Anda di halaman 1dari 25

A.

Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam pratikum ini adalah:
1. Bagaimana pengaruh suhu terhadap kecepatan respirasi kecambah?

B. Tujuan Pratikum
Tujuan pratikum yang akan dibahas dalam pratikum ini adalah:
1. Mengamati pengaruh suhu terhadap kecepatan respirasi kecambah

C. Hipotesis
H1 : terdapat pengaruh suhu terhadap kecepatan respirasi kecambah
H0 : tidak terdapat pengaruh suhu terhadap kecepatan respirasi kecambah

D. Kajian Pustaka
Respirasi merupakan proses penting dalam organisme (termasuk
tumbuhan) yang menyediakan energi untuk pertumbuhan dan
pemeliharaan. Proses ini membutuhkan 25-75% karbohidrat yang
dihasilkan pada fotosintesis (bergantung pada kondisi lingkungan). Laju
respirasi lebih tinggi pada sel-sel yang meristematis yang membutuhkan
banyak energi terutama pada saat masih dalam tahap perkecambahan.
Perkecambahan
Perkecambahan biji dimulai saat terjadi proses penyerapan air oleh
biji diikuti dengan melunaknya kulit biji serta terjadinya hidrasi sitoplasma
dan peningkatan suplai oksigen sehingga menyebabkan peningkatan
respirasi dalam biji. Proses perkecambahan dapat terjadi jika kulit biji
permeabel terhadap air dan tersedia cukup air. Air juga merupakan sara
masuknya oksigen ke dalam biji. Suhu optimum untuk berlangsungnya
proses perkecambahan adalah 10-40C (Kartasapoetra, 2003).
Biji yang berkecambah belum memiliki kemampuan untuk
menyintesis cadangan makanan sendiri. Kebutuhan karbohidrat didapatkan
dari cadangan makanan (endosperma). Umumnya cadangan makanan pada
biji berupa amilum (pati). Pati tidak dapat ditransportasikan ke sel-sel lain,
oleh karena itu pati harus diubah terlebih dahulu kedalam bentuk gula
yang terlarut dalam air (Dwidjosoeputro, 1978).
Pertumbuhan perkecambahan terjadi karena adanya dua peristiwa
yaitu pembesaran sel yang telah ada sebelumnya dan pembentukan sel-sel
baru. Sel-sel baru terbentuk karena proses pembelahan sel yang terjadi
pada titik tumbuh radikula dan plumula. Saat pembesaran sel terjadi
proses-proses biokimia, transportasi air, gula, asam amino, dan perubahan
ion-ion organik menjadi protein, asam nukleat, polisakarida serta molekul-
molekul kompleks lainnya. Senyawa yang dihasilkan akan diubah menjadi
organela, dinding sel, membran sel dan lain-lain sampai terbentuk jaringan
dan organ. Agar dapat melakukan hal tersebut dibutuhkan ATP yang
dihasilkan dari proses respirasi sel (Salisburry dan Ross, 1995).
Adapun kecambah yang sering digunakan dalam praktikum atau
percobaan yaitu kecambah kacang hijau (Phaseolus radiatus).
Berdasarkan Purwono dan Hartono (2005) tanaman kacang hijau
dalam taksonomi diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Classis : Magnoliopsida
Ordo : Leguminales
Familia : Leguminaceae
Genus : Phaseolus
Spesies : Phaseolus radiatus
Biji kacang hijau memiliki ukuran lebih kecil dibandingkan dengan
biji kacang lainnya. Kebanyakan warna bijinya adalah hijau kusam atau
hijau mengkilap, namun ada juga yang berwarna kuning coklat atau
kehitaman cokelat (Andrianto dan Indarto, 2004).
Diketahui bahwa semua sel aktif senantiasa melakukan respirasi,
menyerap O2 dan melepaskan CO2 dalam volume yang sama, proses
keseluruhan merupakan reaksi oksidasi reduksi yaitu senyawa dioksidasi
menjadi CO2, sedangkan O2 yang diserap direduksi membentuk H2O.
Berikut pejelasan rincinya :
Respirasi
Dalam pengertian sehari-hari, bernafas sekedar diartikan sebagai
proses pertukaran gas di paru-paru. Tetapi secara biologis, pengertian
respirasi tidaklah demikian. Pernafasan lebih menunjuk kepada proses
pembongkaran atau pembakaran zat sumber energi di dalam sel-sel tubuh
untuk memperoleh energi atau tenaga. Zat makanan sumber tenaga yang
paling utama adalah karbohidrat. Pembakaran membutuhkan oksigen (O2),
terjadai di dalam setiap sel yang hidup. Energi yang diperoleh berupa
energi kimia (ATP) yang digunakan untuk berbagai aktivitas fisiologi
dalam tubuh. Di samping itu, pembakaran menghasilkan pula zat sisa
berupa gas asam arang (CO2) dan air. Namun ada organisme yang tidak
