuannya untuk

mengembangkan urine pekat dan azotemia, dan pasien mungkin melaporkan

poliuria dan nokturia.

c. Stadium III = payah gagal ginjal stadium akhir atau uremia.

Tingkat renal dari gagal ginjal kronis yaitu sisa nefron yang berfungsi <10%.

pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN kan meningkat dengan

menyolok sekali sebagai respon terhadap glomelular filtration rateang

mengalami penurunan sehingga terjadi ketidakseimbangan kadar ureum nitrogen

darah dan elektrolit, dan pasien diindikasikan untuk dialisis. (Anda, 2013)

2.1.6 Manifestasi Klinik

Menurut Long (1996) gejala dini dari gagal ginjal kronis yaitu lethargi, sakit

kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan berkurang, mudah tersinggung dan

depresi. Sedangakan gejala yang lebih lanjut antara lain : anoreksia, mual disertai

muntah, nafas dangkal atau sesak nafas baik waktu ada kegiatan atau tidak, udem

yang disertai lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga sanngat parah.

(Andra, 2013)

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


10

Menurut smeltzer (2001) manfestasi klinik antara lain : hipertensi (akibat retensi

cairan dan natrium dari aktivitas sistem renin - angiotensin - aldosteron), gagal

jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan perikarditis

( akibat iriotasi pada lappisan perikardial oleh toksik, pruritus, anoreksia, mual,

muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan tngkat kesadaran, dan tidak

mampu berkonsentrasi). (Andra, 2013)

Menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut :

a. Gangguan kardiovaskuler : Hipertensi, nyeri dada, dedak nafas akibat

perikarditis, effusi perikarditis, gagal jantung akibat penimbunan cairan,

gangguan irama jantung dan edema.

b. Gangguan pulmoner : Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental

dan riak, dan suara krekels.

c. Gangguan gastrointestinal : Anoreksia, nausea, fomitus behubungan dengan

metabolisme protein dalam usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal,

ulserasi, perdarahan mulut, dan nafas bau ammonia.

d. Gangguan muskuloskeletal : resiles leg sindrom (pegal pada kakinya

sehingga selalu digerakan), burning feet syndrom (rasa kesemutan dan

terbakar, terutama ditelapak kaki), tremor, dan miopati (kelemhan dan

hipertropi otot - otot ekstremitas).

e. Gangguan Integumen : kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning -

kuningan akibat penimbunan urokrom, gatal - gatal akibat toksik, kuku tipis

dan rapuh.

f. Gangguan caira elektrolit dan keseimbangan asam dan basa : biasanya retensi

garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium dan dehidrasi,

asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, dan hipokalsemia.

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


11

g. Sistem hematologi : anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi

eritopoetin, sehingga rangsangan eritopoesis pada sum sum tulang

berkurang, hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam

suasana uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan

trombositopeni.

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang

Urine

a. Volume: biasanya kurang dari 400ml/24 jam atau tak ada (anuria).

b. Warna: secara abnormal urin keruh kemungkinan disebabkanoleh pus, bakteri,

lemak, fosfat atau uratsedimen kotor, kecoklatan menunjukkkan adanya darah,

Hb, mioglobin, porfirin.

c. Berat jenis: kurang dari 1,010 menunjukkn kerusakan ginjal berat.

d. Osmoalitas: kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakn ginjal tubular

dan rasio urin/serum sering 1:1.

e. Klirens kreatinin: mungkin agak menurun.

f. Natrium:lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi

natrium.

g. Protein: Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukkkan kerusakan

glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada.

Darah

a) BUN/ kreatinin : meningkat, kadar kreatinin 10 mg/dl diduga tahap akhir.

b) Ht : menurun pada adanya anemia. Hb biasanya kurang dari 7-8 gr/dl.

c) SDM : menurun, defisiensi eritropoitin.

d) GDA : asidosis metabolik, ph kurang dari 7,2.

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


12

e) Natrium serum : rendah.

f) Kalium: meningkat.

g) Magnesium : Meningkat.

h) Kalsium : menurun.

i) Protein (albumin) : menurun.

c. Osmolalitas serum: lebih dari 285 mOsm/kg.

d. Pelogram retrograd: abnormalitas pelvis ginjal dan ureter.

e. Ultrasono ginjal : menentukan ukuran ginjal dan adanya masa , kista, obstruksi

pada saluran perkemihan bagian atas.

f. Endoskopi ginjal, nefroskopi: untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu,

hematuria dan pengangkatan tumor selektif.

g. Arteriogram ginjal: mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular,

masa.

h. EKG: ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa.

i. Foto kaki, tengkorak, kolumna spinal, dan tangan dapat menunjukkan

demineralisasi dan kalsifikasi. (Doengoes, 2000)

2.1.8 Penatalaksanaan

a. Pengaturan minum atau pemberian cairan.

b. Pengendalian hipertensi dengan mengurangi intake garam.

c. Pengendalian kalium darah.

d. Penanggulangan anemia dengan transfusi.

e. Penanggulangan asidosis.

f. Pengobatan dan pencegahan infeksi.

g. Pengaturan protein dalam makan.

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


13

h. Pengobatan neuropati.

i. Dialisis dan transplantasi ginjal.

