Anda di halaman 1dari 23

PENDIDIKAN INTERDIPLINER

REVISI MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester
“ Pemikiran tokoh-tokoh pendidikan Islam klasik ”

Dosen Pengampu :
Dr. Afiful Ikhwan, M.Pd.I

Oleh :

Kurnia Putra Dwi Prasetya Wicaksana


18150335

PGMI – SMT 3

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO

Januari 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah swt. yang telah memberikan rahmat, taufik,
serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penyusunan
makalah dengan judul “Pemikiran tokoh-tokoh pendidikan Islam klasik” sesuai
dengan waktu yang sudah disediakan.
Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan
Interdisipliner yang dibimbing oleh Dr. Afiful Ikhwan, M.Pd.I

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada


1. Drs. Rido Kurnianto,M.Ag;
2. Ayok Ariyanto,M.Pd.I., selaku Kaprodi Pendidikan Guru Madrasah
Ibtida’iyah;
3. Dr. Afiful Ikhwan, M.Pd.I selaku dosen pembimbing mata kuliah ini yang telah
memberikan arahan serta masukan;
4. Pihak lain yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu, yang telah memberikan
dukungan moral maupun material.
Saya menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pihak.

Ponorogo, 05 Januari 2019

Penulis,

DAFTAR ISI

ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2

C. Tujuan Masalah ............................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 3

A. Pemikiran Imam Al Ghazali......................................................................... 3

B. Pemikiran Ibnu Sina ..................................................................................... 5

C. Pemikiran Ibnu Khaldun ............................................................................ 12

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 18

A. Kesimpulan ................................................................................................ 18

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 20

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam setiap ruang dan waktu, pendidikan selalu mendapatkan


perhatian dari setiap tokoh-tokohnya. Perbincangan tentang pendidikan
seolah-olah tak pernah mati. Dalam kondisi apapun pendidikan tetap selalu
dibicarakan. Baik dalam kondisi berkembang dan maju maupun dalam
kondisi stagnan atau bahkan dalam kondisi terpuruk sekalipun. Belum
pernah didengar ada suatu masa yang disitu pendidikan tidak dibicarakan.
Ini berlaku disemua negara dan disemua waktu. Pendidikan merupakan
masalah yang tidak pernah selesai. Pendidikan selalu terasa tidak pernah
memuaskan. Pendidikan selalu dibicarakan. Pendidikan bahkan selalu
menjadi bahan perdebatan.

Aktivitas pendidikan akan selalu berubah dan berkembang


mengikuti perubahan perubahan zaman. Hal ini tidak terlepas dari peran
pendidikan sendiri sebagai pengampu sumber daya umat manusia untuk
mampu mempertahankan hidupnya. Dengan demikian, perubahan-
perubahan pola pikir, kebutuhan dan tuntutan hidup umat manusia secara
otomatis menuntut pula perubahan dan perkembangan sistem dan aktivitas
pendidikan.
Berbicara tentang pendidikan Islam, maka mau tidak mau harus
berbenturan dengan tokoh-tokoh yang berkecimpung di dalamnya. Diantara
tokoh pendidikan Islam klasik yang tidak kecil kontribusinya antara lain
Imam Al Ghazali, Ibnu Sina dan Ibnu Khaldun.

Bicara soal pendidikan karakter maka tidak seharusnya kita


meninggalkan tokoh muslim yang satu ini, yaitu Imam Al Ghazali.
Tentunya kita sudah tidak asing mendengar nama Imam Al Ghazali. Tokoh
pendidikan muslim yang terkenal dengan konsep pendidikan akhlak.
Memang Al-Ghazali tidak membahas secara tersendiri tentang metode

1
pendidikan dalam karya-karya secara mendalam sebagaimana ia membahas
tentang pendidik dan anak didik dan berbagai kewajiban yang
melingkupinya.

Dalam pandangan Ibnu Sina, pendidikan tak hanya memperhatikan


aspek moral, namun juga membentuk individu yang menyeluruh termasuk,
jiwa, pikiran dan karakter. Menurutnya, pendidikan sangat penting
diberikan kepada anak-anak untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi
masa dewasa. Ibnu Sina mengungkapkan, seseorang harus memiliki profesi
tertentu dan harus bisa berkontribusi bagi masyarakat.
Ibnu Khaldun memilki tempat tersendiri dalam dunia pendidikan
Islam. Pemikiran-pemikirannya selalu menjadi bahan perbincangan di
kalangan praktisi pendidikan. Baik itu pada masanya maupun pada masa-
masa sesudahnya. Sedemikian besar kontribusi dalam dunia pendidikan,
pemikrannya tidak hanya di konsumsi oleh para praktisi pendidikan Islam
tetapi juga banyak sarjana-sarjana barat yang menjadikannya sebagai
rujukan dalam penelitian-penelitian yang dikembangkannya.