melibatkan oksigen pada saat proses respirasi yang disebut dengan
organisme anaerob. Proses respirasi seperti itu disebut respirasi anaerob
(Suyitno, 2006).
Pada tumbuhan juga terjadi proses respirasi, dimana tumbuhan
menyerap O2 untuk pernafasannya, umumnya diserap melalui daun
(stomata). Pada keadaan aerob, tumbuhan melakukan respirasi dengan
melibatkan oksigen. Sedangkan jika dalam keadaan anaerob atau kurang
oksigen, jaringan melakukan respirasi secara anaerob. Misal pada akar
yang tergenang air. Pada respirasi aerob, terjadi pembakaran (oksidasi) zat
gula (glukosa) secara sempurna, sehingga menghasilkan energi jauh lebih
besar (36 ATP) daripada respirasi anaerob (2 ATP saja) (Suyitno, 2006).
Proses respirasi yang terjadi ‘pada tumbuhan, umumnya terjadi
pada malam hari dan terjadi dibagian mitokondria. Oksigen yang diserap,
digunakan untuk mengoksidasi senyawa hasil fotosintesis dan hasilnya
berupa energi, gas CO2 serta air. energi yang dihasilkan berguna untuk
menstimulasi sel untuk pertumbuhan, terkadang bila kondisi temperature
rendah, maka energi yang berupa panas akan dibuang ke dalam atmosfer
(Simbolon, 1989).
Adapun persamaan reaksi kimia yang terjadi yaitu :
C6H12O6 + 6O2  6CO2 + 6H2O + Energi
Telah disebutkan bahwa respirasi dibedakan atas dua macam yaitu
resporasi anaerob dan respirasi aerob, berikut penjelasannya :
a. Respirasi Anaerob
Respirasi anaerob dapat berlangsung di dalam udara yang bebas,
tetapi prose ini tidak menggunakan O2 yang tersedia di dalam udara itu.
Respirasi anaerob juga lazim disebut fermentasi, meskipun tidak semua
fermentasi itu anaerob. Tujuan fermentasi sama dengan tujuan respirasi
yaitu untuk memperoleh energi. Energi yang didapat melalui fermentasi
lebih sedikit dengan respirasi biasa. Terjadinya fermentasi ini biasanya
pada mikroorganisme-mikroorganisme, namun pada tumbuhan tingkat
tinggi respirasi anaerob juga dapat terjadi.
Pada umumnya, respirasi anaerob pada jaringan-jaringan dalam
tubuh tanaman tinggi, hanya terjadi jika persediaan oksigen bebas ada
di bawah minimum. Tiap tumbuhan mempunyai cara masing-masing
dalam kondisi seperti itu. Misalnya pada kecambah jagung yang tidak
dapat mempertahankan hidupnya di dalam suatu tempat yang tidak ada
oksigen sama sekali, sedngkan buah-buah apel dan peer dapat bertahan
berbulan-bulan di dalam penyimpanan, dimana hanya ada hidrogen dan
nitrogen saja. Buah-buahan tersebut secara terus menerus menghasilkan
CO2 (Suyitno, 2006).
Selain itu pada tanaman yang biasa tumbuh di darat, penggenangan
dalam air yang agak lama merupakan suatu ancaman bagi kehidupannya.
Respiasi aerob menjadi terhenti sama sekali sedangkan respirasi anaerob
tidak mungkin mencukupi energi yang dibutuhkan tanaman tersebut.
Akumulasi dari hasil respirasi lama-kelamaan juga akan menjadi racun
bagi tanaman-tanaman tersebut. sebaliknya pada tanaman air, respirasi
aerob dapat berlangsung terus menerus karena adanya pembuluh-
pembuluh hawa yang merupakan aerenkin, jadi meskipun selalu berada
di dalam air, tanaman tersebut tidak perlu melakukan pernapasan
anaerob, kecuali jika keadaan tertentu yaitu minim oksigen. Sehingga
pada umumnya, dapat dikatakan bahwa jaringan ataupun
mikroorganisme yang dapat melangsungkan respirasi anaerob itu lebih
mengutamakan respirasi aeron jika ada kesempatan, sebab dengan
respirasi aerob dapat diperoleh lebih banyak energi daripada respirasi
anaerob (Pantastico, 1986).
b. Respirasi Aerob
Respirasi pada tumbuhan pada dasarnya sama dengan hewan,
namun juga ada kekhasannya. Proses respirasi pada dasarnya adalah
proses pembongkaran zat makanan sumber energi (umumnya glukosa)
untuk memperoleh energi kimia berupa ATP. Namun demikian, zat
sumber energi tidak selalu siap dalam bentuk glukosa, melainkan masih
dalam bentuk cadangan makanan, yaitu berupa sukrosa atau amilum
pada tumbuhan. Karena itu zat tersebut harus terlebih dahulu di bongkar
secara hidrolitik. Demikian pula pada hewan, bila zat cadangan makanan
yang hendak dibongkar adalah lipida (lemak) atau protein (Wilkins,
1993). Proses pembongkaran ( degradasi ) yaitu sebagai berikut:

