Bab II SIAP CETAK
Bab II SIAP CETAK
23
adopsi. Sedang menurut J.R. Eshleman (1978: 86) bahwa yang disebut keluarga
mengandung beberapa unsur sebagai berikut:
a. Keluarga lahir sebagai hasil perkawinan,
b. Keluarga terdiri atas orang-orang yang terikat karena perkawinan, darah, atau
adopsi,
c. Anggota keluarga memiliki tempat tinggal yang sama,
d. Anggota-anggota keluarga mempunyai hak dan kewajiban timbal balik satu sama
lain,
e. Keluarga mempunyai fungsi utama sosialisasi, terutama untuk anak-anak.
Adapun yang menjadi fungsi keluarga, menurut Rahmat (1991: 121) antara
lain, disebutkan paling sedikit:
1. Fungsi ekonomis, yakni keluarga merupakan satuan sosial yang mandiri, di mana
semua anggota keluarga tersebut mengkonsumsi barang-barang yang
diproduksinya.
2. Fungsi sosial, yakni keluarga memberikan prestise dan status kepada anggota-
anggotanya.
3. Fungsi edukatif, yakni keluarga memberikan pendidikan kepada anak-anak dan
remaja.
4. Fungsi protektif, yakni keluarga melindungi anggota-anggotanya dari ancaman
fisik, ekonomis, dan psiko-sosial.
5. Fungsi religius, yakni keluarga memberikan pengalaman keagamaan kepada
anggota-anggotanya.
6. Fungsi rekreatif, yakni keluarga merupakan pusat rekreasi bagi anggota-
anggotanya.
7. Fungsi afektif, yakni keluarga memberikan kasih sayang dan melahirkan
keturunan
Menurut Muhammadiyah, keluarga merupakan tiang utama kehidupan umat
dan bangsa sebagai tempat sosialisasi nilai-nilai ajaran Islam yang paling intensif dan
menentukan. Oleh karena itu menjadi kewajiban setiap anggota keluarga untuk
24
mewujudkan kehidupan keluarga yang sakinah,mawaddah warahmah (Q. S. Ar-Rum
[30]: 21), atau yang dikenal dengan Keluarga Sakinah. Keluarga selain berfungsi
sebagai tempat sosialisasi nilai-nilai ajaran Islam juga sebagai tempat kaderisasi ,
sehingga anak-anak tumbuh menjadi generasi Muslim yang dapat menjadi
pelangsung dan penyempurna gerakan dakwah Islam di kemudian hari.
Keluarga-keluarga di lingkungan Muhammadiyah dituntut; Keteladanan /uswah
hasanah dalam mempraktikan kehidupan yang Islami yakni tertanam ihsan/kebaikan
dan bergaul dengan ma’ruf,1 saling menyayangi dan mengasihi, 2 menghormati hak
hidup anak,3 saling menghargai dan menghormati antar anggota keluarga,
memberikan pendidikan akhlak yang mulia secara paripurna, 4 menjauhkan segenap
keluarga dari bencana siksa neraka,5 membiasakan bermusyawarah dalam
menyelesaikan urusan,6 berbuat adil dan ihsan,7 memelihara persamaan hak dan
kewajiban,8 dan menyantuni anggota keluarga yang tidak mampu.9
25
masalah keluarga. Hal itu dapat dilihat bagaimana Allah Swt. telah menjadikan
kehidupan berkeluarga sebagai peristiwa yang mengundang manusia untuk berfikir
tentang tanda-tanda kebesaran Allah, mensyukuri nikmat-Nya, dan menghindari dari
beriman kepada yang batil, serta memelihara diri dan kelurganya dari api neraka.