B. Rumusan Masalah
1. Pemikiran tentang pendidik menurut Al-Ghazali ?
2. Pemikiran tentang pendidikan menurut Ibnu Sina ?
3. Pemikiran tentang pendidikan menurut Ibnu Khaldun ?

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui pemikiran tentang pendidik menurut Al-Ghazali
2. Mengetahui pemikiran tentang pendidikan menurut Ibnu Sina
3. Mengetahui pemikiran tentang pendidikan menurut Ibnu Khaldun

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pemikiran Imam Al Ghazali


Al-Gahzali termasuk ke dalam kelompok sufistik yang banyak menaruh
perhatian yang besar terhadap pendidikan, karena pendidikan yang
banyakmenentukan corak kehidupan suatu bangsa. Demikian hasil pengamatan
Ahmad Fu’ad al-Ahwani terhadap pemikiran pendidikan al-Ghazali.
Sementara itu H.M. Arifin mengatakan, bila dipandang dari segi
filosofis, al-Ghazali adalah penganut paham idealism yang konsekuen terhadap
agama sebagai dasar pandangannya.1
Dalam masalah pendidikan al-Ghazali lebih cenderung berpaham
empirisme. Hal ini antara lain disebabkan karena ia sangat menekankan
pengaruh pendidikan terhadap anak didik. Menurutnya seorang anak
tergantung kepada orang tua dan orang yang mendidiknya. Hati seorang anak
itu bersih, murni, laksana permata yang sangat berharga sederhana dan bersih
dari gambaran apapun. Hal ini sejalan dengan hadis Rasulullah SAW yang
menegaskan :
َ ‫ص َرانِ ِه أ َ ْو يُ َم ِ ِّج‬
)‫سانِ ِه (رواه مسلم‬ ْ ‫ُك ُّل َم ْولُ ْو ٍد ي ُْولَد ُ َعلَى اْل ِف‬
ِّ ِ َ‫ط َرةِ فَأَبَ َواهُ يُ َه ِّ ِودَانِ ِه أ َ ْو يُن‬
Artinya : ”Setiap anak dilahirkan dalam keadaan bersih, orang tuanyalah yang
menyebabkan anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Muslim)

Sejalan dengan hadis tersebut, al-Ghazali mengatakan jika anak


menerima ajaran dan kebiasaan hidup yang baik, maka anak itu menjadi baik.
Sebaliknya jika anak itu dibiasakan melakukan perbuatan buruk dan dibiasakan
kepada hal-hal yang jahat, maka anak itu akan berakhlak jelek. Pentingnya
pendidikan ini didasarkan kepada pengalaman hidup al-Ghazali sendiri, yaitu
sebagai orang yang tumbuh menjadi ulama besar yang menguasai berbagai ilmu
pengetahuan, disebabkan oleh pendidikan.

1 H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, cet.1, 1991, h.87

3
Setelah menjelaskan peranan pendidikan sebagaimana diuraikan di
atas, al-Ghazali lebih lanjut menjelaskan tujuan pendidikan. Menurutnya,
tujuan pendidikan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan
untuk mencari kedudukan yang menghasilkan uang. Karena jika tujuan
pendidikan diarahkan bukan pada mendekatkan diri pada Allah SWT, akan
dapat menimbulkan kedengkian, kebencian dan permusuhan.
Pendapat al-Ghazali tersebut cenderung kepada sisi keruhanian, dan
sejalan dengan filsafat al-Ghazali yang bercorak tasawuf. Maka
sasaranpendidikan menurut al-Ghazali adalah kesempurnaan insani di dunia
dan akhirat. Dan manusia akan sampai kepada tingkat kesempurnaan itu hanya
dengan menguasai sifat keutamaan melalui jalur ilmu. Keutamaan itulah yang
akan membuat dia bahagia di dunia dan mendekatkan dia kepada Allah SWT.
sehingga ia menjadi bahagia di akhirat.
Tanpa mengkaji ilmu tasawuf dan akhlak maka kebaikan tidak dapat
dicari dan keburukan tidak dapat dihindari dengan sempurna. Prinsip-prinsip
akhlak dan tasawuf dipelajari dengan maksud menerapkan semuanya dalam
kehidupan sehari-hari. Al-Ghazali menegaskan bahwa pengetahuan yang tidak
diamalkan tidak lebih daripada kebodohan.
Rumusan tujuan pendidikan yang demikian itu sejalan dengan firman
Allah SWT tentang tujuan penciptaan manusia, yaitu :

َ ‫لج َّن َواْ ِإل ْن‬


‫س ِإالَّ ِليَ ْعبُد ُْو ِن‬ ِ ْ‫َو َما َخلَ ْقتُ ا‬
Dan Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan agar beribadah
kepada-Ku.2
Rumusan tujuan pendidikan al-Ghazali yang demikian itu juga karena
ia memandang dunia ini bukan merupakan hal yang pokok, tidak abadi dan
akan rusak, sedangkan maut dapat memutuskan kenikmatan setiap saat.Dunia
hanya tempat lewat sementara, tidak kekal. Sedangkan akhirat adalah kampung
yang kekal abadi, dan maut senantiasa mengintai setiap saat.

