Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Penyakit kusta tersebar diseluruh dunia dengan endemisitas yang berbeda-
beda. Diantara 122 negara yang endemis pada tahun 1985, 98 negara telah
mencapai eliminasi kusta yaitu prevalensi rate < 1/10.000 penduduk. Pada
tahun 1991 World Health Assembly telah mengeluarkan suatu resolusi yaitu
eliminasi kusta tahun 2000. Pada 1999, insidensi penyakit kusta di dunia
diperkirakan 640.000 dan 108 kasus terjadi di Amerika Serikat. Pada 2000,
Word Health Organisation membuat daftar 91 negara yang endemik kusta.
70% kasus dunia terdapat di India, Myanmar, dan Nepal (Depkes RI, 2005).
Pada tahun 2000 Indonesia menempati urutan ke tiga setelah India dan
Brazil dalam hal penyumbang jumlah penderita kusta di dunia. Walaupun ada
penurunan yang cukup drastis dari jumlah kasus terdaftar, namun
sesungguhnya jumlah penemuan kasus baru tidak berkurang sama sekali.
Oleh karena itu, selain angka prevalensi rate, angka penemuan kasus baru
juga merupakan indikator yang harus diperhatikan (Depkes RI, 2005).
Pada 2002, 763.917 kasus ditemukan di seluruh dunia, dan menurut WHO
pada tahun itu, 90% kasus kusta dunia terdapat di Brasil, Madagaskar,
Mozambik, Tanzania dan Nepal. Di seluruh dunia, dua hingga tiga juta orang
diperkirakan menderita kusta. Distribusi penyakit kusta dunia pada 2003
menunjukkan India sebagai negara dengan jumlah penderita terbesar, diikuti
oleh Brasil dan Myanmar (Depkes RI, 2005).
Di Indonesia, jumlah penderita kusta dengan frekuensi tertinggi di provinsi
Jawa Timur yaitu mencapai 4 per 10.000 penduduk.selanjutnya provinsi Jawa
Barat mencapai 3 per 10.000 penduduk dan provinsi Sulawesi Selatan yaitu 2
per 10.000 penduduk (Depkes RI, 2002).

B. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana asuhan keperawatan klien dengan kusta?

1
C. TUJUAN UMUM
1. Untuk lebih memahami apa itu Kusta serta bagaimana pengobatannya
2. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Sistem Integumen

D. TUJUAN KHUSUS

1. Untuk mengetahui definisi penyakit Kusta


2. Untuk mengetahui bagaimana etiologi dari penyakit Kusta
3. Untuk mengetahui bagaimana patofisiologi dari penyakit kusta
4. Untuk mengetahui bagaimana manifestasi klinis dari penyakit Kusta
5. Untuk mengetahui apa saja pemeriksaan penunjang dari penyakit
Kusta
6. Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan dari penyakit Kusta
7. Untuk mengetahui bagaimana asuhan keperawatan dari penyakit
Kusta

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI KUSTA
Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta
(mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh
lainnya.(Depkes RI, 1998) Kusta merupakan penyakit kronik yang disebabkan
oleh infeksi mikobakterium leprae. (Mansjoer Arif, 2000).
Kusta adalah penyakit infeksi
kronis yang di sebabkan oleh
mycobacterium lepra yang interseluler
obligat, yang pertama menyerang saraf
tepi, selanjutnya dapat menyerang
kulit, mukosa mulut, saluran nafas
bagian atas, sistem endotelial,
mata,otot, tulang, dan testis ( djuanda,
4.1997 . Kusta adalah penykit menular
pada umunya mempengaruhi k ulit dan saraf perifer,tetapi mempunyai
cakupan manifestasi klinis yang luas ( COC, 2003)

B. ETIOLOGI
Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri Myobacterium leprae yang
ditemukan pada tahun 1874, oleh GA Hansen . Kuman ini berbentuk batang,
gram positip, berukuran 0.34 x 2 mikron dan berkelompok membentuk
globus. Kuman Myohacterium leprae hidup pada sel Schwann dan sistim
retikuloendotelial, dengan masa generasi 12-24 hari, dan termasuk kuman
yang tidak ganas serta lambat berkembangnya.
Kuman-kuman kusta berbentuk batang, biasanya berkelompok dan ada
yang tersebar satu-satu dengan ukuran panjang 1-8 mic, lebar 0,2-0,5 mic
yang bersifat tahan asam.

