Ginjal adalah sepasang organ retroperitoneal berbentuk seperti kacang dengan panjang
sekitar 11-12 cm, lebar sekitar 5-7,5 cm, dan ketebalan sekitar 2,5-3 cm. Posisi ginjal
kanan biasanya terletak sedikit lebih rendah dari ginjal kiri. Berat sebuah ginjal berkisar
125-170 gram pada laki-laki dewasa dan 115-155 gram pada perempuan dewasa.
Bagian terluar ginjal disebut sebagai korteks ginjal, dan bagian dalamnya disebut
medula ginjal.
Unit fungsional ginjal disebut nefron, di mana setiap ginjal yang sehat memiliki sekitar
1-1,2 juta unit nefron. Ginjal tidak dapat meregenerasi nefron, namun jumlah nefron
fungsional rata-rata turun sekitar 10% setiap 10 tahun setelah manusia melewati usia
40 tahun, sehingga jumlah nefron pada lansia secara umum lebih rendah dibanding
jumlah nefron pada manusia usia dewasa muda. Setiap nefron memiliki komponen
vaskuler dan tubuler yang memiliki fungsinya masing-masing.
Gagal ginjal kronis (GGK) merupakan suatu sindroma progresif dan ireversibel dari
hilangnya fungsi ekskretorik, endokrin, dan metabolik ginjal dikarenakan kerusakan
pada ginjal. The National Kidney Disease Education Program (NKDEP)
mendefinisikan GGK sebagai penurunan GFR kurang dari 60 mL/menit/1,73 m2 selama
3 bulan atau lebih; dan/ atau albuminuria dengan albumin urin lebih dari 30 mg per
gram kreatinin urin.
Definisi lain dari National Kidney Foundation (NKF) mengartikan GGK sebagai
kerusakan ginjal selama lebih dari sama dengan 3 bulan, yang ditandai dengan
abnormalitas struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan GFR. Sumber
yang sama juga mengartikan GGK sebagai penurunan nilai GFR kurang dari 60
mL/menit/1,73 m2 selama 3 bulan atau lebih, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
Prevalensi global dari GGK untuk semua stage berada di angka 13,4%, di mana jika
dipersempit untuk prevalensi GGK stage 3-5 saja, angkanya berkisar 10,6%. Angka
prevalensi GGK di Indonesia sendiri belum tersedia, namun Kementrian Kesehatan RI
menyebutkan bahwa biaya perawatan dari penyakit ginjal secara menyeluruh adalah
yang terbesar kedua dari BPJS setelah penyakit jantung.
Etiologi utama dari GGK adalah diabetes mellitus, hipertensi, dan glomerulonefritis.
Etilogi lain di antaranya adalah obesitas, nefritis interstisiel, infeksi dan obstruksi
saluran kemih, kista, neoplasma, penyakit sistemik, dan idiopatik.
Faktor resiko lain yang berhubungan dengan terjadinya GGK di antaranya adalah:
Etnis. Keturunan Afro-Amerika dan penduduk asli Amerika masing-masing
memiliki kemungkinan terkena penyakit GGK 4x dan 2x lebih besar jika
dibandingkan kaum kulit putih Amerika.
Riwayat penyakit keluarga. Jika ada riwayat keluarga terkena GGK, peluang
seseorang untuk terjadinya GGK akan lebih besar.
Faktor herediter seperti polycystic kidney disease (PKD)
Trauma ginjal, terutama trauma secara langsung dan keras
Konsumsi obat-obatan tertentu yang berlangsung dalam waktu lama, terutama
kelompok obat AINS dan steroid
V. Patofisiologi GGK
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal,
pada keadaan dimana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara
berlahan tapi pasti, akan terjadi penururnan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai
dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%,
pasien belum merasakan keluhan, tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum. Sampai pada LFG 30%, mulai terjadi keluhan pada poasien seperti
nokturia, badan lemas, mual, nafsu makan berkurang dan penurunan berat badan.
