Anda di halaman 1dari 186

Bahan Kuliah

HUKUM ACARA PIDANA DAN PRAKTEK


PERADILAN PIDANA

OLEH:

I KETUT SUDJANA, SH. MH

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

MARET, 2016
KATA PENGANTAR

Atas berkat, rahmat dan perlindungan Tuhan Hyang Maha Esa dapatlah

yang berjudul, “Eksistensi Intervensi Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara”, diselesaikan dengan baik dan lancar.

Tugas akhir ini merupakan salah satu syarat guna mencapai gelar sarjana hukum

(S-1) di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan tugas akhir ini dapat

terselesaikan berkat dorongan, bimbingan, arahan dan bantuan semua pihak.

Untuk itu, ucapan terima kasih penulis haturkan kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof.Dr.I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH., Dekan Fakultas

Hukum Universitas Udayana;

2. Bapak I Ketut Sudiarta, SH., MH., Pembantu Dekan I Fakultas Hukum

Universitas Udayana;

3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, SH., MH., Pembantu Dekan II

Fakultas Hukum Universitas Udayana dan Dosen Pembimbing I yang

selalu memberikan arahan dan saran dalam setiap tindakan yang

penulis lakukan pada saat menempuh studi dan memberikan

bimbingan yang berguna dalam penyusunan tugas akhir ini;;

4. Bapak I Wayan Suardana, SH., MH., Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Udayana;

5. Bapak Anak Agung Gede Oka Parwata, SH., MH., Ketua Program

Ekstensi Fakultas Hukum Universitas Udayana;

vi
6. Bapak I Ketut Sudjana, SH., M.H., Dosen Pembimbing II yang telah

meluangkan banyak waktu untuk mengarahkan dan membimbing

penulis dalam menyusun tugas akhir ini;

7. Para Dosen dan Asisten di Fakultas Hukum Universitas Udayana yang

telah membimbing dan mendidik penulis selama menjalani studi di

Fakultas Hukum Universitas Udayana;

8. Staff Pegawai Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah

membantu dalam penyelesaian administrasi selama penulis menempuh

studi di Fakultas Hukum Universitas Udayana;

9. Keluarga besar terutama orang tua penulis yang penuh kesabaran dan

kasih sayan, mendukung tanpa henti baik secara materiil maupun

immaterial demi menyelesaikan studi ini;

10. Sahabat-sahabat terbaik penulis yaitu Aditya Wisnu Mulyadi, Debby

Fitria, Ary Diantara, Agus Haryono, Gustav, Dyva Yadnya, Agus

Indra yang telah memberikan motivasi, nasehat dan bantuannya selama

penulis menyelesaikan tugas akhir ini;

11. Kekasih tercinta Sri Wahyuni (Yunie Mank Xebelin) yang selalu setia

memberikan doa dan dukungan selama penulis menyelesaikan tugas

akhir ini;

12. Teman-teman kantor penulis di PT. Bali Mara Wisata T & T: Bapak

Unggul Prasetyo, Bapak Dewa, Mbak Nisa’, Mbak Puspa dan Mbak

Dwi yang telah banyak membantu penulis selama menjalani studi;

vii
13. Barrack Obama, Ir. Soekarno, Nelson Mandela, Albert Einstein, Sir

Isaac Newton, dan Leonel Messi yang perjuangan, semangat, tekad

dan ketekunannya menjadi inspirasi bagi penulis;

14. Rekan-rekan angkatan 2009 Fakultas Hukum Universitas Udayana

serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang

turut memberikan bantuan dalam menyelesaikan tugas akhir ini

Dalam penyusunan tugas akhir ini penulis berusaha dengan segenap

kemampuan dan pengetahuan agar dapat memaparkan permasalahan yang

diangkat secara terarah dan sistematis. Namun dengan kemampuan yang terbatas,

penulis menyadari bahwa hasil ini jauh dari sempurna baik dalam teknis penulisan

maupun materi yang dikaji, oleh sebab itu kritik dan saran yang membangun

sangat penulis harapkan.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga tugas akhir ini bermanfaat bagi

dunia pendidikan serta dapat dijadikan bahan kajian yang berarti.

Denpasar, Desember 2013

Akhmad Rohim

viii
BAB I
PENDAHULUAN

1. Difinisi Hukum Acara Pidana


Dikalangan para sarjana banyak dijumpai difinisi hukum acara pidana, namun pada
intinya mengandung makna dan tujuan yang sama .
Seperti oleh Prof. DR Wirjono Projodikora, mendifinisikan sbb :
Jika suatu perbuatan dari seorang tertentu menurut peraturanhukum pidana
merupakan perbuatan yang diancam dengan hukuman pidana, jadi jika ternyata ada hak
badan pemerintah yang bersangkutanm untuk menuntut seorang guna mendapat hukuman
pidana, timbul soal cara bagaimana hak menuntutitu dapat dilaksanakan, cara bagaimana
akan didapat suatu putusan Pengadilan, cara bagaimana dan oleh siapa suatu putusan
Pengadilan yang menjatuhkan suatu hukuman pidana, harus dijalankan. Hal ini
semuaharus diatur dan peratura inilah yang dinamakan hukum acara pdana ( Prof. DR
Wirjono Prodjodikoro, SH, Hukum Acara Pidana di Indonesia, h 15 ).
MR. S. M. Amin , mendifinisikan sbb :
Kumpulan ketentuan –k etentuan dengan tujuan memberikan pedoman dalam
usaha mencari kebenaran dan keadilan bila terjadi perkosaan atas suatu
ketentuan hukum dalam hukum materiil, berartimemberikan kepada hukum
acara ini , suatu hubungan yang meng’abdi” terhadap hukum materiil ( Mr.
S.M Amin, Hukum Acara Pengadilan Negeri, h.15 ).
Secara keseluruhan Hukum Pidana dapat dibedakan menjadi hukum pidana material dan
hukum pidana formal. Hukum pidana formal menurut R. Soesilo dikatakan bahwa hukum
pidana formal itu adalah kumpulan peraturan-peraturan hukum yang memuat ketentuan-
ketentuan tentang :
a. Cara bagaimana harus diambil tindakan-tindakan jika ada sangkaan bahwa telah terjadi
suatu tindak pidana, cara bagaimana mencari kebenaran-kebenaran tentang tindak pidana
apakah yang telah dilakukan.
b. Setelah ternyata bahwa ada suatu tindak pidana yang dilakukan, siapa dan cara
bagaimana harus mencari, menyelidiki dan menyidik orang-orang yang disangka bersalah
terhadap tindak pidana itu, cara menangkap, menahan, dan memeriksa orang itu.

1
c. Cara bagaimana mengumpulkan barang-barang bukti, memeriksa, menggeledah badan
dan tempat-tempat lain serta menyita barang-barang itu untuk mambuktikan kesalahan
tersangka.
d. Cara bagaimana pemeriksaan dalam sidang pengadilan terhadap terdakwa oleh hakim
sampai dapat dijatuhkan pidana.
e. Oleh siapa dan dengan cara bagaimana putusan penjatuhan pidana itu sendiri dilakukan
dan atau dengan singkat dapat dikatakan: yang mengatur tentang cara bagaimana
mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana material, sehingga memperoleh
keputusan hakim dan cara bagaimana isi keputusan itu harus dilaksanaka ( R Soesilo,
Hukum Acara Pidana, Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Menurut KUHAP Bagi Penegak
Hukum ).
Hukum pidana formal itu dinamakan hukum acara pidana, Prof. Moeljatno, SH,
berdasarkan atas definisi-definisi yang ada menyimpulkan bahwa :
Hukum Acara Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu
Negara, yang memberi dasar-dasar dan aturan-aturan yang menentukan dengan cara
dan prosedur macam apa, ancaman pidana yang ada pada sesuatu perbuatan pidana
dapat dilaksanakan apabila ada sangkaan bahwa orang telah melakukan delik tersebut.
Demikian juga difinisi hukum acara pidana oleh Van Bemmelen dikutuif dalam Lilik
Mulyadi. H. 7 ) me4ngatakan :
Ilmu hukum acara pidana mempelajari serangkaian peraturan yang diciptakan oeh
Negara, dalam hal adanya dugaan dilanggarnya UU Pidana sbb :
1. Negara menyidik kebenaran adanya dugaan pelanggaran;
2. Sedapat mungkin menyidik pelakunya;
3. Melakukan tindakan agar pelakunya dapat ditangkap, kalau perlu ditahan;
4. Alat – alat yang diperoleh dari hasil penyidikan dilimpahkankepada hakimdan
dihadapkan terdakwa kedepan hakim tersebut;
5. Menyerahkan kepada hakim agar diambil putusan tentang terbukti tidaknya
perbuatanyang didakwakan kepada terdakwa dan tindakan atau hukuman apakah
yang akan diambil atau dijatuhkan;
6. Menentukan upaya hukum guna melawan putusan tersebut;
7. Akhirnya melaksanakan putusan tentang pidana atau tindakan untuk dilaksanakan.

2
2. Tujuan Hukum Acara Pidana
Pedoman pelaksanaan KUHAP, memberi penjaelasan tentang tujuan hukum acara
pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendapati kebenaran
material, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan
menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk
mencari siapakan pelaku yang dapat didakwa melakukan suatu pelanggaran hukum, dan
selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah
terbukti bahwa suatu pindak pidana telah dilakukan dan apakah orang didakwa itu dapat
dipersalahkan.
Demikian juga pendapat Simons dan Mr .J. M. Van Bemmelen mengatakan pada
intinya tujuan Hukum Acara Pidana adalah “mencari kebenaran materiil , sehingga
kebenaran formil bukanlah merupakan tujuan dari hukum acara pidana” ( Dalam Lilik
Mulyadi, Hukum Acara Pidana , Suatu Tinjaoan Khusus.h. 14 ).

3. Tugas/Fungsi Hukum Acara Pidana


Prof. Moeljatno, SH berdasarkan atas definisi hukum acara pidana yang dibuatnya
menambahkan bahwa fungsi hukum acara pidana adalah melaksanakan ketentuan-ketentuan
hukum pidana. Dan sehubungan dengan fungsi hukum acara pidana Mr. J.M. Van
Bemmelen, dalam tulisannya “Leerboek van Het Nederlandsch Strat procesrecht”,
menyebutkan ada 3 (tiga) fungsi pokok Hukum Acara Pidana yaitu:
a. Mencari dan menemukan kebenaran
b. Pengambilan putusan oleh Hakim
c. Pelaksanaan dari pada putusan yang telah diambil (S.Soema Dipradja, 1978).

4. Sifat Hukum Acara Pidana


Bertitik tolak dari hukum acara pidana adalah hukum public ( public law ) dan hukum
yang mempertahankan esensi dari hukum pidana , sifat hukum acara pidana haruslah
memberikan keastianprosedur dan rasa keadilan, baik anasir orang yang dituntut maupun
kepentingan masyarakat itu sendiri. Dalam hai ini Prof. DR Wirjono P. dengan tegas mengatakan
ada dua sifat dari hukum acara pidana Indonesia : Kepentingan Masyarakat dan kepentingan
orang yang dituntut.. Lebih jauh dikatakan :
Pertama, Dari kepentingan masyarakat itu sendir dalam artian , bahwa kepentingan
masyarakat harus dilindungi, yang mana hal ini merupakan sifat hukum acara pidana
sebagai bagiandari hukum public ( public law ), karena bertugas melindungi

3
kepentingan masyarakat, maka konsekwensil logisnya haruslah diambil tindakan tegas
dari seorang yang melanggar suatu aturanhukum pidana sesuai dengan kadar
kesalahannya ( equality of law ), yang mana tindakan tegas dimaksudkan sebagai
sarana guna keamanan, ketentraman dan kedamaian hidup masyarakat.
Kedua , dari aspek kepentingan orang yang dituntut dalam arti hak – hak orang
yangdituntut dipenuhi secara wajar sesuai ketentuan hukum positif dalam kontek
Negara hukum ( rechtstaat ). Oleh karena orang yang dituntut harus mendapat
perlakuan yang wajar/ adil sedemikian rupasehingga jangan sampai diketemukan
orang tidak melakukan tindak idana dijatuhi hukuman dan sebaliknya. Atau jangan
sampai seseorang yang terbukti ersalah mendapat hukuman yang terlalu berat dan
tidak seimbang .

5. Sistem Hukum Acara Pidana


Dalam hukum acara pidana dikenal da system pemeriksaan :
a. System inquisitoir artinya pemeriksaan , yaitu system pemeriksaan dimana si tersangka
merupakan objek utama dalam pemeriksaan. Pemeriksaan atas diri tersangka diarahkan
sedemikian rupa menurut kemauan penyidik sampai diperoleh pengakuan bersalah dari
tersangka dan kemudian dicatat dalam berkas pemeriksaan. Terhadap system ini,
sekiranya dudah terang bahwa dalam Negara Indonesia, juga berhubungan dengan
adanya satu sila dari Pancasila yang merupakan Pri Kemanusiaan harus dalam hakiatnya
dianut system accusatior . Maka dalam melakukan kewajibannya pejabat – pejabat
pengusut dan penuntut perkara pidana harus selalu ingat kepada hakikat ini dan
menganggap tersangka selalu sebagai subjek yang mempunyai hak penuh untuk
membela diri ( Wirijono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana Di Indonesia, h. 19 ).
b. System accusatoir dalam bahasa Indonesia artinya menuduh dimana si tersangka
dianggap suatu subjek dan si tersangka memperoleh kesempatan untuk saling melakukan
argumentasi dan berdebat dengan pihak pendakwa yaitu Kepolisian atau Jaksa Penuntut
Umum yang secara sedemikian rupa sehingga masing-masing pihak mempunyai hak
yang sama nilainya
Sebelum berlakunya hukum acara pidana yang baru bahwa system inquisitoir diterapkan
dalam pemeriksaan di tingkat penyidikan (pemeriksaan pendahuluan) sedangkan system
accusatoir diterapkan dalam proses pemeriksaan dimuka sidang pengadilan.
Bagaimana dengan berlakunya hukum acara pidana yang baru (KUHAP) sekarang ini.
Untuk menjawab system yang digunakan di dalam pemeriksaan perkara, maka dapat

4
dikembalikan kepada latar belakang dikeluarkannya KUHAP dimana hak azasi manusia
yang berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila di samping juga dalam KUHAP menganut
azas “aqual before the law”yakni asas praduga tak bersalah dimana hak azasi manusia
dihormati dan dijunjung tinggi, maka sudah selayaknya system accusatoir diterapkan sejak
pemeriksaan ditingkat penyidikan, sehingga tersangka/terdakwa dianggap sebagai subjek
yang mempunyai hak penuh untuk membela diri.
Jika dicermati antara kedua system diatas, setelah berlakunya KUHAP. Indonesia tidak
menganut system tertutup murni ( jaksa sebagai Penyidik dalam Tindak Pidana Tertentu
diluar KUHP.), hal ini jelas dapat dilihat dalam pasal 284 KUHAP. Serta penjelasannya,
pasal 32 huruf b UU Kejaksaan RI. No. 16/ 2004 .

6. Azas Hukum Acara Pidana


Dalam hukum acara pidana dikenal adanya beberapa azas yaitu:
1. Azas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan
2. Azas praduga tak bersalah
3. Azas oportunitas
4. Azas pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum
5. Azas perlakuan yang sama di depan hakim
6. Azas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan
7. Azas bantuan hukum
8. Azas ne bis in idem
9. Azas hak ingkar
10. Azas kehadiran terdakwa
11. Azas ganti rugi dan rehabilitasi
12. Azas kepastian jangka waktu penahanan.

Ad. 1. Azas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan ( Azaz Tri Logi Peradilan )
Penjelasan umum KUHAP butir 3 e menyebutkan: Peradilan yang harus dilakukan
dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus
diterapkan secara konsekwen dalam seluruh tingkat pemeriksaan.
Ketentuan tersebut di atas adalah merupakan kutipan pasal 4 ayat 2 UU Pokok
Kekuasaan Kehakiman (UU No. 14 Tahun 1970 dirubah dengan UU N0.4 tahun 2004
Tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 5 ayat 2. Selanjutnya penjabaran terhadap azas ini
dapat kita lihat dalam beberapa ketentuan pasal KUHAP, yaitu antara lain:

5
a) Pasal 24 ayat 4, 25 ayat 4, 27 ayat 4 dan 28 ayat 4, yang pada dasarnya memuat ketentuan
bahwa penahanan yang telah lewat waktu seperti yang telah ditentukan, maka penyidik,
penuntut umum dan hakim harus mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari tahanan
demi hukum.
b) Pasal 50 mengatur tentang hak tersangka/terdakwa untuk segera diberitahukan dengan
jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya
pada waktu dimulainya pemeriksaan, dan kemudian segera diajukan ke pengadilan oleh
penuntut umum dan selanjutnya oleh pengadilan segera diadili.
c) Pasal 102 ayat 1 menyebutkan bahwa penyelidik yang menerima laporan atau pengaduan
tentang terjadinya suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana, wajib segera
melakukan tindakan penyelidikan.

Ad. 2. Azas Praduga Tak Bersalah Lihat Ketentuan Pasal 8 UU. No 4/2004.
Dalam penjelasan umum butir 3 c KUHAP disebutkan: Setiap orang yang disangka,
ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap
tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahanya dan
memperoleh kekuatan hukum tetap. Dan selanjutnya ketentuan ini dikenal sebagai azas
“praduga tak bersalah atau presumption of innocence” dan azas ini telah diatur dalam pasal
8 UU No.4 Tahun 2004, lihat juga pasal 6 UU no 4/2004.
Ketentuan tersebut diatas dalam perundang-undangan pidana khusus terutama undang-
undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pasal 17 dan 18 seolah-olah
kedudukannya terdesak. Pasal 17 ayat 1 menyebutkan bahwa hakim dapat memperkanankan
terdakwa untuk kepentingan pemeriksaan memberikan keterangan tentang pembuktian
bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi.

Ad. 3. Azas Oportunitas


Azas oportunitas ini berkaitan dengan tugas dan wewenang Jaksa/Penuntut Umum
untuk mengadakn penuntutan atau tidak terhadap suatu perkara pidana. Azas ini dalam
Undang-undang tentang Kejaksaan (UU No.16Tahun 2004) diatur melalui pasal 35c. yang
menyebutkan bahwa Jaksa Agung dapat mengesampingkan perkara demi kepentingan
umum.
Dalam penjelasan pasal 35c, yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah
kepentingan Negara atau masyarakat dan bukan untuk kepentingan pribadi. Hal ini sesuai
dengan pendapat Soepomo yang mengatakan bahwa baik di negeri Belanda mapun Hindia

6
Belanda, berlaku azas oportunitas dalam tuntutan pidana, artinya penuntut umum berwenang
tidak melakukan suatu penuntutan jikalau adanya tuntutan itu dianggap tidak “opportuun”,
tidak guna kepentingan masyarakat. (Soepomo, 1981, Hukum Acara Pidana, hal. 137)

Ad. 4. Azas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum


Dalam penjelasan umum KUHAP butir 3 i menyebutkan bahwa pemeriksaan (sidang
pemeriksaan pengadilan) adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang diatur dalam
undang-undang. Selanjutnya azas ini dijabarkan dalam pasal 153 ayat 3 dan ayat 4 KUHAP
yaitu:
“Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang dan menyatakan terbuka untuk
umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanay anak-anak (ayat
3).”
“Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat 2 dan 3 mengakibatkan batalnya putusan
demi hukum (ayat 4).”
Dari ketentuan yang ada ini dapat disebutkan bahwa sidang pada dasarnya dilakukan
secara terbuka untuk umum dan dilain pihak dalam hal-hal tertentu khususnya mengenai
delik kesusilaan dan atau pelakunya adalah anak-anak, maka sidang dilakukan secara
tertutup. Adapun tujuan diadakan sidang terbuka adalah sebagai pencerminan azas
demokrasi dibidang pengadilan sehingga jaminan terhadap harkat dan martabat manusia
betul-betul terjamin adanya.
Dalam hal putusan yang diambil oleh hakim selalu dinyatakan dalam sidang terbuka
untuk umum walaupun perkaranya diperiksa secara tertutup, hal mana secara tegas diatur
dalam pasal 20 UU N0 4/ 20040 UU dan pasal 195 KUHAP menyatakan bahwa: Semua
putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum.

Ad. 5. Azas Perlakuan yang Sama Di Depan Hakim


Penjelasan umum KUHAP butir 3 a dan pasal 5 ayat 1 UU No. 4/2004 menyebutkan
“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.”
Asas ini merupakan manivestasi dari Negara hukum, sehingga harus adanya perlakuan
yang sama bagi setiap orang didepan hkum. Jadi dengan demikian hal ini berarti member
perlindungan yang sama didepan hukum. Hukum acara pidana tidak mengenal aanya
peraturan yang meberi perlakuan khusus kepada terdakwa, sehingga pengadilan mengadili
menurut hukum dengantidak membeda – bedakan orang. Untuk menjamin peradilan

7
mengadili dengan tidak membeda – bedaka orang, undang – undangmenjamin embaga
peradilan agar segaa campur tagan dalam urusan peradilan oleh pihak lain diluar kekuasaan
kehakiman dilarang, kecuali dalam hal sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 beserta
perubahannya.

Ad. 6. Azas Pemeriksaan Hakim Yang Langsung dan Lisan


Penjelasan umum KUHAP butir 3 a menyebutkan bahwa pengadilan memeriksa perkara
pidana dengan hadirnya terdakwa, artinya pemeriksaan dilakukan secara langsung dan atau
tidak dapat dilaksanakan atau dikuasakan pada orang lain seperti dalam perkara perdata. Dan
disamping itu juga bahwa pemeriksaan oleh Hakim dilakukan secara lisan, yang dalam
kaitan ini dapat dilihat ketentuan yang menyatakan bahwa, “Pada permulaan sidang Hakim
Ketua mananyakan kepada terdakwa tentang nama lengkap, tempat lahir, agama dan
pekerjaan serta mengingatkan terdakwa supaya memperhatikan segala sesuatu yang
didengar dan dilihat dalam sidang (Pasal 155 ayat 1 KUHAP). Lihat pula ketentuan pasal l8
UU No. 4/2004.
Namun dalam hal perkara tertentu terdapat suatu pengecualian dari azas langsung yaitu
dalam pemeriksaan perkara dengan tanpa hadirnya terdakwa (in absensia) dan juga dalam
pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan terdakwa dapat mewakilkan dengan
menunjuk seseorang kuasa untuk hadir dalam sidang pengadilan.

Ad. 7. Azas Bantuan Hukum


Penjelasan umum KUHAP butir 3 f menyebutkan bahwa setiap orang yang tersangkut
perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan
untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya.
Selanjutnya azas bantuan hukum ini dijabarkan dalam pasal 69 sampai dengan pasal 74
KUHAP, yaitu:
a. Pasal 69 KUHAP menyebutkan: “Penasehat Hukum berhak menghubungi tersangka
sejak saat ditangkap/ditahan pada semua tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang
ditentukan dalam undang-undang ini. Dari ketentuan tersebut di atas dapat
disimpulkan babhwa bantuan hukum dapat diberikan pada setiap tingkat
pemeriksaan yaitu sejak saat tersangka ditangkap/ditahan.
b. Pasal 70 KUHAP selanjutnya mengatur tentang tatacara pemberian bantuan hukum
yaitu: “Penasehat Hukum dapat mengubungi terangka/terdakwa pada semua tingkat
pemeriksaan setiap waktu.

8
c. Pasal 71 KUHAP menyebutkan “Pembicaraan antara penasehat hukum da tersangka
tidak didengar oleh penyidik dan penuntut umum kecuali pada delik yang
menyangkut keamanan Negara.
Dari semua ketentuan yang ada tersebut menunjukkan betapa besar jaminan terhadap
harkat dan martabat manusia, sehingga dengan berlakunya KUHAP sekarang ini khususnya
mengenai bantuan hukum adalah merupakan hal yang secara fundamental berbeda dengan
system HIR terhadulu dimana bantuan hukum itu baru dapat diberikan sejak pemeriksaan di
sidang pengadilan. Lihat UU No l8 Tahun 2003, pasal 22 . pasal 37 dan 38 UU No. 4/2004.

Ad. 8. Azas Ne bis In Idem


Azas ne bis in idem diatur dalam pasal 76 KUHP yang menyebutkan bahwa orang tidak
boleh dituntut sekali lagi lantaran perbuatan (peristiwa) yang baginya telah diputuskan oleh
hakim. Atau tiada suatu perkara diajukan untuk kedua kalinya dalam hal yang sama yaitu
sama orangnya atau objeknya (dalam perkara tersebut). Azas ne bis in idem ini bertujuan
untuk melindungi harkat dan martabat manusia dan juga untuk menjamin adanya kepastian
hukum.

Ad. 9. Azas Hak Ingkar


Jika dilihat, maka hak ingkar ini apat dilihat dalam UU No 4/ 2004, yakni pasal 29 dan
pasal 157 KUHAP.
Dalam pasal 29 ditentukan : hak ingkar adalah hak seseorang yang diadili untuk mengajulkan
keberatan yang disertai dengan alas an terhadap seorang hakim yang mengadili perkara
tersebt.Hak ingkar dapat dilihat dari dua sudut pandang :
a. Hak ingkar / kewajiban untuk mengundurkan diribagi hakim , jika terdapat hubungan
keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau ada hubungan suami / istri
sekalipun sudah bercerai. Hal ini juga dapat dilihat dalam pasal 29 ayat 3 dan 4 UU No
4/ 2004dan pasal 157 ayat 1 dan 2 KUHAP.
b. Pasal 168 KUHAP menentukan Hak ingkar / mengundurkan diri sebagai saksi karena
adanya hubungan keluarga sedarah atau semendadalam garis lurus keatas atau kebawah
sampai derajat ketiga dari terdakwa, saudara terdakea, saaudara ibu/ bapak dan anak –
anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga, dan suami atau istri terdakwa sekalipun
sudah bercerai ( Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana,,h 17 ).

9
Ad. 10. Azas Kehadiran Terdakwa
Azas ini dapat dilihat dalam ketentuan pasal 154, 176 ayat 2, 196 ayat 1 KUHAP.
Dan pasal 18 ayat 1 UU No 4/ 2004. Hai ini diberlakukan terhadap terdakwa yang didakwa
melakukan tindak pidana umum seperti yang ditentukan dalam KUHP., maka jaksa
diharapkan untuk menghadikan terdakwanya didalam ruang siding pengadilan. Hai ini tidak
berlaku terhadap terdakwa yang didakwa melakukan tindak pidana khusus, ditentukan
diluar KUHP, seperti Tindak Pidana Korupsi, Tondak Pidana Ekonomi, yang pada intinya
menentukan bahwa pemeriksaan perkara ini tetap dapat berjalan tanpa kehadiran terdakwa
didalam siding pegadilan( pemeriksaan perkara secara in absenti ). Atau terhadap perkara
seperti perkara lalulintas jalan. Perhatikan ketentuan pasal 18 ayat 2 UU No 4/ 2004.
Ad. 11. Azas Ganti Rugi dan Rehabilitasi
Azas ganti rugi dan rehabilitasi ini secara lmitatif diatur dalam pasal 9 UU No. 4/
2004 , pasal 95, 96, dan 97 KUHAP. Ketentuan tsb pada intinya menentukan : jika seseorang
ditangkap, ditahan dan dituntut atau diadili tanpa berdasarkan undang – undang atau karena
kekeliruanbaik mengenai orangnya maupun penerapan hukumnya wajib memperoleh
rehabilitasi, apabila pengadilan memutus bebas ( vrijspraak ) atau lepas dari segala tuntutan
hukum ( onslag van alle rechtsvelvolging ) sebagaiana dimaksud dalam pasal 95 KUHAP,
menentukan : “memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta
martabatnya”.
Ad. 12. Azas Jangka Waktu Penahanan
Azas ini secara limitative diatur dalam pasal 24 ayat 1 dan 2 UHAP. Ditingkat
penyidikan jangka waktu penahanan paling lama 60 hari ( setelah perpanjangan ), dengan rincian
20 hari untuk kewenangan penyidik dan diperpanjang oeh Penuntut Umum 40 hari. Jangka
waktu penahanan oleh Penuntut Umum selama 20 hari, dan dapat diperpanjang oleh ketua
Pengadilan Negeri selama 30 hari, dan dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri selama
60 hari ( pasal 26 ayat 1 dan ayat 2 KUHAP. ). Jadi secara total jangka waktu penahanan mulai
ditingkat penyidikan sampai Mahkamah Agung, selama 400 hari dengan perincian 200 hari
untuk ditingkat penyidikan sampai pemeriksaan disidang pengadilan negeri dan 200 hari
ditingkat pemeriksaan banding dan kasasi, Akibat hukum jika hal tersebut dilanggar

7. Ilmu-Ilmu Pembantu Hukum Acara Pidana :


a. Psychiatrie: dan Psikologi .
Mula – mula cabang filsafat yang mempelajari psyche ( kegiatan alam sadar,
pikiran dan jiwa ). Jadi pada intinya ilmu ini mempelajari tentang kejiwaan seseorang.

10
Sedangkan psikiatri mempelajari segala segi mental manusia, baik dalam keadaan sehat
maupun dalam keadaan sakit. Ilmu ini terutama diperlukan bagi seseorang yang ada
kelainan jiwa atau keadaan jiwa yang terganggu maka dalam hal ini diperlukan seorang
psychiater. Demikian juga ilmu ini mempelajari kejiwaan orangperkotaan dengan orang
pedesaan/ pegunungan, juga mempelajari kejiwaan seseorang yang tidak mau menjawab
pertanyaan yang diajukan kepadanya.
b. Criminalistiek:
Ilmu kriminalistik ini mempelajari teknik penyidikan ( opsporing tecnick ) dan
organisasi dinas penyidikan, Dengan demikian pengetahuan kriminalistik sangat
penting di dalam tugas penyidikan sebab ilmu criminalistiek ini khusus mempelajari
tentang penyidikan.
c. Criminology:
Istilah ini merupakan terminology akhli Antropologi Prancis Paul Topinard dari kata
Cimen ( kejahatan/ penjahat ). Oleh Edwin H. Sutherland dan Donald Cressey
menyebutkan :
…..The body of knowledge regarding delinquency and crime as social phenomenon.
If includes within its scope the process of making law, the breaking of laws, and
rectingto word the breaking of laws …. ( dalam Lilik Mulyadi SH.MH, h 24 )
Kriminologi berorientasi pada 3 hal yang penting :
1. Perbuatan hukum meliputi telaah konsep kejahatan, siapa pembuat hukum,
factor – factor pebuat
2. Pelanggaran hukum yang dapat meliputi siapa pelakunya, mengapa sampai
melakukan serta factor yang mempengaruhi, siapa pelakunya, mengapa
sampai melakukannya;
3. Reaksi terhadap pelaku melalui proses peradilan dan reaksi masyaraka (ibid )

d. Victimologi
Berasal dari kata Victime berati korban dan logos berarti ilmupengetahuan.
Konkritnya victimologi adalah ilmu yang mempelajari korban kejahatan.
Ditinjau dari sifatnya korban kejahatan ada yang individual dan kolektif.
Korban individuan karena dapat diidentivikasi, sehingga perlindungan korban bisa
dilakukan secara nyata. Sedangkan korban kolektif diberikan jalan keluar
terhadapkorba kolektif berupa hak menuntut ganti kerugian atau pemulihan
lingkungan hiup melalui class action.

11
BAB II
SEJARAH HUKUM ACARA PIDANA

1. Masa Pemerintahan Hindia Belanda


Pada zaman Hindia Belanda dahulu terdapat dualisme dan atau pluralism dalam
hukum, halmana disebabkan karena pada waktu itu setiap golongan penduduk berlaku
hukumnya masing-masing. Penggolongan penduduk pada waktu itu diatur dalam peraturan
perundang-undangan yaitu:
a. Tahun 1848 dengan dikodifikasikannya tentang “Aturan Umum Peraturan Perundangan
Untuk Indonesia” (Alegemene Bepalingen van Wet geving atau disingkat AB), di
dalam pasal 6 samapi 10 mengatur bahwa golongan penduduk Hindia Belanda golongan
Eropah dan golongan Bumiputra. Pembagian ini didasarkan atas perbedaan agama yaitu
bagi mereka penganut agama Kristen termasuk golongan eropah dan bagi mereka yang
bukan Kristen adalah golongan Bumiputra.
b. Tahun 1854 dengan keluarnya “Peraturan Pemerintahan Hindia Belanda” (Regering
Reglement disingkat RR) ketentuan pasal 6 sampai 10 AB diganti dengan pasal 109
RR ), dimana perbedaan agama tidak lagi disyaratkan, sehingga golongan penduduk
menjadi: Golongan Eropah dan yang dipersamakan serta golongan Bumi Putra dan yang
dipersamakan.
c. Tahun 1920 diberlakukannya Indische Staatsregeling disingkat IS dalam pasal 109 RR
diganti dengan pasal 163 IS yang membagi golongan penduduk Indonesia menjadi 3
(tiga), yaitu: golongan Eropah, golongan Bumi Putra dan golongan Timur Asing.
Berdasarkan atas adanya penggolongan penduduk tersebut, maka dalam bidang hukum
acara pidana terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu sebagai
berikut:
a. Reglement op de Rechterlijk Organisatie (reglemen Organisasi Kehakiman) stb.1848
no.57, yang memuat ketetapan-ketetapan mengenai organisasi kehakiman.
b. Reglement op de Straf voordering (reglemen hukum acara pidana) stb. 1849 no.63,
yang memuat hukum acara pidana bagi golongan penduduk Eropah dan yang disamakan
dengan mereka.

12
c. Landgrechtsregelment (reglemen Hakim Kepolisian) stb. 1914 no.317 yang memuat
acara di muka Hakim Kepolisian yang memeriksa dan memutus perkara-perkara kecil
untuk semua golongan penduduk.
d. Inlandsch Reglement (reglemen Bumiputa) yang biasa disingkat dengan IR stb. 1848
no.16 memuat hukum acara perdata dan hukum acara pidana dimuka pengadilan
“Landraad” bagi golongan penduduk Bumiputra (Indonesia) dan Timur Asing, yang
hanya berlaku untuk daerah Jawa dan Madura, sedangkan untuk daerah luar Jawa dan
Madura berlaku “Rechtsreglement voor de Buitengewesten” yang disingkat R Bg
stb.1927 no.227
Yang merencanakan IR itu adalah sarjana hukum Belanda bernama Mr.H.I Wickers
yang pada waktu itu oleh pemerintah Belanda dikirim ke Indonesia untuk membantu
mengadakan perundang-undangan baru. Dan kemudian dengan stb. 1941 no.44 IR
diperbaharui (herzien), sehingga menjadi “Herzien Inlandsch Reglement” atau
disingkat HIR.( Ansorie Sabuan SH. Dkk, Hukum Acara Pidana, Pen. Angkasa
Bandung,hal 25 dst. ).

2. Masa Pemerintahan Penduduk Jepang


Pada zaman pemerintahan penduduk Jepang di Indonesia berasarkan undang-undang
(Osamu Serei) no.1 tahun 1942, yang dalam aturan peralihan untuk daerah Jawa dan Madura
disebutkan bahwa “Semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan
undang-undang dari pemerintah terdahulu tetap diakui sah untuk sementara waktu asal saja
tidak bertentangan dengan aturan pemerintahan militer (pasal 3).
Badan-badan pemerintahan khususnya badan pengadilan pada dasarnya yang telah ada
terdahulu tetap berlaku kecuali Raad van Justitie (pengadilan untuk golongan Eropah)
dicabut/dahapuskan. Badan pengadilan yang ada kemudian tidak membedakan golongan
penduduk yaitu Tihoo Hooin (pengadilan Negeri), Kooto Nooin (Pengadilan Tinggi) dan
Saiko Hooin (Pengadilan Agung). Mengenai susunan pengadilan ini diatur dalam Osamu
Serei no.1 tahun 1942. ( ibid, hal. 33 ).
Hukum acara pidana yang berlaku untuk pengadilan tersebut di atas adalah HIR dan
R Bg serta Landgerechts Reglement untuk perkara pidana kecil/ringan.

3. Hukum Acara Pidana Pada Masa Sesudah Proklamasi Kemerdekaan 1945


Dengan proklamasi 17 Agustus 1945 maka lahirlah Negara Republik Indonesia yang
merdeka dan berdaulat yang berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila. UUD 1945 di dalam

13
aturan peralihan (pasal II AP ) disebutkan bahwa “Segala badan Negara dan peraturan yang
ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang
dasar ini.” Dan untuk mempertegas serta memperkuat aturan peralihan ini, maka Presiden
mengeluarkan suatu peraturan pada tanggal 10 Oktober 1945 disebut dengan peraturan no.2
yang menentukan : “Segala badan-badan Negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai
berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, selama belum
diadakan yang baru menurut undang-undang dasar, masih berlaku asal saja tidak
bertentangan dengan undang-undang tersebut.” (pasal 1)
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka jelaslah bahwa susunan pengadilan serta
hukum acara pidana yang ada pada zaman pendudukan Jepang adalah tetep berlaku pada
masa Republik.

4. Hukum Acara Pidana Menurut UU (drt) no.1 Tahun 1951


Bahwa dengan berlakunya UU (drt) no.1 Tahun 1951 ini, diadakan unifikasi hukum
acara pidana dan susunan pengadilan. Dan melalui ketentuan pasal 1 undang-undang ini
beberapa pengadilan dihapus, yaitu:
a. Mahkamah Justisi di Makasar dan alat penuntut umum yang ada
b. Apelraad di Makasar
c. Apelraad di Medan
d. Segala Pengadilan Negara dan Landgerecht
e. Segala Pengadilan Kepolisian beserta alat Penuntut Umumnya
f. Segala Pengadilan Magistraat
g. Segala Pengadilan Kabupaten
h. Segala Pengadilan Distrik
i. Pengadilan Swapraja dan Pengadilan Adat (berangsur-angsur dicabut)
Namun demikian adanya Hakim Perdamaian Desa (Pasal 3a RO) masih diakui begitu
juga dengan berlakunya UU No 14 Tahun 1970 hingga kini dengan berlakunya UU No.
4/2004 tetap tidak dihapuskan. Sekarang dengan berlakunya KUHAP, Hakim Perdamaian
Desa juga masih diperkenankan hal mana dapat dijadikan alasan bahwa dengan berlakunya
KUHAP yang dicabut adalah HIR dan UU (drt) no.1 Tahun 1951 yaitu hanya mengenai
hukum acara pidananya saja.
Di samping dihapuskannya beberapa pengadilan, maka dengan berlakunya UU (drt)
no.1 Tahun 1951 (tentang Tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan
dalam susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil di Indonesia) ini, untuk

14
seluruh Indonesia hanya ada tiga macam pengadilan sehari-hari untuk semua golongan
penduduk sipil, yaitu:
a. Pengadilan Negeri untuk pemeriksaan tingkat pertama
b. Pengadilan Tinggi untuk pemeriksaan tingkat banding
c. Mahkamah Agung untuk pemeriksaan tingkat kasasi
Hukum acara pidana yang berlaku untuk semua Pengadilan Negeri dan Pengadilan
Tinggi, berdasarkan ketentuan Pasal 6 UU (drt) no.1 Tahun 1951 yaitu HIR dipakai sebagai
pedoman acara perkara pidana untuk semua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di
seluruh Indonesia.

5. Hukum Acara Pidana Dengan Berlakunya UU No 8 Tahun 1981


Untuk mencapai kekuasaan kehakiman sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 24
UUD 1945 ialah: kekuasaan Negara yang merdeka dan dapat menyelenggarakan penegakan
hukum serta keadilan berdasarkan Pancasila, maka dibuatlah UU No 19 Tahun 1964 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kehakiman, yang kemudian diganti dengan UU No 14 Tahun
1970 dengan judul yang sama. Selanjutnya dalam pasal 12 UU No 14 Tahun 1970 tersebut
disebutkan bahwa hukum acara pidana dibuat dalam undang-undang tersendiri, dan sekarang
ini undang-undang yang dimaksudkan telah terwujud yaitu dengan telah diundangkannya
UU No 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 yang menyatakan berlaku hukum acara
pidana yang baru yaitu: “Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana”, disingkat KUHAP.
Dengan berlakunya KUHAP sekarang ini dengan tegas dinyatakan dicabut berlakunya:
a. H I R ( stb.1941 no 44), dihubungkan dengan UU No 1 Drt 1951 beserta aturan
pelaksanaannya.
b. Ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, dengan ketentuan
sepanjang mengenai hukum acara pidana.

15
BAB III
RUANG LINGKUP DAN
SUMBER-SUMBER HUKUM ACARA PIDANA

1. Ruang Lingkup Hukum Acara Pidana


Pri hal ruang lingkut hukum acara pidana sangat erat kaitannya dengan proses
pemeriksaan perkara pidana, yang oeh KUHAP sekarang ini dibagi menjadi 4 tahap, yaitu:
Penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan dan pelaksanaan putusan
(eksekusi).
a. Penyidikan perkara pidana
Penyidikan merupakan tahapan pertama dalam pemeriksaan perkara pidana yang
dilakukan oleh penyidik dalam hal ini adalah polisi, yaitu sejak adanya sangkan
bahwa seseorang telah melakukan suatu perbuatan pidana. Penyidikan yang
dilakukan oleh penyidik sudah tentu berdasarkan atas cara-cara yang di atur dalam
undang-undang (KUHAP) ; bandingkan dengan pasal l4 ayat 1 g uu. 2/2002
Tentang Kepolisian Negara RI.
b. Penuntutan perkara pidana
Menuntut adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke
pengadilan negeri yang berwenang, dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang hukum acara pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan
diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Penuntutan perkara pidana adalah tugas
yang dilakukan oleh kejaksaan.
c. Pemeriksaan di sidang pengadilan
Setelah suatu perkara pidana oleh Jaksa/Penuntut umum ke pengadilan yang
berwenang, maka tugas selanjutnya bagi hakim pengadilan untuk memeriksa dan
mengadili serta kemudian mengambil keputusan. Mengadili adalah serangkaian
tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana
berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang hukum acara pidana.
d. Pelaksanaan putusan
Melaksanakan keputusan hakim adalah menyelenggarakan agar segala sesuatu yang
tercantum dalam surat keputusan hakim dapat dilaksanakan. Pelaksanaan keputusan
hakim ini adalah tugas kejaksaan dengan tetap ada pengawasan oleh hakim. Lihat

16
UU N0. 16/2004 tentang KejaksaanRI,pasal 30 ayat l. Hakekat eksekusi ini adalah
agar supaya amar/ dictum putusan pengadilan dapat dilaksanakan. Terutama sekali
terhadap putusan Pengadilan yang membebaskan terdakwa / vrijspraak berada
dalam tahanan ,agar segera untuk dibebaskan ( prhatikan HAM setiap individu ).

2. Sumber-sumber Hukum Acara Pidana


a. Undang-undang Dasar 1945
Dalam UUD 1945 terdapat beberapa ketentuan pasal yang mengatur tentang hukum
acara pidana, yaitu:
1. Pasal 24 dan 25 UUD 45 hasil amandemen menyebutkan :
Pasal 24 ayat 1 perubahan ketiga UUD 45 “kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan;
Pasal 24 ayat 2 Perubahan Ketiga UUD 45 menyebutkan “ Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yangada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, peradilan Militer dan lingkungan peradilan Tata Usaha
Negara dan oleh sebuah Mahkama Konstitsi;
Pasal 24 ayat 3 perubahan keempat UUD 1945 : “menentukan Badan –
badan lain yang fungsinyaberkaitan dengan kekuasaankehakiman diatur
dalan undang – undang”.
Pasal 24 A ayat 5 Perubahan Ketiga UUD 1945, menentukan Susunan,
kedudukan , keanggotaan dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan
peradilan dibawahnya diatur dengan undang – undang.
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, menyebutkan bahwa : Segala badan
Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut undang – undang dasar ini.

b. Undang-undang
Dalam perjalanan sejarah hukum acara pidana di Indonesia terdapat berbagai
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hukum acara pidana yaitu:
1) UU No 8 Tahun 81, LN 1981 No 76 KUHAP
2) UU No 20/ 2001, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

17
3) UU No 4 / 2004 ,yo UU No 48/ 2006 tentang Pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman
4) UU RI No. 8 Tahun 1995 tetang Pasar Modal, khususnya Bab XIII, tentang
Penyidikan, Bab XN tentang Pidana.
5) UU No 11 (PNPS) Tahun 1963, LN 1963 No 101 tentang Pemberantasan
Kegiatan Subversi
6) UU RI No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI
7) . UU RI No. 2 Tahun 2002 Kepolisian Negara RI
8) UU No 16 Tahun 1961, LN 1961 No 225 tentang Pembentukan Kejaksaan Tinggi
9) UU No 5 (PNPS) Tahun 1959, LN 1959 No 80 tentang Wewenang Jaksa
Agung/Jaksa Tentara Agung dan memperberat ancaman hukuman terhadap
tindak pidana tertentu.
10) UU No 7 Tahun 1955, LN 1955 No 27 tentang Pengusutan, Penuntutan dan
Peradilan Tindak Pidana Ekonomi
11) Reglement op de Rechtelijke Organisatie en het beleid der Justitie disingkat
12) UU No l8/2003 Tentang Advokat
13) UU No 24/2003 Tentang MK
14) UU No. 4/2004. Tentang Kehakiman
15) UU No. 5/2004 Tentang MA.

c. Peraturan Pemerintah
1. Peraturan Pemerintah No 27Tahun 1983 LNRI Tahun 1983 No 36 Tentang
Pelaksanaan Kitab Undang – undang Hukum Acara Pidana.
2. PP No 35 Tahun 1996 Tentang Penyidikan Tindak Pidana Bidang
Kepabeanan Dan Cukai.
3. KEPRES RI NO. 73 Tahun 1967 , Tentang Pemberian Wewenang kepada
Jaksa Agung Melakukan Pengusutan dan Pemeriksaan Pendahuluan terhadap
mereka yang Melakukan Pentelundupan.
4. KEPRES RI No. 55 Tahun 1991 , entang Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Kejaksaan RI.
5. KEPRES RI No 10 Tahun 1995 , Tentang Tunjangan Hakim.
6. SRAT EDARAN MA RI No 3 Tahun 1990 Tentang Penyidikan Dalam
Perairan Indonesia.

18
7. Keputusan Mentri Kehakiman RI. No. M.14. PW.07.03 Tahun 1983
tanggal 10 desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan
KUHAP.
8. Keputusan Mentri Kehakiman RI. No. M.03. HN.02.01 Tahun 1988
tanggal 10 Maret 1988 Tentang Tata Cara Permohonan Perubahan Pidana
Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Sementara Berdasarkan Kepres RI.
No 5 Tahun 1987 Tentang Mengurangi Masa Menjalani Pidana ( Remisi ).
9. Keputusan Mentri Kehakiman RI. No M 2789. KP.04.12 Tahun 1985
tanggal 1 Juli 1985 tentang Pengangkatan Hakim Militer Seluruh
Indonesia Untuk Menyidangkan Perkara – Perkara Koneksitas.
10. Surat Edaran Mahkamag Agung RI N0. 7 Tahun 1983 tanggal 11
Nofember 1983, tentang Beralihnya Masa Peralihan Pasal 284 KUHAP.

