Anda di halaman 1dari 21

Rekrutmen dan Seleksi dalam Penerapan Manajemen SDM

Jafar Basalamah

Pendahuluan
Esensinya, rekrutmen dan seleksi menjadi bagian integral dari manajemen sumber
daya manusia (MSDM) pada suatu organisasi baik organisasi publik maupun organisasi
swasta. Rekrutmen dan seleksi menjadi instrumen penting untuk memperoleh sumber daya
manusia guna menjalankan roda organisasi dan mewujudkan visi dan misi organisasi yang
bersangkutan.
Rekrutmen pada hakikatnya merupakan proses menentukan dan menarik pelamar
yang mampu untuk bekerja dalam suatu perusahaan. Rekrutmen sebagai suatu proses,
dimulai ketika para recruiter mengidentifikasi peluang atau lowongan pekerjaan melalui
perencanaan SDM dan permintaan manajer. Perencanaan SDM tersebut berfungsi untuk
menunjukkan peluang atau lowongan atau kebutuhan saat ini dan di masa akan datang,
sehingga recruiter diharapkan akan menjadi lebih produktif. Selanjutnya, recruiter akan
mempelajari dan menemukan persyaratan yang cocok dengan mereview informasi analisis
pekerjaan yang juga diinformasikan kepada manajer, menemukan metode yang tepat yang
bisa digunakan untuk memperoleh aplikan atau calon pelamar yang sesuai dengan kebutuhan
(Rivai, 2011: 147-148).
Kaitannya dengan seleksi, sebagai kegiatan yang dilakukan dalam manajemen SDM
yang dilakukan setelah proses rekrutmen selesai dilaksanakan. Seleksi dilaksanakan setelah
para pelamar atau aplikan terkumpul untuk ditetapkan sebagai karyawan dalam suatu
perusahaan. Proses seleksi sebagai sarana yang digunakan untuk memutuskan aplikan yang
akan dipilih atau diterima. (Rivai, 2011: 159).
Kegiatan seleksi mempunyai arti yang sangat strategis dan penting bagi perusahaan.
Apabila dilaksanakan sesuai prinsip-prinsip manajemen SDM secara wajar, maka proses
seleksi akan menghasilkan pilihan karyawan yang dapat diharapkan kelak memberikan
kontribusi yang positif dan baik. Oleh karena itu, perusahaan dapat memberikan layanan yang
terbaik bagi pelamar akan mendapatkan kepuasan.
Sebaliknya, bila seleksi dilaksanakan kurang memadai maka perusahaan akan
memperoleh dampak negatif, keluhan pelanggan yang tidak puas, produk yang dihasilkan
akan berkurang dan tidak berkualitas yang akan akibatnya akan membuat perusahaan
mengalami kerugian. Oleh karena itu, seleksi harus dipersiapkan dengan baik melalui proses
yang panjang dan biaya yang besar agar hasilnya dapat dinikmati dan karyawan dapat bekerja
dengan motivasi yang tinggi serta berkarya secara maksimal (Rivai,2011:160).
Rekrutmen dan seleksi sebagai suatu sarana untuk menemukan sumber daya manusia
(SDM) yang dibutuhkan oleh organisasi, sehingga dalam prosesnya sangat penting untuk
dilaksanakan dengan baik dan obyektif. Pertimbangan-pertimbangan kualifikasi yang
dibutuhkan seperti pendidikan, keterampilan atau keahlian, kemampuan kerja, pengalaman,
kompetensi, komitmen dan lainnya, menjadi sangat penting untuk dikedepankan dalam
proses rekrutmen dan seleksi SDM organisasi.
Akhirnya, rekrutmen dan seleksi memainkan peran vital dan strategis dalam
memenuhi kebutuhan organisasi akan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan
profesional sesuai prinsip-prinsip manajemen sumber daya manusia (MSDM). Kekeliruan
atau kelalaian atau kesalahan dalam rekrutmen dan seleksi, akan berdampak pada proses
perencanaan SDM organisasi, dan selanjutnya akan berimplikasi pada menurunnya kinerja
SDM dan organisasi.
2

Rekrutmen dan Penerapan


Secara umum rekruitmen, sebagai sebuah proses untuk mencari, menemukan dan
menarik para pelamar untuk dipekerjakan dalam dan oleh organisasi. Hal ini sejalan dengan
yang dikemukakan oleh Faustino Cardoso Gomes, (2000:105) yang menyebutkan bahwa
alasan mendasar diperlukannya rekruitmen tidak lain adalah, “…adanya perluasan kegiatan
organisasi, terciptanya pekerjaan-pekerjaan dan kegiatan baru, adanya pekerja yang pindah ke
organisasi lain…”
Hal tersebut mengindikasikan bahwa, sekalipun hanya disebutkan kata pekerjaan-
pekerjaan ataupun kegiatan-kegiatan secara subtantif, hal tersebut menunjukkan suatu
kedudukan pekerjaan yang sering disebut jabatan. Bila merujuk pada jabatan maka dapat
disimpulkan bahwa rekrutmen dalam arti yang lebih luas tidak hanya merekrut pegawai baru
untuk menduduki suatu pekerjaan dalam sebuah organisasi, namun bisa diartikan sebagai
proses untuk merekrut pejabat untuk menduduki jabatan baru guna mendapatkan sumber
daya manusia yang potensial untuk suatu jabatan tersebut.
Rekruitmen atau penarikan sumber daya manusia menurut Notoatmojo (1998:121)
sebagai suatu proses pencarian dan pemikiran para calon tenaga kerja yang mempunyai
kemampuan sesuai dengan rencana kebutuhan suatu organisasi. Proses ini dimulai dari ketika
organisasi itu mencari calon tenaga kerja yang dibutuhkan melalui berbagai cara sampai
dengan penyerahan aplikasi lamaran oleh pelamar kepada organisasi tersebut.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa, rekrutmen bukan sekedar persoalan memilih
calon pekerja melainkan juga sebagi suatu kebutuhan dasar yang harus dilakukan dan
dipenuhi oleh organisasi untuk menjalankan berbagai aktivitas dan mencapai visi dan
misinya. Adanya kebutuhan san tujuan yang hendak dicapai tersebut, maka rekrutmen
diperlukan untuk memilih orang-orang yang benar-benar dapat memenuhi kebutuhan
organisasi dan dalam mencapai tujuan dan sasarannya.
Atas dasat itu, maka sejalan dengan Rivai (2004:158) yang menyatakan, bahwa
rekruitmen pada hakikatnya merupakan proses menentukan dan menarik pelamar yang
mampu untuk bekerja dalam suatu perusahaan. Selain itu rekruitmen juga dapat dikatakan
sebagai proses untuk mendapatkan sejumlah sumber daya manusia yang berkualitas untuk
menduduki suatu jabatan atau suatu pekerjaan dalam suatu organisasi.
Hal tersebut juga selaras dengan yang dikemukakan oleh Ivancevich (2007:19)
bahwa, “Recruiting is the set of activities an organization uses to attract job candidates who
have the abilities and attitudes needed to help the organization achieve its objectives”
(rekrutmen adalah serangkaian aktivitas yang digunakan oleh debuah organisasi untuk
menarik para pelamar kerja yang memiliki kemampuan dan sikap yang dibutuhkan untuk
membantu organisasi dalam mencapai tujuan-tujuannya).
“Recruiting is the process of attracting individuals on a timely basis, in sufficient
numbers, and wirh appropriate qualifications, and encouraging them to apply for jobs with
an organization” (Rekruitmen adalah proses menarik orang-orang pada saat yang tepat,
dalam jumlah yang cukup, dan dengan kualifikasi yang cocok, dan mendorong mereka untuk
melamar pekerjaan pada sebuah organisasi) (Ivancevich, 2007:19).
Rekruitmen sebagai fungsi manajemen sumberdaya manusia yang sangat menarik dan
penting sekali karena dalam prakteknya berkaitan dengan nilai-nilai dan kondisi-kondisi
lingkungan sekitar baik dari aspek sosial, ekonomi maupun politik. Hal ini sejalan dengan
yang dikemukakan oleh Faustino Cardoso Gomes (2000), menyebutkan bahwa :
“ Rekruitmen itu dipengaruhi oleh tiga nilai utama yang saling berbeda dan bahkan
saling berlawanan, yang meliputi : (1) Keadilan sosial (social equity), termasuk
3

affirmative action, (2) Efisiensi manajemen (Managerial efficiency) dan (3) Daya
Tanggap Politik (political responsiveness)”.

Rekrutmen diperlukan karena adanya faktor kebutuhan akan penempatan personal


sesuai dengan keahlian yang dimilikinya (the right man on the right place), serta faktor
kebutuhan organisasi dalam upaya mendukung kegiatan efisiensi dan efektivitas tujuan
organisasi, serta untuk kepentingan memelihara kendali terhadap kaum birokrat yang terpilih
menjadi pejabat. Untuk keperluan rekruitmen yang terakhir ini biasanya dimaksudkan untuk
memberi otonomi yang lebih besar pada kelompok pekerja dalam menjalankan fungsinya.
Ditinjau dari konteks pemerintah, relevan dengan manajemen pegawai negeri sipil,
yakni rekrutmen CPNS dan pengangkatan atau penempatan seseorang baik pegawai (staf)
yang telah memenuhi syarat minimal secara administratif, maupun pejabat pada posisi
jabatan yang baru sesuai dengan kemampuan, azas senioritas serta ketentuan yang berlaku.
Mengacu kepada Pasal 5 PP Nomor 13 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 100 tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Pada Jabatan
Struktural, maka rekrutmen di lingkungan birokrasi pemerintahan mensyaratkan beberapa
persyaratan untuk dapat diangkat dalam jabatan struktural seperti: berstatus PNS, memiliki
kompetensi jabatan, kepangkatan, kualifikasi pendidikan, kesehatan, senioritas dan lainnya.
Syarat berstatus pegawai negeri sipil, diperlukan karena jabatan struktural merupakan
salah satu jabatan negeri, maka jabatan struktural pegawai negeri sipil hanya boleh dijabat
oleh seseorang yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil. Seorang calon pegawai negeri
sipil (CPNS) atau tenaga honorer atau pegawai tidak tetap (PTT) tidak boleh menduduki
jabatan struktural. Demikian pula halnya dengan anggota Tentara Nasional Indonesia atau
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak dapat menduduki jabatan struktural
karena tidak berstatus pegawai negeri sipil.
Syarat kompetensi jabatan diperlukan karena kemampuan dan karakteristik yang
dimiliki seorang PNS sebagai calon pejabat yang dipromosikan untuk menduduki jabatan
tertentu, berupa pengetahuan, keterampilan dan sikap perilaku yang diperlukan dalam
pelaksanaan tugas jabatan, sehingga PNS tersebut dapat melaksanakan tugasnya secara
professional, efektif dan efisien. Dengan demikian kompetensi jabatan mencakup seluruh
kemampuan yang diperlukan dalam menjalankan jabatan yang diembannya termasuk
didalamnya kemampuan manajerial dan kemampuan teknis seseorang.
Syarat kepangkatan diperlukan sebab pangkat sangat menentukan sekali pada formasi
jabatan, sehingga para calon pejabat yang akan direkrut untuk menduduki jabatan tertentu
harus disesuaikan dengan eselonering jabatan, sangat erat kaitannya, karena derajat pangkat
seorang PNS merupakan syarat yang menentukan eselonering jabatan.
Syarat pendidikan diperlukan sebab kualitas dan tingkat pendidikan pada dasarnya
akan mendukung pelaksanaan tugas dalam jabatannya secara profesional, khususnya dalam
upaya penerapan kerangka teori, analisis maupun methodologi pelaksanaan tugas dan
jabatannya.
Syarat penilaian prestasi kerja diperlukan sebab penilaian prestasi kerja / Daftar
Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP-3) pada dasarnya adalah penilaian dari atasan langsung
terhadap pelaksanaan pekerjaan pegawai negeri sipil yang bersangkutan, dan digunakan
sebagai salah satu dasar pertimbangan untuk diangkat dalam jabatan yang lebih tinggi. Dalam
penilaian DP-3 memuat unsur-unsur yang dinilai meliputi kesetiaan, prestasi kerja,
tanggungjawab, ketaatan, kejujuran, kerjasama, prakarsa dan kepemimpinan. Persyaratan
pegawai negeri sipil untuk dapat diangkat dalam jabatan struktural sekurang-kurangnya
bernilai baik dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terakhir.
Syarat kesehatan diperlukan sebab kondisi kesehatan para calon pejabat untuk
diajukan menduduki suatu jabatan tertentu yang ditentukan oleh dokter yang mempunyai
4