Sampai pada LFG dibawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang
nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan
kalsium, pruritus, mual muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi,
juga akan terjadi gangguan keseimbangan cairan, gangguan keseimbangan elektrolit
antaralain natrium dan kjalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan
komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapiu terapi penggantian
ginjal antara lain dialisis atau trasnplantasi ginjal.
End Stage Renal Disease (ESRD) merupakan suatu kondisi di mana ginjal tidak mampu
lagi melakukan ekskresi sisa-sisa metabolisme, mempertahankan keseimbangan cairan
dan elektrolit, dan memproduksi hormon-hormon tertentu. Dengan ketidakmampuan
ginjal melakukan fungsi ekskresinya, pada akhirnya akan menimbulkan suatu kondisi
yang disebut uremia. Uremia ditandai dengan keadaan malaise, kelemahan, mual
muntah, kram otot, gatal, rasa seperti logam di mulut, dan gangguan neurologis yang
disebabkan tingkat sisa nitrogen yang terlalu tinggi.
ESRD dapat disebabkan karena banyak hal, namun 90% dari pasien yang mengalami
ESRD memiliki penyakit diabetes mellitus, hipertensi, atau glomerulonefritis kronis.
Tidak ada parameter laboratorium yang pasti, namun pada umumnya nilai BUN
mencapai lebih dari 100 mg/dl dan kreatinin berada pada angka 10-12 mg/dl.
VIII. Penatalaksanaan
Tatalaksana gizi:
Intake kalori diberikan 35 kkal/kgBB/hari untuk pasien berusia di bawah 60
tahun, dan 30-35 kkal/kgBB/hari untuk pasien berusia di atas 60 tahun.
Pemberian protein dibatasi pada kisaran 0,6-0,75 gram/kgBB/hari pada pasien
dengan GGK tanpa HD dan 1,2 gram/kgBB/hari pada pasien GGK dengan HD.
Intake natrium dibatasi maksimal 1-3 gram/hari. Pada pasien GGK dengan HD
dibatasi maksimal 2 gram/hari.
Intake kalium pada umumnya tidak dibatasi, kecuali nilai kalium dalam serum
sangat tinggi. Pada pasien GGK dengan HD, disarankan intake kalium dibatasi
maksimal 2-3 gram/hari.
Tabel 3. Rekomendasi nutrisi pada GGK
IX. Hemodialisis
Terapi pengganti ginjal pada umumnya dibutuhkan oleh pasien dengan GGK derajat 5
atau disebut juga ESRD. Terapi pengganti ginjal dapat berupa terapi cuci darah atau
dialisis, dan transplantasi ginjal. Dialisis merupakan prosedur pengganti fungsi renal
yang mampu mengekskresi zat-zat sisa metabolisme dan zat-zat toksik dari darah.
Dialisis dapat membantu pasien tetap bertahan hidup dengan menggantikan fungsi
filtrasi dari ginjal sehat, walaupun fungsi endokrin dan metabolik ginjal tidak
sepenuhnya dapat tergantikan.
Saat ini terdapat dua tipe dialisis yang umum digunakan, yaitu hemodialisis (HD) dan
perioneal dialisis (PD). Kedua metode ini membutuhkan membran selektif dan
semipermeabel yang memungkinkan air dan molekul-molekul kecil sampai sedang dan
ion untuk lewat, namun mencegah lewatnya molekul-molekul besar seperti protein.
Pada hemodialisis, membran yang digunakan adalah membran buatan yang biasa
disebut ginjal artifisial. Pada peritoneal dialisis, lapisan dinding peritoneal digunakan
sebagai membran selektif. Secara umum, hemodialisis lebih banyak digunakan
daripada peritoneal dialisis.
