Anda di halaman 1dari 50

Daftar isi

Kata Pengantar (1)

-HAM & Perampasan Ruang Hidup: Proletarisasi Negara


Kesejahteraan (4)

-Yang benar-benar mencintai kehidupan adalah Munir (8)

-Tariklah Hakku tapi tidak untuk cintaku (Menakar kembali


resistansi rakyat Palestina (11)

-Manusia atau Manuk-sia? (19)

-Kami dianggap berbeda, dan mereka tidak suka perbedaan (21)

-Perempuan dan Hak Asasi Manusia (26)

-Politik Demagogi: Pembodohan Pendidikan Melalui Hegemoni


Negara (30)

-Puisi-puisi pilihan dalam merayakan Hari Hak Asasi Manusia (33)

-Idealitas dan Realitas HAM atas Subaltern Classes, Dalam


perspektif Marhaenisme (40)

-Tren Moratorium & Penghapusan eksekusi mati demi Hak untuk


Hidup (44)

Biodata (46)

1
KATA PENGANTAR

Hari Hak Asasi Manusia menjadi gelar hajat tahunan yang diselenggarakan
di seluruh dunia pada tanggal 10 Desember. Momentum merayakan dan
merefleksikan Human Rights Day dinyatakan oleh International Humanist and
Ethical Union (IHEU) sebagai hari resmi perayaan kaum humanis internasional.
Dalam konteks ke-Indonesia-an, 10 Desember dirayakan melalui ragam
aktivitas. Mulai dari kampanye gender equality dan anti-kekerasan oleh para
perempuan, momen untuk mengembalikan memoari kolektif menyoal genosida 65,
tuntutan keadilan untuk korban penembakan dan penghilangan paksa aktivis pro-
demokrasi 98, persekusi dan kriminalisasi aktivis mahasiswa, buruh dan petani
pasca-reformasi, hingga dokumen-dokemen sejarah pelanggaran hak asasi manusia
lainnya yang luput dibaca dan diselesaikan oleh negara.
Zine Human Rights Day: A Reflection of Untidar Activist ini adalah sebuah
upaya untuk merespon sekaligus merefleksi momentum Hari Hak Asasi Manusia
oleh teman-teman Untidar yang masih memiliki fasilitas kebudayaan untuk
mengucapkan ulang ingatan tentang pelanggaran HAM.

Krisnaldo Triguswinri menyodorkan keterangan deskriptif menyoal analisis kelas


dan disrupsi hak sipil warga dalam banyak titik api konflik ruang yang berlangsung di
Pulau Jawa: Temon hingga Gunem. Luqman K.A. mengucapkan orbituari kematian
Munir yang ia asumsikan sebagai Cahaya Penegak HAM di Indonesia: ia diracun di
atas pesawat saat hendak berangkat studi ke Belanda. Seperti Martin Luther King,
Munir adalah pahlawan hak asasi manusia Indonesia.
Tio Rivaldi secara spesifik mengurai keinginan terbebasnya Palestina dari
kebiadaban ekspansi Zionis-Israel. Kesadaran empiris, kebebasan manusia,
kebahagiaan komunitas dan hak hidup dikemas puitis dalam ''The Power of Love
From Palestine''. Sedangkan Geronimo secara singkat melempar 10 point menyoal
HAM yang teralienasi. tanpa tendeng aling-aling, ia melanjutkannya dengan
memberikan pertanyaan ''benarkah HAM memperjuangkan manusia?''.
Elvin Setiawan mencoba memberi sebuah analisis terhadap persoalan HAM
dan kaitannya dengan genk kriminal: kejahatan, Yakuza hingga Undang-
Undang Anti-Konspirasi. Hermowo Pribadi justru balik pada wilayah
transendental manusia: Perempuan dan Hak Asasi Manusia. Ia mencoba
menggambarkan persoalan patriarki dan mengerikannya tragedi 1965.

2
Siam Khoirul Bahri mengekplorasi hegemoni demagogi para demagog dalam
wilayah pendidikan yang berhasil melumpuhkan kesadaran kritis dan konsep
humanis para pedagog pendidikan. Sedangkan Reza Pahlevi tampil dengan
analisis tajam menyoal puisi-puisi yang inheren dengan perayaan HAM: dari
Rendra hingga Maya Angelou.
Arief Budianto membicarakan HAM melalui perspektif Marhaenisme sekaligus
meminjam konsep Gramscian tentang subaltern classes demi terucapnya problem
kemiskinan. Yang terakhir, Rafi Setiawan tiba to the point untuk membicarakan
kontroversi eksekusi mati yang dianggap bertentangan dengan hak hidup
manusia.
Dengan demikian, merayakan Hari Hak Asasi Manusia adalah upaya untuk
merayakan peradaban etis manusia. Etis artinya mampu menghargai kebebasan
individual, kedamian komunitas, pilihan eksistensial dan martabat manusia.
Pada dasarnya, HAM adalah alamiah. Pada intinya, HAM adalah universal. Pada
akhirnya, HAM adalah nilai tertinggi yang melekat pada setiap manusia.

Happy Human Rights Day!!

Magelang. 11 Desember 2018

Ficky Jihan Ababa

3
HAM & Perampasan Ruang Hidup:
Proletarisasi Negara Kesejahteraan
Oleh: Krisnaldo Triguswinri

Bagi mereka yang bertahan di Rembang dan Pati, di hadapan rezim bandara di
WTT dan Majalengka, di bawah ancaman tambang di Kulon Progo, Lumajang,
Sumatera Utara, Jambi hingga Bangka, di bawah bedil di Urutsewu dan Bima, di
hadapan rezim konsesi dari Indramayu hingga Moromoro, yang bertahan di
hadapan PLTU dari Batang hingga lereng Ciremai, dan sudut-sudut kampung kota
yang digempur penggusuran – Morgue Vanguard
Hak asasi manusia masih terus diperbincangkan, terutam menyoal agenda
politik pembangunan dan ekonomi bisnis negara (investasi) yang berimplikasi pada
penggusuran dan perampasan ruang hidup masyarakat. kendati pembangunan
menjadi parameter kemajuan sebuah bangsa, faktanya, warga negara menjadi
korban setelahnya: menderita dibawah bendera pembangunan.
Regulasi pro investasi koheren dengan banalitas program rezim
infrastruktur yang terlegitimasi melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN). Rezim masif mempromosikan pembangunan demi
pengentasan kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, mengurangi kesenjangan,
efisiensi aktivitas ekonomi, dll. Sialnya, pemaksaan kehendak, irasionalitas proyek
dan alienasi warga dari ruangnya masih menjadi motif utama pemerintah dalam
merampas, sehingga warga mengalami disrupsi atas hak-hak sipilnya.
Menurut catatan Konsorium Pembaruan Agraria (KPA) tahun 2016 di
Pulau Jawa terjadi 450 konflik agraria dengan skop perampasan ruang hidup
1.265.027 hektar dan melibatkan 86.745 KK. Kemudian sepanjang 2017 terjadi 659
konflik agraria dengan skop perampasan ruang hidup 520.491.87 hektar dan
melibatkan 652.738 KK.
Eskalasi perampasan ruang hidup naik 50% dari tahun 2016 ke 2017 dan
kuantitasnya mungkin akan meninggi pada akhir 2018, mengingat beberapa bulan
belakang forum IMF-World Bank di Bali banyak membicarakan perluasan investasi
bidang ekstraktif di Indonesia, artinya akan lebih banyak lagi tanah petani, hutan
adat, dan perkebunan konservasi diprivatisasi oleh the global financial capitalism.
Konsekwensinya, rakyat akan kembali kehilangan hak atas ruang hidupnya.
Dari diskursus krusial menyoal perampasan ruang hidup, Indonesia
memasuki era kapitalisme tata ruang yang dihegemoni oleh kekuatan negara dan
aktor non-negara (korporasi) yang, misalnya, pembangunan pabrik semen di

4
Rembang bertentangan dengan hukum lingkungan, namun korporasi yang di-
backup oleh pemerintah memanipulasi Cekung Air Tanah (CAT) menjadi wilayah
layak industri besar. Kemudian, demi pembangunan New Yogyakarta International
Airport, raja rela menggusur 6 desa yang mengakibatkan membesarnya glombang
protes ketidakadilan dan kemarahan dari para warga: kejahatan perampasan ruang
hidup terjadi karena elite dan pemodal buta huruf terhadap persoalan hak asasi
manusia.
Permasalahan yang muncul kemudian adalah, terjadinya pengabaian
terhadap hak-hak sipil, misalnya, perampasan paksa, intimidasi, manipulasi,
kriminalisasi, hingga pemiskinan akibat hilangnya ruang hidup yang adalah
lumbung ekonomi warga. Oleh karena itu, potensi terjadinya segala jenis
pelanggaran hak asasi manusia (hak ekonomi, sosial, budaya dan politik) bersarang
dalam lokasi imanen manusia: perampasan ruang hidup.

Proletarisasi Negara Kesejahteraan


The risk of unemployment, accident, ilness, old age, and death of the
breadwinner must be covered largely through welfare provisions of the state –
Jurgen Habermas
Ide dasar Negara kesejahteraan beranjak dari abad ke-18 ketika Jeremy
Bentham (2000) mempromosikan gagasan bahwa pemerintah memiliki tanggung
jawab untuk menjamin the greatest happiness (atau welfare) of the greatest
number of their citizenz. Bentham menggunakan istilah “utility‟ atau kegunaan
untuk menjelaskan konsep kebahagiaan atau kesejahteraan. Berdasarkan prinsip
utilitarianisme yang ia kembangkan, Bentham berpendapat bahwa sesuatu yang
dapat menimbulkan kebahagiaan ekstra adalah sesuatu yang baik, dan sebaliknya,
sesuatu yang menimbulkan sakit adalah buruk. Menurutnya, aksi-aksi pemerintah
harus selalu diarahkan untuk meningkatkan kebahagian sebanyak mungkin orang.
Seperti Bentham, keadilan pembangunan harus bersifat maksimal.
Artinya, bila pembangunan diajukan demi meningkatkan kesejahteraan warga,
maka jangan ada penderitaan yang berujung pemiskinan. Dalam utilitarianisme,
prefensi kebahagiaan manusia diukur melalui nilai universalitas, bukan mayoritas
atau minoritas. Pembangunan diwajibkan membawa 'utility' kepada masyarakat,
tidak akumulasi surplus value oleh elit dan pemodal.
Di Indonesia negara kesejahteraan kerap diterangkan sebagai transformasi
kebijakan publik yang beririsan dengan upaya negara untuk menjamin pelayanan
kesejahteraan warga, misalnya, pengurangan kemiskinan. Lebih jauh lagi, negara
kesejahteraan berusaha membebaskan warganya dari ketergantungan pada
mekanisme pasar untuk mendapatkan kesejahteraan (dekomodifikasi). Saya
hendak menguji logical fallacies ini:

5
Pertama, masyarakat Tegaldowo di Pegunungan Kendeng berasumsi
bahwa tingkat kesejahteraan bagi mereka adalah makan tiga kali sehari, maka
mereka tidak membutuhkan pabrik semen. Yang salah dari negara adalah
mendefinisikan tingkat kesejahteraan warga hanya berdasarkan kepimilikan atas
properti atau status sosial, katakanlah, warga sejahtera diasosiasikan dengan
mereka yang berkerja sebagai pegawai, bukan petani. Sebaliknya, bila kebijakan
yang disodorkan pemerintah atas nama kesejahteraan dengan mengalihfungsikan
corak ekonomi warga yang agraris menjadi industri, maka logis warga tidak
sejahtera, dengan kata lain, kemiskinan akan bertambah.
Kedua, Petani di Kecamatan Temon Kulon Progo kehilangan sumber
penghidupan akibat penggusuran atas rencana pembangunan New Yogyakarta
International Airport. Kendati NYIA diasumsikan menyediakan lapangan
pekerjaan, faktanya, warga justru kehilangan kemandirian ekonomi. petani yang
terbebas dari dominasi pasar, kini dipaksa mengakses pasar. paradoks pemerintah
adalah, menghendaki dekomodifikasi, tetapi komodifikasi yang dilakukan.
Dalam hakekatnya negara kesejahteraan dapat digambarkan
keberadaannya sebagai pengaruh dari hasrat manusia yang mengharapkan
terjaminnya rasa aman, ketentraman, dan kesejahteraan agar tidak jatuh ke dalam
kesengsaraan. Alasan tersebut dapat digambarkan sebagai motor penggerak
sekaligus tujuan bagi manusia untuk senantiasa mengupayakan berbagai cara demi
mencapai kesejahteraan dalam kehidupannya. Sehingga ketika keinginan
tersebut telah dijamin dalam konstitusi suatu negara, maka keinginan tersebut
harus dijamin dan negara wajib mewujudkan keinginan tersebut. Dalam konteks
ini, negara ada dalam tahapan sebaga negara kesejahteraan.
Dengan demikian, realitas negara kesejahteraan yang diimplementasikan
oleh rezim infrastruktur menggambarkan watak koersif dari kekuasaan kapitalistik
dengan menciptakan rasa takut, bukan rasa aman. Menghadirkan keterpecahan,
bukan ketentraman. Penderitaan, bukan kesejahteraan. Walaupun ia dijamin oleh
konstitusi, negara dan kapitalisme tetap hegemonik.
Kapitalisme menghendaki proletarisasi atau proses yang bertujuan
memisahkan orang yang memiliki fasilitas produksi untuk masuk pada kerja-kerja
upahan. Proletarisasi acap dilakukan melalui perampasan atau dengan difrensiasi
kelas. Akumulasi dan ekspansi kapital menjadi instrumen yang melegitimasi proses
proletarisasi yang berakhir pada pemiskinan.
Menurut Dede Mulyanto (2018), proletarisasi merupakan prasyarat
beroperasinya kapital. Tanpa proletariat tidak akan ada kapital, dan tanpa kapital
tidak akan ada kapitalis. Proses penciptaan hubungan sosial produksi kapitalis
tidak hanya akan membawa slip gaji ke dalam barisan benda kultural kelas
pekerja modern, tetapi sering kali juga menorehkan luka darah pada

6
korban-korban di sepanjang proses penciptaannya seperti dikatakan oleh Marx
secara puitis, “kapital hadir mengucur deras dari kepala hingga kaki, dari
setiap lubang pori-pori, dengan darah dan kotoran” .