19
BAB IV
PIHAK-PIHAK DALAM HUKUM ACARA PIDANA

1. Tersangka/terdakwa
a. Istilah tersangka/terdakwa
KUHAP membedakan pengertian istilah tersangka dan terdakwa, seperti tertuang
dalam pasal 1 butir 14 dan 15, sebagai berikut:
“Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan
bukti permulaan patut disuga sebagai pelaku tindak pidana” (pasal 1 butir 14)
“Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang
pengadilan” (pasal 1 butir 15)
Mengenai istilah tersangka/terdakwa tersebut di atas dapat dihubungkan dengan
hukum acara pidana Negara lain seperti Belanda dan Inggris yaitu: Belanda dalam
hukum acara pidana (wetboek van Strafvordering) tidak memberdakan tersangka dan
terdakwa dan hanya memakai satu istilah “verdachte” untuk kedua macam pengertian
tersebut, namun demikian dibedakan dua pengertian verdachte seelum penuntutan dan
verdachte sesudah penuntutan. Pengertian verdachte sebelum penuntutan adalah paralel
dengan pengertian tersangka dalam KUHAP, sedangkan pengertian verdachte sesudah
penututan adalah paralel dengan sebutan terdakwa dalam KUHAP. Dan selanjutnya
Inggris membedakan dua istilah yaitu “the suspect” (sebelum penuntutan) dan “the
accused” (sesudah penuntutan), jadi pengertian the suspect dan the accused yang ada di
Inggris sama dengan pengertian tersangka dan terdakwa yang ada dalam KUHAP.

b. Kedudukan tersangka/terdakwa
Untuk mengetahui kedudukan tersagka dan terdakwa tidak dapat dilepaskan dengan
system pemeriksaan yang ada dalam hukum acara pidana yaitu system “Inquisitoir” dan
system “accusatoir”. Penerapan system pemeriksaan tersebut menurut tahapan dala
pemeriksaan, yaitu pada zaman HIR dipergunakan system inquisitoir dalam tahap
pemeriksaan pendahuluan, sehingga kedudukan tersangka adalah sebagai obyek belaka,
dan selanjutnya pada tahan pemeriksaan di muka pengadilan diterapkan system
accusatoir dimana kedudukan terdakwa bukan lagi sebagai obyek tetapi sebagai
subyek.
Dengan berlakunya KUHAP sekarang terhadap perubahan sesuai dengan tujuan
KUHAP menjamin serta melindungi hak asasi manusia, maka system pemeriksaan pada

20
dasarnya tetap namun dalam tahapan penyidikan perkara tersangka sudah berhak untuk
mendapat bantuan hukum. (Pasal 54 KUHAP).

c. Hak-hak tersangka/terdakwa
Dalam KUHAP mengenai hak-hak tersangka/terdakwa diatur dari pasal 50 sampai
68, adalah sebagai berikut:
1) Hak untuk segera diperiksa, diajukan ke pengadilan dan diadili (pasal 50 ayat
1, 2, 3)
2) Hak untuk mengetahui dengan jelas dan bahasa yang dimengerti olehnya
tentang apa yang didakwa (pasal 51 butir a)
3) Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik dan hakim
(pasal 52)
4) Hak untuk mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan (pasal
54)
5) Hak untuk mendapat nasehat hukum dari penasehat hukum yang ditunjuk oleh
pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan bagi
tersangka/terdakwa yang diancam pidana mati dengan biaya cuma-cuma
(pasal 56)
6) Hak tersangka/terdakwa berkebangsaan asing untuk menghubungi dan
berbicara dengan perwakilan Negaranya (pasal 57 ayat 2)
7) Hak untuk menghubungi dokter bagi tersangka/terdakwa yang ditahan (pasal
58)
8) Hak tersangka/terdakwa untuk mengajukan saksi a decharge (pasal 65)
9) Hak untuk menuntut ganti rugi dan rehabilitasi (pasal 68)
Di samping hak-hak tersebut di atas masih ada hak-hak lainnya, misalnya dalam hal
makanan, penggeledahan penyitaan, dan sebagainya

2. Jaksa/Penuntut Umum
a. Istilah Jaksa/Penuntut Umum
Istilah tersebut menunjukkan adanya pengertian jaksa tersendiri begitu juga
penuntut umum dan dapat sekaligus jaksa/penuntut umum. Dengan berlakunya KUHAP
sekarang ini dibedakan antara pengertian Jaksa dan Penuntut Umum, diatur dalam
ketentuan umum pasal 1 butir 6 yaitu:

21
1) Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak
sebagai penuntut umum sert melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
2) Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. (pasal 13)
Jadi dari dua istilah dan pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa “Jaksa”
adalah menyangkut jabatan, sedangkan “Penuntut Umum” menyangkut fungsinya.
Setelah berlakunya KUHAP. Di Indonesia, jaksa / Penuntut Umum bukan lagi
menjadi penyidik perkara, hal ini merupakan kewenangan Polisi. Namun hal yang
demikian ni tidak mutlak berlaku, karena dalam Tindak Pidana Tertentu jaksa juga
diberi kewenanga untuk melakukan penyidikan, seperti Tindak Pidana Korupsi.
Subversi, Pelanggaran HAM. ( ditentukan diluar KUHP.).

b. Kedudukan Jaksa/Penuntut Umum


Untuk mengetahui kedudukan Jaksa/Penuntut umum kiranga tidak kurang
pentingnya kalau kita melihat kembali secara hukum acara pidana di Indonesia ini yaitu
sejak pemerintahan Hindia Belanda terdahulu sampai dengan keluarnya UU No 8 Tahun
1981 (KUHAP), dan untuk ini dapat diuraiakn sebagai berikut:
1) Waktu pemerintahan Hindia Benlanda
Dalam pasal 62 Rechtterlijke Organisatie (RO) diatur bahwa pekerjaan
penuntut umum dipegadilan negeri dilakukan oleh jaksa. Kedudukan jaksa adanya
persamaan dengan “Ambtenaar openbaar ministerie” untk pengadilan-pengadilan
untuk bangsa Eropa. Namun dalam praktiknya tugas jaksa tidak berwenang untuk
melakukan penuntutan, sedangkan yang berwenang untuk meminta hukuman dan
atau melaksanakan putusan. Dengan demekian tugas jaksa hanya merupakan kaki
tangan dari “asisten residen, yang tidak mempunyai kewenangan sendiri sebagai
penuntut umum seperti openbaar ministrie” pada pengadilan Eropa
2) Pada waktu pemerintahan militer Jepang
Dengan kedatangan pemerintah militer jepang, terjadi perubahan secara besar
khususnya mengenai tugas jaksa, yaitu mengenai penuntutan perkara pidana
seluruhnya diserahkan kepada jaksa. Dan kemudian berdasarkan “Osamu seirei” No
49 (Peraturan Pemerintahan Jepang) secara tegas dinyatakan bahwa tugas jaksa
adalah mencari kejahatan (pegawai penyidik), menuntut perkara (pegawai penuntut)
dan menjalankan putusan hakim.

22
3) Pada pemerintahan Republik Indonesia
Peraturan pemerintah No 2 Tahun 1945 menentukan bahwa segala undang-
undang dan peraturan-peraturan yang dahulu (UU Jepang dan Hindia Belanda) tetap
berlaku sampai undang-undang itu diganti dengan yang baru, pernyataan yang
demikian ini member landasan bahwa tugas jaksa adalah tetap sebagai penuntut
umum pada pengadilan negeri. Selanjutnya dengan keluar serta berlakunya UU No
15 Tahu 1961, dipertegas lagi bahwa Kejaksaan Republik Indonesia adalah alat
Negara penegah hukum yang terutama bertugas sebagai “Penuntut Umum”.

c. Tugas dan Wewenang Jaksa/Penuntut Umum


Selanjutnya mengenai penuntut umum khususnya mengenai wewenang penuntut
umum diatur dalam Bab. IV KUHAP dalam dua pasal yaitu pasal 14 dan 15 yang
diperinci sebagai berikut:
1) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik dan penyidik
pembantu
2) Mengadakan “pratuntutan” apabila ada kekurangan pada penyidik dengan
memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat 3 dan 4 dengan memberikan petunjuk
dalam penyempurnaan penyidikan
3) Memberikan perpanjangan penahanan, memlakukan penahanan atau penahanan
lanjutan dan atau mengubah status tahanan setalah perkaranya dilimpahkan oleh
penyidik.
4) Membuat surat dakwaan
5) Melimpahkan perkara ke pengadilan
6) Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang hari dan waktu perkara
disidangkan dengan disertai surat panggilan baik kepada terdakwa maupun saksi-
saksi, untuk datang pada persidangan yang ditentukan.
7) Melakukan penuntutan
8) Menutup perkara demi hukum
9) Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai
penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini
10) Melakukan penetapan hukum.
Dalam tindak pidana tertentu Jaksa/ Penuntut Umum diberi wewenang
untuk melakukan penyidikan seperti : Tindak Pidana Ekonomi, Tindak Pidana

23
Subversi, Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana Money Loundring, Tindak
Pidana Pelanggaran HAM Berat.

3. Penyidik dan Penyelidik


a. Istilah Penyidik dan penyeledik
Dengan berlakunya KUHAP dalam bidang kepolisian dikenal istilah Penyidik dan
Penyelidikan, yang oleh pasal 1 butir 1 disebutkan bahwa: Penyidik adalah pejabat
kepolisian Negara Republik Indonesia atau pegawai negeri sipil tertentu yang diberi
wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Sedang Penyelidik adalah
pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk melakukan penyelidikan. (pasal 1 butir 4). Demikian halnya dengan keentuan
pasal 1 ke 5 KUHAP. Menentukan “ adalah orang yang melakukan penyelidikan yaitu
serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang
diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya melakukan
penyidikan menurut cara yang diatur dalan undang – undang in “. Dengan demikian
tampak dengan jelas hubungan kordinasi antar penyidik disatu sisi dengan
penyelidikdisisi lain. Dalam pedoman pelaksanaan KUHAP tirlihat suatu titik taut ,
bahwa penyelidikan bukanlah merupakan fungsi yang berdiri sendiri, terpisah dari
fungsi penyidikan , melinkan hanya merupakan melainkan merupakan salah satu cara
atau method atau sub dari fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain yaitu
penindakan yang berupa penangkapan, penggeledahan , penyitaan, pemeriksaan surat,
pemanggilan, tindakan pemeriksaan,penyelesaian dan penyerahan berkas perkara
kepada Penuntut Umum.
Perbedaan penyidik sudah jelas bahwa penyidik terdiri dari pejabat kepolisian dan
pegawai negeri sipil tertentu sedangkan penyelidik hanya pejabat kepolisian saja (pasal
4, 6 KUHAP). Dan selanjutnya dapat dijelaskan mengenai tuga Polisi sebagai penyidik
didasarkan atas kepangkatan (pasal 6 ayat 2), dan pangkat yang dimaksud telah diatur
dalam PP. no.27 tahun 1983 (Tentang Pelaksanaan KUHAP) yaitu: sekurang-kurangnya
pengatur Muda Tingkat I (gol.II/b) dan atau yang dipersamakan dengannya.
Dan selain penyidik juga terdapat tugas polisi yang lain yaitu: sebagai “Penyidik
pembantu” (pasal 10 KUHAP), yang penunjukkannya juga berdasarkan atas
kepangkatan (PP. no 27 .tahun 1983, pasal 3) yaitu Sersan Dua Polisi dan juga pegawai
Negeri sipil tertentu dalam lingkungan Kepolisian. Lihat juga pasal 14 ayat 1g UU
No.2/2002 Tentang KEPOLISIAN.

24
b. Kedudukan Polisi sebelum dan sesudah KUHAP
Pasal 53 HIR menentukan bahwa hulpmagistrat adalah Wedana, Camat, anggota
Kepolisian Negara yang paling sedikit berpangkat menteri Polisi, dan pegawai
Kepolisian Negara lainnyayang ditunjuk khusus oleh Jaksa Agung sepakat dengan
Gubernurmasing-masing untuk wilayah jabatan sendiri-sendiri.
Sifat pekerjaan hulp-magistratialah mengerjakan sebagaian dari pekerjaan Jaksa.
Dikatakan sebagaian dikarenakan tugas yang dapat dikerjakan adalah dalam
penyelesaian pemeriksaan permulaan/ pendahuluan saja, dan tidak berhak dalam
penuntutan perkara.
Keadaan yang secara demikian tersebut pada dasarnya masih dipertahankan dengan
berlakunya UU. No. 13 tahun 1961 dan UU. No. 15 tahun 1961, hal mana dapat dilihat
ketentuan pasal 2 ayat 2 UU. No. 15 tahun 1961 yang menyebutkan, bahwa:
Kejaksaan mempunyai tugas mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan
dan pelanggaran serta mengawasi dan mengkoordinasikan alat-alat penyidik
menurut ketentuan dalam undang-undang Hukum acara Pidana dan lain peraturan
Negara ( bandingkan dengan ketentuan psal 30 UU No. l6 tahun 2004; Tentang
Kejaksaan RI.).
Dari ketentuan tersebut di atas dapat ditarik pengertian bahwa Kejaksaan
mempunyai tugas disamping melakukan penuntutan juga bertugas melakukan
penyidikan (penyidikan lanjutan), berarti kejaksaan memiliki fungsi ganda yaitu sebagai
penuntut umum dan penyidik. Namun dengan berlakunya undang-undang nomor 8
tahuu 1981(KUHAP), terdapat perubahan yang fundamental mengenai tugas/wewenang
kepolisian yaitu untuk tugas penyidikan sepenuhnya ada pada kepolisian Negara
Republik Indonesia (pasal 6 KUHAP).
Selanjutnya didalam aturan peralihan KUHAP pasal 284, terhadap tindak pidana
khusus Jakasa/penuntut umum masih diberi wewenang untuk melakukan penyidikan,
Bandingkan hal ini dengan UU No l6/2004.
Prihal tugas/wewenang Kepolisian diatur dalam UU N0. 2/2002 tentang Kepolisian
Negaea RI. Hal ini diatur dalam pasal l4. dan juga dalam UU no. 8 tahun
1981(KUHAP).
1) Menurut pasal l3 dan l4 UU No 2/2002 tugas kepolisian sebagai berikut:
Pasal l3 : Tugas Pokok Kepolisian Negara RI adalah :
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,

25
b. Menegakkan hukum dan
c. Memberikan perlindungan ,pengayoman dan pelayanan kepada masyrakat.
Pasal l4 menentukan :
(l) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud pasal l3,
Kepolisian Negara RI bertugas :
a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan,pengawalan, dan patrol terhadap
kegiatan masy.dan pemerintah sesuai dengan kebutuhan;
b. menyelenggarakan segala kegiatan…. Dst.
2) Dalam KUHAP khususnya mengenai tugas kepolisian dibagi menurut kedudukan
dan fungsinya yaitu penyelidik, penyidik dan penyidik pembantu. Dalam hal
penyidikan mempunyai tugas dan wewenang yaitu:
1. Penyelidik,
Sesuai dengan ketentuan pasal 5 mempunyai tugas dan wewenang:
a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang:
- Menerima laporan atau pengaduan dari orng tentang adanya tindak pidana
- Mencari keterangan dan barang bukti
- Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri
- Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab
(pasal5).
b. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
- Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan , penyitaan.
- Pemeriksaan dan penyitaan surat
- Mengambil sidik jari dan memotret seseorang
- Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik (pasal 5 ayat 1 b)
Sesuai dengan ketentuan pasal 5 ayat 2 bahwa penyelidik membuat dan
menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan sebagaimana pasal 5 ayat 1 a
dan b kepada penyidik.

2. Penyidik,
Sesuai dengan ketentuan pasal 7 KUHAP memiliki tugas an wewenang:
Karena kewajibannya (pasal 6 ayat 1a) yaitu penyidik POLRI mempunyai
wewenang :
1. menerima laporan/ pengaduan.

26
2. menyuruh berhenti seseorang tersangka.
3. melakukan tindakan pertama di TKP.
4. melakukan penangkapan/ penahanan, penggeledahan, penyitaan.
5. melakukan penyitaan dan memeriksa surat.
6. mengambil sidik jari dan memotret orang.
7. memanggil orang sebagai saksi/tersangka.
8. mendatangkan akhli.
9. mengadakan penghentian penyidikan.
10. mengadakan tindakan lain yang bertanggung jawab.

3. Penyidik Pembantu,
Menurut ketentuan pasal 11 KUHAP bahwa wewenang penyidik pembantu
sama seperti penyidik (pasal 7 ayat 1), kecuali terhadap penahanan yang
diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik. Penyelidikan adalah
serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna untuk menentukan dapat
atau tidaknya dilakukan penyidikan .
Tugas dan wewenang penyidik pembantu , seperti yang ditentukan dalam
pasa 7 KUHAP. Jadi terlihat adanya hubungan koordinasi antara penyidi
dengan penyidik pembantu., hal ini dapat dilihat seperti ketentuan pasal 7 ayat
1 KUHAP. Penyidik Pembantu adalah penyidik juga, hanya saja apabila
penyidik pembantu telah selesai melakukan tugas penyidikan, menyerahkan
hasil penyidikan kepada penyidik ( pasal 12 KUHAP.).

4. Hakim.
Dalam Negara hukum, salah satu sendi penegakan hukum ada pada
hakim/ majelis.Berdasarkan ketentuan pasal 5 UUD 1945 ditentukan
kedudukan para hakim dijamin oleh UU. Seperti yang ditentukan dalam
UU Kehakiman No. 4/ 2004 yo UU No 48/ 2006, Ketika seorang hakim
menjalankan tugasnya, memeriksa perkara, diharapkan dapat bertindakarif
dan bujaksana, menjnjung tinggi nilai keadilan dan kebenaran metetiil,
bersifat aktif dan dinamis, berdasarkan pada perangkat hukum positif,
melakukan penalaran logis, sesuai dan selaras dengan tioridan praktek,
sehingga semuanya bermuara pada putusan yang akan dijatuhkandapat

27
dipertanggung jawabkan dari aspekhukum, hak asasi terdakwa,
masyarakat dan Negara, diri sendiri serta demi keadilan berdasarkan
“Ketuhanan Yanh Maha Esa”.
Dalam melaksanaka tugasnya , hakim bertugas dan berwenang :
1. Untuk kepentingan pemeriksaan hakim berwenang melakukan
penahanan ( pasal 20 ayat 3, pasal 26 ayat 1 KUHAP ).
2. Memberikan penangguhan penahan dengan atau tanpa jaminan
berdsarkan syarat yang ditentukan ( pasal 31 ayat 1 KUHAP.).
3. Mengeluarkan penetapan agar terdakwa yang tidak hadir
dipersidangan tanpa alas an yang syah sekalipun telh dipanggil
secara patutuntuk keduakalinya dihadirkan secara paksa pada
siding pertama berikutnya.
4. Menentukan tentang sah atau tidaknya segala alas an atas
permintaan orang yang karena jabatannya, harkat, martabat
atau diwajibkan menyimpan rahasia dan minta dibebaskan dari
kewajiban sebagai saksi ( pasal 170 KUHAP ).
5. Mengeluarkan perintah penahanan terhadap seorang saksi yang
diduga telah memberikan keterangan palsu dipersidangan, baik
karena jabatannya maupun atas permintaan Penuntut Umum
atau terdakwa ( pasal 174 ayat 2 KUHAP ).
6. Memerintahkan perkara yang diajukan oleh Penuntut
Umumsecara singkat agar diajukankesidang pengadilan dengan
acara biasa setelah adanya pemeriksaan tamabahan dalam
waktu 14 hari, tetapi Penuntut Umum belum juga dapat
menyelesaikan pemeriksaan tambahan tersebut ( pasal 221 ).
7. Memberikan perintah kepada seseorang untuk mengucapkan
sumpah atau janji diluar siding ( Pasal 223 ayat 1 KUHAP ).

5. Penasehat Hukum
Dengan berlakunya KUHAP. Di Indonesia keberadaan penasehat
hukum mempunyai kedudukan yang sangatpenting. Hal ini disebabka
karena salah satu azas dalam KUHAP. , peningkatan/ jaminan akan hak
asasi seorang tersangka/ terdakwa sangat diperhatikan . Negara dalam hal
ini lewat lembaga penegak hukum ( kepolisian ) harus menjunjung tinggi

28
asas ini. Sejak berlakunya KUHA. Dalam system penegakan hukum
dikenal dengan nama Advokat, Pengacara, Pembela, Penasehat Hukum.
Lembaga ini mempunyai fungsi mendampingi / membela
tersangka/ terdakwa dari tingkat penyidikan sampai dengan selama proses
persidangan berakhir yangdisebut dengan Putusan Pengadilan.
Dasar hukum keberadaan Penasehat Hukum/ Adokat dapat dilihat dalam
pasal 37 s/d 40 UU No 2/ 2004, UU RI. No. 18 Tahun 2003 tentang
Advokat, sebutan bagi Advikat adalah orang yang berprofesi memberikan
jasa hukum, baik didalam maupun diluar Pengadilan, yang memenuhi
persyaratan berdasarkan Undang – ndang ( Pasal 1 angka 1 ). Dan
berdasarkan ketentuan pasal 1 huruf a Kode Etik Advokat Indonesia yang
ditetapkan tanggal 23 Mei 2003, pengertian Advokat ini sama dengan
Pengacara , Penasehat Hukum, Pengacara Praktek atau Konsultan
Hukum.
Sebelum Pengacara mendampingi/ membela tersangka/ terdakwa,
harus disertakan dengan “Surat Kuasa Khusus”, yang dibuat dihadapan
Pejabat yang berwenang, antara tersangka/ terdakwa dengan Pengacara.
Atau Penyerahan kuasa dapat dilakukan secara lisan oleh terdakwa
didalam persidangan dengan Penetapan Hakim atau penunjukan oleh
majelis hakim kepada seorang terdakwa yang tidak mampu untuk
membayar biaya pengacara, sedangkan Undang – Undang sudah
menentukan demikian( ancaman hukumannya lebih dari 5 tahun penjara. ).

Hak Penasehat Hukum :


1. Penasehat hukum berhak menghubungi tersangka/ terdakwa
sejak saat ditangkap, ditahan pada semua tingkat pemeriksaan,
menurut tata cara yang diatur dalam Undang – undang ( ps 69 )
2. Penasehat Hukum berhak menghubungi dan berbicara dengan
tersangkapada setiap tingkat pemeriksaandan setiap waktu
untuk kepentingan pembelaannya ( pasal 70 ayat 1 KUHAP );
3. Penasehat hukum tersangka dapat meminta turunan berita acara
pemeriksaanuntuk kepentingan pembelaannya ( pasal 72 ).
4. Penasehat hukum berhak menerima dan mengiri surat kepada
tersangka ( Pasal 73 KUHAP ).

29
Jika Penasehat Hukum menyalah gunakan hubungannya dengan
tersangkaada pembatasan hubungan dilakukan secara persuasive
oleh pejabat melalui tahapan :
1. Pemberian peringatan kepada Penasehat Hukum;
2. Dilakukan Pengawasan oleh pejabat yang bersangkutan;
3. Hubungan selanjutnya dilarang ( pasal 70 ayat 1, 2, 3, 4
KUHAP ).
4. Penasehat hukum diawasi oleh penyidik, Penuntut Umum ,
Lembaga Pemasyarakatan, hal insesuai denan tingkat
pemeriksaan;
5. Dalam hal kejahatan terhadap keamanan Negara pejabat
tersebut diatas dapat mendengan isi pembicaraan.( 71 KUHAP)

30
BAB V
KEKUASAAN DAN ORGANISASI KEHAKIMAN

1. Hakim Dan Kekuasaan Kehakiman


Dalam pasal 24, 25 UUD l945 mengatur tentang dasar hukum Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 24 menentukan : kekusaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dll
Badan Kehakiman menurut UU ( ayat l ).
Susunan kekuasaan Kehakiman itu diatur dengan UU. ( ayat 2 ).
Pasal 25 menyebutkan syarat – syarat untuk dapat menjadi hakim ditetapkan dg. UU.
Dalam penjelasan ditentukan, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka
artinya terlepas dari kekuasaan Pemerintah, seperti kekuasaan Eksekutif dang Legislatif.
Dari penjelasan ini dapat kita lihat bahwa hakim didalam menjalankan tugas dan
wewenangnya adalah bebas dari campur tangan pihak manapun,dan harus dijamin
kedudukannya dengan UU, maka oleh pemerntah dibuatlah Uu No l4 /1970, yakni UU
Pokok Kekuasaak Kehakiman,dan dirubah dengan UU No 4 / 2004 tentang Kehakiman,
dalam pasal l disebutkan :Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasilademi terselenggaranya Negara hukum RI.
Dengan melihat dan mencermati ketentuan diatas maka dapat dilihat bahwa :
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan Negara RI. Dengan tujuan
pokokmenegakkanhukum dan keadilan berdasarkan falsafah Bangsa;
Kekuasaan Negara itu bersifat merdeka dalam mencapai tujuan pokk itu. Dengan
melihat penjelasannya bahwa merdeka berarti : bebas dari campur tangan kekuasaan
Negara lainnya, maupun bebas dari paksaan dikretif, rekomendasi, pihak lain,
kecualidalam hal – hal yang diijinkan oleh undang – undang.;
Negara RI adalah Negara Hukum, maknaya adalah dalam segala tindakan selalu
berpijak/ berpedoman kepada huum/ ketentuan undang – undang;
Negara menjalankan kekuasaan Kehakimandengan sarana – sarana khusus ditetapkan
untuk itu.
Dalam kenyataannya apakah kebebasan hakim dalam arti yang sebebas- bebasnya?
Bukanlah hal ini dimaksudkan , karena hakim didalam menjalankan tugas dan wewenangnya
tetap akan dibatasi oleh norma – noerma hukum yang lainnya. Hal ini pula dapat kiranya
kita kaitkan dengan pasal l6 ayat l, meyebutkan : Pengadilan tidak boleh menolak untuk

31
memeriksa,mengadili dan memutus suatu perkara yang duajukan dengan dalih hukum tidak
ada atau kurang jelas , melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Jika kita lihat lebih jauh lagi, bahwa hal ini menunjukkan kepada kita hakim pidana
bersikap aktif untuk menemukan, menggali hukum yang hidup di masyarakat. Jadi dengan
tugas ini seorang hakim dituntut bersifat aktif dan hakim harus menemukan hukumnya
( judge made law ).
Mengenai kebebasan hakim oleh E Utrecht dikatakan ada 3 sebab / factor seorang
hakim tidak terlalu bebas. Indonesia juga dipengaruhi dengan adanya asas preseden, Jika
suatu perkara sudah pernah diputus,maka terhadap masalah yah sama , hakim berikutnya
akan mengikuti putusan yang pernah ada dengan alas an :
a. Putusan hakim mempunyai kekuasaan/ gezag. Menurut Wirjona Prodjodikoro
mengatakan bahwa Mahkamah Agung merupakan badan pengadilan tertinggi yang
bersendi atas UUD. Melakukan pengawasan terhadap pengadilan . Putusan MA dapat
mempengaruhi cara bekerjanya pengadilan di Indonesia, sehingga secara phisiologis
dapat juga mempengaruhi para hakim yang ada dibawahnya.
b. Alasan praktis, hakim yang memeriksa hal yang sama lebih cendrung untuk mengikuti
putusan Pengadilan yang telah ada sebelumnya.
c. Adanya persesuaian pendapat antara hakim yang satu dengan hakim yang lainnya.

2. Badan Kehakiman
Seperti yang diatur dalam pasal 24 (2) Perubahan Ketiga UUD 1945, bahwa kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah agung dan lain-lain badan-badan kehakiman
menurut undang-undang. Lain-lain badan kehakiman diatur menurut undang-undang, dan
untuk ini dapat kita telusuri adanya beberapa undang-undang yang mengatur
permasalahannya, sebelunnya dan hingga kini berlaku yaitu:
a. Pada zaman Hindia Belanda, organisasi pengadilan diatur dalam suatu peraturan
(reglemen), yaitu: reglement op de Rechtelijke Organitatie en het beleid der justitie
(RO), sejak tahun 1948 sampai saat ini belum ada peraturan RI yang menggantikan
seluruh legelement tersebut.
b. UU Darurat 1951 No. 1 Tentang Tindakan Sementara untuk kesatuan susunan, kekuasaan
dan acara pengadilan sipil. Juga hal ini dilanjutkan sampai kini lewat UU No 4/ 2004,
yakni Undang – Undang Kekuasaan Kehakiman. Denagan ditetapkannya Undang –
Undang No 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, maka Kekuasaan
Kehakiman itu dilakukan oleh pengadilan-pengadilan dalam lingkungan:

32
a. Peradilan umum
b. Peradilan agama
c. Peradilan militer
d. Peradilan tata usaha Negara dan
e. Mahkamah Konstitusi ( amandemen ketiga UUD 1945 pasal 24 ayat 2 dan Pasal
24 C dan 7 B ) merupakan sebuah lembaga Pengadilan Tingkat pertama dan
terakhir ).
Pengadilan Negara yang tertinggi adalah Mahkamah Agung dan mempunyai wewenang
untuk melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan-perbuatan pegadilan yang lain dan
merupakan hakim kasasi terhadap putusan-putusan yang diberikan dalam tingkat akhir oleh
pengadilan-pengadilan yang lain.
Kekuasaan kehakiman tersebut membedakan lima lingkungan peradilan yang masing-
masing mempunyai lingkungan wewenang mengadili tertentu dan meliputi dan badan
peradilan tingkat pertama dan tingkat banding.
Peradilan agama, militer dan tata usaha Negara, merupakan peradilan khusus, oleh
karena mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu,
sedangkan peradilan umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai baik
perkara perdata maupun perkara pidana. Dan Mahkamah Konstitusi khusus memeriksa
perkara hasil Pemilihan Umum.
Perbedaan dalam empat lingkungan ini tidak menutup kemungkinan adanya
pengkhususan dalam masing-masing lingkungan misalnya dalam lingkungan peradilan
umum diadakan pengkhususan berupa peradilan lalu lintas, pengadilan anak-anak,
pengadilan ekonomi dan sebagainya. Dan lembaga pradilan lainnya memeriksa perkara yang
berlaku khusus, seperti Pengadilan Agama berwenang untuk memeriksa perkara perdata
tertentu dalam bidang perkawinan, perceraian dan wakaf, bagi orang – orang yang beragama
Islam, Pengadilan Tata Usaha Negara , berlaku bagi penduduk sipil/ Badan Hukum Perdata
yang dirugikan oleh dikeluarkannya atau tidak dikeluarkannya suatu Keputusan Tata Usaha
Negara, Pengadilan Militer, diberlakukan terhadap mereka yang bersetatus Militer
melakukan Tindak Pidana atau melanggar disiplin militer, dan sebuah Mahkamah
Konstitusi, memeriksa dan memutus sengketa hasil Pemilihan Umum, tingkat pertama dan
terakhir.

33
BAB VI
PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN

1. Penyelidikan
a. Arti dan tujuan Penyelidikan
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan
suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya
dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (ps 1 butir 4
KUHAP)
Dari ketentuan tersebut di atas sudah jelas bahwa tujuan diadakan penyelidikan yaitu
untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, dan
selanjutnya atas dasar penyelidikan oleh penyidik dapat ditentukan apakah dapat atau tidak
dilakukan tindakan penyidikan. Perhatikan juga pasal 1 ke 10 UU No.2/2002.
Penyelidikan ini bukan merupakan fungsi yang berdiri sendiri ,terpisah dari fungsi
penyidikan, melainkan hanya merupakan salah satu methoda atau sub dari suatu penyidikan,
yang mendahului tindakan lain seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
penyitaan. Motifasi langkah penyelidikan ini antara lain untuk perlindungan dan jaminan
terhadap hak asasi manusia, adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam
penggunaan alat – alat pemaksa ( dwangmiddelen ) , ketatnya pengawasan dan gantirugi dan
rehabilitasi, dikaitkan dengan setiap peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana
itu tidak selaaku menampakkan secara jelas sebagai tindak pidana. Untuk menghidari agar
supaya tidak digunakannya alat pemaksa tersebut, yang belum tentu merupakan suatu
tindak pidana, maka langkah penyelidikan sangat perlu dan penting sekali dilakukan, untuk
sampai apakah akan berlanjut ketingkat penyidikan atau tidak.

b. Tugas penyelidik dalam penyelidikan


Penyelidik dalam melakukan tugas penyelidikan sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam UU memberikan dasar hukum yang menyangkut tugas dan kewajiban serta
kewenangan diberi penyidik diatur dalam pasal 7 KUHAP. menentukan :
1) Penyelidik karena kewajibannya mempunyai wewenang :
 Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak
pidana
 Mencari keterangan dan barang bukti

34
 Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa
tanda pengenal diri
 Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab (pasal 5
ayat 1a)
Yang dimaksud dengan “tindakan lain” oleh UU dijelaskan adalah tindakan dari
penyelidik untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat:
 Tidak bertentangan aturan hukum
 Selaras dengan kewajiban hukum yang harus dilakukan sesuai dengan jabatan
 Tindakan harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan
jabatannya
 Atas pertimbangannya yang layak berdasarkan keadaan memaksa
 Menghormati hak azasi manusia

2) Penyelidik atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:


 Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan
 Pemeriksaan dan penyitaan surat-surat
 Mengambil sidik jari dan memotret seseorang
 Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik (pasal 5 ayat 1b)

3) Penyelidik dalam hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik, wajib
segera melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelidikan
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 5 ayat 1b (pasal 102 ayat 2)

Apa yang dimaksud tertangkap tangan, sesuai dengan ketentuan umum pasal 1
butir 19 KUHAP, yaitu:
a. Tertangkap pada waktu sedang melakukan tindak pidana
b. Tertangkap segera sesudah beberapa saat tindak pidana dilakukan
c. Tertangkap sesaat kemudian diserukan oleh halayak ramai sebagai orang yang
melakukan delik
d. Tertangkap sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras
telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana yang menunjukkan bahwa
ia adalah pelaku atau turut melakukan atau mambantu melakukan tindak
pidana

35
4) Penyelidik wajib membuat berita acara terhadap segala tindakan yang telah
dilakukan dalam rangka penyelidikan sebagaimana dimaksud oleh pasal 5 ayat 1b
dan melaporkan kepada penyidik (pasal 102 ayat 3) dan mengenai berita acara
dimaksudkan adalah seperti apa yang diatur dalam pasal 75 KUHAP.

5) Bahwa penyelidikan dapat melakukan tugas penyelidikannya dikoordinasi dan


diawasi serta diberi petunjuk oleh penyelidik tersebut dalam pasal 6 ayat 1a (Pasal
105) KUHAP.
6) Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan-
tindakan sebagaimana dimaksud pasal 5 ayat 1a dan 1b kepada penyidik (pasal 5
ayat 2 KUHAP)

c. Hubungan fungsional antara penyelidik dan penyidik dalam penyelidikan


Bahwa bertitik tolak dari pengertian penyelidikan dapat disimpulkan dimana
penyelidikan tersebut merupakan proses awal dari diadakannya suatu penyelidikan dan
oleh karenanya didalam penyelidikan terdapat hubungan fungsional antara penyelidik
dan penyidik, antara lain:
1) Penyelidik dapat melakukan tindakan seperti tersebut dalam pasal 5 ayat 1b harus
ada perintah dari penyidik
2) Penyelidik dalam melakukan tugas penyelidikannya dikoordinasi serta diawasi
oleh penyidik (pasal 105 KUHAP)
3) Dalam mengakhiri tugas penyelidikannya, maka penyelidik wajib membuat berita
acara dan selanjutnya dilaporkan kepada penyidik (pasal 102 ayat 2).

d. Proses Penyelidikan
Suatu penyelidikan akan dilakukan sejak adanya laporan dan atau pengaduan,
mengenai dua hal ini dalam KUHAP dijelaskan pengertiannya masing-masing, yaitu:
1) Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak dan
kewajibannya berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tetang
telah atau sedang atau disuga akan terjadi peristiwa pidana (pasal 1 butir 14)
2) Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang
berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum
seorang yang telah melakukan tindak pidana yang merugikannya (pasal 1 butir 25
KUHAP). ( Ansori Sabuan dkk, Hukum Acara Pidana, h. 83 ).

36
Antara laporan dan pengaduan dalam KUHAP sekarang ini secara masing-masing
diatur, dan untuk selanjutnya kiranya dapat kita telusuri lebih jauh menganai apakah
perbedaan laporan dan pengaduan tersebut. Dalam KUHAP mengenai perbedaan
laporan dan pengaduan tidak dijelaskan, namun dalam system hukum acara pidana lama
(HIR) melalui pasal 45 disebutkan bahwa keduanya ada perbedaan yaitu:
1) Pengaduan hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu saja yang disebut dalam UU
dan dalam kejahatan tertentu saja. Laporan, dapat dilakukan oleh siapapun
terhadap semua macam delik
2) Pengaduan dapat ditarik kembali, sedangkan laporan tidak dapat, dan bahkan
sebaliknya seseorang yang telah melaporkan orang lain telah melakukan delik
pada hal tidak benar, dapat dituntut melakukan delik laporan palsu.
3) Pengaduan mempunyai jangka waktu tertentu untuk mengajukan (pasal 74
KUHAP) sedangkan laporan dapat dilakukan setiap waktu
4) Sebenarnya pengaduan itu merupakan suatu permintaan kepada penuntut umum
agar tersangka dituntut ( Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana
1984:126 – 127)

2. Penyidikan
a. Pengertian Penyidikan
Arti penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam UU ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya
(pasal 1 butir 2 KUHAP).
Sedangkan menurut de Pinto, mengastakan penyidikan adalah “ Pemeriksaan
permulaan oleh pejabat – pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang – undang segera
setelah mereka denga jalan apapunmendengar kabar yanfg sekedar beralasan bahwa ada
terjadi suatu pelanggaran hukum ( MR . R Tresna, Peradilan di Indonesia Dari Abad ke
Abad, Amsterdam Jakarta, 1957,h. 72 ).
Dari ketentuan diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan penyidikan adalah untuk mencari
serta mengumpulkan bukti, dan akhirnya dengan bukti yang ada dapat dipergunakan untuk
mencari perbuatan pidana apa yang terjadi dan siapa pelakunya.
Bagaimana caranya penyidik atau tindakan apa yang dapat dilakukan sehingga tujuan
penyidikan tersebut dapat terselesaikan, maka untuk keperluan penyidikan dikenal adanya

37
ilmu kriminalistik (Penyidikan kejahatan) yang dapat membantu penyidik dalam usaha
mencari bukti serta akhirnya menemukan tersangka (pelaku) kejahatan.
Dalam ilmu kriminalistik terdapat suatu system atau petunjuk yang telah umum dipakai
dalam penyidikan perkara adalah system “7-kah” yaitu berusaha mencari jawaban atas 7
macam pertanyaan seperti:
a. Apakah yg terjadi
b. Dimanakah perbuatan itu dilakukan
c. Bilamana perbuatan itu dilakukan
d. Dengan apa perbuatan itu dilakukan
e. Bagaimana perbuatan itu dilakukan
f. Mengapa perbuatan itu dilakukan
g. Siapakah yang melakukan. ( Ansori Sabuan ,dkk, op. cit. h . 77 ).
Dari keseluruhan pertanyaan tersebut dalam praktek tidak semuanya terjawab, namun
kejahatan tetap dapat dibuat terang dan yang terpenting harus mendapat jawaban adalah
pertanyaan mengenai peristiwa apakah yang terjadi, dan siapakah yg melakukannya.
Kembali pada pengertian sebagai rangkaian tindakan penyidik yang ditujukan untuk
mendapatkan jawaban atas ketujuh pertanyaan diatas , bertujuan mendapatkan bukti, dengan
bukti ini membuat terangnya suatu tindak pidana dan menemukan tersangkanya. Dalam
hukum acara pidana, bukti dapat dibedakan menjadi:
a. Bukti dalam arti alat bukti;
b. Bukti dalam arti barang bukti;
Barang bukti yakni benda – benda ;
a. benda/ tagihan tersangka yang diduga sebaia hasil kejahatan;
b. benda yang dipergunakan secara langsung/ tidak langsung untuk melakukan tindak
pidana atau untuk mempersiapkannya.
c. benda yang dipergunakan untuk menghalangi penyidikan ;
d. benda yang khusus dibuat untukmelakukan perbuatan;
e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindakannya.
Dan selanjutnya mengenai bukti dalam arti alat bukti dapat dilihat dalam pasal 184 KUHAP.

b. Rangkaian tindakan penyidik dalam penyidikan


1) Penyidik yang mengetahui, menerima laporang / pengaduan telah terjadi tindak
pidana,wajib segera melakukan tindakan penyidikan ( pasal l06 KUHAP. ).
2) Penyidik dalam memulai penyidikan memberi tahu hal itu kepada Penuntut Umum.

38
3) Penyidik dalam melakukan ugas penyidikan berwenang seperti yang diatur dalam pasal 7
ayat l KUHAP.;
4) Penyidik dalam hal telah selesai pelakukan penyidikan, menyerahkan hasil penyidikan
kepada Penuntu Umum;
5) Jika menghentikan penyidikannya, penyidik memberitahukan hal ini ke Penuntut Umum,
tersangka atau keluarganya;
6) jika hasil penyidikan telah cukup, penyidik membuat berita acara penyidikan dengan
syarat yang ditentukan dalam pasal l21 KUHAP.

c. Hubungan Antara Penyidik dengan Penyidik pembantu


1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik member petunjuk kepada penyidik pembantu;
2) Jika terdapat dugaan kuat hasil penyidikan oleh penyidik pembantu, untuk dilaakukan
penuntutan, maka hasil ini dilaporkan kepada penyidi untuk dilanjutkan;

c. Hubungan Antara Penyidik dengan Penasehat Hukum


1) Penyidik wajib memberitahu kepada tersangka sebelum pemeriksaan bahwa tersangka
berhak untuk mendapat bantuan hukum, atau dia wajib untuk didampingi oleh penasehat
hukum (pasal 56 dan ll4 KUHAP).
2) Penasehat hukum dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan cara hanya melihat dan
mendengar, kecuali terhadap kejahatan keamanan Negara, penasehat hukum dapat hadir
dengan melihat tapi tidak mendengar.

39
BAB VII
PENANGKAPAN, PENAHANAN,
PENGGELEDAHAN DAN PENYITAAN

1. Penangkapan
Pasal l butir 8 KUHAP menentukan penangkapan adalah suatu tindakan penyidik
berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka/ terdakwa apabila terdapat
cukup bukti guna kepentingan penyidikan/ penuntutan atau peradilan dalam hal serta cara
yang diatur dalam UU . ini. Dasar untuk dapat dilakukan penangkapan, adanya dugaan yang
kuat tersngka melakukan tindak pidana berdasar buktimpermulan yang cukup ( pasal l7
KUHAP. ) . Dalam penjelasannya dikatakan bahwa bukti permulaan yang cukup adalah :
bukti untuk menduga adanya tindak pidana. Jadi tujuan penangkapan adalah untuk
membatasi ruang bergeraknya seseorang untuk tidak dapat bergerak bebas semaunya,
kemana dia mau pergi.
Maksud dan tujuan ketentuan ini adalah bahwa penangkapan dilakukan tidak boleh
sewenang – wenang, melainkan ditujukan kepada mereka yang betul – betutl melakukan
tindak pidana.

a. Proses Penangkapan
Polisi didalam melakukan tugas Penangkapan dengan memperlihatkan surat
perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan manyebut alasan
penangkapan serta uraian secara singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta
tempat ia diperiksa ( ps l8 ayat l ).
Surat perintah penangkapan harus diberikan kepada keluarganya segera setelah
penangkapan dilakukan (ps l8 ayat 3. ).
Dari ketentuan tersebut merupakan hal yang sangat prinsip dengan berlakunya KUHAP
ini. Dan selalu menekankan akan jaminan perlindungan hak - hak asasi manusia, dan hal
ini tidak dikenal sebelumnya. Jaminan yang dimaksud disini adalah apabila penangkapan
dilakukan tanpa adanya surat perintah penangkapan. Jika hal ini sampai terjadi maka
tersangka dapat melakukan tuntutan hukum secara berbalik berupa tuntutan ganti rugi
sesuai ketentuan pasal 95 KUHAP.

40
b. Batas Waktu Penangkapan
Pasal l9 ayat l menentukan ; penangkapan yang dimaksud dengan ketentuan pasal l7,
dapat dilakukan paling lama satu hari.
Maksud ketentuan tersebut adalah agar setelah dilakukan penangkapan penyidik segara
dapat memeriksanya, dalam waktu satu hari telah dapat diperoleh hasilnya untuk dapat
ditentukan apakah penangkapan tersebut berlanjut dengan penahanan. Khusus bagi
daerah terpencil, yang sangat jauh dari kedudukan penyidik sehingga tidak mungkin
melakukan pemeriksaan dalam satu hari, untuk mengatasi hal ini harus dikeluarkan dua
macam surat perintah yakni :
1) Surat perintah dari penyidik kepada penyidik untuk membawa dan menghadapkan
tersangka kepada penyidik;
2) Surat perintah penangkapan yaitu surat penangkapan setelah tersangka sampai
ditempat kedudukan penyidik,segara dapat disusul dengan pemeriksaan oleh
penyidik sehingga dalam satu hari telah diperoleh hasil untuk menentukan tindakan
lebih lajut ( pedoman pelaksana KUHAP ).

2. Penahanan
Penahan adalah penempatan tersangka / terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik atau
Penuntut Umum atau oleh Hakim dengan suatu penetapan dalam hal serta menurut cara
yang diatur dalam UU . ini ( pasal 1 ke 21 KUHAP.).
Dalam pasal 20 ditentukan :
a. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu atas perintah,
Penyidik berwenang melakukan penahanan;
b. Untuk kepentingan penuntutan, Penuntut Umum berwenang malakukan
penahanan danpenahanan lanjutan;
c. Untuk kepentingan pemeriksaan , hakim berhak malakukan penahanan dengan
penetapannya.
Dari ketentuan tersebut diatas jelas bahwa penyidik / penyidik pembantu , Penuntut
Umum dan Hakim dalam sidang Pengadilan mempunyai wewenang untuk melakukan
penahanan. Jika dilihat dari waktu lamanya penahanan yang dapat dilakukn oleh masing-
masing penegak hukum adalah bervariasi. Hal ini dapat dilihat dari pasal 24 – 28 yang
menyebutkan:
a. Perintah penahanan dapat dilakukan oleh penyidik paling lama 20 hari, dapat
diperpanjang oleh penuntut umum untuk paling lama 40 hari. Setelah waktu 60

41
hari habis, maka tersangka harus sudah dikeluarkan dari tahanan penyidik demi
hukum. (pasal 24)
b. Penuntut umum berwenang melakukan penahanan 20 hari, dapat diperpanjang
oleh ketua pengadilan untuk paling lama 3 hari. Setelah waktu 50 hari tersangka
harus sudah dikeluarkan dari tahanan penuntut umum demi hukum (psal 25)
c. Hakim pengadilan negeri berwenang melakukan penahanan paling lama 30 hari
dan dapat di perpanjang oleh ketua pengadilan negeri paling lama 60 hari.
Setelah waktu 90 hari walaupun perkara belum putus terdakwa harus
dikeluarkan dari tahanan demi hukum (pasal 26)
d. Pengadilan tinggi untu kepentingan pemeriksaan dapat melakukan penahanan
paling lama 30 hari dan diperpanjang oleh ketua pengadilan tinggi paling lama
60 hari, setelah waktu 90 hari walaupun perkara belum putus terdakwa harus
dikeluarkan demi hukum (pasal 27)
e. Mahkamah agung untuk pemeriksaan kasasi berwenang melakukan penahanan
paling lama 50 hari dan dapat diperpanjang oleh ketua mahkamah agung paling
lama 60 hari lagi. Setelah waktu 110 hari walaupun perkara belum diputus
terdakwa harus dikeluarkan demi hukum (pasal 28). Jika kita jumlah jangka
waktu penahanan dari penyidik sampai ketua mahkamah agung paling lama 400
hari.
Karena penahanan tesebut merupakan hal yang sangat penting dan bertujuan
untuk mengekang kebebasan asasi seseorang, seyogyanyalah aparat penegak
hukum ( Polisi, Jaksa Hakim ) harus dengan sangat hati – hati mempergunakan
upaya paksa ini. Berkaitan denga penahanan ini Van Bemmelen mengingatkan
bahwa penahanan adalah sebagai suatu pedang yang memenggal kedua belah
pihak, karena tindakan yang bengis inidapat dikenakan kepada orang – orang
yang belum menerima keputusan dari hakim , jadi mungkin juga kepada orang –
orang yang tidak bersalah ( dalam Ansori Sabuan dkk. Op. cit. h 85 ).
Jadi dengan demikian aparat penegak hukum didalam melakukan upaya paksa ini
( penangkapan / penahanan ) terlebih dahulu menentukan sikapnya menahan
tersangka, harus berusaha mencari fakta – fakta atau bukti – bukti yang cukup
kuat sehingga betul – betul keyakinan akan kesalahan tersangka. Jika terdapat
keragu – raguan , maka harus dipilih tindakan yang meringankan ialah tindakan
tidak menahan tersangka. Hal ini dalam bidang hukum dikenal sebagai asas in de
bio proreo.

42
a. Dasar Dilakukan Penahanan
Menurut ketentuan pasal 21 KUHAP dapat dilihat adanya 2 dasar untuk dilakukan
suatu penahanan, yaitu:
1) Dasar menurut hukum ( gronden van Rechtmatigheid )
Bahwa penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka/terdakwa yang
melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam
tindak pidana tersebut dalam hal :
- Tindak pidana itu diancam penjara 5 tahun atau lebih
- Tindak pidana seperti dalam pasal 282 ayat , 296, 335 ayat 1, 351 ayat 1,
353 ayat 1, 372, 378, 379 a, 453, 454, 455, 459, 480, 506 KUHP; pasal 25,
26 Rechtem ordonantie; pasal 1,2 dan 4 UU no 8 DRT 1955; pasal 36 yat
7; pasal 41, 42, 43, 47, 48 tentang narkoba
2) Dasar Keperluan ( Gronden Van Noodzakelijheid )
Hal ini dapat dilihat dalam pasal 21 ayat 1 KUHAP penahanan dilakukan dengan
alasan :
- Adanya kekhawatiran bahwa tersngka/terdakwa melarikan diri
- Merusak atau menghilangkan barang bukti
- Mengulangi tindak pidana
Dari alasan di atas member petunjuk bahwa dalam hal penahanan, dasar menurut
hukum saja belum cukup, harus ada dasar menurut keperluan.
Demikian juga halnya dengan syarat suatu penahanan, jika dilihat dariketentuan
pasal 20 dan 21 KUHAP., maka syarat penahanan adalah :
1. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik , penyidik pembantu atas perintah
penyidik sebagaimana dimaksud pasl 11, berwenang melakukan penahanan;
2. Untuk kepentingan penuntutan, Penuntut Umum berwnang melakukan penahanan,
atau penahana lanjutan;
3. Untuk kepentingan pemeriksaan, Hakim disidang Pengadilan dengan
penetapannya, berwenang melakukan penahanan.
Sedangkan Prof Moeljatno membagi syarat penahanan menjadi 2 yakni :
a. Syarat Obyektif , yakni syarat tersebut diatur secara limitative dalam undang – undang
a.1. Terhadap tindak pidana yang ancaman pidana penjara 5 tahun atau lebih,
a.2. Terhadap tindak pidana seperti dalam pasal 21 ayat 4 b, meskipun ancaman
pidananya kurang dari lima tahun.

