Anda di halaman 1dari 3

Arlis.

Arin mencengkeram rangka besi dipan di dalam ruang UGD. Di hadapannya Arlis, kaka kelasnya
sedang ditanya-tanya oleh Bu Siska, petugas perpustakaan di sekolah, yang bersama Arin membawa
Arlis dan adik kandungnya ke rumah sakit. Keduanya menjadi korban kekerasan oleh teman-temannya
sendiri, yang bergabung dalam gangster, sebuah kelompok ekslusif di sekolah Arin.

Arlis yang sudah sadar menjawab terpatah-patah pertanyaan Bu Siska. Arin sengaja tidak ikut
bertanya, takutnya Arlis malah bingung ngejawab. Bicara aja susah, apalagi disuruh cerita kronologi
peristiwa!

“Kenapa mau jadi samsak mereka?” Bu Siska bertanya lembut, meski wajahnya tampak geram.
Kayaknya sudah di ubun-ubun deh, emosi si Ibu.

“Buat bibi, biar bisa ke rumah sakit.... adik saya datang buat belain saya...” jawab Arlis lirih dan
setengah tidak terdengar. Butuh konsentrasi tinggi untuk mengikuti pembicaraannya.

“ya sudah, sekarang kamu istirahat dulu, biar pulih dulu. Adikmu sudah sadar, sekarang mau
masuk ruang perawatan. Tadi ibu minta kalian sekamar, biar gampang bibimu kalau mau nengok,” Bu
Siska menepuk lengan Arlis, lalu berdiri dan mengangguk ke Arin, mengajak pulang.

Arlis menggumam, membuat Bu Siska harus mendekat lagi untuk mendengar lebih jelas.
Sesekali dahinya berkerut berkonsentrasi ke perkataan Arlis.

“oh, itu, sudah, biaya sudah ditangani sekolah. Jangan khawatir. Ibu pulang dulu ya! Nanti pak
penjaga sekolah akan jaga di kamar perawatan malam ini. Bibi mu sudah diberitahu, tapi biar besok saja
ya, nengok kalian?”

Arils tersenyum sedikit. Arin membatin, cakep juga Arlis kalo lagi gitu! Tapi diusirnya jauh-jauh
pikiran jahat bin konyol. Bukannya sedih melihat kawan menderita.

Maghrib menjelang ketika mobil Bu Siska keluar dari rumah sakit, dengan Arin berada di
dalamnya. Mereka masih membicarakan Arlis.

“ya, dia butuh uang buat bibinya yang lagi sakit. Orang tuanya nggak ketahuan di mana, dari
Arlis kecil. Bibinya itu juga bukan saudara, Cuma wanita tua buruh cuci baju, tapi nggak punya anak...”
Bu Siska menghela napas panjang.

“tapi kalau hidup susah, kenapa sekolahnya di situ, Bu? Kan bayarnya gede...” ARin tak
mengerti.

Bu Siska mengangguk “bibinya Arlis pernah kerja di keluarga ekspatriat yang baik hati banget.
Mereka memasukkan Arlis ke SMA kita, dan membayar lunas semua biaya, dari uang pendaftaran, uang
gedung, SPP, eskul, dan lain-lainnya, sampai Arlis lulus. Malah katanya kalau ada lebihnya, buat sekolah
aja... adiknya juga disekolahin di SMP Favorit!”

“wihh... baik banget tuh Belanda!” sahut Ari nasal.

“orang Inggris....” potong Bu Siska sambil tertawa. “kata mereka, biaya sekolah di SMA kita
murah sekali! Makanya dibayar lunas! Cuma sayangnya, setahun lalu mereka kembali ke negaranya, bibi
Arlis jadi nganggur. Arlis yang biasanya bantu-bantu jadi tukang kebun di rumah orang asing itu juga,
juga sama, nggak kerja lagi!”
“oh makanya dia rela jadi budak dirga...” Arin menebak-nebak. “emang sekolah enggak bisa
menghukum mereka, bu?”

“pada dasarnya sekolah kan bukan tempat untuk menghukum, rin. Kami harus member contoh
baik dan penerangan secara persuasive, tidak dengan kekerasan. Mengubah karakter itu harus dalam
diri murid, nggak bisa main hukum begitu saja. Harus ada bargainingnya....”

Arin mengiyakan kata-kata Bu Siska. Ia sendiri contohnya, nggak bisa dipaksakan untuk sekolah
terus, karena seringkali desakan untuk jalan-jalan begitu kuat. Tapi toh sekolah memberi kesempatan
padanya untuk belajar dengan cara lain.

“andaikan semua sekolah seperti sekolah kita ya, bu?” arin menghayal

Bu Siska tersenyum, “nggak gampang menerapkan system seperti di sekolah kita, Rin. Banyak
tantangannya, diprotes orangtua, diinspeksi pemerintah, difitnah sekolah competitor, wahh...
banyaklah!”

Ain menganggukkan kepala, galau “aku jadi pusing kalo mikir system terlalu rumit, bu...”
otaknya yang pernah amnesia kadang memang jadi lemot saat dipikir terlalu terlalu keras.

“jangan dipikirin, itu urusan sekolah!” bu Siska meminggirkan mobil. “bener turun di sini?”

“iya bu, aku naik angkot aja, di seberang sana, makasih ya, bu!” arin turun dari mobil setelah
cium tangan bu Siska.

