Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH KELOMPOK

MANAJEMEN BENCANA
“ANALISIS RESIKO BENCANA KDRT”
Dosen : Rijanto, S.Kp., M.Kes

Disusun oleh D4 Reguler A :


Kelompok 3
1. Agie Malinda 6. Eka Widya Novika
(P27824416006) (P27824416025)
2. Sherlynda Budi S. 7. Intan Pertiwi
(P27824416008) (P27824416032)
3. Aisyalfi Pratimi 8. Nur Ilmi Amaliyah
(P27824416009) (P27824416036)
4. Verinda Rizki U. 9. Raras Amaranggana
(P27824416011) (P27824416038)
5. Khusnul Maghfiroh 10. Imroatus Sholihah
(P27824416013) (P27824416040)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN SUMBER DAYA
MANUSIA KESEHATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURABAYA
JURUSAN KEBIDANAN
PRODI DIV KEBIDANAN SUTOMO
TAHUN 2019/2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan
rahmat dan karunianya kami dapat menyusun tugas ini tanpa suatu halangan
apapun.

Tugas ini disusun untuk memenuhi nilai tugas, disamping itu penyusun
berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembacanya agar
dapat mengetahui Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan tugas ini masih banyak


kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu penyusun
mengharap kritik dan saran dari pembaca sehingga dalam pembuatan tugas
lainnya menjadi lebih baik lagi. Semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi kita
semua. Amin Ya Rabbal Alamin.

Surabaya, 2019

Penyusun,

DAFTAR ISI

2
KATA PENGANTAR....................................................................................................i

DAFTAR ISI.................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang...............................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................2

1.3 Tujuan Pembuatan Masalah...........................................................................2

1.3.1 Tujuan Umum.....................


.......................................................................................................................................2

1.3.2 Tujuan Khusus..................


.......................................................................................................................................2

1.4 Manfaat..........................................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)......................................3

2.1.1 Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga.........................................3

2.1.2 Klasifikasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga .......................................4

2.1.3 Lingkup Keluarga Menurut Undang-Undang.........................................8

2.1.4 Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga.................................9

2.1.5 Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga.................10

2.1.6 Peran Negara.........................................................................................11

2.1.7 Cara Penanggulangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.....................12

2.2 Konsep Komunikasi Risiko.........................................................................13

2.2.1 Pengertian Komunikasi Risiko..............................................................13

2.2.2 Komponen Risiko..................................................................................13

2.2.3 Tujuan Komunikasi Risiko....................................................................14


2.3 Analisis Risiko Bencana Pada Kekerasan Dalam Rumah Tangga..................15

2.3.1 Analisis Risiko.........................................................................................15

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Analisis Risiko Pada Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

Di Indonesia pada tahun 2018........................................................................17

3.1.1 Data Dasar................................................................................................17

3.1.2 Identifikasi Jenis Bahaya Pada Kasus KDRT..........................................22

3.1.3 Hasil Identifikasi Bahaya.........................................................................22

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan.....................................................................................................25

4.2 Saran...............................................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang berperan dan
berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan sosial dan perkembangan
kepribadian setiap anggota keluarga. Ketegangan maupun konflik antara
suami dan istri maupun orang tua dengan anak merupakan hal yang wajar
dalam sebuah keluarga atau rumah tangga. Tidak ada rumah tangga yang
berjalan tanpa konflik namun konflik dalam rumah tangga bukanlah sesuatu
yang menakutkan. Hampir semua keluarga pernah mengalaminya. Yang
mejadi berbeda adalah bagaimana cara mengatasi dan menyelesaikan hal
tersebut. Demikian juga halnya dengan kekerasan dalam rumah tangga,
terjadi karena adanya relasi kekuasaan yang timpang antara lelaki (suami)
dengan perempuan (istri). Kondisi ini tidak jarang mngakibatkan terjadinya
tindak kekerasan oleh suami terhadap istrinya maupun anaknya justru
dilakukan sebagai bagian dari otoritas yang dimilikinya sebagai seorang
kepala keluarga.
Kekerasan merupakan pelanggaran HAM, pelanggaran hukum negara dan
norma agama serta norma sosial (budaya dan peradaban) manusia. Oleh
karena itu, tidak ada kekerasan yang secara fisik membahayakan, melukai
perasaan atau mengabaikan dapat dibenarkan dalam kehidupan peradaban
manusia. Pada tanggal 24 Juli 1984, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
(CEDAW). Untuk melaksanakan amanat Konvensi tersebut, Pemerintah
Indonesia telah melakukan upaya untuk mencegah kekerasan terhadap
perempuan dan anak-anak dan perdagangan manusia dan melindungi hak-hak
korban, dengan mengeluarkan Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan terakhir UU No. 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan Trafiking.
Ada 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan
ditangani selama tahun 2017, yang terdiri dari 335.062 kasus bersumber pada
data kasus/perkara yang ditangani oleh Pengadilan Agama, serta 13.384 kasus
yang ditangani oleh 237 lembaga mitra pengadalayanan, tersebar di 34
Provinsi. Komnas Perempuan mengirimkan 751 lembar formulir kepada
lembaga mitra pengadalayanan di seluruh Indonesia dengan tingkat respon
pengembalian mencapai 32%, yaitu 237 formulir.
Adapun penulis mengambil sampel kasus kekerasan dalam rumah tangga
pada tahun 2018 untuk dilakukan analisis resiko bencana yang disusun dalam
makalah ini dengan judul

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah konsep Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ?
2. Bagiamanakah Konsep komunikasi risiko?
3. Bagaimanakah analisis risiko bencana pada Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT) ?

