Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

PENGELOLAAN TRAUMA KAPITIS


Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Saraf

Pembimbing
dr. Iman Budiarto, Sp.S

Disusun oleh :
Esha Putriningtyas Setiawan, S.Ked
J510170106

KEPANITERAAN KLINIK ILMU SARAF


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SUKOHARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2019
REFERAT
PENGELOLAAN TRAUMA KAPITIS

Yang diajukan Oleh :

Esha Putriningtyas Setiawan, S.Ked


J510170106

Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Pembimbing Ilmu Saraf Program
Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing
Nama : dr. Iman Budiarto, Sp.S (.................................)

Dipresentasikan di hadapan
Nama : dr. Iman Budiarto, Sp.S (.................................)
BAB I
PENDAHULUAN

Trauma merupakan penyebab terbanyak kematian pada usia di bawah 45


tahun dan lebih dari 50% merupakan trauma kapitis. Trauma kepala merupakan
salah satu masalah kesehatan dan dapat menyebabkan gangguan fisik dan mental
yang kompleks, defisit kognitif, psikis, intelektual, dan lain-lain, dan dapat
bersifat sementara ataupun menetap.4
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan
lalu lintas, selain penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke
rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat
menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya. Tindakan resusitasi
anamnesis dan pemeriksaan fisik umum serta neorologi harus segera dilakukan
secara serentak agar dapat mengurangi kemungkinan terlewatinya evaluasi unsur
vital. Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas otak.11
Secara global insiden cedera kepala meningkat dengan tajam terutama
karena peningkatan penggunaan kendaraan bermotor. World Health Organization
(WHO) memperkirakan bahwa pada tahun 2020 kecelakaan lalu lintas akan
menjadi penyebab penyakit dan trauma ketiga terbanyak di dunia.5
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di
rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera
kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10%
sisanya adalah cedera kepala berat (CKB). Insiden cedera kepala terutama terjadi
pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas
merupakan penyebab 48%- 53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya
karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga
dan rekreasi. Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu
rumah sakit di Jakarta, RS Cipto 2 Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap,
terdapat 60%-70% dengan CKR, 15%- 20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB.
Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-10% CKS,
sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Trauma Capitis
1. Definisi
Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara
langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi
neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer
maupun permanen.7
2. Anatomi
Berdasarkan ATLS (2004), anatomi yang bersangkutan antara lain :
a. Kulit Kepala (Scalp)
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu :
1) Skin atau kulit
2) Connective Tissue atau jaringan penyambung
3) Aponeurosis atau galea aponeurotika
4) Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
5) Perikranium.
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari
perikranium dan merupakan tempat tertimbunnya darah (hematoma
subgaleal). Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga
bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan
banyak kehilangan darah, terutama pada bayi dan anak-anak.1
b. Tulang tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii.
Kalvaria khususnya di bagian temporal adalah tipis, namun disini
dilapisi oleh otot temporal. Basis kranii berbentuk tidak rata sehinga
dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi
dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa
anterior, fosa media, dan fosa posterior. Fosa anterior adalah tempat
lobus frontalis, fosa media adalah tempat lobus temporalis, dan fosa
posterior adalah ruang bagian bawah batang otak dan serebelum.1
c. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri
dari 3 lapisan yaitu : duramater, araknoid dan piamater. Duramater
adalah selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang
melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak
melekat pada selaput araknoid di bawahnya, maka terdapat suatu
ruang potensial (ruang subdural) yang terletak antara duramater dan
araknoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural.1
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau
disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan
perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena
ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus
ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.1
Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan
dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang
kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan dapat
menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami
cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa
temporalis (fosa media).1
Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang tipis
dan tembus pandang disebut lapisan araknoid. Lapisan ketiga adalah
piamater yang melekat erat pada permukaan korteks serebri. Cairan
serebrospinal bersirkulasi dalam ruang sub araknoid.1
d. Otak
Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak.
Serebrum terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh
falks serebri yaitu lipatan duramater dari sisi inferior sinus sagitalis
superior. Pada hemisfer serebri kiri terdapat pusat bicara manusia.
Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai
hemisfer dominan.1
Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fiungsi motorik, dan
pada sisi dominan mengandung pusat ekspresi bicara. Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus
temporal mengatur fungsi memori. Lobus oksipital bertanggung jawab
dalam proses penglihatan.1
Batang otak terdiri dari mesensefalon (mid brain), pons, dan
medula oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem
aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan.
Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik, yang terus
memanjang sampai medulla spinalis dibawahnya. Lesi yang kecil saja
pada batang otak sudah dapat menyebabkan defisit neurologis yang
berat.1
Serebelum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan
keseimbangan, terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan
medula spinalis, batang otak, dan juga kedua hemisfer serebri.1
e. Cairan serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus
dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari
ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III
kemudian melalui aquaductus sylvii menuju ventrikel IV. Selanjutnya
CSS keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke dalam ruang
subaraknoid yang berada di seluruh permukaan otak dan medula
spinalis. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui vili
araknoid.1
f. Tentorium
Tentorium serebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supra tentorial (terdiri atas fossa kranii anterior dan fossa kranii
media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).1
3. Fisiologi
Mekanisme fisiologis yang berperan antara lain :
a. Tekanan Intra Kranial
Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat menyebabkan
kenaikan tekanan intrakranial (TIK). Kenaikan TIK dapat menurunkan
perfusi otak dan menyebabkan atau memperberat iskemia. TIK normal
pada keadaan istirahat sebesar 10 mmHg. TIK lebih tinggi dari 20
mmHg, terutama bila menetap berhubungan langsung dengan hasil
akhir yang buruk.1
b. Hipotesa Monro Kellie
Teori ini menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas
sehingga bila salah satu dari ketiga komponennya membesar, dua
komponen lainnya harus mengkompensasi dengan mengurangi
volumenya ( bila TIK masih konstan ). Mekanisme kompensasi intra
kranial ini terbatas, tetapi terhentinya fungsi neural dapat menjadi
parah bila mekanisme ini gagal. Kompensasi terdiri dari
meningkatnya aliran cairan serebrospinal ke dalam kanalis spinalis
dan adaptasi otak terhadap peningkatan tekanan tanpa meningkatkan
TIK. Mekanisme kompensasi yang berpotensi mengakibatkan
kematian adalah penurunan aliran darah ke otak dan pergeseran otak
ke arah bawah ( herniasi ) bila TIK makin meningkat. Dua mekanisme
terakhir dapat berakibat langsung pada fungsi saraf. Apabila
peningkatan TIK berat dan menetap, mekanisme kompensasi tidak
efektif dan peningkatan tekanan dapat menyebabkan kematian
neuronal.1,10
4. Patofisiologi dan Gejala Klinis Trauma Kapitis
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap
yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan
cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat
disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan suatu benda keras
maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala.
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa
perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan
kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio.