43
b. Sayar Subyektif yakni syarat yang melekat pada pelaku/ orang yang melakukan
tindak pidana, maka penahanan itu sangat penting :
b.1. Penahanan dilakukan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan atau
persidangan;
b.2. Mencegah agar terdakwa tidak melarikan diri;
b.3. Untuk mencegah agar tedakwa tidak merusak / menghilangkan barang bukti;
b.4. Untuk mencegah terdakwa mengulangi tindak pidana/ perbuatannya .

b. Jenis Penahanan
Dalam pasal 22 ayat l disebutka adanya tiga jenis penahanan a;
1) Penahanan rumah tahanan Negara;
Sebelum adanya rumah tahanan Negara ditempat bersangkutan, maka
penahanan dapat dilakukan di Kantor Kepolisian Negera, di Kantor Kejaksaan
Negeri,di Lembaga Pemasyarakatn, di Rumah Sakit dan dalam keadaan yang
memaksa ditempat lain.
2) Penahanan rumah;
Hal ini dilaksanakan dirumah tempat tinggal tersangka / terdakwa dengan
mengadakan perlawasan terhadapnya untuk menghindari segala sesuatu yang
dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan,atau pemerksaan di
sidang pengadilan.
3) Penahanan kota.
Penahanan kota dilaksanakan dikota tempat tinggal atau tempat kediaman
tersangka atau terdakwa dengan kewajiban baginya melapor diri yang ditentukan.

c. Pengalihan Jenis Tahanan.


Menurut ketentuan pasal 23 ayat 1 KUHAP pengalihan jenis tahanan dapat dilakukan
oleh penyidik, penuntut umum dan hakim. Pengalihan ini dinyatakan secara tersendiri
yaitu dengan surat perintah dari penyidik atau penuntut umum dan atau dengan
penetapan hakim, dan tembusannya di kirimkan kepada tersangka atau terdakwa serta
keluarganya dan kepada instansi yang berkepentingan.

d. Penangguhan Penahanan
Atas permintaan tersangka/terdakwa penyidik, penuntut umum atau hakim, sesuai
wewenang masing-masing dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau

44
tanpa jaminan uang atau orang (pasal 31 ayat 1 KUHAP). Mengenai jaminan berupa
uang PP no. 27/83 disebutkan bahwa : uang jaminan penangguahan penahanan yang
ditetapkan pejabat yang berwenang , sesuai dengan tingkat pemeriksaan, disimpan
dikepanitiaan pengadilan negeri (pasal 35 ayat 1 KUHAP).
Apabila tersangka/terdakwa melarikan diri dan setelah lewat waktu tiga bulan tidak
diketemukan uang jaminan tersebut manjadi milik Negara dan disetor ke kas Negara.
Dalam hal jaminan berupa orang, apabila tersangka/terdakwa melarikan diri maka
setelah tiga bulan tidak diketemukan pinjamin diwajibkan membayar uang yang
jumlahnya telah ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai tingkat pmeriksaan.
Dan apabila pejamin tidak dapat membayar, juru sita menyita barang miliknya untuk
di lelang dan hasilnya disetor ke kas Negara melalui panitia pengadilan.

e. Jangka Waktu Penahanan


1. Jangka waktu penahanah diberikan oleh penyidik berlaku paling lama 20
hari, dan jika diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan yang belm
selesai, dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum untuk paling lama 40
hari. Setelah 60 hari, penyidik harus mengeluarkan tersangka dari
tahanan demi hukum.
2. Penuntut Umum baewenang melakukan penehanan paling lama 20 hari,
jika untuk kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, Ketua
Pengadilan Negeri dapat melakukan penahanan untuk paling lama 30
hari, setelah waktu 50 hari, Penuntut Umum harus mengeluarkan
terdakwa dari tahanan demi hukum;
3. Untuk pemeriksaan ditingkat Banding, Hakim Pengadilan Tinggi
berwenang melakukan penahanan paling lama 30 hari, dan dapat
diperpanjang guna kepentingan pemeriksaan yan belum selesai
diperpanjagleh Ketua Pengadilan Tinggi paling lama 60 hari lagi, jika
jangka waktu 90 hari, maka terdakwa harus dikeluarkan dari tahanan
demi hukum;
4. Hakim Agung untuk pemeriksaan di tingkat Kasasi, berwenang
melakukan penahanan paling lama 50 hari, dan jika diperlukan untuk
pemeriksaan yangbelum selesai, diperpanjang lagioleh Ketua Mahkama
Agung untuk paling lama 50hari. Setelah 110 hari,terdakwa harus
dibebaskan demi hukum.

45
f. Prosedr Perpanjangan Penahanan
1. Dalam tingkat penyidikan dan penuntutan diberikan oleh Ketua
Pengadilan Negeri;
2. Dalam tingkat pemeriksaan di Pengadilan Neger, diberikan oleh Ketua
Pengadilan Tinggi;
3. Dalam pemeriksaan di tingkat Kasasi, diberikan oleh Ketua Mahkamah
Agung.
4. Terhadap perpanjangan penahanan ini tersangka/ terdakwa dapat
mengajukan keberatan dalam tingkat :
a. Penyidikan dan Penuntutn, kepada Ketua Pengadilan Tinggi,
b. Pemeriksaan Pengadilan Negeri dan Banding kepada ketua
Mahkamah Agung;
c. Perpanjangan penahanan di tingkat kasasi tidakdapat dilakukan
upaya hukum/ keberatan, karena Mahkamah Agung merupakan
pengawasan tertinggi terhadap pengadilan yang ada dibawhnya.

3. Penggeledahan
Pengertian penggeledahan dalam KUHAP dibedakan menjadi dua, yaitu:
penggeledahan rumah dan penggeledahan badan
Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan
tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau
penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur menurut undang-undang ini (pasal 1
butir 17 KUHAP)
Penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan atau
pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada dibadan atau dibawanya
serta, untuk disita (pasal 1 butir 18 KUAP).

Proses Penggeledahan
a. Tata cara penggeledahan menurut Undang-undang
1) Penggeledahan untuk kepentingan penyidikan dapat dilakukan penyidik dengan surat
ijin pengadilan negeri setempat
2) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal
tersangka/penghuni menyetujuinya, namun apabila tersangka/penghuni rumah

46
menolak atau tidak hadir, maka penggeledahan dapat dilakukan dengan disaksikan
oleh kepala desa atau ketua lingkungan dan dua orang saksi
3) Dalam waktu dua hari setelah memasuki rumah atau menggeledah rumah, maka
penyidik harus membuat berita acara dan turunannya disampaikan kepada
pemilik/penghuni rumah bersngkutan (pasal 33 KUHAP)

b. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam penggeledahan


1) Dalam keadaan yang mendesak penyidik dpat melakukan penggeledahan dengan
tanpa mendapat ijin dari ketua pengadilan negeri terlebih dahulu, namun dalam
keadaan yang demikian ini penyidik tidak dapat melakukan penggeledahan terhadap
surat, buku dan tulisan lain yang tidak ada hubungannya dengan tindak pidana yang
bersangkutan (pasal 34 KUHAP)
2) Kecuali dalam hal tertangkap tangan, penyidikan tidak diperkenankan memasuki:
 Ruang dimana sedang berlangsung sidang MPR, DPR, DPRD
 Tempat dimana sedang berlangsung ibadah dan atau upacara keagamaan
 Ruang dimana sedang berlangsung sidang pengadilan (pasal 35 KUHAP)
3) Dalam hal penggeledahan yang dilakukan di luar daerah hukumnya penyidik, dengan
tidak mengurangi arti ketentuan pasal 33, maka penggeledahan tersebut harus
diketahui oleh ketua pengadilan negeri dan didampingi oleh penyidik dari daerah
hukum dimana penggeledahan tersebut dilakukan (pasal 36 KUHAP).
4) Menurut ketentuan pasal 34 KUHAP, penyidik dapat melakukan penggeledahan :
a. Pada halamah rumah tempat tersangka tinggal berdiam atau dan yang ada
diatasnya;
b. Pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal berdiam atau ada
c. Ditempat tindak pidana dilakukan atau terdapat berkasnya;
d. Ditempat penginapan dan tempat umum lainnya.

4. Penyitaan
Arti penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih atau
menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak/tidak bergerak, berwujud/tidak
berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan (pasal
1 butir 16 KUHAP).

47
Penyitaan sangat bermanfaatbagi kepentingan perkara pidana yang nantinya dapat
dipakaisebagai pembuktian. Tetapi hal ini bertentangan dengan Pasal 7 ayat 1 dan 2
Declaration of Human Right menentuan :
“Everyone has the to own property alone wel as in association with others”
“No one shall be arbitrarily deprived of his property”.
Artinya , setiap orang berhak mempunyai hak milik baik sendiri maupun
bersama – sama dengan orang lain. Seseorangpun tidak boleh dirampas miliknya dengan
semena – mena ( Andi Hamzah, h 149 ).
Oleh karena itu penyitaan yang dilakukan gna kepentinganacara pidana baru dapat
dilakukan dengan cara – cara yang ditentuan oleh Undang- undang. Penyitaan baru dapat
dilakukan jika sudah mendapat ijin dariKetua Pengadilan Negeri setempat. Jika dalam
keadaan mendesak sekali, penyidk dapat melakukan tindakan penyitaan sebatas barang /
benda tidak bergerak saja, dan setelah itu , penyidik wajib melaporkan hal tersebut kepada
Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk mendapat persetujuan. Permasalahannya adalah ,
bagaimana jika Keta Pengadila Negeri tidak memberikan ijin atas laporan tersebut?.
Jika diperhatikan, KUHAP tidak memberi penjelasan. Hal ini sangat penting untuk
diperatikan, mengingat keterikatan dengan hak milik seseorang yang tidak boleh diganggu
gugat. Menurut Andi Hamzah mengatakan “hal ini ( penyitaan ) harus dibatalkan, menginat
adanya kata – kata dalam pasal 38 ayat 2 “tanpa mengurangi ketentuan ayat 1 antara …. Ijin
terlebih dahulu, dan penyidik dapat ……… maka hal itu harus ditapsirkan bahwa penyitaan
tersebut tidak sah dan dibatalkan ( ibid ).

a. Tata cara penyitaan menurut ketentuan undang-undang


1) Penyitaan dapat dilakukan oleh Penyidik dengan ijin Ketua Pengadilan Negeri
setempat, kecuali dalam keadaan mendesak dapat dilakukan tanpa ijin terlebih
dahulu namun setelah itu melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk
mendapat persetujuan (pasal l38 KUHAP ).
2) Benda – benda yang dapat disita;
- Benda / tagihan tersangka / terdakwa , seluruhnya atau sebagian diperoleh
dari tindak pidana ;
- Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak
pidana atau untuk mempersiapkan;
- Benda yang dipakai untuk menghalangi penyidikan tindak pidana;
- Benda khusus yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana;

48
- Benda lain yang ada hubungannya dengan tindak pidana yang dilakukan;
- Benda yang ada dalam sitaan karena perkara perdata.
b. Penyimpangan dalam hal penyitaan.
1) Dalam tertangkap tanganpenyitaan dapat dikenakan terhadap benda yang diduga
dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat
dipergunakan sebagai barang bukti;
2) Dalam hal tertangkap tangan , juga dapat disita benda/ paket atau benda lain yang
pengirimannya melalui kantor post atau telakomunikasi, atau jawatan/ perusahaan
sepanjan benda tersebut diperuntukkan bagi terdakwa.
3) Penyidik berwenang untuk memerintadkan kepada orang yang menguasai benda
yang dapat disita untuk menyerahkannya guna kepentingan pemeriksaan.
c. Pengamanan barang sitaan
1) Beda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan dan penyimpanan
dilakukan dengan sebaik- baiknya, dengan tanggung jawab masing-masing
sesuai dengan tingkat pemeriksaan perkara, serta dilarang untuk dipergunakan
oleh siapapun ( ps 44 ).
Dalam ketentuan pasal 26 – 34 PP No. 27/1983 mengatur tentang RUPBASAN.
Penyimpanan benda sitaan dapat dilakukan di Kantor Kepolisian Negara, Kantor
Kejaksaan atau di Kantor Pengadilan Negeri, di Bank Pemerintah dan dalam
keadaan mamaksa, dapat dilakukan ditempat lain atau tetap ditempat benda
sitaan.
2) Benda – benda sitaan yang mudah rusak dan mambahayakan atas persetujan
tersangka dapat diambil tindakan :
 jika benda tersebut masih ditangan penyidik, penuntut Umum, benda
tersebut dapat dijual lelag atau dapat diamankan oleh Penyidik atau
Penuntut Umum dengan disaksikan oleh tersangka atau keluarganya.
 Jika perkara ada ditangan Pengadilan, maka benda tersebut dapat dijual
lelang oleh Penuntut Umum atas ijin hakim yang menyidangkan perkara
tersebut dengan disaksikan oleh terdakwa atau kuasanya.
d. Pengembalian Barang Bukti
Barang – barang sitaan dikembalikan kepada mereka yang paling berhak atau dari
siapa benda tersebut disit, apabila :
1) Kepentingan penyidikan dan panuntutan tidak memerlukan lagi.

49
2) Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak terbukti atau bukan
merupakan tindak pidana.
3) Perkara tersebut dikesampinkan oleh jaksa atau perkara ditutup demi hukum.
Jika perkara tersebut telah diputus,benda yang dista dikembalikan kepada
orang yang disebut dalamputusan, kecuali dalam putusan tersebut dinyatakan
benda tersebut dirampas untuk Negara, dimusnahkan,ataudirusak sampai
tidak dapat dipergunakan

50
BAB VIII
PENUNTUTAN

1. Pra Penuntutan
Penuntut Umum sesuai dengan wewenang yang diberikan oleh undang – undang berhak
untuk melakukan tuntutan hukum terhadap siapa saja yang melakukan tindak pidana
Sebelum melakukan penuntutan, Penuntut Umum sesuai dengan kewenangannya
mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan dengan penyidikan dengan
memperhatikan ketentuan pasal ll0 KUHAP. Dengan member petunjuk dalam rangka
penyempurnaan penyidikan dari penyidik.
Pertanyaannya adalah apakah yang dimaksud dengan pra penuntutan. KUHAP sendiri
tidak memberi penjelasan, namun jika dilihat ketentuan pasal l10 b bahwa hal ini erat
kaitannya dengan adanaya pelimpahan perkara dari penyidik ke Penuntut Umum dan oleh
penuntut umum dikembelikan lagi ke penyidik jika ada kekurangan disertai dengan petunjuk
untuk dilengkapi. Pra Penuntutan seperti ditentukan Pasal 30 UU No 16/ 2004 Tentang
Kejaksaan RI menentukan Jaksa dapat melakukan pra penuntutan.
Lebih jauh penjelasannya huruf a mengatakan Pra Penuntutan adalah tindakan
Jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberi tahuan
dimulainya penyidikan dari penyidik , mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas
perkara hasil penyidikan yang diterima dari penyidik serta memberikan petunjuk guna
dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan , apakah berkas perkara tersebut
dapat dilimpahkan atau ke tahap penuntutan. ( Marwan Effendi, 2005, Kejaksaan RI, Posisi
dan Fungsinya Dari Persepektif Hukum. Hal. 220 ).
Dalam buku pedoman pelaksana KUHAP. bahwa pasal l40 tersebut dikaitkan dengan
pasal 138 menyebutnya dengan istilah PRA PENUNTUTAN:
Pasal 110 menyebutkan :
1) Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, dia wajib menyerahkan
berkas perkaranya kepada penuntut umum
2) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa penyidikan masih kurang lengkap,
penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai
dengan petunjuk untuk dilengkapi
3) Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan, penyidik wajib segera
melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum

51
4) Penyidikan dianggap selesai jika dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak
mengembalikan berkas perkara atau sebelumnya ada pemberitahuan dari penuntut
umum kepada penyidik
Pasal 138 KUHAP menyebutkan: penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan,
segera mempelajari dan meneliti dan dalam waktu 7 hari wajib memberitahu kepada
penyidik apakah hasil penyidikan sudah lengkap atau belum.
Dalam hal hasil penyidikan belum lengkap, penuntut umum disertai petunjuk tentang
hal yang harus dilengkapi dan dalam waktu 14 hari sejak penerimaan berkas, penyidik sudah
harus mengembalkan berkas itu kepada penuntut umum.
Dengan menyimak ketentuan diatas, terdapat hal yang kurang jelas, tentang batas
waktu selama 14 hari penyidik sudah harus melengkapi berkas perkara tersebut dan
mengembalikan berkas perkara tersebut kepada penyidik, hal ini menimbulkan masalah :
1. Dengan tidak ditentukan berapa kali penyrahan/penyampaian kembali berkas
perkara acara timbale balikdari penyidik ke Penuntut Umum atau sebaliknya,
kemungkinan selalu bis terjadi, atas dara pendapat Penuntut Umum bahwa hasil
penyidikan belum lengksp, akhirnya perkara bisa berlarut – larut.
2. Bagaimana jika dalam jangka waktu 14 hari penyidik tidak bisa melengkapi berkas
perkara yang dikembalikan ke Penyidik, Apakah penyidik akan mengembalikan
lagi berkas perkara yang belum lengkap tersebut ke Penuntut Umum ( Moch.
Faisal Salam SH MH,Hukum Acara Pidana Dalam Tiori dan Praktek, h134 ).
Pertanyaannya adalah apa yang dimaksud dengan Pra Prnuntutan tersebut ?
Dengan melihat ketentuan pasal 14, dihubungkan denganpasal 11o dan 138
KUHAP. diatas, rupanya pembuat undang – undang mengatakan bahwa pra
penuntutan tersebut adalah tindakan Penuntut Umum memberi petunjuk dalam
rangka penyempurnaan penyidikan oleh penyidik, yang kala aman HIR berlaku
ini yang dimaksud dengan Penyidikan Lanjutan, hal ini dimaksudkan
menghindari kesan agar jaksa tidak lagi melakukan tugas penyidikan, karena
KUHAP sendiri telah menggariskan, bahwa tugas penyidikan mutak dilakukan
oleh Polisi dan Penyidk Pegaawai Negeri Sipil, kecuali Undang – undang
menentukan lain ( Tindak Pidana Khusus, seperti misalnya : Tindak Pidana
Ekonomi, Korupsi, Pencemaran Lingkungan, Maney Loundring dll ).
Jika hasil penyidikan sudah lengkap, hanya saja penyidik salah / keliru
mencantumkan pasal yang disangkakan, apakah jaksa berhak untuk melakukan
perubahan pasal yang dicantumkan tersebut ?. Jika hal ini terjadi, saya sependapat

52
dengan DR Andi Hamzah yang mengatakan terhadap hasil penuntutan
tersebut. Hal ini sasuai dengan asas dominus litis dalam hal penuntutan,
dimana jaksa bebas untuk menetapkan perat“perubahan pencantuman pasal
tersebut bisa saja langsung dilakukan oleh Penuntut Umum, karena hal ini
merupakan hal yang tidak substantive, juga karena nantinya dalam
penuntutan, Jaksa Penuntut Umumlah yang akan paling bertanggungjawab
uran pidana mana yang akan didakwakan dan yang mana tidak” ( ibid, 161 ).

2. Penuntutan
Pengerian Penuntutan
Pasal 1 butir 7 KUHAP, penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk
melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus
oleh hakim disidang pengadilan.
Difinisi diatas mirip dengan difinisi dari Wirjono Prodjdikoro, hanya saja menrut
beliau menyatakan dengan tegas “terdakwa” . Menuntut seorang terdakwa dimuka hakim
pidana adalah menyerahkan perkara seorang terdakwa dengan berkas perkaranya kepada
hakim , dengan permohonan supaya hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara
pidana itu terhadap terdakwa ( Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di
Indonesia, h. 34 ).
Penuntut Umum berwenang melakukan penuttan terhadap siapapun yang didakwa
melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hkumnya dengan melimpahkan perkara
kepengadilan yang berwenang mengadili ( pasal 137 KUHAP ).
Sehubungan dengan ketentuan tersebut, ada beberapa tindakan yang dapat dikerjakan
dengan wewenang yang ada ditangan Penuntut Umum antara lain :
a. Sebelum perkara dilimpahkan di pengadilan:
 Mengadakan pra penuntutan
 Menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik
 Penuntut umum dapat menutup perkara demi kepentingan hukum (pasal 76, 77,78
KUHP)
 Penuntut umum dapat menghentikan penuntutan dengan surat penetapan (alasan
tidak cukup bukti atau bukan peristiwa pidana)
 Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang,
menyiapkan surat dakwaan

53
b. Melaksanakan penuntutan di sidang pengadilan
c. Melaksanakan penetapan hakim
d. Melaksanakan upaya hukum
e. Membuat surat dakwaan
f. Menutup perkara demi kepentingan hukum
g. Mengadakan tindakan laindalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut
umum menurut undang – undang.
Yang dimaksud dengan tugas lain menurut UU adalan ditentukan dalam pasal
Pasal 30 UU No 16/ 2004 tentang Kejaksaan RI menentukan dalam bidang pidana :
Ayat 1 d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan UU. (
pehatikan Pasal 284 KUHAP ). Jika dicermati, bahw kewenangan dalan ketentuan ini
adalah wewenang sebagaimana diatur dalam UU No. 26/ 200 tentang Pengadilan HAM.
Dan UU No 31 / 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsiyo UU No. 20/
2001 yo UU N0. 30/ 2002 tentang Komosi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( DR.
Marwan Effendi SH, op. cit. ,h140 )
Ayat 2 di bidang perdata dan tata usaha Negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus
dapat bertindak didalam maupun diluar pegadilan untuk dan atas nama negara atau
pemerinta;
Ayat 3 Dalam bidang Ketertiban dan ketentraman Umum, Kejaksaan turut
menyelenggarakan kegiatan :
a. Meningkatkankesadaran hukum masyarakat;
b. Mengamankan kebijakan penegak hukum;
c. Pengamanan barang cetakan;
d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyaraka dan Negara;
e. Pencegahan penyalah gunaan dan/ atau peodaan agama;
f. Meneliti dan mengembangkan hukum serta statisti criminal.
g. Kejaksaan dapat juga menenpatkan seorang terdakwa di rumah sakit atau tempat
perawatan jiwa atau tempat lain yang l;ayak karena yang bersangkuta tidak mampu
berdii sendiri atau disebabkanoleh hal yang membahaakam orang lain, lingkugan
atau dirinya sendiri dengan mohon kepada hakim ( DR Marwan Effendi, SH , ibid.133)

3. Hal - hal dalam Penuntutan


Dalam hukum acara pidana , ada beberapa hal yang prinsip yang perlu diketahui dan
dipahami seperti :

54
a. Perkara dihentikan penuntutannya demi kepentingan hukum artinya perkara dihentikan
penuntutannya karena tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan
tindak pidana, apabila kemudian ternyata ada alasan baru tidak menuntut kemungkinan
bagi penuntut umum untuk melaksanakan penuntutan pada tersangka (pasal 140 ayat 2
a). alasan baru diperoleh penuntut umum dari penyidik berasal dari keterangan
tersangka, saksi, barang bukti, petunjuk yang baru kemudian didapat
b. Perkara ditutup demi hukum artinya apabiala terjadi dimana tersangka meninggal
dunia, atau perkara tergolong “ne nis in idem”, kedaluarsa. Hal ini juga dapat kita
kaitkan dengan ketentuan pasal 76, 77, 78 KUHP.
c. Penyimpangan perkara untuk kepentingan umum merupakan wewenang jaksa agung,
maksudnya penghentian penuntutan tidak termasuk penyimpaangan perkara untuk
kepentingan hukum yang menjadi wewenang jaksa agung. Hal ini merupakan hak dari
jaksa agung yag disebut azas opportunitas.

4. Surat Dakwaan
Arti dan tujuan
a. Surat dakwaan
Surat tuduhan adalah suatu surat atau akte yang memuat suatu perumusan dari
tindak pidana yang dituduhkan, yang sementara dapat diambil dari surat-surat
pemeriksaan pendahuluan yang merupakan dasar bagi hakim untuk melakukan
pemeriksaan, yang bila ternyata cukup terbukti terdakwa dapat dijatuhkan hukuman
(A. Karim Nasution, masalah surat tuduhan dalam proses pidana).
Jadi yang dimaksud dengan surat dakwaan adalah : Suatu surat atau akta yang
memuat rumusan dari tindak pidana yang didakwakan, yang sementara dapat
disimpulkan dari penyidik yang merupakan dasar bagi hakim untuk melakukan
pemeriksaan disidang pengadilan.
Tujuan surat dakwaan dapat dilihat dari beberapa sisi :
1. Dari sisi penuntutan, tujuan surat dakwaan adalah untuk/ sebagai dasar
bagi penuntut umum untuk melakukan tuntutan hukum; karena Jaksa
mempunyai kekuasaan yang mutlak melakukan tuntutan hukum bagi setiap
warga Negara yang melakukan pelanggaran hukum.
2. Dari sisi terdakwa sendiri. Tujuan utama dari surat tuduhan adalah bahwa
undang-undang ingin melihat ditetapkannya alasan-alasan yang menjadi

55
dasar penuntutan suatu peristiwa pidana, untuk itu sifat khusus dari suatu
tindak pidana yang telah dilakukan itu harus dicantumkan dengan sebaik-
baiknya. Terdakwa mengetahui hal sekecil – kecilnya tentang perbuatan
yang dilakukan.
3. Dari sisi Pengadilan, bahwa tujuan surat dakwaan adalah sebagai dasar
bagi hakim untuk memeriksa perkara dalam persidangan. Lembaga
Pengadilan adalah satu – satunya lembaga yeng berwenang menyatakan
bersalah tidaknya seseorang yang telah didakwa melakukan tindak pidana,.
Dari segi terdakwa bahwa kepentingan surat tuduhan adalah agar ia mengatahui
setepat-tepatnya dan setelitinya apa yang dituduhkan kepadanya sehingga ia sampai
pada hal yang sekecil-kecilnya, dapat mempersiapkan pembelaan terhadap tuduhan
tersebut.

b. Teknik Membuat Surat Dakwaan.

1. Dengan Cara Penggabungan


Cara membuat surat dakwaan dapat dilihat dalam pasal 141, 142 KUHAP.
Penuntut Umum dapat melakukan penggabungan perkara dalam membuatnya dalam
satu surat dakwaan , apabila dalam waktu yang sama atau hamper bersamaan ia
menerima beberapa berkas perkara dalam hal :
 Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang sama dan
kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap
penggabungannya.
 Beberapa tindak pidana yang bersangkut paut dengan yang lainnya.
 Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut paut satu dengan yang lainnya tapi
satu dengan yang lainnya ada hubungan , dalam hal ini penggabungan perlubagi
kepentingan pemeriksaan.

2. Cara Terpisah
Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa
tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk
dalam ketentuan pasal 141 KUHAP, penuntut umum dapat melakukan penuntutan
terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah (pasal 142 KUHAP). Haya satu
kali selambat-lambatnya 7 hari sebelum sidang dimulai (pasal 144 ayat 2 KUHAP).
Dan dalam hal penuntutan umum mengubah surat dakwaan ia menyampaikan
56
turunannya kepada tersangka atau penasehat hukum dan penyidik (pasal 144 ayat 3
KUHAP).

c. Syarat Surat Dakwaan


Pasal 143 ayat 2 menyebutkan penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi
tanggal dan ditanda tangani serta berisi:
1) Syarat formal: Nama lengkap, TTL, umur, jenis kelamin, kebangsaan, tempat
tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka yang disebut dengan identitas;
2) Syarat Materiil: uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindakan
yang didakwakan dengan menyebutkan waktu tempat tindak pidana itu
dilakukan.
Dan apabila surat dakwaan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 143 ayat 2b, maka surat dakwaan tersebut batal demi hukum (pasal 143 ayat 3).
Pembatalan formal ini pada intinya adalah pembatalan yang disebabkan karena
yang disebabkan karena tidak memenuhi syarat – syarat mutlak yang ditentukan sendiri
oleh undang – undang , dan pembatalan yang hakiki adalah pembatalan yang menurut
penilaian hakim sendiri. Yang disebabkan karena tidak dipenuhi suatu syarat yang
dianggap esensial., surat dakwaan yang dibuat tidak jelas, tidak nampak dengan jelas
perbuatan apakah yang sebenarnya dilakukan terdakwa ( obscuar libel ).
Selanjutnya apakah yang dimaksud dengan uraian yang cermat jelas dan lengkap
dalam KUHAP tidak dijelaskan, namun kiranya dalam hal ini dapat dihubungkan dengan
pendapat Jenkers yang menyebutkan bahwa yang harus dimuat ialah selain dari perbuatan
yang sungguh-sungguh dilakukan yang bertentangan dengan hukum pidana, juga harus
memuat unsure-unsur yuridis kejahatan yang bersangkutan (A. Hamzah, Op.Cit 169)

d. Perubahan Surat Dakwaan


Setelah Penuntut Umum/ Jaksa melimpahkan berkas perkara bersana – sama
dengan surat dakwan ke Pengadilan, kemudian dia eras terdapat kesalahan/kekeliruan,
baik berkaitan syarat formil maupun syarat materiil, hal ini dapat dilihat dalam ketentuan
pasal 144 KUHAP :
1. Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan
menetapkan hari sidang baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun
untuk tidak melanjutkan penuntutan (pasal 144 ayat 1 KUHAP).

57
2. Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat-
lambatnya 7 hari sebelum sidang dimulai (pasal 144 ayat 2 KUHAP),
3. Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan ia menyampaikan
turunannya kepada tersangka atau penasehat hukum dan penyidik (pasal 144
ayat 3 KUHAP).
Dengan demikian perubahan surat daeaan hanya dapat dilakukan sebeum
sidag dimulai, yakni sebelun Pengadilan Negeri menetapkan hari siding.,
dengan tujuan untukmenyempurnakan dakwaan maupun untuk tidak
melanjutkan penuntutan.

e. Bentuk/macam Dakwaan
Dakwaan dapat disusun secara tunggal, komulatif, alternative dan ataupun subsidaier.
1) Dakwaan Tunggal
Dalam hal sseorang atau lebih telah melakukan tindak pidana lebih dari 1
macam perbuatan saja, maka dakwaan disusun secara tunggalseperti misalnya
tindak pidana perkosaan ( pasal 285 KUHP ), melarikan anak gadis dibawah
umur ( pasal 332 KUHP ). Akibat yang bisa saja terjadi jika dakwaan tersebut
tunggal adalah jika dakwaan jaksa tidak terbukti, maka terdakwa jelas akan
dibebaskan.
2) Dakwaan komulatif
Dalam hal terdakwa/ beberapa orang didakwa telah melakukan tindak
pidana lebih dari satu macam. Dalam pembuatan dakwaannya harus diuraikan
satu persatu perbuatan yang dilakukan dan kemuadian dalam pembuktiannya juga
setiap tindak pidana yang telah dilakukan harus dibuktikan. Dan istilah yang
dipergunakan ialah dakwaan kesatu, kedua, ketiga, dst.
Ciri utama dakwaan ini adalah mempergunakan dakwaan kesatu, kedua dst.,
dengan member pilihan pasal – pasal seperti dakwaan subsideritas / berlapis,
misal dakwaan primer, subsider, lebih subsider , terdakwa melakukan tindak
pidana lebih dari satu, dan perbuatan terdakwa berdiri sendiri. Hal ini bertujuan
agar supaya terdakwa tidak bisa lepas dari dakwaan. Dalam hal ini jaksa harus
membuktikan masing – masing dakwaannya, dan hakim akan menjatuhkan
hukuman yang ancaman pidananya paling berat.

58
3) Dakwaan Alternatif
Terhadap terdakwa didakwa telah melakukan beberapa tindak pidana, akan
tetapi perbuatannya hanyalah satu. Misalnya terdakwa didakwa melakukan
pencurian atau penadahan sedang perbuatan terdakwa sendiri sebenarnya adalah
salah satu dari kedua dakwaan tersebut. Ciri utama dakwaan ini adalah adanya
kata hubung “ “atau “ antara dakwaan satu dengan yang lainnya, sehingga
dakwaan ini sipatnya adalah pilihan atau alternative accusation atau alternative
tenlertelegging. Kenapa jaksa membuat dakwaan semacam ini yang oleh Van
Bemmelen dikatakan :
1. Penuntut umum tidak mengetahui secara pasti perbuatan mana dari ketentuan
hukum pidana sesuai dakwaan nantinya akan terbukti dipersidangan;
2. Penuntut Umum ragu terhadap peraturan hukum pidana mana yang akan
diterapkan hakim atas perbuatan yang menurut pertimbangan telah terbukti (
dalam Lilik Mulyadi, Opcit.h. 87 ).

4) Dakwaan Sudsidair Berlapis


Dalam pembuatan dakwaan subsidar, terhadap terdakwa didakwa telah
melakukan suatu kejahatan, dan terhadap kejahatan yang dilakukan tersebut yang
ancaman hukuman terberat disebutkan paling atas kemudian berturut-turut
kebawah yang lebih ringan. Sehingga istilah yang dipergunakan ialah dakwaan
primair atas dakwaan yang terberat dan subsidair, lebih subsidair, dst.
Catatan: bahwa dalam hal pembuatan surat dakwaan perlu juga diperhatikan
ketentuan pasal 141 dan 142 KUHAP.
Ciri utama dakwaan ini adalah disusun secara berlapis yaitu dimulaidari dakwaan
terberat sampai pada yang ringan. Pada prinspnya antara dakwaan ini hamper
sama dengan dakwaan alternative. Perbedaannya dalam dakwaan alternative
hakim dapat langsung memilih dakwaan yang sekiranya cocok dengan
pembuktian dipersidangan, sedangkan pada dakwaan subsideritas ini hakim
terlebihdahulumempertimbangkan dakwaan terberat, jika dakwaanprimer ini tidak
terbukti, baru dibuktikan dakwaan yang subside dst. Apabila dakwaan primer
sudah terbukti, maka dakwaan selanjutnya tidaa perlu dibuktikan.

5). Dakwaan Campuran

59
Bentuk dakwaan ini sebetulnya merupakan bentuk gabungan antara
dakwaan komulatif dan dakwaan alternative ataupun subside. Jadi terdakwa
disamping didakwakan dengan komulatif, masih didakwa secara alternative
mapun subside

f. Cara Merumuskan Dakwaan


Dalam menbuat surat dakwaan harus memenuhi 2 syarat :
1. Harus mengandung lukisan dari apa yang senyatanya terjadi;
2. Harus menyatakan unsur yuridis dari tindak pidana yang didakwakan.
Jadi dengan demikian tindak pidana yang didakwakan harus digambarkan sejelas
mungkin, dengan menyebutkan nama tempat, waktu dan cara terjadinya tindak
pidana tersebut. Contoh , terdakwa didakwa melanggar ketentuan pasal 362
KUHP. Dalam menyusun surat dakwaan harus menyebutkan unsur – unsur yang
esensial didalam dakwaan tersebut seperti :
1. Mengambil sebagai perbuatan delik yang sebenarnya;
2. Pengambilan harus mengenai suatu barang;
3. Barang tersebut harus seluruhnya atau sebagian merupakan milik orang lain;
4. Pengambilan itu harus dilakukan dengan maksud untuk memiliki dengan
melawan hukum.
Juga dalam merumuskan perbuatan yang didakwakan harus dinyatakan pula :
1. Perbuatan yang telah dilakukan;
2. Cara melakukan perbuatan;
3. Upaya apa yang telah dipergunakan dalam pelaksanaannya;
4. Terhadap siapa tindak pidana itu ditujukan secara langsung;
5. Bagaimana sifat keadaan korban
6. Bagaimana sifat dari pelaku;
7. Apakah objek dari delik bersangkutan.

g. Pelimpahan Perkara oleh Penuntut Umum


Penuntut umum dalam melakukan tugas penuntutan dimana setelah dibuat surat
dakwaan, maka akan melimpahkan perkara kepada pengadilan negeri yang berwenang
dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut (pasal 143 ayat 1 yo, pasal 140
KUHAP).

60
Pelimpahan perkara dengan surat pelimpahan perkara kepada pengadilan negeri
yang berwenang, dan turunannya disampaikan kepada tersangka atau keluarganya atau
penasehat hukumnya dan penyidik (pasal 143 ayat 4). Dan menurut penjelasan pasal 143
ayat 4 KUHAP bahwa yang dimaksud dengan “surat pelimpahan perkara” adalah
termasuk surat pelimpahan perkara itu sendiri lengkap beserta surat dakwaan dan berkas
perkaranya.
Pengadilan yang berwenang mengadili diatur dalam pasal 84 KUHAP yang
menyebutkan:
1) Pengadilan negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang
dilakukan dalam daerah hukumnya.
2) Pengadilan negeri yang didaerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam, di
tempat ia diketemukan atau ditahan hanya berwenang mengadili perkara tersebut
apabila tempat kediamannya sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada
tempat pengadilan negeri itu dari pada tempat kedudukan pengadilan negeri yang
didalam daerahnya tindak pidan itu dilakukan.
3) Terhadap beberapa terdakwa melakukan beberapa tindak pidana dalam daerah hukum
berbagai pengadilan negeri, diadili oleh masing-masing pengadilan negeri dengan
ketentuan dibuka kemungkinan penggabungan perkara tersebut.

61
BAB IX
PRA PERADILAN

1. Arti Pra Peradilan


Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
a. Sah tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas
permintaan tersangka, penyidik, dan penuntut umum demi tegaknya hukum dan
keadilan
c. Permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak
lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan ( pasal 1 butir 10
KUHAP ).
Dari pengertian tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa “praperadilan” sebagai
lembaga baru dengan berlakunya KUHAP dengan tujuan untuk melindungi hak azasi dari
tindakan aparat penegak hukum yang dianggap merugikan pihak tersangka dengan
mengajukan tuntutan ganti rugi dan rehabilitasi.
Ketentuan yang menjadi dasar dikeluarkannya lembaga Pra Peradilan ini adalah
ketentuan pasal 9 UU No. 4/ 2004 ( asal mula dalam UU No. 14/ 1970.) menentukan :
1. Seseorag yangditangkap, ditahan, dituntut dan diadili tanpa alas an yang berdasarkan
Undang – Undang atau kekeliruan menganai orangnya atau hukum
yangditerapkannyaberhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi;
2. Prjabat yang sengaja melakukan perbuatansebagai mana ditentukan dalam ayat 1
diatas, dapat dipidana;
3. Cara – Cara untuk menuntut ganti kerugia , rehabilitasi danpembebasan ganti
kerugian diatur lebih lanjut dalam Undang – Undang.
Penbaranan ketentuan in dapat dilihat dalam ketentuan dalam pasal 77 s/d 83
KUHAP.
Maksud dan tujuan dibentuknya lembaga Pra Peradilan ini adalah merupakan control
/ pengawasan atas berjalannya hukum acara pidana, dalam rangka melindungi hak
asasi tersangka/ terdakwa. Kontrol tersebut dilakukan dengan cara :
a. Kontrol Vertikal,yakni control dari atas kebawah dan

62
b. Kontrol horizontal, yakni control kesamping, antara penyidik penuntut umum
timbal balik dan tersangka, keluarganya atau pihak ketiga( Moh.Faisal, opcit.h 322)
Lembaga Pra Peradilan ini tidak merupakan suatu badan/lembaga penegak hukum
tersendiri, tetapi hanya suatu wewenang saja dari Pengadilan Negeri. Pemberian wewenang
ini diberikan bertujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan secara sederhana, cepat dan
murah dalam rangka memulihkan harkat dan martabat, kemampuan/ kedudukan seta
mengganti kerugian terhadap korban yang merasa dirugikan.( ibid).

2. Tugas dan wewenang Praperadilan


Menurut pasal 77 KUHAP ; Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan
memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a. Sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan
b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Dan dijelaskan pula dalam penjelasan pasal 77 KUHAP, bahwa pengentian
penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi
wewenang Jaksa Agung.
Mengacu pada ketentuan pasal 77 KUHAP , maka dapat kita lihat bahwa yang
menjadi alasan diajukannya Pra Peradilan ini adalah :
1. Mengenai sah tidaknya penangkapan, penahanan sebagaimana diatur dalam pasal
16 sampai dengan 31 KUHAP.
2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan.
Penghentian penyidikan atau penuntutan terdiri dari :
a. Penghentianpenyidikan atau penuntutan demi kepentingan hukum, artinya
penghentian itu dilakukan berturut – turut oleh penyididk atau penuntut umum,
karena masih perlu menemukan bukti lain;
b. Penghentian penyidikan atau penuntutan, demi hukum yang dapat terjadi
karena untuk perkara rang bersangkutan :
 Karena telah kedaluarsa
 Tidak ada pengaduan pada delik aduan atau pengaduannya dicabut,
 Tersangka / terdakwa meninggal dunia,
 Karena kekeliruan orangnya/ eror in persona,
 Karena ne bis in idem,
 Karena buka perkara pidana,

63
 Peraturan perundang – undangan yang menjadi dasar telah dicabut..
3. Tindakan lain yang dimaksudkan dalam pasal 95 ayat 1 yaitu kerugian yan
ditimbulkan karena pemasukan rumah, penggeedahan dan penyitaanyang tidak sah
menurut hukum. Juga termasuk penahanan tanpa alas an yang jelas, lebih lama dari
hukuman yang semestinya dijatuhkan.
4. Ganti kerugian, seperti ditentukan dalam pasal 1 butir 22 KUHAP. yang
menentukan :
“ Ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapatkan pemenuhan atas
tuntutannya, berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, diahan, dituntut
ataupun diadili tanpa alas an yang berdasarkan undang – undang atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yag diterapkan menurut cara – cara
yangdiatur dalam undang- undang ini.

3. Prosedur Pengajuan Praperadilan


Dakam ketentuan pasal-pasal 79, 80 dan 81 KUHAP menyebutkan:
a. Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau
penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua
pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya (pasal 79)
b. Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu pengghentian penuntutan
dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang
berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya
(pasal 80 KUHAP)
c. Permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi – akibat tidak sahnya penangkapan
atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan
diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua
pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya. (pasal 81 KUHAP).

4. Acara Pemeriksaan Praperadilan


a. Secara umum Prosedur acara pemeriksaan perkara melalui praperadilan terhadap hal
sebagimana dimaksud oleh pasal 79, 80, 81 KUHAP adalah sebagai berikut, diatur
dalam pasal 82 ayat 1 KUHAP:
1) Dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk
menetapkan hari sidang:

64
Catatan: sesuai dengan ketentuan pasal 78 ayat 2 KUHAP bahwa praperadilan
dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri dan
dibantu oleh serang Panitera.
2) Dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau
penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, permintaan
ganti kerugian dan rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan,
akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita
yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dari
tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang.
3) Pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari
hakim harus sudah menjatuhkan putusannya
4) Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sedangkan
pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka
permintaan tersebut gugur
5) Putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk
mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan penuntut
umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru ( Moch Faisal Salam, SH MH. Op.cit h.
332 ).
b. Putusan pra peradilan sebagaimana diatur dalam pasal 82 ayat 2 KUHAP. menentukan
bahwa putusan hakim dalam pra peradilan mengenai hal dimaksud dalam pasal 70, 80
dan 81 KUHAP, harus memuat dasar dan alasan yang jelas. Dan selanjutnya mengenai
isi putusan sebagaimana dimaksud dalam pasal 82 ayat 3, bahwa selain memuat
ketentuan dimaksud dalam pasal 82 ayat 2 juga memuat hal sebagai berikut:
1) Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak
sah, maka penyidik atau Jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-
masing harus segera membebaskan tersangka.
2) Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau
penuntutan tidak sah, penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan.
3) Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah,
maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti rugi dan rehabilitasi yang
diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan
adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusannya dicantumkan
rehabilitasinya ( ibid h 333).

65
5. Upaya Hukum Putusan Praperadilan
Putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaskud dalam pasal 70, 80 dan 81
KUHAP tidak dapat dimintakan banding (pasal 88 ayat 1 KUHAP). Dikecualikan dari
ketentuan pasal 83 ayat 1 KUHAP bahwa putusan praperadilan yang menetapkan tidak
sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, yang untuk itu dapat dimintakan
putusan akhir ke Pengadilan Tinggi dalam daerah hukumnya yang bersangkutan (pasal
83 ayat 2 KUHAP) selanjutnya putusan Pengadilan atas perkara tersebut merupakan
putusan akhir.

6. Isi Putusan Praperadilan


Salinan putusan dengan jelas memuat dasar dan alas an dijatuhkan putusan , maka
dalam putusan memuat hal – hal :
a. Dalam hal suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau Penuntut
Umum/ jaksa harus segera membebaskan tersangka;
b. Dalam hal suatu penhghentian penyidikan atau penghentian penuntutan dinatakan
tidak sah, maka penyidikan atau penuntutan dinyatakan tidak sah, maka penyidikan
atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan;
c. Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah,
maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi
yang dibayarkan/ diberikan, , sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan/
penahanan , maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya;
d. Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat
pembuktian, maka dalam putusan dicntumkan bahwa benda tersebutharus segera
dikembalikan kepada tersangka atau kepada siapa benda tersebut disita.

66
BAB X
GANTI RUGI DAN REHABILITASI

1. Arti ganti Kerugian dan Rehabilitasi


Sebelum dibicarakan apa yang dimaksud dengan ganti rugi tersebut, maka akan dilihat
dulu dasar hukum ganti rugi tersebut dalam UU No. 4 / 2004 tentang Undang – Undang
Kekekuasaan Kehakiman. Hal ini diatur dalam ketentuan pasal 9 menentukan :
(1). Setiap orang yang ditangkap, ditahan , dituntut atau diadili tanpa alas an
berdasarkan Undang – undang atau kekelirua menganai orangnya atau hukum yang
diterapkannya, berhak menuntut ganti rug dan rehabilitasi.
Jadi dengan demikian tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan ganti rugi dan
rehabilitasi tersebut. KUHAP memberi difinisi tentang Ganti kerugian adalah hak seorang
untuk mendapat pemenuhan atas tuntutan yang berupa imbalan uang karena ditangkap,
ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan un
\74 dang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang
diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (pasal 1 ayat 1 butir 22
KUHAP).
Sedangkan rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam
kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat
penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan dan atau diadili tanpa
alasan yang berdasarkan undang-undang atau hukum yang diterapkan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini. (Pasal 1 ayat 1 butir 23 KUHAP)
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas adalah sangat jelas mengenai hal apa yang
dapat dimintakan ganti kerugian dan rehabilitasi dan untuk lebih jelasnya disebutkan bahwa:

a. Ganti kerugian
Ganti kerugian dapat diminta, yang meliputi hal sebagaimana dimaksud dalam pasal
77 dan 95 (pasal 82 ayat 4 KUHAP)
Pasal 95 KUHAP menyebutkan bahwa:
Ayat 1: Tersangka, terdakwa, atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena
ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa
alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang
atau hukum yang diterapkan.