(Hadi Purwanto, 2016)

2.2 Konsep Hemodialisa

2.2.1 Pengertian

Hemodialisis berasal dari kata hemo yang berarti darah dan dialisa yang artinya

memisahkan. Jadi hemodialisis adalah Suatu proses pemisahan darah dari zat

anorganik/toksik/sisa metabolisme melalui membran semipermiabel dimana darah

disisi ruang lain dan cairan dialisat disisi ruang lainnya. Hemodialisis merupakan

suatu proses untuk yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah

dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan fungsi tersebut. Tujuan

hemodialysis adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah

dan mengeluarkan air yang berlebihan ( Brunner & Suddarth, 2002).

Hemodialisa adalah proses pembuangan zat - zat sisa metabolisme, zat tosik

lainnya melalui membran semi permeabel sebagai pemisah antara darah dan cairan

diaksat yang sengaja dibuat dalam dializer. (Hudak dan Gallo, 1996 dalam Andra ,

2013)

Hemodialisa adalah terapi pengganti pada gagal ginjal terminal dengan

mengalirkan darah ke dalam suatu zat yang terdiri dari 2 kompartemen yaitu :

1. Kelompok darah yang didalamnya mengalir darah dibatasi oleh selaput

semipermiabel buatan.

2. Kompertemen yang berisi cairan diallisat bebas pirogen berisi larutan dengan

komposisi elektrolit mirip serum normal. (Soeparman, 1993 dalam Andra,

2013)

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


14

Membran semipermeabel adalah lembar tipis, berpori - pori terbuat dari selulosa

atau bahan sintetik. Ukuran pori - pori membran memungkinkan difusi zat dengan

berat molekul rendah seperti urea, kreatinin, dan asam urat berdifusi. Molekul air

juga sangat kecil dan bergerak bebas melalui membran, tetapi kebanyakan protein

plasma, bakteri, dan sel - sel darah terlalu besar untuk melewati pori - pori membran.

Perbedaan konsentrasizat pada dua kompartemen disebut gradien konsentrasi.

2.2.2 Tujuan

Sistem ginjal buatan :

1. Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin, dan asam

urat.

2. Membuang kelebihan air dengan mempengaruhi tekanan banding antara

darah dan bagia cairan, biasanya terdiri atas tekanan positif dalam arus darah

dan tekanan negatif (penghisap) dalam kompartemen dialisat (pross

ultrafiltrasi).

3. Mempertahankan dan mengembalikan system buffer tubuh.

4. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.

2.2.3 Indikasi

a. Pasien yang memerluka hemodialisa adalah pasien GGK dan GGA untuk

sementara sampai fungsi ginjalnya pulih (laju filtrasi glomeurulus < 5 ml).

b. Pasien - pasien tersebut dinyatakan memerlukan hemodialisa apabila terdapat

indikasi : - Hiperkalemia (K+ darah > 6 mEq/lt)

- Asidosis

- Kegagalan terapi konservatif.

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


15

- kadar ureum/ kreatinin tinggi dalam darah (Ureum > 200%, Kreatinin

serum > 6 mEq?lt).

- Kelebihan cairan.

- Mual dan muntah hebat.

c. Intoksikasi obat dan zat kimia.

d. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berat.

e. Sindrom hepatorenal dengan kriteria :

- K+ pH darah < 7,10 menjadi asidosis.

- Oliguria atau oligurian uria > 5 hari.

- GFR < 5 ml pada gagl ginjal kronis.

- ureum darah > 200 mg/dl.

2.2.4 Kontra Indikasi

a. Hipertensi berat (Tekanan darah > 200 / 100 mmHg).

b. Hippotensi ( Tekanan darah <100 mmHg).

c. Adanya perdarahan hebat.

d. Demam tinggi.

2.2.5 Prinsip Hemodialisa

a. Difusi

Dihubunngkan dengan pergeseran partikel - partikel dari daerah konsentrasi

tinggi ke konsentrasi rendah oleh tenaga yang ditimbulkan oleh perbedaa

konsentrasi zat - zat terlarut di kedua sisi membran dialisis, difusi menyebabkan

pergeseran urea, kreatinin, dan asam urat dari darah klien ke laruta dialisat.

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


16

b. Osmosa

Mengangkut pergeseran cairan lewat membran semi permiabel dari daerah yang

kadar partikel - partikel rendah ke daerah yang kadar partikel nya lebih tinggi,

osmosa betangggung jawab terhadap pergeseran cairan dari klien.

c. Ultrafiltrasi

Terdiri dari pergeseran cairan lewat membran semi permiabel dampak dari

betambahnya tekanan yang didevikasikan secara buatan.

2.2.6 Akses Pembuluh Darah

a. Kateter dialisis perkutan yaitu pada vena permolaris atau vena subclavia.

b. Cimino → dengan membuat fistula interna arteriovenosa → operasi (LA. Radialis

dan V. sefalika pergelangan tangan) pada tangan non dominan. Daerah dipirau

dari A ke V sehingga vena membesar.

i. Hubungan ke sistem dialisis dengan 1 jarum di diastal ( garis arteri )

dan di proksimal (garis vena).

ii. Lama pemakaian ±4 tahun.

iii. Masalah yang mungkin timbul :

- Nyeri pada punksi vena dan trombosis.