Setelah tersedia glukosa dalm sel yang diperlukan maka akan


dilakukan proses respirasi. Proses utama respirasi adalah mobilitas
senyawa organik dan oksidasi senyawa-senyawa tersebut secara
terkendali untuk membebaskan energi bagi pemeliharaan dan
perkembangan tumbuhan. Reaksi respirasi (disebut juga reaksi biologis)
suatu karbohidrat. Reaksi tersebut berlangsung dalam 4 tahapan, yaitu :
1. Glikolisis
Merupakan serangkaian reaksi yang menguraikan satu molekul
glukosa menjadi dua molekul asam piruvat. Jalur reaksi ini
merupakan dasar dari respirasi anaerob maluppun aerob. Persamaan
reaksi keseluruhan glikolisis dapat diituliskan sebagai berikut :
C6H12O6  2C3H4O3 + 4 H
Glukosa Piruvat
Berdasarkan persamaan tersebut terlihat bahwa satu molekul
glukosa diubah mejadi dua molekul asam piruvat. Namun, glikolisis
bukan merupakan reaksi satu tahap, melainkan adalah serangkaian
reaksi yang erat kaitannya dengan pembentukan molekul asa
piruvat. Reaksi glikolisis berlangsung dalam sitoplasma dan tidak
membutuhkan adanya oksigen. Glikolisis dapat dibagi menjadi dua
fase yaitu fase persiapan dan fase .oksidasi. Pada fase persiapan,
glukosa diubah menjadi dua senyawa tiga karbon dan pada fase
oksidasi kedua senyawa tiga karbon itu selanjutnya diubah menjadi
asam piruvat. Pada tahap glikolisis, dihasilkan 2 ATP serta 2
molekul asam piruvat dan 2 NADH. Pada setiap reaksinya, selalu
membutuhkan enzim sebgai biokatalisator (Simbolon, 1992).
2. Dekarboksilasi Oksidatif Piruvat
Asam piruvat yaitu senyawa 3C diubah menjadi senyawa 2C
(Asetil- koA) dengan melepaskan C02• Telah kita lihat bahwa penguraian
karbohidrat pada kondisi anaerob berlangsung melalui glikolisis dan
dihasilkan asam piruvat. Tetapi, jika tersedia cukup oksigen terjadi
dekarboksilasi oksidatif dari asam piruvat membentuk asetil- KoA. Reaksi
ini sangat kompleks dan memerlukan beberapa kofaktor dari suatu
kompleks enzim. Kofaktor yang diperlukan untuk keberhasilan
pembentukan asetil-KoA adalah tiamin pirofosfat (TPP), 2 NAD, koenzimA
(KoA-SH) dan asam lipoat (Simbolon, 1989).
3. Siklus Krebs
Senyawa 2C yang dihasilkan pada tahap dekarboksilasi
oksidatif piruvat diuraikan menjadi CO2. Selain itu, daur ini
dinamakan daur asam sitrat karena senyawa C6 yang pertama kali
dibentuk dalam daur ini adalah asam sitrat. Reaksi siklus Krebs dan
sistem pengangkutan elektron memerlukan oksigen dan
berlangsung dalam mitokondria.
Tahap Krebs, pembakaran 2 mol Acetil-CoA dihasilakan : 6 NADH,
2 ATP, 2 FADH, dan 4CO2 ( Wilkins, 1993).
4. Rantai Turanspoirt Elektron
Rantai transport elektron terjadi pada krista mitokondria.
Elektron dari NADH dan FADH2 secara berturut-turut akan dibawa
oleh molekul pembawa (susunan kompleks protein dan sitokrom).
Oksigen pada proses ini berperan sbegai penerima elektron terakhir,
dimana ion oksigen akan bergabung dengan ion hidrogen
membentuk air (Sim olon, 1989).
Hasil dari respirasi dari ke-4 tahap yaitu :
2 NADH x2 ATP = 4 ATP (Glikolisis)
8 NADH x 3 ATP = 24 ATP
2 FADH2 x 2 ATP = 4 ATP
2 Fosforilasi tkt substrat = 4 ATP
--------------------------------------------------------
Jumlah Total = 36 ATP
Setelah mengetahui proses serta tahapan-tahapan pada proses
respirasi, maka perlu diketahui bahwa ada beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi proses respirasi tersebut. Faktor dapat berasal
dari dalam (internal) maupun faktor luar (eksternal). Adapun
penjelasannya yaitu sebagai berikut :
Faktor faktor yang mempengaruhi proses respirasi
a. Faktor Internal
Adapun faktor internal yang dapat mempengaruhi kecepatan respirasi
pada tumbuhan yaitu (Meyer dan Anderson, 1952) :
1. Faktor protoplasmik
Protoplasma dalam sel akan mengalami pertambahan baik dari
sisi kuantitas maupun kualitas. Pertambahan tersebut karena pada sel
tersebut masih mengalami pertumbuhan sehingga massa protoplasma
bertambah serta terjadi penyempurnaan enzim di dalamnya. Hal
tersebut, dapat mempengaruhi laju respirasi suatu tanaman, dimana
semakin bertambahnya umur sel maka laju respirasinya semakin