Kesimpulan
Perampasan ruang hidup adalah masalah fundamental hak asasi manusia.
Pemiskinan karena akumulasi berkorelasi dengan arogansi rezim gusur.
kontradiksi negara yang giat mempromosikan negara kesejahteraan (welfare state)
sebagai bagian primer yang terhubung dengan demokratisasi, dibatalkan oleh
membesarnya angka pelanggaran hak asasi manusia korban pembangunan.

Happy Human Rights Day.


We shall overcome, someday!

7
Oleh: Luqman K. A.

Munir Said Thalib, wajahnya yang kita temukan di


setiap sudut-sudut kota. Mulai dari mural, poster,
stiker, dan kaos dengan gambar wajah Munir selalu
dijumpai dimana pun. Saya sendiri tidak begitu tau
tentang Munir. melihat gambar wajahnya sering
saya temui disetiap sudut tempat memunculkan
rasa penasaran; Siapa Munir dan Mengapa Munir
dibunuh? Sepenting apakah munir, sampai-sampai
gambar wajahnya tersebar dimana-mana. Wajar
sajalah, generasi yang lahir pada angkatan 1997an
seperti saya tentu asing dengan sosok Munir.
Setelah saya sedikit tau tentang Munir mulailah saya paham dan mengerti kenapa
gambar wajah-wajah Munir terpampang dimana-dimana. Dalam kesempatan ini
saya akan berusaha menarasikan ulang Munir dengan sederhana menyesuaikan
sudut padang generasi milenial. Saya yakin, teman-teman pun sebetulnya
menyimpan pertanyaan yang sama dengan saya tentang Munir, dan Kenapa Munir
dibunuh? dan membuat gambar wajahnya termpapang disetiap tempat.

Munir adalah Cahaya Penegakan HAM di Indonesia


Bicara tentang HAM adalah bicara soal kemanusia. Begitupun, bicara
tentang Munir bicara soal kemanusian. Munir adalah aktivis HAM di Indonesia
yang paling lantang bicara soal HAM pada masa itu dan harus kehilangan nyawa
diatas langit Rumania didalam pesawat Garuda Boeing 747-400 dengan nomor
penerbangan GA-974 dua jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Schipol
Amsterdam, Belanda pada 7 September 2004. Berdasarakan hasil otopsi yang
dilakukan oleh otoritasa Belanda, terdapat 3,1 miligram racun arsenik didalam
tubuh Munir. Tentu bukanlah kematian yang wajar! Hingga saat ini kasus
pembunuhan Munir belum menemui titik terang. Aktor intelektual dalang
pembunuhan Munir hingga sekarang masih belum terungkap.
Semasa hidupnya Munir banyak menangani berbagai kasus, terutama
kemanusian dan pelanggaran HAM. Menjadi penasehat hukum keluarga korban
tragedi Tanjung Priok 1984. Kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah yang
diduga tewas di tangan aparat keamanan pada tahun 1994. Hingga menjadi
penasehat hukum korban penghilangan orang secara paksa terhadap 24 aktivis dan
mahasiswa pada 1997 hingga 1998.

8
Munir memperjuangkan keadilan untuk membela aktivis yang hilang diculik pada
masa pemerintahan orde baru dan berhasil mengungkapkannya yang disebut
dilakukan oleh TIM Mawar dari Kopassus TNI AD. Dan masih banyak lagi kasus
yang pernah ditangani oleh Munir.
Sikap beraninya dalam menentang ketidakadilan oleh beberapa pihak pada
masa pemerintahan Orde Baru, membuat Munir tidak disukai pemerintah. Bagi
generasi saat ini, yang terlahir dalam nikmat demokrasi dan tidak merasakan atau
mengalami bagaimana situasi dan kondisi pada masa Orde Baru cenderung tidak
memahami kelam dan mengerikannya pada masa Orde Baru. Masa dimana rezim
otoriter yang mengamputasi kebebasan masyarakat sipil. Keterlibatan militer
dalam penyusunan agenda orde baru yang memang untuk menyiapkan militer
memimpin rezim ini, berimbas besar terhadap berbagai lini kehidupan masyarakat
sepanjang masa Orde Baru (Prihatanti, Maskun, dan Syaiful M, 2013) Upaya
militerisme yang dilakukan pada masa Orde Baru masih menyisakan traumatis bagi
negara ini. Berbagai riset sosil psikologis tentang konflik sosial maupun kekerasan
menunjukan adanya hubungan antara ingatan (traumatik) sosial dengan kehidupan
kebangsaan (Pennebaker, 1997).
Kasus pembunuhan munir menambah potret buram penegakan hukum dan
HAM di negara ini yang katanya menganut sistem demokrasi. Sistem demokrasi
yang seharusnya menjunjung tinggi keadilan, mengutamakan nilai kemanusiaan,
menjamin hak dan keamanan bagi masyarakat warga negara harusnya penegakan
Hukum dan HAM di negara ini menjadi prioritas. Sistem demokrasi macam apa
yang diterapkan di negara ini? Sistem demokrasi oligarki kah? Yang hanya
melindung elit penguasa? Atau negara ini sengaja menutup mata dan tidak mau
terkarunia untuk melihat dan menghargai betapa pentingnya HAM dan
Kemanusiaan. Terjadinya pergantian penguasa negara juga sama saja dalam
menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat. Dan yang paling menjijikan, janji
penyelesaian kasus HAM berat masa lalu hanya menjadi omong kosong belaka para
calon pemimpin negara ini untuk menarik simpatik dan dukungan massa untuk
menjadi penguasa.
Meskipun saya tidak mengenal Munir, mengetaui sepak terjang Munir
dalam memperjuangkan HAM di Indonesia saya yakin Munir adalah orang baik.
Sampai disini saya sudah mulai memahami kenapa Munir begitu penting sampai-
sampai gambar wajahnya bertebaran dimana-mana. Mau aktivis ataupun bukan,
mereka yang peduli tentang HAM dan Kemanusian dan berupaya mengingat Munir
dalam berbagai Aksi salah satunya dengan menyebar gambar-gambar wajah Munir
sebetulnya merupakan upaya dalam mengingatkan kita; Selama kasus pembunuhan
Munir belum terungkap masih ada orang Jahat berada di negara ini yang bebas dan
tidak tersentuh hukum atas tindakannya menghilangkan nyawa.

9
Munir adalah peringatan untuk kita semua. Bahwa siapa saja dapat
menjadi korban atas congaknya kekuasan. Bagaimana kotornya cara para penguasa
melindungi kekuasaannya dengan menebar ketakutan dengan rentetan ancaman.
Membuktikan bahwa Munir atas pikiran dan keberaniannya tidak dapat
diintervensi oleh rezim yang paling opresi sekali pun. Munir adalah keberanian.
Keberanian menyuarakan kebenaran, keberanian melawan rezim yang lalim.
Dengan mengingat Munir dan membangun memori tentang Munir, serta turut
memperkenalkan pada generasi selanjutnya adalah bagian dari aksi melawan.
Bahwa rezim yang paling opresi pun tidak akan bisa membungkam dan
melenyapkan kebenaran. Kebenaran akan terus ada dan berlipat ganda. Seperti
Munir, akan terus ada dalam ingatan setiap generasi.
Bicara tentang Munir hari ini kita bicara tentang perlawanan. Rezim yang
otoriter dan sering mengunakan kekerasanlah yang sebetulnya dilawan Munir.
Munir adalah orang yang sangat mencintai kehidupan. Tindak kekerasan,
penculikan, bahkan pembunuhan yang banyak dilakukan oleh rezim Orde Baru
adalah pratik perbuatan yang menghina kemanusian. Tentu buat orang yang benar-
benar mencintai kehidupan seperti Munir diam melihat pratik semacam itu adalah
pengkhianatan, berontak dan melawan terhadap pratik-pratik keji semacam itu
adalah tekad dalam menebas ketidakadilan. Karena sejatinya yang dilakuakan
Munir untuk memperjuangan kehidupan bernegara yang humanis tanpa kekerasan.
Munir menolak tunduk dan menjadi penentang atas kekuasaan yang mendominasi
dengan kekerasan, kesewenang-wenangan penguasa memang harus dilawan.
Memilih jalan sunyi dan menerima banyak ancaman, Munir tetap lantang dan gigih
melawan memperjuangkan pembebasan atas nama kemanusiaan.

Jangan diam! Terus Lawan! Sekalipun hanya dalam pikiran!

Sepenggal lirik lagu “Pulanglah” Iwan Fals untuk Munir yang sangat di rindukan

Selamat jalan pahlawanku


Pejuang yang dermawan
Kau pergi saat dibutuhkan saat dibutuhkan
Keberanianmu mengilhami jutaan hati
Kecerdasan dan kesederhanaanmu
Jadi Impian