“titidije...” Bu Siska mengangkat jarinya membentuk tanda victory, sambil tertawa kecil.

Arin menyebrang dan menunggu angkot dengan hati rusuh. Hari mulai gelap, dia belum sholat
maghrib pula! Bermenit-menit angkot jurusan rumah Arin belum juga kelihatan, membuat Arin dan
beberapa calon penumpang makin gelisah.

“masasih nggak ada angkot satupun?” keluh seorang ibu pekerja yang menenteng makanan
gorengan, mungkin sebagai oleh-oleh buat anaknya.

Kaki arin mulai pegal-pegal. Mama masih dalam perjalanan pulang dari Surabaya, nggak
mungkin minta jemput arin. Pak sopir sedang cuti beberapa hari.

Jadilah arin harus sabar menunggu....

Ciiitttt!!!

Sebuah mobil X-Trail berhenti di depan Arin. Reflex Arin melompat mundur beberapa langkah.
Instingnya membunyikan tanda bahaya. Dua pintu samping terbuka dan keluarlah cowok-cowok yang
dikenal Arin sebagai anggota kelompok gangster. Gerakan mereka cepat, membidik Arin. Mencekal
lengan gadis itu dan memaksanya masuk ke mobil.

Laras berontak, melawan dan menendang-nendang.. sekuat mungkin, ia berteriak minta tolong.
Dalam kondisi seperti ini, Arin sama sekali tak tahu malu. Alam sadarnya menyuruh member tahu pada
dunia, bahwa ia sedang terainiaya.

Orang sekitar bukannya menolong, tapi agak ngeri terkena serangan Arin. Sampai ia terlepas
sama sekali dari cekalan cowok-cowok itu.
“Cukup!” teriakan itu dibarengi pukulan ke bodi mobil.

Semua pandangan tertuju pada lelaki muda yang berdiri dengan arogannya. Dirga.

Jika banyak teman cewek disekolahnya yang diam-diam membicarakan Dirga yang gagah, bagi
Arin malah kebalikannya. Dirga adalah ikon kesombongan karena kekayaan orangtuanya. Dan buat Arin,
itu seperti sampah dimatanya. Ups! Saking tidak berartinya!

Kini Dirga ada dihadapannya, member isyarat pada teman-temannya untuk masuk mobil, yang
dituruti dengan sukarela. Pandangan Dirga tajam ke mata Arin, dibalas dengan tatapan teduh dan hati
tenang. Arin dzikir tak putus-putus. Bukan mata Dirga yang ditatap, melainkan dahinya.

Secara raga Arin belajar Tae Kwon Do, tapi menggabungkannya dengan olahan hati dan jiwanya
dengan dzikir. Butuh waktu dan latihan memang. Arin juga belum sempurna. Tapi ia yakin seyakin-
yakinnya, allah tak akan meninggalkannya.

Arin dan Dirga hanya berjarak dua meter, Dirga merengsek maju perlahan. Arin tetap pasang
kuda-kuda. Orang-orang sekitar berniat membantu, tapi diancam dengan kibasan tangan dan kaki
lawannya. Arin berjaga-jaga, pantang baginya menyerang duluan. Apalagi dia nggak ada urusan dengan
Dirga.

Tapi begitu kaki cowok itu mennedang dengan tangan berayun, arin lebih memilih menghindar
dengan mencondongkan tubuh dan bergeser ke kanan.

Tesss!!!!

Desir angin tipis ayunan tangan Dirga menyisir ujung rambut Arin. Untung rambutnya pendek,
jika panjang, sudah pasti terjambak, dan hilang keseimbangan.

Tolakan kaki Dirga yang semula diperkirakan Arin sebagai tendangan karate mengarah ke bahu,
berubah arah ke bawah, sasarannya ke kaki arin. Arin yang tak menduga tak sempat menghindar. Kaki
Dirga menyepak keras paha kiri belakang Arin.

Buggg!!!

Arin yang terkejut terjatuh seiring jeritan orang-orang disekitarnya. Secara reflek arin
menjatuhkan tubuhnya lebih dulu ke pedestrian. Lengannya memang sakit, tapi tak sesakit kaki kirinya
yang seperti mati rasa.

Darah marah menggelak di tubuh Arin. Ia ingat Arlis

“ lo boleh nyerang gue! Tapi dosa lo nyiksa Arlis, itu gak bisa dibayar dengan apapun! Bahkan
dengan seluruh harta yang lo punya!” suara Arin terdengar sesak, parau, pilu, nyeri, dan penuh tekanan.
Air mata Arin bercucuran, untuk penderitaan dan kemalangan Arlis.

“asal lo tahu rin, gue udah bayar dia! Jadi kami impas!” Dirga balas berteriak.

Dari sudut mata yang penuh air mata, Arin melihat Dirga merangsek mendekat dengan lengan
mengayun. Sesaat Arin hanya bisa pasrah, seluruh dzikirnya hanya untuk minta pertolongan Allah...

“Dirga!!!”

Tiba-tiba terdengar teriakan menggelegar terbawa angin. Suara berat dan lantang. Orang sama-
sama menoleh, seorang lelaki kekar berjas dan dasi berteriak memanggil Dirga dari mobil yang tiba-tiba
berhenti.

Anda mungkin juga menyukai