Anda di halaman 1dari 10

Diagnosis dan Tatalaksana Rhinitis

Giovani Nando Erico Diantama

102015078

Giovaninandoerico@gmail.com

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jalan Arjuna Utara No.06 Jakarta 11510

Abstrak

Rhinitis alergika terjadi karena sistem kekebalan tubuh kita bereaksi berlebihan terhadap
partikel-partikel yang ada di udara yang kita hirup. Sistem kekebalan tubuh kita menyerang
partikel-partikel itu, menyebabkan gejala-gejala seperti bersin-bersin dan hidung meler.
Partikel-partikel itu disebut alergen yang artinya partikel-partikel itu dapat menyebabkan suatu
reaksi alergi. Rhinitis alergika biasanya mempunyai gejala selama beberapa tahun (kronik).
Gejalanya mungkin sepanjang tahun, atau hanya pada saat-saat tertentu saja. Dengan
berjalannya waktu, alergen mungkin menjadi tidak begitu mempengaruhi, dan gejala-gejalanya
mungkin menjadi tidak separah sebelumnya. Komplikasi seperti sinusitis ataupun infeksi
telinga adalah yang tersering untuk rhinitis allergika.

Kata kunci: Rhinitis alergika, allergen, sinusitis

Abstract

Allegic rhinitis occurred because our immune systems overreact to particles in the air we
breathe. Our immune system is attacking the particles, causing symptoms such as sneezing and
a runny nose. The particles called allergens, meaning that particles can cause an allergic
reaction. Allergic rhinitis usually have symptoms for several years (Chronic). The symptoms
may all year, or only on certain occasions only. As time went on, allergens may be not so
affected, and symptoms may be not a worst ever. Complications like sinusitis or ear infections
is the tersering for allergic rhinitis.

Key words: Allergic rhinitis, allergen, sinusitis


Pendahuluan

Rinitis adalah inflamasi pada lapisan dalam hidung yang ditandai dengan adanya gejala-
gejala seperti rinore,bersin-bersin, hidung tersumbat, dan atau hidung gatal. Secara garis besar,
rinitis dibagi kepada 2 bagian yaitu rinitis nonalergik dan alergi. Gejala-gejala hidung yang
berlangsung kronis tanpa penyebab alergi disebut rinitis nonalergik. Sedangkan bila didapati
adanya penyebab alergi (alergen) dikenal dengan rinitis alergik. Karaktieristik gejala pada
rinitis nonalergik sering susah dibedakan dengan rinitis alergik. Oleh karena itu, hasil negative
dari tes sensitivitas yang diperantarai Ig-E terhadap aeroallergen yang releven, penting untuk
menkonfirmasi diagnosis.1

Rhinitis tergolong infeksi saluran napas yang dapat muncul akut atau kronik. Rhinitis
akut adalah radang akut pada mukosa hidung yang disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri,
dimana kejadiannya kurang dari dua belas minggu. Penyakit ini seringkali ditemukan dalam
kehidupan sehari-hari. Yang termasuk rhinitis akut diantaranya adalah rhinitis simpleks
Rhinitis disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari dua belas minggu. Pembagian
rhinitis kronis berdasarkan ada tidaknya peradangan sebagai penyebabnya. Rhinitis kronis
yang disebabkan oleh peradangan dapat kita temukan pada rhinitis alergi, rhinitis hipertrofi
(medikamentosa), dan rhinitis vasomotor.2

Anamnesis

Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan


pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi
yang khas adalah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala
yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu.
Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning
process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan, sebagai
akibat dilepaskannya histamin.3

Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan
mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).3

Pemeriksaan Fisik

Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu
bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung.
Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi
bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh
punggung tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan rinoskopi anterior ditemukan mukosa
hidung basah, berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan
banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat
gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit
yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media. Mulut sering terbuka dengan
lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-
geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone
appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta
(geographic tongue).4

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan mikroskopik dari jaringan nasal biasanya menunjukkan jumlah eosinofil


yang sangat banyak. Penghitungan eosinofil darah periferal dapat dilakukan, tapi sifatnya
kurang spesifik dan kegunaannya terbatas. Uji radioallergosorbent (RAST) dapat digunakan
untuk mendeteksi IgE dalam darah yang beraksi spesifik terhadap antigen tertentu, tapi uji ini
tidak lebih efektif ketimbang test perkutan. Skin test atau skin prick test mampu
mengidentifikasi allergenspesific IgE dalam serum. Test ini diperlukan bila simptom yang
dialami bersifat persisten dan/atau sedang sampai berat, atau bila kualitas hidup pasien mulai
terpengaruh.