67
Ayat 2: Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau akhli warisnya atas penangkapan,
penahanan serta tindakan dakwaan lain tanpa alasan yang berdasarkan
undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang
diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 yang perkaranya tidak
diajukan ke pengadilan negeri, diputus disidang praperadilan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 77 KUHAP
Ayat 3: Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diajukan oleh
tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada pengadilan yang
berwenang mengadili perkara yang bersangkutan.
Ayat 4: Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian tersebut pada
ayat 1 ketua pengadilan negeri sejauh mungkin menunjuk hakim yang
sama yang telah mengadili perkara pidana yang bersangkutan.
Ayat 5: Pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut pada ayat 4
mengikuti acara praperadilan.
Siapa yang berhak untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian tersebut ?.
Hal ini dapat dilihat dalam keterntuan :
1. Pasal 79 KUHA. Menentukan “Permintaan tentang sah atau tidaknya suatu
penangkapan atau penahanan, diajukan oleh tersangka, keluarganya atau kuasanya
kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya.
2. Pasal 80 KUHAP. menentukan “Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya
suatu penghentian penyidikan atau penu ntutan dapat diajukan oleh penyidik ata
penuntut umum atau pihak ketiga yang bekepentingan dengan menyebut
alasannya.
3. Pasal 95 ayat 2 KUHAP. menentukan “ Tuntutan ganti kerugian leh tersangka
atau ahli warisnya atas penangkapan atau tindakan lain tanpa alas an yang
berdasarkan undang – undang atau kekeliruan menganai orangnya atau hukum
yang diterapkan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 yang perkaranya tidak
diajukan ke Pengadilan negeri, diputus disidang Pra Peradilan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 77.
Jadi dengan demikian [permintaan gant rugi dengan alas an penangkapan
atau penahanan tidak sah , dapat diajukan ole tersangka atau terdakwa atau lewat
kuasanya, dedangkan jika penghentian penyidikan atau penuntutan yang tidah
sah, hal ini dapat diajukan oleh jaksa / pen ntut umum atau akhli warisnya yang

68
sah, karena terdakwa penangkapan atau dijatuhi hukuman secara tidak sah atau
tidak berdasar pada undang – undang.

b. Rehabilitasi
Dalam pasal 97 KUHAP secara berurutan diatur sebagai berikut:
Ayat 1 : Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus
lepas atau diputus bebas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Ayat 2: Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan
pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1.
Ayat 3 : Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atau penangkapan atau penahanan
tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai
orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 95
ayat 1 yang perkara tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh
hakim praperadilan yang dimaksud dalam pasal 77.
Jika ditelusuri lebih jauh lagi, rehabilitasi ini sudah menjadi komitmen Negara –
Negara didunia. Halini dapat dilihat dalam Intenational Convenant on Civil Political
Right , sehingga prinsip tersebut telah diterima oleh Perserikatan Bangsa – Bangsa
secara universal. Hanya saja pengaturan masalah ini, tetap diserahkan kepada masing –
masing Negara, juga termasuk Indonesia dengan diberlakukannya UU No 8 Tahun 1981
Tentang KUHAP. Dalam pasal 1 butir 23 menyatakan “ Rehabilitasi adalah hak
seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan
harkat serta martabatnyayang diberikan pada tingkat penyidikan , penuntutan atau
peradilan karena ditangkap, ditahan , dituntut ataupun diadili tanpa alas an yang
berdasarkan Undang – undangatau kekeliruan menganai orangna atau hukum yang
diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang – undang ini. Ctatan yang
dipukihkan disini adalah harkat dan martabatnya ( Moch Faisal Salam, ibib. H. 343 ).

2. Prosedur Pengajuan Tuntutan Ganti Rugi dan Rehabilitasi


Berbiacara mengenai prosedur/cara berdasarkan atas ketentuan pasal 77, 95 dan 97
serta 98 KUHAP dapat disebutkan bahwa prosedur pengajuan tuntutan gantu kerugian dan
rehabilitasi dapat dilakukan melalui dua cara yaitu:
a. Melalui praperadilan, apabila perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri yang
berwenang (pasal 95 ayat 2 dan pasal 97 ayat 3 KUHAP)

69
b. Penggabungan perkara gugatan ganti kerugian (pasal 98 – 101 KUHAP
Mengenai tuntutan ganti kerugian melalui praperadilan telah dijelaskan, maka
selanjutnya khusus mengenai tuntutan ganti kerugian secara penggabungan adalah sebagai
berikut:
a. Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan
perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian oang lain, maka hakim
ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan
perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana (pasal 98 ayat 1 KUHAP).
b. Permintaan sebagaimana dimaksud oleh pasal 98 ayat 1 hanya dapat dilakukan
selambat-lambatnya sebelum tuntutan pidana oleh penuntut umum dan atau sebelum
putusan dijatuhkan apabila penuntut umum tidak hadir (pasal 98 ayat 2)
c. Putusan terhadap tuntutan ganti kerugian berbentuk penetapan dan baru mempunyai
kekuatan hukum tetap apabila putusan pidananya juga mendapat kekuatan hakim
tetap (pasal 98 ayat 2, 3 KUHAP)
d. Acara pemeriksaan tuntutan ganti kerugian berlaku aturan hukum acara perdata
sepanjang tidak diatur lain dalam undang-undang ini (Pasal 101 KUHAP.

70
BAB XI
PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN

1. Panggilan dan Surat Dakwaan


Apabila pemeriksaan pendahuluan dari suatu perkara pidana dibawah pimpinan
penyidik telah selesai, artinya apabila menurut pendapat penyidik keterangan-keterangan
sudag cukup terkumpul untuk memberikan bahan kepada jaksa guna melakukan penuntutan
kepada tersangka, dan jaksa penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan
(kepolisian) memenuhi persyaratan untuk dilakukan penuntutan, maka jaksa melimpahkan
perkaranya kepada Ketua Pengadilan Negeri, dalam waktu secepatnya dengan membuat
“SURAT DAKWAAN” (pasal 140 ayat 1 jo pasal 143 ayat 1).
Apabila menurut pendapat jaksa penuntut umum perkara tersebut tidak cukup bukti
atau peristiwa tesebut bukan merupakan tindak pidana, maka penuntut umum berkuasa
untuk:
a. Perkara dihentikan penuntutannya demi kepentingan hukum (pasal 14 huruf h jo pasal
140 ayat 2 huruf a)
b. Perkara ditutup demi hukum (pasal 140 ayat 2 huruf a). hal ini terjadi bilamana
tersangka atau terdakwa meninggal dunia atau perkaranya tergolong kedalam “ne bis
in idem” atau “kedaluarsa”.
KUHAP mengatur tentang hapusnya hak menuntut yakni pasal 76, 77 dan 78
KUHAP.
c. Penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang jaksa
agung (pasal 77 dan penjelasannya).
Sedangkan surat dakwaan yang dibuat oleh jaksa penuntut umum harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a. Diberi tanggal dan ditanda tangani oleh penuntut umum
b. Harus memuat nama lengkap, tempat lahir, umur, atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka.
c. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan
dengan menyebutkan waktu dan tempat tinak pidana itu dilakukan (pasal 143 ayat 2)
Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2
huruf b pasal 143 adalah batal demi hukum.

71
Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada
tersangka atau kuasanya atau penasehat hukumnya dan penydik, pada saat yang bersamaan
dengan menyampaikan surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri. (pasal 143
ayat 1 KUHAP)
Yang dimaksud dengan SURAT PELIMPAHAN PERKARA adalah surat pelimpahan
perkara itu sendiri lengkap beserta surat dakwaan dan berkas perkara.
Berkas perkara sebagaimana ditentukan dalam pasal 8 ayat 1, 2, 3 KUHAP meliputi:
a. Penyidik membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 75 dengan tidak mengurangi ketentuan lain dalam undang-undang ini.
b. Penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.
c. Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dilakukan dengan:
1) Pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara
2) Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung
jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.
Dengan demikian para terdakwa/penasehat hukumnya untuk kepentingan pembelaan berhak
menerima dari penuntut umum, berkas perkara yang meliputi berita acara para terdakwa,
saksi-saksi, barang bukti berikut surat dakwaan Jaksa Penu ntut Umum.
Penuntut umum “sebelum” pengadilan menetapkan hari sidang, dapat
“mengubah”surat dakwaan, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak
melanjutkan penuntuttannya (pasal 144 ayat 1 KUHAP). Perubahan surat dakwaan tersebut
dapat dilakukan hanya “satu kali” selambat-lambatnya 7 hari sebelum sidang dimulai. (pasal
144 ayat 2 KUHAP).
Penuntut umum dapat juga melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam
satu surat dakwaan, apabila waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa
berkas perkara dalam hal:
a. Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang sama dan kepentingan
pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya
b. Beberapa tindak pidana yang bersangkut paut satu dengan yang lain.
c. Beberapa tindak pidana yang tidak bersagkut paut satu dengan yang lain, akan tetapi
yang satu dengan yang lain ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan
tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan.
Menurut penjelasan, yang dimaksud dengan tindak pidana dianggap mempunyai
sangkut paut satu dengan yang lain apabila tindak pidana tersebut dilakukan:
a. Oleh lebih dari seorang bekerja sama dan dilakukan pada saat yang bersamaan

72
b. Oleh lebih dari seorang pada saat dan tempat yang berbeda, akan tetapi merupakan
pelaksanaan dari perbuatan jahat yang dibuat oleh mereka sebelumnya
c. Oleh seorang/lebih dengan maksud mendapatkan alat yang akan dipergunakan untuk
melakukan tindak pidana lain atau menghindarkan diri dari pemidanaan karena tindak
pidana lain.
Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa
tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam
ketentuan pasal 141, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing
terdakwa secara terpisah. (pasal 142)
Penuntut umum berkewajiban untuk memanggil terdakwa dan saksi dengan
menyampaikan “surat panggilan” yang memuat tanggal, hari serta jam sidang dan untuk
perkara apa ia dipanggil, surat mana harus sudah diterima oleh yang bersangkutan selambat-
lambatnya 3 hari sebelum sidang dimulai (pasal 146 KUHAP)
Proses pemanggilan ditentukan dalam pasal 145 KUHAP. menentukan :
a. Pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan dilakukan secara sah, apabila
disampaikan dengan surat panggilan kepada terdakwa di alamat tempat tinggalnya
tidak diketahui, disampaikan di tempat kediaman terakhir.
b. Apabila terdakwa tidak ada ditempat tinggalnya atau ditempat kediaman terakhir,
surat panggilan disampaikan melalui kepala desa yang daerah hukum tempat tinggal
terdakwa atau tempat kediaman terakhir.
c. Dalam hal terdakwa ada dalam tahanan surat panggilan disampaikan kepadanya
melalui pejabat rumah tahanan Negara.
d. Penerimaan surat panggilan oleh terdakwa sendiri ataupun oleh orang lain atau
melalui orang lain, dilakukan dengan tanda tangan.
e. Apabila tempat tinggal maupun kediaman terakhir tidak dikenal, surat panggilan
ditempelkan pada tempat pengumuman digedung pengadilan yang berwenang
mengadili perkaranya ( Andi Hamzah, Pengantar Huku Acara Pidana, op cit. h 215 ).

2. Memutus sengketa wewenang mengadili


Dalam system hukum pidana kita wewenang pengadilan untuk mengadili, memeriksa dan
memutus suatu perkata diatur dalam UU No. 4/ 2004 yo UU No. 48/ 2009 dalam pasal 1
ditentukan “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. Dan lebih lanjut

73
dalam pasal 2 ditentukan “Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan pengadilan
yangada dibawahnya, dalam lingkungan pengadilan umum, Pengadilan Agama,
Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Militer dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.
Jadi dengan demikian jelaslahbahwa tugas pokok dari lembaga Pengadilan adalah
menerima, memeriksa dan memutus setiap perkara yang diajukan kepadanya yang
menjadi wewenangnya. Dengan rincian demikian bahwa tugas lembaga peradilan adalah
salah satu tugas penegakan dibidang hukum. Kewenangan yang demikian ini jika
dikaitkan dengan KUHAP. ( UU No. 8 / 1981 ) tersebar pula dalam pasal – pasal
tersebut yang sifatnya distributive.
Setelah pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dari penuntut umum,
ketua dan hakim anggota harus mulai dengan mempelajari secara teliti semua surat-surat
dari berkas perkara dan pertama-tama harus dipertimbangkan apakah pengadilan yang
bersangkutan adalah berkuasa untuk memeriksa dan memutus perkara yang diajukan
kepadanya.
Menurut pasal 148 KUHAP, maka:
a. Dalam hal ketua pengadilan negri berpendapat, bahwa perkara pidana itu tidak
termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya, tetapi termasuk wewenang
pengadilan negeri lain, ia menyerahkan surat pelimpahan perkara tersebut kepada
pengadilan negeri lain yang dianggap berwenang mengadilinya dengan surat
penetapan yang memuat alasannya.
b. Surat pelimpahan perkara tersebut diserahkan kempali kepada penuntut umum
selanjutnya kejaksaan negeri yang bersangkutan menyampaikannya kepada kejaksaan
negeri yang ditempat pengadilan negeri yang tercantum dalam surat penetapan.
c. Turunan surat penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 disampaikan kepada
terdakwa atau penasehat hukum dan penyidik.
Dalam kejaksaan negeri yang menerima surat pelimpahan perkara yang dimaksud dari
kejaksaan negeri semula, ia membuat surat pelimpahan baru untuk disampaikan ke
pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 148 KUHAP, maka:
a. Ia mengajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi yang bersangkutan dalam waktu
tujuh hari setelah penetapan tersebut diterima.
b. Tidak dipenuhinya tenggang waktu tersebut diatas, mengakibatkan batalnya
perlawanan.

74
c. Perlawanan tersebut disampaikan kepada ketua pengadilan negeri sebagaimana
dimaksud dalam pasal 148 KUHAP dan hal itu dicatat dalam buku daftar Panitra.
d. Dalam waktu tujuh hari pengadilan negeri wajib meneruskan perlawanan tersebut
kepada pengadilan tinggi yang bersangkutan. (pasal 149 ayat 1)
Pengadilan tinggi dalam waktu paling lama 14 hari setelah menerima perlawanan
tersebut dapat menguatkan atau menolak perlawanan itu dengan surat penetapan.
(pasal 149 ayat 2 KUHAP)
Dalam hal pengadilan tinggi menguatkan perlawanan penuntut umum maka dengan
surat penetapan diperintahkan kepada pengadilan negeri yang bersangkutan untuk
menyediakan perkara tersebut. (pasal 149 ayat 3)
Jika pengadilan tinggi menguatkan pendapat pengadilan negeri, pengadilan tinggi
mengirimkan berkas perkara pidana tersebut kepada pengadilan negeri yang bersangkutan.
(pasal 149 ayat 4 KUHAP)
Tembusan surat penetapan pengadilan tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 dan
4 disampaikan kepada penuntut umum. (pasal 149 ayat 5 KUHAP)
Mengapa sengketa wewenang mengadili itu terjadi?
Dalam pasal 150 KUHAP disebutkan bahwa sengketa wewenang mengadili itu terjadi jika:
a. Jika dua pengadilan atau lebih menyatakan dirinya berwenang mengadili atas perkara
yang sama
b. Jika dua pengadilan atau lebih menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili
perkara yang sama.
Kemudian siapa yang berwenang memutus sengketa wewenang mengadili itu?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut mari kita lihat bunyi atau pernyataan dari pada
pasal 151 KUHAP.
Dalam pasal 151 KUHAP disebutkan bahwa:
a. Pengadilan tinggi memutus sengketa wewenang mengadili antara dua pengadilan
negeri atau lebih yang berkedudukan dalam daerah hukumnya.
b. Mahkamah agung memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa
tentang wewenang mengadili
1) Antara pengadilan dari satu lingkungan peradilan dengan pengadilan dari
lingkungan peradilan yang lain.
2) Antara dua pengadilan negeri yang berkedudukan dalam daerah hukum
pengadilan tinggi yang berlainan.
3) Antara dua pengadilan tinggi atau lebih.

75
3. Acara Pemeriksaan Biasa
Dalam hukum acara pidana diketahui jenis-jenis daripada acara pemeriksaan antara
lain :
a. Acara pemeriksaan biasa yang diatur dalam pasal 152 – 202
b. Acara pemeriksaan singkat yang diatur dalam pasal 203 – 204
c. Acara pemeriksaan cepat yang diatur dalam pasal 205 – 216, yang diperinci lagi
menjadi:
1) Acara pemeriksaan tindak pidana ringan yang diatur dalam pasal 205 – 210
2) Acara pemeriksaan perkara lalu lintas yang diatur dalam pasal 211 – 216
Pengadilan negeri setalah menerima surat pelimpahan perkara dari jaksa penuntut
umum dan berpendapat bahwa perkara tersebut termasuk wewenangnya, ketua pengadilan
negeri menunjuk hakim yang akan menyidangkan perkara tersbut dan hakim yang ditunjuk
itu menetapkan hari sidangnya. Penunjukan oleh ketua pengadilan negeri ini dapat berupa
“Majelis Hakim” dan “Hakim Tunggal”. Hakim atau majelis hakim kemudian menetapkan
hari persidangan., dapat memerintahkan penuntut umum untuk memanggil terdakwa dan
saksi-saksi untuk datang disidang pengadilan. Pemanggilan terdakwa dan saksi-saksi oleh
penuntut umum harus dilakukan dengan”surat panggilan” dan secara sah serta harus
diterima oleh terdakwa dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 3 hari sebelum sidang.
Persidangan dimulai dengan pembukaan oleh hakim dan pernyataan bahwa
persidangan adalah “terbuka untuk umum” kecuali dalam perkara mengenai “kesusilaan”
atau terdakwanya masih anak-anak (pasal 153 ayat 3 KUHAP). Maksud ketentuan dari pada
pasal ini, untuk menjaga agar jiwa anak yang masih dibawah umur tidak terpengaruh oleh
perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa, lebih-lebih dalam perkara kejahatan berat, maka
hakim dapat menentukan bahwa anak dibawah umur tujuh belas tahun, kecuali yan telah
atau pernah kawin tidak dibolehkan mengikuti sidang.
Hakim memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masuk dalam sidang. Apabila
terdakwa berada dalam thanan, maka pada waktu ia masuk kedalam ruang sidang harus
dalam keadaan bebas, tidak dibelenggu atau lepas suatu ikatan. Jika dalam pemeriksaan
terdakwa yang tidak ditahantidak hadir pada hari persidangan yang telah ditetapkan, hakim
ketua sidang meneliti apakah terdakwa sudah dipanggil secara tidak sah, hakim ketua sidang
menunda persidangan dan memerintahkan supaya terdakwa dipanggil lagi untuk hadir pada
hari sidang berikutnya.

76
Selanjutnya jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah, tetapi tidak datang
disidang tanpa alasan yang sah, pemeriksaan perkara tersebut tidak dapat dilangsungkan dan
hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi.
Dalam suatu perkara ada lebih dari satu terdakwa tidak semua terdakwa hadir pada
hari sidang, pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir dapat dilangsungkan. Hakim ketua
sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah
dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan “paksa” pada sidang
berikutnya.
Penasehat hukum kalau ada, dipersilahkan masuk di ruang sidang bersama-sama
dengan terdakwa.
Kemudian hakim pada “permulaan sidang” tersebut menanyakan kepada terdakwa
tentang nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan,
tempat tinggal, agama dan pekerjaannya serta mengingatkan terdakwa supaya
memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya dalam/disidang.
Sesudah itu hakim ketua sidang minta kepada penuntut umum untuk membacakan
“Surat Dakwaan”. Dan selanjutnya hakim ketua sidang menanyakan kepada terdaka apakah
ia sudah benar-benar mengerti, apabila terdakwa ternyata tidak mengerti, penuntut umum
atas permintaan hakim ketua sidang wajib memberikan penjelasan yang diperlukan. (pasal
155 KUHAP)
Pada permulaan sidang ini penuntut umum memberikan penjelasan atas dakwaannya,
hal ini untuk menjamin terlindungnya hak terdakwa guna memberikan kesempatan untuk
pembelaannya. Etelah Penuntut Umum selesai membacakan dakwaanya, kesempatan
diberikan kepada terdakwa /Penasehat Hukum untuk mengajukan keberatan/ tangkisan.

a. Keberatan terdakwa/penasehat hukum atas surat dakwaan


Kata keberatan merupakan istilah teknis yuridis, datur dalam ketentuan pasal 158
(1). KUHAP. Sebelumnya dalam praktek dikenal dengan istilah “tangkisan atau
eksepsi” , berasal dari bahasa Belanda “ekseptie atau bahasa Inggris Exception”.
Apa yang dimaksud denga keberatan/ tangkisan tersebut ?. KUHAP tidak member
pengertian yang jelas, Untuk itu kita mencari dalam pendapat para sarjana/ doktrin
antara lain :
1. Rd. Achmad Soema Dipradja, SH dalam Lilik Mulyadi mengatakan : Keberatan/
Tangkisan adalah “alat pembelaan dengan tujuan yang utama untuk menghindarkan
diadakan putusan tentang pokok perkara karena apabila tangkisan ini diterima

77
pengadilan, pokok perkara tidak perlu diperiksa dan diputus ( Lilik Mulyadi, op.cit, h
112 ).
2. I B Ngurah Adi, Mengatakan, Beliau memakai istilah “eksepsi” adalah keberatan
yang diajukan terdakwa atau Penasehat Hukum, bahwa pengadilan tidak berwenang
mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus
dubatalkan ( Lilik Mulyadi, ibid. h. 112 ).
Dengan melihat difinisi diatas, batasan keberatan mencakup beberapa hal :
1. Merupakan aspek dalam hukum acara pidana yang berisi tangkisan atau
pembelaan terhadap materi surat dakwaan atau tidak menyinggung pokok
perkara;
2. Ruang lingkup dan luas keberatan, mencakup bahwa Pengadilan tidak
berwenang mengadili perkara, dan dakwaan tidak dapat diterina atau batal;
3. Yang mengajukan adalah terdakwa atau Penasehat Hukum;
4. Keputusan diambil setelah Penuntut Umum diberi kesempatan untuk
mengemukakan pendapatnya.
Atas surat dakwaan penuntut umum, terdakwa/penasehat hukum dapat mengajukan
keberatan kepada hakim, dalam praktek yang lazim disebut ”eksepsi” yaitu bahwa:
1) Pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya
2) Surat dkawaan tidak dapat diterima
3) Surat dakwaan harus dibatalkan, misalnya surat dakwaan tidak memenuhi syarat-
syarat sebagaimana yang diatur dalam pasal 143 ayat 2 KUHAP
Dalam hal terdakwa atau penasehat hukum mengajukan keberatan atas surat
dakwaan tersebut, maka penuntut umum diberi kesempatan oleh hakim untuk
menyatakan pendapatnya, biasanya didalam praktek dilakukan oleh penuntut umum
dengan jawaban secara tertulis. Kemudian hakim mempertimbangkan keberatannya
terdakwa atau penasehat hukum dan jawaban dari penuntut umum tersebut untuk
selanjutnya mengambil keputusan.
Jika hakim menyatakan bahwa keberatan itu diterima, maka perkara itu tidak
diperiksa lebih lanjut, sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal
tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan. (pasal
152 ayat 2)
Dalam hal penuntut umum keberatan atas keputusan tersebut, maka ia dapat
mengajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi melalui pengadilan negeri yang
bersangkutan. (pasal 156 ayat 3)

78
Dalam hal perlawanan yang diajukan oleh terdakwa/penasehat hukumnya diterima
oleh pengadilan tinggi, maka dalam waktu 14 har, pengadilan tinggi dengan surat
penetapannya membatalkan putusan pengadilan negeri dan memerintahkan pengadilan
negeri yang berwenang untuk memeriksa perkara itu. (pasal 156 ayat 4)
Dalam hal perlawanan diajukan bersama-sama dengan permintaan banding oleh
terdakwa atau penasehat hukumnya kepada pengadilan tinggi, maka dalam waktu 14
hari sejak ia menerima perkara dan membenarkan perlawanan terdakwa/penasehat
hukum, pengadilan tinggi dengan keputusan membatal putusan pengadilan negeri yang
bersangkutan dan menunjuk pengadilan yang berwenang. (pasal 156 ayat 5a KUHAP).
Pengadilan Tinggi menyampaikan salinan keputusannya tersebut kepada
Pengadilan Negeri yang berwenang dan kepada pengadilan negeri yang semula
mengadili perkara yang bersangkutan dengan disertai berkas perkara untuk diteruskan
kepada kejaksaan negeri yang telah melimpahkan perkara itu. (pasal 156 ayat 5b
KUHAP)
Apabila pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam alenia diatas
berkedudukan di daerah hukum pengadilan tinggi lain, maka kejaksaan negeri
mengirimkan perkara tersebut kepada kejaksaan negeri dalam daerah hukum pengadilan
negeri yang berwenang di tempat itu. (pasal 156 ayat 6 KUHAP)
Hakim ketua sidang karena jabatannya walaupun tidak ada perlawanan, setelah
mendengar pendapat penuntut umum dan terdakwa dengan surat penetapan yang
memuat alasannya dapat menyatakan pengadilan tidak berwenang. (pasal 156 ayat 7).
Kapan suatu keberatan dapat diajukan?.
Pasal 156 KUHAP tidak memberi batasan yang tegas, kapan keberatan itu diajukan.
Secara tioritis memberi kemungkinan ada beberapa alternative tentang saat
diajukannya keberatan tersebut :
1. Pada siding pertama;
2. Keberatan dapat diajukan setiap saat selama pemeriksaan sedang berlangsung;
3. Harus diajukan setelah Penuntut Umum selesai membacakan surat dakwaan
atau;
4. Setelah Penuntut Umum selesai memberitahukan terdakwa secara lisan
terhadap tindak pidana yang didakwakan atau,
5. Setelah Penuntut Umum setelah selesai memberikan penjelasan isi surat
dakwaan ( pasal 155 (2) huruf b KUHAP.

79
6. Jika keberatan dengan alas an pengadilan tidak berwenang memeriksa perkara /
kewenangan mengadili/ kompetensi, keberatan bisa diajukan setiap saat.( baca
dengan lengkap ketentuan pasal 148 ayat 1 dan 156 ayat 7 KUHAP.).Dari
kedua ketentuan pasal tersebuti dapat disimpulkan bahwa :
1. Bahwa keberatan yang menyangkut kompetensi, baik absolute maupun
kompetensi relative dapat diajukan selama persidangan masih berjalan (
diajukan oleh terdakwa/ Penasehat Hukum ).
2. Hakim ketua sidang karena jabatannya atau secara ex offisio dapat
mengeluarkan penetapan yang menyatakan tidak berwenang mengadili
perkara tersebut, baik secara absolute maupun relative selama persidangan
berlangsung walaupun tanpa adanya “perlawanan atau keberatan”( Lilik
Mulyadi, ibid h 118 ).
3. Ada berapa macam keberatan menurut KUHAP ?
Menurut pasal 156 ayat 1 KUHAP dikenal ada 3 jenis keberatan yakni :
1. Keberatan Tidak Berwenang Mengadili
Keberatan ini dalam praktek disebut dengan exeptie onbevoegheid van
de rechter. Keberatan ini dapat berups ketidak wenangan mengadili
perkara, baik absolute maupun relative ( Pengadilan Negeri,
Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung, atau Pengadilan Negeri,
Pengadilan Militer, Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara
atau Mahkamah Konstitusi ).
2. Keberatan Dakwaan Tidak Dapat Diterima
Yang menjadi alas an mengapa dakwaan tersebut tidak dapat diterima,
2.1.Apa yang didakwakan Penuntut Umum dalam dakwaan telah
kedaluwarsa ( pasal 78 KUHP ).
2.2.Bahwa perkara tersebut telah pernah diputus oleh hakim dan telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap ( azas Ne Bis In Idem ).
2.3.Tidak adanya pengaduan, padahal Undang – undang telah
mensyaratkannya ( pencurian dalam keluarga ).
2.4.Terdapat unsure yang tidak sesuai dengan perbuatan yang
dilakukan ( terdakwa melakukan TPE, tetapi didakwa melakukan
TIPIKOR ).;
2.5.Perbuatan yang dilakukan terdakwa bukan merupakan suatu tindak
pidana, melainkan bidang hukum perdata.

80
3. Keberatan Surat Dakwaan Harus Dibatalkan
Hal ini sangat berkaitan dengan syarat dari suatu surat dakwaan,
yakni bahwa surat dakwaan tidak memenuhi syara materiil yakni surat
dakwaan harus menyebutkan lokus delicate dan tempus delicate dan
disusun secara cermat, jelas dan lengkap tentang delik yang
didakwakan. Dengan tidak dipenuhinya syarat materiil ini, maka surat
dakwaan berakibat batal demi hukum atau van rechtwege neitig (
Lilik Mulyadi, ibid h 140 ).

b. Pendengaran saksi
Menurut system HIR, dalam pasal 289 HIR ditentukan bahwa hakim harus dimulai
mendengar saksi-saksi dan kemudian kalau semua saksi-saksi sudah didengar, barulah
terdakwa didengar secara tanya jawab. Dalam ayat 3 dari pasal 289 itu hakim
dikuasakan juga untuk menanyakan hal sesuatu kepada terdakwa ditengah-tengah
pendengaran saksi. Akan tetapi didalam prateknya hakim yang menjalankan
pemeriksaan pada umumnya mulai mendengar saksi-saksi, satu-persatu dan selanjutnya
saksi-saksi itu ditanyakan kepada terdakwa.
Pemeriksaan di sidang pengadilan menurut KUHAP dimulai dengan mendengarkan
saksi terlebih dahulu. Berdasarkan pasal 160 KUHAP, maka yang pertama-tama
didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi, baru saksi-saksi yang lain,
meskipun pada permulaan sidang hakim memanggil terdakwa dan menanyakan hal-hal
mengenai diri/identitas terdakwa, membacakan surat dakwaan serta menjelaskannya,
tetapi belum langsung mengenai pokok perkaranya.
Hakim adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk mengadil. Untuk itu hakim dalam memeriksa dan memutus perkara pidana
disidang pengadilan diberi tugas dan wewenang, menurut cara yang diatur dalam
KUHAP, yaitu:
1) Hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan disidang
tentang keyakinan salah atau tidaknya terdakwa. (pasal 153 KUHAP)
2) Hakim ketua sidang selanjutnya meneliti apakah semua saksi yang dipanggil
telah hadir dan memberi perintah untuk mencegah jangan sampai saksi
berhubungan satu dengan yang lain sebelum memberi keterangan disidang.
(pasal 159 ayat 1 KUHAP)

81
Hakim dapat memerintahkan supaya saksi dihadapkan ke persidangan,
apabila disangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir meskipun ia telah
dipanggil secara sah. (pasal 159 ayat 2 KUHAP)
3) Hakim memanggil saksi ke dalam ruang sidang seorang demi seorang
menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim, setelah
mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa dan penasehat umum. (pasal
160 ayat 1 butir a KUHAP)
Hakim pertama-tama mendengar keterangan saksi: “saksi korban” (pasal 160
ayat 1 butir b KUHAP).
Hakim mendengar saksi baik yang menguntungkan maupun yang
memberatkan terdakwa yang tercantum dalam surat pelipahan perkara dan
atau yang diminta oleh terdakwa atau penasehat hukum atau penuntut umum.
(pasal 160 ayat 1 butir c KUHAP)
Hakim ketua sidang menanyakan kepada saksi keterangan tentang nama
lengap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan,
tempat tigggal, agama dan pekerjaan, selanjutnya apakah ia dikenal terdakwa
sebelumnya terdakwa melakukan perbuatan yang menjadi dasar dakwaan
serta apakah ia berkeluarga sedarah atau semenda sampai derajat ke berapa
dengan terdakwa, atau apakah ia suami atau istri terdakwa meskipun sudah
becerai atau terikat hubungan kerja dengannya. (pasal 160 ayat 2 KUHAP)
Hakim dalam mendengar keterangan saksi tersebut terlebih dahulu saksi
wajib mengucapkan sumpat atau janji menurut cara agamanya masing-
masing. (pasal 160 ayat 3)
4) Hakim dengan surat penetapan dapat memerintahkan menyandera saksi
ditempat rumah tahanan Negara paling lama 14 hari, apabila saksi atau ahli
tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji. (pasal 161
ayat 1 KUHAP)
Dalam hal tenggang waktu penyanderaan tersebut telah lampau dan saksi atau
ahli tidak mau disumpah atau mengucapkan janji, maka keterangan yang telah
diberikan merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.
(pasal 161 ayat 2 KUHAP)
5) Hakim dapat memeritahkan agar keterangan saksi yang telah diberikannya
pada tingkat penyidikan “dibacakan”, apabila meninggal dunia atau karena
halangan yang sah tidak dapat hadir disidang atau tempat kediaman terlalu

82
jauh atau karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan Negara.
(pasal 162 ayat 2)
Jika keterangan itu sebelumnya telah diberikan di bawah sumpah, maka
keterangan itu disamakan nilainya dengan keterangan saksi dibawah sumpah
yang diucapkan disidang. (pasal 162 ayat 2 KUHAP)
6) Hakim memperingatkan kepada saksi jika keterangan saksi disidang
“berbeda” dengan keterangannya dalam berita acara. Hakim menanyakan
mengenai perbedaan itu dan mencatat dalam berita acara sidang. (pasal 63)
7) Hakim menanyakan kepada terdakwa, setelah saksi selesai memberikan
keterangannya. (pasal 164 ayat 1)
Hakim memberikan kesempatan kepada penasehat hukum atau penuntut
umum untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi dan terdakwa. (pasal 164
ayat 2 KUHAP)
Hakim ketua sidang dapat menolak pertanyaan yang diajukan oleh penuntut
umum atau penasehat hukum kepada saksi atau terdakwa dengan memberikan
alasannya. (pasal 164 ayat 3 KUHAP)
8) Hakim tidak boleh mengajukan pertanyaan yang bersifat menjerat kepada
saksi atau terdakwa. (pasal 166)
9) Hakim dapat memberi ijin kepada saksi untuk meninggalkan ruang sidang
atau tetap hadir disidang, setelah saksi memberikan keterangan. (pasal 167
ayat 1). Ijin itu tidak diberikan jika penuntut umum atau terdakwa atau
penasehat hukum mengajukan supaya saksi itu tetap menghadiri sidang.
(pasal 167 ayat 2). Para saksi selama sidang dilarang bercakap-cakap (pasal
167 ayat 3 jo pasal 172).
10) Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar
keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:
1. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau
kebawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama
sebagai terdakwa.
2. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa,
saudara ibu atau bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan
perkawinan dan anak-anak ke saudara terdakwa sampai derajat ketiga.
3. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang
bersama-sama sebagai terdakwa.

83
11) Dalam hal mereka sebagai dimaksud dalam pasal 168 menghendakinya atau
penuntut umum serta terdakwa secara tegas menyetujuinya dapat memberikan
keterangan dibawah sumpah. (pasal 169 ayat 1 KUHAP)
Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, mereka
diperbolehkan memberikan keterangan tanpa sumpah. (pasal 169 ayat 2
KUHAP)
12) Saksi yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan
menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk member
keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang diperkenankan kepada
mereka. (pasal 170 ayat 1 KUHAP)
Hakim menentukan sah tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.
(pasal 170 ayat 2 KUHAP)
13) Saksi yang tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan
keterangannya adalah:
1. Anak yang umurnya belum cukup15 tahun dan belum pernah
menikah
2. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang
ingatannya baik kembali. (pasal 171 KUHAP)
14) Hakim ketua sidang mendengat keterangan saksi mengenai hal tertentu tanpa
hadirnya terdakwa untuk itu ia minta terdakwa keluar dari ruang sidang akan
tetapi sesudah itu pemeriksaan perkara tidak boleh diteruskan sebelum kepada
terdakwa diberitahukan semua hal pada waktu ia tidak hadir. (pasal 173)
15) Hakim apabila menyangka bahwa keterangan saksi “palsu”, dapat
memperingatkan kepada saksi agar ia sungguh-sungguh memberikan
keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman yang dapat
dikemukakan kepadanya. (pasal 174 ayat 1)
Apabila saksi tetap pada keterangan itu, hakim ketua sidang karena
jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat member
perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan
dakwaan sumpah palsu. (pasal 174 ayat 2)
Dalam hal yang demikian itu Panitera segera dibuat berita acara pemeriksaan
sidang yang memuat keterangan saksi dengan menyebutkan alasan
persangkaan, bahwa keterangan saksi itu adalah palsu dan berita acara
tersebut ditanda tangani oleh hakim ketua sidang serta panitera dan segera

84
diserahkan kepada penuntut umum untuk dielesaikan menurut ketentuan
undang-undang ini. (pasal 174 ayat 3). Jika perlu hakim ketua sidang
menangguhkan sidang dalam perkaa semula sampai pemeriksaan perkara
pidana terhadap saksi itu selesai. (pasal 174 ayat 4).
16) Hakim boleh menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji
akan menerjemahkan secara benar semua yang harus diterjemahkan. Jika
terdakwa atau saksi tidak paham akan bahasa Indonesia. (pasal 177 ayat 1)
Dalam hal seorang tidak boleh menjadi saksi dalam suatu perkara ia tidak
pula menjadi juru bahasa dalam perkara itu. (pasal 177 ayat 2)
17) Apabila terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli serta tidak dapat menulis,
hakim ketua sidang mengangkat sebagai penerjemah orang yang pandai
bergaul dengan terdakwa atau saksi itu. (pasal 178 ayat 1)
Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli tetapi dapat menulis, hakim ketua
sidang menyampaikan semua pertanyaan atau teguran kepadanya secara
tertulis dan kepadanya terdakwa dan saksi tersebut diperintahkan untuk
menulis jawabannya selanjutnya semua pertanyaan serta jawaban harus
dibacakan. (pasal 178 ayat 2)
18) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang dinyatakan di sidang
pengadilan. (pasal 185 ayat 1)
Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa
terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya, (pasal
185 ayat 2)
Keterangan sebagaimana ayat 2 tidak berlaku apabila disertai dengan suatu
alat bukti yang sah lainnya. (pasal 185 ayat 3)
Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri tentang suatu kejadian atau
keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan
saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa sehingga
dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. (pasal 185
ayat 4)
Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja,
bukan merupakan keterangan saksi. (pasal 185 ayat 4)
Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi hakim harus dengan
sungguh-sungguh memperhatikan:
1. Persesuaian antara keterangan seorang saksi satu dengan yang lain

85
2. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain
3. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan
keterangan yang tertentu
4. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada
umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu
dipercaya (pasal 185 ayat 7)

c. Pendengaran seorang ahli


Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau
dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. (pasal 179
ayat 1)
Semua keterangan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka
memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah
atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya
menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya. (pasal 179 ayat 2)
Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di
sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula
minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan. (pasal 180 ayat 1)
Dalam hal timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa dan penasehat hukum
terhadap hasil keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 hakim
memerintahkan agar hal itu dilakukan penelitian ulang. (pasal 180 ayat 2)
Hakim karena jabatannya dapat memerintahkan untuk dilakukan penelitian ulang
sebagaimana tersebut pada ayat 2. (pasal 180 ayat 3)
Penelitian ulang sebagaimana tersebut dalma ayat2 dan 3 dilakukan oleh instansi
semula dengan komposisi personil yang berbeda dan instansi lain yang mempunyai
wewenang untuk itu. (pasal 180 ayat 4)
Keterangan ahli ialah apa yang oleh seorang ahli nyatakan disidang pengadilan.
(pasal 186)
Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh
penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat
dengan mengingat sumpah diwaktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.
Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik dan penuntut
umum, maka pada pemeriksaan di sidang, diminta untuk memberikan keterangan dan
dicatat dalam berita acara pemeriksaan.

86
Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di
hadapan hakim.

d. Barang-barang bukti
Menurut keterangan pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti yang sah ialah:
1) Keterangan saksi
2) Keterangan ahli
3) Surat
4) Petunjuk
5) Keterangan terdakwa (pasal 184 ayat 1)
Hakim harus memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan
kepadanya apakah ia mengenal benda itu dengan memperhatikan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 undang-undang ini. (pasal 181 ayat 1)
Jika perlu benda itu diperlihatkan, juga oleh hakim kepada saksi. (pasal 181 ayat 2)
Apabila dianggap perlu untuk pembuktian, hakim membacakan atau
memperlihatkan surat atau berita acara kepada terdakwa atau saksi dan selanjutnya
minta keterangan seperlunya tentang hal itu. (pasal 181 ayat 3)
Alat-alat bukti seperti ditentukan dalam pasal 184 KUHAP tersebut, selain
keterangan saksi dan ahli masih terdapat alat bukti yang lainnya yaitu berupa surat,
petunjuk dan keterangan terdakwa.
Seperti telah diuraikan dimuka bahwa tujuan dari acapa pidana ialah untuk
menemukan kebenaran materiil itu akan ditetapkan suatu putusan hakim yang
melaksanakan suatu peraturan hukum pidana. Hakim dalam menemukan adanya
kebenaran itu tidak boleh begitu saja menjatuhkan putusan pidana kepada seorang
terdakwa, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya. Hal ini adalah untuk menjamin tegaknya
kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang.

e. Surat-surat bukti
Pembuktian dengan surat-surat menurut pasal 187 KUHAP berbunyi sebagai
berikut:
”surat” sebagaimana tersebut pada pasal 184 ayat 1 huruf c, dibuat atas sumpah jabatan
atau dikuatkan dengan sumpah adalah:

87
1) Keterangan saksi
2) Keterangan ahli
3) Surat
4) Petunjuk
5) Keterangan terdakwa
Yang dimaksud dengan surat yang dibuat oleh pejabat, termasuk surat yang dikeluarkan
oleh suatu majelis yang berwenang untuk itu.

f. Petunjuk
Menurut pasal 188 KUHAP, petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan,
yang karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan
tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa
pelakunya.
Petunjuk sebagaimana dimaksud dalma ayat 1 hanya dapat diperoleh dari:
1) Keterangan saksi
2) Surat
3) Keterangan terdakwa
Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan
tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana, setelah ia mengadakan
pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraniya.

g. Keterangan Terdakwa
Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan disidang tentang
perbuatan yang ia lakukan atau yag ia ketahui sendiri. (pasal 189 ayat 1)
Jadi keterangan terdakwa itu sebagai “alat bukti” harus dinyatakan disidang
pengadilan. Keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang dapat digunakan untuk
membantu menemukan bukti sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat
bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. (pasal 189 ayat 2)
Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. (pasal 189
ayat 3)
Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah
melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan disertai dengan alat bukti
yang lain. (pasal 189 ayat 4

88
Selama pemeriksaan disidang, jika terdakwa tidak ditahan, pengadilan dapat
memerintahkan dengan surat penetapannya untuk menahan terdakwa apabila dipenuhi
ketentuan pasal 21 dan terdapat alasan cukup untuk itu. (pasal 190 ayat 1). Dalam hal
terdakwa ditahan, pengadilan dapat memerintahkan dengan surat penetapannya untuk
membebaskan terdakwa, jika terdapat alasan cukup untuk itu dengan mengingat
ketentuan pasal 30. (pasal 190)
Setelah pemeriksaan dianggap selesai, maka hakim memerintahkan kepada jaksa
penuntut umum mengajukan “tuntutan” pidananya, yang selanjutnya terdakwa atau
penasehat hukumnya diberi kesempatan untuk mengajukan “pembelaannya” atau
“pledoinya”.
Atas pembelaan tersebut dapat dijawab lagi oleh penuntut umum, lazimnya dalam
praktek disebut REPLIK, dan selanjutnya bahwa terdakwa dan penasehat hukumnya
selalu mendapat giliran yang terakhir, dalam praktek disebut DUPLIK.
Sesudah tuntutan jaksa penuntut umum, pledoi penasehat hukum atau terdakwa,
replik jaksa, duplik penasehat hukum atau terdakwa selesai, maka kemudian hakim
mengundurkan sidang untuk menyusun keputusannya.

h. Putusan Pengadilan
Hakim sesudah menyatakan pemeriksaan dinyatakan selesai, maka hakim dapat
membukanya sekali lagi, baik atas kewenangan hakim karena jabatannya, maupun atas
penuntut umum atau terdakwa atau penasehat hukum denga memberikan alasannya.
Hakim dalam mengambil putusan tersebut dapat mengadakan musyawarah dan
musyawarah tersebut harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang
terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan.
Dalam musyawarah tersebut hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan dimulai
dari hakim yang termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir
mengemukakan pendapatnya adalah hakim ketua majelis dan semua pendapat tersebut
harus disertai pertimbangan serta alasannya.
Pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan
bulat, akan tetapi kalau merupakan mufakat tidak tercapai, maka berlaku ketentuan
sebagai berikut:
1) Putusan diambil dengan suara terbanyak
2) Jika ketentuan tersebut huruf a (1) tidak juga dapat diperoleh, putusan yang
dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan terdakwa.

89
Pelaksanaan pengambilan putusan tersebut diatas dicatat dalam buku himpunan
putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut sifatnya
rahasia. (pasal 182 ayat 2 – ayat 7)
Apabila pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan
terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan, maka terdakwa DIPUTUS BEBAS. (pasal 191 ayat 1)
Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa
TERBUKTI, tetapi perbuatan itu tidak merupakan perbuatan pidana, maka terdakwa
diputus BEBAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM. (pasal 191 ayat 2)
Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2, terdakwa yang ada
dalam status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga kecuali karena
ada alasan lain yang sah, terdakwa perlu ditahan. (pasal 191 ayat 3)
Terdakwa meskipun diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum
akan tetapi terdakwa tetap dikenakan penahanan atas dasar alasan lain yang sah.
Alasan tersebut secara jelas harus diberitahukan kepada ketua pengadilan negeri
sebagai pengawas dan pengamat terhadap pelaksanaan putusan pengadilan.
Perintah untuk membebaskan terdakwa dilaksanakan oleh jaksa penuntut umum
sesudah putusan diucapkan.
Mengenai pelaksanaan perintah tersebut jaksa membuat laporan tertulis yang
dilampiri surat pengelepasan dan selanjutnya disampaikan kepada ketua pengadilan
yang bersangkutan selambat-lambatnya dalam jangka waktu tiga hari. (pasal 192)
Dalam hal putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum pengadilan
menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihal paling berhak
menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika
menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan
Negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi. (pasal
194 ayat 1)
Kecuali apabila terdapat alasan yang sah, pengadilan menetapkan supaya barang
bukti diserahkan segera sesudah sidang selesai. (pasal 194 ayat 2)
Perintah penyerahan barang bukti dilakukan tanpa disertai sesuatu syarat apapun
kecuali dalam hal putusan pengadilan belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
(pasal 194 ayat 3)

90
Penyerahan barang bukti tersebut dapat dilakukan meskipun putusan belum
mempunyai kekuatan hukum yan tetap akan tetapi harus disertai syarat tertentu antara
lain barang tersebut setiap waktu dapat dihadapkan ke pengadilan dalam keadaan utuh.
Apabila pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana
yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.
Pengadilan dalam menjatuhkan putusan jika terdakwa TIDAK DITAHAN, dapat
memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan pasal 21
dan terdapat alasan cukup untuk itu.
Perintah penahanan terdakwa yang dimaksud adalah bilamana hakim pengadilan
tingkat pertama yang memberikan putusan berpendapat perlu dilakukannya penahanan
tersebut karena dikhawatirkan bahwa selama putusan belum memperoleh kekuatan
hukum tetap, terdakwa akan melarikan diri, merusak dan menghilangkan barang bukti
ataupun mengulangi tindak pidanaya lagi.
Dalam hal terdakwa DITAHAN, pengadilan dalam menjatuhkan putusannya, dapat
menetapkan terdakwa tetap ada dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat
alasan cukup untuk itu.
Apabila pengadilan menjatuhkan putusan pemidanaan kepada terdakwa, pengadilan
menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling
berhak meneirma kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika
menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan
Negara dan dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.
Kecuali apabila terdapat alasan yang sah, pengadilan menetapkan supaya barang
bukti diserahkan sedera sesudah sidang selesai.
Perintah penyerahan barang bukti dilakukan tanpa disertai suatu syarat apapun
kecuali dalam hal putusan pengadilan dalam hal belum mempunyai kekuatan hukum
tetap. Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa, kecuali dalam hal
undang-undang menentukan lain. Dalam hal terdapat lebih dari seorang terdakwa dalam
suatu perkara, putusan dapat diucapkan dengan hadirnya terdakwa yang ada.
Segera setelah putusan pemidaanaan diucapkan, bahwa hakim ketua sidang wajib
memberitahukan kepada terdakwa tentang segala apa yang menjadi haknya yaitu:
1) Hak segera menerima atau segera menolak putusan itu
2) Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak
putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini

91
3) Hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang
ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia
menerima putusan
4) Hak minta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam tenggang waktu
yang ditentukan oleh undang-undang, dalam hal ia menolak putusan
5) Hak mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dalam
tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang.