cepat.
2. Ketersediaan substrat di dalam sel
Substrat merupakan bahan utama untuk terjadinya proses
respirasi. Dalam prose respirasi, substrat utama tersebut yaitu
karbohidrat. Ketersediaan substrat sangat menentukan kecepatan
respirasi pada tumbuhan, dimana jika tumbuhan dengan kandungan
substrat yang rendah akan melakukan respirasi dengan laju yang
rendah pula. Demikian sebliknya bila substrat yang tersedia cukup
banyak maka laju respirasi akan meningkat (semakin cepat).
b. Faktor Eksternal
Adapun faktor eksternal yang dapat mempengaruhi kecepatan respirasi
yaitu (Meyer dan Anderson, 1952) :
1. Ketersediaan oksigen
Ketersediaan Oksigen juga mempengaruhi respirasi, namun
peranannya berbeda bergantung pada jenis tumbuhan dan bahkan
bagian tumbuhan. Tiap tumbuhan memilki cara yang berbeda-beda
terhadap ketersediaan oksigen untuk proses respirasi.
2. Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor eksternal yang cukup
berpengaruh terhadap proses respirasi. Dimana pada suhu 0oC
respirasi berlangsung sangat lambat, sedangkan pada suhu 30-45oC
respirasi berlangsung cepat (optimum). Seperti proses-proses yang
lain, laju respirasi juga dipengaruhi oleh suhu. Di dalam rentang suhu
0°C sampai dengan 45°C, peningkatan suhu akan diikuti oleh
peningkatan laju respirasi. Pada suhu yang tinggi, maka laju respirasi
akan menurun seiring dengan bertambahnya waktu. Hal tersebut
berkaitan dengan sifat dari reaksi enzimatis yang terjadi pada proses
respirasi. Menurut Meyer dan Anderson (1952) mengatakan bahwa
menurunnya laju respirasi pada temperatur yang tinggi disebabkan
oleh beberapa hal, yakni:
 Masuknya oksigen ke dalam sel tidak cepat karena pada temperatur
yang tinggi konsentrasi oksigen menurun.
 Keluarnya CO2 tidak cepat sehingga banyak mengalami akumulasi
di dalam sel serta dapat menyebabkan hambatan pada proses
respirasi.
 Pada temperatur tinggi substrat respirasi yang tersedia menurun
sehingga substrat respirasi menjadi faktor pembatas.
Selain itu, tingginya suhu tersebut akan menyebabkan kerusakan
pada protein enzim (denaturasi), sebab enzim merupakan protein
yang dapat mengalami denaturasi pada suhuu tinggi. hal tersebut
dapat menjadikan laju respirasi menurun. Begitu juga sebaliknya,
pada temperatur yang sangat rendah, maka laju respirasi akan
menurun karena terjadi perubahan konformasi struktur protein
enzim. Sehingga suhu dapat berpengaruh dalam peningkatan laju
respirasi jika berada pada batas suhu optimumnya yaitu 45°C.
3. Tipe dan umur tumbuhan
Setiap tumbuhan memiliki perbedaan metabolisme, sehingga
kebutuhan akan energi akan berbeda. Energi tersebut dihasilkan
dari respirasi. Dengan begitu, maka laju respirasi pada setiap
tumbuhan tentu berbeda-beda, bergantung pada ebutuhannya.
Misalkan pada tumbuhan yang lebih muda akan memiliki laju
respirasi lebih cepat daripada sebab energi sangat dibutuhkan untuk
proses oertumbuhannya.
4. Cahaya
Terjadinya peningkatan intensitas cahaya mmpengaruhi laju
respirasi suatu tanaman, dimana semakin tinggi intensitas cahaya
maka laju respirasi semakin cepat dan sebaliknya. Hal tersebut
dapat terjadi karena:
 Meningkatnya intensitas cahaya akan meningkatkan laju
fotosintesis yang berarti substrat respirasi yang tersedia
meningkat. Dengan demikian laju respirasi juga meningkat.
 Meningkatnya intensitas cahaya akan meningkatkan tempertaur
sehingga laju respirasi meningkat.
 Meningkatnya intensitas cahaya akan meningkat hasil
fotosintesis di dalam sel penutup stoma sehingga akan
menyebabkan stomata membuka. Kondisi tersebut dapat
menyebabkan proses pertukaran gas O2 dan CO2 akan
berlangsung dengan cepat yang dapat mempengaruhi
peningkatan laju respirasi (Meyer dan Anderson, 1952).
5. Konsentrasi karbon dioksida
Konsentrasi karbondioksida di udara yang tinggi dapat
memicu terjadinya penutupan stomata sehingga pertukaran gas
akan terganggu. Jika pertukaran gas terganggu maka laju respirasi
pun akan mengalami penurunan (Meyer dan Anderson, 1952).