2[Q.S. Al-Dzariyat : 56

4
Lebih lanjut al-Ghazali mengatakan bahwa orang yang berakal sehat
adalah orang yang dapat menggunakan dunia untuk tujuan akhirat, sehinggaorang
tersebut derajatnya lebih tinggi di sisi Allah dan lebih luas kebahagiannya di
akhirat. Ini menunjukkan bahwa tujuan pendidikan menurut al-Ghazali tidak sama
sekali menistakan dunia, melainkan dunia itu hanya sebagai alat.
Melihat pandangan al-Ghazali terhadap tujuan pendidikan, bahwa tujuan
akhir yang ingin dicapai melalui pendidikan itu paling tidak ada dua. Pertama,
Tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada
Allah SWT. Kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagian dunia
dan akhirat.3

B. Pemikiran Ibnu Sina


Pemikiran Ibnu Sina yang banyak keterkaitannya dengan pendidikan,
menyangkut pemikirannya tentang filsafah ilmu. Menurut Ibnu Sina ilmu
terbagi menjadi 2 (dua), yaitu:
1. Ilmu yang tak kekal
2. Ilmu yang kekal
Ilmu yang kekal dari peranannya sebagai alat dapat disebut logika. Tapi
berdasarkan tujuannya, maka ilmu dapat dibagi menjadi ilmu yang praktis dan
ilmu yang teoritis.4
Karya Ibnu Sina dalam bidang kedokteran antara lain Al-Qanun fi Al-
Thibb. Dalam bidang filsafat As-Syifa dan An-Najab. Dalam bidang fisika Fi
Asam al-‘alum al-‘aqliyah. Bidang logika Al-Isaquji. Bidang bahasa Arab
Lisan Al-‘Arab.
Adapun dalam bidang agama dibagi menjadi 4 cabang, yakni:

3 Fatiyah Hasan Sulaiman, Aliran-Aliran dalam Pendidikan (Studi Tentang Aliran Pendidikan
Menurut Al-Ghazali, terj. Agil Husain Al-Munawwar dan Hadri Hasan, dari Judul Asli, Kitab
Mazahib fi al-Tarbiyyah Bahtsun fi al-Mazahib al-Tarbawi „Ind al-Ghazali,(Semarang : Toha
Putra,1993, cet.1.h.18

4 Jalaluddin & Drs. Usman Said, Filsafat Pend. Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo,1999 hal.136

5
1. Ilmu Akhlak
2. Ilmu cara mengatur rumah tangga
3. Ilmu tata negara
4. Ilmu tentang kenabian
Dalam ilmu politik ini juga termasuk ilmu pendidikan, karena ilmu
pendidikan merupakan ilmu yang berada pada garis terdepan dalam
menyiapkan kader-kader yang siap untuki melaksanakan tugas-tugas
pemerintahan.
1) Konsep Pendidikan Ibnu Sina
a. Tujuan Pendidikan
Menurut Ibnu Sina, bahwa tujuan pendidikan harus diarahkan
pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah
perkembangannya yang sempurna, yaitu perkembangan fisik,
intelektual dan budi pekerti. Selain itu tujuan pendidikan menurut Ibnu
Sina harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat
hidup dimasyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan
atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan,
kecendrungan dan potensi yang dilmilikinya.
Khusus pendidikan yang bersifat jasmani, ibnu sina mengatakan
hendaknya tujuan pendidikan tidak melupakan pembinaan fisik dan
segala sesuatu yang berkaitan dengannya seperti olah raga, makan,
minum, tidur dan menjaga kebersihan. Ibnu Sina berpendapat bahwa
tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagiaan (sa’adat).
Melalui pendidikan jasmani olahraga, seorang anak diarahkan
agar terbina pertumbuhan fisiknya dan cerdas otaknya. Sedangkan
dengan pendidikan budi pekerti di harapkan seorang anak memiliki
kebiasaan bersopan santun dalam pergaulan hidup sehari-hari. Dan
dengan pendidikan kesenian seorang anak diharapkan dapat
mempertajam perasaannya dan meningkat daya hayalnya.
Ibnu Sina juga mengemukakan tujuan pendidikan yang bersifat
keterampilan yang ditujukan pada pendidikan bidang perkayuan,
6
penyablonan dsb. Sehingga akan muncul tenaga-tenaga pekerja yang
professional yang mampu mengerjakan pekerjaan secara professional.
Selain itu tujuan pendidikan yang dikemukakan Ibnu Sina
tersebut tampak didasarkan pada pandangannya tentang Insan
Kamil (manusia yang sempurna), yaitu manusia yang terbina seluruh
potensi diinya secara seimbang dan menyeluruh. Selain harus
mengenbangkan potensi dan bakat dirinya secara optimal dan
menyeluruh, juga harus mampu menolong manusia agar eksis dalam
melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di masyarakat.