1.3 Tujuan Pembuatan Makalah


1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui analisis resiko bencana pada kasus KDRT di Indonesia pada
tahun 2018.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui konsep Kekerasan dalam Rumah tangga (KDRT).
2. Mengetahui Konsep komunikasi risiko.
3. Mengidentifikasi analisis risiko bencana pada Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT).

1.4. Manfaat
Memberikan sumbangan ilmiah dalam ilmu manajemen bencana yaitu
membuat analisis resiko bencana pada kasus KDRT di Indonesia pada tahun
2018.

BAB II

6
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)


2.1.1 Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam
Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga, memiliki arti setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga.
Menurut Arif Gositabahwa (1993, dalam Pradipta, 2013:34) yang
dimaksud dengan KDRT adalah berbagai macam tindakan yang
menimbulkan penderitaan mental, fisik, dan sosial para anggota keluarga
oleh sesama anggota keluarga (anak/ menantu, ibu/ istri, dan ayah/
suami).
Sebagian besar korban KDRT adalah kaum perempuan (istri) dan
pelakunya adalah suami, walaupun ada juga korban justru sebaliknya,
atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Pelaku
atau korban KDRT adalah orang yang mempunyai hubungan darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak
bahkan pembatu rumah tangga, tinggal di rumah ini. Ironisnya kasus
KDRT sering ditutup-tutupi oleh si korban karena terpaut dengan struktur
budaya, agama dan sistem hukum yang belum dipahami. Padahal
perlindungan oleh negara dan masyarakat bertujuan untuk memberi rasa
aman terhadap korban serta menindak pelakunya.

Adapun yang termasuk cakupan rumah tangga menurut Pasal 2


Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam
Rumah Tangga adalah:
a. Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri);
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang
sebagaimana disebutkan di atas karena hubungan darah, perkawinan
(misalnya mertua, menantu, ipar, dan besan), persusuan, pengasuhan,
dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam
rumah tangga tersebut, dalam jangka waktu selama berada dalam
rumah tangga yang bersangkutan (Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang KDRT).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka penulis
mendefinisikan KDRT adalah perilaku menyimpang yang menyebabkan
penderitaan dan cedera baik dalam bentuk fisik, psikologis, penelantaran
rumah tangga atau 8 ancaman yang dilakukan oleh anggota keluarga
terhadap anggota keluarga yang lain.

2.1.2 Klasifikasi Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)


Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan
terhadap istri dalam rumah tangga dibedakan kedalam 4 (empat) macam,
yaitu:
1. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit,
jatuh sakit atau luka berat.
a. Kekerasan Fisik Berat; berupa penganiayaan berat seperti
menendang, memukul, menyundut, melakukan percobaan
pembunuhan atau pembunuhan, dan semua perbuatan lain yang
dapat mengakibatkan:
1. Cedera berat,
2. Tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari,
3. Pingsan,
4. Luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit
disembuhkan atau yang menimbulkan bahaya mati,
5. Kehilangan salah satu panca indera,
6. Mendapat cacat,
7. Menderita sakit lumpuh,
8. Terganggunya daya pikir selama 4 minggu lebih,
9. Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan,
10. Kematian korban.
b. Kekerasan Fisik Ringan; berupa menampar, menjambak,
mendorong, dan perbuatan lainnya yang mengakibatkan:
1. Cedera ringan,
2. Rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori berat,
3. Melakukan repitisi kekerasan fisik ringan dapat dimasukkan ke
dalam jenis kekerasan berat.

8
2. Kekerasan psikologis / emosional
Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan / atau penderitaan
psikis berat pada seseorang.
a. Kekerasan Psikis Berat; berupa tindakan pengendalian, manipulasi,
eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam
bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial, tindakan dan atau
ucapan yang merendahkan atau menghina, penguntitan, kekerasan
dan atau ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis yang
masing- masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis berat
berupa salah satu atau beberapa hal berikut:
1. Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat
atau disfungsi seksual yang salah satu atau kesemuanya berat
dan atau menahun,
2. Gangguan stres pasca trauma,
3. Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau buta
tanpa indikasi medis),

