Anda di halaman 1dari 30

BAB II

PEMBAHASAN

A. Gangguan Jalan Lahir


A.1 Robekan Jalan Lahir
a. Pengertian
 Robekan adalah terputusnya kontinyuitas jaringan.(Kamus Lengkap
Kedokteran : 109)
 Jalan lahir terdiri atas jalan lahir bagia keras dan jalan lahir bagian
lunak yang harus di lewati oleh janin dalam proses persalinan
pervaginam. (Ilmu Bedah Kebidanan : 1)
 Robekan jalan lahir adalah robekan yang selalu memberikan
perdarahan dalam jumlah yang bervariasi banyaknya yang berasal dari
perineum, vagina serviks, dan uterus. (Ilmu kebidanan, penyakit
kandungan, & KB untuk pendidikan bidan : 308)
b. Klasifikasi
 Perineum
a. Pengertian
Perineum adalah bagian terendah badan yaitu sabuah garis yang
menyambung kedua tuberositas iskhil, membaginya menjadi
daerah depan garis ini yaitusegitiga urogenital dan belakangnya
ialah segitiga anal. (anatomi fisiologi , evelyn : 256)
Robekan perineum sering juga mengenai musc. Levatores ani,
hingga setiap robekan perineum harus dijahit agara tidak
menimbulkan kelemahan dasar panggul atau prolaps. Kadang
kadang musc. Levatores ani merusak dan menjadi lemah tanpa
terjadinya ruptura perinei,misalnya kalau kepala terlalu lama
meregang dasar panggul. Kadang juga terjadi kolpaporrhexis ialah
robeknya vagina bagian atas hingga servix terpisah dari vagina.
b. Etiologi
1. Secara umum
a) Kepala janin terlalu cepat lahir
b) Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya
c) Sebelumnya pada perineum terdapat banyak jaringan parut
d) Pada persalinan dengan distosia bahu
2. Faktor maternal
a) Partus presipitatus yang tidak dikendalikan dan tidak di
tolong
b) Pasien tidak mampu berenti mengejan
c) Partus di selesaikan secara tergesa-gesa dengan dorongan
fundus yang berlebihan
d) Edema dan kerapuhan pada perineum
e) Perluasan perineum
3. Faktor janin
a) Bayi yang besar
b) Posisi kepala bayi yang normal
c) Kelahiran bokong
d) Ekstraksi forsep yang sukar
e) Distosia bahu
4. Tingkat robekan perineum
a) Tingkat I : Robekan hanya terjadi pada selaput lendir
vaginadengan atau tanpa mengenai kulit perineum sedikit.
b) Tingkat II : Robekan yang terjadi lebih dalam yaitu
mengenai selaput lendir vagina dan muskulus perinea
trasvesalis tapi tidak mengenai sfingter ani
c) Tingkat III : Robekan yang terjadi mengenai seluruh
perineum sampai mengenai otot-otot sfingter ani
d) Tingkat IV : Robekan meluas keseluruh kulit perineum
membran mukosa vagina, senrum tendineum perinei,
sfingter ani dan mukosa rektum. (Ilmu Bedah Kebidanan
:175)
5. Patofisiologi
Robekan perineum terjadi pada semua persalinan pertama dan
tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan ini dapat
dihindarkan atau dikurangi dengan menjaga jangan sampai
dasar panggul dilalui oleh kepala janin dengan cepat,
sebaliknya kepala janin yang akan lahir jangan ditahan
terlampau kuat dan lama, karena akan menyebabkan asfiksia
dan pendarahan dalam tengkorok janin, dan melemahkan otot-
otot dan fasia pada dasar panggul karena diregangkan terlalu
lama.
Robekan perineum umumnya terjadi digaris tengah dan bias
menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut
arkus pubis lebih kecil daripada biasa sehingga kepala janin
terpaksa lahir lebih ke belakang daripada biasa, kepala janin
melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih besar
daripada sirkumferensia suboksipito-bregmatika, atau anak
dilahirkan dengan pembedahan vaginial.
A.2 Vagina
a. Pengertian
Vagina adalah saluran potensial yang terbentang dari vulva ke uterus yang
berjalan ke atas dan ke belakang sejajar dengan pintu masuk pelvis dan
dikelilingi serta di topang oleh otot-otot dasar pelvis.
Vagina adalah tabung berotot yang dilapisi membran dari jenis epitelium
bergaris yang khusus, di aliri pembuluh darah dan serabut saraf secara
berlimpah.
b. Klasifikasi robekan jalan lahir pada vagina
 Kolporeksi
a. Pengertian
Kolporeksi adalah suatu keadaan di mana terjadi robekan di pada
vagina baian atas sehingga sebagian serviks uteri dan vagina
terlepas yang dapat memanjang atau melintang.
b. Etiologi
1) Pada persalinan dengan EPD sehingga terjadi regangan
segmen bahwa uttrus dengan servix uteri tidak terjepit antara
kepala janin dan tulang panggul.
2) Trauma sewaktu mengeluarkan placenta manual
3) Pada saat coitus yang kasar di sertai kekerasan
4) Kesalahan dalam memasukkan tangan oleh penolong ke dalam
uterus.
c. Komplikasi
1) Perdarahan terjadi jika robekan lebar, dalam, dan lebih
mengenai pembuluh darah
2) Infeksi, jika robekan tidak ditangani dengan semestinya bahkan
dapat timbul septikemi.
 Robekan Dinding Vagina
a. Pengertian
Robekan dinding vagina adalah robekan pada dinding vagina yang
mengenai pembuluh darah.
b. Etiologi
1) Melahirkan janin dengan cunam
2) Ekstraksi bokong
3) Ekstraksi vaku
4) Reposisi presentasi kepala janin misal letak oksipito posterior
5) Akibat lepasnya tulang simfisis pubis (Simfisiolisis)
c. Komplikasi
1) Perdarahan terjadi jika robekan lebar, dalam, dan lebih
mengenai pembuluh darah
2) Infeksi, jika robekan tidak ditangani dengan semestinya bahkan
dapat timbul septikemi.
d. Penanganan
1) robekan kecil →superfisial tidak perlu penanganan khusus
2) robekan lebar dan dalam, lakukan penjahitan secara teratur
putus-putus atau jelujur
3) pada puncak vagina sesuai dengan kolporeksi yang penanganan
sesuai dengan ruptur uteri.
 Perlukaan Vagina
a. Etiologi
1) Akibat persalinan karena luka pada vulva
2) Robekan pembuluh darah vena di bawah kulit alat kelamin luar
dan selaput lendir vagina
b. Jenis perlukaaan vagina
Sering dijumpai pada waktu persalinan yang terlihat pada robekan
kecil pada labium minus, vestibulum atau bagian belakang vulva,
luka robekan dijahit dengan cara cutgut secara terputus adalah
jelujur.
Karena robeknya pembulih vena yang ada dibawah pembuluh kulit
alat kelamin luar dan selaput lendir vagina, terjadi pada kala
pengeluaran. Diagnosa tidak terlalu sulit karena hematoma, terlibat
dibagian yang lembek, membengkok dan disertai nyeri tekan. (Ilmu
Bedah Kebidanan : 177-178)
c. Penanganan
1. hematoma kecil tidak perlu tindakan operatif cukup dilakukan
pengompresan daerah tersebut