10
Oleh: Tiorivaldi

merasuk dalam setiap panca indera kita, mengalurkan proses secara kontinu apa
yg kita pahami lewat akal sehat. Kesadaran diri beroleh dari pemahaman dan
pembelajaran masing-masing individu dalam memandang alam semesta. Karena
untuk meningkatkan kesadaran yang lebih luas, kita menemukannya dari setiap
pengalaman yang kita alami. Artinya, kesadaran yang lebih luas tersebut dicapai
dari pengetahuan yang bukan berasal dari pikiran kita, melainkan berasal dari
suatu pembelajaran yang benar akan sebuah pengalaman dalam mempersepsi
alam semesta. Sehingga manusia dapat mencapai legitimasi yang cukup ilmiah
dalam pernyataannya dari pemahaman secara empiris, terhadap permasalahan
yang terjadi berdasarkan pengamatannya langsung di lapangan.
Seseorang yang berpijak di lingkungan satu dengan orang lainnya yang
berpijak di lingkungan dua, beroleh keadaan yang berbeda. Yang akhirnya
terciptalah masing-masing individu yang mempunyai warna yang berbeda dalam
kesempatannya menyimpulkan sebuah objek analisa. Ada yang menapakkan kaki di
lingkungan bergedung tinggi dan adapun yang menapakkan kaki di lingkungan
berhutan rimba. Sama juga, ada yang tiap waktunya melihat langit dalam keadaan
cerah tanpa sebuah kemurungan. Dan di waktu yang sama, di medan lain ada yang
sering melihat eloknya pesawat meludahi kawasannya. Iya, bukan sembarang ludah
berliur yang menyampahi wajah seseorang. Akan tetapi ludahnya bahkan tidak
becek, ia berbentuk padat dan keras serta dapat menciptakan kobaran api bagi alam
yang menyentuhnya.
Maka, tak salah jika tingkat kepedulian dan kedewasaan seseorang
terangkum lewat pengalaman lingkungannya masing-masing. Seseorang yang
dahulu berdiri dalam keadaan terjajah, akan menimbulkan surplus semangat
nasionalis dan berjiwa tidak takut pada kematian. Berbeda dengan mereka yang
lahir dalam keadaan damai tanpa keraguan akan kemungkinan tergolek pada
kematian, serta tentram tanpa berpikir akan busung lapar tak beroleh asupan
makanan. Kondisi yang pertama tidak dipungkiri jika mereka memiliki mentalitas
lebih dibanding dengan kondisi yang kedua. Maka dari itu mereka yang pernah
berada pada kondisi pertama, akan merasakan simpati kepada bangsa yang masih
dalam keadaan keterjajahan. Itulah kesadaran diciptakan lewat proses berinteraksi
kepada realitas dirinya di dalam berkehidupan. Dan pada akhirnya kesadaran itulah
yang akan menentukan bagaimana seseorang akan bersikap di dalamnya.
11
Indonesia dan Palestina
Indonesia berdiri sebagai negara yang pernah beroleh pengalaman terjajah
oleh bangsa lainnya. Maka, sudah cukup lah realitas yang di alami secara langsung
tersebut menjadi gelora bangsa Indonesia sebagai pengutuk terciptanya
penjajahan. Bisa kita lihat dengan dicantumkannya di dalam Pembukaan Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 pada alinea pertama yang berbunyi:
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab
itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Sudah menjadi kemestian jika dari isi tersebut, Indonesia akan mengutuk
setiap penjajahan dan eksploitasi terhadap bangsa lain yang terlingkup dalam
lingkungan bumi. Maka Indonesia ikut turut serta mengambil peranan tersebut
lewat Pembukaan UUD 1945 alinea keempat, bahwa Indonesia:
“...ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial...”.
Sungguh kenyataan tersebut terangkum kembali dalam sebuah ungkapan cinta dari
Sang Proklamator kemerdekaan Indonesia kepada bangsa Palestina:
"Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang
Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan
Israel," (Soekarno, 1962).
Dukungan kepada Palestina selain karena kesadaran empiris bangsa
Indonesia. Lebih dari itu, dukungan terhadap Palestina bisa dikatakan merupakan
hutang yang mesti dibayarkan para pendiri Republik. Mengingat bahwa bangsa
Palestina merupakan pihak pertama yang mengakui Indonesia berdaulat. Sebagai
contoh, pada 6 September 1944, Radio Berlin berbahasa Arab menyiarkan 'ucapan
selamat' mufti Besar Palestina Amin Al-Husaini (melarikan diri ke Jerman pada
permulaan perang dunia ke dua) kepada Alam Islami, bertepatan 'pengakuan
Jepang' atas kemerdekaan Indonesia. Berita yang disiarkan radio tersebut dua hari
berturut-turut disebar-luaskan, bahkan harian “Al-Ahram” yang terkenal telitinya
juga menyiarkan. Selain itu, hal ini ditandai juga dengan penerimaan Syekh Amin
Al-Husaini yang berkenan menyambut kedatangan Panitia Pusat Kemerdekaan
Indonesia di tahun pertama deklarasi kemerdekaan secara penuh.
Banyak masyarakat Indonesia bahkan pejabat pemerintahan Indonesia
yang pada saat ini tidak mengetahui tentang hal tersebut. Sehingga tidak
mengherankan banyak suara-suara nyaring yang dilontarkan kepada masyarakat
Indonesia bahkan cenderung sinis ketika ada anak negeri Indonesia turut
membantu perjuangan rakyat Palestina. Saya pun sering menemukan ungkapan
“Kenapa kita harus mikirin negara lain? Jika negara sendiri masih banyak yang
harus dibenahi”. Ungkapan tersebut memang cenderung ada nilai logis di
dalamnya, akan tetapi jika kita melangkah lebih jauh lagi kita mesti menyimpulkan

12
dengan skala prioritas serta wilayah kerja internal dan eksternal. Seseorang di
indahkan mengurus wilayah kerja eksternal (di luar dirinya) selama kerja internal
(di dalam dirinya) berada pada kondisi yang baik. Saya harus dalam keadaan rajin
shalat (internal), jika hendak mengajak orang lain untuk shalat (eksternal).
Kemunafikan akan tercipta jika saya mengajak seseorang kepada hal yang
bertentangan sendiri bagi jiwaku. Lalu apa korelasi yang bisa kita simpulkan
dengan kondisi Palestina?
Bahwa bangsa Indonesia saya posisikan sebagai diriku sendiri (internal).
Sedangkan, Palestina berada pada posisi yang lainnya (eksternal). Secara internal,
saya sudah mempunyai suatu modal untuk dapat melangkah ke wilayah eksternal,
yaitu kedaulatan dan kemerdekaan. Jika saya sudah mempunyai modal tersebut,
sudah barang mestinya jika saya diperbolehkan untuk ikut turut serta
memperjuangkan kemerdekaan diwilayah eksternal. Logika semacam itu yang
harusnya kita tangkap. Terlebih lagi, apakah kita tidak merasa malu jika bangsa
yang sudah cukup berkontribusi atas kemerdekaan Indonesia itu. Lalu, kita sendiri
enggan untuk membalas budinya dengan bentuk memperjuangkan kemerdekaan
Palestina. Di sinilah pentingnya mengenal dan mengetahui sejarah, sehingga tidak
mudah dibodohi orang. Ada sebuah ucapan penuh hikmah, “orang yang tahu
sejarah akan punya 'izzah”. Izzah adalah mereka yang memiliki kehormatan,
kekuatan, serta kemuliaan.
“Orang yang paling banyak bersyukur kepada Allah adalah orang yang paling
banyak berterima kasih kepada manusia”. (HR Thabrani).
“Tidak dianggap bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih kepada
manusia”.(HR Abu Daud).

Kartu Merah HAM dari Palestina


Penjajahan adalah menyalahi Hak Asasi Manusia. Hak Asasi Manusia
(HAM) menurut wikipedia adalah prinsip-prinsip moral atau norma-norma, yang
menggambarkan standar tertentu dari perilaku manusia, dan dilindungi secara
teratur sebagai hak-hak hukum dalam hukum kota dan internasional. Indonesia,
menurut Undang-Undang nya Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM bahwa: “Hak
Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,
Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia”.
Dalam diri manusia ada tiga hal yang selalu melekat yaitu hidup,
kebebasan, dan kebahagiaan. Tiga hal ini termasuk dalam Hak Asasi Manusia yang
akan coba kita gelar lebih dalam lagi.
13
Hidup
Setiap manusia yang terlahir di bumi telah diberikan setiap perangkat
penunjang kehidupannya seperti jantung, paru-paru, ginjal, hati, hidung, mulut
dengan fungsinya masing-masing. Jantung yang memompa darah ke seluruh tubuh
manusia, paru-paru yang menukar oksigen dari udara dengan karbon dioksida dari
darah, serta ginjal yang menghilangkan kelebihan air dari tubuh, atau
mempertahankannya saat dibutuhkan. Tuhanlah yang telah memasukkan semua
komponen tersebut untuk bekerja menurut bidang dan fungsinya masing-masing.
Namun, manusia telah bersikap buas untuk menghilangkan kehidupan manusia
lainnya. Sehingga jantung terputus dari pompa, paru-paru berhenti memproduksi
O2 dan CO2, ginjal tak lagi berurusan dengan air. Iya, jangankan untuk mendapatkan
jaminan tempat tinggal, makan, minum jika bahkan hidupnya pun tak menentu
dapat melihat langit cerah di esok harinya. Bentuk Hak Asasi Manusia paling
mendasar yang seharusnya mereka miliki, yaitu hak untuk hidup dan merasakan
keamanan terhadap apa yang hendak terjadi pada dirinya. Tak elok mereka peroleh
hal tersebut selama senjata api selalu ditodongkan bagi mereka, dan langit masih
dipenuhi dengan capung raksasa. Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia
nomor 39 tahun 1999 pada pasal 4 di cantumkan berkaitan asas-asas dasar HAM
yang berbunyi:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak hak manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan keadaan apapun dan oleh siapapun”.

14
Kebebasan dibagi menjadi kebebasan yang berbentuk materi dan non-materi.
Untuk hal yang menyangkut kebebasan materi ini, baik dari kalangan pemuka
agama dan pejuang sosial, mereka bersepakat bahwa hal itu harus diperjuangkan.
Sehingga penindasan terhadap sesama manusia, pengambilan hak saudara sendiri
dan penjajahan di atas dunia merupakan hal yang menjoroki nilai kebebasan materi
tiap manusia. Dan itulah yang waktu-waktu ini tak juga rampung terjadi di bumi
Palestina, Suriah, dan lain sebagainya.
“Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama
dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara dalam semangat persaudaraaan”. (UU RI nomor 39
tahun 1999 pasal 3 ayat 1)

Kebahagiaan
Manusia, adalah sebuah bentuk cita rasa yang begitu kompleks dalam
mempelajarinya. Tak pernah kita benar-benar beroleh pemahaman secara
komprehensif dan mutlak terhadap manusia selain diri kita sendiri. Maka, saat
memandang sebuah kebahagiaan pun, manusia beroleh rasa dan warna yang
berbeda-beda. Kebahagiaan atau kegembiraan adalah suatu keadaan pikiran atau
perasaan yang ditandai dengan kecukupan hingga kesenangan, cinta, kepuasan,
kenikmatan, atau kegembiraan yang intens (wikipedia). Ada yang memandang
harta sebagai sumber kebahagiaan, ada pula yang beroleh kedudukan adalah
kebahagiaan. Para peneliti juga telah mengidentifikasikan beberapa hal yang
berhubungan dengan kebahagiaan: hubungan dan interaksi sosial, status
pernikahan, pekerjaan, kesehatan, kebebasan demokrasi, optimisme, keterlibatan
religius, penghasilan, serta kedekatan dengan orang-orang bahagia lain.
Bagi kita yang berada di tanah lapang nan bebas, kebahagiaan bisa
diperoleh dari mana saja dan kapan saja. Bahkan hanya dengan menonton video
komedi yang tersedia di layar ponsel saja, kita bisa mendapatkan kebahagiaan,
tersenyum dan tertawa. Namun, berbeda dengan mereka yang tanahnya selalu
dirampas oleh pihak yang rakus. Palestina, mereka adalah saudara-saudara kita se-
muslim, jika tak sampai bersaudara dalam satu keyakinan minimal kita adalah
saudara sesama manusia (humanisme). Kebahagiaan mereka direnggut oleh tentara
zionis, senyuman mereka di ambil alih, pesta raya tak lagi disambut dengan
dekorasi yang estetis. Bagaimana mungkin mereka bisa begitu saja tertawa lepas,
jika melihat dengan mata kepala sendiri keluarga mereka dibunuh satu persatu
dihadapan mereka sendiri. Tak juga dapat gembira dengan lahapan makanannya,
jika mereka bahkan khawatir apa yang bisa dimakan pada esok hari.