4. Depresi berat atau destruksi diri,


5. Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas
seperti skizofrenia dan atau bentuk psikotik lainnya,
6. Bunuh diri.
b. Kekerasan Psikis Ringan; berupa tindakan pengendalian,
manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan
penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan, dan isolasi
sosial, tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina,
penguntitan, ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis yang
masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis ringan,
berupa salah satu atau beberapa hal di bawah ini:
1. Ketakutan dan perasaan terteror,
2. Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak,
3. Gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi seksual,
4. Gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya, sakit kepala,
gangguan pencernaan tanpa indikasi medis),
5. Fobia atau depresi temporer.
3. Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) korban
dari kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual,
memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak
korban.
Menurut Budi Sampurna (2003, dalam Pradipta, 2013:46),
kekerasan seksual meliputi :
a) Pengisolasian istri dari kebutuhan batinnya;
b) Pemaksaan hubungan seksual dengan pola yang tidak dikehendaki
atau tidak disetujui istri;
c) Pemaksaan hubungan ketika istri sedang tidak menghendaki, istri
sedang sakit, atau menstruasi; dan
d) Memaksa istri berhubugn seks dengan orang lain, memaksa istri
menjadi pelacur, dan sebagainya.

a. Kekerasan seksual berat, berupa:


1. Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba,
menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul
serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror,
terhina dan merasa dikendalikan.
2. Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau
pada saat korban tidak menghendaki.
3. Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai,
merendahkan dan atau menyakitkan.
4. Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan
pelacuran dan atau tujuan tertentu.
5. Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan
posisi ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi.
6. Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa
bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka,atau cedera.
b. Kekerasan Seksual Ringan; berupa pelecehan seksual secara verbal
seperti komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan
dan atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh
atau pun perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang
tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina

10
korban. Melakukan repitisi kekerasan seksual ringan dapat
dimasukkan ke dalam jenis kekerasan seksual berat.
4. Kekerasan ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan,
perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari
kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan
menghabiskan uang istri. (http://kompas.com., 2006).
a. Kekerasan Ekonomi Berat; yakni tindakan eksploitasi, manipulasi
dan pengendalian lewat sarana ekonomi berupa:
1. Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk
pelacuran.
2. Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.
3. Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban,
merampas dan atau memanipulasi harta benda korban.
b. Kekerasan Ekonomi Ringan; berupa melakukan upaya-upaya
sengaja yang menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya
secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.

2.1.3 Lingkup keluarga menurut Undang-Undang


1. Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi :
a. Suami, istri, dan anak.
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang
sebagaimana dimaksud pada huruf (a) karena hubungan darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian yang mencakup
dalam rumah tangga dan/atau,
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga tersebut.
2. Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf (c) dipandang sebagai
anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah
tangga yang bersangkutan.
Fakta kekerasan terhadap perempuan ini didukung oleh pernyataan
mantan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Kholifah Indar
Parawansah yang mengatakan bahwa tingkat kekerasan yang dialami
perempuan Indonesia sangat tinggi. Tindak kekerasan dominan yang
dialami oleh perempuan Indonesia adalah kekerasan domestik/KDRT.
2.1.4 Bentuk – Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)
Dilihat dari segi subyek dan obyeknya, KDRT dapat terjadi dengan
beberapa konteks antara lain (Pradipta, 2013:36):
a. Kekerasan pada suami terhadap istri
Suami merasa berhak untuk memaksakan kehendak kepada istri
sebab ia adalah pemimpin dalam rumah tangga. Implikasi yang mucul
adalah perilaku tirani dan kesewenang-wenangan suami atas istri dan
anak-anaknya. Tak jarang dijumpai seorang kepala rumah tangga
memukul istri atau anak-anak, atau pembantunya, hanya gara-gara
alasan yang amat sederhana.
b. Kekerasan istri terhadap suami
Kekerasan dalam rumah tangga tidak mengenal jenis
kelamin.Kekerasan bisa terjadi dari istri terhadap suami. Kekerasan
psikologis terjadi misalnya tatkala istri melontarkan kata-kata kasar
dan kotor kepada suami. Istri menteror suami dengan ancaman-
ancaman dan ungkapan yang menyakitkan hati. Mungkin juga istri
melakukan tindakan-tindakan paksa terhadap harta benda suaminya
yang ia tidak memiliki hak atasnya. Termasuk melakukan tindakan
penyelewengan seksual atau perselingkuhan yang dengan sengaja
ditampakkan di depan mata.
c. Kekerasan orang tua kepada anak-anak
Kekerasan fisik terjadi tak kala orang tua sering main pukul
terhadap anakanak. Hanya karena kesalahan-kesalahan kecil yang
tidak prinsip, orang tua 9 menjadi emosi dan menghukum anak
dengan tindakan keras. Tak jarang dijumpai ada anak menjadi cacat
seumur hidup karena penyiksaan orang tua, atau bahkan menjadi mati
teraniaya.
d. Kekerasan anak kepada orang tua
Banyak pula dijumpai, anak-anak menjadi pelaku kekerasan baik
secara fisik, seksual maupun psikologis terhadap orang tuanya.