- Aneurisma, kesulitan hemostatik post dialisa.

- Iskemia tangan.

iv. Kontra indikasi : penyakit perdarahan , kerusakan prosedur sebelumnya

dan ulura pembuluh darah klien/ halus.

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


17

2.2.7 Peralatan

a. Dialiser atau ginjal buatan

Komponen ini terdiri dari membra dialiser yang memisahkan kompartemen

darah dan dialisat. Dializer bervariasi dalam ukuran, struktur fisik dan tipe

membran yang digunakan untuk membentuk kompartemen darah. Semua faktor

ini menentukan potensi efisiensi dialiser, yang mengacu pada kemampuannya

untuk membuang air (ultrafiltrasi) dan produk - produ sisa metabolisme(klirens).

b. Dialisat atau cairan dyalysis

Dialisat atau bath adalah cairan yang terdiri atas air dan elektrolit utama dari

serum normal. Dialisat ini dibuat dalam system bersih dengan air kra da bahan

kimia disaring. Bukan merupakan system yang steril, karena bakteri terlalu besar

untuk melewati mebran dan potensial terjadinya infeksi pada pasien minimal.

Karena bakteri dri produk sampingan dapat menyebabkan dapat menyebabkan

reaksi pirogenik, khususnya pada membran permeable yang besar, air untuk

dialisat harus aman secara bakteriologis. Konsentrat dialisat biasanya disediakan

oleh pabrik komersial. Bath standar umumnya digunakan pada unit kronis,

namun dapat dibuat variasinya untuk memenuhi kebutuhan pasien tertentu.

c. Sistem pemberian dialisat

Unit pemberian tunggal memberikan dialiat untuk satu pasien : system

pemberian multiple dapat memasok sedikitnya untuk 20 unit pasien. Pada kedua

system, suatu alat pembagian proporsi otomatis dan alat pengukur serta

pemantau menjamin dengan tepat kontrol rasio konsentrat air.

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


18

d. Asesori perlatan

Piranti keras yang digunakan pada kebanyakan system dyalisis meliputi pompa

darah, pompa infus untuk pemberian hepari, alat monitor untuk pendeteksi suhu

tubuh bila terjadi ketidakamanan, konsentrasi dialist, perubahan takanan, udara

dan kebocoran darah.

e. Komponen Manusia

f. Pengkajian dan penatalaksanaan

2.2.8 Prosedur Hemodialisa

Ada 3 unsur penting sirkuit hemodialisa :

a. Sirkuit darah

Dari klien mengalir darah dari jarum/ kanul arteri ddengan pompa darah (200 -

250 ml/menit) ke kompartemen darah ginjal buatan kemudian mngembalikan

darah melalui vena yang letaknya proksimal terhadap jarum arteri.

b. Sirkuit dialisat/cairan dialisat

Cairan yang terdiri dari air dan elektrolit.

Air → bersih, bebas dari elektrolit, mikroorganisme atau bahan asing lain →

perlu diolah dengan berbagai cara.

Konsentrat dialisat berisi komposisi elektrolit :

Natrium : 135 - 145 mEq/L Magnesium : 0,5 - 2,0 mEq/L

Kalsium : 0 - 4,0 mEq/L Dext 5% : 0 - 250 mEq/L

Klorida : 90 - 112 Acetat/bicarbonat : 33 - 45

Kalium : 2,5 - 3,5 mEq/L

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


19

2.2.9 Prosedur pelaksanaan

a. Tahap persiapan

i. Mesin sudah siap pakai

ii. Alat lengkap (set HD)

- Dializer

- Av vistula

- Av blood line

- Cairan diaisat pekat

- Infus set

- Spuit 1 cc, 5 cc, 10 cc dan 20 cc.

- kassa steril.

- Handscoon steril.

- Pinset, dock, klem Steril.

- Gunting dan plaster.

iii. Obat - obatan

- Lidocain - Heparin

- Alkhol - Kalmetason

- Betadine - Anti histamin dan NaCl 0,9%

iv. Administrasi

- Informed concent.

- Formulir HD dan travelling dialisis.

b. Tahap pelaksanaan

i. Penjelasan pada klien an keluarga.

ii. Timbang berat badan

iii. Atur posisi, observasi TTV

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


20

iv. Siapkan sirkulasi mesin

v. Persiapkan tindakan steril pada daerah punksi

vi. Lakukan penurunan vena ( out let dan in let ) dengan AV fistula →

fixasi kemudian tutup dengan kasa steril.

vii. Berikan bolus heeparin dosis awal.

Heparin 5000 Ui encerkan 1 cc menjadi 10 cc dengan NaCl

viii. Memulai hemodialisa:

- Hubungkan sirkulasi mesin dengan klien.

- jalankan pompa darah dengan 26 ± 100 ml/’ sampai sirkulasi darah

terisi semua.

- Cairan priming ditampung → ukur jumlahnya.

- Hubungkan selang - selang untuk semua monitor.

- Pompa heparin dijalankan.