otoritas dalam menentukan sehat tidaknya kesehatan para calon pejabat baik jangka pendek
maupun jangka panjang. Hal ini penting sekali karena kalau tidak, bila salah satu calon
terlanjur diangkat dan ternyata ditengah jalan calon tersebut tidak mampu menjalankan tugas
jabatannya, maka dapat dipastikan efektifitas fungsi organisasi sedikit banyak akan
terganggu. Sehat jasmani dan rohani disyaratkan dalam jabatan struktural karena seseorang
yang akan diangkat dalam suatu jabatan tersebut harus mampu menjalankan tugas secara
profesional, efektif dan efisien. Sehat jasmani diartikan secara fisik seorang PNS tidak dalam
kondisi sakit-sakitan sehingga mampu menjalankan jabatannya dengan sebaik-baiknya dan
sehat rohani diartikan bahwa secara rohani seorang PNS tidak dalam terganggu
mental/jiwanya sehingga mampu berpikir baik dan rasional.
Syarat senioritas, dalam kepangkatan diperlukan sebab dapat digunakan apabila ada
dua orang atau lebih pegawai negeri sipil yang telah memenuhi syarat untuk diangkat dalam
jabatan struktural semuanya memiliki pangkat yang sama. Dalam hal demikian, untuk
menentukan salah satu diantara dua calon atau lebih tersebut digunakan faktor senioritas
dalam kepangkatan, yaitu pegawai negeri sipil yang mempunyai masa kerja yang paling lama
dalam pangkat tersebut lebih diprioritaskan.
Syarat usia berguna dalam menentukan prioritas dan aspek usia harus
mempertimbangkan faktor pengembangan dan kesempatan yang lebih luas bagi PNS dalam
melaksanakan tugas dalam jabatan struktural. Dengan demikian yang bersangkutan memiliki
cukup waktu untuk menyusun dan melaksanakan rencana kerja serta mengevaluasi hasil
kerjanya.
Syarat pendidikan dan pelatihan (Diklat) jabatan diperlukan sebab pendidikan yang
harus diikuti oleh pegawai negeri sipil yang telah atau akan diangkat dalam jabatan struktural.
Syarat pengalaman berguna untuk kemampuan para calon pejabat yang diajukan untuk
menduduki suatu jabatan tertentu, diperoleh pada saat yang bersangkutan menduduki jabatan
yang akan diberikan, pengalaman jabatan dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam
penempatan PNS dalam jabatan struktural. Apabila terdapat beberapa calon pejabat maka
yang akan diangkat adalah PNS yang mempunyai persyaratan dan memiliki pengalaman
lebih banyak serta memiliki korelasi dengan jabatan yang akan diisi.
Selanjutnya, syarat kompetensi jabatan sangat berguna untuk efektivitas kerja
organisasi dalam melakukan proses penempatan perlu adanya standar kompetensi yang
didasarkan pada tinggi rendahnya eselon jabatan (eselonering) sebagai dasar untuk
menentukan apakah calon pejabat yang direkrut berkompeten atau tidak, untuk menduduki
suatu jabatan tertentu.
Kompetensi umum dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan dan karakteristik
berupa pengetahuan dan perilaku yang dimiliki calon pejabat untuk diperlukan dalam
pelaksanaan jabatan struktural yang dipangkunya, sedangkan kompetensi khusus yaitu
kemampuan dan karakteristik yang dimiliki calon pejabat berupa keahlian untuk
melaksanakan tugas jabatan struktural yang dipangkunya.

Seleksi dan Penempatan


Salah satu tahap penting dalam manajemen personalia adalah penempatan pegawai.
Penempatan pegawai dilakukan setelah melalui suatu proses seleksi, untuk menentukan
pegawai yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh suatu organisasi didalam
menduduki jabatan tertentu, Setelah melaksanakan seleksi tenaga kerja dan mengangkat
tenaga kerja maka fungsi manajemen yang harus segera dilaksanakan adalah penempatan
tenaga kerja.
Penempatan SDM adalah proses kegiatan yang dilaksanakan manajer SDM dalam
suatu perusahaan untuk menentukan lokasi dan posisi seorang karyawan dalam melaksanakan
pekerjaan. Penempatan SDM adalah suatu proses pemberian tugas dan pekerjaan kepada
5

karyawan yang lulus dalam seleksi untuk dilaksanakan secara kontinue dan wewenang serta
tanggung jawab yang melekat sebesar porsi dan komposisi yang ditetapkan serta mampu
mempertanggung jawabkan segala risiko yang mungkin terjadi atas tugas dan pekerjaan,
wewenang dan tanggung jawab tersebut. Setelah seorang Sumber Daya Manusia lulus seleksi
dan memperoleh pengankatan status sebagai karyawan maka yang bersangkutan perlu segera
ditempatkan pada posisi yang tepat bukan saja menjadi idaman perusahaan, tetapi juga
menjadi keinginan karyawan. Dengan demikian tenaga kerja atau karyawan yang
bersangkutan dapat mengetahui ruang lingkup pekerjaan yang dibebankan kepadanya.
Menurut Veithzal Rivai (2009) Seleksi adalah kegiatan dalam manajemen SDM yang
dilakukan setelah proses rekruitmen selesai dilaksanakan. Hal ini berarti bahwa telah
terkumpul sejumlah pelamar yang memenuhi syarat untuk kemudian dipilih mana yang dapat
ditetapkan sebagai karyawan dalam suatu perusahaan. Proses pemilihan inilah yang
dinamakan seleksi. Proses seleksi merupakan sarana yang digunakan dalam memutuskan
pelamar mana yang akan diterima. Proses dimulainya ketika pelamar melamar kerja dan
diakhiri dengan keputusan penerimaan.
Hal tersebut mengisyaratkan bahwa, kegiatan seleksi mempunyai arti yang sangat
strategis dan penting bagi perusahaan maupun organisasi pemerintahan. Apabila dilaksanakan
sesuai sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen SDM secara wajar, maka proses seleksi akan
dapat menghasilkan pilihan karyawan yang dapat diharapkan kelak memberikan kontribusi
yang positif dan baik sehingga perusahaan dapat memberikan layanan yang terbaik bagi bagi
para pelamar sehingga masing-masing akan akan mendapatkan kepuasan. Sedangkan apabila
seleksi dilaksanakan secara tidak baik, maka perusahaan akan memperoleh dampak negatif,
keluhan pelanggan yang tidak puas, produk yang dihasilkan berkurang dan tidak berkualitas
yang akibatnya perusahaan akan menderita kerugian.
Seleksi adalah kegiatan yang benar-benar harus disiapkan secara baik melalui proses
yang panjang dan memerlukan biaya yang besar, namun hasilnya akan dinikmati untuk
jangka panjang dan karyawan tersebut dapat bekerja dengan motivasi yang tinggi serta
berkarya secara maksimal. Meskipun keputusan penerimaan akhir dilakukan oleh manajer,
departemen SDM mengevaluasi para pelamar mengenai kesesuaian potensi mereka melalui
penggunaan prosedur-prosedur yang valid, atau dapat pula dikatakan bahwa proses seleksi
merupakan serangkaian kegiatan yang digunakan untuk memutuskan apakah pelamar
diterima atau tidak. Proses ini termasuk pemanduan tenaga kebutuhan-kebutuhan tenaga kerja
pelamar dan perusahaan. Pendapat lain dikatakan bahwa proses seleksi merupakan proses
pengambilan keputusan timbal balik antara calon tenaga kerja dengan dengan perusahaan.
Perusahaan memutuskan menawarkan lowongan kerja. Calon pelamar memutuskan apakah
perusahaan beserta tawarannya akan memenuhi kebutuhan dan tujuan pribadinya. Dalam
keadaan biasa, proses seleksi cenderung ditentukan sepihak, yaitu dominasi pihak
perusahaan.
Dijelaskan Ardana (2010) bahwa, jika seluruh proses seleksi telah ditempuh dimana
seorang telah dinyatakan lulus sebagai pegawai akhirnya akan mendapatkan penempatan. Hal
ini benar jika sepanjang menyangkut pegawai baru, namun manajemen Sumber Daya
Manusia yang mutakhir menekankan bahwa penempatan tidak hanya berlaku bagi pegawai
baru, melainkan juga bagi pegawai lama yang mengalami tugas dan mutasi. Hal ini
menggambarkan bahwa konsep penempatan pegawai mencakup promosi, transfer dan
demosi. Sebagaimana halnya pegawai baru, pegawai lama juga direkrut melalui mekanisme
internal, perlu dipilih dan biasanya juga menjalani pengenalan dalam melakukan pekerjaan
pada tempatnya yang baru. Proses seleksi yang diberlakukan juga menggunakan unsur-unsur
yang sama dengan seleksi pegawai baru.
Berbagai alasan tersebut sesungguhnya kurang tepat dan ketidaktepatan tersebut
dewasa ini semakin didasari oleh semakin banyak satuan organisasi yang mengelola SDM.
6