Putusan PEMIDANAAN memuat :


1) Kepala putusan yang bertuliskan berbunyi: “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
2) Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa.
3) Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan.
4) Pertimbangan disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat
pembuktiannya yang diperoleh dari pemeriksaan disidang yang menjadi dasar
penentuan kesalahan terdakwa.
5) Tuntutan pidana, sebagai terdapat dalam surat tuntutan
6) Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau
tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum
dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa.
7) Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara
diperiksa oleh hakim tunggal.
8) Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur
dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan
atau tindakan yang dijatuhkan.
9) Ketentuan kepada siapa perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlah
yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti.
10) Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana
letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otetik dianggap palsu.
11) Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.
12) Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus
dan nama Panitera. (pasal 97 ayat 1)

92
Tidak terpenuhinya ketentuan dalam ayat 1 ang 1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 11, dan 12 pasal
ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Putusan dilaksankan dengan segera menurut ketentuan dalam undang-undang ini.
(pasal 197 ayat 3)
Surat putusan BUKAN PEMIDANAAN memuat:
1) Keterangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 197 ayat 1 kecuali angka 5, 6,
dan 8.
2) Pernyataan bahwa terdakwa diputus bebas dari segala tuntutan hukum, dengan
menyebutkan alasan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar putusan.
3) Perintah supaya terdakwa segera dibebaskan jika ia ditahan. (pasal 199 ayat 1)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 197 ayat 2 dan 3 berlaku juga bagi
pasal ini. (pasal 199 ayat 2)
Apabila seorang “hakim” dan “penuntut umum” berhalangan, maka ketua
pengadilan atau pejabat kejaksaan yang berwenang wajib segera menunjuk pengganti
pejabat yang berhalangan tersebut. (pasal 198 ayat 1)
Dalam hal “penasehat hukum” berhalangan, ia menunjuk penggantinya dan apabila
pengganti ternyata tidak ada atau juga berhalangan, maka sidang berjalan terus. (pasal
198 ayat 2)
Surat putusan ditandatangani oleh hakim dan penitera seketika setelah putusan itu
diucapkan. (pasal 200)
Dalam hal terdapat “surat palsu” atau dipalsukan, maka panitera melekatkan
petikan putusan yang ditandatanganinya pada surat tersebut yang memuat keterangan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 197 ayat 1 huruf 10 dan surat palsu atau yang
dipalsukan tersebut diberi catatan dengan menunjuk pada petitum putusan itu. (pasal
201 ayat 1)
Tindak akan diberikan salinan pertama atau salinan dari surat asli palsu atau yang
dipalsukan kecuali panitera sudah membubuhi catatan pada catatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 disertai dengan salinan petikan putusan. (pasal 201 ayat 2)
Panitera membuat berita acara sidang dengan memperhatikan persyaratan yang
diperlukan dan memuat segala kejadian di sidang yang berhubungan dengan
pemeriksaan itu.
Berita acara sidang tersebut memuat juga hal yang penting dari keteranan saksi,
terdakwa dan ahli kecuali jika hakim ketua sidang menyatakan bahwa untuk ini cukup

93
ditunjuk kepada keterangan dalam berita acara pemeriksaan dengan menyebut
perbedaan yang terdapat antara yang satu dengan yang lainnya.
Atas permintaan penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum, haki ketua
sidang wajib memerintahkan kepada panitera supaya dibuat catatan secara khusus
tentang keadaan atau keterangan.
Berita acara sidang ditandatangani oleh hakim ketua sidang dan panitera kecuali
apabila salah seorang dari mereka berhalangan, maka hal itu dinyatakan dalam berita
acara tersebut. (pasal 202)

4. Pemeriksaan Acara Singkat


Yang diperiksa menurut cara pemeriksaan “singkat” ialah perkara kejahatan atau
pelanggaran yang menurut penuntut umum penerapan hukumnya mudah dan sifatnya
sederhana serta tidak termasuk yang diperiksa menurut acara pemeriksaan “ringan” (tidak
termasuk pasal 205 KUHAP).
Acara yang dipakai, berlaku ketentuan:
a. Bagian kesatu yaitu “Pengadilan dan Dakwaan”.
b. Bagian kedua yaitu “Memutus sengketa mengenai wewenang mengadili”
c. Bagian ketiga “ Acara pemeriksaan biasa” dari BAB XVI, sepanjang “tidak
bertentangan” dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 203 ayat 3.
Pasal 203 ayat 3 menentukan:
a. Penuntut umum dengan segera setelah terdakwa, berada disidang, menjawab
segala pertanyaan tentang nama lengkap, tempat tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaannya, memberitahukan dengan
“lisan” dari catatannya kepada terdakwa tentang tindak pidana yang didakwakan
kepadanya dengan menerangkan waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak
pidana itu dilakukan. Pemberitahuan ini dicatat dalam s“berita acara”.
b. Putusan tidak dibuat secara khusus, tetapi dicatat dalam berita acara sidang.
c. Hakim memberikan surat yang memuat putusan tersebut dan isi surat putusan itu
mempunyai kekuatan hukum yang sama seperti putusan pengadilan dalam Acara
Biasa.
d. Dalam hal hakim memanang perlu pemeriksaan “ tambahan” supaya diadakan
pemeriksaan tambahan tersebut dalam waktu 14 hari dan apabila penuntut umum
belum dapat menyelesaikan dalam waktu tersebut, hakim memerintahkan agar
perkara tersebut diajukan dengan “Acara Biasa”.

94
Di samping itu apabila dari pemeriksaan di sidang sesuatu perkara yang diperiksa
dengan acara singkat, ternyata sifatnya jelas dan ringan, yang seharusnya diperiksa dengan
“Acara Cepat”, hakim dengan persetujuan terdakwa dapat meneruskan pemeriksaan
tersebut. (pasal 204)

5. Pemeriksaan Acara Cepat


Acara pemeriksaan cepat menurut KUHAP dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Acara pemeriksaan tindak pidana ringan
b. Acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan
Acara pemeriksaan cepat ini diatur dalam BAB XVI, Bagian keenam dari pasal 205
sampai dengan pasal 216 KUHAP dan dalam acara pemeriksaan ini berlaku pula ketentuan
Bagian Kesatu, Bagian Kedua dan Ketiga dari BAB XVI, sepanjang peraturan tertentu tidak
bertentangan dengan pasal 210 dan pasal 216 KUHAP.

a. Tindak Pidana Ringan


Yang dimaksud dengan cara tindak pidana ringan adalah acara pemeriksaan
perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga
bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan
ringan.
Dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan ini pengadilan mengadili dengan
“hakim tunggal” pada tingkat pertama dan terakhir kecuali dalam hal dijatuhkan
pidana perampasan kemerdekaan terdakwa dapat minta banding (pasal 205 ayat 3).
Dalam pemeriksaan tingkat pidana ringan ini, kuasa penuntut umum dalam waktu
tiga hari sejak berita acara pemeriksaan selesai dibuat, mengahadapkan terdakwa
beserta barang bukti, saksi, ahli juru bahasa pengadilan. Disini penyidik kedudukannya
disejajarkan dengan penuntut umum.
Pada umumnya saksi salam pemeriksaan tindak pidana ringan ini tidak disumpah,
kecuali hal itu dianggap perlu oleh hakim. (pasal 208)
Pengadilan menetapkan hari tertentu dalam tujuh hari untuk mengadili perkara
dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan. (pasal 206)
Penyidik membertitahukan secara tertulis kepada terdakwa tentang hari, tanggal,
jam, dan tempat ia harus menghadap sidang pengadilan dan hal tersebut dicatat dengan
baik oleh penyidik, selanjutnya catatan bersama berkas dikirim ke pengadilan dan

95
perkara yang penerima tersebut harus disidangkan pada “hari sidang itu”. (pasal 207
ayat 1)
Hakim yang bersangkutan memeritahkan panitera mencatat dalam buku register
semua perkara yang diterimanya. (pasal 207 ayat 2)
Putusan dicatat oleh hakim dalam daftar catatan perkara dan selanjutnya oleh
panitera dicatat dalam buku register serta ditandatangani oleh hakim yang
bersangkutan dalam panitera. Berita acara pemeriksaan sidang tidak dibuat kecuali jika
dalam acara pemeriksaan tersebut ternyata ada hal yang tidak sesuai dengan berita
acara pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik. (pasal 109)

b. Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan


Yang dimaksud dengan acara pemeriksaan pelanggaran lalu lintas jalan adalah
perkara “Pelanggaran Tertentu” terhadap peraturan perundang-undangan lalu lintas
jalan.
Perkara pelanggaran tertentu adalah:
1) Mempergunakan jalan dengan acara yang dapat merintangi, membahayakan
ketertiban atau keamanan lalu lintas atau yang mungkin menimbulkan
kerusakan pada jalan.
2) Mengemudikan kendaraan bermotor yang tidak dapat memperlihatkan surat
ijin mengemudi (SIM), surat tanda nomor kendaraan, surat tanda uji
kendaraan yang sah atau tanda bukti lainnya yang diwajibkan menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan atau ia dapat
memperlihatkannya tetapi masa berlakunya sudah daluwarsa.
3) Membiarkan atau memperkenankan kendaraan bermotor dikemudikan oleh
orang yang tidak memiliki surat ijin mengemudi.
4) Tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan
tanpa penomoran, penerangan, peralatan, perlengkapan, pemuatan kendaraan
dan syarat penggandengan dengan kendaraan lain.
5) Membiarkan kendaraan bermotor yang ada di jalan tanpa dilengkapi plat
tanda nomor kendaraan yang sah, sesuai dengan surat tanda nomor
kendaraan yang bersangkutan.
6) Pelanggaran terhadap perintah yang diberikan oleh petugas pengatur lalu
lintas jalan dan atau isyarat alat pengatur lalu lintas jalan, rambu-rambu atau
tanda yang ada dipermukaan jalan.

96
7) Pelanggaran terhadap ketentuan tentang ukuran dan muatan yang diijinkan,
cara menaikkan dan menurunkan penumpang dan atau cara memuat dan
membongkar barang.
8) Pelanggaran terhadap ijin terayek, jenis kendaraan yang diperbolehkan
beroperasi di jalan yang ditentukan.
Dalam acara ini tidak diperlukan berita acara pemeriksaan oleh karena itu catatan
dari penyidik diserahkan kepada pengadilan, selambat-lambatnya pada hari sidang
berikutnya. (pasal 212)
Dan terdakwa dapat menunjuk atau mewakilkan di sidang kepada seorang dengan
“surat”. (pasal 213)
Dan selanjutnya pada pasal 214 KUHAP menentukan sebagai berikut:
1) Jika terdakwa dan wakilnya tidak hadir disidang, pemeriksaan perkara
dilanjutkan.
2) Dalam putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa, surat amar putusan
segera disampaikan kepada terpidana.
3) Bukti bahwa surat amar putusan telah disampaikan kepada terpidana,
diserahkan kepada Panitera untuk dicatat dalam buku register.
4) Dalam putusan dijatuhkan diluar hadirnya terdakwa dan putusan itu berupa
pidana perampasan kemerdekaan, terdakwa dapat mengajukan perlawanan.
5) Dalam waktu tujuh hari ssudah putusan diberitahukan secara sah kepada
terdakwa, ia dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan yang
menjatuhkan putusan itu.
6) Setelah panitera memberitahukan kepada penyidik tentang perlawanan itu
hakim menetapkan hari sidang untuk memeriksa kembali perkara itu.
7) Jika putusan setelah diajukannya perlawanan tetap berupa pidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat 4, terhadap putusan tersebut terdakwa
dapat mengajukan banding.
Tentang pengembalian benda sitaan dilakukan tanpa syarat kepada yang paling
berhak, segera setelah putusan dijatuhkan jika terpidana telah memenuhi isi amar
putusan. (pasal 215)

97
BAB XII
UPAYA HUKUM
UPAYA HUKUM BIASA
1. Banding
Suatu hal yang khusus bagi pengadilan ialah bahwa apabila suatu Badan Pengadilan
(hakim) mengucapkan suatu putusan, maka hakim tersebut tidak boleh mengubah
putusannya yang sudah diucapkan itu meskipun ia kemudian berpendapat bahwa putusan itu
kurang tepat atau salah. Lain halnya dengan badan-badan atau pejabat-pejabat lainnya,
misalnya kantor pajak atau kantor perumahan, yang dengan mudah dapat meninjau kembali
suatu penetapan yang telah diambilnya.
Bagi pengadilan (hakim) yang dapat mengubah putusan yang kurang tepat atau salah
hanyalah Badan Pengadilan yang lebih tinggi tingkatnya, menurut cara-cara dan syarat-
syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Tehadap keputusan hakim tingkat pertama (pengadilan negeri), terdakwa atau penuntut
umum apabila ia tidak puas dengan hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri, ia
berhak melakukan upaya hukum dengan meminta pemeriksaan ulangan kepada pengadilan
yang lebih tinggi yaitu pengadilan tinggi.
Dalam KUHAP menentukan upaya hukum yang dapat ditempuh oleh terdakwa atau
jaksa penuntut umum adalah pemeriksaan tingkat banding yang diatur dalam pasal 67, 223 –
243.
Menurut pasal 67 KUHAP menentukan bahwa: “Terdakwa atau penuntut umum berhak
untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan
bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya
penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat.
Permintaan banding, dapat diajukan oleh terdakwa atau yang khusus dikuasakan untuk
itu atau oleh penuntut umum, kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan
hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum, dan putusan
pengadilan dalam acara cepat.
Pemeriksaan banding tersebut boleh diterima oleh “panitera pengadilan negeri” dalam
waktu 7 hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada
terdakwa yang tidak hadir. (pasal 223 ayat 2)
Pengajuan permintaan bading menurut pasal 233 ayat 2 jo penjelasannya member
wewenang kepada panitera pengadilan untuk “menolak” permohonan banding yang

98
bersangkutan, bahkan dengan tegas ditanyakan bahwa panitera “dilarang” menerima
permintaan banding perkara yang tidak dapat disbanding atau permintaan banding yang
diajukan setelah tenggang waktu yang ditentukan berakhir.
Di sini timbul persoalan tentang masalah putusan “lepas dari segala tuntutan hukum”,
apakah keputusan tersebut “dapat dimintakan banding” kepada pengadilan tinggi? Oleh
karena adanya keterangan tambahan yang berbunyi:
“Yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum.:
Hal ini sesuai dengan pasal 67 KUHAP, bahwa semua putusan “lepas dari segala
tuntutan hukum” tidak dapat dimintakan pemeriksaan banding, melainkan hanya dapat
dimohonkan kasasi sesuai pasal 244 jo 253 KUHAP.
Untuk masalah ini, telah dicapai consensus, bahwa terhadap semua putusan lepas dari
segala tuntutan hukum tidak dapat dimintakan banding, melainkan hanya dapat dimohonkan
pemeriksaan kasasi.
Selanjutnya dalam pasal 233 ayat 3, 4 dan 5 diatur cara-cara melaksankaan
administrasinya yaitu:
1) Panitera membuat sebuah keterangan yang ditandatangani olehnya dan juga oleh
pemohon serta “tembusannya” diberikan kepada pemohon yang bersangkutan.
2) Dalam hal pemohon tidak dapat menghadap, hal ini harus dicatat oleh panitera
dengan disertai alasannya dan catatan harus dilampirkan dalam berkas perkara
serta juga ditulis dalam daftar perkara pidana.
3) Dalam hal pengadilan negeri menerima permintaan banding baik yang diajukan
oleh penuntut umum atau terdakwa maupun yang diajukan oleh penuntut umum
atau terdakwa sekaligus, maka panitera wajib memberitahukan permintaan dari
pihak yang satu kepada pihak yang lain.
Apabila tengang waktu 7 hari telah lewat “tidak” diajukan permintaan banding oleh
yang bersangkutan (terdakwa atau penuntut umum), maka yang bersangkutan dianggap
“menerima” putusan. Panitera mencatat dan membuat akta mengenai hal itu serta
melekatkan akta tersebut pada berkas perkara.
Putusan hakim tersebut memperoleh dengan sendirinya “sifat tetap”, putusan tidak
diganggu gugat lagi dan dapat dilaksanakan atau dijalankan (diexcecuteer). Dengan bahasa
asing, vonnis (putusan) itu memperoleh “kracht van gewijsde” atau “daya ikut atau daya
tetap”.

99
Selama perkara banding belum diputus oleh pengadilan tinggi, permintaan banding
dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permintaan banding dalam
perkara itu tidak boleh diajukan lagi.
Dalam waktu 14 hari sejak permintaan bandig diajukan, panitera mengirimkan salinan
putusan pengadilan negeri dan berkas perkara serta surat bukti kepada pengadilan tinggi.
Selama 7 hari sebelum pengiriman berkas perkara kepada pengadilan tinggi, pemohon
banding wajib diberikan kesempatan untuk mempelajari berkas perkara tersebut ke
pengadilan negeri.
Pemohon banding yang dengan jelas menyatakan secara tertulis bahwa ia akan
mempelajari berkas tersebut di pengadilan tinggi, maka kepadanya wajib diberi kesempatan
untuk itu secepatnya 7 hari setelah berkas diterima oleh pengadilan tinggi.
Kepada setiap pemohon banding wajib diberi kesempatan untuk sewaktu-waktu
meneliti keaslian berkas perkaranya yang sudah ada di pengadilan tinggi. (pasal 236)
Selama pengadilan tinggi belum mulai memeriksa suatu perkara dalam tingkat banding,
baik terdakwa atau khususnya penuntut umum dapat menyerahkan memori banding atau
kontra memori banding kepada pengadilan tinggi. (pasal 237)
Pemeriksaan dalam tingkat banding dilakukan oleh pengadilan tinggi dengan sekurang-
kurangnya tiga orang hakim atau dasar berkas yang diterima dari pengadilan negeri yang
terdiri dari berita acara pemeriksaan disidang pengadilan negeri, beserta semua surat yang
timbul disidang yang berhubungan dengan perkara itu dan putusan pengadilan negeri. (pasal
238)
Sejak saat diajukannya permintaan banding, wewenang untuk menentukan “penahanan”
beralih ke pengadilan tinggi. Dalam waktu 3 hari sejak menerima berkas perkara banding
dari pengadilan negeri, pengadilan tinggi, wajib mempelajarinya untuk menetapkan apakah
terdakwa perlu tetap ditahan atau tidak, baik karena wewenang jabatannya maupun atau
permintaan terdakwa. Jika dipandang perlu pengadilan tinggi mendengar sendiri keterangan
terdakwa atau saksi atau penuntut umum dengan menjelaskan secara singkat dalam surat
panggilan kepada mereka tentang apa yang ingin diketahuinya.
Menurut pasal 239, dalam pemeriksaan perkara pada tingkat banding, hakim/majelis
hakim tidak diperkenankan mengadili suatu perkara dimana:
1) Hakim mempunyai kepentingan baik langsung maupun tidak langsung dalam
perkara tersebut. (pasal 220)
2) Hakin terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga,
hubungan suami istri dengan penuntut umum. (pasal 157)

100
3) Hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama kemudian telah menjadi
hakim pada pengadilan tinggi.
Pengadilan tinggi dengan suatu “keputusan” dapat memerintahkan kepada pengadilan
negeri untuk memperbaiki hal itu atau pengadilan tinggi melakukan perbaikan sendiri
apabila:
1) Dalam pemeriksaan pengadilan negeri ternyata ada kelalaian dalam penerapan
hukum acara.
2) Terdapat kekeliruan.
3) Pemeriksaan ada yang kurang lengkap (pasal 240 ayat 1)
Di samping itu pengadilan tinggi dengan keputusan dapat membatalkan penetapan
pengadilan negeri “sebelum” putusan pengadilan tinggi dijatuhkan. Keputusan pengadilan
tinggi yang memerintahkan kepada pengadilan negeri untuk melakukan “perbaikan” ataupun
yang “membatalkan” penetapan pengadilan negeri dalam praktek tersebut sebagai “Putusan
Sela”.
Selanjutnya diatur dalam pasal 241, bahwa putusan pengadilan tinggi dapat berisi:
1) Menguatkan putusan pengadilan negeri
2) Mengubah (memperbaiki) putusan pengadilan negeri
3) Membatalkan putusan pengadilan negeri dan sekaligus menjatuhkan putusan
sendiri
Tugas yang perlu diperhatikan oleh pengadilan tinggi juga pengadilan negeri ialah
tugas-tugas administrasi sebagaimana diatur menurut pasal 243 yaitu sesudah putusan
pengadilan tinggi dijatuhkan, waktu pengiriman “salinan putusan serta berkas perkara”
dalam tempo 7 hari saja. Hal ini harus dapat dilaksanakan dengan baik di bawah
pengawasan ketua pengadilan tinggi dan ketua pengadilan negeri dan tentang cara
pemberitahuan isi putusan serta pencatatannya dalam register.
Hal yang baru dalam cara pemberitahuan isi keputusan pengadilan tinggi ialah yang
diatur dalam pasal 243 ayat 5, yang dalam hal tempat tinggal terdakwa tidak diketahui atau
jika terdakwa bertempat tinggal di luar negeri, maka ditepuh cara-cara sebagai berikut:
1) Dalam hal tempat tinggal terdakwa tidak diketahui, pemberitahuan isi putusan itu
disampaikan kepada atau melalui kepala desa dimana terdakwa biasa
berdiam/alamat yang tertera pada surat pemeriksaan perkara.
2) Dalam hal terdakwa berdiam di luar negeri, pemberitahuan itu disampaikan
melalui perwakilan Republic Indonesia dimana terdakwa biasa (diduga) berdiam
(berada).

101
3) Apabila hal-hal tersebut masih belum berhasil, maka terdakwa dipanggil melalui
pengumuman surat kabar sebanyak 2 kali berturut-turut dalam 2 buah surat kabar.
Maksud dari pemberitahuan isi putusan pengadilan tinggi tersebut, selain dari pada
untuk dapat memastikan tentang saat (waktu) menghitung tenggang waktubagi upaya hukum
lanjutan (kasasi) juga untuk dapat dijalankannya putusan tersebut, jika terdakwa tidak
menggunakan haknya untuk meminta “kasasi”.

2. Kasasi
Perkataan kasasi yang dimegeri kelahirannya Perancis disebut CASSATION dari kata
kerja CASSER artinya membatalkan atau memecahkan.
Membicarakan kasasi, tidak bias dilepaskan dengan ketentuan dalam UU No. 14/1970
yang dirubah dengan UU No 4/ 2004 tentang KEKUASAAN KEHAKIMAN.
Kasasi dapat dilihat dalam pasal 11 menentukan :
1).Mahkamah Agung merupakan Pengadilan Negara tertinggi dari empat peradilan
sebagaimana dimaksud dalam pasal l0 ayat 2.
2).MA mempunyai wewenang :
a.Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat
terakhir oleh pengadilan disemua lingkungan pengadilan yang berada dibawah
MA.
b.Menguji peraturan perundang – undangan dibawah undang – undang
terhadap undang – undang.
c.Kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang – undang.
3).Pernyataan tidak berlaku peraturan perundang – undanga sebagai hasil
pengujian sebagamana dimaksud ayat 2 huruf b dapat diambil baik dalam
pemeriksaan tingkat kasasi maupun berdasakan permohonan langsung kepada MA.
4).MA. Melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan dalam
lingkunan pengadilan yang berada dibawahnya berdasarkan ketentuan undang –
undang.
Pasal 22 UU No.4/2004 menentukan,terhadap putusan dalam tingkat banding dapat
dimintakan kasasi kepada MA. Olah pihak – pihak yang bersangkutan , kecuali undang –
undang menentukan lain. Dalam hubungannya dengan lembaga pengadilan yang lainnya,
terlihat fungsi MA. Yakni :
l. Fungsi Peradilan ( Justitiele fungtion)
2. Fungsi penasehat ( Regelende fungtion)

102
3. Fungsi pengawasan ( teorisiende function)
4. Fungsi adminitratif ( Administratife fungtion)
Pengaturan kasasi padamulanya dapat kita uhat dalan Uu. No. 1/1950 yaitu UU tentang
susunan, kekuasaan dan jalannya pengadilan MA. UU ini kemudian dicabut dengan UU No.
l3/1965 tentang Peradilan Di Lingkungan Pradilan UMUM dan MA.Dengan dicabutnya UU
no 1/1950 berart bahwa pengaturan tentang acara kasasi uga tidak berlaku. Jadi pengaturan
acara kasasi menjadi kosong. Untuk mengisi kekosongan ini maka ada yurisprudensi tetap
dari MA. Mengenai pasal 70 UU No 13/1965.
Pasal 70 menentukan :
UU MA. ( UU No. 1/1950 ) dan peraturan- peratulan lain yang mengatur tentang
prngadilan lain dalam lingkunganpengadilan umum, pengadilan swapraja dan pangadilan
adat dengan undang – undang ini dinyatakan tidak berlaku.
Jadi pasal 70 harus ditafsirkan sedemikian rupa, sehingga yang dinyatakan tidak berlaku
adalah bukan UU MA dalam keseluruhannya, melainkan khusus tentang kedudukan,
susunan dan kekuasaan MA saja. Tentang acaranya masih berlaku UU MA.
Menurut Prof. DR RM. Soedikno Mertokoesoemo SH. Tugas pokok MA yang berupa
penyelenggaraan peradilan ini meliputi :
a.Memutus pada tingkatan peradilan pertama dan terakhir:
1.Semua perselisihan tentang kekuasaan mengadili antara badan-badan
peradilan dalam lingkungan yang berbeda.
2.Semua perselisihan tentang kekuasaan mengadili antara badan-badan peradilan
sederjat yang termasuk wewenang pengadilan tinggi yang berlainan.
b.Memutus pada peradilan tingkat banding atas putusan wasit
c.Dalam tingkat terakhir (kasasi) memutus terhadap putusan yang diberikan
pengadilan-pengadilan lain selain Mahkamah Agung dalam tingkat terakhir
Wewenang mengadili juga ialah peninjauan kembali putusan pengadilan yang
memperoleh ketentuan hukum tetap apabila memenuhi syarat-syarat. (pasal 21 UU No
14/70)
Dalam melaksanakan tugas mengadili MA mempunyai fungsi memimpin juga (liedende
funcsie). Meminpin peradilan dalam pembinaan dan pengembangan hukum MA harus
mengarahkan pembinaan hukum melalui putusan-putusan pada kesatuan hukum dan
peradilan.
Pemeriksaan untuk kasasi dalam KUHAP yang diatur pada XVII, bagian kedua mulai
pasal 244 – 258.

103
Pasal 244 KUHAP menentukan bahwa terhadap putusan perkara pidana yang diberikan
pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain dari pada MA, terdakwa atau penuntut
umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada MA, kecuali terhadap
putusan bebas.
Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada Panitera Pengadilan yang telah
memutus perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu 14 hari sesudah putusan
pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa. (pasal 245 ayat 1)
Permintaan tersebut oleh Panitera ditulis dalam sebuah surat keterangan yang ditandatangani
oleh panitera serta pemohon, dan dicatat dalam daftar yang dilampirkan pada berkas perkara.
(pasal 245 ayat 2)
Dalam hal pengadilan negeri menerima permohonan kasasi, baik yang diajukan oleh
penuntut umum maupun terdakwa atau sekaligus oleh penuntut umum dan terdakwa, maka
panitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak yang satu kepada yang lain. (pasal
245 ayat 3)
Apabila pengajuan permohonan kasasi oleh terdakwa atau penuntut umum telah lewat
14 hari sejak putusan pengadilan tinggi diberitahukan, maka yang bersangkutan dianggap
menerima putusan dan pengajuan permohonan kasasi gugur.
Paniera mencatat dan membuat akte mengenai hal itu serta melekatkan akte tersebut
pada berkas perkara. (pasal 246)
Selama MA belum memutus perkara permohonan kasasi dapat, permohonan kasasi
dapat “dicabut” sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permohonan kasasi dalam
perkara itu tidak dapat diajukan lagi.
Permohonan kasasi hanya dapat dilakukan satu kali. (pasal 247)
Permohonan kasasi oleh penuntut umum atau terdakwa wajib mengajukan “memori
kasasi” yang memuat alasan permohonan kasasinya dan dalam waktu 14 hari setelah
mengajukan permohonan tersebut, harus sudah menyerahkan kepada panitera yang untuk itu
panitera membuat memori kasasinya.
Alasan-alasan kasasi yang diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa harus memuat:
a.Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan tidak sebagaimana
mestinya.
b.Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-
undang.
c.Apakah pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.

104
Panitera menyampaikan tembusan memori kasasi yang diajukan oleh salah satu
pihakkepada pihak yang lainnya (termohon kasasi) dan selanjutnya termohon kasasi berhak
mengajukan “kontra memori kasasi”, dalam tenggang kasasi 14 hari sejak diterimanya
memori kasasi tersebut. (pasal 248)
Dalam salah satu pihak berpendapat (pemohon kasasi atau termohon kasasi) akan
menambahkan dalam memori kasasi atau kontra memori kasasi, kepadanya diberikan
kesempatan untuk mengajukan tambahan itu dalam waktu 14 hari setelah tenggang waktu
tersebut, permohonan kasasi tersebut selengkapnya oleh panitera pengadilan segera
disampaikan kepada MA. (pasal 249)
Panitera pengadilan negeri telah menerima memori dan kontra memori wajib segera
mengirimkan berkas perkara kepada MA.
Panitera MA setelah menerima berkas perkara mencatatnya dalam Buku Agenda Surat,
Buku Register Perkara dan pada register perkara dan pada Kartu Petunjuk.
Buku register perkara tersebut wajib dikerjakan, ditutup dan ditandatangani oleh
panitera pada setiap hari kerja dan untuk diketahui juga karena jabatannya oleh ketua MA.
Apabila ketua MA berhalangan, maka penanda tanganan dilakukan oleh wakil ketua
MA dan jika keduanya berhalangan, maka dengan surat keputusan ketua MA ditunjuk hakim
anggota yang tertua dalam jabatan.
Selanjutnya panitera MA mengeluarkan surat bukti penerimaan yang aslinya dikirimkan
kepada panitera pengadilan negeri yang bersangkutan, sedangkan kepada para pihak
dikirimkan tembusannya. (pasal 250)
Seorang hakim agung wajib mengundurkan diri apabila terdapat hubungan keluarga
bagi pemeriksaan perkara dalam tingkat kasasi. Hubungan keluarga tersebut berlaku juga
antara hakim dan atau panitera tingkat kasasi dengan hakim dan atau panitera pada tingkat
pertama, yang telah mengadili perkara yang sama. Demikian pula seorang hakim tingkat
kasasi wajib mengundurkan diri jika hakim tersebut yang mengadili perkara tingkat banding,
kemudian telah menjadi hakim atau panitera pada MA, mereka dilarang bertindak sebagai
hakim atau panitera untuk perkara yang sama dalam tingkat kasasi. (pasal 251)
Seorang hakim pada tingkat kasasi wajib mengundurkan diri bagi pemeriksaan perkara
dalam tingkat kasasi apabila ia sendiri berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsug.
Apabila ada keraguan atau perbedaan pendapat mengenai hal ini maka:
a.Ketua MA karena jabatannya bertindak sebagai pejabat yang berwenang
menetapkan;

105
b.Dalam menyangkut Ketua MA sendiri, yang berwenang menetapkannya adalah
suatu panitia yang terdiri dari tiga orang yang di pilih oleh dan antar hakim
anggota yang seorang diantaranya harus hakim anggota yang tertua dalam
jabatannya. (pasal 252)
Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh MA dengan sekurang-kurangnya
dengan hakim atas dasar berkas perkara yang diterima dari pengadilan lain dari pada MA
yang terdiri dari berita acara pemeriksaan dari penyidik, berita acara pemeriksaan di sidang,
semua surat yang timbul disidang yang berhubungan dengan perkara itu beserta putusan
pengadilan tingkat pertama, dan atau tingkat terakhir.
Jika dipandang perlu untuk kepentingan pemeriksaan, MA dapat mendengar keterangan
terdakwa atau penuntut umum, dengan menjelaskan secara singkat dalam surat panggilan
kepada mereka tentang apa yang ingin diketahuinya atau MA dapat pula memerintahkan
panggilan untuk mendengar keterangan mereka, dengan cara pemanggilan yang sama.
Wewenang untuk menentukan penahanan beralih ke MA sejak diajukannya
permohonan kasasi.
Dalam waktu 3 hari sejak menerima berkas perkara kasasi, MA wajib mempelajari
untuk menetapkan apakah terdakwa perlu tetap ditahan atau tidak, baik karena wewenang
jabatannya maupun atas permintaan terdakwa.
Dalam hal terdakwa tetap ditahan, maka dalam waktu 14, sejak penetapan
penahanannya, MA wajib memeriksa perkara tersebut. (pasal 253)
Dalam hal MA memeriksa permohonan kasasi karena telah memenuhi sebagaimana
dimaksud dalam pasal 245, 246 dan 257, mengenai hukumannya MA dapat memutus
menolak atau mengabulkan permohonan kasasi. (pasal 254)
Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena peraturan hukum tidak diterapkan atau
diterapkan tidak sebagaimana mestinya, MA mengadili sendiri perkara tersebut. (pasal 255)
Jika MA mengabulkan permohonan kasasi, MA membatalkan putusan pengadilan yang
dimintakan kasasi, dan dalam hal ini berlaku ketentuan pasal 255. (pasal 256)
Ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 226 (petikan putusan pengadilan negeri dan
salinan surat keputusan pengadilan negeri)dan pasal 243 (salinan surat putusan pengadilan
tinggi), berlaku juga putusan MA, kecuali tenggang waktu tentang pengiriman salinan
putusan beserta berkas perkaranya kepada pengadilan yang memutus pada tingkat pertama
dalam waktu 7 hari. (pasal 257)
Ketentuan sebagaimana tersebut pada pasal 244 – 257 berlaku bagi acara permohonan
kasasi terhadap putusan pengadilan dalam lingkungan peradiln militer. (pasal 258)

106
UPAYA HUKUM LUAR BIASA
1. Gerasi
Tentang permohonan Grasi diatur dalam undang - undang permohonan grasi (UU No 3
Tahun 1950) dan UUD Sementara pasal 107, 1 dan 2.
Pemberian grasi adalah wewenang dari presiden, ialah merupakan salah satu dari
wewenang “prorogatip” Negara, untuk membatalkan untuk seluruhnya atau pembagian
pidana yang telah dijatuhkan, atau untuk mengubah pidana itu menjadi suatu pidana yang
lebih ringan sifatnya (lebih berat tidak mungkin).
Yang dapat dimintakan grasi kepada presiden adalah setiap putusan yang telah
memperoleh daya wujud (kekuatan hukum yang pasti), baik putusan hakim sipil, maupun
putusan hakim militer.
Pernyataan grasi dapat diajukan kepada presiden dalam tempo 14 hari terhitung mulai
dari hari berikut, hari keputusan hakim itu menjadi tetap dan tidak dapat diubah lagi.
Dalam hal hukuman mati jangka waktu untuk mengajukan permohonan grasi adalah 30
hari terhitung mulai hari berikutnya hari daripada hari keputusan tidak dapat diubah lagi.
Mengenai putusan dalam pemeriksaan tingkat banding, terhitung mulai hari berikutnya
daripada pemberitahuan putusan kepada terhukum.
Apabila setelah tenggang waktu tersebut orang yang dihukum mati tidak mengajukan
permohonan grasi, maka hukuman mati masih belum boleh dilaksanakan karena dalam hal
ini presiden harus diberi kesempatan dahulu untuk mempertimbangkan apakah terdapat
alasan untuk member grasi kepada terhukum atau tidak, walaupun si terhukum itu tidak
mengajukan permohonan grasi.
Apa akibat dari permohonan grasi tersebut yang diajukan oleh si terhukum dalam
tenggang waktu 14 hari?
a.Mengenai hukuman badan, yaitu hukuman penjara, hukuman kurungan dan
hukuman kurungan pengganti belum boleh dilaksanakan atau dieksekusi dari hukuman
itu ditanggung selama keputusan grasi itu belum keluar.
Untuk terhukum yang berada di luar tahanan tetap berada diluar tahanan selama belum
ada putusan tentang putusan permohonan grasi.
Untuk terhukum yang ditahan sebelum ada putusan tentang permohonan grasinya,
mereka tetap berada dalam tahanan, statusnya tetap merupakan tahanan dan belum
menjadi hukuman (narapidana), sehingga peraturan lembaga pemasyarakatan tentang
hukuman terhadap mereka belum dapat digunakan.

107
b.Hukuman denda, tentang hukuman denda tak dapat menunda pembayaran selama
mengajukan grasi, jadi harus dibayar dulu dan kalau grasi itu dapat dikabulkan dengan
menghilangkan hukuman denda maka uang dapat diminta kembali.
Kecuali kalau memang menurut pendapat jaksa terhukum tidak mampu membayar
denda, dalam hal ini pelaksanaan hukuman kurungan pengganti ditunda. Kalau
terhukum dianggap mampu membayar denda tetapi tidak mau membayar, permohonan
grasinya bukan saja tidak akan diperhatikan, tetapi harus menjalankan hukuman
kurungan pengganti.
Cara mengajukan permohonan grasi:
Permohonan grasi harus diajukan kepada Panitera pengadilan yang memutus perkara
pada tingkat pertama atau jika pemohon bertempat tinggal di luar daerah hukum pengadilan
yang bersangkutan, maka permohonan dapat diajukan kepada pembesar di daerah itu.
Panitera yang menerima surat permohonan grasi mengirim surat permohonan tadi
dengan berkas pemeriksaan perkaranya kepada hakim atau ketua pengadilan yang memutus
pada tingkat pertama.
Hakim atau ketua pengadilan kemudian mengirimkan berkas perkara itu disertai
pertimbangan-pertimbangan kepada kepala kejaksaan yang ada hubungan dengan perkara
itu.
Kepala kejaksaan (jaksa yang menuntut) meneruskan beserta pertimbangannya kepada
MA.
MA meneruskannya dengan terlebih dahulu meminta pertimbangan dari jaksa agung
kepada mentri kehakiman.
Mentri kehakiman yang menerima surat permohonan grasi itu beserta surat-surat
lainnya beserta pertimbangannya mengirimkan kepada presiden.
Keputusan presiden atas permohonan grasi dengan melalui mentri kehakiman
disampaikan kepada pengadilan yang bersangkutan dan kemudian panitera pengadilan
tersebut harus memberitahukan jaksa yang bersangkutan dan kepada terdakwa.

2. Herziening (Peninjauan Kembali)


Lembaga “herziening” di dalam hukum diartikan sebagai suatu upaya hukum yang
mengatur tata cara untuk melakukan peninjauan kembali suatu putusan pengadilan yang
telah memperoleh suatu kekuatan hukum yang tetap.
Lembaga ini semula hanya dikenal di dalam “regalement op de strafvordering
staatsblad” no 40 jo no 57 tahun 1847 yang tercantum di dalam title 18 (di dalam Kitab

108
Undang-undang Hukum Acara Pidana hal yang sama kebetulan di atur dalam BAB XVIII
juga, yang mulai dari pasal 356 sampai dengan pasal 360). Lembga herziening tersebut tidak
berlaku bagi pengadilan “inlander”.
Dalam KUHAP bagian kedua dari BAB XVIII “peninjauan kembali putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”, yang termuat di dalam pasal 263 – 269.
Menurut pasal 263 menentukan bahwa:
a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan
itu diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan
bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum
tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih
ringan.
b. Apabila dalam berbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti,
akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah
terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain.
c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau
kekeliruan yang nyata.
Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat 2 terhadap suatu putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dapat diajukan permintaan
peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah
dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.
Permintaan peninjauan kembali oleh pemohon diajukan kepada panitera pengadilan
yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama dengan menyebutkan secara jelas
alasannya.
Dalam hal pemohon peninjauan kembali adalah terpidana yang kurang memahami
hukum, panitera pada waktu menerima permintaan peninjauan kembali wajib menanyakan
apakah alasan ia mengajukan permintaan tersebut dan untuk itu panitera membuat surat
permintaan peninjauan kembali.
Permintaan peninjauan kembali tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu.
Ketua pengadilan segera mengirimkan surat permintaan peninjauan kembali beserta
perkaranya kepada MA, disertai suatu catatan penjelasan.
Ketua pengadilan setelah menerima permintaan peninjauan kembali menunjuk hakim
yang tidak memeriksa permintaan semula yang dimintakan peninjauan kembali itu untuk
memeriksan apakah permintaan peninjauan kembali tersebut memenuhi alasan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 263 ayat (2).

109
Dalam pemeriksaan tersebut, pemohon dan jaksa ikut hadir dan dapat menyampaikan
pendapatnya.
Atas pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh
hakim, jaksa, pemohon dan panitera dan berdasarkan berita acara itu dibuat berita acara
pendapat yang ditandatangani oleh hakim dan panitera.
Ketua pengadilan segera melanjutkan permintaan peninjauan kembali yang dilampiri
berkas perkara semula, berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat kepada MA yang
tembusan surat pengantarnya disampaikan kepada pemohon dan jaksa.
Dalam hal suatu perkara yang dimintakan peninjauan kembali adalah putusan
pengadilan banding, maka tembusan surat pengantar tersebut harus dilampiri tembusan
berita pemeriksaan serta berita acara pendapat dan disampaikan kepada pengadilan banding
yang bersangkutan. (pasal 265)
Permintaan peninjauan kembali yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tersebut
pada pasal 263 ayat 2, MA menyatakan bahwa permintaan peninjauan kembali tidak dapat
diterima dengan disertai dasar alasannya.
Dalam hal MA berpendapat bahwa permintaan peninjauan kembali dapat diterima untuk
diperiksa, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Apabila MA tidak membenarkan alasan pemohon MA menolak permintaan kembali
dengan menetapkan bahwa putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu tetap
berlaku disertai dasar pertimbangannya.
b. Apabila MA membenarkan alasan pemohon, MA membatalkan putusan yang
dimintakan peninjauan kembali itu dan dijatuhkan putusan yang dapat berupa:
1) Putusan bebas
2) Putusan lepas dari segala tuntutan hukum
3) Putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum
4) Putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
Putusan pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi
pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula. (pasal 266)
Salinan putusan MA tentang peninjauan kembali beserta berkas perkaranya dalam
waktu 7 hari setelah putusan tersebut dijatuhkan, dikirim kepada pengadilan yang
melanjutkan permintaan peninjauan kembali.
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 243 ayat 2, 3, 4 dan 5 berlaku juga
putusan MA mengenai peninjauan kembali. (pasal 267)

110
Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun
menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut.
Apabila suatu permintaan peninjauan kembali sudah diterima oleh MA dan sementara
itu pemohon meninggal dunia, diteruskan atau tidaknya PK tersebut diserahkan kepada ahli
warisnya.
Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan hanya satu
kali saja. (pasal 268)
Ketentuan sebagaimana tersebut pada pasal 263 – 268 berlaku bagi syarat permintaan
peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. (pasal
269)

111
BAB XIII
PUTUSAN DAN PELAKSANAAN PENGADILAN
A. PUTUSAN PENGADILAN
1. PENGERTIAN
Undang – Undang/ KUHAP tidak memberi pengertian apa yang
dimaksud dengan putusan pengadilan. Hanya saja KUHAP mengartikan
putusan pengadilan adalah
“Pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka,
yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang – undang ini
( pasal 1 butir 22 KUHAP )”.
Kalau kita perhatikan hal dalam penjelasan pasal 1 dikatakan cukup jelas,
pada hal ketentuan diatas masih kurang sempurna. Putusan tersebut adalah
bertujuan untuk mengakhiri suatu perselisihan yang lebih riil.
Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan putusan pengadilan,
dikemukakan disini pendapat sarjana ( hukum acara perdata ), yang
mendefinisikan : Putusan disebut dengan vonnis adalah produk pengadilan
karena adanya dua pihak ang berlawanan dalam perkara perdata, yaitu
penggugat dengan tergugat. Produk Pengadilan ini disebut dengan peradilan
yang sungguhnya atau jurisdictio contentiosa, yang memuat perintah dari
pengadilan kepada pihak yang kalah untuk melakukan/ berbuat sesuatuatau
untuk melepas sesuatu, jadi sifatnya menghukum ( H Roihan A Rasyid, Hukum
Acara Peradilan Agama,h. 200 ).
Putusan akhir / Iid vonnis adalah putusan yang sifatnya mengakhiri suatu
sengketa dalam tingkat tertentu ( SF Marbun, Peradlan Administrasi Negara
Dan Upaya Administratif di Indonesia, h. 319 ).
Jadi dengan mengacu pedapat diatas, dapat dijelaskan bahwa Putusan
Pengadilan adalah : kesimpulan terakhir yang diucapkan / disampaikan
dalam siding terbuka untuk umum oleh hakim/ mejelis dalam perkara pidana ,
dan memerintahkan kepada terdakwa/ penasehat hukum ataupun Penuntut
Umum yang bersifat menghukum kepada pihak – pihak untuk melaksanakan
sesuatu. Dengan demikian putusan tersebut mengandung makna untuk
mengakhiri suatu perkara pidana ditingkat tertentu.

112
2. JENIS PUTUSAN
Pada intinya jenis putusan dapat dibedakan menjadi 2 yakni :
2.1. Putusan Sela adalah putusan yang dijatuhkan/ diambil oleh hakim
sebelum putusan akhir dijatuhkan, hal ini dapat dilihat karena beberapa
alas an antara lain bahwa syarat formil dari dakwaan jaksa tidak
terpenuhi ( Kompetensi dari pengadilan, tentang locus delicti, tempus
delicate tidak tercantum dengan jelas, perkara kedaluarsa, ne bis in
idem, pre yudicial ( perselisihan kewenangan ).
Putusan sela ini belum menyentuh perkara pokok/ utama artinya hal
ini berkatan dengan seperti umpamanya Pengadilan tidak berwenang
mengadili, surat dakwaan tidak memenuhi syarat suatu dakwaan
( syarat formil dan syarat meteriil ) ,atau surat dakwaan Jaksa kabur.
2.2. Putusan akhir atau putusan bersifat materiil adalah putusan yang
dijatuhkan/ diambil oleh hakim terhadap pokok perkara/ materi
perkara. Yang diputus disini berkaitan dengan dakwaan Penuntut
Umum, dengan dikuatkan oleh alat – alat bukti serta keyakinan hakim
yang mendukung/ tidak mendukung dakwaan. dakwaan . Dengan
demikian putusan pengadilan adalah akhir dari suatu proses beracara
dimuka siding pengadilan.
Dengan melihat hal ini, Hukum Acara Pidana tidak memberi
difinisi yang jelas apakah yang dimaksud dengan putusan
Pengadilan tersebut. KUHAP kita hanya menyatakan :……..
Apabila jaksa telah selesai membacakan dakwaandan terdakwa/
Penasehat Hukum juga telah selesai membacakan pembelaannya,
maka hakim ketua siding menyatakan acara pemeriksaan
dinyatakan ditutup, dengan catatan dapat dibuka kembali atas
kemauan hakim / karena wewenangnya atau permintaan Penuntut
Umum atau terdakwa.
Putusan Pengadilan dapat dibacakan pada hari itu juga atau pada
sidag berikutnya, yang sebelumnya hal itu harus diberitahukan .
Selama siding ditunda/ diskors, majelis melakukam musyawarah
untuk mengambil putusan. Dalam rapat permusyawaratan,
diusahakan untuk mencapai katasepakat untuk mengambil putusan.

113
Jika kata sepakat ini tidak tercapai, maka ditempuh2 cara :
1. Putusan diambil dengan suara terbanyak;
2. Jika hal ini tidak tercapai, maka endapat hakim yang dipakai
adalah pendapat hakim yang paling menguntungka terdakwa (
pasal 182 ayat 5.
3. Dengan mengacu (2) diatas,maka sangat dimungkinkan
pembebasan terdakwa. Karena hakim yang satu mengatakan
hal itu terbukti, hakim yang lainnya menyatakan tidak terbukti,
sedang hakim yang lainnya abstain, maka berlakulah hukuman
yang paling menguntungkan terdakwa.

3. ISI PUTUSAN
Pada intinya isi putusan pegadilan dapat berupa :
1. Putusan yang menyatakan terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan (
veijspraak ) pasal 191 ayat 1 KUHAP;
2. Putusan yang menyatakan terdakwa lepas dari segala tuntutan
hukuman ( ontslag van alle rechtvervolging ), diatur dalam pasal 191
ayat 2 KUHAP;
3. Putusan yang berisi suatu pemidanaan ( veroodeling ) diatur dalam
pasal 193 ayat 1 KUHAP.

Ad. a. Putusan Bebas / vrijspraak


Putusan ini dijatuhkan/ diambil oleh pengadilan, apabila dia
berpendapat bahwa kesalahan atau perbuatan yang didakwakan terhadap
terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan didalam pemeriksaan
dipersidangan. Tidak terbuktinya kesalahan terdawa ini karena
minimmnya bukti yang ditetapkan oleh undang – undang tidak
terpenhi,misalkan hanya ada keterangan tersangka saja, tanpa dikuatkan
oleh alat bukti yang lainnya, atau bisa saja terjadi , minimum alat bukti
terpenuhi, tetapi hakim ytidak mendapat ketakinan terhadap alat – alat
bukti tersebut.
Putusan ini bersifat Negatif, artinya : Putusan itu tidak menyatakan
terdakwa tidak melakukan perbuatan yang didakwakan, melainkan

114
menyatakan bahwa kesalahan terdakwa tidak terbukti. Kemungkinan
memang terdakwa yang melakukan perbuatan tersebut, tetapi didalam
persidangan pengadilan jaksa tidak bisa membuktikan kesalahan/
terdakwa ( Ansori Sabuan dkk, Hukum Acara Pidana, op.cit. h 198 ). karena
system pembuktian yang dianut KUHAP adalah system pembukti an yang
negative / negetief wettelijk sistem ( pasal 183 KUHAP ) yang
menentukan :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidanakepada seseorang
kecuali apabila sekurang – kurangnya dua alat bukti yang syah dan
meyakinkan bahwa suatu tindak pidana benar – benar terjadi dan
bahwa terdakwalan yang bersalah melakukannya”.
Disebut sebagai pembuktian yang negative karena alat – alat bukti
yang diajukan itu ditentukan secara tegas/ limitative aloh undang – undang,
tetapi disamping itu,kayakinan hakim merupakan hal yang sangta penting
dalam penegahak hukum pidana tersebut. Jadi sekalipun terdapat alat bukti
yang cukup seperti yang dsyaratkan undang – undang, tanpa adanya keyakin
an dari hakim, maka terdakwa tidak dapat dijatuhi hukuman/ pidana.
Jika hakim menyatakan putusan terhadap terdakwa bebas, dan apabila terdawa
berada dalam tahanan maka terdakwa diperintahkan untuk dibebaskan segera (
pasal 191 ayat 3 KUHAP.