- Catat keluhan dan masalah sebelum hemodialisa.

c. Tahap penghentian

i. Siapkan alat yang dibutuhkan.

ii. Ukur TTV

iii. 5 menit pre HD berakhir 26 diturunkan sekitar 100 cc/l, UFR : 0.

iv. Blood pump stop.

v. Ujung ABL di klem, jarum dicabut, bekas tusukan outlet dditekan

dengan kassa steril + betadine.

vi. Ukur TTV.

vii. Timbang berat badan.

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


21

2.2.10 Interpretasi Hasil

Hasil dari tindakan dialysis harus diinterprestasikan dengan mengkaji jumlah

cairan yang dibuang dan koreksi gangguan elektrolit dan asam basa. Darah yang

diambil segera setelah dialysis dapat menunjukkan kadar elektrolit, nitrogen urea,

dan kreatinin rendah palsu. Proses penyimpanan berlangsung terus menurus setelah

dialysis, sejalan perpindahan zat dari alam sl ke plasma.

2.2.11 Komplikasi

Ketidakseimbangan cairan

Paramenter : Tekanan darah, nadi, berat badan, intake, output, turgor, dan

tekanan arteri pulmonal.

a. Hipervolemia

- Tekanan darah meningkat, nadi, dan nafas meningkat, CVP meningkat,

dispea, reles basah, batuk, edema, peningkatan berat badan >> sejak dialisis

terakhir, intake meningkat.

- Ro thorax : ukuran ditolerir ½ kg/ 24 jam diantara waktu dyalisis, batasi

intake natrium, catat intake dan output.

Ultraviltrasi

- Tekanan darah meningkat, mual, muntah, berkeringat dan pingsan.

- 4- 5 kg air dibuang selama 2 - 6 jam.

b. Hipovolemia

- Peningkatan tekanan darah, peningkatan nadi, nafas meningkat, turgor

menurun, mulut kering, CVP menurun, dan urine menurun.

- Keringat >>, muntah, diare, dan berat badan menurun.

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


22

- Monitor berat badan, flebotami + NaCl 100 - 200 ml, pantau tekanan darah

dan plasma ekspander (albumin).

- Tidak boleh ultrafiltrasi.

c. Hipotensi

- Oleh karea hipovolemia, ultrafiltrasi berlebihan, kehilangan darah ke

dalam dializer, inkompabilitas membran, dan pendialisa therapi anti

hipertensi.

- Pantau BB, posisi horizontal, menurunkan ultrafiltrasi, cairan NaCl/plasma

ekspander, penurunan Na (135 - 145 mEq/l)

- Cek TTV 4 - 6 jam, antihipertensi, sedatif/tranguilizer dihindari.

d. Hipertensi

- Karena kelebihan cairan, sindroma disoguilibrum, respon renim terhadap

ultrafiltrasi, dan ansietas.

- Tekanan darah > 120 mmHg → therapi hidralazin 10 mg.

- Percaya diri dan ketenangan pada staf.

e. Sindrom Disequilibrium pialisis

- Gelisah, kacau mental, kedutan, mual, muntah, dan sakit kepala.

- Dialisis lambat waktu singkat cegah gejala.

- Fenitoin.

Ketidakseimbangan Elektrolit

a. Natrium

- Intake Na+ berlebihan → rasa haus → hipertensi dan → kelebihan cairan.

- Kram otot (perpindahan natrium dan air) → NaCl hipertonik (NaCl 32),

dextra 50%, dan peningkatan berat badan 1kg/ hari.

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


23

b. Kalium

Kalium menurun → hipokalemia, efek digitalis dan disritmia fatal.

c. Bicarbonat (C = 25 - 30 mEq/l)

- Uremia → Bicnat menurun untuk buffer asidosis.

- Tambahan asetat/ bicarbonat pada dialisat.

- Intoleransi asetat → kontraksi miokard menurun, mual, muntah, dan sakit

kepala.

d. Ca+ (c : 3 - 3,5 mEq/l)

Intervensi diet dan obat - obatan.

e. Fosfor

- Gagal ginjal kronis → antasid, Ca2+, untuk mengikat fosfor dalam

gastrointestinal dan mencegah penyerapannya → masalah pada tulang.

- Tambahan Ca+ bikarbonat/ asetat selama atau sesudah makanan.

f. Magnesium

- Hindari antasid/laxatif Mg2+ dan susu Mg2+

- Batasi diit Mg2+

Infeksi

a. Hindari kateter indwelling.

b. Teknik aseptik → perubahan suhu tubuh.

c. Oral hygiene → cegah bakteri → pneumonia.

d. Infeksi paru

Perdarahan dan heparinisasi

a. Kondisi medis : ulkus/gastritis dan anti koagulasi berlebihan.

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


24

b. Darah dalam sistem ekstrakorporal.

c. Heparinisasi sistemik → masa pembekuan klien dan dializer sama → dosis

awal → dosis kecil interval kecepatan konstan (Pompa infus) @ 6 - 10’

meningkatkan 30’ - 60’ → pantau cloothing time (CT) teraktivasi/ masa

tromboplastin.

2.3 Proses Keperawatan

2.3.1 Pengkajian

A. Data Demografi

Nama, tempat tanggal lahir, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama,

suku, pendidikan, pekerjaan, lama bekerja, alamat, tanggal masuk, jam

masuk, cara masuk, dan sumber informasi.