12
Berawal dari perbedaan pendapat, atau dari keinginan yang tidak
dituruti, atau dari pembagian serta perlakuan yang tak adil dari

orang tuanya, anak menjadi berang dan menganiaya orang tuanya


sendiri. Bahkan ada yang sampai menyebabkan kematian orang tua.
Contohnya adalah anak menghujat, mencela, berkata kasar dan kotor
kepada orang tuanya, anak mengancam akan melarikan diri dari
rumah, mencederai orang tua, dan berbagai ancaman lainnya karena
ingin memaksakan kehendaknya sendiri terhadap orang tua.
e. Kekerasan terhadap pembantu rumah tangga
Posisi pembantu rumah tangga yang sering dipandang sebelah
mata, dalam kehidupan masyarakat kita banyak ditemukan bentuk-
bentuk kekerasan terhadap pembantu rumah tangga, khususnya
pembantu perempuan. Seperti penyiksaan fisik, pemukulan, pelecehan
seksual, perkosaan, serta kekerasan psikologis seperti kata-kata
hinaan, dan ancaman-ancaman lain.

2.1.5 Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga


Strauss A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam
konteks struktur masyarakat dan keluarga, yang memungkinkan
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (marital violence) sebagai
berikut:
a. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki
Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan
dengan wanita, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita.
b. Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi
Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja
mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika
suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan.
c. Beban pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai
pengasuh anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak,
maka suami akan menyalah-kan istri sehingga tejadi kekerasan dalam
rumah tangga.

d. Wanita sebagai anak-anak


Konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum,
mengakibatkan kele-luasaan laki-laki untuk mengatur dan
mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa
punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak
melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib.
e. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki
Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami
kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum,
sehingga penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan
yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi
hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam
konteks harmoni keluarga.

2.1.6 Peran Negara


1. Efektitas perlindungan hukum: KDRT masih sangat dominan menjadi
isu kekerasan yang dikenali dan dilaporkan karena adanya perlindungan
hukumnya. Penyelesaian KDRT cenderung diselesaikan dengan
perceraian dibanding dengan memproses dimensi pidananya. Situasi
inilah yang memicu impunitas. Namun penting membaca kedayagunaan
dan implementasi UU PKDRT yang cenderung digunakan korban untuk
melaporkan namun semakin kecil digunakan untuk melindungi
perempuan dari kekerasan yang dihadapinya, terutama dengan
banyaknya kriminalisasi perempuan korban KDRT karena aparat negara
salah baca masalah.
2. Pendokumentasian/Pendataan KtP :
a. Perbaikan data dari sejumlah lembaga negara berkonstribusi untuk
mempermudah pemetaan kekerasan terhadap perempuan dan akses
perlindungan korban. Termasuk akses keadilan di lembaga peradilan
yang terdokumentasi dengan baik.

b. Data KtP Papua dari tahun-ketahun melalui Catahu cenderung


tembus pandang, tidak terdokumentasi sehingga tak ada peta
penanganan.
c. Pengetahuan Negara tentang KtP :
 Terdapat perubahan perspektif dan penamaan kategori kekerasan
terhadap perempuan sebagai penyebab perceraian di Badan

14
Peradilan Agama. Antara lain tidak lagi mengkategorikan
poligami sehat atau poligami tidak sehat.
 Akses Layanan : lembaga layanan dari OMS sejauh ini yang
paling dipercaya atau terbanyak dipercaya korban untuk
menangani kasusnya. Perempuan korban dan masyarakat telah
menggunakan mekanisme LNHAM dalam memutus mata rantai
kekerasan dan mendapatkan akses layanan.

2.1.7 Cara Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga


Untuk menghindari terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga,
diperlukan cara-cara penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga,
antara lain:
a. Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan berpegang
teguh pada agamanya sehingga Kekerasan dalam rumah tangga tidak
terjadi dan dapat diatasi dengan baik dan penuh kesabaran.
b. Harus tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah
keluarga, karena didalam agama itu mengajarkan tentang kasih sayang
terhadap ibu, bapak, saudara, dan orang lain. Sehingga antara anggota
keluarga dapat saling mengahargai setiap pendapat yang ada.
c. Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar
tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam
sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan diantara
kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan
dalam rumah tangga.

d. Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan


sebagainya antar anggota keluarga. Sehingga rumah tangga dilandasi
dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya, maka
mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa
kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang
berlebih dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-lebihan.
e. Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapapun keuangan
yang ada dalam keluarga, sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila
terjadi pendapatan yang minim, sehingga kekurangan ekonomi dalam
keluarga dapat diatasi dengan baik.
2.2 Konsep Komunikasi Risiko
2.2.1 Pengertian Komunikasi Risiko
Komunikasi risiko adalah pertukaran informasi dan pandangan
mengenai risiko dan faktor–faktor yang berkaitan dengan risiko di antara
pengkaji risiko, manajer risiko, konsumen dan berbabagai pihak lain
yang berkepentingan. Tujuan pokok komunikasi risiko adalah
memberikan informasi yang relevan dan akurat dalam istilah yang jelas
dan mudah dipahami kepada audiens tertentu. (FAO, Food & Nutrition
paper, No.70).