15
The Power of Love from Palestine
Hadil Hashlamon?
Seorang wanita Palestina yang meninggal ditembak tentara Israel karena
alasan menolak melepas cadarnya dan membuka isi tasnya. Di kala itu usia nya
masih berkisar 18 tahun, dimana pada usia ini dibelahan bumi lainnya banyak
muslimah yang masih bimbang untuk memakai jilbab di setiap aktivitasnya.
Dilansir dari Al-Jazeera, Hadil Hashlamon yang kala itu hanya mau
membuka kerudungnya di hadapan tentara wanita penjajah justru ditembak tentara
Yahudi di perbatasan militer Jalan Syuhada, Barat Kota Kholil, dengan beberapa
butir peluru tajam pada Selasa (22/09/2015) sore. Al-Jazeera memperlihatkan jasad
Hadil Hashlamon tergeletak kaku di atas tanah, kemudian Zionis menyeret dengan
cara menarik kakinya hingga kerudung (jilbabnya) terlepas karena bergesekan
dengan tanah. Tidak cukup satu peluru saja bagi Zionis untuk memaksa Hadil
Hashlamon membuka cadar dan memperlihatkan isi tasnya. Bahkan serentet
tembakan peluru tajam dilepaskan menyerang nya,” terang keterangan Al-Jazeera.
Wanita Palestina, bahkan ketika tidurpun masih mengenakan jilbabnya. Bila
ditanya, “mengapa masih mengenakan jilbab saat tidur?” mereka menjawab,
“kalau setibanya rumah saya dibom, mereka akan menemukan mayat saya masih
dalam keadaan menutup aurat”. Itu merupakan sebuah potret gambaran kekuatan
cinta yang dimiliki oleh rakyat Palestina sangat mendalam terhadap keyakinannya.
Dan karena keyakinan inilah mereka masih kuat menghadapi segala rintangan,
yang, belum tentu saya secara pribadi akan dapat bertahan. Seperti yang pernah
dinyatakan oleh Hasan Al-Banna:
“Pemikiran akan mungkin berhasil diwujudkan manakala kuat rasa keyakinan
kepadanya, ikhlas dalam berjuang di jalan-Nya, bersemangat dalam
merealisasikannya, siap beramal dan berkorban demi menjelmakannya”.
Ada sebuah lagu dari bumi Palestina yang cukup mewakili perasaan hati
yang mereka rasakan, yang selanjutnya lagu ini bahkan di cover oleh Nissa Sabyan
bersama Sabyan gambus. Lagu itu di beri judul “Atouna El Toufoule”
Jeena N'ayedkon
Kami datang dengan Ucapan Selamat Berlibur
Bel-Eid Mnes'alkon
Dan selama liburan kami bertanya padamu
Lesh Ma Fee 'Enna La 'Ayyad Wala Zeineh
Kenapa kami dak punya Liburan ataupun Dekorasi ( Perhiasan )
Ya 'Alam
Wahai Dunia
Ardhi Mahroo'a
Tanahku Habis terbakar
Ardhi Huriyyeh Masroo'a
Tanahku dicuri kebebasannya
16
Samana 'Am Tehlam 'Am Tes'al El-Ayam
Langit kami Sedang bermimpi bertanya kepada hari hari
Wein Esh-Shames El-Helwe W-Rfouf El-Hamam
Dimana matahari yang indah dan di mana kipasan sayap burung merpa ?
Ya 'Alam
Wahai Duniaa
Ardhi Mahroo'a
Tanahku Habis terbakar
Ardhi Huriyyeh Masroo'a
Tanahku dicuri kebebasannya
Ardhi Zgheere Metli Zgheere
Tanahku Kecil, seper aku, itu kecil
Redoulha Es-Salam 'Atouna Et-Tufoole
Berikan kedamaian kembali padanya, beri kami masa kecil
A'touna Et-Tufoole
beri kami masa kecil
A'touna Et-Tufoole
beri kami masa kecil
A'touna Et-Tufoole
beri kami masa kecil
A'touna 'Atouna 'Atouna Es-Salam
Beri Kami, Beri Kami, Beri kami Kedamaian .
I am A Child with something to say, Please listen to me!
Aku anak kecil dengan sesuatu yang ingin kukatakan, Tolong dengarkan aku!
I am a Child Who wants to play, why dont you let me?
Aku anak kecil yang ingin bermain, kenapa dak kau biarkan ?
My Doors are wai ng, my friends are praying, small hearts are begging
Pintuku menunggu(untuk dibuka) , temanku berdoa, ha kecil kami memohon
Give us a Chance!
Berikan kami kesempatan

Sebuah untaian kata yang indah dinyanyikan di dalam lagu tersebut oleh
seorang anak kecil. Yang menjelaskan bagaimana akhirnya Hak Asasi Manusia
terutama hak-hak anak direnggut untuk mendapatkannya. Bermain, pendidikan,
perlindungan, kesehatan tak mereka peroleh begitu saja tanpa adanya rasa
ketenangan. Suara ledakan bom lah yang menjadi pendengaran mereka setiap
harinya.

17
Pada akhirnya mereka tetap memiliki resistensi yang kuat, dan tidak
memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan cara yang remeh. Karena kekuatan
dari kecintaan mereka terhadap hal diluar dunia, yaitu kehidupan setelah adanya
kematian. Mereka pandang dunia sebagai senda gurau, yaitu hanya pemberhentian
sebelum menuju lokasi yang dituju. Sehingga mereka tetap istiqomah di jalan-Nya,
dan benarlah apa yang difirmankan oleh Allah SWT:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya....”
(QS. Al-baqarah: 286)

Jika benar rakyat Palestina diberikan beban tersebut karena sesuai dengan
kesanggupannya. Lalu, apakah beban itu tak diberikan kepadaku, karena tak
kesanggupanku untuk menjalaninya?

18
Seperti kutipan diatas, kita tahu bahwa HAM menurut beberapa Ahli
dikatakan telah melekat pada manusia bahkan sejak mereka lahir. Dan kita tahu
betul bahwa HAM telah menjadi suatu tolak ukur atas layaknya kehidupan manusia
di suatu lingkungan, Negara, bahkan Dunia. Seakan, HAM dijadikan sebagai
pedoman bagi setiap insan di muka bumi ini.
Namun, apa yang kita telah saksikan hari ini jauh berbeda dengan Utopia
yang disajikan oleh HAM melalui The Universal Declaration of Human Right
Tahun 1948. Mirisnya, judul diatas dapat menggambarkan kondisi HAM hari ini.
Menurut Jimly Asshidiqqie, bahwa hak asasi manusia pada generasi pertama
berkenaan dengan hak-hak sipil dan politik yang mencakup antara lain:
1. Hak untuk menentukan nasib sendiri
2. Hak untuk hidup
3. Hak untuk tidak dihukum mati
4. Hak untuk tidak disiksa
5. Hak untuk tidak ditahan secara sewenang-wenang
6. Hak untuk peradilan yang adil, independen, dan tidak berpihak
7. Hak untuk berekspresi atau menyampaikan pendapat
8. Hak untuk berkumpul dan berserikat
9. Hak untuk mendapatkan persamaan perlakuan di depan hukum
10. Hak untuk memilih dan dipilih
Sekilas, dari 10 poin yang disajikan diatas, aku yakin kalian akan sepakat bahwa 10
poin tersebut tidak terimplementasi dengan semestinya, namun malah menjadi
“Senjata Makan Tuan” bagi mereka yang memperjuangkannya.

19
20
Melihat perhatian mereka, dan saudara-saudaraku menghiburku, aku jadi
semakin yakin kalau aku melakukan hal yang benar, aku bergaul dengan orang
yang tepat, aku bersama orang-orang yang peduli denganku dan perasaanku.
−JT
Sering kita mendengar istilah “geng”, mungkin di kalangan masyarakat
Indonesia yang akrab adalah istilah geng motor. Geng adalah sebuah kelompok
individu yang saling berkaitan baik teman dekat maupun kesamaan latarbelakang
seperti lingkungan, pekerjaan, hobi, dan sebagainya. Kita bisa mengklasifikasikan
geng kedalam bentuk kelompok sosial karena mereka memiliki kesadaran bersama
akan keanggotaan dan saling berinteraksi. Namun lebih dari itu geng bisa kita
katakan sebagai sebuah organisasi karena geng dibentuk dengan kepemimpinan
dan organisasi internal yang jelas. Begitu banyak geng yang terbentuk di seluruh
dunia ini, beberapa yang terkenal bahkan bisa disebut sebagai geng internasional
antara lain; Mara Sulvatrucha-13, Crips, Bloods, Yakuza, 18th Street Gang, dan
lain sebagainya. Biasanya geng merujuk kepada gerombolan orang yang
melakukan hal negatif dan ilegal seperti kriminal, penyelundupan, atau narkoba.
Kalau kita ingin membicarakan tentang hal negatif yang dilakukan oleh suatu geng,
sudah berapa banyak kanal-kanal berita cetak maupun online atau lainnya yang
sudah memberitakannya. Pembunuhan oleh kelompok MS-13 atau pemukulan

21
pengunjung klub malam oleh anggota kelompok yakuza, berita semacam itu kerap
kita dengar di berbagai media. Namun tanpa mempedulikan hal-hal negatif yang
dilakukan itu, “geng” seharusnya dianggap sebagai bentuk kebebasan berkumpul
dan berserikat yang dijamin hak-haknya dalam Universal Declaration of Human
Rights.
Walaupun geng-geng terkenal dengan citra kriminalnya, namun akan
menarik saat kita tahu bahwa mereka membentuk suatu geng sebagai bentuk Act of
self-defense. Act of self-defense adalah tindakan seseorang untuk menggunakan
kekuatan yang masuk akal atau kekuatan pertahanan, untuk tujuan membela hidup
sendiri (membela diri) atau kehidupan orang lain, termasuk –dalam keadaan
tertentu– penggunaan kekuatan mematikan. Para anggota geng Crips contohnya,
bergabung dengan Crips sebagai bentuk perlindungan diri dan lingkungan dari
lingkungan yang lain. Crips sendiri adalah sebuah geng di Amerika yang mayoritas
anggotanya adalah orang kulit hitam. Para anggota Crips kebanyakan lahir dan
besar di Amerika, hidup di lingkungan yang menganggap mereka berbeda dan tidak
suka perbedaan, begitulah mengapa mereka membuat atau masuk kedalam geng.
Dengan masuk kedalam geng, mereka akan merasa terlindungi, ada sesama anggota
lain yang melindungi. Akupun meyakini bahwa unsur paling kejam dalam
masyarakat bukanlah kekerasan atau semacam itu, unsur paling kejam dalam
masyarakat adalah ketidakpedulian. Poppy salah satu anggota geng Crips dalam
salah satu wawancara dengan Vice mengatakan, “masalahnya apa yang bisa
diperbuat pemerintah dan orang-orang ini –lingkungan– untuk menghentikan
masalah ini –diskriminasi kulit hitam– selain menjebloskan kami ke penjara? Beri
kami kegiatan, pusat kegiatan masyarakat, beri kami program, akses ke berbagai
macam hal, bukannya menangkap dan menjebloskan kami ke penjara. Aku pernah
dalam posisi itu, aku dipenjara 2,5 tahun. Jika kalian tak memberi kami apapun,
jalan keluar atau semacamnya, kami akan terseret hal-hal buruk. Membentuk geng
adalah upaya kami melindungi diri kami, geng sesungguhnya adalah polisi!”.
Bukan berarti aku membenarkan tindak kekerasan dan kriminal yang dilakukan
oleh geng-geng itu, namun kekerasan sering tumbuh karena kekerasan. Apabila kita
berbicara jujur, kita mesti mengakui bahwa setiap orang mempercayai kekerasan
22
dan mempraktekannya, meskipun ia akan mengutuknya apabila hal itu dilakukan
oleh orang lain. Bisa dikatakan, Crips adalah kejahatan yang timbul dari kejahatan
–yang mereka terima dari lingkungannya.
Aku meyakini bahwa kebutuhan dasar seorang manusia adalah sandang,
pangan, papan, medis, dan kemanan. Maka dari itu pemerintah pun pasti akan
menjaga keamanan warga negaranya, namun tak seharusnya dengan pembatasan
hak-hak asasi manusia.
Tahun kemarin, pemerintah Jepang mengesahkan Undang-Undang Anti
Konspirasi yang isi dari Undang-Undang tersebut sangat jelas bertujuan untuk
memberangus kelompok Yakuza. Undang-undang ini dikeluarkan pemerintah
dengan alasan keamanan, "UU ini sangatlah penting untuk melindungan
masyarakat terutama keamanan mereka dan kita telah melakukannya yang terbaik
melindungi kebebasan mereka serta hak asasi mereka. Saya tak akan
melupakannya," kata Menteri Kehakiman Jepang, Katsutoshi Kaneda. Yakuza,
salah satu geng paling berbahaya di dunia, bahkan kelompok ini sudah disebut
sebagai organisasi kriminal transnasional. Kelompok ini dikenal di Jepang dengan
julukan Gokudō. Kelompok yang identik dengan tato dan mutilasi jari sebagai
lambang keberanian dan hukuman di saat yang sama. Apabila seorang anggota
melakukan sesuatu yang menimbulkan masalah atau rasa malu bagi organisasi,
anggota tersebut diharapkan langsung memotong jari mereka sendiri sebagai
bentuk permintaan maaf. Jarinya dipotong menggunakan pisau belati atau pedang
kecil, tradisi yang mencerminkan ketergantungan seorang samurai pada pedang
mereka. Agak mengerikan. Dalam Undang-Undang Anti Konspirasi salah satu
pasal menyebutkan seluruh kelompok Yakuza bisa didakwa kalau satu anggotanya
melakukan tindak kriminal. Undang-undang ini dinilai kontroversial lantaran
menempatkan "kejahatan" remeh semacam mengkopi musik dan mencuri jamur di
hutan lindung sejajar dengan kejahatan serius semacam ancaman teror.
Undang-undang anti konspirasi ini dinilai tidak adil, banyak dugaan bahwa
pemerintah jepang bekerjasama dengan korporasi untuk merebut bisnis Pachinko
(Judi) yang saat ini dikuasai oleh Yakuza. Namun menurutku ini hubungannya