B. Persepsi dan manajemen kesehatan

- Alasan masuk/ Keluhan utama.

- Factor Pencetus.

- Riwayat pengobatan/ pembedahan.

- Masalah kesehatan lain yanng diderita.

- Upaya yang dilakukan untuk mengatasi.

C. Pemampilan umum klien

D. Riwayat kesehatan dahulu

Kemungkinan adanya penyakit DM, nefrosklerosis, glomeulonefritis kronis/

gagal ginjal akut yang tidak teratasi, obstrukusi, infeksi pada traktus

urinarius, perasi ginjal/ batu ginjal, dan riwayat intoksikasi.

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


25

E. Riwayat kesehatan keluarga

Adanya anggota keluarga yang menderita DM, penyakit ginjal polikistik,

penyakit kardiovaskuler, hipertensi, dan acidosis tubulus ginjal.

F. Riwayat kesehatan sekarang

- Aktifitas/ istirahat : kelelahan, kelemahan dan malise.

- Sirkulasi : palpitasi dan nyeri dada.

- Eliminasi : Urine sedikit, perut kembung, diare dan konstipasi.

- Makanan/ cairan : Peningkatan/ penurunan berat badan, mual, muntah,

oedem, dan sering haus.

- Integritas ego : stress, perasaan tidak berdaya dan cemas.

- Neurosensori : sakit kepala, dan penglihatan kabur.

- Nyeri/ kenyamanan : Nyeri punggung, sakit kepala dan kram otot.

- Pernapasan : Nafas pendek, sesak nafas pada malam hari dan batuk

sputum kental.

- Keamanan : Kulit gatal.

- Seksualitas : penurunan libido, amenorea dan infertilitas.

G. Pemeriksaan fisik

- Aktifitas/ istirahat : Kelemahan otot, kehilangan tonus, dan penurunan

rentang gerak.

- Sirkulasi : Hipertensi, distensi vena jugularis, nadi kuat, edema jaringan

umum, pintting edema pada kaki, telapak tangan, disritmia jantung, nadi

lemah, halus, hipotensi ortostatik, menunjukkan hipovolemia, friction rub

perikardial, pucat kulit coklat kehijauan, kuning, dan kecenderungan

perdarahan.

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


26

- Eliminasi : Perubahan warna urine seperti kuning pekat, merah, coklat,

berawan, oliguria, dan dapat menjadi anuria.

- Makanan/ cairan : Distensi abdomen/ ascitas, pembesaran hati (tahap

akhir), perubahan turgor kulit/ kelembaban, edema (umum dan tergantung),

ulserasi gusi, perdarahan gusi/ lidah, penurunan otot, penurunan lemak sub

kutan, dan penampilan tidak bertenaga.

- Integritas Ego : Menolak, ansietas, takut, marah, mudah tersinggung, dan

perubahan kepribadian.

- Neurosensori : Gangguan status mental, penurunan lapang perhatian,

ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan

tingkat kesadaran, stupor, koma, kejang, fasikulasi otot, aktifitas kejang,

rambut tipis, kuku rapuh dan tipis.

- Nyeri / keamanan : Perilaku berhati - hati atau distraksi dan gelisah.

- Pernafasan : Takipnea, dispnea, peningkatan frekuensi/ kedalaman

(kusmaull), dan batuk produktif dengan sputum merah muda ncer (edema

paru).

- Keamanan : Pruritus, demam (sepsis dan dehidrasi) normotermia dapat

secara aktual terjadi peningkatan pada pasien yang mengalami suhu

rendah, pteki, area ekimosis pada kulit, fraktur tulang, deposit fosfat

kalsium (kalsifikasi metastatik) pada kulit, jaringan lunak sendi dan

keterbatasan gerak sendi.

2.3.2 Diagnosis Keperawatan

Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan tidak adekuatnya gradien osmotik

dialisat dan retensi cairan.

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


27

2.3.3 Intervensi Keperawatan

N Diagnosis Tujuan Kriteria Intervensi Rasionalisasi

o keperawatan Hasil

1 Resiko Monitor status hidrasi.

defisit Monitor berat badan

volume sesudah dan sebelum

cairan dialisis.

berhubunga Monitor hasil

n dengan pemeriksaan

tidak laboratorium.

adekuatnya Monitor status

gradien hemodinamik.

osmotik Catat intake dan output

dialisat dan balance cairan 24 jam.

retensi Berikan asupan cairan,

cairan. sesuai kebutuhan.