Dalam al-Qur’an disebutkan:
“Di antara tanda-tanda kebesaran-Nya adalah menjadikan untukmu pasangan-
pasangan dari jenismu sendiri ( manusia ) supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram terhadapnya dan dijalinnya rasa kasih dan sayang ( antara kamu
sepasang ). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir”. ( Al-Rūm [30]: 21 )
“Allah menjadikan bagi kamu pasangan-pasangan dari jenis kamu sendiri dan
menjadikan bagimu dari pasangan-pasangan itu anak-anak dan cucu-cucu dan
memberikan rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada
yang batil dan mengingkari nikmat Allah?”. ( Al-Nahl [16]: 72)
Ditengah arus media elektronik dan media cetak yang makin terbuka, aktifitas
keluarga-keluarga di lingkungan muhammadiyah (1) dituntut perhatian dan
kesungguhan dalam mendidik anak-anak serta menciptakan suasana yang harmonis
agar terhindar dari pengaruh negative dan tercipta suasana pendidikan positif sesuai
dengan nilai-nilai Islam; (2) dituntut keteladanannya untuk menunjukkan
penghormatan dan perlakuan yang ihsan terhadap anak-anak dan perempuan serta
menjauhkan diri dari praktik-praktik kekerasan terhadap anggota keluarga dan
penelantaran kehidupan mereka; (3) perlu memiliki kepedulian social dan
membangun hubungan social yang ihsan, islah dan ma’ruf dengan tetangga-tetangga
sekitar maupun hubungan social yang lebih luas di masyarakat sehingga tercipta
Qaryah Thayyibah dalam masyarakat setempat, (4) pelaksanaan sholat dalam
26
kehidupan keluarga harus menjadi prioritas utama, dan kepala keluarga jika perlu
memberikan sanksi yang bersifat mendidik.
Gambaran aktifitas keluarga seperti diatas tidak dapat dijumpai dalam
pengertian disiplin ilmu apapun, kecuali dalam Islam. Jika aktifitas tersebut dapat
terpenuhi dengan baik dalam kehidupan keluarga muslim, maka jadilah kehidupan
keluarga tersebut bagaikan di “surga” sebagaimana digambarkan oleh Rasulullah
Saw. tentang keluarganya. Tapi sebaliknya jika karakteristik tersebut tidak dapat
terpenuhi, maka kehidupan keluarga tersebut bagaikan di dalam “ neraka”.
Oleh sebab itu, hakikat mengenai suatu masyarakat dari berbagai sisinya
sesungguhnya tidak lain merupakan cerminan dari realitas kehidupan masing-masing
keluarga dalam masyarakat itu sendiri. Jika kehidupan keluarga itu baik dan benar,
maka baik dan benarlah kehidupan masyarakatnya, demikian pula sebaliknya.
27
Pernikahan yang berarti perkawinan atau berpasangan, sesungguhnya
merupakan sunnatullah yang berlaku bagi semua makhluknya. Hal itu dijelaskan
dalam al-Qur’an sebagai berikut:
“Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu menyadari
(kebesaran Allah)”. (Al-Dzariyāt [51]:49 )
28
suatu kualitas kecintaan yang tiada terbatas, sejalan dengan makna firman Allah:
Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu ( Q. S. Al-A’raf [7]:156 ).
Dengan kualitas kecintaan yang mencapai tahap tertinggi, yakni “rahmah”,
maka perkawinan yang sah akan dapat mencapai keluarga yang “sakinah”, yaitu
keluarga yang mampu mencapai kebahagiaan hidup.
29
Itulah petunjuk Allah tentang persoalan pernikahan yang merupakan
perjanjian berat bagi yang melakukannya. Dan dari penjelasan tersebut dapat
ditangkap beberapa catatan penting sebagai berikut:
1. Dilarang mewarisi wanita secara paksa seperti terjadi pada zaman jahiliyah di
Arabia.
2. Dilarang berlaku kasar kepada wanita hanya karena soal harta benda.
3. Keharusan menggauli wanita dengan cara yang baik dan benar.
4. Jika suami benci atas perilaku istri, maka janganlah terburu-buru mengambil
keputusan negatif (menceraikan), karena mungkin di balik semua itu Allah
menyediakan kebaikan yang banyak.
5. Jika harus berganti istri (dengan cara yang sah dan benar), maka harta yang telah
diberikan kepadanya tidak boleh diminta kembali sedikitpun, sebab hal itu
merupakan perbuatan jahat yang jelas dan juga keonaran.
6. Pernikahan yang sah adalah merupakan sebuah perjanjian yang berat, karena itu
hubungan suami istri harus dijaga dengan baik dan tidak dianggap enteng, serta
disikapi sembrono.
7. Telah dijelaskan siapa-siapa yang boleh dinikahi dan yang tidak boleh dinikahi.
Ketentuan ini penting karena berkaitan dengan aspek hukum Islam yang lain,
seperti; persoalan nasab, warisan dan kemanusiaan.
8. Hubungan lelaki-perempuan harus didasarkan pada pernikahan yang sah dan
terbuka (diketahui umum), dan tidak boleh dilakukan dalam bentuk hubungan
rahasia atau “gelap”.
9. Jika (zaman dahulu) tidak mampu kawin dengan wanita merdeka dan harus kawin
dengan budak yang diperoleh secara sah sesuai ketentuan yang berlaku, maka
dalam hal itu harus dilakukan dengan seijin keluarga wanita.