Kesadaran demikian timbul karena relevansinya persepsi bahwa promosi dari dalam, atas
berbagai kebijaksanaan organisasi mempunyai dampak motivasional yang sangat kuat.
Artinya jika para pegawai melihat dan menilai bahwa prospek kariernya dalam organisasi
cerah, mereka akan terdorong untuk menambah pengetahuan dan keterampilannya sebagai
persyaratan penerimaan tugas yang lebih berat dan tanggung jawab yang lebih besar
dikemudia hari.
Adanya keterlibatan bagian kepegawaian dalam perencanaan karier maka para
anggota organisasi semakin bertambah. Disamping itu, tugas bagian kepegawaian dalam
mengisi berbagai lowongan menjadi lebih ringan karena tersedianya tenaga kerja dalam
organisasi sendiri yang siap dipromosikan (Siagian, 2002:134). Memang benar bahwa yang
paling berkepentingan dalam perencanaan karier adalah para pegawai yang bersangkutan
sendiri. Agar dapat menentukan karier, tujuan dan pengembangan karier yang dapat mereka
tempuh, para pegawai perlu mempertimbangkan lima faktor :
1. Perlakuan yang adil dalam berkarier
Perlakuan yang adil itu hanya bisa terwujud apabila kriteria promosi didasarkan
pada pertimbangan-pertimbangan yang objektif, rasional dan diketahui secara luas
dikalangan pegawai.
2. Kepedulian para atasan langsung
Para pegawai pada umumnya mendambakan keterlibatan atasan langsung mereka
dalam perencanaan karier masing-masing, salah satu bentuk kepedulian itu adalah
memberikan umpan balik kepada para pegawai tentang pelaksanaan tugas masing-
masing sehingga para pegawai tersebut mengetahui potensi yang perlu
dikembangkan dan kelemahan perlu diatasi. Pada gilirannya umpan balik itu
merupakan bahan penting bagi para pegawai mengenai langkah apa yang perlu
diambilnya agar kemungkinannya untuk dipromosikan menjadi lebih besar.
3. Informasi tentang berbagai peluang promosi
Para pegawai umumnya mengharapkan bahwa mereka memiliki akses kepada
informasi tentang berbagai peluang untuk dipromosikan. Akses ini sangat penting
terutama apabila lowongan yang tersedia diisi melalui proses seleksi internal yang
sifatnya kompetitif. Jika akses demikian tidak ada atau sangat terbatas para
pekerja akan mudah beranggapan bahwa prinsip keadilan dan kesamaan
kesempatan untuk dipertimbangkan untuk dipromosikan tidak diterapkan dalam
organisasi.
4. Minat untuk dipromosikan
Pendekatan yang tepat digunakan dalam ini menumbuhkan minat para pekerja
untuk pengembangan karier ialah pendekatan yang fleksibel dan proaktif. Artinya,
minat untuk mengembangkan karier sangat individualistik sifatnya. Seorang
pekerja memperhitungkan berbagai faktor usia, jenis kelamin, jenis dan sifat
pekerjaan sekarang, pendidikan dan pelatihan yang pernah ditempuh, jumlah
tanggungan dan berbagai variabel lainnya. Berbagai faktor tersebut dapat
berakibat pada besarnya minat seseorang mengembangkan kariernya. Sebaliknya
berbagai faktor tersebut tidak mustahil membatasi keinginan mencapai jenjang
karier yang lebih tinggi. Hal ini berarti bahwa jenis informasi yang dibutuhkan
pun berbeda dari seorang pekerja kepekerja lain. Disinilah letak pentingya
fleksibilitas dan sikap proaktif dimaksud karena dengan pendekatan demikian
bagian yang mengelola Sumber Daya Manusia mengetahui keinginan setiap
pegawai dan menyesuaikan pengambilan langkah-langkah tertentu berdasarkan
keinginan yang individualistik tersebut.
5. Tingkat kepuasan
7

Meskipun secara umum dapat dikatakan bahwa setiap orang ingin meraih
kemajuan termasuk dalam meniti karier, ukuran keberhasilan yang digunakan
memang berbeda-beda. Perbedaan tersebut merupakan akibat tingkat kepuasan
dalam konteks karier tidak selalu berarti keberhasilan mencapai posisi tinggi
dalam organisasi, melainkan dapat pula berarti bersedia menerima kenyataan
bahwa karena berbagai faktor pembatas yang dihadapi oleh seorang pekerja puas
apabila ia dapat mencapai tingkat tertentu dalam kariernya, meskipun tidak
banyak anak tangga karier yang berhasil dinaikinya, tegasnya, seseorang bisa puas
karena mengetahui bahwa apa yang dicapainya itu sudah merupakan hasil yang
maksimal.

Pemahaman berbagai faktor tersebut, memungkinkan berbagai kepegawaian berperan


aktif dalam perencanaan karier para anggota organisasi. Selain promosi sebagaimana yang
dikemukakan diatas, penempatan juga mencakup alih tugas, Menurut siagian (2003:171), alih
tugas dapat mengambil dua bentuk yakni :
1. Penempatan seseorang pada tugas yang baru dengan tanggung jawab, hirarki
jabatan dan penghasilan yang relatif sama dengan statusnya yang lama. Dalam hal
demikian, seorang pegawai ditempatkan pada satuan kerja baru yang lain dari
satuan kerja dimana seseorang selama berkarya.
2. Penempatan berupa alih tempat
Jika cara ini yang ditempuh berarti seseorang pekerja melakukan pekerjaan yang
sama atau sejenis, penghasilan tidak berubah, dan tanggung jawabnya relatif
sama, hanya melakukan pekerjaan tersebut pada tempat yang berlainan. Fisik
lokasi dipindahkan dari fisik lokasi pekerjaan yang sekarang, dan hanya
dimungkinkan berlaku pada organisasi yang memiliki berbagai satuan kerja pada
banyak lokasi.

Dalam manajemen personalia dijelaskan bahwa penempatan pegawai dilakukan


setelah melalui suatu proses seleksi karyawan/pegawai untuk menentukan pegawai yang
layak dan yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh organsiasi secara
normatif didalam menduduki suatu jabatan tertentu. Secara definitif, penempatan pegawai
adalah suatu kebijakan yang diambil oleh pimpinan suatu instansi, atau bagian personalia
untuk menentukan seorang pegawai masih tetap atau tidak ditempatkan pada suatu posisi atau
jabatan tertentu berdasarkan pertimbangan keahlian, keterampilan atau kualifikasi tertentu.
(Sulistiani & Rosida, 2003).
Penempatan pegawai adalah menempatkan seseorang pada pekerjaan yang sesuai
dengan pendidikan dan keterampilannya dalam organisasi atau perusahaan. Maksud dari
pengertian penempatan (staffing) diatas yaitu proses mengetahui karakter atau syarat-syarat
yang diperlukan untuk mengerjakan suatu pekerjaan (tugas) selanjutnya menjadi orang yang
cocok dengan pekerjaan yang ada (job spesification) (Tohardi, 2002 :220).
Penempatan (staffing) terdiri dari dua cara; (1). karyawan baru dari luar perusahaan,
dan (2). Penugasan di tempat yang baru bagi karyawan lama yang disebut inplacement atau
penempatan internal. Penempatan internal sering terjadi tanpa ada orientasi, karena karyawan
lama dianggap telah mengetahui segala sesuatu tentang perusahaan. Namun sayangnya,
anggapan ini tidak seluruhnya benar. Karyawan berpengalaman memang sudah mengetahui
perusahaan/tempat kerja dengan baik, tetapi ia tidak mengetahui hal-hal yang berkaitan
dengan pekerjaan dan lingkungan kerjanya yang baru (Rivai, 2008 : 211).
Penempatan sebagai penugasan kembali seorang karyawan kepada pekerjaan
barunya. Keputusan penempatan lebih banyak dibuat oleh manajer lini, biasanya supervisor
seorang pegawai dengan berkonsultasi menentukan Penempatan karyawan dimasa datang.
8

Peranan departemen SDM adalah memberi nasehat kepada manajer lini tentang kebijakan
perusahaan dan memberikan konseling kepada para karyawan. (Veitzal Rivai, 2008:211)
Kebutuhan penempatan pegawai dapat dipenuhi melalui dua cara yaitu, menyewa dari
pihak luar dan penugasan kembali karyawan yang ada atau disebut sebagai penempatan dari
dalam. Sering terjadi penugasan kembali yang ada untuk menempati posisi tanpa melalui
program orientasi. Penempatan merupakan penugasan kembali dari seorang karyawan pada
sebuah pekerjaan baru. Tiga hal pokok keputusan penempatan pegawai (Sjafri
Mangkuprawira, 2001:166) adalah;
1. Promosi
Sebuah promosi terjadi ketika seorang karyawan dari satu pekerjaan ke posisi lain
yang lebih tinggi dalam hal pembayaran gaji, tanggung jawab dan tingkat status
keorganisasian.
2. Pengalihan
Pengalihan terjadi manakala seorang karyawan dipindahkan dari satu pekerjaan
kepekerjaan yang lain. Cara umum pengambilan keputusan untuk merelokasi orang
untuk memenuhi tantangan internal dan eksternal adalah pengalihan karyawan.
3. Penurunan pangkat
Penurunan pangkat dapat pula dikatakan sebagai penugasan kembali dari seorang
karyawan ke posisi pekerjaan yang lebih rendah dengan gaji yang lebih kecil serta
kualifikasi pendidikan dan keterampilan yang lebih rendah. Penyebabnya dapat
berasal dari karyawan atau pertimbangan perusahaan.

Dasar yang digunakan untuk melakukan penempatan adalah analisa jabatan (job
analysis) yang tergambar pada deskripsi jabatan (job description). Dari spesifikasi jabatan
tergambar persyaratan apa yang diperlukan untuk mengerjakan pekerjaan tersebut. Sementara
karakteristik pekerjaan tergambar dalam deskripsi jabatan. (Tohardi, 2002;221). Untuk itu
berdasarkan deskripsi jabatan dan spesifikasi jabatan itulah selanjutnya kita mencari atau
memilih pekerja atau pegawai yang sesuai dengan kriteria yang ada. Kemampuan = ability
(keterampilan dan pengetahuan) pekerja harus sesuai dengan kebutuhan pekerjaan yang ada.
Tentunya akan lebih baik bila kemampuan (keterampilan dan pengetahuan) pekerja sama
dengan kebutuhan yang ada. Selanjutnya yang perlu dihindari adalah kemampuan
(keterampilan dan pengetahuan) pekerja yang dibawah kebutuhan yang ada. (Tohardi,
2002;221).
Upaya memperoleh efisiensi, efektif dan kinerja yang tinggi, hal-hal yang harus
diperhatikan dalam penempatan sumberdaya manusia adalah latar belakang pendidikan dan
keterampilan (Saydam, 2000:222). Proses penempatan sumberdaya manusia ini tidak hanya
bagi pegawai baru yang diseleksi tetapi juga berlaku bagi pegawai lama yang dimutasikan
dan dipromosikan dari jabatannya yang lama. (Sihotang, 2007;149). Perbedaan kedua
penempatan SDM itu adalah:
a. Penempatan sumberdaya manusia baru adalah setelah mereka lulus dari seleksi
penerimaan pegawai dan diangkat pada jabatan dan pangkat baru untuk memulai
pekerjaan yang dipercayakan kepadanya.
b. Penempatan sumberdaya manusia lama berarti dipindahkan tugas pekerjaannya
pada jabatan baru dan lokasi kantornya juga bisa jadi kantor yang baru.