Berikan cairan intravena,

jika perlu

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


28

2.4 Kebutuhan Cairan dan Elektrolit

2.4.1 Pengertian

Cairan dan elektrolit adalah komponen tubuh yang berperan dalam memelihara

fungsi tubuh dan proses homeostasis. Tubuh kita terdiri atas sekitar 60% air yang

tersebar didalam sel maupun diluar sel. Namun demikian, besarnya kandungan air

tergantung dari usia, jenis kelamin, dan kandungan lemak. (Tarwoto & Wartonah,

2010)

Cairan termasuk dalam kebutuhan dasar manusia secara fisiologis karena

memiliki proporsi besar dalam tubuh. Hampir 90% dari total berat badan berbentuk

cairan. Air di dalam tubuh tersimpan dalam dua kompartemen utama, yaitu CIS dan

CES. ( Lyndon, 2013)

A. Cairan Intraselular (CIS)

Cairan intraselular merupakan cairan yang terdapat dalam sel tubuh dan

berfungsi sebagai media tempat aktivitas kimia sel berlangsung. Cairan ini

menyususn sekitar 70% dari total caira tubuh (total body water atau TBW). pada

individu dewasa, CIS menyusun sekitar 40% berat tubuh atau 2/3 TBW.

B. Cairan Ekstraselular (CES)

Cairan ekstraselular merupakan cairan yang terdapat diluar sel dan

menyusun 30% dari TBW atau sekitar 20% dari berat tubuh. Cairan

ekstraselular terdiri atas cairan intravasikular, cairan interstisial, dan cairan

transelular. Cairan intravasikular atau plasma menyusun 5% dari total berat

badan, sedangkan cairan interstisial menyusun 10% - 15% total berat badan.

Didalam cairan tubuh terdapat elektrolit. Elektrolit tersebut tersusun atas ion

elektrolit yang dapat menghantarkan arus listrik. Ion yang bermuatan positif

disebut kation, contohnya Natrium (Na+), Kalium (K+), kalsium (Ca2+), dan

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


29

magnesium (Mg2+). ion yang bermuatan negatif disebut anion, contonya klorida

(Cl-), sulfat (SO2-4), fosfat (PO3-4) dan bikarbonat (HCO-3).

Untuk mempertahankan keseimbangan kimia, keseimbangan elektrolit, dan

pH yang normal, tubuh melakukan mekanisme pertukaran dua arah antara CIS

dan CES.

2.4.2. Pergerakan Cairan dan Elektrolit Tubuh

Pergerakan cairan dan elektrolit tubuh berlangsung dalam tiga proses, yaitu

difusi, osmosis dan transpor aktif.

a. Difusi

Difusi adalah perpindahan larutan atau gas dari daerah yang berkonsentrasi

tinggi kedaerah yang berkonsentrasi rendah. Didalam tubuh, difusi

berlangsung melalui membran kapiler yang permeable. Kecepatan difusi

dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu ukuran molekul, konsentrasi larutan, dan

suhu larutan. Molekul - molekul besar tidak dapat melintas dengan cara

difusi (misalnya glukosa), tetapi sebagian molekul tersebut dapat melintas

dengan bantuan carrier atau bahan pembawa melalui proses difusi

terbantu(facillitated diffution).

b. Osmosis

Osmosis adalah perpindahan air melintasi membran semi permeable

dari daerah berkonsentrasi rendah ke daerah berkonsentrasi tinggi. Pada

proses ini, air yang berpindah akan mengencerkan larutan berkonsentrasi

tinggi hingga tercapai keseimbangan pada kedua sisi membran. Perpindahan

air ini menyebabkan volume larutan berkonsentrasi rendah akan berkurang,

sedangkan volume larutan berkonsentrasi tinggi akan bertambah.

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


30

c. Transpor Aktif

Transpor aktif adalah perpindahan larutan atau molekul melintasu membran

dari daerah berkonsentrasi rendah ke daerah berkonsentrasi tinggi. Pada

transpor aktif terjadi pemompaan melewati membran yang melawan gradien

adenosin trifosfat (ATP) contoh proses yang mengggunakan transfor aktif

adalah pompa natrium - kalium yang berfungsi mempertahankan

konsentrasi ion natrium dan kalium di dalam ruang ekstrasel dan intrasel.

2.4.3 Keseimbangan Cairan

Keseimbangan cairan dalam tubuh tercapai ketika jumlah cairan yang masuk

sama dengan jumlah cairan yang keluar.

a. Asupan dan pengeluaran cairan

b. Organ yang berperan dalam pengeluaran cairan

i. Ginjal

ii. Kulit

iii. Paru - paru

iv. Organ saluran pencernaan (gastrointestinal)

c. Pengatur keseimbangan cairan

i. Hormon antidiuretik

ii. Aldosteron

iii. Glukokortikoid

iv. Prostaglandin

v. Mekanisme rasa haus

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


31

2.4.4 Regulasi Elektrolit

a. Natrium

b. Kalium

c. Kalsium

d. Magnesium

e. Klorida

f. Bikarbonat

g. Fosfat

2.4.5 Faktor yang mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit

Faktor yang memengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit antara lain:

a. Usia

b. Suhu lingkungan

c. Sakit

d. Stress

e. Diet

2.4.6 Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit

a. Ketidakseimbangan Cairan

Gangguan volume cairan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu

kekurangan cairan (hipovolume atau dehidrasi) dan kelebihan cairan

(hipervolume).

1. Hipovolume/Dehidrasi

Hipovolume adalah kondisi ketidakseimbangan yang ditandai

dengan defisiensi cairan dan elektrolit diruang ekstraselular, tetapi

proporsi antara keduanya (cairan dan elektrolit) mendekati normal.

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


32

Hipovolume dikenal juga dengan nama defisit volume cairan (fluid

volume defisit atau FVD).