Ad. b. Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum


Putusan ini dijatuhkan jika hakim/ majelis berpendapat bahwa perbuatan yang
didakwakan kepada terdakwa terbutkti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan
suatu tindak pidana, , jadi bukan merupakan perbuatan yangdapat dipidana,
oleh perbuatan yang terbukti itu sama sekali tidak dapat dimasukkan dalam
salah satu ketentuan undang – undang pidana ayau karena adanya alas an
pembenar ( rechtvaardigingsgrond ) tersebut dalam pasal 48, 49 ayat 1, pasal
50 , pasal 51 ayat 1 KUHP. Putusan ini dijatuhkan oleh hakim dalam hal
perbuatan terdakwa terbukti itu merupakan tindak pidana, akan tetapi
terdakwa tidak dapat dipidana, disebabkan tidak adanya kemampuan
bertanggung jawab seperti yang ditentukan dalam pasal 44 KUHP. Atau
disebabkanadanya alas an pemaaf.

115
Ad. c. Putusan Pemidanaan
Putusan ini dijatuhkan oleh hakim apabila kesalahan terdakwa terhadap
perbuatan yang didakwakan kepadanya dianggap terbukti dengan sah dan
meyakinkan. Jadi menurut ketentuan pasal 193 ayat 1 KUHAP. , apabila
terdakwa terbukti bersalah, maka harus dijatuhi pidana, kecuali terdakwanya
pada waktu melakukan belum berumur enam belas tahun, maka hakim dapat
memilih diantara ketentuan yang disebut dalam pasal 45 KUHP. Yaitu :
a. Menyerahkan kembali kepada orang tuanya atau walinya, tanpa dikenai
suatu pidana;
b. Memerintahkan supaya terdakwa diserahkan kepada pemerintah, dan
supaya dipelihara disuatu tempat pendidikan Negara sampai berume 18
tahun
c. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa.( Ibid . h 200 ).

Dalam hal hakim terpaksa menjatuhkan hukuman penjara kepada terdakwa


yang belum berumur 16 tahun, maka pidana pokoknya maksimum dikurangi
sepertiganya( pasal 47 ayat 1 KUHP. ), dan dalam hal kejahatan yang diancam
pidana mati atau pidana seumur hidup, maksimum pidana itu menjadi pidana
penjara selama 15 tahun ( pasal 47 ayat 2 KUHP ), Sedangkan dalam hal
pidana tambahan berupa pencabutan hak dan pengumuman putusan hakim
tidak boleh dijatuhkan.. Sebagai perbandigan dapat dilihat pendapat Van
Bemmelen dalam DR Andi Hamzah sebagai berikut : “ Een veroodeling zal
de rechter uitsriken, als hij de overtuiging heelt verkregen, dat de verdachte
het te laste geledge feit heelt began en jij feit en verdachte ook strafbaar
acht ( Putusan pemidanaan dujatuhkan oleh hakim jika ia telah mendapat
keyakinan bahwa terdakwa telah melakukan perbatan yang didakwakan dan
ia mengang gap bahw perbuatan dan terdakwa dapat dipidana ( Andi Hamzah,
op. cit h . 264 ).
Dalam kaitannya dengan barang – barang bukti yang tidak ada kaitannya
dengan terdakwa, hakim harus memutuskan dikembalikan kepada orang yang
paling berhak atau dirampas untuk kepentingan Negara atau dimusnahkan
Setelah hakim memutuskan suatu perkara, maka hakim wajib untuk memberi
tahukan kepada terdakwa tentang hak – haknya antara lain :

116
1. Hak segera menerima ataumenolak isi putusan;
2. Hak untuk mempelajari sebelum menerima atau menolak putusan dalam
tenggang waktu yang ditentukan undang – undang;
3. Hak minta penangguhan pelaksanaan putusandalam tenggang waktu yang
ditentukan undang – undang untuk mengajukan gerasi dalam hal ia
menerima putusan;
4. Hak untuk memeriksa perkaranya dalam tingkat banding;
5. Hak mencabut pernyataan seperti dalam a diatas ( Ansori Sabuan dkk, op.
cit h 202 ).

4. BENTUK PUTUSAN
Bentu suatu putusan pengadilan ditentukan dengan pasti dalam KUHAP.
dan suatu putusan pengadilan harus memenuhi syarat formal, dan jika hal
ini dilanggar maka putusan tersebut adalah batal demi hukum.
Syarat formal putusan pengadilan antara lain :
1. Kepala Putusan : DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA;
2. Nama lengkap, tempat lahir, umur, jenis kelamin, kebangsaan, tempat
tinggal, agama , pekerjaan terdakwa;
3. Dakwaan sebagaimana terdapat dalam surat dakwaa;
4. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan
keadaan beserta alat pembuktian yangdiperoleh dari pemeriksaan
disidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;
5. Tuntutan pidana sebagaimana ditentukan dalam tuntutan;
6. Pasal peraturan perundang – undangan ang menjadi dasar dari suatu
putusan , disertai keadaan yanmemberatkan dan meringankan
terdakwa;
7. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim, kecuali
perkara denga hakim tunggal;
8. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua
unsurdalam rumusan delik disertai dengan kwalifikasinya dan
pemidanaan atau tindakan yang dijathkan;

117
9. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan
menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang
bukti;
10. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau
dibebaskan
11. Hara dan tanggal putusan , nama penuntut umum, nama hakim yang
memutus dan nama panitra.
5. Kekuatan Putusan Pengadilan Yang Telah In Kracht
KUHAP tidak menentukan dengan tegas, bagaimana kekuatan hukum
berkaitan dengan putsan pengadilan tersebut. Iini merupakan yang sangat
penting dalam praktek. Sedangkan hal ini dengan rinci diatur dalam hukum
acara perdata . Sebagai bahanperbandingan , penulis mencoba untuk
mengaitkan dengan hukum acara perdata, dalam hal ini hukum acara
Peradilan Agama. Menueut H Roihan A Rasjid mengatakan, kekuatan
putusan pengadilan adalah :
1. Kekuatan mengikat ( bindenden kracht )
2. Kekuatan Bukti ( bewijzende kracht )
3. Kekuatan eksekutorial (executoriale kracht ).
Suatu putusan mempunyai kekuatan mengikat dan mempnyai kekuatan
bukti dan kekuatan bukti ialah setelah mempunyai kekuatan hukum teap ( in
kracht ). Suatu putusan dikatakan in kracht iadal apabila upaua hukum seperti
verzet, banding kasasi tidak dipergunakan dan tenggang waktu untuk itu
sudah habis, atau telah mempergunakan upaya hukum tersebut telah selesai.
Upaya hukum terhadap putusan yang in kracht tidak ada lagi kecuali upya
hukum Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung dengan alas an – alas an
sangat tertentu. Sekalipun ada upaya hukum peninjauankembali ( upaya
hukum luar biasa ), tidak menghalangi upaya eksekusi tersebut , karena
putusan tersebut mempunyai daya eksekusi. Demikian juga putusan tersebut
mempunyai daya bukti autentik, yang kebenaranya tidak dapat disangal/
dimentahkandengan apapun ( dibuat oleh lembaga yang berwenang ( H Roihan
A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, hal.210 ).
KUHAP. sendiri tidak mengatur hal ini dengan tegas, hanya mengatur
putusan yang dapat dieksekusi diatur dalam pasal 270 KUHAP. Penulis
sependapat dengan diatas, hanya saja perlu dibatasi bahwa putusan tersebut

118
mempunyai kekuatan mengikat perlu dibatasi, karena KUHAP sendiri tidak
menganut asas perseden ( hakim tidak terikat dengan putusan pengadilan yang
terdahulu dalam kasus yang sama ) . Sistem Pembuktian menurut KUHAP ?
Yakni system pembuktian negative , menentukan hakim tidak boleh
memutus suau perkara tanpa dikuatkan oleh minimm alat bukti yang ditentu
kan dalam undang – undang disertai dengan keyakinan. Hal ini dapat dilihat
dalan Pasal 183 KUHAP, menentukan “ Hakim tidak boleh menjetuhkan
pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang – kurangnya dua
alat buti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar
– benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya ( Luhut M
P Pengaribuan , Hukum Acara Pidana , Suatu Kompilasi Ketentuan – Ketentuan
KUHAP dan Hukum Internasionan Yang Relevan, hal. 62 ).
Tujuan ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya keadilan, kebenaran
dan kepastian hukum ( perhatikan asas dalam hukum acara pidana ).

B. PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN

Sesudah putusan pengadilan diucapkan oleh hakim dimuka sidang, maka selesailah
tugas hakim dalam menyelesaikan perkara.
Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap,
dilakukan oleh jaksa untuk dilaksanakan ( di exsecutie).
Untuk pelaksanaan exsecutie itu panitera pengadilan mengirimkan salinan surat putusan
kepada jaksa.
Dalam hal putusan pidana mati pelaksanaannya dilakukan tidak dimuka umum akan
tetapi menurut ketentuan undang-undang.
Jika putusan pengadilan menjatuhkan pidana “penjara atau kurungan” dan kemudian
dijatuhi pidana yang sejenis, sebelum ia menjalani pidana yang dijatuhkan terdahulu, maka
pidana itu dijalankan berturut-turut dimulai pada pidana yang dijatuhkan lebih dahulu. (pasal
271)
Jika putusan pengadilan menjatuhkan pidana “denda” kepada terpidana diberikan
jangka waktu satu bulan untuk membayar denda tersebut kecuali dalam putusan acara
pemeriksaan cepat yang harus seketika dilunasi.
Jika waktu satu bulan tersebut dapat diperpanjang untuk paling lama satu bulan lagi.

119
Jika putusan pengadilan juga menetapkan bahwa barang bukti dirampas untuk Negara,
selain pengecualian sebagaimana tersebut pada pasal 46, jaksa menguasakan benda tersebut
kepada kantor lelang, yang hasilnya dimasukkan ke kas Negara untuk dan atas nama jaksa (
lihat dalam Andi Hamzah Pelaksanaan Putusan Pewngadilan , juga Leden
Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Kedua ).
Jangka waktu tiga bulan tersebut dapat diperpanjang untuk paling lama satu bulan.
(pasal 273) . Dalam hal pengadilan menjatuhkan juga putusan ganti kerugian sebagaimana
dimaksud dalam pasal 99, maka pelaksanaannya dilakukan menurut tata cara putusan
perdata. (pasal 274)
Apabila lebih dari satu orang dipidana dalam satu perkara, maka biaya perkara atau
ganti kerugian, maka biaya perkara dibebankan kepada mereka bersama-sama secara
berimbang. (pasal 275)
Dalam hal pengadilan menjatuhkan pidana “bersyarat” maka pelaksanaannya dilakukan
dengan pengawasan serta pengamatan yang sungguh-sungguh dan menurut ketentuan
undang-undang. (pasal 276).
Putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap ( in kracht van gewijsde ). Yang dimaksud dengan putusan tetap
adalah :
1. Apabila terdakwa maupun penutut umum telah menerima isi putusan pengadilan;
2. Apabila tenggang waktu untuk mengajukan upaya hukum banding telah lewat ;
3. Apabila permohonan banding telah diajukan, kemudian permohonan tersebut
dicabut kembali;
4. Apabila ada permohonan gerasi yang diajukan disertai permohonan penangguhan
penahanan;
5. Apabila terdakwa dijatuhi pidana denda, maka pelaksanaannya adalah :
“Terpidana diberi jangka waktu untuk membayar denda tersebut selama satu
bulan. Kecuali dalam putusan pemeriksaan cepat, pdana denda harus segera
dibayar. Apabila ada alas an yang kuat sehingga denda belun dapat dibayar,
maka jangka waktu satu bulan tersebut diatas dapat diprerpanjang untuk paling
lama satu bulan” ( Anzori Zabuan dkk, op. cit hal 223 ).
6. Dalam hal putusan pengadilan juga menetapkan perampasan barang bukti, maka
jaksa menguasakan kepada Kantor Lelang Negara untuk menjual lelang barang
bukti tersebut dalam waktu tiga bulan. Hasil lelang ini dimasukkan ke Kas Negara

120
untuk dan atas Nama Jaksa. Jangka waktu tiga bulan ini dapat diperpanjang untuk
paling lama satu bulan;
7. Jika putusan pengadilan yang dijatuhkan berupa pidana bersyarat, maka
pelaksanaannya dilakukan dengan pengawasan serta pengamatan sungguh –
sungguh dan menurut ketentuan undang – undang.

121
BAB XIV
PEMBUKTIAN

1. Pengertian
Pembuktian merupakan hal yang sangat pelik dan penting. Justru pembuktian
menempati titik sentral dalam hukum acara pidana. Adapaun tujuan dari pembuktian adalah
untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materiil dan bukan untuk mencari kesalahan
seseorang. Van Bemmelen terjemahannya mengatakan “ pembuktian ialah usaha untuk
memperoleh kepastian yang layak dengan jalan memeriksa dan penalaran dari hakim:
a. Mengenai pertanyaan apakah peristiwa atau perbuatan tertentu sungguh pernah
terjadi
b. Mengenai pertanyaan mengapa peristiwa itu terjadi maka dari itu pembuktian terdiri
dari
1) Menunjukkan peristiwa-peristiwa yang dapat diterima oleh panca indra
2) Memberikan keterangan tentang peristiwa-peristiwa yang telah diterima tersebut
3) Menggunakan pikiran logis “ (Ansorie Sabuan dkk .Op. cit h 186 ).
Maka dari itu pembuktian terdiri dari :
1. Menunjukkan peristiwa – peristiwa yang dapat diterima akal sehat;
2. Memberikan keterangan tentang peristiwa yang telah diterima tersebut;
3. Menggunakan pikiran logis.
Jadi pengertian membuktikan sesuatu berarti menunjukkan hal-hal yang dapat ditangkap
oleh panca indra mengutamakan hal-hal tersebut dan berpikir secara logika. Hal ini
dilakukan demi kepentingan hakim yang harus memutus perkara. Menemukan kejadian yang
konkret bukan yang abstrak. Sekalipun hakim tidak melihat peristiwanya tetapi dia bisa
menggambarkan peristiwa yang sebenarnya dan akhirnya memperoleh keyakinan.

2. Teori/system Pembuktian
a. System keyakinan belaka
Hakim dianggap cukup mendasarkan terbuktinya suatu keadaan atas keyakinan belaka,
dengan tidak terikat oleh norma-norma hukum yang ada, dengan system ini hakim dapat
mencari dasar putusannya menurut perasaan semata-mata dengan perasaan tersebut
dapat menentukan apakah suatu keadaan dianggap terbukti atau tidak. Dalam system ini
hakim tidak diwajibkan mengemukakan alasan-alasan hukum yang dipakai dasar
putusannya namun hakim dalam putuannya menyebut alat-alat bukti yang dipakai,

122
hakim bebas menunjuk alat bukti itu termasuk upaya pembuktian yang sekiranya sulit
diterima akal sehat. Kelemahan system ini dengan mudah memasukkan kesan pribadi
seorang hakim atau factor subjektifitas seorang hakim. Dan terhadap putusan – putusan
atas dasar system pembuktian ini sukar untuk dilakukan penelitian bagi hakim atasan,
karena tidak dapat mengetahui pertimbangan hakim yang menjurus terhadap terbitnya
putusan.

b. System menurut UU positif (positif wettelijk system)


Dalam system ini undang-undang menentukan secara limitative alat bukti yang dapat
dipakai oleh hakim, cara bagaimana hakim dapat menggunakannya, alat bukti itu telah
dipakai secara yang ditentukan oleh undang-undang, hakim harus dan berwenang untuk
menetapkan terbukti tidaknya suatu tindak pidana yang diperiksa walaupun dia belum
begitu yakin dengan kebenaran putusannya. Bila tidak dipenuhi persyaratan tadi, maka
hakim akan mengambil putusan yang sejajar artinya bahwa putusan harus berbunyi
tentang sesuatu yang tidak dapat dibuktikan adanya walau dalam hal ini hakim yakin
atas hal tersebut. System ini melulu menurut ketentuan undang-undang dengan
mengabaikan nilai kepercayaan tentang diri pribadi hakim. Menurut system ini hakim
dianggap sebagai corongnya undang-undang, kepastian hukum dikejar atau didapatkan
tetapi nilai keadilan tidak tercapai karena rasa keadilan dalam masyarakat senantiasa
akan berubah.

c. System menurut UU negative (negative wettelijk system)


Menurut teori ini hakim boleh menjatuhkan pidana apabila ditentukan oleh undang-
undang dan mendapat keyakinan hakim, artinya di dalam menjatuhkan putusan
keyakinan hakim di dasarkan kepada ketentuan hukum yang berlaku. Disini terlihat
ketentuan undang-undang diterapkan dan demikian juga halnya dengan keyakinan
hakim. Hal ini sesuai dengan tujuan daripada hukum acara pidana sekalipun undang-
undang menentukan bahwa terdakwa itu bersalah tetapi hakim tidak yakin dengan
kesalahannya maka menurut system ini seseorang tidak dapat di hukum. Untuk
konkretnya dapat dilihat dalam ketentuan pasal 183 KUHAP: Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya 2
alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-
benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

123
Sebagaimana disebutkan diatas , menurut tiori ini hakim baru boleh menyatakan seorang
terdakwa bersalah jika telah dapat dipenuhinya syarat – syarat bukti menurut undang –
undang ditambah keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa. Dengan demikian
walaupun sudah didapatkan cukup bukti yang sah, jika hakim tidak yakin, ataupun
walaupun telah yakin tetapi jika bukti yang sah belum cukup, maka hakimbelum boleh
menjatuhkan putusan atas kesalahan atas diri terdakwa.. Dalam system pembuktian yang
negative ini, alat – alat bukti secara limitative ditentukan dalam undang – undang, dan
bagaimana mempergunakannya , hakim juga terikat pada ketentuan undang – undang.

d. System pembuktian bebas (vrije bewijsttheorie)


Menurut teori ini bahwa hakim dalam memakai dan menyebutkan alasan-alasan untuk
mengambil keputusan sama sekali tidak terikat pada penyebutan alat-alat bukti yang
ditentukan undang-undang, melainkan hakim bebas diperkenankan memakai alat-alat
bukti lain asal berdasar kepada alasan yang tetap menurut logika. System ini dalam ilmu
pengetahuan disebut dengan teori conviction raissonee. Menurut teori ini alat dan cara
pembuktian tidak ditentukan dalam undang-undang. Hal ini tidaklah berarti bahwa
menurut tiori tersebut tidak dikenal alat bukti dan cara pembuktiannya. Hanya semua itu
tidak dipastikan dalam undang – undang sewbagaimana tiori yang ada.
Dalam membicarakan pembuktian menyangkut beberapa hal, antara lain:
1) Alat pembuktian artinya adalah alat yang dipakai untuk membantu hakim dalam
menggambarkan kembali tentang kepastian bahwa pernah terjadinya tindak pidana.
2) Penguraian pembuktian artinya cara mempergunakan alat bukti tersebut. Sejauh mana
keterlibatan alat bukti tersebut dalam perbuatan yang dilakukan terdakwa.
3) Kekuatan pembuktian artinya pembuktian dari masing-masing alat bukti, misalnya:
sejauh mana bobot alat bukti tersebut terhadap perbuatan yang dilakukan terdakwa
(pasal 184 KUHAP)
4) Dasar pembuktian adalah isi dari alat bukti misalnya keterangan seorang saksi bahwa ia
melihat sesuatu, disebut alat bukti. Tapi keadaan apa yang dilihatnya, yang dialaminya,
yang diterangkannya disebut dasar pembuktian.
5) Beban pembuktian, menyangkut siapakah yang diwajibkan untuk membuktikan atau
siapa yang mempunyai beban pembuktian dalam hal ini harus diingat azas presumption
of innocence (perhatikan undang-undang no 4 tahun 2004 dan pasal 66 KUHAP) yang
disebut dengan asas praduga tidak bersalah.

124
3. Jenis-jenis Alat Bukti
Jenis alat bukti dapat dilihat dalam pasal 184 KUHAP. Antara lain :
a. Keterangan saksi,
Dapat dilihat dalam pasal 1 butir 27 menentukan : keterangan saksi adalah dalam perkara
pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana, yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari
pengetahuannya itu. Keterangan saksi sebagai alat bukti ditentukan dalam pasal 185 ayat
1 KUHAP yang menentukan keterangan saksi sebagai alat bukti iallah apa yang saksi
nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan saksi yang dapat dipakai sebagai alat bukti
harus memenuhi:
1) Syarat formil; artinya keterangan seorang saksi dianggap sah jika diberikan di bawah
sumpah (pasal 160 ayat 3). Keterangan yang tidak diberikan di bawah sumpah tidak
bisa dipakai sebagai alat bukti. Tetapi dipakai sebagai tambahan alat bukti.
Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa
bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan. Perhatikan azas unus testis nullus
testis.
2) Syarat materiil; dapat dilihat dalam pasal 1 butir 27 jo pasal 185 ayat 1 KUHAP:
keterangan saksi sebagai alat bukti apabila keterangan tersebut dinyatakan disidang
pengadilan, mnegenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri,
dan ia alami sendiri dengan menyebut alasannya. Oleh karena itu keterangan saksi
yang tidak didasarkan kepada hal diatas tidak dapat dipakai sebagai alat pembuktian
yang sah. Kesaksian yang didengar dari orang lain tidak diakui oleh undang-undang
sebagai alat pembuktian yang sah.
Dalam menilai kebenaran, hakim memperhatikan:
1. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain
2. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain
3. Alasan yang mungkin dipergunakan saksi untuk memberikan keterangan tertentu
4. Cara hidup dan kesusilaan saksi, segala sesuatu yang pada umumnya yang dapat
mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

b. Keterangan ahli
Mereka dapat bertindak sebagai ahli:
1) Seorang ahli yang ditanya pendapatnya mengenai sesuatu soal, ia hanya
mengemukakan pendapatnya berkaitan dengan kasus.

125
2) Seorang saksi ahli yang ditanya pengetahuannya mengenai suatu perkara. Orang ini
menyaksikan barang bukti atau saksi diam melakukan pemeriksaan dan
mengemukakan pendapatnya (otopsi).
Pengertian umum keterangan ahli dapat dilihat dalam pasal 1 butir 28: keterangan ahli
ialah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang
hal yang diperlukan untuk mmbuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan.
Pasal 186 KUHAP : keterangan ahli sebagai alat bukti yaitu: apa yang seorang ahli
nyatakan dalam sidang pengadilan jadi keterangan tersebut harus dinyatakan dalam
sidang.

c. Surat
Pengertiannya dapat kita lihat dalam ketentuan pasal 187 KUHAP: Surat sebagaimana
tersebut dalam pasal 187 ayat 1 huruf c dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan
sumpah adalah:
1) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang atau dibuat dihadapannya yang memuat keterangan tentang kejadian atau
keadaan yang ia dengar, ia lihat, atau dialami sendiri
2) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangan atau surat yang dibuat
oleh pejabat mengenai hal termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung
jawabnya yang dipakai bagi pembuktian.
3) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya
mengenai suatu keadaan yang dimita secara resmi
4) Surat lain yang hanya bisa berlaku yang ada hubungannya dengan isi dari alat
pembuktian yang lain.

d. Petunjuk
Diatur dalam ketentuan pasal 188 KUHAP. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau
keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lainnya, maupun
dengan tindak pidana itu sendiri menandakan telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa
pelakunya. Petunjuk bukan merupakan alat bukti langsung, tetapi pada dasarnya adalah
hal-hal yang disimpulkan dari alat-alat pembuktian lain, menrut ketentuan pasal 188 ayat
2 KUHAP, hanya dapat diperoleh dari:
1). Keterangan saksi

126
2). Surat
3). Keterangan terdakwa

e. Keterangan terdakwa
Pengakuan terdakwa adalah pernyataan terdakwa bahwa ia melakukan tindak pidana dan
menyatakan dialah yang bersalah. Sedangkan keterangan terdakwa tidak usah merupakan
pengakuan bersalah, pemungkiranpun dapat dijadikan bukti sehingga pengertiannya lebih
luas. Pasal 189 menyatakan: keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan terdakwa
di sidang tentang perbuatan yang dilakukannya atau diketahuinya sendiri atau dialaminya
sendiri. Keterangan terdakwa sebagai alat bukti harus dinyatakan di sidang jika diberikan
diluar sidang hal ini dapat dipergunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang
asal hal itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang
didakwakan. Keterangan terdakwa saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa
bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan melainkan harus dinilai dengan alat
bukti yang lain.

127
BAB XVII
PERKARA KONEKSITAS
1. Pengertian Koneksitas
Yang dimaksud dengan perkara koneksitas adalah : suatu tindak pidana yang
dilakukan bersama – sama leh mereka yang termasuk yurisdiksi peradilan umum disalah
satu pihak dan eradilan militer dilain pihak. Dimana mereka secara bersama – sama
melakukan suatu tundak pidana untuk mewujudkan suatu delik.
Karena mereka tundauk pada norma hukum yang berbeda, maka cara penyelesaian
kasusnyapun berbeda pula ( Anzori Zabuan dkk, op. cit hal. 116 ).
Untuk menetapkan apakah pengadilan umum atau pengadilan militer yang berhak
untuk memereksa perkara tersebut, Hal ini sangat ditentukan oleh kerugian yang
ditimbulkan sebagai akibat tindak pidana tersebut. Untuk menentukannya maka
dipandang perlu untuk melakukan penelitian bersama antara jaksa/ jaksa Tinggi dengan
oditur Militer / Oditor Militer Tinngi. Hasil penyelidikan tersebut dilapuorkan kepada
Jaksa Agung atau Oditor Jenderal ABRI.
Perkara Koneksitas merupakan salah satu lembaga baru setelah keluarnya KUHAP, yang
mungkin tidak diatue dalam Undang – undang Hukum Acara Pidana
Negara lain ialah koneksitas atau peradilan terhadap gabungan orang – orang sipil dan
ABRI sebagai tersangka atau terdakwanya ( Andi Hamzah, op. cit. hal 296 ).
Peraturan ini bermula dengan diundangkannya Undang – Undang No 14 tahun
1970 tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dalam pasal 22
ditentukan bahwa perkara demikian diperiksa dan diadili oleh peradilan umum, kecuali
jika menurut Ketentuan Mentri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Mentri
Kehakiman perkara tersebut harus diperiksa dan diadili oleh peradilan dilingkungan
peradilan militer . Jadi ketentuan tersebut menguamakan peradilan umum. Kemungkinan
peradilan Militer hanya merupakan hal yang sekunder, artinya, jika MENHANKAM
fasif, maka peradilannya terus berlangsung diperadilan umum. Hal ini senada dengan
asas tri logi peradilan, terutama proses peradilan yang cepat ( Andi Hamzah, , ibid. hal
295 ).
2. Dasar Hukum
Salah satu lembaga baru yang sebelumnya tidak diatur dalam Hukum Acara Pidana
adalah perkara Koneksitas. Karena sebelumnya tidak pernah diatur, jika terjadi suatu

128
tindak pidana yang pelakunya adalah orang – orang sipil dan militer. Dasar hukum
perkara koneksitas :
1. Pasal 22 UU No. 14/ 1970, tentang Undang – Undang Pokok Kekuasaan
Kehakiman  Perhatikan penjelasan diatas.
2. Pasal 89 sampai dengan Pasal 94 KUHAP.
3. Surat Keputusan Bersama Mentri Pertahanan Keamanan dan Mentri Kehakiman
telah diterbitkan tanggal 29 Desember 1983 KEP.10 / XII/ 1983 M. 57.PR.09.03
Tahun 1983
4. Keputusan Bersama Mentri Kehakiman, Mentri Pertahanan, Panglima Angkatan
Bersenjata, Ketua MA dan Jaksa Agung RI No. KEP/ B/ 61/ XII/1971 tanggal 7
Desember 1971 ( Lampiran XX ).
Pasal 89
(1). Tindak pidana yang dilakukan bersama – sama oleh mereka yang termasuk lingkungan
peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh peradilan
dalam lingkungan peradilan umum, kecuali menurut keputusan Mentri Pertahanan dan
Keamanan dengan persetujuan Mentri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili
oleh peradilan dalam lingkungan peradilan Militer;
(2). Penyidikan Perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilaksanakan oleh satu
tim tetap yang terdiri dari penyidik sebagai mana dimaksud pasal 6 dan Polisi Militer
Angkatan Bersenjata RI. Dan oditor militer dan oditor militer tinggi sesuai dengan
wewenang mereka masing – masing menurut hukum yang berlaku untuk penyidikan
perkara pidana.
(3). Tim sebagai mana dimaksud dalam ayat 2 dibentuk denga surat Keputusan Bersama
Mentri Pertahanan dan Keamanan dan Mentri Kehakiman.

Pasal 90 menentukan
(1). Untuk menetapkan apakan pengadilan militer atau pengadilan mum yang akan
mengadili perkara pidana sebagaimana yang dimaksud psasal 89 aya 1 diadakan penelitian
bersama oleh jaksa atau jaksa tinggu dan oditor militeratau oditor militer tinggi atas dasar
hasil penyidikan tersebut pada pasal 89 ayat 2;
(2).Pendapat dari penelitian …………………. Dst.
(3). Jika dalam penelitian itu terdapat persesuaian tentang pengadilan yang berwenang
……………………. Dst.

129
Pasal 91
(1). Jika menurut pendapat sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat 3 titik berat kerugian
ditimbulkan pada keentingan umum dan karenanya perkara pidana harus diadili oleh
pengadilan dilingkungan pengadilan umu, maka perwira menyerahkan perkara melalui
oditor militer tinggi kepada penuntut umum untuk dijadikan dasar untuk mengajukan
perkara kepengadilan negeri yang berwenang.
(2). Apabila menurut pendapat itu titik berat kerugian yang ditimbulka oleh tindak pidana
tersebut terletak pada kepentingan militer sehingga …………………. Dst.
(3). Surat keputusan trsebut pada ayat 2 dijadikan dasar ……………….. dst ( Luhut M P
Pangaribuan, op. cit. hal 33 , dan pasal 93, 94 baca sendiri ).
Berdasarkan ketentuan pasal 89 ayat 1 diatas perlu dikaji lebih dalam apakah yang
dimaksud dengan bersama – sama dan pengadilan umum dan pengadilan militer ?.

Bersama – Sama
Penjelasam umum pasal 89 ayat 1 mencatumkan cukup jelas. Semestunya penjelasan
tersebut memuat pengertian bersama – sama dan pengadilan milite, karena KUHAP
hanya mengatur pengadilan umum demikian pula denga bersama – sama bisa diartikan
sebagai terjemahan mede dader . Dengan memahami rumusan pasal 89 ayat 1 dapat
ditafsirkan
1. Penyertaan ( Turut serta ) yakni deelneming;
2. Mede da dader sebagai mana dimaksud Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Penyertaan pada suatu delik milite yang murni oleh seorang yang buan militer dan perkara
penyertaan dimana unsr militer melebihi unsir sipil isalnya, dapat dijadikan dasar untuk
menetapkan Pengadilan lain dari padaPengadilan Umumialah Pengadilan Militer untuk
mengadili perkara tersebut ( Leden Merpaung , Proses Penangnan Perkara Pidana Penyelidikan
dan Penyidikan Nagian Pertama hal. 152 ).

Peradilan Umum dan Peradilan Militer


Pasal 10 UU No 4 / 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman membedakan antara liam dan
sebuah Mahkamah Konstitusi dan masing – masing lingkungan pengadilan mempunyai
wewenang mengadili perkara tertentu dan meliputi badan peradilan tingkat pertama dan
banding. Pengadilan Agama, Militer dan Tata Usaha Negara, merupakan pengadilan khusus,
karena mengadili perkara – perkara tertentu sedangka , kecuali Mahkamah Konstitusi

130
merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir. Pengadilan Umum adalah pengadilan
bagi rakyat pada umumnya baik perkara perdata maupun perkara pidana . ( ibid . hal 153 ).
Sidang Pengadlan Tinggi Tentara memeriksa pada tingkat banding terhadap putusan
Pengadilan tentara ( Pangkat Kapten kebawah ) dan tingkat pertama bagi yang berpangkat
Mayor keatas. Sidang Mahkamah Tentara Agung melakukan pemeriksaan tingkat kasasi
terhadap putusan Pengadilan Tentara, tingkat Banding dan terakhir bagi putusan Pengadilan
Tentaa Tiunggi dan peradilan tingkat pertama dan terakhir bagi sekretaris Jendral
Pertahanan, Panglima Besar , Kepala Staf
Angkatan Perang, Kepala Staaf Angkatan Darat, Udara dan Laut, yang diatur dalam UU
No 1 Drt 1951 jo. UU No 5 Tahun 1950, jo UU No 1 Drt 1958 , jo UU No 2 Tahun 196 dan
UU No 5 Tahun 1986. ( ibid ).

3. Penyidikan
Penyidikan perkara koneksitas diatur dalam Pasal 83 ayat 2 dan 3 KUHAP. :
“Penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilaksanakanoleh suatu
tim tetap yang terdiri dari penyidik sebagaimana Pasal 6 dan Polisi Militer Angkatan
Bersenjata RI. Dan Oditor Militer atau Oditor Militer Tinggi yang sesuai dengan
wewenang masing – masing menurut hukum yang berlaku untuk penyidikan perkara
Pidan”. Selanjutnya ayat 3 menentukan
“ Tim sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dibentuk denga Surat Keputusan Bersama
Mentri Pertahanan dan Keamanan dan Mentri Kehakiman”.SAurat Keputusan Mentri
Bersama berdasarkan pasal 89 ayat 3 KUHAP. tetapi Surat keputusan bBersama
tersebut berdasarkan Pasal 22 UU No 14 Tahun 1970 telah diterbitkan Surat Keputusan
Bersama Mentri Kehakiman, Mentri Pertahanan, Panglima Angkatan Bersenjata, Ketua
Mahkamah Agung dan Jaksa Agung RI. No Kep / B / 61 / XII / 1971 tanggal 7 Desember
1971 ( Lampiran XX ). Terdapat perbedaan mengenai aparat penyidik oerkara
koneksitas pada kedua Keputusan bersama tersebut, karena Kejaksaan berdasarkan
KUHAP untuk proses penyidikan tindak pidana umum tidak berwenang lagi melakukan
penyidikan. Tetapi terhadap perkara tertentu dengan ketentuan khusus acara pidana,
unsure Kejaksaan diikut sertakan yang diatur oleh pasal 7 Keputusan Mentri Kehakiman
dan Mentri Pertahanan Keamanan tanggal 29 Desember 1983 ( Leden Merpaung, op. cit
hal. 156 ).
Berdasarkan Undang – Undang Darurat No. 1 Drt 1958 dalam penjelasan resmi
antara lain tercantum :

131
“……………….. dikemukakan prinsip – prisip / ketentuan sebagai berikut :
1. ………………………………………………
2. Masing – masing atasa atau komando bertanggung jawab atas ketertiban dan kemanan
dalam kesatuannya, maka :
a. Atasan / Komando militer lain dalam acara pidana tentara sedapat mungkin
janganlah merugikan asas – asas sub 1 dan 2 diatas.
Mengingat hal diatas maka titik berat tanggung jawab penyelesaian perkara pidana
seoang miter dalam fase pertama / permulaan tidak mungkin lagi dibebankan
kepada Jaksa Tentara, akan tetap atasan militer, Komandan Militer dan Panglima
Angkatan” ( ibid ).
Selanjutnya tercantum sebagai berikut :
“………………………………..atasan yang berhak menghukumlah yang
melakukan pengusutan/ pemeriksaan permulaan tas seorang militer yang menjadi anak
buahnya. Dan sebagai pengusut dan pengusut pembantu magistraat ia tidak lagi
bekedudukan dibawah pimpinan/ perintah Jaksa Tentara ………. “. ( ibid ).
Pasal 6 UU No 1 Drt 1958 ayat 3 antara lain enentukan :
“……………. Atasan yang berhak menghukum …………..” berhak
menyerahkan pengusutan / pemeriksaan perkara tersebut kepada Polisi Angkatan
dengan ketentuan bahwa baik polisi ngkatan maupun Jaksa Tentara tersebut tidak campr
tangan dalam soal penahana tersebut ( ibid ).
Pasal 89 ayat 3 KUHAP menentukan penyidikan atas perkara koneksitas adalah :
1. Penyidik Polri/ PPNS. Yag memeriksa tersangka non ABRI / sipil;
2. Polisi Militer ABRI dan
3. Oditur/ oditur Militer Tinggi, yang memeriksaanggota ABRI.
Karena rumusan Pasal 89 ayat 2 KUHAP. mencantumkan rumusan “ sesuai dengan
wewenang masing – masing “ maka pameriksaan saksi –saksi / akhli yang terdiri dari
ABRI diperisa Polisi Militer ABRI/ Oditur atau Oditur Militer Tinggi, sedangkan
yang non ABRI/ sipil diperiksa oleh penyidik POLRI / PPNS dan tindak pidana
tertentu dengan ketentuan – ketentuan khusus acara pidana dapat diperiksa oleh Jaksa.
Pemeriksaan anggota ABRI baru dapat dilaksanakan jika ANGKUM menyerahkan
pemeriksaan kepada Polisi Militer ABRI/ Oditur Militer Tinggi ( ibid ).

132
4. Penentuan Peradilan
Setelah tim selesai melakukan pemeriksaan penyidikan, maka dilkukan penelitian
bersama oleh Oditur / Oditur Milter Tinggi dengan Jaksa / Jaksa Tinggi. Hasil
penelitian bersama tersebut terdiri dari :
a. Hasil penelitian bersesuaian ( pendapat yang sama ) : adalah tolak ukur
mengenai penentuan peradilan yang akan mengadili perkara koneksitas titik
berat kerugian yang ditimbulkan / diakibatkan tindak pidana tersebut. Jika
titik berat itu berada pada kepentingan umum, maka perkara tersebut akan
diadili oleh peradilan umum, dan jika titik berat kerugian adalah kepentingan
militer, maka yang memeriksa perkara tersebut adalah peradilan Militer ( ibid)
Jika perkara koneksitas tersebut diperiksa dan diadili oleh peradilan
umum, maka Perwira Penyerah Perkara ( PEPERA ) membuat Surat
keputusan penyerahan perkara. Berdasarkan Surat Keputusan tersebut
PEPERA melalui Oditur/ / Oditur Militer Tinggi menyerahkan perkara
koneksitas tersebut kepada Kejaksaan/ Penuntut Umum ( ibid ).
Berdasarkan hal ii maka Penuntut Umm melimpahkan perkara tersebut ke
Pengadilan Negeri yang berwenang denga surat pelimpahan perkara beserta
durat dakwaan. Jika perkara tersebut diperiksa oleh peradilan Militer maka
Oditur / Oditur Militer Tinggi mengajukan hasil penelitian bersama . Kepada
Oditur Jendral ABRI untuk pengusulan agar dengan persetujuanMentri
Kehakiman MENHANKAM. Menerbitkan Surat keputusan yang
menetapkan perkara koneksitas tersebut diperiksa dan diadili oleh Peradilan
Militer. Surat Keputusan MENHANKAM menjadi dasar bagi jaksa / Jaksa
Tinggi untuk menyerahkanperkara kepada Oditur / Oditur Militer Tinggi
sebelum melimpahkan perkara tersebut kepada peradilan Militer, maka
Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik POLRI/ PPNS/ Jaksa
dibubuhi catatan bahwa berita acara telah diambil alih olehnya ( ibid ).
b. Hasil penelitian yang berbeda / berselisih, yang hasilnya drumuskan dalam
bentuk Berita Acara serta ditanda tangani oleh masig – masing peneliti. Jika
hasil penelitian perkara koneksitas tidak bersesuaian pendapat, antara Jaksa /
Jaksa Tinggi denga Oditur / Oditur Militer Tinggi , maka masing – masing
membuat laporan tertulis. Jaksa/ Jaksa Tinggi melaporkan hal tersebut kepada
Jaksa Agung RI. Dan Oditur/ Odtur Militer Tinggi melaporkan kepada Oditur
Jendral ABRI, berdasarkan hasil penelitian tersebut melakukan musyawarah.

133
Jika tidak terdapat penyesuaian pendapat, maka pendapat Jaksa Agung RI lah
yang menentukan / Pasal 93 ayat 3 KUHAP ( ibid ).

5. Majelis Hakim Perkara Koneksitas


Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 94 KUHAP, menentukan :
1. Majelis hakim sekurang – kurannya tirdiri dari 3 orang hakim;
2. Jika yang memeriksa Pengadilan Negeri, maka ketua Majelis Hakim dari
lingkungan peradilan umum, dan anggota dari pengadilan negeri 1 orang dari
lingkungan Peradilan Militer 1 orang;
3. Jika yang memeriksa di lingkungan Peradilan Militer, maka hakim ketua dari
lingkunga Peradilan Militer, sedang hanik anggota masing – masing satu
orangdari lingkungan peradilan umum/ Negeri dan satu orang dari Peradilan
Militer;
4. Pengangkatan Hakim Ketrua dan Hakim Majelis jika perkara koneksitas
diperiksa oleh Peradilan umum/ Negeri, maka Mentri Kehakimanmenentukan
setelah ada usul MENHANKAM.
5. Jika Peradilan Militer yang mengadii maka pengangkatan Hakim Ketua
adalah Hakim Anggota diangkat MENHANKAM. Setelah ada usul dari
Mentri Kehakiman .
6. Komposisi hakim majelis untukPeradilan tingkat banding itu disesaikan
dengan hal tersebut diatas ( ibid ).

134
BAB XV
KEBERATAN ( EKSEPSI ) DALAM PERKARA PIDANA.
1. PENGERTIAN EKSEPSI
Istilah eksepsi/ keberatan merupakan istilah teknik yuridis, ketentuannya dapat dilihat
dalam pasal 156 ayat 1 KUHAP. Tetapi sebelumnya dalam praktek dikenal dengan
“tangkisan atau eksepsi”, terjemahan dari bahasa Belanda excepte atau exception (
Inggris ) , merupakan serapan bahasa Katin yakniexceptio, exceptie.
Untuk memahami apa yang dimaksud dengan ekspsi tersebut, kita melihat kepada
pendapat para sarjana, yang dikenal dengan istilah doktrin seperti :
1. Rd Achmad Suma Dipradja, SH merumuskan , beliau memakai istilah tangkisan :
adalah alat pembelaan dengan tujuan yang utama untuk menghindarkan diadakan
putusan tentang pokok perkara, karena apabila tangkisan ini diterima oleh Pengadilan,
pokok perkara tidak perlu diperiksadan diputus ( Rd. Achmad S Soema Dipradja,
Pokok – Pokok Hukum Acara Pidana Indnesia, Alumni Bandung, 1977, hal. 67 )
2. I B Ngurah Adi SH, beliau member istilah “eksepsi”, mengatakan bahwa adalah
keberatan yang diajukan oleh terdakwa atau Penasehat Hukum bahwa Pengadilan
tidak berwenang mengadili perkaranya, atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat
dakwaan harus dibatalkan ( I B Ngurah Adi, SH, Majalah Varia Peradilan Th IV, No.
72, juli 1991, Ikatan Hakim Indonesia ( IKAHI), h. 134 – 139 , dalam Lilik Mulyadi
op.cit. hal. 112 ).
Jadi dengan demikiandapat dikatakan bahwa keberatan adalah merupaan upaya
hukum yang bersifat incidental, berupa tangkisan sebelum dilakukan pemeriksaan
materi perkara denga tujuan menghindarkan diadakannya pemeriksaan dan putusan
akhir dari pokok perkara. Acara pemeriksaan dalam hal keberatan pada dasarnya
merupakan pemeriksaan persiapan , untuk menentukan aakah pemeriksaan pokok
perkara dapat dilanjutkan sampai putusan akhir.
Dengan melihat aspek diatas, batasan keberatan mencakup :
1. Berisi tangkisan atau pembelaan, yang belum menyinggung pokok perkara;
2. Ruang lingkup dan luas keberatan, pengadilan tidak berwenang mengadili
perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau dakwaan harus dibatalkan;
3. Diajukan oleh pihak terdakwa atau penasehat hukum;
4. Putusan diambil setelah jaksa mengajukan pendapatnya.

135
Sedangkan jikamengacu pada ketentuan pasal 156 KUHAP, yang dimaksud dengan
keberatan / eksepsi adalah :
1. Keberatan yang diajukan oleh terdakwa atau penasehat hukumnya terhadap
kewenangan pengadilan karena menurut pendapatnya pengadilan yang
bersangkutan tidak berwenang mengadili perkara tersebut;
2. Keberata yang diajukan terhadap surat daskwaan penuntut Umum, dengan alas an
surat dakwaan tersebuttidak memenuhi persyaratan materiil sebagai mana
ditentukan dalam pasal 143 ayat 2 b KUHAP. dan oleh karenanya terdakwa atau
penasehat hukumnya mohon agar dakwaan dinyatakan batal demi hukum;
3. Keberatan yang diajukan oleh terdakwa atau penasehat hukum atas kewenangan
penntut umum menuntut perkara tersebut dengan alas an kekeliruan menerapkan
hukum pidana materiil atau hukum pidana formal, dsan olehkarenanya
dimohonkan agar dakwaan penuntut umum dinyatakan tidak dapat diterima (
kedaluwarsa , pasal 78 KUHP ).

3. JENIS – JENISEKSEPSI
a. Exceptio Obscuri Libelli artinya : Terdakwa atau penasehat hukum mengajukan
keberatan terhadap surat dakwaan denga alas an bahwa dakwaan yang disusun
penuntut umum telah disusun secara tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap
sehingga dakwaan kabur ( obscure libel);
b. Exeptio Litis Pendentia artinya : terdakwa atau penasehat hukum mengajukan
keberata terhadap kewenangan pengadilan untuk mengadili perkara tersebut baik
kewenangan yang bersifat absolute maupum yang bersifat relative ( wewenang
mengadili / kompetensi ).
c. Exceptie Peremtoir artinya : Terdakwa atau penasehat hukum mengajukan
keberatan atas dasar bsahwa kewenangan penuntut umum untuk menuntut perkara
tersebut sudah gugur, misalnya telh kedaluwarsa ( pasal 78 KUHP ).
d. Exceptio Rei Judicate ( Ne bis in Idem ), pasal 76 KUHP.artiny terdakwa tidak
boleh dituntut untuk kedua kalinya dalam hal yang sama yang sudah pernah
diputus oleh pengadilan dan putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum
tetap.Jika hal ini dilakukan maka terdakwa atau penasehat hukum berhak untuk
mengajukan eksepsi dan mohon kepada hakim untuk tidak menerima dakwaan
jaksa.

136
e. Exceptio Error in Persona, artinya : bahwa jaksa telah keliru mendakwa
seseorang atau kekeliruan mengenai pelaku kejahatan, karena orang lainlah yang
harus bertanggung jawab atas dakwaan tersebut, oleh karenanya terdakwa /
penasehat hukum mohon agar dakwaan jaksa tidak dapat diterima.
f. Eksepsi atas kekeliruan penerapan hkum artinya : terdakwa atau penasehat hukum
mengajukan alas an bahwa penuntut umum dalam menyusun dakwaannya telah
keliru menerapkan unsdang – undang , misalnya penuntut umum tidak
melaksanakan pasal 1 ayat 2 KUHP. Padahal terjadi perubahan peraturan
perundang – undangan.

SIKAP PENUNTUT UMUN TERHADAP EKSEPSI


Setelah terdakwa / penasaehat hukum iberi kesempatan untuk membacakan
eksepsinya, maka giliran jaksa untuk menanggapi isi eksepsi tersebut, dalam praktek
peradilan hal ini disebut dengan REPLIK JAKSA.
Jadi yang dimaksud dengan replik adalah jawaban/ jawaban jaksa terhadap eksepsi
yang diajukan oleh terdakwa/ penasehat hukum. Replik ini diajukan jaksa untuk hari
persidangan berikutnya, dengan catatan bahwa jaksa minta kepada majelis hakim
untuk menunda persidangan, agar jaksa dapat mempersiapkan replik dengan matang/
sempurna. Untuk menyusun replik ini, jaksa melakukan inventarisasi materi eksepsi
yang diajukan terdakwa/ jaksa, dengan mempersiapkan materi beserta dasar hukum
berupa undang – undangyang mengatur hal tersebut, atau hal ini dapat juga
dilakukanberdasarkan kepada pendapat para sarjana/ akhli hukum , yurisprudensi.
Replik ini dibuat oleh jaksa sudah barabng tentu harus mendukung isi dakwaan jaksa
sesuai dengan ketentuan pasal 143 ayat 2 b KUHAP.