Lesi kontusio di bawah area benturan disebut lesi kontusio “coup”, di
seberang area benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak
terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan lesi
kontusio “countercoup”. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi
linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma
kapitis adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada
akselerasi rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi
faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi
kontusio coup, countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi
kontusio intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio
coup dan countrecoup.3,9
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti
secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas
antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid)
menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra
kranialnya.9
a. Hematoma Ekstradural/Epidural (EDH)
Sebagian besar kasus diakibatkan oleh robeknya arteri meningea
media. Perdarahan terletak di antara tulang tengkorak dan
duramater. Gejala klinisnya adalah lucid interval, yaitu selang
waktu antara pasien masih sadar setelah kejadian trauma
kranioserebral dengan penurunan kesadaran yang terjadi
kemudian. Biasanya waktu perubahan kesadaran ini kurang dari
24 jam; penilaian penurunan kesadaran dengan GCS. Gejala lain
nyeri kepala bisa disertai muntah proyektil, pupil anisokor
dengan midriasis di sisi lesi akibat herniasi unkal, hemiparesis,
dan refleks patologis Babinski positif kontralateral lesi yang
terjadi terlambat. Pada gambaran CT scan kepala, didapatkan
lesi hiperdens (gambaran darah intrakranial) umumnya di
daerah temporal berbentuk cembung.8,12
b. Hematoma Subdural (SDH)
Terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan, sinus venosus dura
mater atau robeknya araknoidea. Perdarahan terletak di antara
duramater dan araknoidea. SDH ada yang akut dan kronik
Gejala klinis berupa nyeri kepala yang makin berat dan muntah
proyektil. Jika SDH makin besar, bisa menekan jaringan otak,
mengganggu ARAS, dan terjadi penurunan kesadaran.
Gambaran CT scan kepala berupa lesi hiperdens berbentuk
bulan sabit. Bila darah lisis menjadi cairan, disebut higroma
(hidroma) subdural.12
c. Edema Serebri Traumatik
Cedera otak akan mengganggu pusat persarafan dan peredaran
darah di batang otak dengan akibat tonus dinding pembuluh
darah menurun, sehingga cairan lebih mudah menembus
dindingnya. Penyebab lain adalah benturan yang dapat
menimbulkan kelainan langsung pada dinding pembuluh darah
sehingga menjadi lebih permeabel. Hasil akhirnya akan terjadi
edema.12
d. Cedera Otak Difus
Terjadi kerusakan baik pada pembuluh darah maupun pada
parenkim otak, disertai edema. Keadaan pasien umumnya
buruk.12
e. Hematoma Subaraknoid (SAH)
Perdarahan subaraknoid traumatik terjadi pada lebih kurang
40% kasus cedera kranioserebral, sebagian besar terjadi di
daerah permukaan oksipital dan parietal sehingga sering tidak
dijumpai tanda-tanda rangsang meningeal. Adanya darah di
dalam cairan otak akan mengakibatkan penguncupan arteri-
arteri di dalam rongga subaraknoidea. Bila vasokonstriksi yang
terjadi hebat disertai vasospasme, akan timbul gangguan aliran
darah di dalam jaringan otak. Keadaan ini tampak pada pasien
yang tidak membaik setelah beberapa hari perawatan.
Penguncupan pembuluh darah mulai terjadi pada hari ke-3 dan
dapat berlangsung sampai 10 hari atau lebih.8,12
Gejala klinis yang didapatkan berupa nyeri kepala hebat. Pada
CT scan otak, tampak perdarahan di ruang subaraknoid.
Berbeda dengan SAH non-traumatik yang umumnya disebabkan
oleh pecahnya pembuluh darah otak (AVM atau aneurisma),
perdarahan pada SAH traumatik biasanya tidak terlalu berat.12
f. Fraktur Basis Kranii
Biasanya merupakan hasil dari fraktur linear fosa di daerah
basal tengkorak; bisa di anterior, medial, atau posterior. Sulit
dilihat dari foto polos tulang tengkorak atau aksial CT scan.
Garis fraktur bisa terlihat pada CT scan berresolusi tinggi dan
potongan yang tipis. Umumnya yang terlihat di CT scan adalah
gambaran pneumoensefal. Fraktur anterior fosa melibatkan
tulang frontal, etmoid dan sinus frontal. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan gejala klinis yaitu adanya cairan likour yang keluar
dari hidung (rinorea) atau telinga (otorea) disertai hematoma
kacamata (raccoon eye, brill hematoma, hematoma bilateral
periorbital) atau Battle sign yaitu hematoma retroaurikular.
Kadang disertai anosmia atau gangguan nervi kraniales VII dan
VIII. Risiko infeksi intrakranial tinggi apabila duramater
robek.12