b. Kurikulum
Secara sederhana istilah kurikulum digunakan untuk
menunjukkan sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh untuk
mencapai satu gelar atau ijazah. Pengertian ini sejalan dengan pendapat
Crow dan Crow yang mengatakan bahwa kurikulum adalah rancangan
pengajaran yang isisnya sejumlah mata pelajaran yang disusun secara
sistematik yang diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu
program pendidikan tertentu5
Kurikulim disini berfungsi sebagai alat mempertemukan kedua
pihak sehingga anak didik dapat mewujudkan bakatnya secara optimal
dean belajar menyumbangkan jasanya untuk meningkatkan mutu
kehidupan dalam masyarakatnya6
Konsep Ibnu Sina tentang kurikulum didasarkan pada tingkat
perkembangan usia anak didik. Untuk usia anak 3 sampai 5 tahun
misalnya, menurut Ibnu Sina perlu diberikan mata pelajaran olahraga,
budi pekerti, kebersihan, seni suara, dan kesenian.
Pelajaran olahraga tersebut diarahkan untuk membina
kesempurnaan pertumbuhan fisik si anak dan berfungsinya organ tubuh

5 Crow dan Crow, Pengantar Ilmu Pendidikan,(Yogyakarta:Rake sarasin, 1990),


Edisi III hal.75
6 Dr. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, kalam Mulia, Jakarta,1994 hal.62
7
secara optimal. Sedangkan pelajaran budi pekerti diarahkan untuk
membekali si anak agar memiliki kebiasaan sopan santun dalam
pergaulan hidup sehari-hari. Selanjutnya dengan pendidikan kebersihan
diarahkan agar si anak memiliki kebiasaan mencintai kebersihan. Dan
dengan pendidikan seni suara dan kesenian diarahkan agar si anak
memiliki ketajaman perasaan dalam mencintai serta meningkatkan
daya khayalnya sebagaimana telah disinggung di atas.
Mengenai mata pelajaran olahraga, Ibnu Sina memiliki
pandangan yang banyak dipengaruhi oleh pandangan psikologisnya.
Dalam hubungan ini Ibnu Sina menjelaskan ketentuan dalam
berolahraga yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan usia anak
didik serta bakat yang dimilikinya. Dengan cara demikian dapat
diketahui dengan pasti mana saja diantara anak didik yang perlu
diberikan pendidikan olahraga sekedarnya saja, dan mana saja diantara
anak didik yang perlu dilatih olah raga lebih banyak lagi. Ibnu Sina
lebih lanjut memperinci tentang mana saja olahraga yang memerlukan
dukungan fisik yang kuat serta keahlian dan mana saja olahraga yang
tergolong ringa, cepat, lambat, memerlukan peralatan dan sabagainya.
Menurutnya semua jenis olahraga ini disesuaikan dengan kebutuhan
bagi kehidupan anak didik.
Dari sekian banyak olahraga, menurut Ibnu Sina yang perlu
dimasukan kedalam kurikulum adalah olahraga kekuatan, gulat
meloncat, jalan cepat, memanah, berjalan dengan satu kaki dan
mengendarai unta.
Mengenai pelajaran kebesihan, Ibnu Sina mengatakan bahwa
pelajaran hidup berusia dimulai dai sejak anak bangun tidur, ketika
hendak makan, sampai ketika hendak bangun kembali. Dengan cara
demikian, dapat diketahui mana saja anak yang telah dapat menerapkan
hidup sehat, dan mana saja anak yang berpenampilan kotor dan kurang
sehat.

8
Selanjutnya kurikulum untuk usia 6 sampai 14 tahun menurut
Ibnu Sina adalah mencakup pelajaran membaca dan menghafal al-
qur’an, pelajaran agama, pelajaran sya’ir dan pelajaran olah raga.
Pelajaran membaca dan menghafal menurut Ibnu Sina berguna
di samping untuk mendukung pelaksanaan ibadah yang memerlukan
bacaan ayat-ayat al-qur’an, juga untuk mendukung keberhasilan dalam
mempelajari agama islam seperti pelajaran Tafsir Al-Qur’an, Fiqh,
Tauhid, Akhlak dan pelajaran agama lainnya yang sumber utamanya
Al-qur’an. Selain itu pelajara membaca dan menghafal Al-Qur’an juga
mendukung keberhasilan dalam mempelajari bahasa arab, karena
dengan menguasai Al-Qur’an berarti ia telah menguasai kosa kata
bahasa arab atau bahasa Al-qur’an.dengan demikian penetapan
pelajaran membaca Al-qur’an tampak bersifat startegis dan mendasar,
baik dilihat daru segi pembinaan sebagai pribadi muslim, maupun dari
segi pembentukan ilmuwan muslim, sebagaimana yang diperlihatkan
Ibnu Sina sendiri. Sudah menjadi alat kebiasaan umat islam
mendahulukan pelajaran Al-Qur’an dari yang lain-lain.