SIKAP TERDAKWA/ PENUNTUT UMUM ATAS REPLIK.

Jawaban/ tanggapan atas replik yang diajukan oleh jaksa penuntut umum disebut
dengan DUPLIK. Hal ini merupakan kesempatan yang kedua/ terakhir untuk pihak
terdakwa/ penasehat hukum. Isi daripada dupli kini adalah biasanya menguatkan
eksepsi dari terdakwa/ penasehat hukum, dan berusaha untuk melemahkan isi replik
yang diajukan jaksa dengan menyebutkan kelemahan dari dasar hukum yang diajukan
jaksa, yang berkaitan dengan perkara tersebut.Dalam penyusunan duplik ini juga

137
diwajibkan untuk mencantumkan dasar hukum atau yurisprudensi atau doktrin/
pendapat para akhli hukum sebagai dasar untuk melemahkan isi dari replik jaksa.

SIKAP HAKIM ATAS EKSEPSI


Dengan adanya eksepsi jaksa/ terdakwa, akan berakibat pemeriksaan pokok
perkara akan menjadi tertunda, karena hakim terlebih dahulu harus member penilaian
atas eksepsi terdakwa/ penasehat hukum, dan hakim member putusan terhadap hal ini,
dalam praktek disebut dengan PUTUSAN SELA ( catanan materi eksesi belum
menyinggung pokok perkara ).
Jika materi eksepsi sudah menyinggung pokok perkara, maka penilaian hakim
terhadap eksepsi akan diputus bersama dengan putusan akhir.
Apabila para pihak ( jaksa dan penasehat hukum/ terdakwa ) berkeberatan untuk
menerima isi putusan sela tersebut, maka dia diberi kesempatan untuk melawan
putusan sela yang disebut dengan PERLAWANAN/ KEBERATAN .
Perlawanan ini diajukan ke Pengadilan Tinggi, dan dalam tenggang waktu 14 hari,
Pengadilan Tinggi harus sudah mengeluarkan putusan dalam bentuk penetapan, yang
isinya member penilaian terhadap isi putusan Pengadilan Negeri ( 156 ayat 3, 4
KUHAP. ).
Jika eksepsi terdakwa/ penasehat hukum tidak diterima dipengadilan negeri, maka
perlawanan terdakwa/ penasehat hukum dapat diajukan bersamaan dengan
permohonan banding ke Pengadilan Tinggi ( pasal 156 ayat 5 a KUHAP ). Pengadilan
tinggi sebelum memeriksa pokok perkara yang dimohonkan banding, harus
memeriksa eksepsi terdakwa/ penasehat hukum.
Jika pengadilan tinggi dalam putusannya menyatakan dakwaan jaksa batal demi
hukum, maka materi pokok perkara yang dimohonkan banding tidak perlu diperiksa
lagi. Penuntut umum yang dakwaannya dinyatakan batal atau tidak dapat diterima ,
dia dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

138
BAB XVI
PIHAK – PIHAK YANG TERLIBAT DALAM HUKUM ACARA
PIDANA
1. POLISI ( UU No. 2 / 2002 )
Dalam ketentuan pasal 2 UU No 2 / 2002 menentukan, fungsi kepolsian adalah
salah satu fungsi pemerintahan dibidang :
a. Pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. Penegakan hukum;
c. Perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam system peradilan pidana polisi merupakan aparatpenegak hukum
terdepandan dia dituntut bertindak propesional . Dalam melaksanakan tugas
penyidikan, polisi tidak dibenarkan melakukan kekerasan/ tekanan kepada
tersangka yang tujuannya untuk mendapak pengakuan. Hal ini sangat berkaitan
dengan :
a. Keterangan terdakwa bukan merupakan alat bukti dalam perkara pidana (
perhatikan pasal 185 KUHAP );
b. Gaya kemiliteran dalam hal penyidikan tidak dibenarkan lagi ( polisi
sebagai pelindung, pengaom dasn pelayan masyarakat ).
c. Sistem pemeriksaan dalam hukum acara pidana menganut sistem
accusatoir.
Salah satu tugas penting polisi dapat dilihat dalam pasal 14 UU No 2 / 2002
adalah melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua perkara pidana
sesuai dengan KUHAP. kecuali UU menentukan lain.
Tugas lain dari polisi adalah melakukan tindakan diskresi, dimana polisi dalam
melaksanakan tugas kepolisian dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
Diskresi adalah kebebasan untuk mengambil keputusan dalam setiap situasi yang
dihadapi menurut pendapatnya sendiri. Dengan kewenangan diskresi ini sudah
barang tentu akan menimbulkan permasalahan didalam masyarakat. Disini polisi
dituntut dengan sangat hati – hati untuk menggunakan tindakan diskresi ini.
Jenis diskresi pada intinya ada 2 antara lain :
a. Diskresi aktif , adalah kewenangan berupa menindak pelaku ( represif )
namun kemudian dihentikan pemeriksaan kasus tersebut atas pertimbangan
lebih baik menghentikan pemeriksaan disbanding dengan bila dilanjutkan

139
kepengadilan. Misal penganiayaan , dimana antara pelaku dengan korban
telah terjadi perdamaian ( pasal 351 KUHP.).
b. Diskresi pasif, adalah tindakan polisi untuk mendiamkan/ tidak melakukan
penyidikan atas kasus dengan alasan ketentuan undang – undang yang
dilanggar tidak sesuai/ relepan lagi denga keadaan/ tuntutan jaman. Misalnya
polisi tidak melakukan tuntutan hukum terhadap petugas PL KB. Yang mem-
pertontonkan alat – alat yang bersifat kontrasepsi ( pasal 534 KUHP ).

Alasan diskresi :
1. Penggunaan hukum adat dirasa lebih efektif dibandingkan dengan
menerapkan UU;
2. Sanksi Hukum adat dirasa lebih baik bagi pelaku dan korban dan
masyarakat;
3. Tindakan diskresi akan lebih bermanfaat jika dibandingkan dengan semata
– mata menggunakan UU;
4. Atas kehendak pelakudan korban ( pasal 351 KUHP ).
5. Diskresi tidak bertentangan dengan kepentingan umum.

2. JAKSA / PENUNTUT UMUM ( UU No 16 / 2004 ).


Menurut ketentuanpasal 2 ayat 1 ditentukan, Kejaksaan adalah lembaga
pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara dibidang penuntutan serta
kewenangan lain berdasaran undang – undang. Dengan melihat ketentuan diatas
terlihat bahwa tugas dan wewenang jaksa adalah bertindak dan atas nama Negara
serta bertanggung jawab menurut herarhi, melakukan penu ntutang dengan
keyakinan berdasarkan pada alat – alat bukti yang sah, bertidak berdasarkan
hukum dan perundang – undangan dengan mengindahkan norma agama ,
kesusilaan, wajib menjungjung nilai yang hidup dalam masyarakat.
Jaksa selaku penu ntut umum berwenang juga melakukan pemeriksaan
tambahan yang kurang lengkap hasil penyidikan polisi, dengan memperhatikan
terhadap perkara yang sulit pembuktiannya, meresahkan masyarakat, atau
membahayakan Negara, dengan selalu berkoordinasi dengan penyidik ( Polri ).
Dalam penegakan hukum pidana , jaksa diberi wewenag yang lain juga
yakni berlakunya asas oportunitas dalam penuntutan, yang dilakukan oleh Jaksa
Agung. Jaksa agung berwenang untuk mengenyampingkan perkara pidana (

140
deponir ) untuk kepentingan umum. Hal ini berkaitan dengan alas an kebijakan.
Sedangkan deponering dengan teknis antara lain :
1. Perkara tidak cukup bukti
2. Bukan merupakan suatu tindak pidana
3. Dititup demi hukum ( terdakwa meninggal, ne bis in idem ,
kedaluwarsa ).

3. PENGADILAN ( HAKIM ).
Lembaga pengadilan merupakan salah satu lembaga Negara yang mempunyai
tugas dan wewenang untuk memeriksa dan memutus perkara yang diajukan kepadanya.
Lembaga ini harus independen, dan tidak dapat dicampuri oleh lembaga lainnya dalam
hal memeriksa suatu perkara. Dalam penegakan hukum pidana , lembaga ini berhak
untuk menentukan seseorang terdakwa terbukti bersalah atau tidak. Jika dia terbukti
melakukan suatu tindak pidana, maka hakim karena jabatannya harus menyatakan
dengan tegas kesalahan terdakwa, dan menjatuhkan hukuman yang sesuai dengan kadar
perbuatannya. Dan jika terjadi hal sebaliknya, bahwa seorang terdakwa setelah
menjalani pemeriksaan didepan siding pengadilan dan ternyata perbuatan yang
didakwakan kepadanya tidak terbukti dengan syah dan meyakinkan hakim atau
perbuatannya bukan merupakan suatu perbuatan pidana sesuai dengan dakwaan jaksa,
maka oleh pengadilan harus pula dinyatakan dengan tegas dan menjatuhkan putusan
untuk membebaskannya dari segala tuntutan hukum atau melepaskan terdakwa dari
segala dakwaan jaksa dalam suatu putusan.
Atau bahkan terjadi hal yang sebaliknya, jika terdakwa melakukan perbuatan dan
hukum tidak mengaturnya, maka disini hakim harus pula berani untuk mengambil
sikap untuk menghukum seseorang dengan cara untuk mencari dan menemukan hukum
atau mengagali hukum yang hidup dalam masyarakat.

PENALARAN HUKUM ( LEGAL REASONING ) HAKIM.


Penalaran hukum pada intinya dapat dibagi menjadi 2 macam :
1. Penalaran hukum dalam arti luas;
2. Penalaran hukum dalam arti sempit ( Henket dalam Sutara Djaja, 2008,
Prektek Peradilan Pidana, Bagian Hukum Acara, Fakultas Hukum ).

141
Penalaran hukum dalam arti luas, merupakan proses psikologis hakim yang harus
dijalani dalam memutus atau mencapai putusan atas suatu masalah hukum yang
sedang dihadapi, hal ini terdiri dari :
1. Gagasan/ ide hakim,
2. Prasangka/ praduga,
3. Perasaan/ emosi intelektual,
4. Kepercayaan diri
5. Prilaku atau keteladanan hakim.
Hakim dalam memutus suatu perkara memiliki moto/ semboyan antara lain :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan simbul bintang/ Kartika,
2. Berkeadilan dengan simbul Cakra,
3. Bijaksana, dengan simbul Candra,
4. Jujur, dengan simbul Tirtha,
5. Berprilaku tidak tercela dengan simbul Sari/ bunga ( ibid ).

Penalaran Hukum dalam arti sempit adalah logika hukum yang dipergunakan
hakim dalam mengambil putusan pengadilan dengan memakai dua cara antara
lain :
1. Secara Induksi
2. Secara Deduksi ( ibid ).
Sewcara induksi artinya : merumuskan fakta – fakta , mencari hubungan
kausal/ sebab akibat, dan mereka – reka probabilitas. Merumuskan fakta diartikan
sebagai menginventarisasi bebbagai fakta yang berkaitan dengan masalah hukum
yang sedang dihadapi. Fakta ini didapat dari bukti – bukti yan ada, sejauh mana
bukti yang diajukan mendukung tindak pidana yang didakwakan jaksa.
Murumuskan hubungan kausal, hal ini berkaitan dengan jenis hukum yang ada.
Misalnya bidang hukum pidana, hukum perdata atau bidang hukum yang lainnya.
Mereka – reka probabilitas, hal ini sangat ditentukan setandar pembuktian yang
didukung oleh alat – alat bukti dan beban pembuktiannya.
Secara deduksi artinya pada dasarnya langkah ini merupakan langkah
penerapan hukum setelah semua fakta terkumpul. Hal ini dimulai dengan
mengidentifikasi aturan hukum yang relepan dengan masalah hukum yang
dihadapi. Aplikasi legal reasoning / penalaran hukum pada putusan hakim ( yudec
faktie ) dalam arti sempit pada dasarnya adalah langkah induksi dan deduksi

142
dalam hal hakim mengambil putusan konkrit terhadap suatu kasus. Langkah –
langkah ini disebut dengan langkah analisis hukum, terdiri dari :
1. Pengumpulan – pengumpulan fakta,
2. Mengklasifikasi permasalahan hukum,
3. Pengidentifikasian dan pemilihan aturan hukum yang relepan,
4. Penemuan hukum yang berkaitan dengan masalah hukum ya ng ada,
5. Penerapan hukum ( ibid ).

4.ADVOKAT ( BANTUAN HUKUM ) => UU No 18 / 2003


Merupakan salah satu sub system dalam penegakan hukum pidana di Indonesia.
Advokat dapat member kontribusi dalam hal untuk mencapai proses hukum yang adil ( due
process of law ) . Dalam penerapan system ini, setidaknya didengarkan pula pendapat dari
terdakwa atau penasehat hukum/ pembela, diberi kesempatan untuk mengajukan pembelaan
dengan pembuktian yang sah pula, dengan tujuan untuk tidak menerapkan proses peradilan yang
memihak.
Dalam pasal 5 UU No 18 / 2003 ditentukan dengan tegas : Advokat bersetatus sebagai
Penegak hukum, bebas, dan mandiri dan dijamin oleh hukum dan perundang – undangan.
Sedangkan pengawasan terhadap advokat dilakukan oleh Organisasi advokat, yang dulu
dilakukan oleh lembaga Pengadilan ( pasal 12 ayat 1). Perhatikan istilah yang terdapat dalam
hukum dengan tiori yang mengatakan : asas lex posteiori derogate lex priori artinya : UU yang
berlaku belakangan akan mengesampingkan UU yang berlaku duluan

143
DAFTAR PUSTAKA
1. Prof. DR Wirjono Prodjodiora, S, Hukum Acara Pidana di Indonesia
2. R S M Amin, Hukum Acara Pengadilan Negeri
3. R Soesilo, Hukum Acara Pidana, Prosedur Penyelesaian Perkara Menurut
KUHAP Bagi Penegak Hukum
4. Lilik Mulyadi, Hukum Acara Piana, Suatu Tinjauan Khuus Terhada Surat Dakwaan,
Eksepsi dan Putusan Peradlan
5. S Suma Dipradja, Pokok – Pokok Hukum Acara Pidana Indonesia, Alumni Bandung
6. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana Di Indonesia
7. Soepomo, Hukum Acara Pidana
8. Anzori Zabuan, Petanase, Rubeb Achmad, Hukum Acara Pidana
9. Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana
10. MR R Tresna, Peradilan di Indonesia Dari Abad ke Abad
11. Marwan Efendi, Kejaksaan RI, Posisi dan Fungsinya Dari Persepektif Hukum
12. Moch Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Dalam Tiori dan Praktek
13. A Karim Nasution, Masalah Surat Tuduhan Dalam Proses Pidana
14. H Roihan A Rasjid, Hukum Acara Peadilan Agama
15. S F Marbun, Peradilan Adminitrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia
16. Luhut M P Pangaribuan, Hukum Acara Pidana Suatu Komplasi Ketentuan –
ketentuan KUHAP dan Hukum Internasional Yang Relepan
17. Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana Penyelidikan dan Penyidikan
Bagian Pertama.

144
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
BAB I PENDAHULAN ……………………………………………………… 1
1. Arti Hukum Acara Pidana……………………………………………… 1
2. Ujan Hukum Acara Pidana …………………………………………… 3
3. Fungsi Hukum Acara Pidana ………………………………………... 3
4. Sifat Huum Acara Pidana …………………………………………… 3
5. Sistem Hukum Acara Pidana ………………………………………… 4
6. Asas - Asas Hukum Acara Pidana …………………………………… 5
7. Ilmu - Ilmu Pembantu Hukum Acara Pidana ………………………. 11
Bab II Sejarah Hukum Acara Pidana Di Indonesia ………………………… 13
Bab III Ruang Lingkup dan Sumbe – Sumber Hukum Acara Pidana ……… 17
1. Ruang Lingkup Huku Acaa idana ……………………………….. . 17
2. Sumber – Sumber Hukum Acara Pidana ………………………….. 18
Bab IV Pihak - Pihak Dalam Hukum Acara Pidana ……………………… 21
1. Tersangka / Terdakwa …………………………………………….. 21
2. Jaksa Penuntut Umum ………………………………………………. 22
3. Penyidik Dan Penyelidik ………………………………………….. 25
4. Hakim ………………………………………………………………. 28
5. Penasehat Hukum …………………………………………………. 29
Bab V Kekuasaan Kehakiman dan Organisasi Kehakiman ………………… 32
1. Hakim Dan Kekuasaan Kehakiman ………………………………... 32
2. Badan Kehakiman …………………………………………………. 33
Bab VI Penyelidikan Dan Penyidikan ……………………………………… 35
1. Penyelidikan …………………………………………………………. 35
2. Penyidikan ………………………………………………………… 38
Bab VII Penangkapan, Penahanan, Penggledahan, Penyitaan ………………. 41
1. Penangkapan ……………………………………………………….. 41
2. Penahanan ………………………………………………………….. 42
3. Penggledahan ………………………………………………………… 47
4. Penyitaan ……………………………………………………………… 48
Bab VIII Penuntutan …………………………………………………………… 52
1. Pra Penuntutan ……………………………………………………… 52

145
2. Penuntutan ………………………………………………………. 54
3. Beberapa Hal dalam Penuntutan ………………………………… 55
4. Surta Dakwaan ………………………………………………….. 56
Bab IX Pra Peradilan ……………………………………………………… 63
1. Arti Pra Peradilan ………………………………………………. 63
2. Tugas Dan Wewenang Pra Peradilan …………………………… 64
3. Prosedur Pra Peradilan …………………………………………. 65
4. Acara Pemeriksaan Pra Peradilan ………………………………. 65
5. Upaya Hukum dan Isi Putusan Pra Peradilan …………………… 67
Bab X Ganti Rugi dan Rehabilitasi ………………………………………. 68
1. Arti Ganti Kerugian dan Rehabilitasi …………………………… 68
2. Prosedur Pengajuan Tuntutan ganti Rugi dan Rehabilitasi ……… 70
Bab XI Pemeriksaan Di Sidang Pengadilan ……………………………… 72
1. Panggilan dan Surat Dakwaan ………………………………….. 72
2. Memutus Senketa Mengadili …………………………………… 74
3. Acara Pemeriksaan Biasa ………………………………………. 77
4. Acara Pemeriksaan Singkat ……………………………………. 95
5. Acara Pemeriksaan Cepat ……………………………………… 96
Bab XII Upaya Hukum Biasa …………………………………………….. 99
1. Banding …………………………………………………………… 99
2. Kasasi ……………………………………………………………. 103
Bab XIII Upaya Hukum Luar Biasa ………………………………………. 108
1. Gerasi …………………………………………………………….. 108
2. Peninjauan Kembali ( Herzaining ) …………………………….. 110
Bab XIV Putusan Pengadilan ………………………………………….. 113
1. Pengertian ……………………………………………………….. 113
2. Jenis Putusan ……………………………………………………. 114
3. Isi Putusan ………………………………………………………. 115
4. Bentuk Putusan ………………………………………………….. 118
5. Kekuatan Putusan Pengadilan Yang Telah In Krach ………….. 119
Bab XV Pelaksanaan Putusan Pengadilan …………………………………. 121
Bab XVI Pembuktian ……………………………………………………… 123
1. Pengertian …………………………………………………………. 123
2. Tiori / Sistem Pembuktian …………………………………… 123

146
3. Jenis – Jenis Alat Bukti ………………………………………. 126
Bab XVII Perkara Koneksitas …………………………………………… 128
1. Pengerian Koneksitas …………………………………………. 128
2. Dasar Hukum …………………………………………………. 129
3. Penyelidikan Perkara Koneksitas ……………………………. 131
4. Penentuan Peradilan Perkara Koneksitas ……………………. 133
5. Majelis Hakim Perkara Koneksitas …………………………, 134

Daftar Bacaan

147
Belum pasti ada TP
bagan hapid . Belum ada pelakunya
Belum ada upaya paksa
PERISTIWA Belum ada tindakan “Pro Justitia” Sudah tahu ada TP Penangkapan
HUKUM
Sudah ada tersangkanya, mungkin belum ditangkap Penahanan
Sudah ada upaya paksa Penggeledahan

PENYELIDIKAN Sudah ada pemeriksaan (BAP) Penyitaan


Sudah ada tindakan “Pro Justitia” Pemeriksaan Surat

KUHAP : Polri PENYIDIKAN KUHAP : Polri, PPNS Saksi Alat Bukti Van Venhoor
BAP
UU Lain UU Lain Ahli Barang Bukti Van Bevinding
Formil
Penyerahan Syarat
PENUNTUTAN Materiil Digabung
Surat Dakwaan Cara
Berkas Perkara Dipisah
(Pra Penuntutan) Macam
Tersangka & BB Tunggal
Pelimpahan SIDANG Kumulatif
PENGADILAN Alternatif
Sah/tidak Penangkapan, Penahanan
Sah/tidak penghentian Penyidikan/Penuntutan (Pra Peradilan) Subsidair Primair
UPAYA
Rehabilitasi / Ganti Kerugian Kombinasi Biasa
HUKUM
Luar Biasa
Surat Dakwaan Eksepsi Tanggapan PU Putusan Sela Pembuktian Requisitor

E. Diterima Yang Ingin Dibuktikan : SD EKSEKUSI Oleh Hakim


KUHAP oleh Jasa Pengawas &
E. Tidak dapat Diterima Caranya : Teori/Sistem Pembuktian
Doktrin Pengamat
E. Ditolak Sarana : Alat & Barang Bukti
Menghukum Siapa yang membuktikan : PU (TP
umum), PH (Korupsi)
Membebaskan Jaksa Menuntut
Melepaskan Teori Pembuktian : Dua alat bukti, Jaksa Membebaskan PENGAWASAN &
Keyakinan hakim : PENGAMATAN
Vonis Duplik Replik Pledoi Jaksa Melepaskan
BAGAN HUKUM ACARA PIDANA
( Suatu Rangkuman ).
K . Sudjana.
Pengertian Hukum Acara Pidana adalah hukum yang menagatur tentang bagaimana caranya
Negara memidana/ menghukum seseorang yang melanggar norma hukum pidana materiil.
Jadi HAPID adalah hukum proses, artinya jika terjadi pelanggaran terhadap aturan hukum,
maka pelaku harus mendapat hukuman yangsetimpal dengan perbuatannya. Misalnya dalam
Hukum Pidana adanya larangan tentang membunuh seseorang (Pasal 338 KUHP) yang
diancam pidana paling tinggi 15 tahun, lalu bagaimana negara yang mengatur kepentingan
umum menerapkan hukum yang tertulis tersebut dalam KUHP ? Maka dibuatlah aturan yang
akan melaksanakan KUHP tersebut yaitu Hukum Acara Pidana, dalam hal ini memakai
KUHAP dan peraturan-peraturan lain yang terdapat diluar KUHAP, misalnya terdapat dalam
UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dalam UU No. 20
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (apabila seseorang diduga melakukan tindak pidana
korupsi), atau aturan hukum yang lainnya seperti UU No 26/2006 tentang Pengadilan HAM
atau UU Yang lainnya seperti UU tentang Pencucian Uang ( money Loundring ).

Jadi, Hukum Acara Pidana merupakan aturan yang berisi pelaksanaan Hukum Pidana, yang
digunakan untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan, apabila terjadi suatu perbuatan yang
bermulai dari dugaan tindak pidana hingga tindak pidana.

Dalam hal ini masih menimbulkan dugaan-dugaan. Pada proses ini dicari
tahu tentang apakah telah terjadi tindak pidana atau tidak.

Peristiwa Hukum Misalnya :


Ditemukan Tirta berlumuran darah di tangga gedung D lantai 2 FH UNUD.

Jalur diketahuinya tindak pidana :


a. Pengaduan
b. Laporan
c. Tertangkap tangan
d. Informasi khusus
“Serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
Pengertian menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai
(Pasal
(Pasal 11 butir
butir 5 KUHAP)
KUHAP) tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya
dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini.”

Kesimpulan :
a. Belum pasti ada tindak pidana;
b. Belum ada pelakunya/tersangka;
c. Belum ada upaya paksa, misalnya penangkapan,
penahanan, penggeledahan, penyitaan, ataupun
pemeriksaan suratt;
d. Belum ada tindakan Pro Justitia.

CONTOH :
Ditemukan Abdullah berlumuran darah di tangga gedung B lantai 2 FHUNUD, biasanya
yang dilakukan oleh polisi adalah olah TKP. Dalam olah TKP tersebut polisi mencari tahu
apakah mayat tersebut dengan darah yang berada di kepalanya merupakan hasil dari
tindak pidana, misalnya pembunuhan karena pemukulan atau penusukan, atau Tirta jatuh
dari tangga lantai 3 karena tidak hati-hati. Jadi, tahap penyelidikan adalah menemukan
apakah suatu peristiwa hukum tersebut (ditemukan mayat Abdullah) terjadi karena tindak
pidana.
Penyelidikan
Pasal 1 butir 5
KUHAP (Pasal 4 KUHAP
KUHAP.
POLRI ( pangkat yang tertinggi hingga terendah)
Yang Berwenang
PENYELIDIK
UU Lain
HAM Berat : Komnas HAM
Korupsi : KPK, Polisi
Perairan : TNI-AL
Ps. Modal : Bapepam
Lingkungan Hidup : Bapedal
HAKI : Ditjen HAKI
Imigrasi : Ditjen Imigrasi
Penyelundupan : Bea Cukai

A. Karena wewenangnya :
i. menerima laporan atau pengaduan dari
seorang tentang adanya tindak pidana;
ii. mencari keterangan dan barang bukti;
iii. menyuruh berhenti seorang yang dicurigai
dan menanyakan serta memeriksa tanda
pengendal diri;
Tugas dan wewenang iv. mengadakan tindakan lain menurut hukum
(Pasal 5 KUHAP) yang bertanggung jawab.
B. Atas Perintah Penyidik :
i. penangkapan, larangan meninggalkan
tempat, penggeledahan dan penyitaan;
ii. pemeriksaan dan penyitaan surat;
iii. mengambil sidik jari dan memotret
seorang;
iv. membawa dan menghadapkan seorang pada
penyidik.
“Serangkaian
“Serangkaiantindakan
tindakanpenyidik
penyelidik
dalam
untuk
halmencari
dan menurut
dan
Pengertian cara
menemukan
yang diatur
suatudalam
peristiwa
undang-undang
yang diduga ini sebagai
untuk
(Pasal 1 butir 5 KUHAP) mencari
tindak pidana
serta mengumpulkan
guna menentukan bukti
dapat
yangatau
dengan
tidaknya
bukti
itudilakukan
membuat penyidikan
terang tentang
menurut
tindak cara
pidanayang
yangdiatur
terjadi
dandalam menemukan tersangkanya”
gunaundang-undang ini.”

Kesimpulan :
a. Sudah pasti terjadi tindak pidana;
b. Sudah ada tersangkanya, tapi mungkin saja belum
ditangkap;
c. Sudah mencari dan mengumpulkan bukti-bukti;
d. Mencari tahu tersangka/pelakunya;
e. Mencari korban (kadangkala);
f. Sudah ada pemeriksaan-pemeriksaan/Pro Justitia;
g. Sudah bisa dilakukan upaya paksa, misalnya
penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan,
ataupun pemeriksaan surat.

KUHAP (Pasal 9 KUHAP)


1. POLRI (pangkat Letnan Dua Polisi, Pasal 2 ayat (1)
huruf a PP No. 27 Tahun 1983)
2. PPNS : golongan II b
Yang Berwenang
Penyidikan PENYIDIK
UU Lain
HAM Berat : JAKSA AGUNG/PENYIDIK
Korupsi : KPK, Polisi, Jaksa.
Perairan : TNI-AL
Ps. Modal : Bapepam
HAKI : Ditjen HAKI
Imigrasi : Ditjen Imigrasi
Penyelundupan : Bea Cukai

Tugas dan wewenang Penyidik (pasal 7 KUHAP) :


a. menerima laporan atau pengaduan dari seorang
tentang adanya tindak pidana;
b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat
kejadian;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan
memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
Tugas dan Wewenang d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan
(Pasal 7 KUHAP) dan penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
sebagai tersangka atau saksi;
h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i. mengadakan penghentian penyidikan;
j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab.
a. Alat Bukti, Pasal 184 ayat (1) KUHAP
Diatur secara limitatif sekali dalam pasal 184 ayat
(1) KUHAP yaitu keterangan saksi, keterangan ahli,
surat, petunjuk, keterangan terdakwa, sehingga
selain yang disebutkan dalam pasal 184 ayat 91)
KUHAP bukan merupakan alat bukti.
b. Barang Bukti
i. Benda/barang yang digunakan untuk melakukan
tindak pidana, misal : pisau, pistol untuk
PEMERIKSAAN membunuh.
ii. Benda/barang yang menjadi tujuan tindak
pidana, misal : TV, Kulkas dalam aksi
pencurian.
iii. Benda/barang yang digunakan untuk membantu
tindak pidana, misal : obeng untuk mencongkel
rumah, tangga alat bantu dalam pencurian.
iv. Benda/barang yang menjadi hasil tindak pidana,
misal : uang palsu.
v. Benda/barang yang berupa informasi dalam arti
khusus, misal : sidik jari, foto, rekaman video,
rekaman CCTV.

Ingat ! Jika alat bukti ada, namun barang bukti tidak ada. Maka kekuatan pembuktiannya
lemah, sebaliknya jika barang bukti ada, namun alat bukti tidak ada, maka pembuktiannya
Penyidikan tidak kuat.
Contoh : dalam kasus pembunuhan ada keterangan saksi, namun tidak ada barang bukti
yaitu pisau yang digunakan dalam membunuh, maka kekuatan pembuktiannya sangat lemah
sekali. Begitu juga kalau diajukan pisau tanpa adanya keterangan saksi yang melihat barang
bukti tersebut maka bisa saja barang bukti tersebut dianggap mengada-ada.

Setelah dilakukan pemeriksaan, maka pemeriksaan itu


dituangkan dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan/
Process Verbal), yang dibagi menjadi 2 :
a. Van Verhoor : suatu BAP yang dibuat oleh
penyidik dengan memeriksa dan memberikan
pertanyaan-pertanyaan kepada seseorang, dimana
keterangannya dituangkan dalam bentuk tertulis
yang nantinya ditandatangani oleh kedua belah pihak
BAP yaitu yang memeriksa dan yang diperiksa.
(Process Verbal) b. Van Vevinding : suatu BAP yang dibuat secara
sepihak oleh penyidik dengan cara mendatangi
tempat-tempat tertentu, dan melihat lingkungan
sekelilingnya dan pendapat dari masyarakat sekitar
serta menuangkan temuan-temuan lapangan secara
tertulis dan ditandatangani oleh penyidik sendiri.

Perbedaannya adalah van verhoor tidak langsung


menjadi alat bukti dan itu hanya akan menjadi alat bukti
ketika sudah dibuktikan dalam persidangan, karena
mingkin saja dalam proses penyidikan orang yang
diperiksa berbohong atau mengada-ada ataupun tidak
tahu secara jelas. Sedangkan van bevinding akan
menjadi alat bukti karena didasarkan atas pengamatan
dari si pemeriksa yang telah disumpah.
Arti luas : termasuk mengambil foto, KTP, sidik jari.
Upaya Paksa BAP
(Process Vebal)
Arti sempit : Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan,
Penyitaan, Pemeriksaan Surat.

“Suatu tindakan penyidik berupa pengekangan


Pengertian sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa
Pasal 1 butir 20 KUHAP apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan
penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam
hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini”.

Diduga keras melakukan tindak pidana


Syarat penangkapan
Pasal 17 KUHAP
Bukti permulaan yang cukup  laporan polisi,
ditambah 1 alat bukti

Penangkapan Yang berwenang 1. Penyelidik atas perintah penyidik


Pasal 16 KUHAP 2. Penyidik dan penyidik pembantu

Jangka Waktu 1 Hari = 1 x 24 Jam


Pasal 19 jo
Pasal 1 butir 31 KUHAP

1. Memperlihatkan surat tugas.


2. Memberikan surat perintah penangkapan kepada
Prosedur tersangka yang memuat : identitas tersangka, alasan
Pasal 18 KUHAP penangkapan, uraian singkat kejahatan, tempat
pemeriksaan.
3. Memberikan surat tembusan perintah penangkapan
kepada keluarganya.
“Penempatan tersangka atau terdakwa di tempat
Pengertian tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim
Pasal 1 butir 21 KUHAP dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini”.

1. Penyidik/Penyidik Pembantu
Yang berwenang 2. Penuntut Umum
Pasal 20 KUHAP 3. Hakim PN, PT, MA

a. Hukum (objektif) :
i. Diduga keras melakukan tindak pidana.
ii. Cukup bukti  sekurang-kurangnya ada 2 alat
bukti (pasal 183 KUHAP).
iii. Ancaman pidana  lebih dari 5 tahun, kurang
Syarat Penahanan dari 5 tahun akan tetapi tindak pidana tertentu
Pasal 21 KUHAP yang disebutkan dalam pasal 21 ayat 4 hurtuf b.
b. Kepentingan (subjektif) :
i. Kekhawatiran akan melarikan diri.
ii. Kekhawatiran nakan merusak/menghilangkan
barang bukti.
iii. Kekhawatiran akan mengulangi tindak pidana.
Penahanan

Kedua syarat ini harus dipenuhi, ketika salah satu syarat saja tidak dipenuhi, maka belum
bisa dilakukan penahanan, karena ada beberapa prinsip dalam penahanan (filosofis yang
harus dipegang) :
A. Penahanan tersebut sangat melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) seseorang, oleh karena
itu sebaiknya penahanan tidak dilakukan, kecuali dalam hal-hal yang sangat diperlukan
dan tidak dapat dihindari seperti :
a. Dikhawatirkan akan melarikan diri
b. Dikhawatirkan akan merusak/menghilangkan barang bukti
c. Dikhawatirkan akan mengulangi tindak pidana
Tanpa ada alasan diatas, sebaiknya penahanan dihindari, kalaupun terpaksa dilakukan
karena memenuhi alasan diatas, maka penahanan tersebut harus dilakukan sesuai
dengan aturan-aturan, prosedur atau tata cara penahanan yang sangat ketat sesuai
ketentuan undang-undang.
B. Di dalam praktek penahanan digunakan prinsipo “kalau bisa tidak ditahan sebaiknya
jangan menahan seseorang”.
C. Penahanan tidak sama dengan penghukuman, oleh karena itu penahanan tidak boleh
ditafsirkan pencicilan hukuman. Namun demikian, apabila tidak dapat dihindari untuk
dilakukan penahanan, maka seluruh masa penghukuman tersebut harus dikurangi masa
penahanan.
D. Penahanan tidak boleh dibenturkan dengan rasa keadilan.
E. Penahanan tidak boleh membahayakan kesehatan dan keselamatan tersangka/terdakwa.

PERHATIKAN !!!.
PENAHANAN # PENGHUKUMAN
Tersangka/Terdakwa Terpidana
RUTAN LP
Masih dalam proses Berkekutan hukum
1. Memberikan surat perintah penahanan (produk dari
PU) atau penetapan Hakim (produk Hakim), yang
Prosedur memuat : identitas tersangka/terdakwa, alasan
Pasal 21 ayat (2) KUHAP penahanan, uraian singakt perkara kejahatan
dipersangkakan atau didakwakan.
2. Memberikan tembusan surat perintah penahanan
kepada keluarga.

a. RUTAN  tidak sama dengan LP.


b. Rumah  dalam prakteknya sudah hampir tidak ada
Jenis Tahanan
& sangat sulit, vonis dikurangi 1/3 waktu
Pasal 22 KUHAP
penahanan.
c. Kota  vonis dikurangi 1/5 waktu penahanan.

a. Surat permohonan;
b. Pernyataan dari tersangka/terdakwa  tidak akan
Penahanan Pengalihan Jenis Tahanan melarikan diri, merusak dan mengulangi tindak
Pasal 23 KUHAP pidana;
c. Jaminan dari keluarga/kerabat;
d. KTP;
e. Kartu Keluarga

a. Schorting  seseorang sudah ditahan, lalu kita


Penangguhan Tanahan meminta penahanan dihentikan.
Pasal 31 KUHAP b. Opschorting  orang belum ditahan, lalu kita
meminta agar tidak ditahan.

a. Uang  dipergunakan untuk mencari orang itu


(tersangka/terdakwa) apabila melarikan diri dan
jumlahnya disepakati dalam jumlah tertentu.
b. Orang  dipergunakan sebagai penjamin (keluarga
Jaminan Penahanan dekat tersangka/terdakwa atau orang yang dapat
Pasal 31 KUHAP dipercaya) apabila melarikan diri, maka pihak
keluarga harus menyetor sejumlah uang kepada kas
negara sebagai biaya mencari tersangka/terdakwa.
Yang menjaminkan contohnya keluarga, direktur
utama, dan bukan pengacara.

Cermati hal ini dengan saksama !!.

Kaitkan hal ini dengan HAM.


Jangka Waktu Penahanan
( ps 24 s/d 29 KUHAP).

Yang Berwenang Lamanya Perpanjangan Jumlah


Penyidik 20 hari [Pasal 24 ayat (1) KUHAP] 40 hari [Pasal 24 ayat (2) KUHAP] 60 hari
Penuntut Umum 20 hari [Pasal 25 ayat (1) KUHAP] 30 hari [Pasal 25 ayat (2) KUHAP] 50 hari
Hakim PN 20 hari [Pasal 26 ayat (1) KUHAP] 60 hari [Pasal 26 ayat (2) KUHAP] 90 hari
Hakim PT 20 hari [Pasal 27 ayat (1) KUHAP] 60 hari [Pasal 27 ayat (2) KUHAP] 90 hari
Hakim MA 20 hari [Pasal 28 ayat (1) KUHAP] 60 hari [Pasal 28 ayat (2) KUHAP] 110 hari
Total 400 hari
PENAHANAN
ISTIMEWA
Penyidik 30 hari [Pasal 29 ayat (2) KUHAP] 30 hari [Pasal 29 ayat (2) KUHAP] 60 hari
Penuntut Umum 30 hari [Pasal 29 ayat (2) KUHAP] 30 hari [Pasal 29 ayat (2) KUHAP] 60 hari
Hakim PN 30 hari [Pasal 29 ayat (2) KUHAP] 30 hari [Pasal 29 ayat (2) KUHAP] 60 hari
Hakim PT 30 hari [Pasal 29 ayat (2) KUHAP] 30 hari [Pasal 29 ayat (2) KUHAP] 60 hari
Hakim MA 30 hari [Pasal 29 ayat (2) KUHAP] 30 hari [Pasal 29 ayat (2) KUHAP] 60 hari
Total 300 hari
Total Keseluruhan 700 hari
8
Penahanan istimewa terjadi karena [Pasal 29 ayat (1) KUHAP] :
a. Tersangka/Terdakwa mengalami gangguan fisik/mental;
b. Tindak pidana yang diperbuat orang tersebut diancam 9 tahun/lebih.

Terhadap perpanjangan penahanan tersangka/terdakwa dapat mengajukan keberatan kepada :


a. Pada waktu penyidikan dan penuntutan kepada Ketua Pengadilan Tinggi [Pasal 29 ayat 7
huruf a KUHAP].
b. Pada waktu pemeriksaan PN dan PT kepada Ketua Mahkamah Agung [Pasal 29 ayat 7
huruf b KUHAP].

Coba dihubungkan dengan asas tri logi peradilan !!!!.


Penggeledahan Rumah
(Pasal 1 butir 17 KUHAP)
“Tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat
tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan
tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau
penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang.”
Jaminan Penahanan
Pasal 31 KUHAP
Penggeledahan Badan
(Pasal 1 butir 18 KUHAP)
“Tindakan penyidik untuk engadakan pemeriksaan
badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda
yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya
serta, untuk disita”.

1. Surat Izin Ketua Pengadilan Negeri  didapatkan


sebelum melakukan penggeledahan, namun dalam
keadaan yang mendesak maka boleh menggeledah
tapi harus diikuti izin kepada Ketua Pengadilan
Negeri.
2. Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh 2
Penggeledahan Prosedur penggeledahan
orang saksi (jika disetujui), apabila tidak disetujui
Pasal 33 KUHAP
maka harus disaksikan kepada/ketua lingkungan
ditambah 2 orang saksi (jika penghuni menolak/tidak
hadir).
3. Setelah 2 hari harus dibuat Berita Acara dan
tembusannya diberikan kepada pemilik/penghui
rumah.

1. Ruang MPR, DPR atau DPRD yang sedang


Wilayah yang tidak boleh bersidang;
digeledah 2. Rumah ibadah yang sedang berlangsung upacara
Pasal 35 KUHAP agama;
3. Ruang sidang pengadilan yang sedang berlangsung
sidang.
“Serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih
Pengertian dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda
Pasal 1 butir 16 KUHAP bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak
berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam
penyidikan, penuntutan dan

Prosedur 1. Surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri;


Pasal 38 ayat (1) KUHAP 2. Tidak perlu izin Ketua Pengadilan Negeri apabila
dalam keadaan mendesak.

Penyitaan
1. Benda/barang yang digunakan untuk melakukan
tindak pidana, contohnya : pisau.
2. Benda/barang yang menjadi tujuan tindak pidana,
Barang Bukti yang dapat contohnya : tv, kulkas.
Disita 3. Benda/barang yang digunakan untuk membantu
tindak pidana, contohnya : obeng.
4. Benda/barang yang tercipta/hasil tindak pidana,
contohnya : uang palsu.
5. Benda/barang yang berupa informasi khusus,
contohnya : sidik jari, foto.

1. Dalam penyidikan/penuntutan, barang sitaan dapat


dijual lelang/diamankan dengan disaksikan
Barang Bukti yang Mudah tersangka/terdakwa.
Rusak 2. Pada saat masuk pengadilan, maka benda sitaan
dapat diamankan/dilelang Penuntut Umum atas izin
Hakim dengan disaksikan terdakwa/kuasanya.

Pengertian Pengertian pemeriksaan surat tidak diatur dalam


KUHAP.

Pemeriksaan 1. Permintaan izin khusus kepada Ketua Pengadilan


Surat Negeri;
2. Memberikan surat tanda penerimaan;
3. Setelah diperiksa, jika terbukti maka dilampirkan
Prosedur pada berkas perkara, jika tidak terbukti maka
dikembalikan dengan mencantumkan cap yaitu
“telah dibuka oleh penyidik”.
4. Penyidik membuat Berita Acara;
5. Memberikan tembusan Berita Acara kepada kantor
pos/telekomunikasi yang bersangkutan.

Mengapa penyitaan dan pemeriksaan surat sangat penting dalam proses verbal !!!!.
“Wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan
memutus menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini, tentang :
a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau
Pengertian penahanan atas permintaan tersangka atau
Pasal 1 butir 10 KUHAP keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan atas permintaan demi
tegaknya hukum dan keadilan;
c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas
kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke
pengadilan”.

a. Dipimpin oleh Hakim tunggal yang ditunjuk oleh


Ketua Pengadilan Negeri dan dibantu oleh seorang
Praperadilan Mekanisme panitera;
Pasal 78 ayat (1) jo Pasal b. Setelah adanya permintaan maka dalam waktu 3
82 KUHAP hari, Hakim ditunjuk untuk menetapkan hari sidang;
c. Dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya 7
hari sudah harus menjatuhkan putusan.

Jika masih dalam proses praperadilan dan perkara sudah disidangkan, maka permohonan
praperadilan gugur. Akan tetapi praperadilan dapat diajukan tidak hanya pada tahap
penyidikan tapi juga pada tahap pemeriksaan (vide pasal 82 ayat (1) huruf e KUHAP.

a. Tidak dapat dimintakan Banding jika :


i. Penetapan sahnya atau tidka penangkapan,
Putusan penahanan.
Pasal 83 KUHAP ii. Penetapan sahnya penghentian penyidikan /
penuntutan.
b. Dapat dimintakan putusan akhir ke Pengadilan
Tinggi apabila penetapan tidak sahnya penghentian
penyidikan/penuntutan.

Tidak Dapat Dimintakan Banding Dapat Dimintakan Putusan Akhir


Penetapan sahnya penangkapan Penetapan tidak sahnya penghentian penyidikan
Penetapan sahnya penahanan Penetapan tidak sahnya penghentian penuntutan
Penetapan tidak sahnya penangkapan
Penetapan tidak sahnya penahanan
Penetapan sahnya pengentian penyidikan
Penetapan sahnya penghentian penuntutan
Pra Penuntutan

KUHAP menganut prinsip tindakan penyidikan harus dilakukan oleh penyidik (adanya
differential functional yang berbeda dengan H.I.R)

I
Penyerahan Pelimpahan
Penyidikan Penuntutan Pemeriksaan
Sidang Pengadilan

II Pasal 110 jo. Pasal 138 KUHAP

Penyerahan perkara terjadi dalam 2 tahap (Pasal 8 ayat (3) KUHAP) :


a. Tahap I : penyerahan perkara/berkas yang sudah ada dalam proses penyidikan yang
diberikan kepada Penuntut Umum. Apabila belum lengkap, maka Penuntut Umum
memberi catatan kepada penyidik untuk dilengkapi, apabila sudah lengkap maka keluarlah
P-211 dan akan masuk kedalam proses penuntutan.
b. Tahap II : Penyerahan tanggung jawab tersangka dan barang bukti (sudah berakhirnya dari
penyidik ke penuntut umum) sehingga adanya penyerahan secara fisik yaitu Barang Bukti
dan Tersangka.

Dinamakan Penyerahan, dikarenakan masih dalam lingkup eksekutif yaitu melaksanakan


perintah Undang-undang (penyidik). Dinamakan pelimpahan, dikarenakan sudah masuk
lingkup yudikatif yaitu menjalankan fungsi peradilan (penuntutan/penuntut umum).

Penyidikan Penuntutan Pemeriksaan


Penyidikan Pembuatan Sidang Pengadilan
(upaya paksa) Surat Dakwaan

Setelah proses penyidikan, maka beranjak ke proses penuntutan yang diawali dengan
pendaftaran perkara kepada panitera Pengadilan Negeri, lalu diberikan nomor register perkara
dan diserahkan kepada Ketua Pengadilan dan menetapkan Majelis Hakim.

Mengapa proses harus dilakukan dalam 2 tahap ?


Karena yang menuntut nantinya adalah Penuntut Umum yang didasarkan pada Surat Dakwaan
yang dilimpahkan ke sidang Pengadilan Negeri sehingga Penuntut Umum wjaib membuktikan
dalil-dalil dalam Surat Dakwaan yang notabene bahan-bahan dari Surat Dakwaan berasal dari
BAP hasil penyidikan. Kalau BAP-nya jelek maka Penuntut Umum akan membuat Surat
Dakwaan yang jelek pula, akibatnya Penuntut Umum akan babak belur di pengadilan. Oleh
karena itu, BAP harus diuji dahulu oleh Penuntut Umum sehingga BAP harus benar-benar
lengkap.
“Tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara
Pengertian pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal
Pasal 1 butir 7 KUHAP dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini
dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh
hakim di sidang pengadilan.”

KUHAP
1. Penuntut Umum (Pasal 13 jo. Pasal 137 KUHAP).
2. Penyidik atas Kuasa PU (Pasal 205 ayat (2)
Pengertian KUHAP).
Pasal 1 butir 7 KUHAP

UU Lain
Tindak Pidana Korupsi (KPK)
Penuntutan
1. Menerima dan memeriksa berkas perkara
penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu;
2. Mengadakan pra penuntutan apabila ada
kekurangan pada penyidikan dengan
memperhatikan ketetuan Pasal 110 ayat (3) dan
ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka
penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
3. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan
penahanan atau penahanan lanjutan dan atau
mengubah status tahanan setelah perkaranya
dilimpahkan oleh penyidik;
Tugas & Wewenang 4. Membuat surat dakwaan;
Pasal 14 jo Pasal 138 5. Melimpahkan perkara ke pengadilan;
KUHAP 6. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa
tentang ketentuan hari dan waktu perkara
disidangkan yang disertai surat panggilan, baik
kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk
datang pada sidang yang telah ditentukan;
7. Melakukan penuntutan;
8. Menutup perkara demi kepentingan hukum;
9. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan
tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut
ketentuan undang-undang ini;
10. Melaksanakan penetapan hakim.