2.2.2 Komponen Risiko


Komunikasi risiko pada dasarnya merupakan bagian dari rangkaian
proses meminimalkan risiko, yang terdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu
analisis risiko, manajemen risiko dan komunikasi risiko itu sendiri.
1. Analisis risiko Adalah suatu proses penentuan faktor-faktor dan
tingkat risiko berdasarkan datadata ilmiah.
2. Manajemen risiko Adalah proses penyusunan dan penerapan
kebijakan dengan mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak
untuk melindungi masyarakat dari risiko, dalam hal ini risiko terhadap
kesehatan.

3. Komunikasi risiko Adalah pertukaran informasi dan opini secara


timbal balik dalam pelaksanaan manajemen risiko.Komunikasi risiko
merupakan komunikasi dua arah, interaktif dan proses jangka panjang,
secara bersama masyarakat dan komunikator melalui dialog. Untuk itu
komunikator harus mengembangkan kemampuan mendengar
(listening skills), ia harus mampu memahami minat masyarakat dan
merespon opini, emosi dan reaksi mereka. Komunikator risiko harus
ikut serta dalam kegiatan mengarahkan, mengembangkan,
melaksanakan dan mengevaluasi. Mereka harus berperan
menjembatani para ahli dan masyarakat. Komunikator ini berperan
juga untuk memperkuat (bukan penghambat) antara manajemen dan
masyarakat. Komunkasi risiko merupakan bagian integral dan
berlanjut dalam praktek analisis risiko dan idealnya semua

16
stakeholders harus terlibat sejak awal sehingga mereka memahami
setiap tahap dari risk assessment. Ini akan membantu memastikan,
bahwa kondisi logis, signifikansi dan keterbatasan risk assessment
secara jelas diketahui oleh seluruh pemangku kepentingan
(stakeholders), termasuk juga informasi yang berasal dari stakeholders
yang bersifat krusial.

2.2.3 Tujuan Komunikasi Risiko


Memberikan informasi yang bermakna, relevan dan akurat dalam istilah
yang jelas dan mudah dipahami kepada audiens tertentu dalam rangka:
1. Meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang berbagai persoalan
spesifik yang harus dipertimbangkan oleh semua peserta selama
proses analisis risiko.
2. Meningkatkan konsistensi dan keterbukaan dalam pengambilan
keputusan manajemen risiko dan implementasinya.
3. Memberikan landasan yang aman untuk memahami keputusan
manajemen risiko yang diusulkan atau diimplementasikan.
4. Meningkatkan keseluruhan keefektifan dan efisiensi proses analisis
risiko.

5. Turut memberikan kontribusi pada pengembangan dan penyampaian


program informasi dan pendidikan yang efektif jika kedua hal
tersebut terpilih sebagai pilihan manajemen risiko. Tujuan pokok
komunikasi risiko adalah memberikan informasi yang bermakna,
relevan dan akurat dalam istilah yang jelas dan mudah dipahami
kepada audiens tertentu.
2.3 Analisis Risiko Bencana pada Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
2.3.1 Analisis Risiko
A. Pengertian
Analisis resiko adalah proses penilaian terhadap resiko yang telah
teridentifikasi, dalam rangka mengestimasi kemungkinan munculnya
dan besaran dampaknya, untuk menetapkan level atau status resikonya.
Status resiko biasanya disajikan dalam bentuk tabel.
Risiko bencana adalah potensi kerugian yang dinyatakan dalam
hidup, status kesehatan,mata pencaharian, aset dan jasa, yang dapat
terjadi pada suatu komunitas tertentu ataumasyarakat dalam suatu kurun
waktu tertentu (UNISDR, 2009). Risiko bencana adalah potensi
kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan
kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa
terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan
harta, dan gangguan kegiatan masyarakat.
Definisi risiko bencana mencerminkan konsep bencana sebagai
hasil dari hadirnya risiko secara terus menerus. Risiko bencana terdiri
dari berbagai jenis potensi kerugian yang sering sulit untuk
diukur.Namun demikian, dengan pengetahuan tentang bahaya, pola
populasi, dan pembangunansosial-ekonomi, risiko bencana dapat dinilai
dan dipetakan, setidaknya dalam arti luas.

B. Tujuan Analisis Risiko


Analisis resiko bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengukur
resiko bencana, memisahkan resiko – resiko kecil (yang dapat diterima)
dengan resiko – resiko besar, dan menyiapkan data sebagai bantuan

dalam mengevaluasi dan merumuskan pengendalian terhadap resiko


bencana. Analisis resiko mencakup penentuan kemungkinan
(probabilitas) dan dampak dari resiko.
Melalui analisis resiko, instansi pemerintah dapat menentukan
dampak resiko terhadap pencapaian tujuan, tingkat resiko yang dapat
diterima, dan prioritas resiko yang perlu ditangani dengan kegiatan
pengendalian.

C. Penilaian Risiko Bencana


Untuk menyusun prioritas risiko bencana yang mungkin terjadi
dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu berdasarkan penjumlahan nilai
bahaya, kerentanan dan manajemen serta berdasarkan pertemuan faktor
ancaman bencana dan kerentanan masyarakat.