Hikmahnya :
1. Untuk mengambil berkat dan mengharapkan pahala
2. Khawatir kalau anak-anak tidak terus belajar lalu keluar sebelum
sampai membaca/ menghafal al-qur’an. Akhirnya anak-anak tidak
mengenal al-qur’an sama sekali.

c. Metode Pengajaran
Konsep metode yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain terlihat
pada setiap materi pelajaran. Dalam setiap pembahasan materi
pelajaran Ibnu Sina selalu membicarakan tentang cara mengajarkan
kepada anak didik. Berdasarkan pertimbangan psikologinya, Ibnu Sina
berpendapat bahwa suatu materi pelajaran tertentu tidak akan dapat
dijelaskan kepada bermacam-macam anak didik dengan satu cara saja,
9
melainkan harus dicapai dengan berbagai cara sesuai dengan
perkembangan psikologisnya.
Penyampaian materi pelajaran pada anak menurutnya harus
disesuaikan dengan sifat dari materi pelajaran tersebut, sehingga antara
metode dengan materi yang diajarkan tidak akan kehilangan daya
relevansinya. Metode pengajaran yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain
metode talqin, demonstrasi, pembiasaan dan teladan, diskusi magang,
dan penugasan.
Yang dimaksud dengan metode talqin dalam cara kerjanya
digunakan untuk mengajarkan membaca al-qur’an, dimulai dengan cara
memperdengerkan bacaan al-qur’an kepada anak didik sebagian demi
sebagian. Setelah itu anak tersebut disuruh mendengarkan dan disuruh
mengulangi bacaan tersebut perlahan-lahan dan dilakukan berulang-
ulang hingga hafal. Cara seperti ini dalam ilmu pendidikan modern
dikenal dengan nama tutor sebaya, sebagaimana dikenal dalam
pengajaran dengan modul.
Berkenaan dengan metode magang, Ibnu Sina telah
menggunakan metode ini dalam kegiatan pengajaran yang
dilakukannya. Para murid Ibnu Sina yang mempelajari ilmu kedokteran
dianjurkan agar menggabungkan teori dan praktek. Yaitu satu hari
diruang kelas untuk mempelajari teori dan hari berikutnya
mempraktekan teori tersebut dirumah sakit atau balai kesehatan.
Selanjutnya berkenaan dengan metode penugasan adalah cara
penyajian bahan pelajaran dimana guru memberikan tugas tertentu agar
siswa melakukan kegiatan belajar. Dalam bahasa arab pengajaran
dengan penugasan ini dikenal dnegan istilah at-ta’iim bi al-marasil (
pengajaran dengan mengirimkan sejumlah naskah atau modul ).
Dalam keseluruhan urasian mengenai metode pengajaran
tersebut diatas terdapat empat cirri penting, yakni:

10
1. Uraian tentang berbagai metode tersebut memperlihatkan adanya
keinginan yang besar dari ibnu sina terhadap keberhasilan
pengajaran.
2. Setiap metode yang ditawarkannya selalu dilihat dalam presfektif
kesesuaiannya dengan bidang studi yang diajarkannya serta tingkat
usia peserta didik.
3. Metode pengajaran yang ditawarkan Ibnu Sina juga selalu
memperhatikan minat dan bakat si anak didik.
4. Metode yang ditawarkan ibnu Sina telah mencakup pengajaran yang
menyeluruh mulai dari tingkat taman kanak-kanak sampai dengan
tingka perguruan tinggi.
Cirri-ciri metode tersebut hingga sekarang masih banyak
digunakan dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini menunjukkan
bahwa pemikiran Ibnu Sina dalam bidang metode pengajaran masih
relevan dengan tuntutan zaman.

d. Konsep Guru
Konsep guru yang idtawarkan Ibnu Sina antara lain berkisar
tentang guru yang baik. Dalam hubungan ini Ibnu Sina mengatakan
bahwa guru yang baik adalah berakal cerdas, beragama, mengetahui
cara mendidik akh;ak, cakap dalam mendidik anak, berpenampilan
tenang, jauh dari berolok-olok dan main-main dihadapan muridnya,
tidak bermuka masam, sopan santun, dan suci murni.
Lebih lanjut Ibnu Sina menambahkan bahwa seorang guru itu
sebaiknya darikaum pria yang terhormat dan menonjol budi pekertinya,
cerdas, teliti, sabar, telaten dalam membingbing anak-anak, adil, hemat
dalam penggunaan waktu, gemar bergaul dengan anak-anak dll.
Berkenaan dengan tugas pendidikan, maka tugas seorang guru
tidaklah mudah. Sebab pada hakekatnya tugas pendidikan yang utama
adalah membentuk perkembangan anak dan membiasakan kebiasaan
yang baik dan sifat-sifat yang baik menjadi factor utama guna mencapai
11
kebahagiaan anak, oleh karena itu orang yang ditiru hendaklah menjadi
pemimpin yang baik, contoh yang bagus dan berakhlak hingga tidak
meninggalkan kesan buruk dalam jiwa anak yang menirunya.
Jika diamati secara seksama, tampak bahwa potret guru yang
dikehendaki Ibnu Sina adalah guru yang lebih lengkap dari potret guru
yang dikemukakan para ahli sebelumnya. Dalam pendapatnya itu Ibnu
Sina selain menekankan unsure kompetensi atau kecakapan dalam
mengajar, juga berkepribadian yang baik. Dengan kompetensi itu,
seorang guru akan dapat mencerdaskan anak didiknya dengan berbagai
pengetahuan yang diajarkannya, dan dengan akhlak ia dapat membina
mental dan akhlak anak.