3
Sampai saat ini kuman tersebut
belum dapat dibiakkan dalam medium
buatan, dan manusia merupakan satu-
satunya sumber penularan. Berbagai
usaha telah dilakukan untuk membiakkan
kuman tersebut yaitu melalui: telapak
kaki tikus, tikus yang diradiasi,
armadillo, kultur jaringan syaraf manusia
dan pada media buatan.
Diagnosis penyakit lepra melalui usapan sekret hidung dan melalui
kerokan kulit penderita. Kuman yang berada di sekret hidung yang kering,
dapat bertahan hidup sampai 9 hari di luar tubuh, sedangkan di tanah yang
lembab dan suhu kamar, kuman ini dapat bertahan sampai 46 hari.

C. MANIFESTASI KLINIS
Menurut WHO (1995), diagnosis kusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda
kardinal berikut:
1. Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas.
Lesi kulit dapat tunggal atau multipel, biasanya hipopigmentasi tetapi
kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga. Lesi dapat
bervariasi tetapi umumnya berupa makula, papul, atau nodul. Kehilangan
sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf
terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit
dan kelemahan otot. Penebalan saraf tepi saja tanpa disertai kehilangan
sensibilitas dan/atau kelemahan otot juga merupakan tanda kusta.
2. BTA positif.
Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan asam dari kerokan jaringan
kulit. Bila ragu-ragu maka dianggap sebagai kasus dicurigai dan diperiksa
ulang setiap 3 bulan sampai ditegakkan diagnosis kusta atau penyakit lain.

Menurut (Dep Kes RI. Dirjen PP & PL, 2007). Tanda-tanda utama atau
Cardinal Sign penyakit kusta, yaitu:

4
1. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa
Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan
(hypopigmentasi) atau kemerah-merahan (erithematous) yang mati rasa
(anaesthesi).
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf
tepi (neuritis perifer). Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa :
a. Gangguan fungsi sensori seperti mati rasa
b. Gangguan fungsi motoris seperti kelemahan otot (parese) atau
kelumpuhan (paralise)
c. Gangguan fungsi otonom seperti kulit kering dan retak-retak.
3. Adanya bakteri tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (BTA+)
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta apabila di temukan satu atau
lebih dari tanda-tanda utama diatas. Pada dasarnya sebagian besar
penderita dapat didiagnosis dengan pemeriksaan klinis. Namun demikian
pada penderita yang meragukan dapat dilakukan pemeriksaan kerokan
kulit. Apabila hanya ditemukan cardinal sign kedua perlu dirujuk kepada
wasor atau ahli kusta, jika masih ragu orang tersebut dianggap sebagai
penderita yang dicurigai.

D. KLASIFIKASI
1. Klasifikasi Internasional: Klasifikasi Madrid (1953)
a. Indeterminate (I)
b. Tuberkuloid (T)
c. Boderline-Dimorphous (B)
d. Lepromatosa (L)
2. Klasifikasi untuk kepentingan riset: Klasifikasi Ridley-Jopling (1962)
a. Tuberkoloid (TT)
b. Borderline tuberculoid (BT)
c. Mid-Borderline (BB)
d. Borderline Lepromatous (BL)

5
e. Lepromatosa (LL)
3. Klasifikasi menurut WHO (1995) terbagi menjadi dua kelompok, yaitu:
a. Pause Basiler (PB) : I, TT, BT
b. Multi Basiler (MB) : BB, BL, LL
Perbedaan antara kusta Pause Basiler (PB) dengan Multi Basiler (MB)
menurut WHO

Kelainan kulit & hasil


No. Pause Basiler Multiple Basiler
pemeriksaan
1. Bercak (makula)
a. Jumlah a. 1-5 a. Banyak
b. Ukuran b. Kecil dan besar b. Kecil-kecil
c. Distribusi c. Unilateral atau c. Bilateral, simetris
bilateral asimetris
d. Konsistensi d. Kering dan kasar d. Halus, berkilat
e. Batas e. Tegas e. Kurang tegas
f. Kehilangan rasa f. Selalu ada dan f. Biasanya tidak
pada bercak jelas jelas, jika ada
terjadi pada yang
sudah lanjut
g. Kehilangan g. Bercak tidak g. Bercak masih
berkemampuan berkeringat, ada berkeringat, bulu
berkeringat, bulu rontok pada tidak rontok
berbulu rontok bercak
pada bercak
2. Infiltrat
a. Kulit a. Tidak ada a. Ada, kadang-
kadang tidak ada
b. Membrana b. Tidak pernah ada b. Ada, kadang-
mukosa tersumbat kadang tidak ada
perdarahan
dihidung