5. Klasifikasi
Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai
aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan;
mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi.
a. Mekanisme Cedera Kepala
Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera
tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor,
jatuh, atau pukulan benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh
luka tembak ataupun tusukan.1
b. Beratnya Cidera Kepala
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi
beratnya penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka
kedua matanya secara spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi
mempunyai nilai GCS total sebesar 15, sementara pada penderita yang
keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid dan tidak membuka mata
ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-nya minimal atau sama
dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai
koma atau cedera otak berat. Berdasarkan nilai GCS, maka penderita
cedera otak dengan nilai GCS 9-13 dikategorikan sebagai cedera otak
sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-15 dikategorikan sebagai
cedera otak ringan.1
Kategori GCS Gambaran Klinik Skrining
Otak
Cidera Kepala 13-15 Pingsan <10 menit, defisit Normal
Ringan neurologik (-)
Cidera Kepala 9-12 Pingsan >10 menit s/d <6 Abnormal
Sedang jam, defisit neurologik (+)
Cidera Kepala 3-8 Pingsan >6 jam, Abnormal
Berat defisit neurologik (+)
Tabel. Klasifikasi Cedera Kepala (CK) berdasarkan Glasgow Coma Scale/GCS12

Catatan: Pada pasien cedera kranioserebral dengan GCS


13-15, pingsan <10 menit, tanpa defi sit neurologik, tetapi
pada hasil skening otaknya terlihat perdarahan, diagnosisnya
bukan cedera kranioserebral ringan (CKR)/komosio,
tetapi menjadi cedera kranioserebral sedang (CKS)/kontusio.

c. Klasifikasi lain berdasarkan lama amnesia pasca-cidera (APC)


diperkenalkan oleh Russel dalam Jennett & Teasdale4 (tabel 2).
Klasifi kasi ini bisa dikombinasikan dengan klasifi kasi berdasarkan
klinis GCS.1
Lama Amnesia Beratnya Trauma
Pascacedera Kranioserebral

Kurang dari 5 menit Sangat Ringan


5-60 menit Ringan
1-24 jam Sedang
1-7 hari Berat
1-4 minggu Sangat Berat
Lebih dari 4 minggu Ekstrem Berat
. Tabel. Klasifikasi Cedera Kepala berdasarkan lama amnesia
Pascacedera12

d. Morfologi
Klasifikasi berdasarkan lesi bisa fokal atau difus, bisa kerusakan
aksonal ataupun hematoma. Letak hematoma bisa ekstradural atau
dikenal juga sebagai hematoma epidural (EDH), bisa hematoma
subdural (SDH), hematoma intraserebral (ICH), ataupun perdarahan
subaraknoid (SAH).1
Dari empat klasifikasi tersebut, klasifikasi berdasarkan derajat
kesadaran yang banyak dipakai di klinik karena mempunyai beberapa
kelebihan, yaitu:
1) GCS merupakan instrumen standar yang dapat digunakan untuk
mengukur tingkat kesadaran pasien trauma kepala. Penilaian
GCS (Glasgow Coma Scale) dengan komponen E(ye) M(otor)
dan V(erbal) mempunyai nilai pasti dengan tampakan klinik
yang mudah dinilai oleh kalangan medis maupun paramedis.6,12
2) Kategori dan prognosis pasien cedera kranioserebral dapat
diperkirakan dengan melihat nilai SKG yang meskipun diulang
beberapa kali akan menghasilkan nilai yang sama.12
Jenis Pemeriksaan Nilai
Respon Buka mata (Eye Opening/E)
1. Spontan 4
2. Terhadap suara 3
3. Terhadap Nyeri 2
4. Tidak ada Respon 1
Respon Motorik (M)
1. Ikut Perintah 6
2. Melokalisir Nyeri 5
3. Fleksi normal (Menarik anggota yang dirangsang) 4
4. Fleksi abnormal (Dekortikasi) 3
5. Ekstensi abnormal (Deserebsasi) 2
6. Tidak ada respon (Flaccid) 1

Respon Verbal
1. Berorientasi baik 5
2. Berbicara mengacau (bingung) 4
3. Kata-kata tidak teratur 3
4. Suara Tidak Jelas 2
5. Tidak ada respon 1