E. Variabel Penelitian
 Variabel Manipulasi (Variabel Yang Dibedakan)
a. Perbedaan Suhu: Kecambah pada suhu ruang 32oC dan pada
suhu inkubator 35C.
 Variabel Kontrol (Variabel Yang Disamakan)

a. Jenis kecambah (Satu Varietas). Umur kecambah (1 hari).


Massa kecambah sebanyak 5 gram tiap tabung Erlenmeyer

b. Volume NaOH 0,5 N : 30 ml tiap tabung Erlenmeyer

c. Ukuran tabung erlenmeyer.

 Variabel Respon :

a. Kecepatan respirasi kecambah pada suhu ruang dan suhu


inkubator 35ºC

F. Definisi Operasional Variabel


Variabel Manipulasi merupakan variabel yang mempengaruhi atau
yang menjadi sebab terjadinya perubahan atau timbulnya variabel respon.
Adapun variabel manipulasi yang digunakan pada piraktikum penentuan
kecepatan respirasi pada kecambah dengan suhu yang berbeda , yaitu
sebagai berikut :
a. Suhu adalah besaran yang menyatakan derajat panas dingin suatu benda,
dimana hal tersebut akan berpengaruh terhadap kecepatan respirasi,
karena respirasi merupakan suatu reaksi kimia yang tentunya peka
terhadap perubahan suhu. Suhu dijadikan sebagai varaibel
manipulasi untuk mengetahui bahwa ada faktor eksternal yang
mampu mempengaruhi tingkat laju respirasi pada kecambah.
Variabel Kontrol merupakan variabel yang dikendalikan atau
dibuat konstan sehingga hubungan variabel manipulasi terhadap variabel
respon tidak dipengaruhi oleh faktor luar yang tidak diteliti. Variabel
kontrol digunakan bila akan melakukan penelitian yang bersifat
membandingkan. Pada praktikum penentuan kadar klorofil, dilakukan
pembandingan antara kadar klorofil pada daun belimbing wuluh yang
terdedah dan ternaungi, oleh sebab itu diperlukan adanya variabel kontrol
yang meliputi :
a. Kecambah yang digunakan merupakan satu varietas yang sama
dengan umur kecambah yang sama pula yaitu 1 hari. Hal tersebut
perlu dikontrol karena perbedaan umur kecambah berpengaruh
terhadap laju respirasi serta perbedaan varietas juga akan
berpengaruh pada laju respirasi karena tiap tanaman tentu memiliki
perbedaan dalam melakukan proses respirasi.
b. Massa kecambah yang digunakan yaitu 5 gram pada tiap tabung
Erlenmeyer. Hal tersebut harus dikontrol karena akan
mempengaruhi hasil CO2 yang dihasilkan, agar penentuan
kecepatan respirasi menjadi valid. CO2 merupakan hasil sampingan
dari proses respirasi yang dibuang ke lingkungan yang dapat
dijadikan sebagai indikator bahwa kecambah melakukan proses
respirasi.
c. Volume NaOH yang digunakan dibuat sama yaitu 30 ml untuk
setiap tabung erlenmeyer, selain itu tabung erlemyer yang
digunakan juga harus sama ukurannya.
Variabel Respon merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang
menjadi akibat, karena adanya variabel manipulasi. Adapun variabel
respon tersebut yaitu :
a. Kecepatan respirasi merupakan varibel respon (variabel yang
menjadi kabiat dari variabel manipulasi). Kecepatan respirasi
kecambah dapat diketahui dengan menghitung kadar CO2 yang
dihasilkan dari proses respirasi kecambah yang diletakkan ada suhu
ruang 32oC maupun suhu inkubator 35oC.

G. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam pratikum ini antara lain, Erlenmenyer
250 mL sebanyak 6 buah, timbangan sebanyak 1 buah, pipet tetes
sebanyak 6 buah, gelas ukur sebanyak 2 buah, inkubator sebanyak 1 buah,
kain kassa secukupnya, benang kasur secukupnya, plastik secukupnya, dan
karet secukupnya.
Bahan yang digunakan dalam pratikum ini antara lain, kecambah
sebanyak 5 gram disetiap Erlenmenyer, larutan NaOH 30 mL disetiap
erlenmenyer, larutan HCl secukupnya, larutan BaCl secukupnya dan
larutan Phenolflatin (PP) secukupnya.
H. Rancangan Percobaan
Disimpan dalam suhu ruangan bersuhu 32oC

3 erlenmeyer Kecambah

 Masing-masing diisi dengan 30 ml  Ditimbang 5 gram


larutan NaOH 0,5 M  Dibungkus dengan kain kasa dan diikat
dengan seutas tali
(masing-masing 2 )

 Bungkusan kecambah dimasukkan ke dalam 2


erlenmeyer dan digantungan di atas larutan
NaOH dengan bantuan talinya
 Botol ditutup rapat dengan plastik

2 botol berisi kecambah yang terbungkus kasa


+ 1 botol tanpa kecambah

 2 botol berisi kecambah dan 1 botol tanpa


kecambah (kontrol) masing-masing disimpan di
dalam ruang dengan suhu ruangan sealam 24 jam

3 erlenmeyer (2 berisi kecambah + 1 kontrol) yang
disimpan selama 24 jam

 5 ml larutan NaOH dalam botol diambil dan


dimasukkan dalam erlenmeyer
 Ditambahkan 2,5 ml BaCl2 dan ditetesi dengan 2 tetes
PP sehingga larutan berwarna merah muda

Titrasi dengan HCl 0,5 N

 Titrasi dihentikan tepat warna merah hilang

Volume HCl hingga terjadi


Perubahan warna
Disimpan dalam inkubator bersuhu 35oC

3 erlenmeyer Kecambah

 Masing-masing diisi dengan 30 ml  Ditimbang 5 gram


larutan NaOH 0,5 M  Dibungkus dengan kain kasa dan diikat
dengan seutas tali
(masing-masing 2 sampel)

 Bungkusan kecambah dimasukkan ke dalam 2


erlenmeyer dan digantungan di atas larutan
NaOH dengan bantuan talinya
 Botol ditutup rapat dengan plastik

2 botol berisi kecambah yang terbungkus kasa


+ 1 botol tanpa kecambah

 2 botol berisi kecambah dan 1 botol tanpa


kecambah (kontrol) masing-masing disimpan di
dalam inkubator bersuhu 37oC selama 24 jam

3 erlenmeyer (2 berisi kecambah + 1 kontrol) yang
disimpan selama 24 jam

 5 ml larutan NaOH dalam botol diambil dan


dimasukkan dalam erlenmeyer
 Ditambahkan 2,5 ml BaCl2 dan ditetesi dengan 2 tetes
PP sehingga larutan berwarna merah muda