Pada dasarnya, hakikat dan sasaran penempatan adalah untuk:


a. Mengisi lowongan pekerjaan yang terjadi pada unit-unit organisasi.
b. Agar pegawai-pegawai tidak merasa terombang-ambing menunggu penempatan
yang diinginkan.
9

c. Menempatkan pagawai yang sesuai pada jabatan pekerjaan yang tepat (the right
man on the right job).
d. Agar perusahaan/organisasi bertindak efektif memanfaatkan tenaga sumberdaya
manusia secara berdaya guna dan berhasil guna.

Pekerjaan mengajukan tuntutan yang berbeda-beda terhadap orang dan setiap orang
memiliki kemampuan yang berbeda. Oleh karena itu, kinerja karyawan ditingkatkan bila ada
kesesuain antara pekerjaan dengan kemampuan pegawai. Kemampuan intelektual atau fisik
khususnya pada apa yang diperlukan untuk kinerja yang memadai pada suatu pekerjaan,
bergantung pada persyaratan kemampuan yang diminta dari pekerjaan. Jika para karyawan
kekurangan kemampuan yang disyaratkan, kemungkinan besar mereka akan gagal. Bila
kesesuaian pekerja-kemampuan tidak sesuai karena karyawan tersebut mempunyai
kemampuan yang jauh melampaui persyaratan dari pekerjaan tersebut kemungkinan besar
kinerja akan memadai, tetapi akan ada ketidakefisienan organisasional dan mungkin
kemerosotan dalam kepuasan dan kinerja karyawan.(Robbins, 2003;53).
Beberapa tantangan dalam proses seleksi (Handoko, 1995) yaitu :
1. Tantangan suplai, makin besar jumlah pelamar yang memenuhi syarat (qualified)
maka semakin mudah bagi departemen personalia untuk memperoleh pegawai baru
yang berkualitas. Namun pada kenyataannya sulit untuk menemui banyak pelamar
yang memenuhi persyaratan yang diinginkan oleh lowongan jabatan. Oleh karena
itu departemen personalia harus mempertimbangkan secara matang.
2. Tantangan ethis, bahwa dalam seleksi pegawai banyak dilakukan sistem
keluarga/famili, pemberian komisi atau lebih ekstrem adanya suap menyuap. Ini
semua merupakan tantangan bagi pengelola organisasi. Bila standar-standar ini
dilanggar, kemungkinan pegawai baru dipilih secara tepat.
3. Tantangan organisasional. Organisasi menghadapi keterbatasan-keterbatasan
seperti: anggaran, strategi, kebijaksanaan, budaya atau sumber daya lainnya yang
mungkin akan membatasi proses seleksi.

Seleksi dan penempatan merupakan langkah yang diambil segera setelah


terlaksananya fungsi rekruitmen. Seperti halnya fungsi rekruitmen, proses seleksi dan
penempatan merupakan salah satu fungsi terpenting dalam manajemen sumber daya manusia,
karena tersedia/tidaknya pekerja dalam jumlah dan kualitas yang sesuai dengan kebutuhan
organisasi, diterima/tidaknya pelamar yang telah lulus proses rekruitmen, tepat/tidaknya
penempatan seorang pekerja pada posisi tertentu, sangat ditentukan oleh fungsi seleksi dan
penempatan ini. Jika fungsi ini tidak dilaksanakan dengan baik maka dengan sendirinya akan
berakibat fatal terhadap pencapaian tujuan-tujuan organisasi.
Rivai (2009) menyatakan bahwa, dalam hal sistem seleksi yang efektif, maka dalam
penempatan perlu disadari bahwa proses seleksi karyawan baru, merupakan kegiatan penting
bagi perusahaan, maupun bagi calon karyawan itu sendiri. Mempertahankan atau pun
mengembangkan suatu system seleksi yang menghasilkan karyawan produktif dan mencari
peluang untuk meningkatkan cara kerjanya sangat penting untuk keberhasilan perusahaan.
Sistem seleksi yang efektif pada dasarnya, memiliki tiga sasaran, yaitu :
a. Keakuratan, artinya kemampuan dari proses seleksi untuk secara tepat dapat
memprediksi kinerja pelamar. Pertanyaan berikut ini mungkin dapat dipertimbangkan
ketika melakukan seleksi, seperti apa kelemahan dari :
(1) Instruktur yang kurang menguasai materi?
(2) Proses seleksi yang tidak dapat memprediksi kinerja pelamar di tempat kerja?
(3) Perhitungan dengan menggunakan computer yang menghasilkan jawaban yang
salah?
10

b. Keadilan, artinya memberikan jaminan bahwa setiap pelamar yang memenuhi


persyaratan diberikan kesempatan yang sama di dalam system seleksi. System seleksi
yang adil apabila :
(1) Didasarkan pada persyaratan-persyaratan yang dijalankan secara konsisten.
(2) Menggunakan standar penerimaan yang sama untuk semua pelamar; dan
(3) Menyaring pelamar berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang hanya
berkaitan dengan pekerjaannya saja.
c. Keyakinan, artinya taraf dimana orang-orang yang terlibat dalam proses seleksi yakin
akan manfaat yang diperoleh. Pewancara dan calon “yakin” akan suatu system seleksi
apabila :
(1) Selama proses seleksi pelamar dan pewawancara menggunakan waktu dengan
efektif dan baik.
(2) Setiap orang memperoleh manfaat dengan mengikuti proses seleksi terlepas dari
keputusan penerimaan karyawan yang diambil.
(3) Citra perusahaan dan harga diri para pelamar tetap terjaga.

Efektivitas fungsi sistem seleksi dalam penempatan sangat ditentukan oleh beberapa
syarat penting, dan bahkan tergantung pada informasi-informasi yang diperoleh dari syarat-
syarat tersebut. Informasi-informasi yang diperoleh melalui syarat-syarat tersebut akan
dijadikan masukan bagi seorang manajer dalam mengambil keputusan penerimaan dan
penempatan seorang pekerja. Syarat-syarat yang dimaksud, adalah :
1. Informasi analisis jabatan, yang memberikan diskripsi jabatan, spesifikasi jabatan
dan standar-standar prestasi yang disyaratkan pada setiap jabatan.
2. Rencana-rencana sumber daya manusia, yang memberikan informasi kepada
manajer tentang tersedia/tidaknya lowongan pekerjaan dalam organisasi.
3. Keberhasilan fungsi rekruitmen, yang akan menjamin manajer bahwa tersedia
sekelompok orang yang akan dipilih.

Fungsi sistem seleksi dalam penempatan ini juga sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai.
Para legislator yang terpilih, dan para eksekutif teras sering memandang birokrasi tidak
responsif terhadap pilihan-pilihan perorangan, prioritas program, dan nilai-nilai mereka. Oleh
karena itu mereka berusaha menetapkan kriteria seleksi dan penempatan, bahkan promosi,
yang sesuai dengan falsafah-falsafah politik dan tujuan-tujuan program dari para pejabat
terpilih. Cara pelaksanaan tujuan-tujuan tersebut dapat mengambil berbagai bentuk, mulai
dari spoils system dalam mana kebanyakan jabatan diisi berdasarkan political patronage,
hingga ke merit system dalam mana kebanyakan para pekerja adalah pegawai-pegawai yang
berpengalaman dengan orang-orang yang dipilih secara politik sebagai pimpinan instansi.
Konflik nilai muncul diantara para pejabat terpilih dengan para pegawai pelayanan
yang berpengalaman. Sementara keduanya mendukung peningkatan efektifitas pemerintahan,
masing-masing cenderung menampilkan perspektif yang berbeda dalam pekerjaan. Para
pejabat terpilih menilai suatu program instansi menurut apakah program tersebut, responsif
terhadap kebutuhan-kebutuhan publik, atau efektif dalam pencapaian tujuan-tujuan dari para
pejabat terpilih. Para pegawai pelayanan yang berpengalaman juga menekankan
responsiveness dan efectiveness, tetapi dalam berbagai tipe dan tingkat pemerintahan
(terutama pusat, daerah dan kota-kota besar) pelayan sipil yang eksekutif harus tanggap
terhadap tuntutan-tuntutan potensial dari pejabat terpilih yang ditingkat teras dan lembaga
legislatif.
Sebelum mengadakan seleksi dan penempatan pegawai dalam hal ini perlu melihat
metode-metode yang harus ditempuh dalam seleksi dan penempatan. Adapun metode-metode
yang harus ditempuh dalam hal ini :
11

a. Menentukan kebutuhan-kebutuhan sumber daya manusia


b. Mengupayakan pesetujuan anggaran untuk mengadakan atau mengisi jabatan-
jabatan
c. Mengembangkan kriteria-kriteria seleksi yang valid
d. Pengadaan (Rekrutmen)
e. Mengadakan test atau sebaliknya mengscreening para pelamar
f. Menyiapkan daftar dari pelamar yang berkualitas
g. Mengadakan seleksi pelamar yang paling berkualitas

Dalam prakteknya, metode-metode tersebut secara berbeda-beda. Namun yang paling


penting diperhatikan adalah menetapkan kualifikasi minimal untuk seorang pegawai atau
jabatan tertentu, yang hal ini akan menyangkut pemberian standar perekrutan pegawai yang
diinginkan.