2. jika ada tanda-tanda anemia, syok lakukan pengosongan
3. jahitan di buka kembali atau lakukan sayatan sepanjang bagian
hematoma dan keluarkan jika ada bekuan
4. jika ada sumber perdarahan, ikat pembuluh darah vena atau
arteri yang terputus
5. rongga diisi dengan kasa steril sampai padat
6. luka sayatan dijahit secara terputus-putus atau jelujur
7. pakailah drain
8. tampon dapat dibiarkan selama 24 jam
9. pasien diberi koagulasi + antibiotik sebagai profilaksis dan
berikan ruborasia
A.3 Robekan Pada Cervix
a. Pengertian
Cervix adalah leher rahim atau sesuatu yang berhubungan dengan leher
(Kamus Kedokteran :51).
Robekan yang kecil kecil selalu terjadi pada persalinan. Yang harus
mendapat perhatian kita ialah robekan yang dalam yang kadang kadang
sampai ke fornix ; robekan biasanya terdapat pada pinggir samping servix
malahan kadang kadang sampai ke S.B.R dan membuka parametrium.
Robekan yang sedemikian dapat membuka pembuluh pembuluh darah
yang besar dan menimbulkan pendarahan yang hebat. Robekan ini kalau
tidak dijahit selain menimbulkan perdarahan juga dapat menjadi sebab
servisitis, parametritis, dan mungkin juga memperbesar kemungkinan
terjadinya karsinoma cervix. Kadang kadang menimbulkan perdarahan
nifas yang lambat.
b. Etiologi
Robekan servix dapat terjadi pada :
1. Partus presipitatus
2. Trauma karena pemakaian alat-alat operasi (cunam, perforator, vakum
ekstraktor)
3. Melahirkan kepala janin pada letak sungsang secara paksa karena
pembukaan servix belum lengkap
4. Partus lama
c. Diagnosa robekan cervix
Perdarahan PP pada uterus yang berkontraksi baik harus memaksa kita
untuk memeriksa servix inspekulo. Sebagai profilaksis sebaiknya semua
persalinan buatan yang sulit menjadi indikasi untuk memeriksakan
inspekulo.
d. Komplikasi
1) Perdarahan
2) Syok
3) Inkompetensi servix atau infertilitas sekunder
e. Penanganan menjahit robekan servix
1) Pertama-tama pinggir robekan sebelah kiri dan kanan di jepit dengan
klem sehingga perdarahan menjadi berkurang atau berhenti.
2) Kemudian sevix di tarik sedikit, sehingga lebih jelaskelihatan dari luar
3) Jika pinggir robekan bergerigi, sebaiknya sebelum di jahit pinggir
tersebut diratakan dulu dengan jalan menggunting pinggir yang
bergerigi tersebut.
4) Setelah itu robeka dijahit dengan cutgut cromik, jahitan dimulai dari
ujung robekan dengan cara jahitan terputus-putus atau jahitan angka
delapan.
5) Pada robekan yang dalam, jahitan harus di lakukan lapis demi lapis. Ini
dilanjutkan untuk menghindari terjadinya hematoma dalam rongga di
bawah jahitan.
B. Gangguan Truktus Urinaria
1. Pengertian
Infeksi saluran kemih adalah suatu istilah umum yang dipakai untuk mengatakan
adanya invasi mikroorganisme pada saluran kemih. (Agus Tessy, Ardaya,
Suwanto, 2001).
2. Klasifikasi Gangguan Truktu Urinaria
 Sistisis (kandung kemih)
a. Pengertian
Cystitis (sistitis) adalah inflamasi akut pada mukosa kandung kemih
akibat infeksi oleh bakteri. Sistitis merupakan inflamasi kandung kemih
yang disebabkan oleh penyebaran infeksi dari uretra (Nursalam &
Fransisca, 20011 : 111).
b. Klasifikasi Sistitis
Sistitis dapat dibedakan sebagai berikut :
 Sistitis akut adalah inflamasi akut pada mukosa buli-buli yang sering
disebabkan oleh infeksi oleh bakteri. Mikroorganisme penyebab
infeksi ini terutama adalah E. Coli, Enterococci, Proteus, dan
Stafilokokus auresus yang masuk ke buli-buli terutama melalui uretra
(Basuki B. Purnomo, 2008 : 44).
 Sistitis interstitial (inflamasi kronik kandung kemih) bukan disebabkan
oleh bakteri dan tidak berespon terhadap antibiotik (Brunner &
Suddarth, 2001 : 1435).
c. Etiologi
Berdasarkan dari pembagian sistitis maka etiologi yang dapat
menyebabkan sistitis adalah sebagai berikut :
 Sistitis akut
Penyebab dari inflamasi kandung kemih adalah infeksi yang
diakibatkan oleh bakteri, seperti E. Coli, Enterococci, Proteus, dan
Stafilokokus auresu (Basuki B. Purnomo, 2008 : 44).
Cara penularan :
1) Melalui hubungan intim
2) Pemakaian kontrasepsi spermisid diafragma karena dapat
menyebabkan sumbatan parsial uretra dan pengosongan kandung
kemih yang tidak lengkap serta perubahan pH dan flora normal
vagina (Nursalam & Fransisca B., 2011 : 112).
 Sistitis interstitial
Penyebab sistitis interstitial belum diketahui meskipun terdapat dugaan
berasal dari suatu inflamasi atau otoimun (Brunner & Suddarth, 2001 :
1435).
Menurut Arif Muttaqin dan Kumala Sari (2011: 208) etiologi sistitis
interstitial belum diketahui dan kemungkinan multifaktorial. Beberapa
faktor yang memungkinkan adalah sebagai berikut :
1) Peran patogenik dari sel mast di dalam lapisan mukosa kandung
kemih
2) Kekurangan lapisan glikosaminoglikan pada permukaan lumen
kandung kemih sehingga peningkatan permeabilitas jaringan
submukosa yang mendasari untuk zat beracun dalam urin
3) Infeksi dengan agen (misalnya virus lambat atau bakteri)
4) Produksi toksin dalam urin
5) Reaksi hipersinsitivitas neurogenik atau peradangan diperantarai
secara lokal pada kandung kemih
6) Manifestasi dari disfungsi otot dasar panggul atau disfungsional
pengeluaran urin
7) Gangguan autoimun
d. Patofisiologi
Pada wanita biasanya berupa sistitis akut karena jarak uretra ke vagina
pendek (anatomi), kelainan periuretral, rektum (kontaminasi) feses, efek
mekanik coitus, serta infeksi kambuhan organism gram negatif dari saluran
vagina, defek terhadap mukosa uretra, vagina dan genital eksternal
memungkinkan organism masuk ke vesika perkemihan. Infeksi terjadi
mendadak akibat flora (E. Coli) pada tubuh pasien.
Sedangkan patfisiologi sistitis interstitial masih kurang dipahami. Berbagai
etiologi telah diajukan, tidak ada yang cukup menjelaskan secara baik
bagaimana proses tersebut dapat dijelaskan. Hal ini mungkin menunjukkan
bahwa sistitis interstitial merupakan sejumlah kondisi yang belum
terdefinisi dari berbagai patologis yang berbeda, akhirnya hadir sebagai
sindrom klinis frekuensi BAK, urgensi, dan nyeri panggul (Arif Muttaqin
dan Kumala Sari, 2011 : 209).
e. Manifestasi Klinis
Manifestasi dari sistitis adalah sebagai berikut :
 Kemerahan pada kandung kemih
 Edema pada kandung kemih
 Kandung kemih hipersensitif jika berisi urine
 Inkontinensia