Hipovolume dapat disebabkan oleh banyak faktor, misalnya

kekurangan asupan cairan dan kelebihan asupan zat terlarut (misalnya

protein, klorida atau natrium). kelebihan asupan zat terlarut dapat

menyebabkan ekskresi atau pengeluaran urine secara berlebihan serta

pengeluaran keringat yang banyak dalam waktu lama.

Secara umum, dehidrasi dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu :

i. Dehidrasi isotonik : jumlah cairan yang hilang sebanding dengan

jumlah elektrolit yang hilang.

ii. Dehidrasi hipertonik : jumlah cairan yang hilang lebih besar dari

pada jumlah elektrolit yang hilang.

iii. Dehidrasi hipotonik : jumlah cairan yang hilang lebih sedikit

daripada jumlah elektrolit yang hilang.

Kehilangan cairan ekstrasel secara berlebihan dapat menyebabkan

penurunan volume ekstrasel (hipovolume) dan perubahan hematokrit.

Berdasarkan derajat keparahan, dehidrasi dapat dibagi menjadi tiga,

yaitu :

i. Dehidrasi ringan : tubuh kehilangan cairan sebesar 5% dari berat

badan atau sekitar 1,5 - 2 liter.

ii. Dehidrasi sedang : tubuh kehilangan cairan sebesar 5 -10% dari

berat badan atau sekitar 2 - 4 liter. Serum natrium dalam tubuh

mencapai 152 - 158 mEq/L. Salah satu ciri fisik dari penderita

dehidrasi sedang adalah mata cekung.

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


33

iii. Dehidrasi berat : tubuh kehilangan cairan sebesar 4 - 6 liter atau

lebih dari 10% dari berat badan. Serum natrium mencapai 159 -

166 mEq/L. penderita dapat mengalami hipotensi, oliguria,

turgor kulit buruk, dan peningkatan laju pernapasan.

2. Hipervolume

Hipervolume adalah kondisi ketidakseimbangan yang ditandai

dengan kelebihan (retensi) cairan dan natrium diruang ekstraselular.

Hipervolume dikenal juga dengan nama defisit volume cairan (fluid

volume eccess atau FVE). kelebihan cairan didalam tubuh dapat

menimbulkan dua manifestasi, yaitu peningkatan volume dan edema.

Kelebihan cairan ekstrasel memiliki manifestasi antara lain edema

perifer atau edema pitting, asites, kelopak mata bengkak, suara napas

ronki basah dan penambahan berat badan yang tidak normal.

b. Ketidakseimbangan Elektrolit

i. Hiponatremia

ii. Hipernatremia

iii. Hipokalemia

iv. Hiperkalemia

v. Hipokalsemia

vi. Hiperkalsemia

vii. Hipomagnesia

viii. Hipermagnesia

ix. Hipokloremia

x. Hiperkloremia

xi. Hipofosfatemia

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


34

xii. Hiperfosfatemia

2..4.7 Manajemen Cairan

Manajemen cairan adalah keterampilan dalam mengidentifikasi masalah,

menetapkan tujuan, pemecahan masalah, pengambilan keputusan dalam menanggapi

fluktuasi tanda dan gejala, mengambil tindakan dalam menanggapi respon fisiologis

kekurangan cairan tubuh, monitoring serta mengelola gejala (Lindberg, 2010).

Penting untuk diingat tentang penyebab haus. Haus adalah hasil langsung dari terlalu

banyaknya garam dalam air, makanan dan juga garam yang ditambahkan dalam

makanan.

Diet garam terlalu banyak akan meyebabkan tingkat natrium meningkat dan

mengaktifkan mekanisme haus di otak, untuk itu perlu minum cairan yang cukup

untuk menormalkan natrium. Aspek yang lebih penting untuk menjaga IDWG

normal pada pasien dengan hemodialysis dan peritonial dialysis adalah dengan

mengurangi jumlah garam dan menggunakan bumbu-bumbu serta rempah-rempah

untuk menambah rasa (Thomas, 2003).

Kelebihan IDWG mungkin tidak selalu menjadi penyebab pasien kurang

mengerti tentang pembatasan asupan cairan. Makanan berisi cairan dan nafsu makan

pasien yang meningkat akan meningkatkan IDWG, dan kenyataan ini dapat dengan

rinci diperoleh pada pengkajian diet, indikasi tinggi protein dan kalori seperti cairan

dalam jelly, ice cream, saus dan sup. Kelebihan IDWG dapat dicegah dengan

pemasukan cairan tiap hari 500 – 750 ml dalam situasi produksi urin kering.

Pemasukan natrium 80 – 110 mmol tiap hari, akan cukup untuk mengontrol haus dan

membantu pasien mengatur cairan (Thomas, 2003).

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


35

BAB III

METODE STUDI KASUS

3.1 Rancangan Studi Kasus

Studi kasus ini adalah studi untuk mengeksplorasi tentang penerapan manajemen

cairan klien dengan risiko defisit volume cairan pada klien dengan tindakan

hemodialisa di RSUD Dr. Ibnu Sutowo Baturaja.