Tinjauan Relevansi Terhadap Aplikasi Di Lingkungan Organisasi Publik

Penempatan aparatur melalui seleksi dalam jabatan struktural pada hakikatnya


merupakan bagian integral dari upaya perwujudan manajemen sumber daya manusia
(MSDM). Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Rivai (2009) bahwa seleksi sebagai
kegiatan dalam manajemen SDM yang dilakukan setelah proses rekruitmen selesai
dilaksanakan.
Penempatan aparatur dalam jabatan struktural khususnya eselon III di lingkungan
Pemerintahan pada dasarnya adalah sebuah proses manajemen baik melalui promosi, transfer
atau mutasi maupun demosi. Sebagai sebuah proses manajemen, maka penempatan aparatur
dalam jabatan struktural memerlukan perencanaan dan pelaksanaan, kontrol dan evaluasi. Hal
ini sejalan dengan Siagian (2002:134) bahwa, dengan keterlibatan bagian kepegawaian dalam
perencanaan karier para anggota organisasi semakin bertambah. Tugas bagian kepegawaian
dalam mengisi berbagai lowongan menjadi lebih ringan karena tersedianya tenaga kerja
dalam organisasi sendiri yang siap dipromosikan.
Dikemukakan Siagian (2002:134) bahwa, pihak Bagian Kepegawaian perlu
mempertimbangkan lima faktor dalam pengangkatan atau penempatan aparatur dalam suatu
jabatan untuk mengisi formasi jabatan yang lowong, yaitu : perlakuan yang adil dalam
berkarier, kepedulian para atasan langsung, informasi tentang berbagai peluang promosi,
minat untuk dipromosikan, dan tingkat kepuasan.
Perlakuan yang adil dalam berkarier pada penempatan aparatur dalam jabatan
struktural eselon III di lingkungan Pemerintahan, cenderung belum maksimal, sebab masih
ada pemangku jabatan diangkat menduduki suatu jabatan yang kurang didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan yang obyektif, bahkan cenderung irrasional (karena
mengesampingkan pendekatan normatif dan sosiologis, sebaliknya lebih dominan
kepentingan politik) dan dirahasiakan oleh BAPERJAKAT dan PPK.
Penempatan aparatur dalam jabatan struktural eselon III di lingkungan Pemerintahan
melalui proses pertemuan tertutup oleh BAPERJAKAT dan hasil pertimbangannya
diserahkan kepada Bupati selaku ketua PPK, kemudian PPK mengambil keputusan tanpa
diketahui oleh kalangan pegawai, sehingga mengabaikan prinsip partisipasi dan transparansi.
Kepedulian para atasan langsung (khususnya BAPERJAKAT dan PPK serta pimpinan
instansi terkait) masih relatif kurang dalam proses pertimbangan dan keputusan penempatan
aparatur dalam jabatan struktural eselon III di lingkungan Pemerintahan. Hal ini tercermin
dari adanya sejumlah aparatur yang mengeluhkan kariernya dan merasa layak untuk
menduduki suatu jabatan namun tidak pernah tersentuh promosi jabatan.
12

Di lingkungan Pemerintahan, belum tersedia sarana promosi jabatan bagi


pengembangan karier aparatur, yang menyulitkan aparatur dan pimpinan instansi untuk
menyalurkan aspirasinya dalam promosi jabatan. Keputusan pengangkatan jabatan
sepenunnya ada di tangan BAPERJAKAT dan PPK, dan sering mengambil keputusan
sepihak terhadap siapa yang dikehendaki untuk diangkat menduduki jabatan.
Terkait dengan masalah informasi tentang berbagai peluang promosi, hasil penelitian
menunjukkan bahwa, di lingkungan Pemerintahan, belum tersedia sarana informasi bagi
promosi jabatan bagi pengembangan karier aparatur. Selain itu, hampir tidak ditemukan
proses seleksi jabatan, melainkan hanya selera dan kepentingan elit birokrasi dan politik
terhadap siapa yang dikehendaki untuk diangkat menduduki jabatan, sehingga prinsip
keadilan dan persamaan dalam akses jabatan masih sebatas konsep dan retorika. Demikian
halnya bahwa tidak ditemukan adanya mekanisme persaingan sehat dalam menduduki
jabatan, melainkan persaingan kepentingan yang sering melahirkan konflik kepentingan
dalam jabatan.
Terkait dengan masalah minat untuk dipromosikan, hasil penelitian menunjukkan
bahwa, di lingkungan Pemerintahan, hampir semua aparatur menaruh minat dan harapan
untuk dipromosikan kariernya, namun minat dan harapan itu hanya mimpi, sebab salurannya
tertutup. Baik BAPERJAKAT, PPK maupun pimpinan instansi terkait terkesan acuh terhadap
keluhan individualistik aparatur yang menginginkan pengembangan karier dan jabatannya,
kecuali aparatur yang memiliki hubungan kekerabatan dan akses politik.
Terkait dengan masalah tingkat kepuasan, hasil penelitian menunjukkan bahwa, di
lingkungan Pemerintahan, masih banyak aparatur yang merasa kecewa atau tidak puas atas
keputusan BAPERJAKAT, PPK maupun pimpinan unit kerjanya karena dianggap arogan,
tidak responsif/tanggap, diskriminatif, sewenang-wenang serta inkonsisten. Akibatnya, tidak
sedikit aparatur yang semakin menurun motivasi dan kinerjanya karena menganggap hasil
kerjanya tidak dihargai oleh atasan atau pimpinannya.
Dari uraian tersebut maka pendapat yang dikemukakan oleh Siagian (2002:134)
adalah benar dan patut dipertahankan mengenai perlunya mempertimbangkan lima faktor
dalam pengangkatan atau penempatan aparatur dalam suatu jabatan untuk mengisi formasi
jabatan yang lowong, yaitu : perlakuan yang adil dalam berkarier, kepedulian para atasan
langsung, informasi tentang berbagai peluang promosi, minat untuk dipromosikan, dan
tingkat kepuasan.
Selanjutnya bahwa, pertimbangan-pertimbangan dalam penempatan aparatur dalam
jabatan yang dilakukan oleh BAPERJAKAT dan PPK di lingkungan Pemerintahan,
cenderung mengesampingkan persyaratan keahlian/ keterampilan dan kualifikasi pendidikan,
pengalaman, senioritas, kemampuan kerja dan prestasi kerja, sehingga kurang sejalan dengan
yang dikemukakan oleh Sulistiani & Rosida (2003) bahwa, penempatan pegawai sebagai
suatu kebijakan yang diambil oleh pimpinan suatu instansi, atau bagian personalia untuk
menentukan seorang pegawai masih tetap atau tidak ditempatkan pada suatu posisi atau
jabatan tertentu berdasarkan pertimbangan keahlian, keterampilan atau kualifikasi tertentu.
Realitas menunjukkan bahwa, ada aparatur atau pegawai yang menduduki jabatan
struktural eselon III namun belum pernah mengikuti Diklat, kurang jelas prestasi kerjanya,
masa kerja dan pengalamannnya masih relatif kurang, tingkat pendidikan dan latar belakang
pendidikannya juga kurang mendukung jabatannya, sehingga kurang sejalan dengan yang
dikemukakan oleh Tohardi (2002:220) bahwa penempatan pegawai sebagai upaya
menempatkan seseorang pada pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan dan keterampilannya
dalam organisasi. Maksud dari penempatan (staffing) yaitu proses mengetahui karakter atau
syarat-syarat yang diperlukan untuk mengerjakan suatu pekerjaan (tugas) selanjutnya menjadi
orang yang cocok dengan pekerjaan yang ada (job spesification).
13

Di lingkungan Pemerintahan juga sejalan dengan yang disinyalir oleh Rivai


(2008;211) yang mengemukakan bahwa, penempatan internal sering terjadi tanpa ada
orientasi, karena aparatur lama dianggap telah mengetahui segala sesuatu tentang organisasi,
namun sayangnya bahwa anggapan tersebut tidak seluruhnya benar. Aparatur berpengalaman
memang sudah mengetahui organisasi/ tempat kerja dengan baik, tetapi ia tidak mengetahui
hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan dan lingkungan kerjanya yang baru. Di lingkungan
Pemerintahan, yang berperan sebagai manajer atau departemen SDM aparatur pada dasarnya
adalah BKD, namun proses pertimbangan masih berpusat di BAPERJAKAT dan final
decision making ada di tangan Bupati selaku ketua PPK, dan BKD itu sendiri adalah bagian
integral dari BAPERJAKAT. Hal ini kurang sejalan dengan yang dikemukakan oleh Rivai
(2008 : 211) bahwa keputusan penempatan lebih banyak dibuat oleh manajer lini, biasanya
supervisor seorang pegawai dengan berkonsultasi menentukan penempatan karyawan dimasa
datang. Peranan departemen SDM adalah memberi nasehat kepada manajer lini tentang
kebijakan organisasi dan memberikan konseling kepada para aparatur.
Dikemukakan Mangkuprawira (2001:166) bahwa, ada tiga hal pokok keputusan
penempatan pegawai yaitu : promosi, pengalihan, dan penurunan pangkat. Di lingkungan
Pemerintahan, keputusan penempata aparatur dalam jabatan tidak melalui promosi,
melainkan keputusan rahasia dan sepihak oleh BAPERJAKAT dan PPK. Penempatan
aparatur dalam jabatan struktural terkadang dilakukan dengan cara mutasi oleh Bupati,
namun mutasi tersebut cenderung bukan sepenuhnya dimaksudkan untuk meningkatkan
kinerja pejabat dan unit kerjanya melainkan karena adanya kepentingan terselubung seperti
politik untuk memperlancar urusan bagi-bagi proyek, menenuaikan imbalan jasa atas jasa elit
politik dalam Pemilukada, menenuaikan kepentingan proyek yang sudah dijanjikan kepada
provider dana kampanye politik.
Fenomena lainnya bahwa, penempatan aparatur dalam jabatan struktural di
lingkungan Pemerintahan seringkali disertai dengan peng-non-job-an pejabat lama karena
dianggap musuh politik, tidak loyal, bukan kroni, tidak memberikan kontribusi pada proses
pemenangan Pemilukada, dan alasan-alasan lainnya yang tidak jelas. Atas dasar itu maka
pendapat yang dikemukakan Mangkuprawira (2001:166) adalah benar.
Dikemukakan Tohardi ( 2002:221) bahwa, dasar yang digunakan untuk melakukan
penempatan adalah analisa jabatan (job analysis) yang tergambar pada deskripsi jabatan (job
description). Namun kenyataannya dari hasil penelitian, dasar yang kerap digunakan untuk
melakukan penempatan aparatur dalam jabatan struktural di lingkungan Pemerintahan adalah
kepentingan pribadi, kekerabatan dan politik, bukan analisa jabatan (job analysis) dan
spesifikasi jabatan (job specification) seperti yang dikemukakan Tohardi tersebut.
Penempatan aparatur dalam jabatan struktural di lingkungan Pemerintahan cenderung
bukan dimaksudkan untuk mencari atau memilih aparatur pemangku jabatan yang sesuai
dengan kriteria yang ada dalam PP No.101 Tahun 2000, PP No. 13 Tahun 2003 dan
Peraturan Kepala BKN No.5 Tahun 2008, atau yang memiliki kemampuan = ability
(keterampilan dan pengetahuan) dan sesuai dengan kebutuhan pekerjaan yang ada,
melainkan sekedar untuk mengisi formasi jabatan yang ada agar tidak kosong. Selanjutnya
dikemukakan Saydam (200;222) bahwa, untuk memperoleh efisiensi, efektif dan kinerja yang
tinggi, hal-hal yang harus diperhatikan dalam penempatan sumberdaya manusia adalah latar
belakang Pendidikan dan keterampilan/ keahlian. Namun kenyataannya di lingkungan
Pemerintahan, keputusan BAPERJAKAT dan PPK dalam penempatan aparatur dalam jabatan
struktural, seringkali mengesampingkan aspek kebutuhan untuk memperoleh efisiensi, efektif
dan kinerja yang tinggi, melainkan untuk memperoleh keuntungan proyek dan bagi-bagi
kekuasaan (power sharing) atas balas jasa politik.
Dijelaskan Sihotang (2007:149) bahwa, pada dasarnya hakikat dan sasaran
penempatan adalah untuk: (1) mengisi lowongan pekerjaan yang terjadi pada unit-unit
14