Working Diagnosis
Rhinitis Alergi

Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya
suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut.3 Menurut
WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada
hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung
terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.3 Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa
alergen inhalan yang masuk bersama udara pernapasan yaitu debu rumah, tungau, kotoran
serangga, kutu binatang, jamur, serbuk sari, dan lain-lain. Pasien dengan rhinitis alergi juga
dapat mengalami penurunan kualitas hidup. Hal ini diakibatkan karena gangguan tidur yang
ditimbulkan, gangguan dalam belajar maupun bekerja. Rhinitis alergi juga sering berhubungan
dengan komorbiditas lain, seperti asthma, konjungtivitis dan rhinosinusitis.5

Diagnosis Banding

Rhinitis Akut

1. Rhinitis Simpleks (Selesema, Comman Cold, Coryza)


Rinitis simplek disebabkan oleh virus. Infeksi biasanya terjadi melalui droplet di udara.
Beberapa jenis virus yang berperan antara lain, adenovirus, picovirus, dan subgrupnya
seperti rhinovirus, coxsakievirus, dan ECHO. Masa inkubasinya 1-4 hari dan berakhir
dalam 2-3 minggu. Awalnya hidung tersumbat, rinore, dan bersin yang berulang-ulang.
Pasien merasa dingin, dan terdapat demam ringan. Mukosa hidung tampak merah dan
membengkak. Awalnya, secret hidung (ingus) encer, sangat banyak dan berwarna
putih.6

2. Rhinitis E.c Bakteri (pneumococcus, streptococcus atau staphylococcus,


Corynebacterium diphteriae)
Membrane putih keabu-abuan yang lengket dapat terbentuk di rongga hidung, yang
apabila diangkat dapat menyebabkan pendarahan. Secret hidung (ingus) encer dan
sangat banyak. Tetapi bisa jadi mukopurulen bila terdapat invasi sekunder bakteri. Pada
rhinitis difteri dapat bersifat primer pada hidung atau sekunder pada tenggorokan dan
dapat terjadi dalam bentuk akut atau kronis. Dugaan adanya rinitis difteri harus
dipikirkan pada penderita dengan riwayat imunisasi yang tidak lengkap. Gejala ialah
demam, terdapat limfadenitis. Pada hidung ada ingus yang bercampur darah.
Membrane keabu-abuan tampak menutup konka inferior dan kavum nasi bagian bawah,
membrannya lengket dan bila diangkat dapat terjadi perdarahan.6

3. Rinitis Iritan
Tipe rinitis akut ini disebabkan oleh paparan debu, asap atau gas yang bersifat
iritatifseperti ammonia, formalin, gas asam dan lain-lain. Pada rinitis iritan terdapat
reaksi yang terjadi segera yang disebut dengan “immediate catarrhal reaction”
bersamaan dengan bersin, rinore, dan hidung tersumbat. Gejalanya dapat sembuh cepat
dengan menghilangkan faktor penyebab atau dapat menetap selama beberapa hari jika
epitel hidung telah rusak.6
Rinitis Kronis
1. Rinitis Vasomotor
Gangguan vasomotor hidung adalah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan mukosa
hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis.3 Rinitis vasomotor
adalah gangguan pada mukosa hidung yang ditandai dengan adanya edema yang
persisten dan hipersekresi kelenjar pada mukosa hidung apabila terpapar oleh iritan
spesifik. Kelainan ini 30 merupakan keadaan yang non-infektif dan non-alergi. Rinitis
vasomotor mempunyai gejala yang mirip dengan rinitis alergi sehingga sulit untuk
dibedakan. Pada umumnya pasien mengeluhkan gejala hidung tersumbat, ingus yang
banyak dan encer serta bersin-bersin walaupun jarang.3 Etiologi yang pasti belum
diketahui, tetapi diduga sebagai akibat gangguan keseimbangan fungsi vasomotor
dimana sistem saraf parasimpatis relatif lebih dominan. Keseimbangan vasomotor ini
dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berlangsung temporer, seperti emosi, posisi
tubuh, kelembaban udara, perubahan suhu luar, latihan jasmani dan sebagainya, yang
pada keadaan normal faktor-faktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh individu
tersebut.3 Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis yang cermat, pemeriksaan
THT serta beberapa pemeriksaan yang dapat menyingkirkan kemungkinan jenis rinitis
lainnya. Penatalaksanaan rinitis vasomotor bergantung pada berat ringannya gejala dan
dapat dibagi atas tindakan konservatif dan operatif.