6
3. Ciri hidung ”central healing” a. Punched out lessi
penyembuhan ditengah b. Medarosis
c. Ginecomastia
d. Hidung pelana
e. Suara sengau
4. Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada
5. Penebalan saraf tepi Lebih sering terjadi dini, Terjadi pada yang lanjut
asimetris biasanya lebih dari 1 dan
simetris
6. Deformitas cacat Biasanya asimetris terjadi Terjadi pada stadium lanjut
dini
7. Apusan BTA negatif BTA positif

E. PATOFISIOLOGI
Setelah M. leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta
bergantung pada kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa tunas
dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas selular (cellular mediated
immune) pasien. Kalau sistem imunitas selular tinggi, penyakit berkembang
kearah tuberkuloid dan bila rendah, berkembang kearah lepromatosa. M.
leprae berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah
akral dengan vaskularisasi yang sedikit.

Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena


respon imun pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan
tingkat reaksi selular daripada intensitas infeksi. Oleh karena itu penyakit
kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik.

7
F. POHON MASALAH

Mycobacterium Leprae

Droplet infection atau kontak dg kulit

Masuk dlm pem.darah dermis & sel saraf schwan

System imun seluler meningkat

fagositosis

Pembentukan tuberkel

Morbus Hansen (kusta)

Pause Basiler (PB) Multi Basiler (MB)

G3 saraf tepi

Saraf motor Saraf otonom Saraf sensorik

Kelemahan otot G3 kelenjar minyak & fibrosis


aliran darah

Intoleransi aktivitas Penebalan saraf


Kulit kering, bersisik,
macula seluruh tubuh

anestesi

8
sekresi histamin G3 fungsi barrier kulit
Terjadi trauma/cedera

Respon gatal Kerusakan integritas


kulit Terjadi luka

digaruk Merangsang mediator


inflamasi

Resiko penyebaran
infeksi Sekresi mediator
nyeri nyeri

G3 citra tubuh

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan Bakteriologis
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut :
a. Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
b. Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak
ditemukan lesi ditempat lain.
c. Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila
perlu ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
d. Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium
leprae ialah:
1) Cuping telinga kiri atau kanan
2) Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain
e. Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
1) Tidak menyenangkan pasien
2) Positif palsu karena ada mikobakterium lain
3) Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput
lendir hidung apabila sedian apus kulit negatif.
4) Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput
lendir hidung lebih dulu negatif dari pada sediaan kulit
ditempat lain.

9
f. Indikasi pengambilan sediaan apus kulit :
1) Semua orang yang dicurigai menderita kusta
2) Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai
pasien kusta
3) Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena
tersangka kuman resisten terhadap obat
4) Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali
g. Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam,
yaitu ziehl neelsen atau kinyoun gabett.
h. Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu
cara zig zag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk
kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-
pecah (fragmented), granula (granulates), globus dan clumps.

2. Indeks Bakteri (IB):


Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus.
IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil
pengobatan. Penilaian dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY
sebagai berikut :
0 : Bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
1 : Bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
2 : Bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
3 : Bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
4 : Bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
5 : Bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
6 : Bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

3. Indeks Morfologi (IM)


Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM
digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil
pengobatan, dan membantu menentukan resistensi terhadap obat.

10
H. PENATALAKSANAAN
1. Terapi Medik
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien
kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai
penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain
untuk menurunkan insiden penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin,
klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk
mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi
ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi
persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995
sebagai berikut:
a. Tipe PB (Pause Basiler)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
1) Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas
2) DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah
Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah
selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis
lesinya masih aktif. Menurut WHO (1995) tidak lagi dinyatakan
RFT tetapi menggunakan istilah Completion Of
Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.
b. Tipe MB (Multi Basiler)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
1) Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas
2) Klofazimin 300mg/bln diminum didepan petugas
dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg /hari diminum
dirumah
3) DDS 100 mg/hari diminum dirumah
Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan
sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara
klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut

11
WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang
diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan
RFT.

c. Pengobatan MDT terbaru


Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO
(1998), pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis
tunggal rifampisin 600mg, ofloksasim 400mg dan minosiklin 100mg
dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan
2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan
sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis
dalam 24 jam.
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis
dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta
tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang
seharusnya.