C. Pemikiran Ibnu Khaldun

Pandangan Ibnu Khaldun tentang pendidikan berpijak dari


statementnya yang menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang
sempurna. Kesempurnaan manusia dicirikan oleh akhlaknya yang berfungsi
memikirkan segala sesuatu, merekayasa sesuatu, dan bahkan meningkatkan
rasa iman kepada Allah. Allah membedakan manusia karena kesanggupannya
berpikir, yang merupakan sumber dari segala kesempurnaan dan puncak segala
kemuliaan dan ketinggian di atas makhluk lain. Manusia bukan hanya memiliki
kesadaran untuk mengetahui, tetapi memahami dan mempraktikkannya.7

1. Definisi Pendidikan

Di dalam kitab Muqaddimah, Ibnu Khaldun tidak memberikan


definisi pendidikan secara jelas, ia hanya memberikan gambaran-gambaran
secara umum, seperti dikatakan Ibnu Khaldun bahwa:

7 Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009 M),
Hlm. 232

12
“Barangsiapa tidak terdidik oleh orang tuanya, maka akan terdidik
oleh zaman, maksudnya barangsiapa yang tidak memperoleh tatakrama
yang dibutuhkan sehubungan pergaulan bersama melalui orangtua mereka
yang mencakup guru-guru dan para sesepuh, dan tidak mempelajari hal itu
dari mereka, maka ia akan mempelajarinya dengan bantuan alam, dari
peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang zaman, zaman akan
mengejarnya.”

Dari pendapatnya ini dapat diketahui bahwa pendidikan menurut


Ibnu Khaldun mempunyai pengertian yang cukup luas. Pendidikan bukan
hanya merupakan proses belajar mengajar yang dibatasi oleh empat dinding,
tetapi pendidikan adalah suatu proses dimana manusia secara sadar
menangkap, menyerap dan menghayati peristiwa-peristiwa alam sepanjang
zaman.8

2. Materi Pendidikan

Adapun pandangannya mengenai materi pendidikan, karena materi


adalah merupakan salah satu komponen operasional pendidikan, maka
dalam hal ini, Ibnu Khaldun telah mengklasifikasikan ilmu pengetahuan
yang banyak dipelajari manusia pada waktu itu menjadi dua macam yaitu:

a. Ilmu-ilmu Tradisional (Naqliyah)

Ilmu Naqliyah adalah yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits


yang dalam hal ini peran akal hanyalah menghubungkan cabang
permasalahan dengan cabang utama, karena informasi ilmu ini
berdasarkan kepada otoritas Syariat yang diambil dari al-Qur’an dan

8 Ibnu Khaldun, Mukaddimah, Terjemah Mastur Irham dkk, (Jakarta: Pustaka al-
Kautsar 2011 M), Hlm. xi

13
Hadits.9 Adapun yang termasuk ke dalam ilmu-ilmu naqliyah itu antara
lain: ilmu tafsir, ilmu qiraat, ilmu hadits, ilmu ushul fikih, ilmu fikih,
ilmu kalam, ilmu bahasa arab, ilmu tasawwuf, dan ilmu ta’bir mimpi.

b. Ilmu-ilmu Filsafat atau Rasional(‘Aqliyah)

Ilmu ini bersifat alami bagi manusia, yang diperolehnya melalui


kemampuannya untuk berfikir. Ilmu ini dimiliki semua anggota
masyarakat dunia, dan sudah ada sejak mula kehidupan peradaban umat
manusia di dunia. Menurut Ibnu Khaldun ilmu-ilmu filsafat (aqliyah)
ini dibagi menjadi empat macam ilmu yaitu:

1. Ilmu Logika
2. Ilmu Fisika
3. Ilmu Metafisika
4. Ilmu Matematika.

Setelah mengadakan penelitian, maka Ibnu Khaldun membagi


ilmu berdasarkan kepentingannya bagi anak didik menjadi empat
macam. Empat macam pembagian itu adalah:

1. Ilmu agama (syariat) yang terdiri dari tafsir, hadits, fikih, dan
ilmu kalam.
2. Ilmu ‘aqliyah yang terdiri dari ilmu kalam, (fisika) dan ilmu
ketuhanan (metafisika)
3. Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu agama (syariat), yang
terdiri dari ilmu bahasa Arab, ilmu hitung dan ilmu-ilmu lain
yang membantu pelajaran agama.
4. Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu filsafat, yaitu logika.