 Sering berkemih
 Nyeri di daerah suprapubik
 Eritema mukosa kandung kemih
 Hematuria
 Jarang disertai demam
 Mual
 Muntah
 Lemah
 Kondisi umum menurun
 Bakteriuria (10.000/ml:infeksi)
f. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi dari perburukan sistitis adalah sebagai
berikut :
 Pyelonefritis
 Infeksi darah melalui penyebaran hematogen (sepsis). (Nursalam dan
Fransisca, 2009: 113)
g. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk membantu pengobatan pada klien dengan cystitis
dilakukan dengan bantuan medis berupa terapi farmakologi dan juga
penatalaksanaan keperawatan, berikut ini petalaksanaanya:
 Farmakoterapi
Penanganan sistitis yang ideal adalah agens antibakterial yang secara
efektif menghilangkan bakteri dari traktus urinarius dengan efek
minimal terhadap flora fekal dan vagina.
Pada uncomplicated sistitis cukup diberikan terapi dengan antimikroba
dosis tunggal atau jangka pendek (1-3 hari). Tetapi jika hal ini tidak
memungkinkan, dipilih antimikroba yang masih cukup sensitif
terhadap kuman E. Coli, antara lain : nitrofurantoin, trimetroprim
sulfametoksazol, atau ampisilin.
Kadang-kadang diperlukan obat-batan golongan antikolinergik
(propantheline bromide) untuk mencegah hiperiritabilitas buli-buli dan
fenazopiridin hidroklorida sebagai antiseptic pada saluran kemih
(Basuki B. Purnomo, 2008 : 44).
Sedangakan Tidak ada pengobatan standar ataupun pengobatan efektif
untuk sistitis interstisialis. Beberapa jenis pengobatan yang pernah
dicoba dilakukan pada penderita sistitis interstisialis:
 Dilatasi (pelebaran) kandung kemih dengan tekanan hidrostatik
(tenaga air)
 Obat-obatan (elmiron, nalmafen)
 Anti-depresi (memberikan efek pereda nyeri)
 Antispasmodik
 Klorapaktin (dimasukkan ke dalam kandung kemih)
 Antibiotik (biasanya tidak banyak membantu, kecuali jika terdapat
infeksi kandung kemih)
 DMSO (dimetilsulfoksida), untuk mengurangi peradangan
 Pembedahan.
 Keperawatan
1) Penatalaksanaan keperawatan pada Cystitis akut adalah sebagai
berikut :
 Minum banyak cairan untuk mengeluarkan bakteri yang ada
dalam urine
 Membuat suasana air kemih menjadi basa yaitu dengan
meminum baking soda yang di larutkan dalam air
2) Sedangkan penatalaksanaan pada Cystitis interstitial adalah
sebagai berikut :
 Meningkatkan intake cairan 2 – 3 liter/hari
 Kaji haluan urine terhadap perubahan warna, bau, dan pola
berkemih, masukan dan haluan setiap 8 jam serta hasil
urinalisis ulang
 Bersihkan daerah perineum dari depan ke belakang
 Hindari sesuatu yang membuat iritasi, contoh : CD dari nylon
 Istirahat dan nutrisi adekuat
 Kosongkan kandung kemih segera setelah merasa ingin BAK
h. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik dan labolatorium yang dapat dilakukan untuk
mengetahui terjadinya sistitis meliputi pemeriksaan urin berwarna keruh,
berbau dan pada urinalisis terdapat piuria, hematuria, dan bakteriuria.
Kultur urin sangat penting untuk mengetahui jenis kuman penyebab
infeksi. Jika sistitis sering mengalami kekambuhan perlu difikirkan adanya
kelinan lain pada buli-buli (keganasan, urolitiasis) sehingga diperlukan
pemeriksaan pencitraan (PIV, USG) atau sistoskopi (Basuki B. Purnomo,
2008 : 44).
 Pielonefritis
a. Pengertian
Pielonefritis merupakan infeksi bakteri yang menyerang ginjal, yang
sifatnya akut maupun kronis. Pielonefritis akut biasanya akan berlangsung
selama 1 sampai 2 minggu. Bila pengobatan pada pielonefritis akut tidak
sukses maka dapat menimbulkan gejala lanjut yang disebut dengan
pielonefritis kronis. Pielonefritis merupakan infeksi bakteri pada piala
ginjal, tunulus, dan jaringan interstinal dari salah satu atau kedua gunjal
(Brunner & Suddarth, 2002: 1436).
b. Klasifikasi Pielonefritis
o Pielonefritis akut
Pielonefritis akut merupakan salah satu penyakit ginjal yang sering
ditemui. Gangguan ini tidak dapat dilepaskan dari infeksi saluran
kemih. Infeksi ginjal lebih sering terjadi pada wanita, hal ini karena
saluran kemih bagian bawahnya (uretra) lebih pendek dibandingkan
laki-laki, dan saluran kemihnya terletak berdekatan dengan vagina dan
anus, sehingga lebih cepat mencapai kandung kemih dan menyebar ke
ginjal. Insiden penyakit ini juga akan bertambah pada wanita hamil dan
pada usia di atas 40 tahun. Demikian pula, penderita kencing
manis/diabetes mellitus dan penyakit ginjal lainnya lebih mudah
terkena infeksi ginjal dan saluran kemih (Indra, 2011).
o Pielonefritis kronis
Pielonefritis kronis juga berasal dari adanya bakteri, tetapi dapat juga
karena faktor lain seperti obstruksi saluran kemih dan refluk urin.
Pielonefritis kronis dapat merusak jaringan ginjal secara permanen
akibat inflamasi yang berulang kali dan timbulnya parut dan dapat
menyebabkan terjadinya renal failure (gagal ginjal) yang kronis.
Ginjal pun membentuk jaringan parut progresif, berkontraksi dan
tidak berfungsi. Proses perkembangan kegagalan ginjal kronis dari
infeksi ginjal yang berulang-ulang berlangsung beberapa tahun atau
setelah infeksi yang gawat.
c. Epidemiologi
Pielonefritis adalah penyakit yang sangat umum, dengan 12-13 kasus per
tahun per 10.000 penduduk pada wanita dan 3-4 kasus per 10.000 pada
pria. Dan wanita muda paling mungkin menderita penyakit ini, karena
adanya aktivitas seksual. Bayi dan orang tua juga berisiko tinggi, karena
adanya perubahan anatomi dan status hormonal. Pielonefritis kronis 2 kali
lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pada pria. Pielonefritis
kronis terjadi lebih sering pada bayi dan anak-anak muda dibandingkan
dengan anak yang lebih tua dan orang dewasa (Indra, 2011).
d. Taleologi
Escherichia coli (bakteri yang dalam keadaan normal ditemukan di usus
besar) merupakan penyebab dari 90% infeksi ginjal diluar rumah sakit dan
penyebab dari 50% infeksi ginjal di rumah sakit. Selain E.coli bakteri lain
yang juga turut serta dapat mengakibatkan pielonefritis seperti Klebsiella,
golongan Streptokokus. Infeksi biasanya berasal dari daerah kelamin yang
naik ke kandung kemih. Pada saluran kemih yang sehat, naiknya infeksi
ini biasanya bisa dicegah oleh aliran air kemih yang akan membersihkan
organisme dan oleh penutupan ureter di tempat masuknya ke kandung