Hemodialisis membutuhkan akses permanen menuju aliran darah melalui fistula yang
dibuat dengan tindakan operasi untuk menghubungkan arteri dan vena. Jika pembuluh
darah pasien rapuh, pembuluh darah buatan yang biasa disebut graft dapat ditanamkan
dengan operasi. Akses temporer melalui kateter subclavian juga umum digunakan
sampai akses permanen ke pembuluh darah pasien dapat digunakan.
a. Fistula arteriovenus
Resiko komplikasi cenderung lebih rendah daripada akses lainnya
(infeksi, stenosis, dll)
Akses yang lebih tahan lama bila telah mencapai maturasi (1-4 bulan)
Resiko terjadi peningkatan arus cairan cenderung lebih rendah
Lebih mudah untuk dibuat
Secara kosmetik tampak lebih mengganggu
Harus menyesuaikan sesuai ukuran pembuluh darah tiap individu.
b. Arteriovenus graft
Maturasi lebih cepat (3-4 minggu)
Area pemasangan yang lebih luas
Letak pemasangan lebih bervariasi
Secara teknis lebih mudah dalam pemasangan oleh dokter bedah
Lebih mudah dalam pemeliharaan.
c. Subclavian catheter
Disarankan hanya bila akses ektermitas sulit dilakukan dan bersifat
sementara
Resiko terhadap komplikasi stenosis cenderung lebih tinggi terutama
pada pemasangan permanen
Gambar 3. Akses-akses untuk hemodialisis
Hemodialisis dilakukan dengan cara mengalirkan darah ke dalam suatu tabung ginjal
buatan yang biasa disebut dializer, yang terdiri dari dua kompartemen terpisah. Cara
kerjanya adalah dengan menerapkan proses osmotik dan ultrafiltrasi dalam membuang
zat-zat sisa metabolisme tubuh. Darah pasien dipompa dan dialirkan ke kompartemen
darah yang dibatasi oleh membran semipermiabel buatan dengan kompartemen dialisat.
Kompartemen dialisat dialiri cairan yang bebas pirogen, berisi larutan dengan
komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak mengandung sisa metabolisme
nitrogen.
Gambar 4. Proses hemodialisis
Cairan dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena
zat terlarut berpindah dari konsentrasi yang lebih tinggi ke arah konsentrasi yang lebih
rendah. Komposisi zat terlarut di kedua kompartemen akan berdifusi. Proses osmotik
dan difusi ini dapat berjalan bersamaan. Pada proses dialisis, air juga dapat berpindah
dari kompartemen darah ke kompartemen cairan dialisat dengan cara menaikkan
tekanan hidrostatik negatif pada kompartemen cairan dialisat. Perpindahan air ini
disebut ultrafiltrasi. Setelah proses filtrasi darah dialirkan kembali ke dalam tubuh
pasien.
Gambar 4. Ilustrasi proses difusi, osmosis, filtrasi dan ultrafiltrasi pada hemodialisis
DAFTAR PUSTAKA
Nelms M, Sucher KP, Lacey K, Roth SL. Nutrition Therapy and Pathophysiology, 2th ed.
Wadsworth, Cengage Learning, 2010.
Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology, 11th ed. Philadephia: Elsevier Inc; 2006.
Sherwood L. Human Physiology, From Cells to Systems, 6th ed. Jakarta: EGC; 2009.
Mahan LK, Raymond JL. Krause’s Food and Nutrition Care Process, 14th ed, Missouri:
Elsevier; 2017.
National Kidney Foundation. KDOQI Clinical Practice Guidelines and Clinical Practice
Recommendations for 2006 Updates: Hemodialysis Adequacy, Peritoneal Dialysis Adequacy
and Vascular Access. Am J Kidney Dis 48:S1-S322, 2006 (suppl 1).
Hill NR, Fatoba ST, Oke JL, Hirst JA, O’Callaghan CA, Lasserson DS, Hobbs FDR. Global
Prevalence of Chronic Kidney Disease - A Systematic Review and Meta-Analysis. PLoS ONE
11(7): e0158765. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0158765.
Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. Situasi Penyakit Ginjal Kronis. Depkes.
2017. Available from:
http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/infodatin%20ginja
l%202017.pdf
Ketut S. Penyakit Ginjal Kronik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Marcellus, editors.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI; 2006. Hal 581-584.