organisasi, (2) agar pegawai-pegawai tidak merasa terombang-ambing menunggu


penempatan yang diinginkan, (3) menempatkan pagawai yang sesuai pada jabatan pekerjaan
yang tepat (the right man on the right job), dan (5) agar organisasi bertindak efektif
memanfaatkan tenaga sumberdaya manusia secara berdaya guna dan berhasil guna.
Penulis sepakat dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sihotang tersebut, namun
kenyataan di lingkungan Pemerintahan, bahwa keputusan penempatan aparatur dalam jabatan
struktural, seringkali diinterpretasikan lain, yakni bukan sekedar untuk mengisi formasi
jabatan yang lowong namun seringkali justeru membuat sejumlah aparatur lain merasa
kecewa dan bingung serta frustrasi atas ketidakpastian kariernya.
Di lingkungan Pemerintahan, keputusan penempatan aparatur dalam jabatan
struktural, seringkali kurang disesuaikan dengan jabatan pekerjaan yang tepat (the right man
on the right job), dan bukan pula agar organisasi bertindak efektif memanfaatkan tenaga
sumberdaya manusia secara berdaya guna dan berhasil guna. Sebaliknya, masih terkesan
terjadi praktek is not the right man on the right job (penempatan yang tidak benar pada
tempat yang benar) atau the wrong man on the right job (menempatkan orang yang salah
pada jabatan) ataukah the wrong man on the wrong job (menempatkan orang yang salah
pada tempat yang salah atau tidak tepat/sesuai).
Penempatan aparatur dalam jabatan struktural di lingkungan Pemerintahan sangat
penting didasarkan pada, seperti dikemukakan oleh Robbins (2003:50), yakni kemampuan
(ability) (baik kemampuan intelektual maupun kemampuan fisik) sebagai kapasitas individu
aparatur atau pemangku jabatan untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan
dan jabatan. Tugas pekerjaan menuntut kapasitas orang dan kemampuannya
(Robbins,2003:52), dan karena itu setiap formasi jabatan yang tersedia menuntut kapasitas
aparatur dan abilitasnya yang sesuai tuntutan tugas pekerjaan dan jabatan struktural yang
diemban, sehingga penempatan aparatur dalam jabatan struktural memerlukan uji kompetensi
atau tes kemampuan intelektual (pendidikan, pengetahuan, keterampilan, kemampuan inovasi
dan produktivitas, komitmen, kebutuhan berprestasi kerja) dan kemampuan fisik (kesehatan).
Permasalahan yang masih sering terjadi di lingkungan Pemerintahan bahwa, ada
pejabat ditempatkan pada suatu jabatan struktural yang sekedar mengisi formasi jabatan
tersebut agar tidak kosong atau lowong, dan kurang mempertimbangkan sepenuhnya
kemampuan intelektual dan fisik dari pejabat yang menduduki jabatan tersebut, dan hampir
tidak pernah dilaksanakan uji kompetensi dan analisis jabatan terutama job specification.
Implikasi dari kondisi kurangnya pertimbangan syarat abilitas dalam penempatan aparatur
dalam jabatan struktural di lingkungan Pemerintahan adalah sulitnya mewujudkan sosok
aparatur atau pemangku jabatan yang berkinerja baik dan berprestasi, sehingga pendapat yang
dikemukakan oleh Robbins adalah benar dan dapat dipertahankan, bahwa kemampuan
(abilitas) berkaitan langsung dengan kinerja. Penulis sepakat dengan Robbins (2003:51)
bahwa, setiap tugas pekerjaan dan jabatan menuntut kualifikasi kemampuan yang berbeda-
beda, dan tidak terpenuhinya persyaratan kemampuan yang diminta oleh tugas pekerjaan dan
jabatan tersebut maka pemangku jabatan berpotensi besar mengalami kegagalan dalam
mengemban tugas dan jabatannya.
Menarik disimak pendapat Robbins (2003:53) bahwa, bila kesesuaian pekerja -
kemampuan tidak sesuai karena mempunyai kemampuan yang jauh melampaui persyaratan
dari pekerjaan tersebut kemungkinan besar kinerja akan memadai, tetapi akan ada
ketidakefisienan organisasional dan mungkin kemerosotan dalam kepuasan dan kinerja
karyawan. Pendapat Robbins tersebut mengisyaratkan bahwa, dalam penempatan aparatur
dalam jabatan struktural di lingkungan Pemerintahan, sangat penting memilih aparatur atau
pejabat yang benar-benar memiliki kemampuan sesuai dengan persyaratan jabatan.
BAPERJAKAT ataupun PPK sangat penting berhati-hati dan cermat dalam pertimbangan dan
keputusannya terhadap pejabat yang kemampuannya tergolong tinggi untuk tidak
15

menempatkan pada level jabatan rendah, demikian pula sebaliknya, agar tidak menempatkan
pejabat yang kemampuannya pas-pasan pada level jabatan sedang dan tinggi, karena hal itu
kurang bersesuaian dengan etika penempatan jabatan.
Menempatkan pejabat yang kemampuannya tergolong sedang dan tinggi pada level
jabatan rendah, memiliki kelemahan nyata atau implikasi antara lain :
1) Mengabaikan the right man on the right job (penempatan orang yang tepat pada
tempat /pekerjaan/ jabatan yang benar)
2) Menyia-nyiakan potensi SDM aparatur, karena seharusnya kemampuan yang
tinggi digunakan untuk menyelesaikan tugas-tugas berat dan menantang, sebab
orang yang kemampuannya tinggi biasanya menyukai tantangan
3) Pejabat yang bersangkutan akan malas atau menurun motivasi dan kinerjanya
sebab cenderung memandang enteng tugas pekerjaan di bidang tugas dan
jabatannya
4) Pejabat yang bersangkutan akan mengalami frustrasi karena tugas pekerjaan di
bidang tugas dan jabatannya tidak menantang
5) Kualitas pekerjaan akan semakin menurun
6) Ada kemungkinan tanggung jawab aparatur atau pejabat bergeser kepada
motivasi mengejar target keuntungan finansial dan komersialisasi
7) Penempatan aparatur/ pejabat semakin tidak efisien dan tidak efektif
8) Kinerja organisasi akan menurun
9) Sulit mewujudkan visi dan misi organisasi

Menempatkan pejabat yang kemampuannya tergolong rendah pada level jabatan


tinggi, memiliki kelemahan nyata atau implikasi antara lain :
1) Memelihara praktek is not the right man on the right job (penempatan yang
tidak benar pada tempat yang benar) atau the wrong man on the right job
(menempatkan orang yang salah pada jabatan) ataukah the wrong man on the
wrong job (menempatkan orang yang salah pada tempat yang salah atau tidak
tepat/sesuai).
2) Memaksakan kemampuan yang tidak dimiliki
3) Memperkosa kemampuan aparatur atau pejabat karena memaksakannya pada
apa yang tidak mampu dilakukan
4) Mengebiri hak-hak SDM aparatur, karena haknya yang sebenarnya adalah
jabatan yang sesuai kemampuannya, bukan jabatan yang jauh melampaui
kapasitasnya
5) Pejabat yang bersangkutan akan senantiasa diperhadapkan kondisi tekanan
psikologis, tegang, stress, emosional
6) Pejabat yang bersangkutan akan mengalami frustrasi dan kecewa karena tugas
pekerjaan di bidang tugas dan jabatannya tidak mampu diselesaikan
7) Penempatan aparatur/ pejabat semakin tidak efisien dan tidak efektif
8) Kinerja organisasi akan menurun
9) Sulit mewujudkan visi dan misi organisasi

Berdasarkan kedua uraian mengenai implikasi dari penempatan yang tidak sesuai
kapasitas kemampuan yang dipersyaratkan tersebut, maka pendapat yang dikemukakan oleh
Robbins (2003:53) bahwa bila kemampuan tidak sesuai atau jauh melampaui persyaratan dari
pekerjaan kemungkinan besar akan ada ketidakefisienan organisasional dan mungkin
kemerosotan dalam kepuasan dan kinerja, adalah benar dan patut dipertahankan.
Fenomena permasalahan juga ditemukan terjadi di lingkungan Pemerintahan adalah
dalam hal kurangnya pertimbangan latar belakang pendidikan dalam penempatan aparatur
16

dalam jabatan struktural, sementara menurut Robbins (2003:53) bahwa hubungan latar
belakang pendidikan dengan penempatan sumberdaya manusia tidak dapat dipisahkan, karena
dengan pendidikan akan membentuk sikap, kemampuan dan pengetahuan sumberdaya
manusia yang bersangkutan. Problem lainnya bahwa, masih banyak pejabat eselon III yang
belum pernah mengikuti Diklat, sehingga belum memenuhi salah satu syarat pengangkatan
dalam jabatan, namun kenyatannya tetap diangkat menduduki jabatan walaupun tidak
memenuhi syarat jabatan dan latar belakang pendidikan.
Realitas tersebut, tentunya sulit untuk menyatakan, seperti dikemukakan Robbins
(2003:55) bahwa, pendidikan dapat menjadi acuan pemberian beban kerja dan tanggung
jawab kepada aparatur pemangku jabatan. Latar belakang pendidikan belum sepenuhnya
menjadi acuan bagi BAPERJAKAT dan PPK dalam pertimbangan dan keputusan
penempatan aparatur dalam jabatan struktural di lingkungan Pemerintahan.
Dikemukakan Robbins (2003:55) bahwa, manejer SDM yang cerdik dan bijaksana
akan menjadikan latar belakang pendidikan menjadi dasar dalam penempatan, karena
pengetahuan yang dimiliki mereka dapat membantu pelaksanaan pekerjaan yang akan
dilakukan. Hal ini berarti bahwa, jika BAPERJAKAT dan PPK serta BKD lebih visioner,
cerdas, berintegritas moral, arif dan bijakasana, maka siapapun aparatur atau pejabat yang
diangkat menduduki suatu jabatan, tentunya akan memberikan perhatian sungguh-sungguh
pada faktor atau syarat latar belakang pendidikan dalam proses pertimbangan dan keputusan
penempatan aparatur dalam jabatan struktural di unit organisasi pemerintahannya.
Demikian halnya pertimbangan aspek atau syarat keterampilan dan pendidikan yang
diperlukan dalam jabatan, yang menurut Robbins (2003:55) bahwa, keterampilan yang
dimiliki seseorang lebih banyak membantunya dalam mengerjakan suatu pekerjaan,
sedangkan pendidikan biasanya lebih banyak menyentuh pada penambahan pengetahuan dan
pemahaman saja. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa keterampilan dan pendidikan perlu
disinergikan dalam proses pertimbangan dan keputusan penempatan aparatur dalam jabatan
struktural, sebab keterampilan atau keahlian memerlukan dukungan pengetahuan dan
pemahaman, demikian pula sebaliknya, pendidikan memerlukan dukungan keterampilan.
Bilamana keterampilan dan pendidikan diabaikan dalam proses pertimbangan dan keputusan
penempatan aparatur dalam jabatan struktural, maka ada kemungkinan tanggung jawab
aparatur atau pejabat bergeser kepada motivasi mengejar target keuntungan finansial dan
komersialisasi dalam jabatannya.
Atas dasar itu maka penulis sepakat dengan pendapat yang dikemukakan Keith davis
(Mangkunegara, 2005:67) bahwa, secara psikologis, kemampuan pegawai terdiri dari
kemampuan potensi dan kemampuan reality. Artinya, pegawai yang memiliki kemampuan
diatas rata-rata dengan pendidikan atau pengetahuan yang memadai untuk menjalankan
pekerjaan yang terampil dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari, maka ia akan lebih mudah
mencapai kinerja (prestasi) yang diharapkan. Oleh karena itu, pegawai perlu ditempatkan
pada pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya.
Penempatan aparatur dalam jabatan struktural perlu disinergikan dengan penerapan
MSDM dalam pengembangan SDM terutama pada aspek pendidikan dan keterampilan, sebab
serperti dikemukakan oleh Sihotang (2007:206) bahwa, pengembangan sumberdaya manusia
masih sangat perlu dilakukan karena ternyata dari hasil penilaian menunjukkan masih banyak
kekurangan dan kelemahan yang perlu diperbaiki, terutama dibidang pendidikan dan
keterampilan yang sesuai dengan target organisasi. Pengembangan SDM sebagai suatu proses
kegiatan yang harus dilaksanakan organisasi untuk meningkatkan pengetahuan (knowledge),
kemampuan (ability) dan keterampilan (skill) sumberdaya manusia yang sudah tersedia
untuk memenuhi tuntutan pekerjaan yang sedang dihadapi.
Dikemukakan Sulistiani & Rosida (2003) bahwa, seleksi pegawai didahului oleh
suatu analisis jabatan dan perencanaan sumber daya manusia. Dalam kaitan itu, Bernadin &
17