kemih. Berbagai penyumbatan fisik pada aliran air kemih (misalnya batu
ginjal atau pembesaran prostat) atau arus balik air kemih dari kandung
kemih ke dalam ureter, akan meningkatkan kemungkinan terjadinya
infeksi ginjal. Infeksi juga bisa dibawa ke ginjal dari bagian tubuh lainnya
melalui aliran darah. Keadaan lainnya yang meningkatkan resiko
terjadinya infeksi ginjal adalah:
a. Kehamilan
b. kencing manis
c. keadaan-keadaan yang menyebabkan menurunnya sistem kekebalan
tubuh untuk melawan infeksi.
d. Tanda dan gejala
Gejala pada klien dengan pielonefritis biasanya timbul secara tiba-tiba
berupa demam, menggigil, nyeri di punggung bagian bawah, mual dan
muntah. Selain itu, beberapa penderita menunjukkan gejala infeksi
saluran kemih bagian bawah biasanya sering berkemih dan nyeri ketika
berkemih.
a. Pielonefritis akut
1. Demam
2. Menggigil
3. Nyeri panggul
4. Nyeri tekan pada sudut kostovetebral (cva)
5. Lekositosis
6. Adanya bakteri dan sel darah putih pada urin
7. Disuria
8. Biasanya terjadi pembesaran ginjal disertai infiltrasi interstisial
sel-sel inflamasi.
b. Pielonefritis kronis
1. Tanpa gejala infeksi, kecuali terjadi eksaserbasi.
2. Keletihan
3. Sakit kepala
4. Nafsu makan rendah
5. poliuria
6. Haus yang berlebihan
7. Kehilangan berat badan
8. Infeksi yang menetap menyebabkan jaringan parut di ginjal,
disertai gagal ginjal pada akhirnya.
e. Patofisiologi
Umumnya bakteri seperti Eschericia coli, Streptococus fecalis,
Pseudomonas aeruginosa, dan Staphilococus aureus yang menginfeksi
ginjal berasal dari luar tubuh yang masuk melalui saluran kemih bagian
bawah (uretra), merambat ke kandung kemih, lalu ke ureter (saluran
kemih bagianatas yang menghubungkan kandung kemih dan ginjal)
dan tibalah ke ginjal, yang kemudian menyebar dan dapat membentuk
koloni infeksi dalam waktu 24-48 jam. Infeksi bakteri pada ginjal juga
dapat disebarkan melalui alat-alat seperti kateter dan bedah urologis.
Bakteri lebih mudah menyerang ginjal bila terdapat hambatan atau
obstruksi saluran kemih yang mempersulit pengeluaran urin, seperti
adanya batu atau tumor.
Pada pielonefritis kronik akibat infeksi, adanya produk bakteri atau zat
mediator toksik yang dihasilkan oleh sel yang rusak, mengakibatkan
parut ginjal (renal scarring) (Hanson, 1999 dalam Kusnawar, 2001).
Pada pielonefritis akut, inflamasi menyebabkan pembesaran ginjal
yang tidak lazim. Korteks dan medula mengembang dan multipel
abses. Kalik dan pelvis ginjal juga akan berinvolusi. Resolusi dari
inflamasi menghsilkan fibrosis dan scarring. Pielonefritis kronis
muncul stelah periode berulang dari pielonefritis akut. Ginjal
mengalami perubahan degeneratif dan menjadi kecilserta atrophic. Jika
destruksi nefron meluas, dapat berkembang menjadi gagal ginjal.
f. Komplikasi dan Prognosis
Ada tiga komplikasi penting dapat ditemukan pada pielonefritis akut:
1) Nekrosis papila ginjal. Sebagai hasil dari proses radang, pasokan
darah pada area medula akan terganggu dan akan diikuti nekrosis
papila ginjal, terutama pada penderita diabetes melitus atau pada
tempat terjadinya obstruksi.
2) Fionefrosis. Terjadi apabila ditemukan obstruksi total pada ureter
yangdekat sekali dengan ginjal. Cairan yang terlindung dalam
pelvis dansistem kaliks mengalami supurasi, sehingga ginjal
mengalami pereganganakibat adanya pus.
3) Abses perinefrik. Pada waktu infeksi mencapai kapsula ginjal, dan
meluaske dalam jaringan perirenal, terjadi abses perinefrik.
Komplikasi pielonefritis kronis mencakup penyakit ginjal stadium
akhir (mulai dari hilangnya progresifitas nefron akibat inflamasi
kronik dan jaringan parut), hipertensi, dan pembentukan batu ginjal
(akibat infeksi kronik disertai organisme pengurai urea, yang
mangakibatkan terbentuknya batu).
g. Pengobatan
a. Terapi antibiotik untuk membunuh bakteri gram positif maupun
gram negatif. Terapi kausal dimulai dengan kotrimoksazol 2 tablet
2x sehari atau ampisilin 500 mg 4x sehari selama 5 hari. Setelah
diberikan terapi antibiotik 4– 6 minggu, dilakukan pemeriksaan
urin ulang untuk memastikan bahwa infeksi telah berhasil diatasi.
b. Pada penyumbatan,kelainan struktural atau batu,mungkin perlu
dilakukan pembedahan dengan merujuk ke rumah sakit.
c. Apabila pielonefritis kronisnya di sebabkan oleh obstruksi atau
refluks, maka diperlukan penatalaksanaan spesifik untuk mengatasi
masalah-masalah tersebut.
d. Di anjurkan untuk sering minum dan BAK sesuai kebutuhan untuk
membilas mikroorganisme yang mungkin naik ke uretra, untuk
wanita harus membilas dari depan ke belakang untuk menghindari
kontaminasi lubang urethra oleh bakteri feces.
Penatalaksanaan medis menurut Barbara K. Timby dan Nancy E. Smith
tahun 2007:
1. Mengurangi demam dan nyeri dan menentukan obat-obat
antimikrobial seperti trimethroprim-sulfamethoxazole (TMF-SMZ,
Septra), gentamycin dengan atau tanpa ampicilin, cephelosporin,
atau ciprofloksasin (cipro) selama 14 hari.
2. Merilekskan otot halus pada ureter dan kandung kemih,
meningkatkan rasa nyaman, dan meningkatkan kapasitas kandung
kemih menggunakan obat farmakologi tambahan antispasmodic
dan anticholinergic seperti oxybutinin (Ditropan) dan propantheline
(Pro-Banthine)
3. Pada kasus kronis, pengobatan difokuskan pada pencegahan
kerusakan ginjal secara progresif.
h. Pencegahan
Untuk membantu perawatan infeksi ginjal, berikut beberapa hal yang
harus dilakukan:
a. Minum banyak air (sekitar 2,5 liter) untuk membantu pengosongan
kandung kemih serta kontaminasi urin.
b. Perhatikan makanan (diet) supaya tidak terbentuk batu ginjal
c. Banyak istirahat di tempat tidur.
d. Terapi antibiotika.
Untuk mencegah terkena infeksi ginjal adalah dengan memastikan
tidak pernah mengalami infeksi saluran kemih, antara lain dengan
memperhatikan cara membersihkan setelah buang air besar, terutama
pada wanita. Senantiasa membersihkan dari depan ke belakang, jangan
dari belakang ke depan. Hal tersebut untuk mencegah kontaminasi
bakteri dari feses sewaktu buang air besar agar tidak masuk melalui
vagina dan menyerang uretra. Pada waktu pemasangan kateter harus
diperhatikan kebersihan dan kesterilan alat agar tidak terjadi infeksi.