Etiologi

Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam
perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis
alergi (Adams, Boies and Higler., 1997). Penyebab rinitis alergi tersering adalah allergen
inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak.

Epidmiologi

Rhinitis alergi merupakan bentuk yang paling sering dari semua penyakit atopi,
diperkirakan mencapai prevalensi 5-22%.
Patofisilogi

a. Sensitisasi

Respon imun dalam alergi diawali dengan proses sensitisasi di mana ketika suatu
allergen terhirup, maka Antigen Presenting Cells (APC) seperti sel langerhans pada epitelium
yang melapisi saluran paru-paru dan hidung, akan memproses dan mengekpresikan alergen
tersebut pada permukaan sel. Allergen tersebut kemudian akan dipresentasikan kepada sel lain
yang terlibat dalam respon imun, khususnya sel t-limfosit. Melalui beberapa interaksi sel
spesifik kemudian sel b-limfosit akan bertransformasi menjadi antibody secretory cell, yaitu
sel plasma (Schwinghammer in DiPiro et al., 2009). Pada respon alergi, sel plasma tersebut
memproduksi antibodi IgE yang seperti isotip imunoglobulin lainnya, mampu berikatan
dengan allergen spesifik melalui sisi Fab-nya. Ketika IgE sudah terbentuk dan memasuki
sirkulasi, ia akan berikatan melalui sisi Fc-nya dengan reseptor afinitas tinggi di sel mast,
sementara sisi reseptornya yang bersifat spesifik terhadap allergen akan siap untuk berinteraksi
dengan allergen pada paparan berikutnya. Sel lain yang telah diketahui mampu
mengekspresikan reseptor afinitas tinggi kepada IgE antara lain adalah basofil, sel langerhans,
dan monosit yang teraktivasi. Produksi antibodi IgE yang bersifat allergen-spesific inilah yang
menimbulkan respon imun yang disebut sensitisasi.3

b. Reaksi alergi fase cepat

Merupakan reaksi cepat yang terjadi dalam beberapa menit, dapat berlangsung sejak
kontak dengan allergen sampai 1 jam setelahnya. Mediator yang berperan pada fase ini yaitu
histamin, triptase, dan mediator lain seperti leukotrien, prostaglandin (PGD2), dan bradikinin.
Mediator-mediator tersebut menyebabkan keluarnya plasma dari pembuluh darah dan dilatasi
dari anastomosis arteri yang menyebabkan terjadi edema, berkumpulnya darah pada karvenous
sinusoid dengan gejala klinis berupa hidung tersumbat dan oklusi dari saluran hidung.
Rangsangan terhadap kelenjar mukosa dan sel goblet menyebabkan hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Rangsangan pada ujung saraf sensoris
(vidianus) menyebabkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin.3

c. Reaksi alergi fase lambat

Reaksi alergi fase lambat terjadi 4-8 jam setelah fase cepat. Reaksi ini disebabkan oleh
mediator yang dihasilkan oleh fase cepat beraksi terhadap sel endotel post-kapiler yang
menghasilkan suatu Vascular Cell Adhesion Mollecule (VCAM) di mana molekul ini
menyebabkan sel leukosit seperti eosinofil menempel pada dinding endotel. Faktor kemotaktik
seperti interleukin-5 (IL-5) menyebabkan infiltrasi sel-sel eosinofil, sel mast, limfosit,
neutrofil, dan makrofag ke dalam mukosa hidung. Sel-sel ini kemudian menjadi teraktivasi dan
menghasilkan 7 mediator lain seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic
Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO) yang
menyebabkan gejala hiperreaktivitas dan hiperresponsivitas hidung. Gejala klinis yang
ditimbulkan pada fase ini lebih didominasi oleh sumbatan hidung.3