10. Dan budak perempuan itu pun harus dinikahi secara terbuka, dan tetap tidak boleh
dilakukan sebagai hubungan gelap dalam bentuk hubungan tersembunyi atau
sebagai “wanita simpanan”.
30
11. Jika diduga terjadi penyelewengan, maka hukuman tetap harus ditegakkan, bagi
wanita budak mendapatkan separuh hukuman wanita merdeka, sesuai dengan
kondisi sosial budaya pada waktu itu.
12. Hal itu dilakukan untuk mencegah terjadinya perzinahan. Namun seseorang tidak
perlu tergesa-gesa menuduh, dan lebih baik bersabar sampai ada bukti yang nyata.
13. Itu semua merupakan hukum hubungan lelaki-perempuan yang bersifat universal
yang telah berlaku pada umat-umat terdahulu, dengan beberapa variasi.
Dari beberapa catatan tersebut, jika dicermati akan tampak jelas dari tujuan
setiap pernikahan, yakni persoalan perlindungan hak-hak asasi, serta harkat dan
martabat wanita.
Dalam al-Qur’an tidak ada penjelasan yang lebih rinci daripada persoalan
pernikahan dan implikasi hukumnya, karena memang unit keluarga merupakan sendi
utama masyarakat dan pilar negara. Jika kondisi setiap keluarga baik, maka baiklah
masyarakat dan tegaklah negara dengan kokohnya.
31
2. Tidak sedang masa “iddah”, yakni masa menunggu, karena wafat suaminya, dan
dicerai atau hamil,
3. Tidak termasuk wanita yang dilarang untuk dinikahi.
Adapun keberadaan seorang wali bagi calon suami tidak diperlukan, tetapi
bagi calon istri dinilai mutlak keberadaannya maupun izinnya oleh kebanyakan
ulama’ berdasarkan hadis Rasulullah Saw: “Tidak sah pernikahan seseorang kecuali
dengan (izin) wali”. ( HR. Ahamd dari Abu Hurairah )
32
33
3. Sedang pendapat yang mengatakan bahwa pernikahan dengan
Ahlul kitab adalah mubah hukumnya, didasarkan pada al-Qur’an :
34
1. Pernikahan Mut’ah, yakni pernikahan untuk sementara waktu. Misalnya;
seorang laki-laki menikahi seorang wanita untuk waktu sebulan atau setahun.
Hal itu didasarkan pada hadis dari Ali r.a., bahwa Rasulullah Saw. melarang
pernikahan mut’ah serta daging keledai liar pada saat perang Khaibar (HR.
Muslim).
Pernikahan mut’ah hukumnya tidak sah. Oleh sebab itu pernikahan tersebut
harus dibatalkan, sedang mahar (mas kawin) tetap harus diberikan jika suami
tersebut telah menggauli istrinya, tapi bila belum menggaulinya, maka tidak
wajib memberikan mahar.
2. Pernikahan Sighār, yaitu pernikahan yang dilakukan sesama orang tua atas
nama anak masing-masing yang masih kecil, baik keduanya saling memberi
mahar atau hanya salah satunya saja, maka hal itu dilarang berdasarkan sabda
Rasulullah Saw: Tidak ada nikah syighār dalam Islam ( HR. Muslim ).
Abu Hurairah berkata: Rasulullah Saw. melarang nikah syighar. Adapun
yang dimaksud dengan nikah syighar adalah seseorang berkata: Nikahkanlah
aku dengan putrimu niscaya aku menikahkanmu dengan putriku, atau ia
berkata : Nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu niscaya aku
menikahkanmu dengan saudara perempuanku ( HR. Muslim ).
Abdullah bin Umar r.a. berkata : Sesungguhnya Rasulullah Saw. melarang
nikah syighar. Adapun nikah syighar ialah seorang bapak menikahkan seseorang
dengan putrinya dengan syarat bahwa orang itu harus menikahkan dirinya
dengan putrinya, tanpa mahar di antara keduanya. ( HR. Muttafaq ‘alaih )
3. Pernikahan Muhallil, yaitu suatu pernikahan seorang wanita yang telah
dithalaq tiga oleh suaminya, yang karenanya suaminya diharamkan untuk
rujuk kepadanya. Hal itu berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah
[2]: 230:
35
“Kemudian jika suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang
lain”.
Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata: Rasulullah Saw. melaknat muhallil (orang
yang menikahi mantan istrinya) dan muhalli lahu (orang yang menjadi
perantaranya. (HR. Al-Tirmidzi)
4. Pernikahan orang yang ihram, yaitu pernikahan orang yang sedang
melaksanakan ihram haji maupun umrah dan belum memasuki waktu tahallul.
Hal itu didasarkan pada hadis Rasulullah Saw. sebagai berikut: Orang yang
sedang menunaikan ihram tidak boleh menikah dan tidak boleh menikahkan
(HR. Muslim ).
5. Pernikahan dalam masa iddah, yaitu suatu pernikahan dimana sang istri
sedang menjalani masa iddah (tunggu), karena penceraian atau suaminya
meniggal dunia. Hal itu berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah,
ayat 235.
6. Pernikahan tanpa wali, yaitu pernikahan yang dilakukan seorang laki-laki
dengan seorang wanita tanpa seizin walinya. Larangan itu berdasarkan hadits
Rasulullah Saw. sebagai berikut: Tidak ada nikah tanpa wali ( HR. Ahmad ).
7. Pernikahan dengan wanita kafir selain wanita-wanita Ahlul kitab, berdasarkan
firman Allah dalam surat al-Baqarah [2]: 221, “Dan janganlah kamu nikahi
wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman”.
Jadi seorang muslim haram menikahi wanita kafir dari kalangan agama
majusi, komunis atau penyembah berhala. Demikian pula wanita muslimah
haram menikah dengan laki-laki dari kalangan Ahlul kitab atau orang kafir
dari non-ahlul kitab, berdasarkan firman Allah dalam surat al-Mumtahanah
[60]: 10 sebagai berikut: “Mereka (wanita–wanita muslimah) itu tidak halal
bagi orang-orang kafir dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi
mereka”.
36
8. Menikahi Mahram (wanita yang haram dinikahi, sebagaimana telah tercantum
dalam surat al-Nisa’: 23-24 ).
Istilah pacaran , tunangan dan nikah siri dalam agama Islam tidak ada , istilah
itu muncul karena budaya masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia. Karena
pengaruh globalisasi yang begitu dasyat, maka pacaran, tunangan dan nikah siri jadi
membudaya di lingkungan masyarakat kita. Ada dua potensi yang dimiliki setiap
manusia dalam mengikuti tuntunan Islam, yaitu menolak/ingkar/kufur dan
taat/iman/taqwa . Sikap ini ada dalam Al-Qur’an Surat Asy-syam (91) : 8 :
37
misalnya dengan tukar cincin. Ajaran Islam memberikan tuntunan dengan cara
meminang/ melamar sebagai penghargaan bagi wanita , agar kedudukan wanita
sebagai istri diakui secara hukum, sehingga punya hak dan kewajiban yang sama
dengan suami. Sebagian masyarakat Islam masih ada yang mengikuti budaya
diatas, sehingga sering kita lihat kalau sudah tunangan , boleh dibawa kemana-mana
bahkan tidak pulangpun tidak mengapa, Inilah yang terjadi di masyarakat kita , oleh
karena itu yang ada di dalam Islam bukan tunangan akan tetapi pinangan atau
lamaran. Kemudian setelah pinangan atau lamaran , akan berlanjut ke pernikahan.
Ajaran Islam menuntunkan bahwa dalam pernikahan/walimatul urus harus di
syiarkan atau dipublikasikan agar tidak menimbulkan fitnah. Tetapi istilah nikah
siri adalah pernikahan yang terjadi di masyarakat hanya dihadiri oleh keluarga
kedua pihak atau didepan seorang yang dianggap kyai dan beberapa saksi tanpa
tercatat di pemerintah sehingga tidak punya bukti secara syah ( buku nikah) menurut
hukum Agama dan Negara. Dan apabila punya anak , tentu akan kesulitan dalam
mendapatkan akte kelahiran bagi si anak, juga dalam pembagian hak waris apabila
mau menuntut secara hukum maka si anak dan istri dalam posisi lemah secara
hukum. Kondisi seperti ini hendaknya manjadi perhatian bagi para wanita,
berfikirlah yang jernih dalam melangkah kearah pernikahan siri, meskipun secara
agama sah, tetapi Muhammadiyah mengajak semua umat islam agar menghindari
pernikahan siri, karena persoalan nikah siri ini terjadi karena ketidaktahuan atau
dibuat tidak tahu oleh orang-orang yang punya kepentingan pribadi demi
kesenangan sendiri dan sesaat.
38