C. Kelainan pada Uterus


C.1 Sub Involusi
Masa post partum (nifas) adalah masa sejak melahirkan sampai pulihnya alat-
alat reproduksi & anggota tubuh lainnya yg berlangsung sampai sekitar 40 hari
(KBBI, 1990).
Masa nifas atau puerperium adalah masa setelah partus selesai sampai
pulihnya kembali alat-alat kandungan seperti sebelum hamil. Lamanya masa
nifas ini yaitu kira-kira 6-8 minggu.
Subinvolusi adalah kegagalan perubahan fisiologis pada sisitem reproduksi
pada masa nifas yang terjadi pada setiap organ dan saluran yang reproduktif.
Subinvoulsi dapat terjadi pada
1) Uterus
2) Tempat plasenta
3) Ligmen
4) Serviks
5) Lochia
6) Vulva
7) Vagina
8) Perineum
a. Subinvolusi uterus adalah kegagalan uterus untuk mengikuti pola normal
involusi/ proses involusi rahim tidak berjalan sebagai semestinya sehingga
proses pengecilan uterus terhambat.
Subinvolusi merupakan istilah yang dipergunakan untuk menunjukan
kemunduran yang terjadi pada setiap organ dan saluran reproduktif kadang
lebih banyak mengarah secara spesifik pada kemunduran uterus yang
mengarah keukurannya (varney’s midwifery).
 Tanda dan gejala
Fundus uteri letaknya tetap tinggi di dalam abdomen/pelvis dari
yang seharusnya atau penurunan fundus uteri lambat
1) Konsistensi utererus lembek
2) Pengeluaran lochea seringkali gagal berubah
3) Terdapat bekuan darah
4) Lochea berbau menyengat
5) Uterus tidak berkontraksi
6) Pucat, pusing dan tekanan darah rendah serta suhu tubuh tinggi
 Penyebab
1) Terjadi infeksi pada miometrium
2) Terdapat sisa plasenta dan selaput plasenta di dalam uterus
3) Lochea rubra lebih dari 2 minggu postpartum dan
pengeluarannya lebih banyak dari yang diperkirakan.
 Terapi
1) Pemberian antibiotika
2) Pemberian uterotonika
3) Pemberian tablet Fe
b. Subinvolusi tempat plasenta adalah kegagalan bekas tempat implantasi
untuk berubah.
 Tanda dan Gejala
1) Tempat implantasi masih meninggalkan parut dan menonjol
2) Perdarahan
 Penyebab
1) Tali pusat putus akibat dari traksi yang berlebihan
2) Inversio uteri sebagai akibat tarikan
3) Tidak ada regenerasi endometrium ditempat implantasi plasenta
4) Tidak ada pertumbuhan kelenjar endometrium
c. Subinvolusi ligament adalah kegagalan ligamen dan diafragma pelvis
fasia kembali seperti sedia kala
 Tanda dan gejala
1) Ligamentum rotundum masih kendor
2) Ligamen fasia dan jaringan penunjang serta alat genitalia
masih kendor
 Penyebab
1) Terlalu sering melahirkan
2) Faktor umur
3) Ligamen fasia dan jaringan penunjang serta alat genitalia
sudah berkurang elastisitasnya.
d. Subinvolusi Serviks adalah kegagalan serviks berubah kebentuk semula
seperti sebelum hamil
 Tanda dan gejala
1) Konsistensi serviks lembek
2) Perdarahan
 Penyebab
1) Multi paritas
2) Terjadi ruptur saat persalinan
3) Lemahnya elastisitas serviks
e. Subinvolusi Lochea adalah tidak ada perubahan pada konsistensi lochea.
Seharusnya lochea berubah secara normal sesuai dengan fase dan lamanya
postpartum.
 Tanda dan gejala
1) Perdarahan tidak sesuai dengan fase
2) Darah berbau menyengat
3) Perdarahan
4) Demam, menggigil
 Penyebab
1) Bekuan darah pada serviks
2) Uterus tidak berkontraksi
3) Posisi ibu telentang sehingga menghambat darah nifas untuk
keluar
4) Tidak mobilisasi
5) Robekan jalan lahir
6) Infeksi
f. Subinvolusi Vulva dan Vagina adalah tidak kembalinya bentuk dan
konsistensi vulva dan vagina seperti semula setelah beberapa hari
postpartus.
 Tanda dan gejala
1) Vulva dan vagina kemerahan
2) Terlihat oedem
3) Konsistensi lembek
 Penyebab
1) Elastisitas vulva dan vagina lemah
2) Infeksi
3) Terjadi robekan vulva dan vagina saat partus
4) Ekstrasi kuman
g. Subinvolusi Perineum adalah tidak ada perubahan perineum setelah
beberapa hari persalinan
 Tanda dan gejala
1) Perineum terlihat kemerahan
2) Konsistensi lembek
3) Oedem
 Penyebab
1) Tonus otot perineum sudah lemah
2) Kurangnya elastisitas perineum
3) Infeksi
4) Pemotongan benang catgut terlalu pendek pada saat laseralisasi
sehingga jahitan perineum putus.