Tabel. Penilaian Glasgow Coma Scale untuk anak lebih


dari 5 tahun dan dewasa1
6. Tindakan di Unit Gawat Darurat dan Ruang Rawat
a. Resusitasi dengan tindakan A =Airway, B = Breathing dan C =
Circulation.
1) Jalan napas (Airway)
Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang
dengan posisi kepala ekstensi. Jika perlu dipasang pipa
orofaring atau pipa endotrakheal. Bersihkan sisa muntahan,
darah, lendir atau gigi palsu. Jika muntah, pasien dibaringkan
miring. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasogastrik untuk
menghindari aspirasi muntahan.12
2) Pernapasan (Breathing)
Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral
atau perifer. Kelainan sentral disebabkan oleh depresi
pernapasan yang ditandai dengan pola pernapasan Cheyne
Stokes, hiperventilasi neurogenik sentral, atau ataksik. Kelainan
perifer disebabkan oleh aspirasi, trauma dada, edema paru,
emboli paru, atauinfeksi.12
Tata laksana:
- Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit,intermiten
- Cari dan atasi faktor penyebab
- Kalau perlu pakai ventilator
3) Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi dengan
tekanan darah sistolik <90 mm Hg yang terjadi hanya satu kali
saja sudah dapat meningkatkan risiko kematian dan kecacatan.
Hipotensi kebanyakan terjadi akibat faktor ekstrakranial, berupa
hipovolemia karena perdarahan luar atau ruptur alat dalam,
trauma dada disertai tamponade jantung/ pneumotoraks, atau
syok septik. Tata laksananya dengan cara menghentikan sumber
perdarahan, perbaikan fungsi jantung, mengganti darah yang
hilang, atau sementara dengan cairan isotonik NaCl 0,9%.12
b. Pemeriksaan fisik
Setelah resusitasi ABC, dilakukan pemeriksaan fisik yang meliputi
kesadaran, tensi, nadi, pola dan frekuensi respirasi, pupil (besar,
bentuk dan reaksi cahaya), defisit fokal serebral dan cedera
ekstrakranial. Hasil pemeriksaan dicatat dan dilakukan pemantauan
ketat pada hari-hari pertama. Bila terdapat perburukan salah satu
komponen, penyebabnya dicari dan segera diatasi. 12
c. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan status neurologis terdiri dari :
1) Tingkat kesadaran : berdasarkan skala Glasgow Coma Scale
(GCS).
Cedera kepala berdasar GCS, yang dinilai setelah stabilisasi
ABC diklasifikasikan:
- GCS 14 – 15 : Cedera kepala ringan (CKR)
- GCS 9 – 13 : Cedera kepala sedang (CKS)
- GCS 3 – 8 : Cedera kepala berat (CKB)
2) Saraf kranial, terutama:
- Saraf II-III, yaitu pemeriksaan pupil : besar & bentuk, reflek
cahaya, reflek konsensuil -> bandingkan kanan-kiri
- Tanda-tanda lesi saraf VII perifer
3) Motoris dan sensoris, bandingkan kanan dan kiri, atas dan
bawah mencari tanda lateralisasi.
4) Autonomis: bulbocavernous reflek, cremaster reflek, spingter
reflek, reflek tendon, reflek patologis dan tonus spingter ani.13
d. Pemeriksaan radiologi
Dibuat foto kepala dan leher, bila didapatkan fraktur servikal,
collar yang telah terpasang tidak dilepas. Foto ekstremitas, dada,
dan abdomendilakukan atas indikasi.
CT scan otak dikerjakan bila ada fraktur tulang tengkorak atau bila
secara klinis diduga ada hematoma intrakranial.12
e. Pemeriksaan laboratorium
- Hb, leukosit, diferensiasi sel
- Gula darah sewaktu (GDS)
- Ureum dan kreatinin
- Analisis gas darah
- Elektrolit (Na, K, dan Cl)
- Albumin serum (hari 1)
- Trombosit, PT, aPTT, fi brinogen12
7. Tatalaksana
Tergantung derajat beratnya cedera.
a. Minimal
1) Tirah baring, kepala ditinggikan sekitar 30 derajat-
istirahat dirumah
2) diberi nasehat agar kembali ke rumah sakit bila ada
tanda tanda perdarahan epidural, seperti orangnya
mulai terlihat mengantuk (kesadaran mulai turun-
gejala lucid interval).7
b. Cedera Kepala Ringan (Komosio Serebri)
1) tirah baring, kepala ditinggikan sekitar 30 derajat
2) observasi di rumah sakit 2 hari
3) keluhan hilang, mobilisasi
4) simptomatis : anti vertigo, anti emetik, analgetika
5) antibiotika (atas indikasi).7
c. Cedera Kepala Sedang dan Berat (Kontusio Serebri)
1) Terapi Umum
Untuk kesadaran menurun
- Lakukan Resusitasi
- Bebaskan jalan nafas (Airway), jaga fungsi
pernafasan (Breathing), Circulation (tidak