Titrasi dengan HCl 0,5 N

 Titrasi dihentikan tepat warna merah hilang

Volume HCl hingga terjadi


Perubahan warna
I. Langkah Kerja
2. Alat dan bahan yang diperlukan dipersiapkan.
3. 6 erlenmeyer 250 ml disiapkan dan diisi dengan masing-masing 30 ml
larutan NaOH 0,5 N.
4. Kecambah ditimbang 5 gram, kemudian dibingkus dengan kain kasa
dan diikat dengan seutas tali. Masing-masing 2 sampel untuk suhu
ruangan dan 2 sampel untuk suhu di dalam ruang incubator.
5. Bungkusan kecambah dimasukkan ke dalam Erlenmeyer dan
digantungkan di atas NaOH denga bantuang talinya, kemudian botol
ditutp rapat-rapat dengan plastic.
6. 2 botol berisi kecambah dan 1 botol tanpa kecambah (kontrol) disimpan
dalam ruang dengan suhu ruangan bersuhu 32oC dan yang lain di dalam
inkubator bersuhu 35oC .
7. Setelah 24 jam, dilakukan titrasi untuk mengetahui jumlah gas CO2
yang dilepaskan selama respirasi kecambah.
8. 5 ml larutan NaOH dalam botol diambil, dimasukkan dalam
Erlenmeyer. Kemudian duitambahkan 2,5 BaCl2 dan ditetesi dengan 2
tetes PP sehingga larutan berwarna merah. selanjutnya larutan dititrasi
dengan HCl 0,5 N. Titrasi dihentikan setelah warna merah teapt hilang.

J. Rancangan Tabel Pengamatan


Tabel 1. Kecepatan respirasi kecambah pada suhu yang berbeda.
CO2 Hasil Laju
V HCl V CO2
Suhu Erlenmenyer Respirasi Respirasi
(mL) (mL)
(mL) (mL/jam)
Suhu Kontrol 1,5 mL 21 mL
0,18125
Ruang A 0,85 mL 24,9 mL 4,35 mL
mL/jam
(32ºC) B 0,7 mL 25,8 mL
Suhu Kontrol 1,75 mL 19,5 mL
0,79375
Inkubator A 0,75 mL 25,5 mL 19,05 mL
mL/jam
(35ºC) B 0,65 mL 26,1 mL
Grafik 1. Pengaruh suhu terhadap kecepatan respiasi.

Pengaruh Suhu Terhadap Kecepatan


Respirasi
0.9
0.79375
Kecepatan Respirasi (mL/jam)

0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.18125
0.2
0.1
0
Suhu Ruang (32˚C) Inkubator (32˚C)
Suhu (˚C)

K. Rencana Analisa Data


Berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan untuk mengetahui
perngaruh suhu terhadap kecpatan respirasi pada kecambah, maka dapat
diperoleh hasil yaitu sebagai berikut :
Pada mulanya, semua erlenmeyer (6 Erlenmeyer) diisi dengan
larutan NaOH sebanyak 30 mL untuk tiap Erlenmeyer. Kemudian,
kecambah yang telah ditimbang sebanyak 5 gram/tiap Erlemeyer dan
dibungkus dengan kain kassa dimasukkan ke dalam tabung Erlenmeyer.
Hanya 4 tabung Erlenmeyer yang berisikan kecambah. 2 tabung
Erlenmeyer yang lainnya, hanya berisi larutan NaOH dan dijadikan
sebagai kontrol. Kecambah yang dibungkus kassa tersebut digantungkan
pada tabung Erlenmeyer dan tidak boleh menyentuh larutan NaOH. Lalu,
2 tabung Erlenmeyer berisi bungkusan kecambah dan 1 tabung Erlenmeyer
kontrol diletakkan pada suhu ruang (32oC), sedangkan 2 tabung
Erlenmeyer lainnya yang berisi bugkusan kecambah dan 1 tabung
Erlenmeyer kontrol dimletakkan pada inkubator bersuhu 35oC. Semua
tabung Erlenmeyer dibiarkan selama 24 jam untuk mengetahui terjadinya
proses respirasi.
Setelah 24 jam, tabung Erlenmeyer dikeluarkan dan dilakukan titrasi
untuk mengetahui kadar CO2 yang dihasilkan dari proses respirasi. Larutan
NaOH pada masing-masing tabung Erlenmeyer diambil sebanyak 5 mL,
lalu ditambahkan 2,5 mL BaCl2 dan 2 tetes indikator PP sehingga larutan
berwarna merah muda. Setelah itu, dilakukan titrasi dengan menggunakan
larutan HCl hingga diperoleh perubahan warna menjadi bening. Titrasi
dihentikan ketika telah terjadi perubhan warna.
Berdasakan hasil titrasi yang dilakukan pada suhu ruangan (32⁰C),
dua Elenmeyer yang berisi kecambah (Erlenmeyer A dan B) berturut-turt
menunjukkan perubahan warna ketika dititrasi dengan HCl sebanyak 0,85
mL dan 0,7 mL, sedangkan erlenmeyer yang tidak berisi kecambah
menunjukkan perubahan warna menjadi bening saat dititrasi dengan
menggunakan larutan HCl sebanyak 1,5 mL. Pada suhu inkubator (35⁰C),
dua Erlenmeyer yang berisi kecambah (Erlenmeyer A dan B) berturut-turt
menunjukkan perubahan warna ketika dititrasi dengan HCl sebanyak 0,75
mL dan 0,65 mL, sedangkan Erlenmeyer yang tidak berisi kecambah
menunjukkan perubahan warna menjadi bening saat dititrasi dengan
menggunakan larutan HCl sebanyak 1,75 mL.
Sesuai dengan data tersebut, maka nilai kecepatan respirasi pada
kecambah yang diletakkan pada suhu ruang 32⁰C dan pada suhu inkubator
35⁰C dapat diketahui yaitu pada suhu ruang 32⁰C kecepatan respirasi
sebesar 0,18125 mL/jam, sedangkan pada suhu inkubator 35⁰C kecepatan
respirasi sebesar 0,79375 mL/jam. Terdapat perbedaan diantara keduanya,
dimana pada suhu inkubator 35⁰C kecepatan respirasi lebih cepat jika
dibandingkan dengan kecepatan respirasi pada suhu ruang 32⁰C.