C.2 Perdarahan Nifas Sekunder

Pendarahan masa nifas sekunder adalah pendarahan yang terjadi pada 24 jam
pertama. Penyebabnya adalah terjadinya infeksi pada endometrium dan
terdapat sisa plasenta dan selaputnya. Dan juga di artikan sebagai perdarahan
masa nifas (PPH kasep atau Perdarahan Persalinan Sekunder atau perdarahan
pasca persalinan lambat, atau Late PPH). Perdarahan pasca persalinan
sekunder terjadi setelah 24 jam pertama. Perdarahan pasca persalinan sekunder
sering diakibatkan oleh infeksi, penyusutan rahim yang tidak baik, atau sisa
plasenta yang tertinggal (Faisal, 2008).

Faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya perdarahan pasca


persalinan:

 Grandemultipara
 Jarak persalinan pendek kurang dari 2 tahun
 Persalinan yang dilakukan dengan tindakan yaitu:
 Pertolongan kala uri sebelum waktunya
 Pertolongan persalinan oleh dukun
 Persalinan dengan tindakan paksa dan persalinan dengan narkosa
atau persalinan yang dilakukan dengan menggunakan anastesi yang
terlalu dalam (Manuaba, 1998).

Sebagian besar kehilangan darah terjadi akibat arteriol spiral miometrium dan
vena desidua yang sebelumnya dipasok dan didrainase ruang intervilus
plasenta. Karena kontraksi pada rahim yang sebagian kosong menyebabkan
pemisahan plasenta, terjadilah perdarahan dan berlanjut hingga otot rahim
berkontraksi di sekitar pembuluh darah dan bekerja sebagai pengikat fisiologi-
anatomi.

Kegagalan kontraksi rahim setelah pemisahan plasenta (atonia uteri)


mengakibatkan perdarahan yang terlalu banyak di tempat plasenta (Hacker,
2001).

Patofisiologi:

Pada dasarnya perdarahan terjadi karena pembuluh darah di dalam uterus


masih terbuka. Pelepasan plasenta memutuskan pembuluh darah dalam
stratum spongiosum sehingga sinus-sinus maternalis ditempat insersinya
plasenta terbuka. Pada waktu uterus berkontraksi, pembuluh darah yang
terbuka tersebut akan menutup, kemudian pembuluh darah tersumbat oleh
bekuan darah sehingga perdarahan akan terhenti. Adanya gangguan retraksi
dan kontraksi otot uterus, akan menghambat penutupan pembuluh darah dan
menyebabkan perdarahan yang banyak. Keadaan demikian menjadi faktor
utama penyebab perdarahan pasca persalinan.