9 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), Hlm.
175

14
Menurut Ibnu Khaldun, ilmu pengetahuan hanya tumbuh dalam
peradaban dan kebudayaan yang berkembang pesat. Perkembangan
kebudayaan sangat bergantung pada cara berpikir masyarakat,
sedangkan perkembangan dan kemajuan pemikiran masyarakat
bergantung pada pendidikannya. Oleh karena itu, jika menginginkan
kemajuan imu pengetahuan, manusia harus mengembangkan
pendidikan sebaik mungkin.10

3. Pendidik

Pendidik dalam pandangan Ibnu Khaldun haruslah orang yang


berpengetahuan luas, dan mempunyai kepribadian yang baik. Karena
pendidik selain sebagai pengajar di dalam kelas, pendidik juga harus bisa
menjadi contoh atau suri tauladan bagi peserta didiknya.

Ibnu Khaldun menganjurkan agar para guru bersikap dan


berperilaku penuh kasih sayang kepada peserta didiknya, mengajar mereka
dengan sikap lembut dan saling pengertian, tidak menerapkan perilaku keras
dan kasar, sebab sikap demikian dapat membahayakan peserta didik, bahkan
dapat merusak mental mereka, peserta didik bisa menjadi berlaku bohong,
malas dan bicara kotor, serta berpura-pura, karena didorong rasa takut
dimarahi guru atau takut dipukuli.

Dalam hal ini, keteladanan guru yang merupakan keniscayaan dalam


pendidikan, sebab para peserta didik menurut Ibnu Khaldun lebih mudah
dipengaruhi dengan cara peniruan dan peneladanan serta nilai-nilai luhur
yang mereka saksikan, dari pada yang dapat dipengaruhi oleh nasehat,
pengajaran atau perintah-perintah.

10 Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), Hlm.
233

15
4. Peserta Didik

Beliau menganjurkan agar guru-guru mempelajari sungguh-


sungguh perkembangan akal pikiran murid-muridnya, karena anak pada
awal hidupnya belum memiliki kematangan pertumbuhan. Kata beliau:

“Kita telah menyaksikan kebanyakan guru pada masa itu tidak


mengetahui metoda pengajaran dan cara penggunaannya, sehingga mereka
hadir di depan murid-muridnya dengan mengajarkan permasalahan yang
sulit dipahami, dan mereka menyuruh agar memecahkannya
(menganalisanya) dan mereka menduga bahwa cara demikian akan
memperkembang pengajaran dan mengandung kebenaran, padahal
kemampuan menerima pengetahuan di kalangan murid dan
kematangannya, berkembang secara bertahap. Itulah sebabnya murid
mula-mula lemah pemahamannya terhadap keseluruhan ilmu, kecuali
dengan jalan mendekati dan memperbaiki dengan menggunakan contoh-
contoh yang dapat diamati dengan pancaindera.

Kesiapan dari kematangan murid tersebut berkembang setingkat


demi setingkat, bertentangan dengan problema ilmu yang dihadapkan
kepadanya. Dan proses pengalihan ilmu untuk mendekati, dengan cara
menganalisa problema tersebut, sehingga kemampuan untuk menyiapkan
diri mereka ilmu itu benar-benar sempurna, kemudian baru mendapatkan
hasilnya”.

5. Metode Pengajaran dan Pendidikan

Ibnu khaldun menetapkan bahwa metode mengajar, sebaiknya,


harus diterapkan dalam proses mengajarkan materi ilmu pengetahuan atau
mengikutinya (Guidance ancausile), karena dipandang pengajaran tidak
akan sempurna kecuali harus dengan metode itu. Maka seolah-olah metode
dan materi merupakan satu kesatuan, padahal ia bukanlah bagian dari materi

16
pelajaran, yang bukti-buktinya ditunjukkan dengan adanya kenyataan
bahwa dikalangan tokoh pendidikan terdapat metode-metode yang berbeda-
beda.

Dapat dikatakan bahwa Ibnu Khaldun sebagai pendidik yang


berkemampuan mengajar berpendapat bahwa kedayagunaan metode yang
dapat digunakan untuk menyampaikan pengetahuan kepada murid
bergantung pada sejauh mana kematangan persiapan guru dalam
mempelajari hidup kejiwaan anak-anak didiknya. Sehingga diketahui sejauh
mana kematangan kesiapan mereka dan bakat-bakat ilmiahnya. Maka
jelaslah bahwa pendapat di atas sampai batas-batas tertentu sesuai dengan
pandangan ilmu pendidikan modern.