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:3

1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan Misalnya: tungau debu
rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan serta jamur.
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan Misalnya: susu, sapi,
telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting dan kacang- kacangan.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan Misalnya: penisilin dan
sengatan lebah.
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa Misalnya:
bahan kosmetik, perhiasan.

Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang paling sering adalah:3
1. Polip hidung.
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor
penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
3. Sinusitis paranasal.

Penatalaksanaan7
a. Menghindari alergen spesifik
b. Pemeliharaan dan peningkatan kebugaran jasmani telah diketahui berkhasiat
dalam menurunkan gejala alergis
c. Terapi topikal dapat dengan dekongestan hidung topikal melalui semprot hidung.
Obat yang biasa digunakan adalah oxymetazolin atau
xylometazolin, namun hanya bila hidung sangat tersumbat dan dipakai beberapa hari
(< 2 minggu) untuk menghindari rhinitis medikamentosa.
d. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala sumbatan hidung akibat respons fase
lambat tidak dapat diatasi dengan obat lain. Obat yang sering dipakai adalah
kortikosteroid topikal: beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason
furoat dan triamsinolon.
e. Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida yang bermanfaat
untuk mengatasi rinorea karena aktivitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan
sel efektor.
f. Terapi oral
sistemik
1. Antihistamin
• Anti histamin generasi 1: difenhidramin, klorfeniramin, siproheptadin.
• Anti histamin generasi 2: loratadin, cetirizine
2. Preparat simpatomimetik golongan agonis alfa dapat dipakai sebagai dekongestan
hidung oral dengan atau tanpa kombinasi antihistamin. Dekongestan oral:
pseudoefedrin, fenilpropanolamin, fenilefrin.
g. Terapi lainnya dapat berupa operasi terutama bila terdapat kelainan anatomi,
selain itu dapat juga dengan imunoterapi

Konseling dan Edukasi


Memberitahu individu dan keluarga untuk:
a. Menyingkirkan faktor penyebab yang dicurigai (alergen).
b. Menghindari suhu ekstrim panas maupun ekstrim dingin
c. Selalu menjaga kesehatan dan kebugaran jasmani.
Gambar 2. Algoritma penatalaksanaan Rinitis Alergi menurut WHO Initiative ARIA
2001 (dewasasa)

Kesimpulan

Rhinitis alergi adalah penyakit peradangan yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien-

pasien yang memiliki atopi, yang sebelumnya sudah tersensitisasi atau terpapar dengan

allergen (zat/materi yang menyebabkan timbulnya alergi) yang sama serta meliputi mekanisme

pelepasan mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen yang serupa.
Daftar Pustaka

1. Settipane R.A, Lieberman P. Update on Non-Allergic Rhinitis. Brown University


School of Medicine. Diunduh dari
http://nypollencount.com/Articles/NonAllergic%20Rhinitis.pdf [diakses tanggal 24
Maret 2019]
2. Acute and Chronic Rhinitis. Dalam Dhingra P.L. Disease of Ear, Nose and Throat.
Edisi 4. New Delhi. Gopson Paper Ltd. 2007. Hal: 145-8
3. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi ke Enam.
2004. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
4. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Rinitis alergi. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Kepala Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007. H.128 – 38
5. Meltzer, EO. Evaluation of The Oral Antihistamine for Patients with Allergic Rhinitis.
2005. Tersedia di: http://highwire.stanford.edu/. Diunduh pada 24 Maret 2019.
6. Dhingra P.L, Dhingra S, eds. Diseases of Ear, Nose & Throat, 5th Edition. New Delhi
: Elsevier; 2011. p. 180-184
7. Adams G., Boies L., Higler P. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 1997.

Anda mungkin juga menyukai