C.3 Relaksasi Saluran Keluar Vagina Dan Prolapsus Uteri


Pengertian
Prolapsus uteri adalah keadaan yang terjadi akibat otot penyangga uterus
menjadi kendor sehingga uterus akan turun atau bergeser kebawah dan
dapat menonjol keluar dari vagina
Etiologi
Partus yang berulang kali dan terjadi terlampau sering, partus dengan
penyulit, merupakan penyebab prolapsus genitalis, dan memperburuk
prolaps yang sudah ada. Faktor-faktor lain adalah tarikan pada janin pada
pembukaan belum lengkap, prasat Crede yang berlebihan untuk
mengeluarkan plasenta, dan sebagainya. Jadi, tidaklah mengherankan bila
prolapsus genitalis terjadi segera sesudah partus atau dalam masa nifas.
Asites dan tumor-tumor di daerah pelvis pada nullipara, faktor
penyebabnya adalah kelainan bawaan berupa kelemahan jaringan
penunjang uterus
Faktor penyebab lain yang sering adalah melahirkan dan menopause.
Persalinan yang lama dan sulit, meneran sebelum pembukaan lengkap,
laserasi dinding vagina bawah pada kala II, penataksanaan pengeluaran
plasenta, reparasi otot-otot dasar panggul yang tidak baik. Pada
Menopause, hormon esterogen telah berkurang sehingga otot-otot dasar
panggul menjadi atrofi dan melemah
Klasifikasi
Mengenai istilah dan klasifikasi prolapsus uteri terdapat perbedaan
pendapat antara para ahli ginekologi. Friedman dan Little (1961)
mengemukakan beberapa macam klasifikasi yang dikenal, yaitu:
1) Prolapsus uteri tingkat I : serviks uteri turun sampai introitus
vagina.
2) Prolapsus uteri tingkat II : serviks uteri menonjol keluar dari introitus
vagina.
3) Prolapsus uteri tingkat III : seluruh uterus keluar dari vagina. Prolaps
ini juga dinamakan Prosidensia Uteri.
Patologi
Prolapsus uteri terdapat dalam berbagai tingkat, dari yang paling ringan
sampai prolapsus uteri kompleta atau totalis. Sebagai akibat persalinan,
khususnya persalinan yang susah terdapat kelemahan-kelemahan ligament
yang tergolong dalam fascia endopelvika dan otot-otot serta fasia-fasia
dasar panggul. Dalam keadaan demikian tekanan intraabdominal
memudahkan penurunan uterus, terutama apabila tonus oto-otot berkurang.
Jika serviks uteri terletak di luar vagina, maka ia menggeser dengan celana
yang dipakai oleh wanita dan lambat laun bias berbentuk ulkus, yang
dinamakan ulkus dekubitus.
Jika fascia didepan dinding vagina kendor oleh suatu sebab, biasanya
trauma obstetric, ia terdorong oleh kandung kencing ke belakang dan
menyebabkan menonjolnya dinding depan vagina ke belakang, hal ini
dinamakan sistokel.
Sistokel ini pada mulanya hanya ringan saja, dapat menjadi besar karrena
persalinan berikutnya, terutama jika persalinan itu berlangsung kurang
lancar, atau harus diselesaikan dengan menggunakan peralatan. Urethra
dapat pula ikut serta dalam penurunan itu den menyebabkan urethrokel.
Uretherokel ini harus dibedakan dari divertikulum urethra. Pada
divertikulum keadaan urethra dan kandung kencing normal, hanya
dibelakang urethra ada lubang yang menuju ke kantong antara urethra dan
vagina.
Kekendoran fascia dibelakang vagina oleh trauma obstetric atau sebab-
sebab lain dapat menyebabkan turunnya rectum ke depan dan
menyebabkan dinding belakang vagina menonjol ke lumen vagina, ini
dinamakan rectokel.
Enterokel adalah suatu hernia dari cavum douglasi. Dinding vagina atas
bagian belakang turun, oleh karena itu menonjol kedepan, isi kantong
hernia ini adalah usus halus atau sigmoid.
Gejala-Gejala Klinik
Gejala sangat berbeda-beda dan bersifat individual. Kadang-kadang
penderita yang satu dengan prolaps yang cukup berat tidak mempunyai
keluhan apapun. Sebaliknya penderita lain dengan prolaps ringan
mempunyai banyak keluhan.
Prolapsus dapat terjadi secara akut alam hal ini dapat timbul gejala nyeri
yang sangat, muntah dan kolaps. Keluhan-keluhan yang hampir dijumpai
adalah:
1) Perasaan adanya suatu benda yang mengganjal atau menonjol di
genitalia eksterna.
2) Rasa sakit dalam panggul dan pinggang (backache). Biasanya jika
penderita berbaring keluhan hilang atau berkurang.
3) Pengeluaran serviks uteri dari vulva mengganggu penderita waktu
berjalan dan bekerja. Gesekan portio uteri terhadap celana dapat
menimbulkan lecet sampai luka dekubitus pada poertio uteri.
4) Leukorhea karena kongesti pembuluh darah vena daerah serviks dan
area infeksi serta luka pada portio uteri.
5) Coitus terganggu.
6) Infertilitas karena servicitis.
7) Incontinentia urine jika sudah terjadi cystokele oleh karena dinding
belakang urethra tertarik sehingga faal spingter kurang sempurna.
8) Kesukaran defekasi pada rektokel. Obstipasi karena fese terkumpul
dalam rongga rektokel. Baru dapat dilaksanakan defekasi setelah
diadakan tekanan pada rectokel dari vagina.
Diagnosis
Keluhan-keluhan penderita dan pemeriksaan genikologi umumnya dengan
mudah dapat menegakkan diagnosis prolapsus uteri.
Friedman dan Little (1961) mengajukan pemeriksaan sebagai berikut:
Penderita dalam posisi jongkok disuruh mengejan dan ditentukan dengan
pemeriksaan dengan jari, apakah portio uteri pada posisi normal, apakah
portio dibawah posisi normal, apakah portio sampai introitus vagina,
apakah serviks uteri sudah keluar dari vagina.
Bentuk-bentuk
 Introitus Menganga : mudah dimasuki empat jari.
 Cystocele : dinding depan vagina menonjol, dalam tonjolan ini
terdapat dinding belakang kandung kemih sehingga dapat
menimbulkan inkontinensia urine.
 Enterokel : biasanya berisi usus halus atau omentum dan mungkin
menyertai uterus turun ke dalam vagina
 Rectocele : dinding belakang vagina menonjol beserta dinding depan
ampula recti menimbulkan kesukaran pada defekasi.
 Prolapsus Uteri : portio tampak dalam introitus.
 Prolapsus Uteri Totalis (Procidentia) : uterus tergantung diluar badan,
terbungkus oleh vagina. Pada bentuk ini selaput lendir vagina
menebal dan sering terjadi ulcus decubitus.
Terapi
Faktor yang harus dipertimbangkan dalam menentukan terapi prolapsus
adalah:
a. Keadaan umum
b. Masih bersuami atau tidak
c. Keinginan punya anak
d. Umur
e. Tingkat prolaps
Terapi prolaps dapat dibagi:
1) Terapi Kuratif atau Non Operatif
Pengobatan cara ini tidak seberapa memuaskan dan hanya memberikan
hasil sementara. Cara ini dilakukan pada prolaps ringan tanpa keluhan,
jika yang bersangkutan masih ingin punya anak. Jika penderita
menolak untuk dilakukan operasi atau jika kondisinya tidak
mengijinkan untuk dioperasi.
Yang termasuk pengobatan tanpa operasi:
 Latihan-latihan otot dasar panggul
 Latihan ini sangat berguna pada prolaps yang ringan yang terjadi
pasca persalinan yang belum lewat 6 bulan. Tujuannya adalah
untuk menguatkan otot dasar panggul atau otot uang
mempengaruhi mictio. Latihan ini dilakukan selama beberapa
bulan.
 Caranya: penderita disuruh menguncupkan anus dan jaringan
panggul, seperti biasanya setelah BAB, atau penderita disuruh
membayangkan seolah-olah sedang mengeluarkan air kencing dan
tiba-tiba menghentikannya.
 Latihan ini bias menjadi lebih efektif dengan menggunakan
perineometer menurut Kegel. Alat ini terdiri dari obsturator yang
dimasukkan ke dalam vagina dengan selaput pipa dihubungkan
dengan suatu manometer. Dengan demikian kontraksi otot-otot
dasar panggul dapat diukur.
 Stimulasi otot-otot dengan alat-alat listrik
 Kontraksi otot-otot dasar panggul dapat ditimbulkan dengan alat
listrik, elektrodenya dapat dipasang dalm pessarium yang
dimasukkan dalam vagina.
 Pengobatan dengan Pessarium
Pengobatan dengan pessarium sebetulnya hanya bersifat paliatif,
yakni menahan uterus di tempatnya selama dipakai. Jika Pessarium
diangkat timbul prolaps lagi. Prinsip pemakaian pessarium ialah
bahwa alat tersebut mengadakan tekanan pada dinding vagina
bagian atas sehingga bagian dari vagina tersebut beserta uterus
tidak dapat turun dan melewati vagina bagian bawah. Kerugian
pessarium ini adalah perasaan rendah diri dan pessarium harus
dibersihkan sebulan sekali. Untuk penanganan prolapsus uteri
selama awal kehamilan, uterus harus direposisi dan dipertahankan
dalam posisinya dengan pessarium yang sesuai.
2) Terapi Operatif
a. Ventrofiksasi
Pada wanita yang masih tergolong muda dan masih menginginkan
anak dilakukan operasi untuk membuat uterus Ventrofiksasi,
dengan cara memendekkan ligamentum Rotundum atau
mengikatkan ligamentum rotundum ke dinding perut atau dengan
cara operasi Purandare.
b. Hysterektomi vagina
Hysterektomi vaginal sebagai terapi prolaps kita pilih kalau ada
methroragi, patologi portio atau tumor dari uterus, juga pada
prolaps uteri tingkat lanjut.
c. Manchester – Fothergill
Dasarnya ialah memendekkan ligamentum Cardinale. Disamping
itu dasar panggul diperkuat ( Perineoplasty ) dan karena sering ada
elongasio coli dilakukan amputasi dari portio. Cystokele atau
Rectokele dapat diperbaiki dengan Kolporafia anterior atau
posterior.
d. Kolpocleisis ( Neugebauer – Le Fort )
Pada wanita tua yang seksual tidak aktif lagi dapat dilakukan
operasi sederhana dengan menghubungkan dinding vagina depan
dengan bagian belakang, sehingga lumen vagina ditiadakan dan
uterus terletak diatas vagina yang tertutup itu. Akan tetapi operasi
ini dapat mengakibatkan tarikan pada dasar kandung kemih
kebelakang, sehingga dapat menimbulkan inkontinensia urine, atau
menambah inkontinensia yang telah ada. Coitus tidak mungkin lagi
setelah operasi.
e. Operasi transposisi dari Watkins (interposisi operasi dari
Wertheim)
Prinsipnya ialah menjahit dinding depan uterus pada dinding depan
vagina, sehingga korpus uteri dengan demikian terletak antara
dinding vagina dan vesika urinaria dalam hiperantefleksi dan ekstra
peritoneal. Disambing itu dilakukan amputasi portio dan
perineoplasty. Setelah operasi ini wanita tidak boleh hamil lagi,
maka sebaiknya dilakukan dalam menopause.
Profilaksis
 Kandung kemih hendaknya kosong pada waktu partus terutama dalam
kala pengeluaran.
 Robekan perineum harus dijahit legeartis.
 Kala pengeluaran hendaknya jangan terlalu lama supaya dasar panggul
jangan lama teregang. Pergunakan episiotomi jika diperlukan.
 Memimpin persalinan dengan baik, agar dihindarkan penderita
meneran sebelum pembukaan lengkap betul.
 Menghindari paksaan dalam pengeluaran plasenta ( perasat Crede)
Komplikasi
a. Keratinisasi Mukosa Vagina dan Portio Uteri
Procidentia uteri disertai keluarnya dinding vagina ( inversion ) karena
itu mukosa vagina dan serviks uteri menjadi tebal serta berkerut dan
berwarna keputuh-putihan.
b. Dekubitus
Jika serviks uteri terus keluar dari vagina, ujungnya bergeser dengan
paha dan pakaian dalam, hal itu dapat menyebabkan luka dan radang
dan lambat laun timbul ulcus dekubitus. Dalam keadaan demikian
perlu dipikirkan kemungkinan karsinoma, lebih-lebih pada penderita
berumur lanjut. Biopsi perlu dilakukan untuk mendapatkan kepastian
ada tidaknya karsinoma insitu.
c. Hipertrofi Serviks Uteri dan Elongasio Koli
Jika serviks uteri menurun sedangkan jaringan penahan dan penyokong
uterus masih cukup kuat, maka kerana tarikan ke bawah dari bagian
uterus yang turun serta pembendungan pembuluh darah, serviks uteri
mengalami hipertrofi dan menjadi panjang pula. Hal yang terakhir ini
dinamakan Elongasio Kolli. Hipertrofi ditentukan dengan periksa lihat
dan periksa raba sedang pada elongasio kolli serviks uteri pada
pemeriksaan raba lebih panjang dari biasa.
d. Gangguan miksi dan stress incontinensia
Pada sistocele berat miksi kadang-kadang terhalang, sehingga kandung
kemih tidak dapat dikosongkan sepenuhnya. Turunnya uterus bias juga
menyempitkan ureter, sehingga bias menyebabkan hidroureter dan
hidronefrosis. Adanya Cystocele dapat pula mengubah bentuk sudut
antara kandung kemih dan urethra akibat stress incontinensia.
e. Infeksi Saluran Kemih
Adanya retensio urine memudahkan timbulnya infeksi. Sistitis yang
terjadi dapat meluas ke atas dan menyebabkan Pielitis dan pielonefritis.
Akhirnya hal itu dapat menyebabkan gagal ginjal.
f. Kemandulan
Karena menurunnya serviks uteri sampai dekat pada introitus vagina
atau keluar sama sekali dari vagina, tidak mudah terjadi kehamilan.
g. Kesulitan Pada Waktu Partus
Jika wanita dengan prolapsus uteri hamil, maka pada waktu persalinan
bias timbul kesulitan pada pembukaan serviks, sehingga kemajuan
persalinan terhalang.
h. Haemorhoid
Feses yang terkumpul dalam rektokel memudahkan obstipasi dan
timbulnya haemorhoid.
i. Inkarserasi Usus Halus
Usus halus yang masuk kedalam enterokel dapat terjepit dan tidak
direposisi lagi. Dalam hal ini perlu dilakukan laparotomi untuk
membebaskan usus yang terjepit.
DAFTAR PUSTAKA