L. Hasil Analisa Data


Berdasarkan data yang telah diperoleh untuk mengetahui pengaruh
suhu terhadap kecepatan respirasi pada kecambah diperoleh hasil bahwa
terdapat pengaruh suhu terhadap kecepatan respirasi. Kenaikan suhu
seiring dengan peningkatan kecepatan respirasi. Pada praktikum ini,
digunakan tanaman yang masih berkecambah yaitu kecambah, karena pada
tahap perkecambahan ini, tanaman masih aktif melakukan metabolisme
yang menghasilkan energi untuk menunjang proses pertumbuhan dan
perkembangannya. Metabolisme yang dilakukan untuk memperoleh energi
yaitu respirasi. Respirasi dilakukan dengan menggunakan pati yang
merupakan cadangan makanannya dan akan dipecah menjadi glukosa yang
merupakan substrat respirasi (Kartasapoetra, 2003.).
Pada saat dilakukan uji pengaruh suhu terhadap kecepatan
respirasi, kecambah yang digunakan diikat dengan menggunkan kasa lalu
digantungkan pada Erlenmeyer yang berisi larutan NaOH sebanyak 30 mL
selama 24 jam. Fungsi dari larutan NaOH tersebut yaitu untuk mengikat
CO2 yang merupakan produk sampingan dari proses respirasi. CO2
tersebut dibuang ke lingkungan dan diikat dengan NaOH. Tetapi, CO2
yang dibuang ke lingkungan tersebut tidak semuanya diikat oleh NaOH.
Sehingga tidak semua NaOH yang direaksikan dengan BaCl2 akan
menghasilkan Ba(OH)2 yang berwarna putih keruh. Setelah itu, Ba(OH)2
tersebut diuji dengan indikator PP, sehingga menyebabkan warna larutan
menjadi merah muda. Warna merah muda tersebut merupakan hasil dari
reaksi NaOH dengan BaCl2 yang menghasilkan NaCl dan Ba(OH)2 yang
bersifat basa dietesi dengan indikator PP yang bersifat basa. Pada saat
larutan tersebut dititrasi dengan HCl maka warna yang mulanya merah
muda berubah menjadi putih. Tepat saat perubahan warna tersebut titrasi
dihentikan, dan volume HCl yang diperoleh sebanding dengan volume
NaOH yang tidak mengikat CO2, sehingga dari volume HCl dapat
diketahui volume NaOH yang mengikat CO2.
Berdasarkan proses titrasi tersebut, maka dapat diketahui nilai
kecepatan respirasi pada kecambah yang diletakkan pada suhu ruang 32⁰C
yaitu 0,18125 mL/jam, sedangkan pada suhu inkubator 35⁰C kecepatan
respirasi yaitu 0,79375 mL/jam. Dimana kecepatan respirasi pada
kecambah yang diletakkan pada suhu ruang 32⁰C lebih lambat daripada
kecepatan respirasi pada kecambah yang diletakkan pada suhu inkubator
35⁰C. Hal tersebut terjadi karena suhu merupakan salah satu faktor
eksternal yang cukup berpengaruh terhadap proses respirasi. Dimana pada
suhu 0oC respirasi berlangsung sangat lambat, sedangkan pada suhu 30-
45oC respirasi berlangsung cepat (optimum) (Meyer, Anderson. 1952). Di
dalam rentang suhu 0°C sampai dengan 45°C, peningkatan suhu akan
diikuti oleh peningkatan laju respirasi. Laju respirasi tersebut dapat
meningkat karena adanya reaksi enzimatis yang mempengaruhinya. Dalam
proses metabolisme seperti respirasi, dibantu dengan adanya enzim
sebagai biokatalisator, sehingga saat suhu dinaikkan dalam batas
optimumnya, kerja enzim juga akan meningkat dan laju respirasi pun ikut
meniningkat. Namun suhu yang digunakan untuk terjadinya proses
respirasi ada batasnya, yakni dengan suhu maksimum 40-45⁰C. Hal
tersebut dikarenakan enzim yang bekerja pada proses respirasi akan
mengalami kerusakan bila suhu terlalu tinggi (Meyer, Anderson. 1952).

M. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dilakukan maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat pengaruh suhu terhadap kecepatn respirasi
pada kecambah. Kenaikan suhu seiring dengan peninngkatan kecepatan
resiprasi. Sehingga semakin tinggi suhu maka kecepatan respirasi
meningkat dan sebaliknya semakin rendah suhu maka kecepatan respirasi
menjadi menurun.
N. Daftar Pustaka
Andrianto, T.T. dan N. Indarto, 2004. Budidaya dan Analisis Usaha Tani
Kedelai, Kacang Hijau, Kacang Panjang, Absolut, Yogyakarta.
Dwidjoseputro. 1994. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: PT.
Gramedia Jakarta.
Kartasapoetra, A.G., 2003. Teknologi Benih, Pengolahan Benih dan
Tuntunan Praktikum. Cetakan keempat. Rineka Cipta. Jakarta.
Meyer,. Anderson. 1952. Fisiologi Tanaman. New York : New York D.
Van Nostrans Company
Pantastico, B. 1986. Fisiologi Pasca Panen. Penanganan dan Pemanfaatan
Buahbuahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Subtropika.
Terjemahan oleh : Kamariyani. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta
Purwono dan R. Hartono, 2005. Kacang Hijau. Penebar Swadaya, Jakarta.
Salisbury, F.B. & Ross, C.W. 1992. Plant Physiology. California:
Wadswovth Publishing Co.
Simbolon, Hubu dkk. 1989. Biologi Jilid 3. Jakarta: Erlangga.
Suyitno, Al. 2006. Respirasi Tumbuhan. Yogyakarta : Universitas Negeri
Yogyatakrta Press Biologi FMIPA.
Wilkins, M.B. 1993. Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: PT. Bumi Angkasa.
O. Lampiran
Kecepatan respirasi kecambah pada suhu ruang 32⁰C
Keterangan Vol HCl :
Erlenmeyer A dengan kecambah = 0,85 mL HCl
Erlenmeyer B dengan kecambah = 0,7 mL HCl
Erlenmeyer Kontrol tanpa kecambah = 1,5 mL HCl

a. Erlenmeyer A
30
Vol NaOH yang tidak terikat = x 0,85 mL = 5,1 mL
5

Vol NaOH terikat = 30 – 5,1 mL = 24,9 mL

b. Erlenmeyer B
30
Vol NaOH yang tidak terikat = x 0,7 mL = 4,2 mL
5

Vol NaOH terikat = 30 – 4,2 mL = 25,8mL

c. Erlenmeyer Kontrol
30
Vol NaOH yang tidak terikat = x 1,5 mL = 9 mL
5

Vol NaOH terikat = 30 – 9 mL = 21 mL

24,9 𝑚𝐿 + 25,8 𝑚𝐿
 Vol CO2 Respirasi = – 21 mL
2
= 25,35 mL – 21 mL = 4,35 mL

Vol CO2 Respirasi 4,35 𝑚𝐿


 Keceptan respirasi = = = 0,18125 mL/jam
24 𝑗𝑎𝑚 24 𝑗𝑎𝑚

Kecepatan respirasi kecambah pada suhu ruang 32⁰C


Keterangan Vol HCl :
Erlenmeyer A dengan kecambah = 0,75 mL HCl
Erlenmeyer B dengan kecambah = 0,65 mL HCl
Erlenmeyer Kontrol tanpa kecambah = 1,75 mL HCl
d. Erlenmeyer A
30
Vol NaOH yang tidak terikat = x 0,75 mL = 4,5 mL
5

Vol NaOH terikat = 30 – 4,5 mL = 25,5 mL

e. Erlenmeyer B
30
Vol NaOH yang tidak terikat = x 0,65 mL = 3,9 mL
5

Vol NaOH terikat = 30 – 3,9 mL = 26,1 mL

f. Erlenmeyer Kontrol
30
Vol NaOH yang tidak terikat = x 1,75 mL = 10,5 mL
5

Vol NaOH terikat = 30 – 10,5 mL = 19,5 mL

25,5 𝑚𝐿 + 26,1 𝑚𝐿
 Vol CO2 Respirasi = – 19,5 mL
2
= 38,55 mL – 19,5 mL = 19,05 mL
Vol CO2 Respirasi 19,05 𝑚𝐿
 Keceptan respirasi = = = 0,79375 mL/jam
24 𝑗𝑎𝑚 24 𝑗𝑎𝑚

Gambar Keterangan

Kecambah ditimbanh
seberat 5 gram dengan
menggunakan timbangan

Kecambah dibungkus
dengan menggunakan kain
kassa
3 tabung Erlenmeyer yang
akan dimasukkan kedalam
inkubator dengan suhu 35oC
selama 24 jam

3 tabung Erlenmeyer yang


akan diletakka pada suhu
dengan suhu 32oC selama
24 jam

NaOH pada Erlenmeyer di


ambil 5 ml

Penambahan BaCl2
sebanyak 2,5 ml
Penambahan indikator PP
sehingga warna menjadi
merah muda

Dititrasi dengan
menggunakan HCl hingga
warna merah muda hilang

Erlenmenyer kontrol suhu


ruang

Erlenmenyer A suhu ruang

Erlenmenyer B suhu ruang


Erlenmenyer kontrol suhu
inkubator

Erlenmenyer A suhu
inkubator

Erlenmenyer B suhu
inkubator

Anda mungkin juga menyukai