23
lebih kepada sejarah Yakuza yang penuh kekerasan. Memang Yakuza tidak pernah
terlepas dari kekerasan, kekerasan adalah konsekuensi dari pekerjaan yang mereka
lakukan. Namun hal menarik dikatakan oleh salah seorang anggota Yakuza dalam
sebuah wawancara, ia mengatakan bahwa Yakuza melakukan kekerasan untuk
melindungi orang. “Bayangkan deh, misalnya kamu punya bar, lalu ada
perkelahian di tempatmu. Kamu lapor polisi, mereka datang, mencatat nama
pelakunya, menanyai pelaku dan saksi. Kasihan, malam itu barmu terlanjur kacau
balau. Pestanya selesai dan bisnismu berantakan. Beda kejadiannya kalau kalian
menghubungi Yakuza, kami cuma akan fokus pada siapa yang memulai
perkelahian. Pengunjung lain bisa tetap party-party. Kami bisa tarik keluar
pelakunya dan ancam agar tak lagi datang kalau cuma bikin keributan belaka.
Kami bisa menangani kasus seperti ini dengan lebih efisien dan cepat, secepat kami
memadamkan api”.
Yakuza sebagai kelompok yang sering dibilang “kelompok kriminal”
memang kerap terlibat dalam aksi-aksi sosial. Dalam Tsunami di Jepang tahun
2011, Yakuza menjadi yang pertama memberikan bantuan kepada korban tsunami.
Yakuza diberitakan lebih cepat memberikan bantuan dibandingkan pemerintahan
Jepang sendiri. Kebenaran seperti ini progressnya memang lambat, karena
terkadang kebenaran akan mengancam sesuatu yang saat ini sudah diyakini, Seperti
kebenaran bahwa ganja dapat menyembuhkan penyakit, sedangkan pondasi dari
dunia medis adalah antibiotik. Pembatasan-pembatasan hak asasi manusia pada
Yakuza oleh pemerintah juga terlihat dari akses-akses yang diberikan pemerintah
kepada anggota Yakuza. Pemerintah tak mengizinkan mereka buka rekening bank,
mereka tak bisa beli apartemen, mereka tak bisa beli mobil atau bahkan sekadar
main golf atau baseball. Anggota Yakuza tak bisa menyekolahkan anak karena tak
punya apapun yang dimiliki atas nama mereka. “Anak bengal masa kini lebih suka
masuk grup penipu atau geng jalanan daripada masuk Yakuza. Mereka tahu bahwa
kami punya peraturan organisasi yang ketat dan pemerintah juga ketat mengawasi
kami”. "Orang yang bikin aturan ini mau menang sendiri. Kalau politisi yang bikin
perkara, selalu ada jalan keluarnya. Mereka mungkin jauh lebih berbahaya dari
Yakuza."
24
Sebenarnya setelah Undang-undang Anti Konspirasi ini disahkan oleh
Pemerintah Jepang, mendapat banyak protes dari masyarakat jepang itu sendiri.
Undang-undang ini dibuat bukan untuk Yakuza, Yakuza hanya salah satu yang jelas
disebutkan didalamnya. Undang-undang itu ditentang karena dinilai terlalu
beresiko terhadap orang biasa untuk terjerat hukum karena menempatkan tindakan
yang “remeh” sebagai kejahatan. Memang terkadang kita tenggelam pada kejahatan
atau kekerasan itu sendiri. Kita tidak benar-benar menanyakan apakah kekerasan itu
benar atau salah, kita hanya meyakini apakah itu legal, apakah hukum
membolehkannya. Kita tidak mempertanyakan hak pemerintah untuk membunuh,
untuk menyita, dan memenjarakan. – Alexander Berkman.

25
menjadi entry point untuk memposisikan perempuan sebagai manusia yang
bermartabat. Perbedaan biologis dengan laki-laki bukan menjadi alasan untuk
serta merta menjadi manusia kelas kedua. Hal ini juga penting di tegaskan karena
dalam situasi tertentu, perempuan merupakan bagian dari kelompok yang rentan
terhadap pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Sejarah telah membuktikan
bahwa perempuan adalah korban terbesar pelanggaran hak asasi manusia, ambil
contoh ketika terjadinya peristiwa 65 yang mana di dalam buku berjudul G30S
1965, PERANG DINGIN & KEHANCURAN NASIONALISME Karya Tan Swie
Ling, yang di dalam beberapa bab-nya diceritakan tentang tidak adanya
penghargaan atas harkat dan martabat seorang perempuan, peristiwa 98 yang
tercatat sekitar 80 kasus kekerasan seksual dan pemerkosaan masal, atau ketika
percetakan Young India tahun 1926 yang mana isu pernikahan dini menjadi isu
strategis yang menimbulkan banyak janda-janda baru dan hilangnya masa depan
seorang perempuan, dan masih banyak catatan sejarah hingga saat ini menyangkut
perempuan.

PEREMPUAN DALAM BELENGGU PATRIARKI

“Tidak ada hakim selain diriku yang bisa


memutuskan apa aku benar atau salah.”
-Max Striner-
Menurut Stiner, setiap individu adalah hakim atas dirinya sendiri, yang
mana baik kaum laki-laki maupun perempuan mempunyai keputusan terkait benar
ataupun salah atas dirinya sendiri. Karena itu setiap individu hanya tunduk
terhadap dirinya sendiri bukan terhadap negara, masyarakat maupun sistem. Apa
yang di imani oleh Stiner berbanding terbalik dengan realita di masyarakat.
Perempuan misalnya, ia di dekte oleh kehendak yang ada di luar kuasanya. Yang
sering terjadi di masyarakat kita adalah menempatkan perempuan sebagai manusia
kelas dua, dimana perempuan tugasnya hanya sebagai pelayan di kamar, dapur,
sumur. Seorang penulis besar kita Pramoedya Ananta Toer pun sangat melawan
akan kondisi masyarakat kita, yang mana pernah dia tuliskan di dalam sebuah
bukunya berjudul Gadis Pantai yang mana membahas akan kekejaman seorang

26
tokoh Jawa yang menikahi seorang gadis berusia 14 Tahun dan dirampaskan segala
hak yang melekat di dalam dirinya.
Perempuan tidak dipandang sebagai individu yang merdeka terhadap
tubuhnya, segala bentuk pengexpresian diri direpresi masyarakat patriarki itu,
sehingga mau tidak mau mereka harus tunduk kepada otoritas di luar dirinya dan
hal ini akhirnya yang membuat tubuhnya seolah-olah hanya sebuah objek.
Adanya sebuah pembenaran dan pembiaran terhadap patriarki itu tadilah
yang membuat perempuan selalu dirugikan pada segala sendi kehidupan. Mereka
tidak dibebaskan memilih jenis kehidupan yang mereka mau, mereka diatur cara
berpakaian, di diskriminasi, di stigma, bahkan yang sering terjadi mereka ditolak
menjadi pemimpin.
Di abad 20 yang sangat membelenggu perempuan India pada masanya,
dimana perempuan-perempuan India usia 14 tahun sudah diboyong oleh para pria
dan banyak menimbulkan janda usia dini. Dan angka pernikahan dibawah umur ini
juga dilandasi atas pondasi yang menjijikan, yaitu untuk mendapatkan
keberuntungan yang kaum pria peroleh apabila mereka menikah dengan istri yang
masih anak-anak. Tetapi dilihat sekarang ini kondisi perempuan tidak se-extream
itu, karena Patriarki telah berubah jenis lebih sublim dari pada masa lampau,dan
ditambah kesadaran akan hal itu belum terbentuk di dalam tubuh pemikiran kaum
perempuan, maka butuh yang namanya pendidikan atau pelatihan terhadap kaum
perempuan.
Pendidikan adalah satu hal mendasar yang memungkinkan kaum
perempuan untuk menegaskan hak-hak dasar mereka, untuk melatih kaum
perempuan secara bijaksana dan untuk bisa berkarya bagi perluasan ide-ide
mereka. Tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa umat manusia tanpa
pendidikan tidak akan jauh berbeda dengan hewan. Oleh karena itu, pendidikan
sangat penting bagi kaum perempuan sebagaimana halnya juga penting dengan
kaum pria. Dalam posisi yang utama, sistem pendidikan di negeri kita penuh
dengan kekeliruan dan dalam banyak hal justru menghasilkan kejahatan.
Sekalipun pendidikan terbebas dari kelemahan-kelemahan yang sekarang
ada, saya tidak menganggap bahwa model pendidikan seperti itu sesuai bagi kaum
perempuan apabila ditinjau dari berbagai sudut pandang pemikiran. Kaum
Perempuan dan Pria itu statusnya setara, tetapi mereka tidak identik. Kaum
Perempuan dan Pria adalah pasangan yang tiada bandingnya dalam saling
melengkapi antara satu dengan lainnya, masing-masing harus membantu yang
lainnya. Oleh karena itu, tanpa eksistensi salah satunya, eksistensi yang lainnya
tidak terbayangkan, juga yang penting untuk dipahami bahwa sesuatu yang
merusak keberadaan salah satu dari mereka akan mengakibatkan rusaknya
kesetaraan antara kaum perempuan dan pria.
Kondisi kita hari ini kadang memberikan pengetahuan bahwa ada
pembagian kerja yang membelenggu kaum perempuan, ambil contoh ketika
seorang pria bisa mengambil peran di luar dan perempuan hanya boleh mengurusi
pekerjaan domestik di rumah saja.
27
Maka butuh yang namanya pendidikan atau pelatihan yang intensif untuk diberikan
kepada kaum perempuan kita. Tetapi Sistem pendidikan kita hari ini, kalau boleh
kita kaji ulang bisa dikatakan masih patriarki sekali, ambil contoh ketika ada
seorang perempuan yang hamil diluar nikah, otomatis sekolah yang dia tempati
akan mengeluarkan perempuan tersebut, dengan alasan akan merusak moral
sekolah dan mencoreng nama baik institusi pendidikan tersebut. Dan beban moril
akan dirasakan oleh perempuan tersebut, tanpa dilihat dari duduk perkaranya.
Karena selama patriarki masih saja dipertahankan maka selama itu pula
dominasi atas perempuan masih terus berjalan, dan yang harus di garis bawahi
sekarang ini bukanlah hanya masalah Gender Equality, tetapi dominasi berlebih
dari salah satu-nya. Secara grafik keterwakilan di parlemen yang selalu naik
katakanlah, yang mana tahun 1995 jumlah kursi kaum perempuan hanya 5,06 % dan
angka terus meningkat menjadi 11,4 % ditahun 1997. Hingga tahun 2009 mencapai
18,21 % , tetapi itu bukan tolak ukur utama, karena percumah ketika para
perempuan kita memiliki peran besar di dalam sebuah sistem, tetapi produk aturan
itu apakah sudah sesuai.
Akan tetapi kaum perempuan juga harus melepaskan takhayul-takhayul dan
menyadari kekeliruan mereka dan melakukan kerja-kerja yang konstruktif untuk
mewujudkan pembaharuan. Persoalan yang kita hadapi adalah pembebasan
perempuan, tidak adanya dominasi berlebih atas perempuan, perbaikan ekonomi
masyarakat, dan penghargaan atas hak-hak kaum perempuan.

PEREMPUAN DAN TRAGEDI 65


Sejarah akan ditulis oleh dia yang menang. Hal itu sudah tercermin atas
peristiwa ditahun 1965 silam, dimana banyak perspektif pandangan dan analisis
yang diberikan, baik oleh penguasa, akademisi, kurikulum pendidikan, ataupun
saksi peristiwa tersebut. Tetapi disini saya bukan bermaksut untuk membedah
peristiwa tersebut, tetapi hanya menyinggung sedikit hal mengenai peristiwa
tersebut melalui tragedi-tragedi yang di alami para kaum perempuan di waktu itu.
Tan Swie Ling, seorang mantan tahanan politik dimasa itu menulis sebuah
buku berjudul G30S 1965, PERANG DINGIN & KEHANCURAN
NASIONALISME, dia banyak membedah kejahatan kemanusiaan di masa itu, baik
dia menceritakan tentang cara pembuatan BAP (Berita acara penangkapan) yang
sering di gunakan penulis sejarah kita sebagai patokan penulisan peristiwa 65 itu.
Tan menceritakan bahwa BAP ditulis melalui berbagai tekanan yang dilakukan
penguasa dengan berbagai macam tekanan dan penindasan, baik melalui kursi
listrik, cambuk ekor ikan pari, ayat kursi (Ibu jari yang di injak ujung meja) dll. Tak
hanya terkait penindasan fisik yang dilakukan kepada para tahanan politik. 3
Pimpinan PKI, Lukman, Aidit, Njoto dan 3 juta manusia di cap merah pun turut di
rampas akan hak hidupnya.