Russell (1992) menyatakan bahwa, seleksi sebagai suatu proses mendapatkan dan menilai
informasi tentang calon pegawai atau pejabat yang akan menduduki jabatan tertentu.
Menyimak lebih jauh terhadap proses dan keputusan penempatan aparatur dalam
jabatan struktural di lingkungan Pemerintahan, pada dasarnya hampir tidak pernah benar-
benar dilakukan seleksi secara terbuka, sebab mekanismenya hanya dilakukan melalui rapat
tertutup BAPERJAKAT dan kemudian hasil kesepakatan para anggota BAPERJAKAT
diserahkan kepada PPK (Bupati) untuk mengambil keputusan, sehingga kurang sejalan
dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sulistiani & Rosida (2003) dan Bernadin & Russell
(1992) tersebut. BAPERJAKAT memiliki kewenangan penuh untuk memproses penempatan
aparatur dalam jabatan struktural, dan Bupati selaku ketua PPK memiliki hak prerogatif
untuk mengambil keputusan, menerima ataupun menolak rekomendasi BAPERJAKAT,
ataukah mengambil pertimbangan lain menurut pertimbangan dan kepentingannya.
Di lingkungan Pemerintahan, proses seleksi seringkali diabaikan, sehingga sangat
jarang ditemukan ada keputusan-keputusan untuk menyaring calon pejabat dalam menduduki
jabatan tertentu. Seleksi cenderung dianggap kurang penting karena prosesnya lama dan
butuh biaya, sehingga BAPERJAKAT hanya melakukan rapat tertutup untuk menyepakati
(bukan mendapatkan) keputusan atas aparatur atau pejabat siapa yang layak dianggap
menduduki jabatan tertentu.
Proses dan keputusan penempatan aparatur dalam jabatan struktural di lingkungan
Pemerintahan sulit diketahui obyektivitasnya dan juga kurang jelas pertimbangan-
pertimbangan apa saja yang dikedepankan karena prosesnya tertutup dilakukan oleh
BAPERJAKAT dan PPK. Tidak jelas proses formulasi kesepakatan dikalangan anggota dan
ketua BAPERJAKAT, tidak jelas pula apakah anggota dan ketua BAPERJAKAT
mempertimbangkan aspek – aspek lainnya terutama perilaku yang kontradiktif seperti
penyalahgunaan jabatan, kecelakaan kerja dan korupsi.
BAPERJAKAT dan PPK masih relatif kurang menerapkan pendekatan normatif
(yakni kriteria dan persyaratan yang ditetapkan dalam PP No.101 Tahun 2000 tentang
Pengadaan PNS, PP No.13 Tahun 2003 tentang Pengangkatan – Pemindahan –
Pemberhentian PNS dalam Jabatan, PP No. 102 Tahun 2001 tentang Sasaran Diklat,
Peraturan Kepala BKN No.5 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Uji Kompetensi) dalam proses
dan keputusan penempatan aparatur dalam jabatan struktural.
Ada beberapa alasan yang menyebabkan kurangnya penerapan pendekatan normatif
tersebut, yaitu :
1. Faktor keterbatasan SDM aparatur yang memiliki kompetensi jabatan
2. Sistem pendiklatan juga belum mampu menghasilkan aparatur yang
berkompetensi jabatan
3. Sejumlah aparatur yang pernah mengikuti Diklat juga tidak banyak mengalami
perubahan berarti baik pengetahuan, keterampilan maupun kemampuan serta
motivasi dan kinerjanya
4. Kedudukan BAPERJAKAT adalah bawahan langsung dari PPK , dalam hal ini
Bupati, sehingga apapun hasil perimbangannya, keputusan akhirnya ada di
Bupati
5. Kedudukan Bupati selaku ketua PPK, memiliki hak prerogatif untuk
mengangkat atau menempatkan siapa saja aparatur yang dikehendaki dalam
jabatan struktural
6. Bupati selaku ketua PPK, adalah produk politik yang dipilih melalui Pemilukada
langsung dan didukung oleh elit politik dan partai politik, sehingga keputusan-
keputusannya dalam penempatan aparatur dalam jabatan struktur sulit
dihindarkan dari situasi dan kepentingan balas jasa politik.
18

7. Di lingkungan organisasi, cenderung terjadi kelompok-kelompok yang memiliki


perbedaan persepsi, keberpihakan serta kepentingan terhadap kepemimpinan
Kepala Daerah, sehingga sulit dihindarkan adanya konflik kepentingan dalam
proses pertimbangan dan keputusan penempatan aparatur dalam jabatan
struktural.

Hal tersebut sejalan dengan yang dikemukakan oleh Handoko (1995) bahwa ada tiga
tantangan dalam proses seleksi yaitu : tantangan suplai, tantangan ethis dan tantangan
organisasional. Pertama, tantangan suplai, secara nyata dihadapi oleh Pemkab Puhowato
sebab walaupun secara kuantitas tersedia SDM aparatur namun secara kualitas masih relatif
terbatas. Kedua, tantangan ethis, juga secara nyata dihadapi oleh Pemkab Puhowato sebab
masih adanya kepentingan-kepentingan kekeluargaan – kekerabatan, balas jasa politik serta
kepentingan proyekisme dan intervensi dalam penempatan aparatur dalam jabatan struktural.
Ketiga, tantangan organisasional, masih menjadi kendala bagi Pemkab Puhowato sebab
terbatasnya anggaran untuk melakukan Diklat dan uji kompetensi, dominanya pengaruh
kebijakan politik yang menyebabkan semakin kuatnya patologi birokrasi, belum adanya
strategi pengembangan SDM dan karier, belum ada sarana dan saluran promosi, kebijakan
penempatan aparatur maish berkonsentrasi di tangan BAPERJAKAT dan PPK, termasuk
kuatnya asumsi atau perilaku untuk menempuh cara pragmatis.
Penulis sepakat dengan Rivai (2009) bahwa, fungsi sistem seleksi dalam penempatan
sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai. Para eksekutif teras sering memandang birokrasi tidak
responsif terhadap pilihan-pilihan perorangan, prioritas program, dan nilai-nilai mereka. Oleh
karena itu mereka berusaha menetapkan kriteria seleksi dan penempatan, bahkan promosi,
yang sesuai dengan falsafah-falsafah politik dan tujuan-tujuan program dari para pejabat
terpilih.
Cara pelaksanaan tujuan-tujuan tersebut dapat mengambil berbagai bentuk, mulai dari
spoils system dalam mana kebanyakan jabatan diisi berdasarkan political patronage, hingga
ke merit system dalam mana kebanyakan para pekerja adalah pegawai-pegawai yang
berpengalaman dengan orang-orang yang dipilih secara politik sebagai pimpinan instansi.
Permasalahan bahwa, proses dan keputusan penempatan aparatur dalam jabatan struktural di
lingkungan Pemerintahan Kabupaten Pohuwato masih dominan mengambil bentuk spoils
system yang dicirikan oleh pengisian jabatan berdasarkan political patronage, namun
sebaliknya masih cenderung mengesampingkan bentuk merit system.
BAPERJAKAT dan PPK sebagai sentral pertimbangan dan keputusan pengangkatan
atau penempatan aparatur dalam jabatan struktural di lingkungan Pemerintahan, cenderung
tidak memberikan ruang dan peluang kepada setiap pimpinan instansi (kantor, badan, dinas)
untuk menetapkan aturan pengangkatan atau penempatan aparatur dalam jabatan struktural di
internal unit kerja organisasinya masing-masing, sehingga tidak terjadi penyekatan namun
terbuka bagi intervensi politik. Kedudukan PPK sebagai produk politik, seringkali
mengaburkan penerapan kriteria-kriteria seleksi dan promosi yang menekankan kualifikasi
teknis dan kecakapan-kecakapan dalam pertimbangan dan keputusan pengangkatan atau
penempatan aparatur dalam jabatan struktural. Selain itu, organisasi birokrasi pemerintahan
sulit untuk disterilkan dari pengaruh intervensi politik (turmoil) yang mempengaruhi
pertimbangan dan keputusan BAPERJAKAT dan PPK dalam pengangkatan atau penempatan
aparatur dalam jabatan struktural di lingkungan organisasi pemerintahannya.
Rivai (2009) menyatakan bahwa para pejabat terpilih menilai sifat responsivitas suatu
program instansi terhadap kebutuhan-kebutuhan publik, sebab cenderung terjadi konflik
kepentingan yang menyebabkan kurang atau tidak efektifnya pencapaian tujuan-tujuan dari
para pejabat terpilih. Konflik nilai dan konflik kepentingan secara laten cenderung semakin
menguat diantara pejabat terpilih pilihan Kepala Daerah yang baru dengan pejabat lama versi
19