boleh terjadi hipotensi, sistolik sama dengan
atau lebih dari 90 mmHg), nadi, suhu (tidak
boleh sampai terjadi pireksia)
- Keseimbangan cairan dan elektrolit dan nutrisi
yang cukup, dengan kalori 50% lebih dari
normal
- Jaga keseimbangan gas darah
- Jaga kebersihan kandung kemih, kalau perlu
pasang kateter
- Jaga kebersihan dan kelancaran jalur intravena
- Rubah rubah posisi untuk cegah dekubitus
- Posisi kepala ditinggikan 30 derajat
- Pasang selang nasogastrik pada hari ke 2,
kecuali kontra indikasi yaitu pada fraktur basis
kranii
- Infus cairan isotonis
- Berikan Oksigen sesuai indikasi2,7
2) Terapi Khusus
a) Medikamentosa
- Mengatasi tekanan tinggi intrakranial, berikan
Manitol 20%
- Simptomatis : analgetik, anti emetik,
antipiretik
- Antiepilepsi diberikan bila terjadi bangkitan
epilepsi pasca cidera
- Antibiotika diberikan atas indikasi
- Anti stress ulcer diberikan bila ada perdarahan
lambung
b) Operasi bila terdapat indikasi2,7
3) Rehabilitasi
- Mobilisasi bertahap dilakukan secepatnya
setelah keadaan klinik stabil
- Neurorestorasi dan Neurorehabilitasi diberikan
sesuai dengan kebutuhan7
8. Komplikasi
a. Kejang
Kejang yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma
disebut early seizure, dan yang terjadi setelahnya disebut late
seizure. Early seizure terjadi pada kondisi risiko tinggi, yaitu
ada fraktur impresi, hematoma intrakranial, kontusio di daerah
korteks; diberi profi laksis fenitoin dengan dosis 3x100 mg/hari
selama 7-10 hari. Bila terjadi kejang, banyak peneliti setuju
bahwa lorazepam (0,1 mg/kgBB) atau diazepam (0,15
mg/kgBB) dapat diberikan pada tahap awal, disusul fenitoin
(15-20 mg/kgBB) atau fosfenitoin (18-20 mg/kgBB). Jika
benzodiazepin dan fenitoin gagal, fenobarbital dapat diberikan
dengan dosis 20 mg/kgBB, namun harus mendapatkan perhatian
khusus karena dapat menyebabkan depresi pernapasan.
Diazepam merupakan obat pilihan pertama (level evidence A
pada banyak penelitian). Diazepam dengan dosis 5-10 mg
intravena dapat menghentikan kejang pada sekitar 75%
kasus.12,14
b. Infeksi
Profi laksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi,
seperti pada fraktur tulang terbuka, luka luar, fraktur basis
kranii. Pemberian profi laksis antibiotik ini masih kontroversial.
Bila ada kecurigaan infeksi meningeal, diberikan antibiotik
dengan dosis meningitis.12
c. Demam
Setiap kenaikan suhu harus dicari dan diatasi penyebabnya.
Dilakukan tindakan menurunkan suhu dengan kompres dingin
di kepala, ketiak, dan lipat paha, atau tanpa memakai baju dan
perawatan dilakukan dalam ruangan dengan pendingin.12
d. Gastrointestinal
Pada pasien cedera kranio-serebral terutama yang berat sering
ditemukan gastritis erosi dan lesi gastroduodenal lain, 10-14%
di antaranya akan berdarah.12
e. Gelisah
Kegelisahan dapat disebabkan oleh kandung kemih atau usus
yang penuh, patah tulang yang nyeri, atau tekanan intrakranial
yang meningkat. Bila ada retensi urin, dapat dipasang kateter
untuk pengosongan kandung kemih. Bila perlu, dapat diberikan
penenang dengan observasi kesadaran lebih ketat. Obat yang
dipilih adalah obat peroral yang tidak menimbulkan depresi
pernapasan.12
BAB III
KESIMPULAN
Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung
atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan Luka di kulit kepala,
fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringa otak itu
sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis. Prognosis pasien cedera kepala
akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat. Trauma
kapitis diklasifikasikan menjadi ringan, sedang, dan berat berdasarkan Glasgow
Coma Scale untuk menentukan penatalaksanaannya. Tidak semua pasien trauma
kapitis perlu dirawat inap di rumah sakit, dilakukan pemeriksaan CT-scan,
ataupun dioperasi. Terdapat kriteria tertentu untuk tindakan operasi masing-
masing jenis trauma kapitis. Indikasi pembedahan ditentukan berdasarkan
pemeriksaan klinis dan radiologi. Riwayat trauma dan diagnosis klinis yang jelas
sangat penting sebelum melakukan prosedur. Penanganan yang cepat dan tepat
akan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.
DAFTAR PUSTAKA