18
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Analisis Risiko Pada Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Indonesia
Pada Tahun 2018
3.1.1 Data Dasar
1. Data Kejadian KDRT Di Indonesia Pada Tahun 2018 Berdasarkan
Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan Tahun 2018
 CATAHU 2018 menunjukkan hal yang baru, berdasarkan laporan
kekerasan di ranah privat/personal yang diterima mitra
pengadalayanan, terdapat angka kekerasan terhadap anak perempuan
yang meningkat dan cukup besar yaitu sebanyak 2.227 kasus.
Sementara angka kekerasan terhadap istri tetap menempati peringkat
pertama yakni 5.167 kasus, dan kemudian kekerasan dalam pacaran
merupakan angka ketiga terbanyak setelah kekerasan terhadap anak
yaitu 1.873 kasus.
 Di ranah privat/personal, persentase tertinggi adalah kekerasan fisik
41% (3.982 kasus), diikuti kekerasan seksual 31% (2.979 kasus),
kekerasan psikis 15% (1.404 kasus), dan kekerasan ekonomi 13%
(1.244 kasus).
 Hal lain yang mengejutkan pada CATAHU 2018, untuk kekerasan
seksual di ranah privat/personal tahun ini, incest (pelaku orang
terdekat yang masih memiliki hubungan keluarga) merupakan kasus
yang paling banyak dilaporkan yakni sebanyak 1.210 kasus, kedua
adalah kasus perkosaan sebanyak 619 kasus, kemudian
persetubuhan/eksploitasi seksual sebanyak 555 kasus. Dari total 1.210
kasus incest, sejumlah 266 kasus (22%) dilaporkan ke polisi, dan
masuk dalam proses pengadilan sebanyak 160 kasus (13,2%).
 Di tahun ini, CATAHU juga menemukan bahwa pelaku kekerasan
seksual tertinggi di ranah privat/personal adalah pacar sebanyak 1.528
orang, diikuti ayah kandung sebanyak 425 orang, kemudian

diperingkat ketiga adalah paman sebanyak 322 orang. Banyaknya pelaku


ayah kandung dan paman selaras dengan meningkatnya kasus incest.
2. Angka Kekerasan Berdasarkan Data Propinsi Di Indonesia
Sementara angka kekerasan terhadap perempuan berdasarkan
propinsi yang tertinggi adalah DKI Jakarta (1,999), kedua Jawa Timur
(1,536) dan ketiga Jawa Barat (1,460) dilaporkan tertinggi, tetapi
tingginya angka tersebut belum tentu menunjukkan banyaknya kekerasan
di propinsi tersebut. Komnas Perempuan melihat tingginya angka
berkaitan dengan jumlah tersedianya Lembaga Pengada Layanan di
propinsi tersebut, dan kepercayaan masyarakat untuk mengadu. Sangat
mungkin rendahnya angka kekerasan terhadap perempuan di propinsi
tertentu disebabkan oleh tidak adanya lembaga tempat korban melapor
atau ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga yang tersedia, atau
rasa tidak aman apabila melapor. Berikut diagram data yang dimaksud.

20
3. Bentuk – Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Perkawinan
Dan Hubungan Pribadi
Kekerasan terhadap perempuan dalam ranah pribadi terjadi dalam
berbagai bentuk. Melalui bentuk-bentuk kekerasan dalam hubungan
perempuan dengan orang terdekat, dapat menggambarkan kekerasan
yang terjadi pada korban. Bentuk-bentuk tersebut adalah kekerasan
terhadap istri (KTI), kekerasan dalam pacaran (KDP), kekerasan terhadap
anak perempuan berdasarkan usia anak (KTAP), kekerasan yang
dilakukan oleh mantan suami dan mantan pacar, kekerasan yang terjadi
pada pekerja rumah tangga, dan ranah personal lainnya.
D

Diagram diatas menunjukkan bentuk kekerasan terhadap


perempuan. Bentuk kekerasan terbanyak adalah fisik (41%), dan seksual
sebanyak (31%). Kekerasan seksual menjadi terbanyak kedua yang
dilaporkan, dan menunjukkan rumah dan relasi pribadi belum menjadi
tempat yang aman bagi perempuan.

4. Kekerasan Seksual Dalam Ranah Privat


Komnas Perempuan menganggap perlunya melihat lebih dalam
tentang bentuk kekerasan seksual apa saja yang dialami korban di ranah
keluarga atau KDRT, berikut adalah diagramnya.

22
Diagram di atas sangat mengejutkan karena kekerasan seksual di
dalam rumah yang banyak dilaporkan adalah kasus incest yaitu sebesar
1,210 kasus, kedua adalah kasus eksploitasi seksual/persetubuhan
sebanyak 555 kasus, dan kemudian perkosaan dan pencabulan. Angka
tentang incest menunjukkan pelaku kekerasan seksual terbanyak
dilakukan oleh orang terdekat yang masih memiliki hubungan keluarga.
Selain itu kekerasan seksual dalam hal incest yang pelakunya adalah
anggota keluarga menjadi semakin banyak terlaporkan.