2. Perawatan Umum
Perawatan pada morbus hansen umumnya untuk mencegah kecacatan.
Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi,
baik karena kuman kusta maupun karena peradangan sewaktu keadaan
reaksi netral.
a. Perawatan mata dengan lagophthalmos
1) Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada kemerahan
atau kotoran
2) Penderita harus ingat sering kedip dengan kuat
3) Mata perlu dilindungi dari kekeringan dan debu
b. Perawatan tangan yang mati rasa
1) Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk mencari tanda-
tanda luka, melepuh
2) Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebih
kurang setengah jam

12
3) Keadaan basah diolesi minyak
4) Kulit yang tebal digosok agar tipis dan halus
5) Jari bengkok diurut agar lurus dan sendi-sendi tidak kaku
6) Tangan mati rasa dilindungi dari panas, benda tajam, luka
c. Perawatan kaki yang mati rasa
1) Penderita memeriksa kaki tiap hari
2) Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang ½ jam
3) Masih basah diolesi minyak
4) Kulit yang keras digosok agar tipis dan halus
5) Jari-jari bengkok diurut lurus
6) Kaki mati rasa dilindungi
d. Perawatan luka
1) Luka dibersihkan dengan sabun pada waktu direndam
2) Luka dibalut agar bersih
3) Bagian luka diistirahatkan dari tekanan
4) Bila bengkak, panas, bau bawa ke puskesmas

13
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Biodata
Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-
anak dan dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat
menentukan tingkat sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan.
Karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar penderita kusta adalah
dari golongan ekonomi lemah.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan
adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf)
kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan
adanya komplikasi pada organ tubuh.
3. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam
kondisi lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi
4. Riwayat Kesehatan Keluarga
Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang
disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium leprae) yang masa
inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga
yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.
5. Riwayat Psikososial
Fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita. Klien yang menderita
morbus hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat akan
beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga
klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami
gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan
6. Pola Aktivitas Sehari-hari
Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan
dan kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada

14
orang lain dalam perawatan diri karena kondisinya yang tidak
memungkinkan.
7. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi
berat pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah
karena adanya gangguan saraf tepi motorik.
a. System Pengelihatan
Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata
anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi
mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi
kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta.
Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan
pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis.
Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis
mata akan rontok.
b. System Pernafasan
Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan
terdapat gangguan pada tenggorokan.
c. System Persarafan
1) Kerusakan Fungsi Sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya
kurang/ mati rasa. Akibat kurang/ mati rasa pada telapak
tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea
mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip.
2) Kerusakan Fungsi Motorik
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/
lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil (atropi) karena
tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi
bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi
(kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan
mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).
3) Kerusakan Fungsi Otonom

15
Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak
dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi
kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-
pecah.
d. System Musculoskeletal
Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan
atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.
e. System Integumen
Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak
eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul
(benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan
kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah
sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut:
sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan rasa nyaman nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi
jaringan.
2. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses
inflamas.
3. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan otot
4. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan
ketidakmampuan dan kehilangan fungsi tubuh.
5. Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan lesi yang meluas

16
17
18
19
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun yang menyerang
saraf perifer, kulit dan jaringan tubuh lainnya. Penyakit kusta disebabkan oleh
bakteri Myobacterium leprae Tanda dan gejala penyakit kusta meliputi
adanya lesi (kelainan) kulit yang mati rasa, penebalan saraf tepi yang disertai
dengan gangguan fungsi saraf. dan adanya bakteri tahan asam (BTA) didalam
kerokan jaringan kulit (BTA+). Tujuan utama program pemberantasan kusta
adalah penyembuhan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta
memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang
menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit.
B. Saran
Dalam mencegah penyakit ini kita sebagai perawat melakukan
upaya promotif dan preventif sebagai upaya peningkatan derajat kesehatan
masyarakat yaitu dengan menerapkan pola hidup yang bersih dan sehat
dan memperbanyak informasi terkait penyakit ini.

20
DAFTAR PUSTAKA

http://permata.or.id/id/tentang-kusta.html (online) diakses pada 7 April 2019


http://www.scribd.com/doc/50863131/ASUHAN-KEPERAWATAN-PADA-
KLIEN-DENGAN-KUSTA (online) diakses pada 7 April 2019
http://www.scribd.com/doc/83637292/Patofisiologi (online) di akses pada 7 April
2019
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23780/2/Chapter%20II.pdf
(online) di akses pada 7 April 2019

21

Anda mungkin juga menyukai