1. Advanced Trauma Life Support (ATLS). 2004. 7th edn, American College
of Surgeons, America
2. Algattas H and Huang JH. 2014. Traumatic brain injury pathophysiology
and treatments: early, intermediate and late phases post injury. Int. J. Mol.
Sci. 15, 309-41; doi: 10.3390/ijms 15010309.
3. Andrews PJD. 2000. Traumatic brain injury. In: Neurological
Emergencies. Hughes R (ed.). 3rd ed. BMJ books
4. Atmadja, AS 2016, 'Indikasi Pembedahan pada Trauma Kapitis', CDK, vol
43, no. 1, pp. 29-32.
5. Clarinta, & Iyos, R 2016, 'Cedera Kepala Berat dengan Perdarahan
Subaraknoid', Medula Unila, vol 4, no. 4.
6. Irene, ME, Oley, M & Limpeleh, 2014, 'Gambaran Ct Scan Kepala Pada
Penderita Cedera Kepala Ringan Di Blu Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou',
Jurnal e-CliniC (eCl), vol 2, no. 2.
7. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal.
2006. PERDOSSI
8. Ling GSF, Grimes J. 2011. Pathophysiology and initial prehospital
management. AAN Hawaii
9. Lombardo, M.C.,2006. Cedera Sistem Saraf Pusat. Dalam : Price, S.A.,
dan Wilson,L.M. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta : EGC
10. Mardjono, M., dan Sidharta, P.,2008. Mekanisme Trauma Susunan Saraf
Pusat. Dalam : Mardjono, M., dan Sidharta, P. Neurologi Klinis Dasar.
Jakarta : Dian Rakyat, 250 - 260.
11. Safrizal. 2013. Hubungan Nilai Oxygen Delivery dengan Outcome
Rawatan Pasien Cedera Kepala Sedang. Universitas Andalas:Padang.
12. Soertidewi, L. 2012. 'Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera
Kranioserebral', Continuing Medical Education, vol 39, no. 9, pp. 327-330
13. Wahyuhadi, J. 2014. Pedoman Tatalaksana Cedera Otak (Guidline In
Management of Traumatic Brain Injury). 2th edn, Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga
14. Riliant, B. 2015. Evaluasi dan Manajemen Status Epileptikus, Continuing
Medical Education, vol 42, no.10, pp. 752

Anda mungkin juga menyukai