3.2 Subyek Studi Kasus

Adapun subyek dalam penelitian yang ada adalah penerapan manajemen cairan

pada 2 klien (2 kasus ) dengan penyakit gagal ginjal kronis.

3.3 Fokus Studi

Adapun fokus studi dalam penelitian ini adalah :

Penerapan manajemen cairan klien dengan risiko defisit volume cairan.

3.4 Definisi Operasional

Studi kasus penerapan manajemen :

Gagal ginjal kronis adalah kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan

metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi struktur ginjal

yang progresif dengan manifestasi penumpukan sisa metabolik.

Hemodialisa adalah proses pembuangan zat - zat sisa metabolisme, zat tosik

lainnya melalui membran semi permeabel sebagai pemisah antara darah dan cairan

diaksat yang sengaja dibuat dalam dializer.

3.5 Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Ruang Hemodialisa RSUD Dr. Ibnu Sutowo

Baturaja. Lama waktu bisa menyesuaikan denga target keberhasilan dari tindakan,

sebelum proses hemodialisa sampai sesudah proses di hemodialisa.

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


36

3.6 Metode Pengumpulan Data

Adapun metode pengumpulan data penelitian ini adalah teknik pengumpulan

data :

a. Observasi adalah tindakan yang langsung dilakukan kepada klien dengan

mengamati secara langsung untuk memperoleh data yang objektif.

b. Wawancara adalah suatu proses tanya jawab yang dilakukan langsung kepada

klien, keluarga, dokter, perawat dan tenaga kesehatan lain yang mengetahui

keadaan klien dengan menggunakan format pengkajian.

c. Kuesioner (pengumpulan data secara formal untuk menjawab pertanyaan

tertulis).

3.7 Analisa Data dan Penyajian Data

Analisa data yang dilakukan sejak penelitian dilapangan, sewaktu pengumpulan

data sampai dengan semua data terkumpul. Analisa data dilakukan dengan cara

mengemukakan fakta, selanjutnya membandingkan dengan teori yang ada dan

selanjutnya dituangkan dalam opini pembahasan.

Teknik analisa yang digunakan dengan cara menarasikan jawaban - jawaban dari

penelitian yng diperoleh dari hasil intepretasi wawancara mendalam yang digunakan

dengan cara observasi oleh peneliti dibandingkan dengan teori yang ada sebagai

bahan untuk memberikan rekomendasi dalam intervensi tersebut.

Urutan dalam analisis data dalah :

a. Pengumpulan Data

Data dikumpulkan dari hasil WOD ( wawancara, observasi, dan

dokumentasi ). hasil ditulis dalam bentuk catatan lapnngan,

kemudiandibentuk dalam bentuk transkrip.

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


37

b. Penyajian data

Penyajia data dapat dilakukan dengan tabel, gambar, bagan, maupunteks

naratif. Kerahasian dari responden dijamindengan jalan menngaburkan

identitas dari responden.

c. Kesimpulan

Dari data yang disajiakan kemudian data dibahas dan dibandingkan dengan

hasil - hasil penelitian terdahulu dan secara teoritis dengan prilaku

kesehatan. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induksi. Data

yang dikumpulkan terkait dengan data pengkajian, diagnosis, perencanaan,

tindakan dan evaluasi.

3.8 Etika Studi Kasus

Dicantumkan etika yang mendasri suatu penelitian, terdiri dari :

a. Informed consent ( persetujuan menjadi responden )

Lembar persetujuan ini diberikan kepada responden yang akan dilakukan studi

kasus yang memenuhi kriteria inklusi dan disertai judul studi kasus dan manfaat

studi kasus, bila subyek menolak maka penulis tidak memaksa dan menghormati

hak - hak subyek.

b. Anonymity ( tanpa nama )

Untuk menjaga kerahasiaan penulis tidak akan mencantumkan nama responden

tetapi lembar tersebut diberikan kode.

c. Confidentiality ( rahasia )

Kerahasiaan informasi responden dijaminpenulis hanya kelompok data tertentu

yang akan dilaporkan sebagai hasil studi kasus.

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


38

DAFTAR PUSTAKA

Andra & Yessie. 2013 . Buku Keperawatan Medikal Bedah 1 (Keperawatan Dewasa).

Yogyakarta : Nuha Medika.

Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Vol 2 Edisi 8. Jakarta :

EGC.

Doenges, Marilynn E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk

Perencanaan dan Pendokmentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.

Nursalam. (2008). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Ganggguan Sistem

Perkemihan. Jakarta : Salemba Medika.

Arif Muttaqin. (2011). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta :

Salemba Medika.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia

Definisi dan Tindakan Keperawatan. Jakarta Selatan : Dewan Pengurus

Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia

Definisi dan Tindakan Keperawatan. Jakarta Selatan : Dewan Pengurus

Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Tarwoto & Wartonah. (2010). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan.

Jakarta : Salemba Medika.

Kozier and all. (2010). Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses &

Praktik. Jakarta : EGC.

Saputra, Lyndon. (2013). Catatan Ringkas Kebutuhan Dasar Manusia. Tangerang

Selatan : Binarupa Aksara.

Purwanto, Hadi. (2016). Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta Selatan : Pusdik

SDM Kesehatan.

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG

Anda mungkin juga menyukai