28
Peristiwa 65 adalah menjadi sebuah noda hitam bagi para perempuan kita,
yang mana di dalam peristiwa tersebut banyak kaum perempuan yang direnggut
hak-haknya, dan hilangnya penghargaan atas harkat dan martabat seorang
perempuan. Tan menceritakan bahwa dimasa itu para wanita banyak mengalami
pelecehan seksual di dalam penahanan-nya, salah satunya adalah ketika mereka di
indikasi bahwa memiliki tato palu arit di pahanya, maka mau tidak mau si
perempuan harus membuka rok atau celananya untuk di perlihatkan, tak hanya itu
para perempuan gerwani kita yang di tuduh sebagai Undurbown PKI, melakukan
tari telanjang di lubang buaya, padahal hal itu sama sekali tidak terjadi, banyak hal-
hal lain juga yang menimpa kaum perempuan dimasa itu hingga pemerkosaan dan
pembunuhan pun terjadi di masa itu.
Tan juga menceritakan bahwa dimasa itu juga terjadi sebuah diskriminasi
ras, yang di tulis di sub judul “Cina jelata yang pernah dimusuhi penguasa''.
Ditahun 1966 dia dan banyak kawan nya baik laki ataupun perempuan di introgasi
perwira militer dengan pertanyaan : apa suku bangsamu. Kebencian akan RTT
dimasa itu memuncak, karena di anggap mendukung peristiwa 65. Ditahun itu juga
berlangsung seminar Angkatan Darat ke 2 di Bandung. Salah satu isinya
menetapkan pengubahan sebutan “Tionghoa/Tiongkok” menjadi “Cina”. Semua
itu tanpa menyadari tingginya kebencian politik rasial yang menjiwai jajaran
militer secara umum, dan angkatan darat secara khusus.
Tak hanya kebencian yang dimiliki oleh militer, tetapi politik rasial itu pun
menimbulkan kebencian di kalangan masyarakat, bagi mereka yang memiliki etnis
Tionghoa. Sejarah pun terulang kembali di tahun 98, politik rasial tadi terulang dan
banyak para perempuan Tionghoa yang di perkosa, tekanan sikis dll. Jadi bisa
dikatakan bahwa intimidasi, penelanjangan, dan penindasan yang di alami oleh
kaum perempuan dimasa itu sudah menjadi hal biasa pasca peristiwa 65, seolah
perempuan yang di cap sebagai simpatisan PKI tidak mempunyai sedikitpun
penghargaan atas dirinya.
Maka perlu adanya keseriusan dari negara untuk membuka sejarah kita
secara gamblang, pengusutan pelanggaran HAM berat di masa lalu, dan
penghargaan atas harkat dan martabat perempuan.

29
Oleh: Siam Khoirul Bahri

Apa yang disebut dengan kebenaran nampaknya sudah menjadi barang


mewah yang dikendalikan oleh kekuasaan. Segala bentuk kepemilikkan sejatinya
langgeng ditangan Negara, melalui kekuasaan pembenaran terhadap peniadaan hak
masyarakat dilegalkan. Sukar rasanya Negara mampu berlaku adil untuk rakyat
kecil, berbagai bentuk kebutuhan minim pasokkan dan dibandrol dengan harga
mahal. Ada pergeseran paradigma dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat,
kebutuhan akan selalu hadir ditengah-tengah perdebatan kebijakan yang mungkin
justru membatasi kebutuhan itu sendiri. Jelasnya otoritas pasar menjadi lebih
dominan dalam premis ini, ia dengan mudah memonopoli setiap kebutuhan.
Belakangan saya tidak bisa berdamai setelah mengetahui ada Bias dalam
sektor pendidikan. Hegemoni dalam sektor ini sangat tampak menyesatkan pola
pikir masyarakat. Masyarakat dibuat manja kepada urusan pendidikan
kecenderungan masyarakat pada umumnya pasrah kepada sekolah. Pola pikir kita
dibawa pada realitas bahwa satu-satunya lembaga yang secara ekslusif dikatakan
sebagai lembaga pendidik ialah di sekolah. Seseorang dianggap pandai apabila ia
memakan bangku sekolah. Atau setidaknya sekolah melegitimasi bahwa kita
pernah berpikir. Masyarakat yang tidak sekolah minimal 12 tahun dianggap
masyarakat yang terbelakang atau dianggap tidak terpendidik. Ivan ilich
berpendapat bahwa sekolah merupakan proses belajar manusia seumur hidup. Akan
tetapi, pada realitanya sekolah dibatasi oleh berbagai aspek yang membuat ia tidak
dapat diakses dengan mudah. Pertama, ada rentang umur yang membatasi
30
seseorang untuk masuk ruang sekolah, bisa saya contohkan, seorang tua buta huruf
dan tak pandai menghitung karena tak pernah sekolah sejak kecilnya tidak
diperbolehkan masuk sekolah dasar karena usianya yang telah lanjut, boleh tetapi ia
harus mengambil paket ujian kesetaraan.
Kedua, sekolah mendehumanisasi manusia seolah menjadi robot yang
dituntut hadir tepat waktu, patuh terhadap guru dan kurikulum. Ada batasan yang
membuat pola pikir kritis manusia sekalipun dibatasi didalamnya, sekolah lebih
mengarahkan peserta didiknya untuk mempertahankan status quo dari apa yang
dipelajarinya. Secara tidak langsung sekolah juga membentuk sistem kasta ada
grade atau rangking yang membeda-bedakan mana yang pandai ekonomi,
matematika, ipa ataupun ips, padahal ada anggapan bahwa kepandaian itu seperti
ikan yang tak bisa dipaksakan untuk memanjat pohon ataupun kera yang dipaksa
untuk berenang. Selain itu, yang terjadi dalam pendidikan, dapat dipastikan
seseorang akan lebih memilih sekolah dengan akreditasi yang baik, sekolah
ternama dan bergengsi daripada sekolah swasta atau belum terakreditasi, karena dia
yang masuk ke sekolah tersebut dianggap kastanya lebih tinggi dan lebih pandai
daripada mereka yang masuk disekolah biasa. Hal ini yang disebut juga oleh
Derrida sebagai logosentrisme (simbolisasi) yang dianggap baik padahal belum
tentu baik, maka menurutnya kita harus keluar dari persoalan tersebut dan
menganggap bahwa ada persepsi lainnya diluar sana.
Ketiga, sekolah memiliki jarak dari realitas dimana disekolah lebih
dianggap berharga belajar tentang dunia daripada belajar dari dunia, sehingga
fenomena yang terjadi di lingkungannya sekalipun belum tentu dapat dibaca seperti
apa yang dibunyikan dibukunya. Coba kita lihat ada banyak permasalahan sosial
yang terjadi dimasyarakat akan tetapi apakah seorang terpendidik sekalipun yang
dikata sarjana dapat menyelesaikan persoalan tersebut? Jawabannya belum tentu,
kecenderungan seorang terpendidik saat ini justru malah anti sosial mereka merasa
elit untuk mau turun dalam urusan sosialnya gampangnya ia saat ini memiliki
sterilitiet (batasan) dengan masyaraat dan lingkungan sosialnya.
Keempat, sekolah memonopoli legitimasi keterampilan. Mereka yang
memiliki ijazah dianggap memiliki keterampilan daripada yang hanya memiliki
pengalaman tetapi tanpa sekolah dan ijazah. Coba tanyakan lebih baik anda
kehilangan keterampilan atau ijazah anda? Maka kita dapat memastikan bahwa
monopoli legitimasi ini secara tidak langsung juga membuat adanya monopoli
pasar dalam jual beli pekerjaan dengan ijazah. Lalu bagaimana dengan mereka
yang tak memiliki kesempatan yang sama untuk merasakan pendidikan, proses
mencerdaskan kehidupan bangsa tentu bisa kita anggap tidak merata dan apa yang
dinamakan kesejahteraan pun tentu juga tidak akan merata. Karena urusan
pekerjaan adalah urusan perut, akan tetapi urusan pendidikan bukanlah soal urusan
perut ia adalah urusan proses menjadi lebih terpendidik. Pekerjaan dan perut adalah
31
effect yang hadir setelah mereka memiliki skill dan kualitas SDM yang baik.
Belakangan ini sekolah justru menghilangkan hidden curriculum yang
sesungguhnya, bahwa sekolah adalah tempat mencari pekerjaan bukan tempat
belajar.
Kelima, komersialisasi dalam sektor pendidikan semakin menjamur,
mereka yang mampu membayar maka akan mendapatkan kursi di sekolah.
Pendidikan menjadi pasar komoditi utama yang hanya diberlakukan untuk
kalangan menengah keatas. Mereka yang berada di garis kemiskinan harus
meminjam uang ke bank menggadaikan sertifikat tanah agar anaknya dapat
bersekolah dan membeli kebutuhan peralatan sekolah seperti buku, alat tulis, tas,
dan sepatu. Atau mereka yang tak membayar uang SKS per semester tidak
diperbolehkan untuk mengikuti kegiatan ujian yang bersifat formalitas, mekanis
dan syarat administratif. Pembodohan terhadap sistem pendidikan ini juga tidak
hanya berlaku untuk peserta didik akan tetapi bagi para guru dan dosen pun
demikian, mereka terbatas atas apa yang harus dijelaskan sesuai dengan kurikulum.
Kritik masalah pendidikan ini diakibatkan adanya kebuntuan dalam sistem
metode pembelajaran yang ada disekolah. Seperti kata Foucault apa yang disebut
panopticon membuat Ruang sekolah, barak, pabrik maupun rumah sakit dianggap
sebagai penjara yang mengekang kebebasan serta dapat dijadikan ruang
pendisiplinan dan pengawasan, yang kemudian justru menghilangkan esensi
bawaan manusia itu sendiri. Dalam model pendidikan yang mengurung kebebasan
manusia ini maka seseorang yang dinyatakan lulus dalam ruang pendidikan
sekalipun belum tentu bisa dikatakan berarti untuk lingkungan sosialnya. Bahkan
untuk dirinya sendiri seharusnya ia merasa bersalah karena lulus berati
menjauhkannya dari realita. Kita tidak pernah membayangkan bagaimana politik
demagogi itu dijalankan oleh Negara, bahwa hak dan akses terhadap pendidikan
sangatlah jauh dari harapan. Kita tidak pernah meminta belas kasihan, akan tetapi
menuntut kewajiban Negara untuk dijalankan. Indeks kebahagiaan di Negara
Finlandia menjadi nomor urut pertama di dunia, menandakan kesejahteraan,
pendapatan dan pendidikan sangatlah terjamin oleh pemerintahannya. Pengakuan
dunia pun mengatakan Finlandia merupakan Negara terbaik dalam mengelola
sistem pendidikannya, tidak ada pemberlakuan pemeringkatan institusi pendidikan
dan merupakan sistem inklusif dimana semua siswa dianggap setara dalam haknya
untuk mendapatkan pendidikan dan beban biaya pendidikan sekalipun
mendapatkan perhatian khusus serta support penuh dari pemerintah.

Kami mendambakan kebahagiaan, bukan pendidikan pembodohan!!