Asas Opportunities (Kepentingan Umum)  Jaksa Agung


Ditutupnya perkara demi kepentingan umum, apabila dilanjutkan akan menimbulkan kerugian yang besar bagi
kepentingan umum, misalnya adanya teror bom di seluruh penjuru Indonesia.
Asas Deeponering (Kepentingan Hukum)  Penuntut Umum
Ditutupnya perkara demi kepentingan hukum, apabila adanya alasan hukum yang dapat menutup perkara
tersebut, misalnya tidak cukup alat bukti untuk menuntut terdakwa, matinya tersangka, dan lain-lain.

Perhatikan kasus Bibit – Candra yang perkaranya di deeponering oleh Jagung. Herman
Supanji.
Suatu surat yang dibuat oleh Penuntut Umum yang
Pengertian didasarkan atas BAP hasil pemeriksaan untuk
mendakwa kesalahan orang lain.

FORMIL (Pasal 143 ayat 92) huruf a KUHAP)


1. Nama Lengkap :
2. Tempat Lahir :
3. Umur/Tanggal Lahir :
4. Jenis Kelamin :
5. Kebangsaan :
6. Tempat Tinggal :
7. Agama :
8. Pekerjaan :
Syarat-syarat
Surat Dakwaan
MATERIIL (Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP)
1. Uraian Cemat : ketelitian Jaksa Penuntut Umum
dalam mempersiapkan Surat Dakwaan yang
didasarkan pada Undang-undang yang berlaku bagi
Terdakwa serta tidak terdapat kekurangan dan/atau
kekeliruan yang dapat mengakibatkan batalnya
Surat Dakwaan.
2. Uraian Jelas : Jaksa Penuntut Umum harus
mampu merumuskan unsur-unsur delik yang
didakwakan, sekaligus memadukan dengan uraian
pembuatan materiil (fakta) yang dilakukan oleh
Terdakwa dalam Surat Dakwaan.
Surat 3. Uraian Lengkap : uraian Surat Dakwaan harus
Dakwaan mencakup semua unsur-unsur yang ditentukan
Undang-undang secara lengkap.

Digabung  Pasal 141 KUHAP


1. Terdapat gabungan tindak pidana;
2. Terdapat gabungan tindak pidana yang ada sangkut
paut;
3. Terdapat gabungan tindak pidana yang tidak ada
sangkut pautnya.
Cara Membuat
Surat Dakwaan
Dipisah (Splitsing)  Pasal 142 KUHAP
Adanya gabungan tindak pidana dengan penyertaan
dalam tindak pidana tersebut. Biasanya dilakukan oleh
PU dalam hal kasus yang hanya diketahui oleh para
pelaku yang tidak dilihat langsung saksi.

1. Tunggal
2. Alternatif
Bentuk-bentuk 3. Kumulatif
Surat Dakwaan 4. Primer-Subsider (Berlapis)
5. Kombinasi
Contoh Surat Dakwaan Digabung Contoh Surat Dakwaan Dipisah

KEJAKSAAN NEGERI JAKARTA SELATAN KEJAKSAAN NEGERI JAKARTA SELATAN


Jalan Rambai Nomor 1 Jalan Rambai Nomor 1
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

“UNTUK KEADILAN” “UNTUK KEADILAN”

SURAT DAKWAAN SURAT DAKWAAN


No : PDM/123/VI/PN..Jak-Sel No : PDM/123/VI/PN..Jak-Sel

Identitas Terdakwa I Identitas Terdakwa I


1. Nama Lengkap : Tono Bin Angin Ribut 1. Nama Lengkap : Dewa Mabok
2. Tempat Lahir : Bandung 2. Tempat Lahir : Bandung
3. Umur/Tanggal Lahir : 23, 3 Oktober 1985 3. Umur/Tanggal Lahir : 23, 3 Oktober 1985
4. Jenis Kelamin : Laki-laki 4. Jenis Kelamin : Laki-laki
5. Kebangsaan : Indonesia 5. Kebangsaan : Indonesia
6. Tempat Tinggal : Jalan Bakso No. 3, Jak-Sel 6. Tempat Tinggal : Jalan Bakso No. 3, Jak-Sel
7. Agama : Islam 7. Agama : Islam
8. Pekerjaan : Guru 8. Pekerjaan : Guru

Identitas Terdakwa II Penahanan :


1. Nama Lengkap : Inem Binti Sembrono  Ditahan Penyidik Kepolisian Resort Jakarta Selatan tanggal 1
2. Tempat Lahir : Tegal Februari 2008 sampai dengan tanggal 10 Maret 2008.
3. Umur/Tanggal Lahir : 21 Tahun, 9 Juli 1987  Perpanjangan Penahanan oleh Penuntut Umum Kejaksaan Negeri
4. Jenis Kelamin : Perempuan Jakarta Selatan tanggal 11 Maret 2008 sampai dengan tanggal 11 Juni
5. Kebangsaan : Indonesia 2008.
6. Tempat Tinggal : Jalan Ketoprak No. 5 Jak-Sel  Ditahan Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan tanggal 12
7. Agama : Islam Juni 2008 sampai dengan tanggal 12 Juli 2008.
8. Pekerjaan : Pembantu Rumah Tangga  Ditahan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 12 Juli 2008 sampai
dengan sekarang.
Penahanan :
 Ditahan Penyidik Kepolisian Resort Jakarta Selatan tanggal 1 DAKWAAN :
Februari 2008 sampai dengan tanggal 10 Maret 2008. Bahwa mereka Terdakwa Dewa Mabok bersama-sama dengan Saksi
 Perpanjangan Penahanan oleh Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Inem Pelayan Jorok sejak tanggal 1 Januari 2008 sampai tanggal 30
Jakarta Selatan tanggal 11 Maret 2008 sampai dengan tanggal 11 Juni Januari 2008 atau setidak-tidaknya suatu hari pada bulan Januari 2008,
2008. bertempat di Jalan Buncit Gembrot No. 10, Kebayoran Baru, Jakarta
 Ditahan Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan tanggal 12 Selatan atau setidak-tidaknya di tempat Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
Juni 2008 sampai dengan tanggal 12 Juli 2008. atau setidak-tidaknya di tempat lain yang termasuk di dalam wilayah
 Ditahan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 12 Juli 2008 sampai hukum Pengadlan Negeri Jakarta Selatan yang berwenang memeriksakan
dengan sekarang. dan mengadili, telah dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain,
yang dilakukan sebagai berikut :
DAKWAAN : ______________________________________________________
Bahwa mereka Terdakwa I Tono Bin Angin Ribut bersama-sama dengan ______________________________________________________
Terdakwa II Inem Binti Sembrono sejak tanggal 1 Januari 2008 sampai ______________________________________________________
tanggal 30 Januari 2008 atau setidak-tidaknya suatu hari pada bulan Perbuatan para terdakwa telah melanggar sebagaimana diatur dan
Januari 2008, bertempat di Jalan Cendol No. 10, Kebayoran Baru, Jakarta diancam dengan Pasal 338 KUHP.
Selatan atau setidak-tidaknya di tempat Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
atau setidak-tidaknya di tempat lain yang termasuk di dalam wilayah 1 Agustus 2008
hukum Pengadlan Negeri Jakarta Selatan yang berwenang memeriksakan
dan mengadili, telah melakukan perbuatan perzinahan, yang dilakukan Mas Bokis Rusuh
sebagai berikut : Jaksa Pratama
______________________________________________________ NIP. 1212839
______________________________________________________
______________________________________________________
Perbuatan para terdakwa telah melanggar sebagaimana diatur dan
diancam dengan Pasal 284 ayat (1) KUHP.

1 Agustus 2008

Mas Bokis Rusuh


Jaksa Pratama
NIP. 1212839

Perbedaan dari surat dakwaan diatas ada pada pelaku tindak pidananya yang digabung dalam surat dakwaan. Sedangkan
dalam surat dakwaan yang dipisah dibuat oleh PU dengan maksud Terdakwa yang satu dijadikan saksio dalam perkara
Terdakwa lainnya supaya tugas dari PU yaitu membuktikan dakwaan tercapai.
Contoh Surat Dakwaan Tunggal Contoh Surat Dakwaan Altenatif

KEJAKSAAN NEGERI JAKARTA SELATAN KEJAKSAAN NEGERI JAKARTA SELATAN


Jalan Rambai Nomor 1 Jalan Rambai Nomor 1
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

“UNTUK KEADILAN” “UNTUK KEADILAN”

SURAT DAKWAAN SURAT DAKWAAN


No : PDM/123/VI/PN..Jak-Sel No : PDM/123/VI/PN..Jak-Sel

Identitas Terdakwa Identitas Terdakwa


1. Nama Lengkap : Tono Bin Angin Ribut 1. Nama Lengkap : Tono Bin Angin Ribut
2. Tempat Lahir : Bandung 2. Tempat Lahir : Bandung
3. Umur/Tanggal Lahir : 23, 3 Oktober 1985 3. Umur/Tanggal Lahir : 23, 3 Oktober 1985
4. Jenis Kelamin : Laki-laki 4. Jenis Kelamin : Laki-laki
5. Kebangsaan : Indonesia 5. Kebangsaan : Indonesia
6. Tempat Tinggal : Jalan Bakso No. 3, Jak-Sel 6. Tempat Tinggal : Jalan Bakso No. 3, Jak-Sel
7. Agama : Islam 7. Agama : Islam
8. Pekerjaan : Guru 8. Pekerjaan : Guru

Penahanan : Penahanan :
 Ditahan Penyidik Kepolisian Resort Jakarta Selatan tanggal 1  Ditahan Penyidik Kepolisian Resort Jakarta Selatan tanggal 1
Februari 2008 sampai dengan tanggal 10 Maret 2008. Februari 2008 sampai dengan tanggal 10 Maret 2008.
 Perpanjangan Penahanan oleh Penuntut Umum Kejaksaan Negeri  Ditahan Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan tanggal 10
Jakarta Selatan tanggal 11 Maret 2008 sampai dengan tanggal 11 Juni Maret 2008 sampai dengan tanggal 30 Maret 2008/
2008.  Ditahan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 30 Maret 2008
 Ditahan Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan tanggal 12 sampai dengan sekarang.
Juni 2008 sampai dengan tanggal 12 Juli 2008.
 Ditahan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 12 Juli 2008 sampai DAKWAAN :
dengan sekarang. KESATU
Bahwa ia Terdakwa Tono Bin Angin Ribut sejak tanggal 1 Januari 2008
DAKWAAN : sampai tanggal 30 Januari 2008 atau setidak-tidaknya suatu hari pada
Bahwa ia Terdakwa Tono Bin Angin Ribut sejak tanggal 1 Januari 2008 bulan Januari 2008, bertempat di Jalan Cendol No. 10, Kebayoran Baru,
sampai tanggal 30 Januari 2008 atau setidak-tidaknya suatu hari pada Jakarta Selatan atau setidak-tidaknya di tempat lain yang termasuk di
bulan Januari 2008, bertempat di Jalan Cendol No. 10, Kebayoran Baru, dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang
Jakarta Selatan atau setidak-tidaknya di tempat lain yang termasuk di berwenang memeriksakan dan mengadili, telah mengambil barang
dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan
berwenang memeriksakan dan mengadili, telah dengan sengaja maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, yang dilakukan senagai
menghilangkan nyawa orang lain, yang dilakukan sebagai berikut : berikut :
______________________________________________________ ______________________________________________________
______________________________________________________ ______________________________________________________
______________________________________________________ Perbuatan para terdakwa telah melanggar sebagaimana diatur dan
Perbuatan para terdakwa telah melanggar sebagaimana diatur dan diancam dengan Pasal 362 KUHP.
diancam dengan Pasal 338 KUHP.
ATAU
1 Agustus 2008 KEDUA
Bahwa ia Terdakwa Tono Bin Angin Ribut sejak tanggal 1 Januari 2008
Mas Bokis Rusuh sampai tanggal 30 Januari 2008 atau setidak-tidaknya suatu hari pada
Jaksa Pratama bulan Januari 2008, bertempat di Jalan Cendol No. 10, Kebayoran Baru,
NIP. 1212839 Jakarta Selatan atau setidak-tidaknya di tempat lain yang termasuk di
dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang
berwenang memeriksakan dan mengadili, telah dengan sengaja dan
melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri barang sesuatu yang
seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada
dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, yang dilakukan sebagai
berikut :
______________________________________________________
______________________________________________________
Perbuatan para terdakwa telah melanggar sebagaimana diatur dan
diancam dengan Pasal 372 KUHP.

1 Agustus 2008

Mas Bokis Rusuh


Jaksa Pratama
NIP. 1212839
Contoh Surat Dakwaan Kumulatif Contoh Surat Dakwaan Altenatif

KEJAKSAAN NEGERI JAKARTA SELATAN KEJAKSAAN NEGERI JAKARTA SELATAN


Jalan Rambai Nomor 1 Jalan Rambai Nomor 1
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

“UNTUK KEADILAN” “UNTUK KEADILAN”

SURAT DAKWAAN SURAT DAKWAAN


No : PDM/123/VI/PN..Jak-Sel No : PDM/123/VI/PN..Jak-Sel

Identitas Terdakwa Identitas Terdakwa


1. Nama Lengkap : Tono Bin Angin Ribut 1. Nama Lengkap : Tono Bin Angin Ribut
2. Tempat Lahir : Bandung 2. Tempat Lahir : Bandung
3. Umur/Tanggal Lahir : 23, 3 Oktober 1985 3. Umur/Tanggal Lahir : 23, 3 Oktober 1985
4. Jenis Kelamin : Laki-laki 4. Jenis Kelamin : Laki-laki
5. Kebangsaan : Indonesia 5. Kebangsaan : Indonesia
6. Tempat Tinggal : Jalan Bakso No. 3, Jak-Sel 6. Tempat Tinggal : Jalan Bakso No. 3, Jak-Sel
7. Agama : Islam 7. Agama : Islam
8. Pekerjaan : Guru 8. Pekerjaan : Guru

Penahanan : Penahanan :
 Ditahan Penyidik Kepolisian Resort Jakarta Selatan tanggal 1  Ditahan Penyidik Kepolisian Resort Jakarta Selatan tanggal 1
Februari 2008 sampai dengan tanggal 10 Maret 2008. Februari 2008 sampai dengan tanggal 10 Maret 2008.
 Ditahan Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan tanggal 10  Ditahan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 30 Maret 2008
Maret 2008 sampai dengan tanggal 30 Maret 2008. sampai dengan sekarang.
 Ditahan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 30 Maret 2008
sampai dengan sekarang. DAKWAAN :
PRIMER
DAKWAAN : Bahwa ia Terdakwa Tono Bin Angin Ribut sejak tanggal 1 Januari 2008
KESATU sampai tanggal 30 Januari 2008 atau setidak-tidaknya suatu hari pada
Bahwa ia Terdakwa Tono Bin Angin Ribut sejak tanggal 1 Januari 2008 bulan Januari 2008, bertempat di Jalan Cendol No. 10, Kebayoran Baru,
sampai tanggal 30 Januari 2008 atau setidak-tidaknya suatu hari pada Jakarta Selatan atau setidak-tidaknya di tempat lain yang termasuk di
bulan Januari 2008, bertempat di Jalan Cendol No. 10, Kebayoran Baru, dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang
Jakarta Selatan atau setidak-tidaknya di tempat lain yang termasuk di berwenang memeriksakan dan mengadili, telah sengaja dan dengan
dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang rencana menghilangkan nyawa orang lain, yang dilakukan sebagai
berwenang memeriksakan dan mengadili, telah dengan sengaja berikut :
menghilangkan nyawa orang lain, yang dilakukan sebagai berikut : ______________________________________________________
______________________________________________________ ______________________________________________________
______________________________________________________ Perbuatan para terdakwa telah melanggar sebagaimana diatur dan
______________________________________________________ diancam dengan Pasal 340 KUHP.
Perbuatan para terdakwa telah melanggar sebagaimana diatur dan
diancam dengan Pasal 338 KUHP. SUBSIDER
Bahwa ia Terdakwa Tono Bin Angin Ribut ________________, telah
DAN dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, yang dilakukan senagai
berikut :
KEDUA ______________________________________________________
Bahwa ia Terdakwa Tono Bin Angin Ribut sejak tanggal 1 Januari 2008 Perbuatan para terdakwa telah melanggar sebagaimana diatur dan
sampai tanggal 30 Januari 2008 atau setidak-tidaknya suatu hari pada diancam dengan Pasal 338 KUHP.
bulan Januari 2008, bertempat di Jalan Cendol No. 10, Kebayoran Baru,
Jakarta Selatan atau setidak-tidaknya di tempat lain yang termasuk di LEBIH SUBSIDER
dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang Bahwa ia Terdakwa Tono Bin Angin Ribut ________________, telah
berwenang memeriksakan dan mengadili, telah melakukan kekerasan melakukan penganiayaan dengan rencana yang menyebabkan mati, yang
atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia dilakukan sebagai berikut :
di luar pernikahan, yang dilakukan sebagai berikut : ______________________________________________________
______________________________________________________ Perbuatan para terdakwa telah melanggar sebagaimana diatur dan
______________________________________________________ diancam dengan Pasal 353 ayat (3) KUHP.
______________________________________________________
Perbuatan para terdakwa telah melanggar sebagaimana diatur dan LEBIH SUBSIDER LAGI
diancam dengan Pasal 285 KUHP. Bahwa ia Terdakwa Tono Bin Angin Ribut ________________, telah
melakukan penganiayaan yang menyebabkan mati, yang dilakukan
sebagai berikut :
______________________________________________________
1 Agustus 2008 Perbuatan para terdakwa telah melanggar sebagaimana diatur dan
diancam dengan Pasal 353 ayat (3) KUHP.
Mas Bokis Rusuh
Jaksa Pratama
NIP. 1212839 1 Agustus 2008

Mas Bokis Rusuh


Jaksa Pratama
NIP. 1212839
Contoh Surat Dakwaan Kombinasi

KEJAKSAAN NEGERI JAKARTA SELATAN Kalau Surat Dakwaan Tunggal dibuat oleh Penuntut
Jalan Rambai Nomor 1 Umum apabila tindak pidana yang dilanggar oleh
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
seseorang hanya satu dan tidak ada keraguan atas pasal
“UNTUK KEADILAN” yang didakwakan.
SURAT DAKWAAN Sedangkan Surat Dakwaan Alternatif, dibuat oleh Penuntut
No : PDM/123/VI/PN..Jak-Sel
Umum apabila terdapat keraguan atas tindak pidana yang
Identitas Terdakwa dilakukan.
1. Nama Lengkap : Tono Bin Angin Ribut
2. Tempat Lahir : Bandung Sedangkan Surat Dakwaan Kumulatif, dibuat oleh
3. Umur/Tanggal Lahir : 23, 3 Oktober 1985
4. Jenis Kelamin : Laki-laki Penuntut Umum apabila tindak pidana yang melanggar
5. Kebangsaan : Indonesia oleh seseorang terdiri dari beberapa tindak pidana.
6. Tempat Tinggal : Jalan Bakso No. 3, Jak-Sel
7. Agama : Islam Sedangkan Surat Dakwaan Primer-Subsider, dibuat oleh
8. Pekerjaan : Guru
Penuntut Umum yang didasarkan atas tingkatan dari
Penahanan : ancaman hukuman pidana, biasanya dalam prakteknya
 Ditahan Penyidik Kepolisian Resort Jakarta Selatan tanggal 1 surat dakwaan ini dibuat oleh Penuntut Umum
Februari 2008 sampai dengan tanggal 10 Maret 2008. dimaksudkan untuk menjerat Terdakwa dan menghindari
 Ditahan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 30 Maret 2008
sampai dengan sekarang.
agar Terdakwa tidak lepas dari jeratan hukum.

DAKWAAN : Sedangkan Surat Dakwaan Kombinasi, dibuat oleh


KESATU Penuntut Umum dengan mengkombinasikan bentuk-
PRIMER
Bahwa ia Terdakwa Tono Bin Angin Ribut sejak tanggal 1 Januari 2008
bentuk dakwaan. Misalnya dakwaan kumulatif
sampai tanggal 30 Januari 2008 atau setidak-tidaknya suatu hari pada dikombinasikan dengan surat dakwaan primer-subsider
bulan Januari 2008, bertempat di Jalan Cendol No. 10, Kebayoran Baru, (berlapis).
Jakarta Selatan atau setidak-tidaknya di tempat lain yang termasuk di
dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang
berwenang memeriksakan dan mengadili, telah sengaja dan dengan
rencana menghilangkan nyawa orang lain, yang dilakukan sebagai
berikut :
______________________________________________________
Perbuatan para terdakwa telah melanggar sebagaimana diatur dan
diancam dengan Pasal 340 KUHP.

SUBSIDER
Bahwa ia Terdakwa Tono Bin Angin Ribut ________________, telah
dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, yang dilakukan sebagai
berikut :
______________________________________________________
Perbuatan para terdakwa telah melanggar sebagaimana diatur dan
diancam dengan Pasal 338 KUHP.

DAN
KEDUA
Bahwa ia Terdakwa Tono Bin Angin Ribut sejak tanggal 1 Januari 2008
sampai tanggal 30 Januari 2008 atau setidak-tidaknya suatu hari pada
bulan Januari 2008, bertempat di Jalan Cendol No. 10, Kebayoran Baru,
Jakarta Selatan atau setidak-tidaknya di tempat lain yang termasuk di
dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang
berwenang memeriksakan dan mengadili, telah mengambil barang
sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan
maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, yang dilakukan sebagai
berikut :
______________________________________________________
Perbuatan para terdakwa telah melanggar sebagaimana diatur dan
diancam dengan Pasal 362 KUHP.

1 Agustus 2008

Mas Bokis Rusuh


Jaksa Pratama
NIP. 1212839
1. Pengadilan tidak berwenang mengadili perkara
KUHAP (Kompetensi);
Pasal 156 KUHAP 2. Dakwaan tidak dapat diterima : syarat Formil
3. Dakwaan harus dibatalkan : syarat Materiil.

Nota Keberatan
(Eksepsi) 1. Obscuur Libel )Pasal 143 ayat (2) huruf b
(KUHAP)
2. Error in Persona (Pasal 143 ayat (2) huruf a
DOKTRIN KUHAP)
3. Kompetensi (Absolut, Relatif)
4. Peremptoir (Pasal 76, 77, 78 KUHAP)
5. Litispendia
6. Terkait Delik Aduan
7. Terkait Perkara Perdata, bukan Perkara Pidana
8. Penerapan Perundang-undangan Tidak Tepat

Eksepsi Diterima Hakim menerima dalil yang dibuat oleh Penasehat


Hukum.

Putusan Sela Eksepsi Tidak Hakim menerima dalil yang dibuat oleh Penasehat
Dapat Diterima Hukum.

Eksepsi Ditolak Hakim menerima dalil yang dibuat oleh Penasehat


Hukum.

Panitera Hakim Hakim Hakim


Anggota Ketua Anggota

Terdakwa

Penuntut
Umum Terperiksa
Penasehat
Hukum
Penuntut
Umum
Penasehat
Hukum

Pengunjung Sidang
1. Pembuktian sulit.
2. Sidang 1, PU memanggil Terdakwa.
3. Hakim memasuki ruang sidang, yang sebelumnya
Biasa telah dihadiri oleh PU, PH.
Pasal 183 KUHAP 4. Sidang dibuka untuk umum atau tertutup untuk
umum (kasus, anak, kesusilaan).
5. Terdakwa ditanyakan identitasnya oleh Hakim.
6. PU membaca surat dakwaan.

1. Pembuktian mudah dan sederhana


2. Penuntut Umum tidak membuat surat dakwaan
(Pasal 203 ayat (3) huruf a KUHAP).
3. Hakim dapat meminta Penuntut Umum membuat
Singkat (Sumir) pemeriksaan tambahan(Pasal 203 ayat (3) huruf b
Pasal 203 KUHAP KUHAP).
4. Putusan dicatatan dalam Berita Acara Sidang
(Pasal 203 ayat (3) KUHAP).
Acara 5. Hakim membuat surat yang memuat amar putusan
Pemeriksaan (Pasal 203 ayat (3) huruf e KUHAP).

TINDAK PIDANA RINGAN


1. Penyidik atas kuasa Penuntut Umum langsung
menghadapkan terdakwa beserta BB dan AB.
2. Hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir.
(Pasal 205 ayat (3) KUHAP).
3. Saksi tidak mengucapkan sumpah atau janji kecuali
hakim menganggap perlu. (Pasal 208 KUHAP).
4. Berita acara pemeriksaan sidang tidak dibuat (Pasal
209 KUHAP).
Singkat (Sumir)
Pasal 203 KUHAP
TINDAK PIDANA PELANGGARAN LALU
LINTAS
1. Dilakukan oleh seorang Hakim tunggal.
2. Tidak diperlukan berita acara pemeriksaan (Pasal
212 KUHAP).
3. Terdakwa dapat diwakili (Pasal 211 KUHAP).
4. Dapat dilakukan tanpa hadirnya terdakwa atau
wakilnya (verstek atau putusan in absentia). Pasal
214 ayat (1) KUHAP.

Penyidikan Penuntutan Sidang Pengadilan

Dalam Acara Pemeriksaan Cepat tidak ada Proses


penuntutan, akan tetapi setelah penyidikan akan beralih
ke sidang pengadilan.
Yang Ingin Surat Dakwaan
Dibuktikan

Positive Wettelijk Bewijs Theory : bersalahnya


terdakwa didasarkan pada pertimbangan alat bukti yang
disebutkan Undang-Undang.

Negative Wettelijk Bewijs Theory : bersalahnya


terdakwa didasarkan pada pertimbangan alat bukti yang
disebutkan Undang-Undang dan keyakinan Hakim
Sistem (dianut KUHAP).
Pembuktian
Conviction Intime : bersalahnya terdakwa didasarkan
pada keyakinan Hakim. Misalnya dari mimpi, dari
dukun

Conviction La Raisonne : bersalahnya terdakwa


didasarkan pada alasan logis.

Biasa : berkaitan dengan siapa yang wajib


membuktikan dalil, dalam hal ini adalah Jaksa sebagai
orang yang mengendalikan kesalahan terdakwa (Tindak
Pidana Umum).

Berimbang/Terbalik Terbatas : PU wajib membuktikan


Pembuktian Beban bahwa Terdakwa bersalah dan PH wajib membuktikan
Pembuktian bahwa Terdakwa tidak bersalah (Tindak Pidana
Korupsi).

Terbalik : Penasehat Hukum wajib membuktikan


bahwa Terdakwa tidak bersalah (Tindak Pencucian
Uang).

BARANG BUKTI
1. Benda/barang yang digunakan untuk melakukan
tindak pidana, contohnya : pisau.
2. Benda/barang yang menjadi tujuan tindak pidana,
contohnya : tv, kulkas.
3. Benda/barang yang digunakan untuk membantu
tindak pidana, contohnya : obeng.
4. Benda/barang yang tercipta/hasil tindak pidana,
contohnya : uang palsu.
5. Benda/barang yang berupa informasi khusus,
Sarana contohnya : sidik jari, foto.
Pembuktian

ALAT BUKTI (Pasal 184 KUHA)


1. Keterangan Saksi
2. Keterangan Ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan Terdakwa
“Orang yang dapat memberikan keterangan guna
Pengertian kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan
Pasal 1 butir 26 tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia
lihat sendiri dan ia alami sendiri”.

Formil (Pasal 160 ayat 3 KUHAP)


1. Disumpah
2. Dewasa
3. Sehat Psikis
Syarat

Materiil (Pasal 1 butir 26 KUHAP)


1. Dengar sendiri
2. Lihat sendiri
3. Alami sendiri

Absolut (Pasal 171 KUHA)


Dibawah Umum
Sakit jiwa
AB /alat bukti Larangan Menjadi
Saksi Saksi
Relatif (pasal 168 KUHAP)
Karena ada hubungan darah/keluarga, berkaitan dengan
harkat dan martabat, jabatan, atau pekerjaan.

Saksi A Charge : Saksi yang memberatkan Terdakwa,


biasanya dibawa oleh Penuntut Umum.

Saksi A De Charge : Saksi yang meringankan


Terdakwa, biasanya dibawa oleh Penasehat Hukum.

Saksi Testimonium De Auditu : Saksi mendengar dari


orang lain yang tidak mengalami suatu tindak pidana.

Macam-macam Saksi Mahkota : Saksi dalam perkaranya sendiri, akibat


Saksi pemisahan surat dakwaa, dimana saksi menjadi
terdakwa di persidangan lain.

Saksi Berantai : Saksi yang hanya melihat/mendengar


mengalami beberapa peristiwa hanya sebagian atau
sepotong-potong.

Saksi Pelapor : Saksi yang melapor terkait adanya


tindak pidana.

Saksi Korban : Saksi yang menjadi korban tindak


pidana.
“Keterangan yang diberikan oleh seorang yang
Pengertian memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan
Pasal 1 butir 28 untuk membuat terang suatu perkara pidana guna
kepentingan pemeriksaan”.

Formil (Pasal 160 ayat 4 KUHAP)


1. Disumpah
Syarat

Materiil (Pasal 1 ayat 28 KUHAP)


AB / alat bukti 1. Mempunyai keahlian khusus
Ahli 2. Bertujuan membuat terang perkara pidana

Deskundige : ahli yang memberikan keterangan yang


menyangkut hal-hal yang telah diketahui hakim.

Macam-macam Gestuige Deskundige : ahli yang memberikan


Ahli keterangan menyangkut hal-hal yang telah diketahui
hakim.

Zaakundige : ahli yang memberikan keterangan atas


hasil pemeriksaan terhadap benda.

KUHAP tidak mengatur pengertian dari AB Surat, akan


Pengertian tetapi yang disampaikan secara tertulis dan mempunyai
makna tertentu.

Resmi (Pasal 187 huruf a, b, c KUHAP)


1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang
dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau
yang dibuat di hadapannya, yang memuat
AB Surat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang
didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri,
disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang
keterangannya itu. Contoh : BAP, Akta Notaris.
2. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh
pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata
laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang
diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau
Macam-macam suatu keadaan. Contoh : KTP, SIM.
3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat
pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuaut
hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi
dan padanya. Contoh : Visum et Repertum, Hasil
Labkrim, Hasil Uji Balistik, Hasil Laboratorium
forensik.

Tidak Resmi (Pasal 187 huruf d KUHAP)


Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada
hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Contoh : Surat Cinta
“”Perbuatan kejadian atau keadaan, yang karena
Pengertian persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain,
Pasal 1 butir 28 maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan
bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa
pelakunya.”
AB Petunjuk

AB Keterangan Saksi

Sumber
Pasal 188 ayat (2) AB Surat

AB Keterangan Terdakwa

Pengertian “Apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang


Pasal 189 ayat (1) perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri
atau alami sendiri.”

1. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang


dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti
di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh
suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal
yang didakwakan kepadanya.
AB Keterangan Sifat 2. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan
Terdakwa Pasal 189 KUHAP terhadap dirinya sendiri.
3. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa ia bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan
harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Isi Sangkalan (sebagian atau seluruhnya)


Pengakuan (sebagian atau seluruhnya)

1. KUHAP memberikan perhatian pada hak tersangka & terdakwa dibandingkan


H.I.R.
2. Hak tersangka dan terdakwa secara khusus diatur di dalam pasal 50-58 KUHAP.
3. Bantuan hukum (pasal 69-74 KUHAP).
4. Salah satu hak yang terpenting adalah bantuan hukum
5. Kewajiban bagi APH menunjuk PH dalam hal (pasal 56 KUHAP).
a. Diancam/didakwa hukuman mati/penjara 5 tahun/lebih.
Hak Tersangka & b. Mereka yang tidak mampu yang diancam pidana 5 tahun/lebih diberikan
Terdakwa secara cuma-cuma.

Asas Non Self Incrimination → keterangan terdakwa bisa melindungi dirinya sendiri,
artinya terdakwa boleh bohong, karena tidak disumpah karena terkait dengan
pembelaan terhadap dirinya sendiri.
Diatur dalam Pasal 69-74 KUHAP.
Kewajiban Advokat dalam memberikan bantuan hukum
cuma-cuma (pro deo) pasal 22 UU 18 tahun 2003
Pengertian tentang avokat.
Pasal 1 butir 28 APH dalam setiap tingkat pemeriksaan wajib
memberitahukan hak tersangka/terdakwa untuk
mendapat bantuan hukum.
APH yang melanggar seharusnya dapat dikenakan
sanksi/berakibat batalnya BAP.

Bantuan
Hukum With in Sight but not with in hearing (pasal 71 ayat (1),
pasal 115 ayat (2) KUHAP)
Seorang Penasehat Hukum yang berhubungan dengan
klienya, dimana penyidik hanya dapat melihat dan tidak
boleh mendengar. Hal ini dilakukan dalam perkara
tindak pidana yang menyangkut keamanan negara,
contoh : Terorisme.

Asas-asas
With in Sight but not with in hearing (pasal 71 ayat (2),
pasal 115 ayat (1) KUHAP)
Seorang tersangka yang sedang diperiksa oleh penyidik
berhak didampingi penasehat hukum, namun penasehat
hukum hanya bisa melihat tanpa mendengar. Hal ini
dilakukan dalam perkara tindak pidana umum, contoh :
pembunuhan, korupsi.

“Hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas


tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena
Pengertian ditangkap, ditahan, dituntut ataupun dialili tanpa alasan
Pasal 1 butir 22 yang berdasarkan undang-undang atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini.”

1. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004


Dasar Hukum tentang Kekuasaan Kehakiman.
2. Pasal 95 & 96 KUHAP

Yang Mengajukan Tersangka, Terdakwa, Terpidana, Ahli Warisnya

Ganti Rugi
1. Diputus dalam sidang praperadilan bila perkaranya
tidak dilanjutkan ke pengadilan.
Tata Cara 2. Diajukan ke pengadilan yang berwenang mengadili
perkara yang bersangkutan.
3. Pemeriksaan sesuai acara praperadilan.
4. Putusan berbentuk penetapan.

1. Ganti Kerugian karena upaya paksa yang tidak sah


Besarnya Rp. 500,- s/d Rp. 1.000.000,-
2. Cacat /meninggal dunia Rp. 3.000.000,-
“Hak seorang untuk mendapat pemulihan hanya dalam
kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya
yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan
Pengertian atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut
Pasal 1 butir 23 ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-
undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau
hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini.”
Rehabilitasi

Apabila Terdakwa diputus bebas atau diputus lepas dari


segala tuntutan hukum yang putusannya telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Cakupan
Pasal 97 KUHAP
Penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai
orang atau hukum yang diterapkan yang perkaranya
tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh hakim
praperadilan.

Pengertian Proses pengadilan atas suatu tindak pidana yang


dilakukan oleh sipil dan anggota TNI.

Dasar Hukum UU Nomor 14 Tahun 1970 Pasal 22


UU Nomor 8 Tahun 1981 Pasal 89-94

1. Terkait dengan penyertaan.


Syarat-syarat 2. Dilakukan oleh sipil dan militer, dimana salah satu
pelaku tunduk pada hukum pidana militer dan yang
lainnya tunduk pada peradilan umum.

Pemeriksaan 1. Pada prinsipnya dilakukan di Pengadilan Umum.


2. Bila yang besar kerugian pada pihak militer, maka
akan diperiksa di Pengadilan Militer.

Koneksitas
1. Penyidikan : dilakukan oleh tim konseksitas.
2. Penuntutan : PU = Oditur Militer.
3. Penahanan :
Proses Peradilan a. Sipil dilakukan berdasarkan KUHAP.
Koneksitas b. Militer dilakukan oleh atasan langsung,
diperpanjang oleh perwira penyerah perkara dan
dalam waktu yang tidak terbatas (UU No.1 Tahun
1958 tentang Hukum Acara Pidana pada
Pengadilan Kentaraan).

Praperadilan Dilakukan berdasarkan status pelaku tindak pidana


(SEMA No. 15 Tahun 1983)

Kerugian pada pihak sipil : dilakukan oleh Majelis


Hakim yang diketuai oleh Hakim Sipil, yang
Pemeriksaan beranggotakan hakim sipil dan militer.
Peradilan Kerugian pada pihak militer : dilakukan oleh Majelis
Hakim yang diketuai oleh Hakim Militer, yang
beranggotakan hakim sipil dan militer.
Peradilan
Umum

Hakim Anggota Hakim Ketua Hakim Anggota


(Militer) (Sipil) (Sipil)

Perbedaannya

Peradilan
Militer

Hakim Anggota Hakim Ketua Hakim Anggota


(Militer) (Militer) (Sipil)

Dasar Pasal 98 – Pasal 101 KUHAP, merupakan hak yang diberikan kepada pihak
Hukum ke-3

1. Diajukan atas perintah pihak ke-3.


2. Diajukan sebelum surat tuntutan/sebelum hakim menjatuhkan putusan
Tata Cara akhir.
3. Penggabungan perkara perdata & pidana dapat dilakukan pada tahap
banding.
4. Hukum acara yang berlaku adalah hukum acara perdata.
Gabungan
Gugatan
Perdata & Gugatan Perdata
Pidana
Kelebihan Kelemahan
Berdiri sendiri Lama, mahal, rumit pembuktiannya
Ganti rugi Materiil & Imateriil
Dapat diajukan setiap waktu
Perbedaan
Menggabungkan Gugatan Perdata dalam Perkara Pidana
Kelebihan Kelemahan
Cepat, murah, sederhana Bergantung pada perkara pokok
Hanya kerugian materiil
Diajukan paling lambat sebelum
requisitoir (surat tuntutan)
Upaya hukum tergantung pada
perkara pokok
Perlawanan (verzet)

Biasa Banding

Kasasi
Upaya
Hukum

Kasasi Demi Kepentingan Hukum (KDKH)


Luar Biasa

Peninjauan Kembali (Herziening)

Menghukum Banding oleh : PU dan/atau Terdakwa (Pasal 233 jo. Pasal


67 KUHAP)

Melepaskan Banding oleh : PU (Pasal 233 jo. Pasal 67 KUHAP)


Kasasi oleh : PU (Pasal 233 jo. Pasal 67 jo. Pasal 244
Vonis KUHAP)

KUHAP PU tidak bisa Banding


PU tidak bisa Kasasi
Membebaskan
Bebas Murni (Zuivere
Doktrin Vrijspraak) PU tidak bisa kasasi.
Bebas Tidak Murni (Niet Zuivere
Vrisjpraak) PU bisa kasasi
Putusan Akhir
Vonis
Administratif Penetapan Hari Sidang
Penetapan

Judisial Putusan Sela

Putusan Sela (156 KUHAP) diajukan ke Pengadilan


Tinggi melalui Panitera Pengadilan Negeri
Bentuk
Perlawanan
Verstek → putusan in absentia (pasal 214 KUHAP)
diajukan ke Pengadilan Negeri yang bersangkutan dalam
Perlawanan
waktu 7 hari.
(Verzet)

Langsung/seketika ke Pengadilan Tinggi


Caranya

Menunggu Putusan Akhir


Bagi yang hadir : selambat-lambatnya 7 hari setelah putusan
dibacakan.
Jangka Waktu

Bagi yang tidak hadir : selambat-lambatnya 7 hari setelah


putusan diberitahukan secara resmi.

Tidak perlu ada alasan banding, artinya tidak diwajibkan


Banding Alasan Banding membuat memori banding. Memori banding = Hak, kontra
memori banding = Hak.

Judex Factie : Memeriksa fakta-fakta


Memeriksa

Judex Jurist : Memeriksa penerapan hukum

Diajukan ke Pengadilan Tinggi dengan menyampaikan kepada Kepaniteraan Pengadilan


Negeri, dikarenakan PT terdapat di wilayah propinsi, PN ada di kabupaten/kotamadya.
Para pihak berperkara di PN dan diharuskan PT akan memberatkan pencari keadilan.

Jangka waktu menyatakan banding selambat-lambatnya 7 hari ketika vonis dibacakan,


dimana terdakwa harus hadir, apabila ada beberapa orang terdakwa maka bagi putusan
tersebut dapat dibacakan kepada 1 orang saja. Misalnya dalam kasus Tommy Soeharto.

1/10 8/10 9/10


Putusan dibacakan Batas jangka waktu banding Sudah tidak bisa banding

Bagi yang hadir : selambat-lambatnya 14 hari setelah


putusan dibacakan.
Jangka Waktu

Bagi yang tidak hadir : selambat-lambatnya 14 hari setelah


putusan diberitahukan secara resmi.

1. Hukum diterapkan tidak sebagaimana


mestinya.
Kasasi 2. Cara mengadili tidak sesuai dengan UU
KUHAP
3. Hakim melampaui batas
kewenangannya.
Alasan Kasasi

Doktrin Onvoldode Gemotiveerd (pertimbangan


hukum yang tidak cukup.

Harus ada alasan yuridis, sehingga wajib membuat memori


Syarat kasasi dan pihak lawan berhak atau tidak wajib membuat
kontra memori kasasi, Imperatif, Limitatif, Fakultatif
I. JANGKA WAKTU
a. Jangka waktu menyatakan kasasi : diberitahukan (1/10),
menyatakan (12/10)
b. Jangka waktu menyerahkan memori kasasi : menyatakan
Jika bagian I & II tidak dapat (12/10), menyerahkan (25/20).
terpenuhi, maka kasasi tidak II. ALASAN KASASI (pasal 253 ayat (1) KUHAP)
dapat diterima. III. ARGUMENTASI : putusan bebas tidak murni (lepas dari tuntutan
hukum yang terselubung), artinya putusan seharusnya dinyatakan
Jika bagian III tidak dapat lepas akan tetapi hakim keliru dalam menafsirkan terbukti atau
terpenuhi, maka kasasi ditolak. tidaknya suatu tindak pidana.
IV. POKOK PERKARA
a. Hakim salah menafsirkan hukum dan tidak bisa melihat semua
unsur terbukti.
b. ……..

Ingat jangka waktunya dihitung dengan hari kalender, akan tetapi apabila jangka waktu jatuh pada hari libur
maka diundur 1 hari.

Tujuan Memperbaiki penafsiran hukum atas putusan kasasi yang tidak


tepat, dimana putusan tidak boleh merugikan terpidana.

Tidak boleh merugikan para pihak


Isi Putusan Tidak boleh diajukan atas putusan MA yang sudah berkekuatan
hukum tetap, dimana tidak sama sekali tidak mempengaruhi
Kasasi Demi putusan yang dahulu & demi kepentingan hukum.
Kepentingan
Hukum
Isi Putusan Terdakwa & Penuntut Umum
Dilakukan oleh

Demi Kepentingan Jaksa Agung


Hukum

Perdata
(Request Civil)
Kecuali : putusan bebas & lepas
Pasal 263 ayat (1)
Peninjauan KUHAP
Kembali (PK)
Terpidana atau Ahli Waris

Pidana
(Herzeining) 1. Novun (keadaan baru)
2. Berhubungan satu dengan
Alasan lainnya
Pasal 263 ayat (2) 3. Kekhilafan/kekeliruan hakim
(disparitas keadilan)

1. Imperatif
Syarat 2. Limitatif
3. Fakultatif
Alasan keluarnya lembaga Peninjauan Kembali : Praktek Peradilan mengenal Peninjauan
Pada tahun 1989 ada orang yang bernama Sengkon dan Karta Kembali :
yang dituduh membunuh seseorang, dalam putusan Majelis Kasus Mochtar Pakpahan, dimana pihak
Hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap menghukum korban yang diwakili oleh Penuntut Umum
Peninjauan
kedua pelaku tersebut. Kembali tidak
Ketika menjalankan masaboleh diartikan sebagai
pemidanaan, pengadilan
melakukan PK,tingkat 4
seharusnya yang dapat
Sengkon dan Karta bertemu dengan seseorang di penjara yang melakukan PK hanya terpidana/ahli
juga seorang Narapidana yang bercerita bahwa pelaku warisnya. Akan tetapi, kasus inij tetap
sebenarnya adalah narapidanaHarus menunggu
itu. Jadi, putusan Grasi (bisa
bisa disimpulkan diajukan 2x), eksekusi ditunda jika
diperiksa.
Eksekusi menunggu Grasi (apabila putusannya pidana mati)
bahwa Sekon dan Karta bukanlah pelaku kejahatan
Harus
pembunuhan tersebut akan tetapi menungguyang
narapidana putusan PK (diajukan
berada di hanya 1x)
penjara tersebut. Hal ini yang disebut dengan KEADAAN
BARU (VOVUM), oleh karena itu dibuat pengaturan
Peninjauan Kembali. 1. Dilakukan pengawasan dan pengamatan oleh Tim pengamat (Hakim pengamat
dan Pengawas) yang bertujuan agar Narapidana dibekali dalam LP sesuatu hal
yang positif sehingga setelah keluar dari LP tidak akan mengulangi kejahatan
Hawasmat ataupun ada sesuatu yang bisa dikerjakan setelah turun ke masyarakat (ada
perubahan sikap napi).
2. Tugas dari hakim pengawas dan pengamat sering mengalami hambatan dalam
hal kewenangan yang berbentrokan dengan tugas petugas Lapas, sehingga
Hakim pengamat dan pengawas bekerja setengah hati.

Tindak pidana kategori berat atau yang sangat jahat,


Criminele misalnya pembunuhan, perkosaan, perampokan, terorisme.
(Berat) Wajib menunjuk Hakim Penyidik (Juge de Instruction).

Tindak pidana kategori sedang, seperti pencurian, penipuan,


Hukum Acara Delit korupsi. Jika wajib menunjuk Hakim Penyidik (Juge de
Pidana Perancis (Sedang) Instruction).

Contravention Tindak pidana ringan, seperti pelanggaran lalu lintas. Tidak


(Ringan) wajib menunjuk Hakim Penyidik (Juge de Instruction)

Juge de Instruction
Juge d’Instruction atau Hakim Instruksi/Hakim Penyidik ini dalam KUHAP Indonesia dikenal sebagai Hakim
Penyidik. Penyidik di Perancis beranggotakan polisi-polisi (Police Judiciaire) yang memiliki inteleltualitas tinggi,
cekatan dan terampil, yang dipilih dan dipimpin langsung oleh Penuntut Umum (Prosecuteur de La Repulique).
Hakim Penyidik di Prancis bertanggung jawab atas penyidikan suatu tindak pidana dalam kategori Criminelle,
dengan memberi perintah kepada Polisi dan Gendarmerie. Sedangkan untuk tindak pidana yang termasuk dalam
kategori Contravention dan Delit, maka Hakim Penyidik ini tidak selalu harus ada dalam penyidikan. Namun
demikian, penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik ini tetap dibawah kendali Penuntut Umum, bahkan Penuntut
Umum dapat mengganti Penyidik ditengah proses penyelidikan.

BAGAN HUKUM ACARA PIDANA


Bagan

HUKUM ACARA PIDANA

OLEH :

I KETUT SUDJANA, SH. MH.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
MEI 2016
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya penjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/
Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmatNyalah saya dapat menyelesaikan sebuah
Bagan Hukum Acara Pidana” ini dapat saya sempurnakan, yang sebelumnya sudah
pernah saya buat dan disebarkan kepada beberapa Mahasiswa yang menempuh mata
kuliah Hukum Acara Pidana.

Saya menyadari, bahwa kemampuan dan pengetahuan saya dalam bidang ini
sangatlah terbatas. Untuk itu kritik, saran dan sumbangan pemikiran dari Bapak/
Ibu dan Pembaca buku ini sangat diharapkan untuk penyempurnaan nya. Buku ini
saya susun mengingat beberapa hal yang merupakan ganjalan did alam penyampaian
materi ini terutama dari segi waktu yang tersedia dan materi yang cukup banyak.

Sebagai akhir kata, saya tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar –
besarnya kepada Bapak/ Ibu Dosen khususnya di Bagian Hukum Acara, yang sangat
membantu dalam penyelesaian buku ini.

Denpasar, Mei, 2015

Penyusun

I KETUT SUDJANA, SH. MH.


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya penjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/
Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmatNyalah buku dengan Judul “ Bahan Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara (HAPTUN)” ini dapat saya sempurnakan, yang
sebelumnya sudah pernah saya buat dan disebarkan kepada beberapa Mahasiswa
yang menempuh mata kuliah Hukum Acara Pidana.

Saya menyadari, bahwa kemampuan dan pengetahuan saya dalam bidang ini
sangatlah terbatas. Untuk itu kritik, saran dan sumbangan pemikiran dari Bapak/
Ibu dan Pembaca buku ini sangat diharapkan untuk penyempurnaan nya. Buku ini
saya susun mengingat beberapa hal yang merupakan ganjalan didalam penyampaian
materi ini terutama dari segi waktu yang tersedia dan materi yang cukup banyak.

Sebagai akhir kata, saya tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar –
besarnya kepada Bapak/ Ibu Dosen khususnya di Bagian Hukum Acara, yang sangat
membantu dalam penyelesaian buku ini.

Denpasar, Juli 2013

Penyusun

Anda mungkin juga menyukai