Kekerasan seksual dalam bentuk incest ini paling banyak dilaporkan


kepada LSM, Kepolisian (UPPA), P2TP2A, dan Pengadilan Negeri.
Kasus incest tertinggi dengan pelaku ayah dan paman (lihat kategori
pelaku) yang termasuk kategori kekerasan seksual atau ranah privat. Ini
menunjukkan baik ayah maupun paman adalah dua orang yang
seharusnya menjadi pelindung bukan lagi menjadi sosok yang aman
untuk korban. Hal lainnya adalah, bagaimana dengan hukuman kebiri
pada kasus incest ini? Total kasus incest tahun 2017 sejumlah 1,210 yang
dilaporkan ke polisi sebanyak 266 (22%) dan masuk dalam proses
pengadilan sebanyak 160 kasus (13,2%).
5. Kategori Pelaku Kekerasan Seksual Dalam Keluarga dan Hubungan
Pribadi
Komnas Perempuan memiliki kepentingan untuk melihat data
pelaku kekerasan seksual di ranah rumah tangga dan relasi personal yang
banyak dilaporkan. Berikut adalah diagramnya.

Kekerasan seksual yang terjadi di dalam ranah pribadi paling


banyak dilakukan oleh pacar, sementara dalam KDRT menjadi kedua
terbesar yaitu dilakukan oleh Ayah Kandung, Paman, Kakak Kandung
dan Kakek Kandung. Kekerasan seksual juga dilakukan oleh pihak
Suami, yang selama ini dianggap tidak mungkin.

3.1.2 Identifikasi Jenis Bahaya Pada Kasus KDRT


Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) termasuk dalam jenis bahaya
yang disebabkan oleh manusia dalam kategori konflik dan kekerasan.

3.1.3 Hasil Identifikasi Bahaya

24
A. Peta Risiko Kejadian KDRT

Keterangan :
: Tinggi
: Sedang
: Rendah

B. Analisis Tingkat Kerentanan Korban dan Pelaku Kasus KDRT


1. Peta korban KtP di ranah personal/KDRT dan komunitas yang dapat
diidentifikasi melalui usia, pendidikan dan profesi mereka adalah
perempuan yang sedang puncak produktif dari segi sosial biologis.
Adapun peta pelaku adalah mereka dengan pendidikan terakhir SLTA
dan juga dalam rentang usia produktif antara diatas 25 tahun. Artinya
penduduk Indonesia yang terinterupsi hidupnya karena menjadi
korban dan pelaku kekerasan adalah mereka yang mayoritas sedang
bertanggungjawab untuk menjaga dan mereproduksi generasi.
2. Perempuan yang mengalami kekerasan dalam usia produktif,
mengundang kerentanan ekonomi dan perlu dilihat konektifitasnya
dengan banyaknya perempuan yang menjadi pengedar narkoba atau
terjebak dalam ligkaran ekonomi yang merentan kan kehidupan
perempuan.
3. Tingginya korban maupun pelaku dalam rentang usia pendidikan
bahkan ada dibawah usia 5 tahun, membutuhkan kecermatan untuk
melihat sejauh mana peran keluarga dan lembaga pendidikan dalam
mencegah dan menangani kekerasan terhadap perempuan di lembaga
pendidikan.
4. Pelaku yang memiliki otoritas dan kekuasaan secara politik dan
spiritual cenderung minim dilaporkan dan minim didokumentasi
misalnya anggota DPR, petinggi militer, tokoh agama dan tokoh
spiritual, pelaku dari korporasi.

C. Analisis Risiko

Keterangan :

 Ancaman : 3
KDRT dapat menyebabkan psikologis seseorang terganggu.
Hampir tidak ada seseorang yang psikologisnya tidak terganggu
setelah mengalami kekerasan. Oleh sebab itu ancaman untuk
KDRT termasuk tinggi, sehingga diberi skor 3.

 Keretanan : 2
KDRT dapat disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya ekonomi.
Indonesia merupakan berkembang yang pertumbuhan ekonominya
masih rendah, sehingga di Indonesia masih tergolong rentan terjadi

26
KDRT. Oleh sebab itu kerentanan untuk KDRT di Indonesia
termasuk sedang, sehingga diberi skor 2.
 Kapasitas : 2
Di Indonesia banyak terdapat LSM yang memperjuangkan hak-hak
anak dan perempuan. LSM tersebut mempunyai tujuan untuk
mencegah dan menanggulangi resiko terjadinya KDRT. Namun,
seiring waktu, semakin banyak kekerasan yang terjadi. Sehingga
dapat disimpulkan dengan adanya LSM ini masih belum bisa untuk
mengurangi resiko terjadinya KDRT. Oleh karena itu, kapasitas
untuk mengurangi resiko KDRT sedang. Sehingga diberi skor 2.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Seharusnya seorang suami dan istri harus banyak bertanya dan belajar,
seperti membaca buku yang memang isi bukunya itu bercerita tentang
bagaimana cara menerapkan sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah dan
warahmah.

Di dalam sebuah rumah tangga butuh komunikasi yang baik antara suami
dan istri, agar tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di
dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan diantara
kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam
rumah tangga. Seharusnya seorang suami dan istri bisa mengimbangi
kebutuhan psikis, di mana kebutuhan itu sangat mempengaruhi keinginan
kedua belah pihak yang bertentangan. Seorang suami atau istri harus bisa
saling menghargai pendapat pasangannya masing-masing.

Seperti halnya dalam berpacaran. Untuk mempertahankan sebuah


hubungan, butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan
sebagainya. Begitu juga halnya dalam rumah tangga harus dilandasi dengan
rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita
untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa kepercayaan maka yang timbul
adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang juga
berlebih-lebihan. Tidak sedikit seorang suami yang sifat seperti itu, terkadang
suami juga melarang istrinya untuk beraktivitas di luar rumah. Karena
mungkin takut istrinya diambil orang atau yang lainnya. jika sudah begitu
kegiatan seorang istri jadi terbatas. Kurang bergaul dan berbaur dengan orang
lain. Ini adalah dampak dari sikap seorang suami yang memiliki sifat cemburu
yang terlalu tinggi. Banyak contoh yang kita lihat dilingkungan kita, kajadian
seperti itu. Sifat rasa cemburu bisa menimbukan kekerasan dalam rumah
tangga.
Maka dari itu, di dalam sebuah rumah tangga kedua belah pihak harus
sama-sama menjaga agar tidak terjadi konflik yang bisa menimbulkan
kekerasan. Tidak hanya satu pihak yang bisa memicu konflik di dalam rumah
tangga, bisa suami maupun istri. Sebelum kita melihat kesalahan orang lain,
marilah kita berkaca pada diri kita sendiri. Sebenarnya apa yang terjadi pada
diri kita, sehingga menimbulkan perubahan sifat yang terjadi pada pasangan
kita masing-masing

4.2 Saran

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, karena


keterbatasan dan kekurangan, baik dalam pengetahuan maupun pengalaman.
Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak,
khususnya dosen mata kuliah Managemen Bencana, serta bagi pembaca pada
umumnya.

25
DAFTAR PUSTAKA

Husna, Nurul.(2018), Penyelesaian Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah


Tangga (Kdrt) Melalui Mediasi Di Polres Bener Meriah. Diakses pada
tanggal 23 Februari 2019, dari https://repository.ar-
raniry.ac.id/5321/1/Nurul%20Husna.pdf

Yogi, Komang.(2018), Penyelesaian Hukum Terhadap Tindak Pidana (KDRT)


Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Wilayah Kabupaten Kendal (Studi
Kasus Di Pengadilan Negri Kendal). Jurnal Hukum Khaira Ummah Vol.
13. No. 1 Maret 2018

Komnas Perempuan.(2018), Lembar Fakta dan Poin Kunci Catatan Tahunan


(CATAHU) Komnas Perempuan Tahun 2018 Tergerusnya Ruang Aman
Perempuan dalam Pusaran Politik Populisme Jakarta, 7 Maret 2018.
Diakses pada tanggal 22 Februari 2019, dari
https://www.komnasperempuan.go.id

Moeljatno.(2011),Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta,


2002, hlm. 59. Diakses pada tanggal 22 Februari 2019, dari
http://digilib.unila.ac.id/8890/2/BAB%20II.pdf

Nasir, Liztia.(2018), Analisis Komunikasi Risiko Dalam Masa Tanggap Darurat


Bencana. Diakses pada tanggal 23 Februari 2019, dari
https://www.academia.edu

Nuhatama, Didib.(2011), Makalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).


Diakses pada tanggal 19 Februari 2019, dari
http://d2bnuhatama.blogspot.com/2011/08/makalah-pancasila-kekerasan-
dalam-rumah.html?m=1
Anggraeni, Anggi.(2015), Analisis Risiko Kesehatan pada Penanganan Bencana.
Diakses pada tanggal 23 Februari 2019, dari
https://www.scribd.com/doc/293921548/Analisis-Risiko-Kesehatan-pada-
Penanganan-Bencana

Revita Ike.(2018), Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Kdrt): Realitas


Terkamuflase. Padang : Universitas Andalas Padng. Diakses pada 22
Februari 2019

Bappeda Jatim.(2018), Data Dinamis Provinsi Jawa Timur Triwulan I 2018.


Diakses pada tanggal 22 Februari 2019, dari
http://bappeda.jatimprov.go.id/bappeda/publikasi/dinamis_1_2018.pdf

Komnas Perempuan.(2018), Tergerusnya Ruang Aman Perempuan Dalam


Pusaran Politik Populisme. Diakses pada tanggal 22 Februari 2019, dari
https://www.komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Catatan
%20Tahunan%20Kekerasan%20Terhadap%20Perempuan%202018.pdf

25

Anda mungkin juga menyukai