Kepala Daerah yang lama, sebab terjadi mutasi ataupun pe-non-job-kan sejumlah pejabat
lama tanpa alasan yang jelas. Kondisi demikian berimplikasi kepada jajaran aparatur
sehingga secara implisit terkotak-kotak antara yang pro dan kontra terhadap keputusan
BAPERJAKAT dan PPK dalam pengangkatan aparatur tertentu dalam jabatan struktural
tertentu.
Konflik nilai dan konflik kepentingan tersebut berimplikasi pula pada pelaksanaan
tugas-tugas pekerjaan dan jabatan. Pada satu sisi pejabat baru cenderung loyal pada keinginan
atau kepentingan pimpinan tertinggi (dalam hal ini adalah Bupati yang baru terpilih),
sedangkan pejabat lama sebagian tetap komit pada perwujudan visi dan misi organisasi.
Kondisi itu cenderung mendorong pergantian pejabat lama oleh pejabat baru yang sejalan
dengan keinginan atau kepentingan Bupati, sehingga kecemburuan dan ketimpangan dalam
penempatan aparatur dalam jabatan struktural pun tak terhindarkan.
Keputusan BAPERJAKAT dan Bupati adalah mengganti sejumlah pejabat lama dan
menggantinya dengan cara mengangkat pejabat yang baru. Pejabat yang baru yang terpilih
adalah orang-orang yang memiliki hubungan kedekatan dengan Bupati atau elit politik dan
elit birokrasi. Kondisi demikian menyebabkan tidak sedikit pejabat lama dimutasi atau
diturunkan pangkatnya bahkan ada yang di non-job-kan serta menjadi staf biasa.
Implikasinya adalah timbulnya konflik nilai dan konflik kepentingan (conflict of interest),
yang juga merambah di kalangan jajaran aparatur.
Konflik nilai bukanlah persaingan sehat untuk memanfaatkan jabatan dalam
mewujudkan kinerja dan prestasi kerja yang lebih baik melainkan lebih kepada upaya untuk
memperoleh nilai materi atau ekonomi melalui penggunaan kekuasaan dan kewenangan
jabatan, kemudian disetorkan kepada pimpinan yang mengangkatnya dalam jabatan
struktural. Oleh karena itu, pejabat baru yang diangkat menjadi alat pencari uang bagi elit
politik untuk memperoleh keuntungan berlipat ganda atas biaya politik yang telah
dikeluarkan selama dalam proses Pemilukada.
Adanya hubungan tersebut membawa konsekuensi moral dan politik bagi Bupati
untuk memenuhi janjinya. Hal inilah yang membawa pengaruh dan implikasi pada proses
pertimbangan dan keputusan penempatan aparatur dalam jabatan struktural, yaitu Bupati
selaku ketua PPK harus memenuhi pesanan mitra politiknya untuk mengangkat atau
menempatkan orang-orang tertentu dalam jabatan sesuai yang diminta oleh mitranya. Jadi,
kebanyakan pejabat baru yang diangkat menduduki jabatan adalah orang-orang yang sudah
diorder dan direncanakan untuk memenuhi keinginan atau permintaan elit politik di DPRD,
elit politik di Parpol dan Tim Sukses dan penyandang dana.
Bupati selaku ketua PPK berkepentingan untuk memenuhi permintaan para
stakeholdernya tersebut sebab jika tidak maka kecurangan-kecurangan dan praktek money
politiknya dapat terbongkar dan terekspos ke publik, dan jika hal itu terjadi maka risiko
politik dan kekacauan politik (turmoil) sulit dihindarkan, yang juga berarti kekuasaan Bupati
dapat terganggu atau terancam.
Kondisi tekanan politik yang menguasai Bupati demikian, menyebabkan apapun
pertimbangan-pertimbangan yang dihasilkan oleh BAPERJAKAT dapat termentahkan atau
mengalami perubahan di tangan Bupati selaku ketua PPK. Dengan demikian, BAPERJAKAT
juga terpaksa harus pasrah atau tunduk pada apapun keputusan Bupati, yakni
mengesampingkan pendekatan normatif dan harus patuh pada bentuk spoil system, patronage
system dan nepotism system yang diberlakukan oleh Bupati selaku ketua PPK.
Kondisi tekanan politik yang menguasai Bupati demikian, maka sejumlah pejabat
lama harus rela menerima risiko keputusan mutasi jabatan, bahkan risiko di non-job-kan dari
jabatannya, agar Bupati leluasa menempatkan orang-orangnya pada formasi jabatan yang ada.
Pejabat lama harus bersiap mengalami kekecewaan atas adanya kebijakan yang memasung
20

pengembangan kariernya, dan sebaliknya pejabat baru siap melaksanakan semua keinginan
dan kepentingan Bupati.
Prosedur penempatan dalam Jabatan Struktural diatur dalam Peraturan Kepala BKN
No.5 Tahun 2008 dengan mekanisme sebagai berikut :
1. Pejabat yang membidangi kepegawaian baik instansi pusat maupun daerah
menginventarisasi lowongan jabatan struktural yang ada disertai persyaratan
jabatannya.
2. Lowongan formasi jabatan struktural tersebut diinformasikan kepada seluruh
pimpinan satuan organisasi eselon II atau III dilingkungan masing-masing.
3. Berdasarkan lowongan formasi jabatan tersebut, para pejabat struktural eselon II atau
III secara hirarkhi mengajukan calon yang memenuhi syarat guna pengisian lowongan
jabatan kepada pejabat yang berwenang dengan tembusan disampaikan kepada badan
pertimbangan kepangkatan (Baperjakat).
4. Sekretaris baperjakat menyiapkan data calon yang diusulkan untuk diajukan dalam
sidang baperjakat, dengan didukung data masing-masing calon berupa daftar riwayat
hidup sebagai identitas dan untuk mengetahui sejarah karier sang calon pejabat yang
bersangkutan selama menjadi PNS. Disamping itu juga dilampirankan pula daftar
Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP-3) calon pejabat tersebut selama dua tahun
terakhir sebagai bukti kondite yang bersangkutan.
5. Apabila yang diajukan hanya satu orang calon, maka sekretaris Baperjakat
berkewajiban menyiapkan data calon lain yang memenuhi syarat sehingga yang
diajukan untuk dibahas dalam sidang Baperjakat sekurang-kurangnya tiga orang
calon.

Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Nomor 46 A Tahun 2003


sebagaimana diubah menjadi Peraturan Kepala BKN No.5 Tahun 2008 tentang Standar
Kompetensi Jabatan PNS, menjadi pedoman atau dasar penempatan pejabat di lingkungan
pemerintahan, yaitu kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seorang PNS berupa
pengetahuan, keahlian, sikap, dan perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas dan
jabatan. Keputusan tersebut menetapkan dua standar kompetensi yang perlu diperhatikan
yakni standar kompetensi umum dan standar kompetensi khusus.
Kompetensi umum dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan dan karakteristik
berupa pengetahuan dan perilaku yang dimiliki calon pejabat untuk diperlukan dalam
pelaksanaan jabatan struktural yang dipangkunya, sedangkan kompetensi khusus yaitu
kemampuan dan karakteristik yang dimiliki calon pejabat berupa keahlian untuk
melaksanakan tugas jabatan struktural yang dipangkunya.
Selanjutnya, untuk efektivitas kerja organisasi dalam melakukan proses penempatan
perlu adanya standar kompetensi yang didasarkan pada tinggi rendahnya eselon jabatan
(eselonering) sebagai dasar untuk menentukan apakah calon pejabat yang direkrut
berkompeten atau tidak, untuk menduduki suatu jabatan tertentu. Realitas yang terjadi di
lingkungan Pemerintahan bahwa, BAPERJAKAT maupun PPK masih cenderung
mengabaikan amanat Peraturan Kepala BKN tersebut, dengan alasan bahwa sulit menemukan
SDM aparatur yang memenuhi kompetensi jabatan karena SDM masih terbatas. Walaupun
asumsi tersebut pada satu sisi dapat dibenarkan, namun disisi lain cenderung menjadi alasan
yang dogmatis, sebab PP No.101 Tahun 2001 sudah menetapkan bahwa sasaran Diklat adalah
untuk mewujudkan kompetensi aparatur atau PNS, yang juga berarti bahwa setiap PNS yang
telah mengikuti Diklat bukan hanya memenuhi syarat diangkat dalam jabatan melainkan juga
seharusnya memiliki kompetensi. Hal ini juga mengindikasikan bahwa, Pemda telah
membuat asumsi yang menyesatkan untuk menghindari pelaksanaan uji kompetensi dan
21

terkesan ingin memelihara praktek spoil system, patronage system dan nepotism system
dalam penempatan aparatur dalam jabatan struktural.
Aktor pimpinan atau elit di Pemda terkesan ingin menghindarkan diri dari penerapan
Peraturan Kepala BKN No.5 Tahun 2008 sekaligus mengabaikan pendekatan merit system
dalam penempatan aparatur dalam jabatan struktural. Pemda terkesan kurang cermat
menetapkan pilihan antara kepentingan pribadi dan golongan dengan kepentingan organisasi.
Aktor pimpinan atau elit di Pemda cenderung lebih memilih kepentingan pribadi dan
golongan karena hal itu dapat menguntungkan kekuasaan dan peroleh keuntungan materi
berlipat ganda. Sebaliknya jika menerapkan merit system maka aktor pimpinan atau elit di
Pemda tidak memperoleh banyak keuntungan selain hanya investasi jasa. Merit system
menekankan penempatan seorang pejabat dengan memperhatikan aspek pendidikan dan
latihan, masa kerja, pengalaman, keterampilan, dan etika yang merupakan hal yang
dipersyaratakan sebagai suatu penilaian yang objektif didalam menentukan seseorang yang
menduduki/ menempati suatu jabatan tertentu pada suatu organisasi pemerintahan dan atau
posisi jabatan lainnya.
Secara keseluruhan dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa, sistem penempatan
aparatur dalam jabatan struktural khususnya pada eselon III di lingkungan Pemerintahan
masih cenderung statusquo dan belum mengalami transformasi dari bentuk spoil system,
patronage system dan nepotism system kepada merit system. Hal ini terutama disebabkan oleh
masih kuatnya pengaruh kepentingan dan intervensi politik ke dalam struktur organisasi
birokrasi.

Kesimpulan dan Implikasi


Rekrutmen dan seleksi menjadi kebutuhan primer setiap organisasi baik swasta
terlebh organisasi publik atau pemerintah. Rekrutmen dan seleksi perlu dikenali lebih
mendalam dan sangat penting dilakukan sesuai mekanisme (sistem dan prosedur) yang
berlaku. Kekeliruan dalam pelaksanaan sistem rekrutmen dan seleksi akan berimplikasi pada
buruknya kualitas SDM dan kinerja organisasi.
Penempatan aparatur dalam jabatan melalui seleksi di lingkungan organisasi publik
perlu mempertimbangkan enam aspek atau kriteria atau syarat jabatan yaitu pendidikan,
keterampilan, pengalaman, masa kerja, prestasi kerja dan etika, dan secara umum penerapan
aspek-aspek tersebut kurang sesuai dengan kebutuhan persyaratan jabatan, sehingga
berimplikasi pada kondisi kualitas SDM dan kinerja instansi yang kurang menggembirakan.

Anda mungkin juga menyukai