Kebaikan satu-satunya adalah pengetahuan dan kejahatan satu-satunya adalah kebodohan, maka
Ilmumu bertambah, kualitas dirimu meningkat –Socrates
32
Inilah perasaan yang dituangkan seorang WS Rendra dalam sajaknya berjudul
“Sajak Sebatang Lisong”. Kesenian? Apakah arti kesenian yang sebenarnya? Bagi
barisan seniman mungkin mereka bisa mendefinisikannya berbeda-beda. Namun
kesenian yang dimaksud oleh WS Rendra itu seperti apa?
Sajak Sebatang Lisong sendiri ditulis WS Rendra tahun 1978 ketika
berada dibalik jeruji. Mungkin kutipan dari puisi tersebut sudah akrab di
telinga beberapa dari kita. Tetapi, mungkin, banyak dari kita, khususnya
orang-orang milenial yang tidak menyukai sastra bertanya-tanya, apakah
lisong? Lisong sendiri menurut KBBI merupakan rokok yang tembakaunya
dicampur dengan kemenyan dan kelembak. WS Rendra menampakkan
lisong pada kalimat awal puisinya: menghisap sebatang lisong / melihat
Indonesia Raya / mendengar 130 juta rakyat / dan di langit / dua tiga cukong
mengangkang / berak di atas kepala mereka. Dengan lugas Rendra
menceritakan kenyataan di sekitarnya, atau kondisi dari rakyat indonesia
pada saat itu, mengenai kesenjangan sosial yang terjadi di masyarakatnya
serta ketidakadilan yang dialami oleh orang-orang lemah atau rakyat-rakyat
miskin. Seperti kata Aristoteles, seni adalah bentuk yang pengungkapannya
dan penampilannya tidak pernah menyimpang dari kenyataan.
Seni memiliki beberapa percabangan, salah satunya karya sastra.
Karya sastra selalu lahir sesuai dengan perkembangan zamannya. Puisi,
sebagai salah satu bentuk karya sastra menjadi salah satu sarana
penyampaian krtitik terhadap kondisi sosial masyarakat yang sedang terjadi.
Puisi dipilih selain karena memudahkan penyampaian maksud penyair

33
namun juga membuat pembaca memahami maksud tersebut dengan cara yang
sederhana.
Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus, bahkan menjadi pemerima Yap
Thiam Hien Award 2017 (Sebuah penghargaan di bidang HAM di Indonesia).
Orang-orang mengenalinya sebagai ulama, pujangga, pelukis, esais, dan perajin
humor. Ikhtiar Gus Mus membela HAM tak melalui panggung hukum dan politik,
tetapi melalui gubahan puisi. Kata-kata dengan makna yang disirat Gus Mus turut
memberitahu ke publik mengenai masalah sekitar kita dan mengajarkan arti HAM
kepada pembaca. Salah satu kritiknya dalam pengisahan Indonesia yang saya suka
berada dalam kutipan puisi berjudul “Negeriku”: negeriku menumbuhkan
konglomerat / dan mengikis habis kaum melarat / rata-rata pemimpin negeriku /
dan handa taulannya / terkaya di Indonesia.
Tema-tema kritik dipilih penyair karena realitas sosial masyarakat
Indonesia ini masih menunjukkan kesenjangan sosial. Hal tersebut tentu membuat
penyair, dalam hal ini pencipta karya, merasa tergelitik mengangkat permasalahan
tersebut ke permukaan. Banyaknya tema kritik ini mewakili kondisi masyarakat
yang harus menjadi perhatian bersama. Nyoman Darma Putra (2003) mengatakan
dalam sajak-sajak protes yang utama adalah penyampaian gagasan, sementara lirik
atau irama kurang mendapat prioritas meski tidak terabaikan sama sekali.
Puisi dan Kebebasan Berekspresi
 Kebebasan berekspresi adalah hak asasi yang telah dijamin dan memiliki
makna esensial dalam demokrasi. Kebebasan ini sebagai suatu hak asasi yang
penting dan unik. Kebebasan berekspresi menjadi jembatan bagi pemenuhan hak
asasi lain. Pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya maupun sipil dan
politik sering dimulai dari kritik-kritik terhadap pemerintah lewat berbagai
ekspresi dengan menggunakan sarana-sarana yang ada. Meski juga diakui
kebebasan berekspresi bukanlah hak absolut dan bisa dilimitasi. Ekspresi adalah
kata yang cukup bermasalah untuk dijelaskan, dan pada umumnya orang masih
curiga pada kata ini. Bagi mereka yang besar di jaman Orde Baru tentu sudah sering
mendengar ungkapan macam “kebebasan yang bertanggung jawab” atau

34
“berekspresi boleh tapi jangan kebablasan”. Jadilah ekspresi anak muda jaman itu
seperti teriakan yang tertahan, ada sesuatu yang ingin dikeluarkan dari dada namun
karena tidak boleh kebablasan maka teriakan yang keluar pelan saja bunyinya.
Mengapa orang-orang yang memegang kekuasaan tampaknya secara alami
senang mengatur kebebasan berekspresi? Karena mereka tahu jika ekspresi
seseorang sudah bisa dikendalikan maka itu menjadi pintu masuk untuk
mengendalikan hak-hak lainnya yang lebih asasi. Mengatur ekspresi sebetulnya
adalah mengatur isi kepala seseorang. Dalam rezim otoriter setiap manusia
“dipotong” kepalanya, tidak dibolehkan berpikir yang berbeda, tidak boleh menjadi
pribadi yang otentik, harus taat aturan dan adat. Penyeragaman membuat orang jadi
mirip satu sama lain, bahkan sampai-sampai penampilannya pun mirip.
Melihat realitas yang mengekang menumbuhkan kesadaran untuk
memperjuangkan demokrasi, termasuk para sastrawan. Penyair Lekra seperti Agam
Wispi dan S. Anantaguna, sang burung merak WS Rendra berbicara sangat lugas
melalui puisi tentang kesengsaraan rakyat, disertai dengan ajakan untuk melawan
ketidakadilan. Hingga akhirnya ada puisi-puisi yang menarik untuk dibaca kaum
buruh dan menjadi mantra dalam setiap aksi turun ke jalan sebagaimana pekik puisi
Thukul: Hanya ada satu kata, lawan!

35
Joko Pinurbo
Patroli

Iring-iringan panser mondar-mandir


di jalur-jalur rawan di seantero sajakku.
Di sebuah sudut yang agak gelap komandan melihat
kelebat seorang demonstran yang gerak-geriknya
dianggap mencurigakan.
Pasukan disiagakan dan diperintahkan untuk memblokir
setiap jalan.
Semua mendadak panik.
Kata-kata kocar-kacir dan tiarap seketika.
Komandan berteriak, “Kalian sembunyikan di mana
penyair kurus yang tubuhnya seperti jerangkong itu?
Pena yang baru diasahnya sangat tajam dan berbahaya.”
Seorang peronda memberanikan diri angkat bicara,
“Dia sakit perut, Komandan, lantas terbirit-birit ke
dalam kakus. Mungkin dia lagi bikin aksi di sana.”
“Sialan!” umpat komandan geram sekali, lalu
memerintahkan pasukan melanjutkan patroli.
Di huruf terakhir sajakku si jerangkong itu tiba-tiba
muncul dari dalam kakus sambil menepuk-nepuk
perutnya. “Lega,” katanya.
Maka kata-kata yang tadi gemetaran serempak bersorak
dan merapatkan diri ke posisi semula.
Di kejauhan terdengar letusan, api sedang melahap dan
menghanguskan mayat-mayat korban.

36
WS Rendra
Sajak Anak Muda

Kita adalah angkatan gagap Kita hanya menjadi alat birokrasi !


yang diperanakkan oleh angkatan takabur. Dan birokrasi menjadi berlebihan
Kita kurang pendidikan resmi tanpa kegunaan -
di dalam hal keadilan, menjadi benalu di dahan.
karena tidak diajarkan berpolitik,
dan tidak diajar dasar ilmu hukum Gelap. Pandanganku gelap.
Kita melihat kabur pribadi orang, Pendidikan tidak memberi pencerahan.
karena tidak diajarkan kebatinan atau ilmu Latihan-latihan tidak memberi pekerjaan
jiwa. Gelap. Keluh kesahku gelap.
Orang yang hidup di dalam pengangguran.
Kita tidak mengerti uraian pikiran lurus, Apakah yang terjadi di sekitarku ini ?
karena tidak diajar filsafat atau logika. Karena tidak bisa kita tafsirkan,
lebih enak kita lari ke dalam puisi ganja.
Apakah kita tidak dimaksud
untuk mengerti itu semua ? Apakah artinya tanda-tanda yang rumit ini
Apakah kita hanya dipersiapkan ?
untuk menjadi alat saja ? Apakah ini ? Apakah ini ?
Ah, di dalam kemabukan,
inilah gambaran rata-rata wajah berdarah
pemuda tamatan SLA, akan terlihat sebagai bulan.
pemuda menjelang dewasa.
Mengapa harus kita terima hidup begini ?
Dasar pendidikan kita adalah kepatuhan. Seseorang berhak diberi ijazah dokter,
Bukan pertukaran pikiran. dianggap sebagai orang terpelajar,
tanpa diuji pengetahuannya akan keadilan.
Ilmu sekolah adalah ilmu hafalan, Dan bila ada ada tirani merajalela,
dan bukan ilmu latihan menguraikan. ia diam tidak bicara,
kerjanya cuma menyuntik saja.
Dasar keadilan di dalam pergaulan,
serta pengetahuan akan kelakuan manusia, Bagaimana ? Apakah kita akan terus diam
sebagai kelompok atau sebagai pribadi, saja.
tidak dianggap sebagai ilmu yang perlu Mahasiswa-mahasiswa ilmu hukum
dikaji dan diuji. dianggap sebagi bendera-bendera upacara,
sementara hukum dikhianati berulang kali.
Kenyataan di dunia menjadi remang-
remang. Mahasiswa-mahasiswa ilmu ekonomi
Gejala-gejala yang muncul lalu lalang, dianggap bunga plastik,
tidak bisa kita hubung-hubungkan. sementara ada kebangkrutan dan banyak
Kita marah pada diri sendiri korupsi.
Kita sebal terhadap masa depan. Kita berada di dalam pusaran tatawarna
Lalu akhirnya, yang ajaib dan tidak terbaca.
menikmati masa bodoh dan santai. Kita berada di dalam penjara kabut yang
memabukkan.
Di dalam kegagapan, Tangan kita menggapai untuk mencari
kita hanya bisa membeli dan memakai pegangan.
tanpa bisa mencipta. Dan bila luput,
Kita tidak bisa memimpin, kita memukul dan mencakar
tetapi hanya bisa berkuasa, ke arah udara
persis seperti bapak-bapak kita.
Kita adalah angkatan gagap.
Pendidikan negeri ini berkiblat ke Barat. Yang diperanakan oleh angkatan
Di sana anak-anak memang disiapkan kurangajar.
Untuk menjadi alat dari industri. Daya hidup telah diganti oleh nafsu.
Dan industri mereka berjalan tanpa Pencerahan telah diganti oleh pembatasan.
berhenti. Kita adalah angkatan yang berbahaya.
Tetapi kita dipersiapkan menjadi alat apa ?
37
38
39
Dunia adalah dua persimpangan kepentingan, dimana kemiskinan,
kesengsaraan dan ketidakadilan adalah satu jalan yang paling banyak di lewati oleh
objek negara. Sedang di seberang jalan lainnya, bak surga nan abadi, istana agung
kaum borjuasi.
Agaknya begitulah interpretasi saya dari apa yang hendak di sampaikan
oleh Antonio Gramsci diatas kutipan tersebut. Gerakan kolektifias gramsci
menunjukan keadaan riil masyarakat yang kian hari kian ter-eksploitasi oleh
ekspansi dan hegemoni budaya Kapital. Maka di dalam adanya dua persimpangan
jalan tersebut, gramsci berpendapat, perlunya kesadaran kolektif bagi kaum
intelektual organik guna melakukan counter hegemony di tengah-tengah
masyarakat kapitalistik.
Antonio Gramsci atau lebih dikenal Gramsci adalah seorang Marxis Italia.
Gramsci (1891-1937) awalnya adalah seorang wartawan. Kemudian pada awalnya
ia adalah anggota partai sosialis Italia dan kemudian menjadi ketua dari Partai
Komunis Italia (PCI). Pemikiran Gramsci sangat dipengaruhi oleh filosof besar
Italia Benedetto Croce. Dari Croce Gramsci belajar menghargai ilmu sejarah
sebagai usaha Intelektual untuk mencakup moralitas, politik, dan seni.
Crocemembuatnya memahami keterbatasan yang ada pada positivisme yang
hanya mengakui “fakta objektif”. Namun kemudian Gramsci mengkritik bahwa

40
Croce berhenti pada pengertian teoritis demokrat-liberal yang tidak berani menarik
konsekuensi untuk praxis revolusioner. Bagi Gramsci Marxisme selalu akan
merupakan ”filsafat praxis”. (Magnis Suseno, 2003: 173)
Indonesia setidaknya teleh berhasil menuliskan sejarah dalam pergulatan
dunia dengan menaruh perhatian khusus kepada mereka yang acap kali di sebut
sebagai Subaltern classes. Dalam gramsci punya pandangan, subaltern adalah
mereka yang terminoritaskan, termarjinalkan, bahkan terasingkan dari peradaban
kemanusiaan. Bukan karena ketidakmampuan mereka secara individu maupun
kelompok, namun memang adanya ketidakmampuan Negara dalam
mendistribusikan keadilan secara massif. Lebih-lebih lagi, arogansi sistem kapital
membatalkan mereka- subaltern untuk tidak biasa mandapatkan pendidikan
sebagai kebutuhan primer, sehingga realita yang dialami tidak di sadari sebagai
suatu keadaan yang manipulatif, melainkan keadaan dimana seolah-olah Tuhan
yang menghendakinya. Adalah para proletar atau kaum buruh, yang menurut
hemat saya, dalam konteks ini, representatif dari munculnya kesengsaraan
tersebut.
Perhatian indonesia akan kelompok ini, hadir dengan pengertiaanya yang
lebih komprehensif. Dalam satu kesatuan, kelompok ini adalah mayoritas
penduduk yang saat ini ialah Indonesia. Dalam bukunya Penyambung Lidah
Rakyat, kemunculan kaum ini sebagai gambaran keadaan sosial, keadaan politik
dan ekonmi masyarakat, maka dengan demikian, bersamaan dengan ini, Tuhan
hadirkan satu paham, satu asas perjuangan, satu keinsyafan atas hal 'ichwal, satu
cita-cita besar, yang menurut hemat saya, adalah Marhaenisme!
Marhaen adalah subaltern ala Indoneisa. Secara subtantif, mereka adalah
sama, berkedudukan sebagai budak dan berstatus inferior di tanah sendiri. Seorang
marhaen adalah orang yang mempunyai alat sedikit. Bangsa kita yang puluhan
jiwa yang sudah di melaratkan, bekerja bukan untuk orang lain dan tidak ada orang
yang bekerja untuk dia. Marhaenisme adalah sosialisme dalam praktik!
(Penyambung Lidah Rakyat hal 38).
Marhaen adalah mereka yang di eksplotir oleh karena tidak menguasai

41
faktor produksi. Marhaen adalah kemiskinan dan kesengsaraan itu senediri.
Marhaen adalah mereka yang hidup dijalanan, adalah petani, adalah tukang becak,
adalah pedagang asongan, adalah tiap-tiap orang yang sekali lagi tereksploitasi oleh
sistem.

Hak Asasi Manusia dan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang


pengadilan Hak Asasi Manusia. Bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat
hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhaluk Tuhan
yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib di hormati, di junjung
tinggi, dan di lindungi oleh Negara hukum, Pemerintahan, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Menilik penjelasan diatas, munculnya kelas sosial tersebut akibat dari satu
keadaan yang di ciptakan atas hasil keserakahan. Urusan rejeki antar bangsa sering
kali menghancurkan akal sehat, menggugurkan nurani, hingga menghasilkan
kesengsaraan hebat. Dengan demikian dapat di gambarkan secara sederhana
realitas dan Idealitas subaltern maupun marhaen sebagai satu Individu dan
kelompok sebagai warga Negara dalam kaitannya dengan keberlangsungan hidup
Hak Asasi Manusia.

42
Subaltern classes tecipta sebagai status kelas sosial yang tak terjamin
hidupnya sebagai warga Negara yang utuh. Political power values sebagai
orientasi kapital mengharuskan mereka terpinggirkan dari segala aspek
kehidupan. Secara politik, mereka hanya dianggap sebagai objek akumalatif
dalam upayanya mengambil keputusan. Sistem politik yang tak lagi berdaulat, pun
menambah dampak buruk bagi realtas ekonominya. Tidak adanya penguasaan
factor produksi, mengakibatkan hasil produksi rumahan terdesak hingga tanpa
hasil yang berarti. Dalam upayanya menempuh pendidkan, kebutuhan ini acapkali
tak terjangkau dengan maksimal. Orientasi kapitalistik dari institusi pendidikan,
menambah buruk harapan akan berubahnya status sosial mereka.
Satu realitas pokok ini, saya yakini masih menjadi keadaan yang sampai
saat ini menjalar subur di pintu-pintu dapur setiap keluarga. Bahkan tergantung di
atas rumah, hingga esok hari terbuka mata, teringatlah mereka- subaltern-
marhaen, bahwa segala bentuk ketidakadilan adalah keniscayaan mutlak.
Harapan dan idealitas kehidupan kelas sosial ini seakan menjadi bentuk
pesimistis dan ketakutan oleh karena ter-delusi pada realitas yang ada. Namun
selama Negara bersikseras untuk berdiri sebagai wakil setiap kebahagiaan
individu, maka Negara wajib menerima konsekuensi logisnya, bahwa tidak ada
Idealitas yang paling sempurna dalam pegeartiannya yang paling sempura,
terkecualikan- kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kesimpulan
Bahwa Hak Asasi Manusia adalah pesan Tuhan kepada Semesta dan Manusia.
Maka bukan Manusia bagi mereka yang merenggut Hak semesta dan isinya.
“Penulis merupakan Mahasiswa Fakutltas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bahasa Inggris,

Universitas Tidar”

43
Pada dekade terakhir setidaknya telah terjadi revolusi terkait
kemanusiaan, seiring dengan pesatnya laju arus post-modernist yang melahirkan
kemajuan pada bidang-bidang krusial, tak terlewatkan para aktivis hak asasi
manusia memanfaatkan kemudahan serta pesatnya globalisasi di bidang media
informasi. Organisasi Internasional non-pemerintah yang gentol dalam usahanya
mengupayakan tegaknya hak atas hidup, hak atas berserikat, hak atas beragama,
dan hak atas hidup yang lebih baik, salah satunya adalah Amnesty International
yang didirikan oleh Peter Benenson di Inggris tahun 1961.
Kiat-kiat mengupayakan terciptanya kemuliaan atas HAM, Amnesty
International secara masive masuk kedalam negara-negara berdaulat atas hukum
dan negara yang menjamin hak asasi manusia terhadap masyarakatnya. Mendasari
pendapat dari para aktivis HAM yang mengutarakan terkait sudah tidak efektifnya
efek yang timbul dari hukuman mati, Institute for Criminal Justice Reform ( ICJR)
merilis daftar jumlah negara yang telah menangguhkan kebijakan terkait
penjatuhan vonis mati dan beberapa negara malah sudah menghapus vonis mati
dalam sistem konstitusinya, setidaknya pada tahun 2017 terdapat 142 negara yang
telah mengambil sikap positif terhadap rekomendasi Amnesty International.
Indonesia menjadi salah satu negara yang masih kolot dalam menghadapi
perubahan yang pesat, masih meraba-raba substansi dalam konstitusi dan belum
terlihat keseriusanya dalam merevitalisasi aturan terkait penghapusan hukuman
mati tersebut. ICJR merilis data taktis seputar vonis mati di Indonesia, pada tahun
2018 setidaknya telah terjadi 48 penuntutan vonis mati terhadap terpidana di
seluruh Indonesia. Sekurang-kurangnya 219 orang narapidana mengantri pada
giliran mereka. Namun tak luput dari itu dapat kita apresiasi kinerja Amnesty

44
International di Indonesia yang menjadi rujukan pemerinrah untuk memilah
pemberian hadiah amensti terhadap narapidana terpilih.
Menengok dasar pemberlakuan vonis mati terhadap terpidana sebenarnya
terdapat 13 faktor perbuatan melawan hukum, namun yang paling sering di
terapkan di Indonesia adalah penjatuhan hukuman mati terhadap pelaku,
pembunuhan berencana, pengedar narkoba, teroris, serta pelaku kekerasan seksual
terhadap anak yang mengakibatkan hilangnya nyawa. Bagaimana dengan nasib
koruptor? Dalam undang-undang tipikor sendiri telah mengatur vonis mati
terhadap koruptor dalam dua keadaan tertentu yaitu, koruptor pada saat atau
terhadap penanganan bencana alam, dan koruptor saat terjadinya krisis moneter.
Lantas bagaimana tanggapan kita terhadap perubahan yang datang?
Akankah kita dapat berperan aktif dalam pembahasan krusial mengenai hukum dan
hak asasi manusia? Kiranya banyak hal yang kita lakukan dalam satu hari yang
sama sekali tak merefleksikan kepedulian kita terkait keadaan sekitar dan
lingkungan terdekat, kenapa tidak kita berkumpul dan sedikit berbincang tentang
hal-hal yang tak berhubungan dengan egosentrisme manusia post-mileniall. Salam
waras !!!

“Hanya ketika tahanan hati nurani terakhir telah dibebaskan, ketika ruang
penyiksaan terakhir telah ditutup, ketika Deklarasi Universal PBB tentang Hak
Asasi Manusia telah menjadi kenyataan hidup warga dunia, kerja kita bisa
dianggap selesai” Peter Benenson.

45
Biodata Penulis
Krisnaldo Triguswinri lahir di Jambi, 24 Oktober 1996. Menempuh studi di Fisip
Untidar angkatan 2014. Memiliki minat terhadap kajian filsafat politik dan
kebijakan publik. memiliki riwayat organisasi sebagai Wakil Ketua BEM FISIP
2014, Presiden Mahasiswa BEM KM UNTIDAR 2016, dan Redaktur Ikan Teri
Production. Menyukai Albert Camus dan para intelektual The New Left.
Mengagumi buku On Liberty, The Kapital dan The Selfish Gene.

Luqman K. A. lahir di Blora, 11 Mei 1997. Menempuh studi di Fakultas Ekonomi


Untidar angkatan 2015. Memiliki minat membaca, menggambar dan melamun.
Baginya, mengikuti organisasi adalah penyesalan hidup. Mengagumi Soe Hok Gie.
Menyukai buku Catatan Seorang Demonstran, Homo Deus dan Bumi Manusia.

Tio Rivaldi lahir di Liwa, Lampung, 3 Desember 1996. Menempuh studi di Teknik
Untidar angkatan 2015. Memiliki minat pada seni dan literasi. Berpengalaman
organisasi di UKAI, Bengkel Seni, Himatra, KAMMI dan BEM KM UNTIDAR
2018. Mengidolakan Nabi Muhammad SAW.

Geronimo S lahir di Jakarta, 4 September 1999. Studi di Teknik Untidar angkatan


2017. Meminati apa saja yang membuat gembira. Pengalaman organisasi lebih dari
enam. Menyukai Kiritsugu Emiya. Mengagumi buku Fish! Series, Penyambung
Lidah Rakyat, dan Saman.

Elvin Setiawan lahir di Wonosobo, 15 Juni 1997. Studi di Fisip Untidar angkatan
2015.

Hermowo Pribadi lahir di Klaten, 20 Desember 1997. Studi di Teknik Untidar


angkatan 2016. Memiliki minat dengan berdiskusi. Pengalaman organisasi Nandur
Benih, DPM KM dan Presiden Mahasiswa (aktif) BEM KM UNTIDAR 2019.
Mengidolakan banyak tokoh. Mengagumi buku Seni, Politik dan Pembebasan,
Dunia Shopie, dan Bukan Pasar Malam.

Siam Khoirul Bahri lahir di Jakarta, 31 Januari 1997. Studi di Fisip Untidar
angkatan 2015. Minat berfilsafat, membaca, menulis, diskusi, berorganisasi,
mendaki gunung, menikmati senja dan mencukupi kebutuhan biologis.
Pengalaman organisasi Himpunan Mahasiswa Administrasi Negara, GMNI
Magelang, BEM KM 2017, KNPI, Pusat Studi Kerakyatan, DPM Fisip.
Mengidolakan Bung Karno dan Nietszche. Membaca Penyambung Lidah Rakyat,
Zarathustra, dan Eksistensialisme dan Humanisme.
46
Reza Pahlevi lahir di Kendal, 27 Agustus 1997. Studi di Teknik Untidar angkatan
2015. Memiliki minat tehadap kesenian. Berorganisasi di HMTS, Bengkel Seni,
dan Imaken Untidar. Menyukai Wiji Thukul, Soekarno, dan Munir. Mengagumi
buku Ibunda, Lelucon Para Koruptor, dan Dunia Sophie.

Arief Budianto lahir di Bandung, 15 Maret 1996. Studi di FKIP Untidar angkatan
2014. Minat olahraga pancak silat dan demonstrasi. Organisasi UKM Merpati
Putih Untidar, DEP.POL BEM KM 2016, Ketua GMNI Magelang, DPM KM
2017, KNPI Magelang. Menyukai Soekarno, Nabi Muhammad SAW, dan Jean-
Paul Sartre. Membaca DI Bawah Bendera Revolusi dan Dunia Sophie.

Rafi Setiawan lahir di Magelang, 22 September 1996. Studi di Fisip Untidar


angkatan 2017. Minat pada musik. Menyukai RM Tirto Adhi Suryo. Membaca
Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah.

Biodata Penyunting
Ficky Jihan Ababa lahir di Temanggung, 18 Juli 1996. Studi di FKIP Untidar
angkatan 2014. Selalu berminat membuat orang berbahagia dan hoby mengkritik
karya dalam bidang apapun. Public Relation BEM KM 2016, Kelas Fotografi,
Sekolah Sadar, Visual Composer Ikan Teri Production dan PSM GST, DP PSM
GST. Menyukai Gandhi, Kurt Cobain, dan John Lennon. Buku terbaik Gandhi
The Man, The Old Man and The Sea, Wrecking The Journal.

47

Anda mungkin juga menyukai