Berikut ini metode-metode pengajaran dan pendidikan yang


ditawarkan Ibnu Khaldun .

1. Metode Pentahapan dan Pengulangan (Tadarruj Wat Tikrāri).


2. Menggunakan Sarana Tertentu untuk Menjabarkan Pelajaran.
3. Widya-wisata merupakan Alat untuk Medapatkan Pengalaman yang
Langsung.
4. Tidak Memberikan Presentasi yang Rumit Kepada Anak yang Baru
Belajar Permulaan.
5. Harus Ada Keterkaitan Dalam Disiplin Ilmu.
6. Tidak Mencampurkan Antara Dua Ilmu Pengetahuan Dalam Satu
Waktu.
7. Sangsi Terhadap Murid Merupakan Salah Satu Motivasi Dorongan
Semangat Belajar (Bagi Murid yang Tidak Disiplin).

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah membahas makalah ini, kita dapat mengambil kesimulan,


bahwa hal yang tidak kalah pentingnya bagi seorang guru adalah dia harus
menjadi figur teladan yang akan ditiru, dan dalam memperlakukan anak
didiknya diharapkan tidak seperti binatang (domba atau ternak lainnya) yang
perlu digembala atau didisiplinkan. Itulah sebabnya seorang pengajar tidak
cukup hanya mengandalkan kepandaian atau memiliki otoritas disiplin ilmu
tertentu saja. Pendidik harus orang yang berbudi dan beriman, sekaligus
beramal saleh, yang perbuatannya itu dapat memberikan pengaruh jiwa
terhadap anak didiknya.

Pemikiran Ibnu Sina yang banyak keterkaitannya dengan


pendidikan, menyangkut pemikirannya tentang filsafah ilmu. Menurut Ibnu
Sina ilmu terbagi menjadi 2 (dua), yaitu:
1. Ilmu yang tak kekal
2. Ilmu yang kekal (hikmah). Ilmu yang kekal dipandang dari peranannya
sebagai alat disebut logika.
Ibnu sina juga membagi filsafat dalam 2 bagian, yaitu teori dan praktek,
yang keduanya berhubungan dengan agama, di mana dasarnya terdapat dalam
syari’at Tuhan, yang penjelas dan kelengkapannya di peroleh dengan akal
manusia. Berdasarkan tujuannya maka ilmu dapat dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Ilmu praktis seperti ilmu kealaman, matematika, ilmu ketuhanan dan ilmu
kulli.
2. Ilmu praktis adalah ilmu akhlak, ilmu kepengurusan, rumah ilmu,
pengurusan kota dan ilmu nabi (syariah

Menurut Ibnu Khaldun, pendidikan mempunyai pengertian yang cukup


luas. Pendidikan bukan hanya merupakan proses belajar mengajar yang
dibatasi oleh empat dinding, tetapi pendidikan adalah suatu proses dimana

18
manusia secara sadar menangkap, menyerap dan menghayati peristiwa-
peristiwa alam sepanjang zaman. Ilmu pengetahuan hanya tumbuh dalam
peradaban dan kebudayaan yang berkembang pesat. Perkembangan
kebudayaan sangat bergantung pada cara berpikir masyarakat, sedangkan
perkembangan dan kemajuan pemikiran masyarakat bergantung pada
pendidikannya. Oleh karena itu, jika menginginkan kemajuan imu
pengetahuan, manusia harus mengembangkan pendidikan sebaik mungkin.

Ibnu Khaldun sebagai pendidik yang berkemampuan mengajar


berpendapat bahwa kedayagunaan metode yang dapat digunakan untuk
menyampaikan pengetahuan kepada murid bergantung pada sejauh mana
kematangan persiapan guru dalam mempelajari hidup kejiwaan anak-anak
didiknya. Sehingga diketahui sejauh mana kematangan kesiapan mereka dan
bakat-bakat ilmiahnya.

19
DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009)

Crow dan Crow, Pengantar Ilmu Pendidikan,(Yogyakarta:Rake sarasin, 1990),

Edisi III

Dr. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, kalam Mulia, Jakarta,1994

Fatiyah Hasan Sulaiman, Aliran-Aliran dalam Pendidikan (Studi Tentang Aliran

Pendidikan Menurut Al-Ghazali, terj. Agil Husain Al-Munawwar dan Hadri

Hasan, dari Judul Asli, Kitab Mazahib fi al-Tarbiyyah Bahtsun fi al-Mazahib al-

Tarbawi „Ind al-Ghazali,(Semarang : Toha Putra,1993, cet.1.h.18

H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, cet.1, 1991

Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009 M)

Ibnu Khaldun, Mukaddimah, Terjemah Mastur Irham dkk, (Jakarta: Pustaka al-

Kautsar 2011 M)

Jalaluddin & Drs. Usman Said, Filsafat Pend. Islam, Jakarta, PT. Raja

Grafindo,1999

20

Anda mungkin juga menyukai