Dessy, T., dkk. 2009. Perubahan Fisiologi Masa Nifas. Akademi Kebidanan

Mamba’ul ‘Ulum Surakarta

Flint carolone, 1994. Sensitif Midwifery.Oxford: Butterworth Heinemann


Fadlun dan Feryanto, Achmad. 2011. Asuhan Kebidanan Patologis. Jakarta: Salemba
Medika.
FK UNPAD, 1981, Obstetri Patologi, Bandung.

Henderson C, dan jone K. 2005. Buku Ajar Konsep Kebidanan (Edisi Bahasa
Indonesia). Ed. Yulianti. Jakarta: EGC
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Ed.3 Cet.1. Jakarta : Media Aesculapius
Marmi, dkk.2011. Asuhan Kebidanan Patologi. Jakarta:Pustaka Belajar.
Sarwono. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka.
Syaifuddin, 1997, Kedaruratan Obsetri dan Ginekologi, ECG, Jakarta.
Pearce, Evelyn, 2002, Anatomi Fisiologi untuk Paramedis, Gramedia, Jakarta.
Prawirohardjo, Sarwono, 2002, Ilmu Bedah Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka, Jakarta.
Prawirohardjo, Sarwono, 2002, Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka, Jakarta.
Prawirohardjo, Sarwono, 2002, Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Yayasan Bina
Pustaka, Jakarta.
Prawirohardjo, sarwono. 2009. Ilmu kebidanan. Edisi Keempat. cetakan kedua.

Jakarta: pt bina pustaka sarwono Prawirohardjo

Pusdiknekes, 2001. Panduan Pengajar Asuhan Kebidanan FisiologiBagi dosen


Dipolma III Kebidanan. Jakarta: pusdiknes.
Varney H, et al.2007, Buku a Saleha, 2009. Asuhan Kebidanan Pada Masa Nifas.

Jakarta: Salemba Medika (hlm: 53-57).

Wulanda,ayu febri.2012.Biologi Reproduksi. Jakarta : Salemba Medika ( cetakan

ketiga )

Winkjosastro, H .dkk. 2005. Ilmu kebidanan. Edisi 3. Cetakan 7. Jakarta: yayasan


bina pustaka sarwono priwirohardjo
Mochtar, rustam, 1998, Patologi dan Fisiologi Persalinan, Yayasan Essensia Medica,
Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai