Anda di halaman 1dari 17

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kencur

1. Arti Penting

Kencur (Kaempferia galanga L.) merupakan tanaman tropis yang

banyak tumbuh di berbagai daerah di Indonesia sebagai tanaman yang

dipelihara. Tanaman ini banyak digunakan sebagai ramuan obat tradisional

dan sebagai bumbu dalam masakan sehingga para petani banyak yang

membudidayakan tanaman kencur sebagai hasil pertanian yang

diperdagangkan. Bagian dari kencur yang diperdagangkan adalah buah akar

yang ada di dalam tanah yang disebut rimpang kencur atau rizoma (Barus

2009).

Rimpang kencur sudah dikenal luas di masyarakat baik sebagai bumbu

makanan atau untuk pengobatan, diantaranya adalah batuk, mual, bengkak,

bisul dan jamur. Selain itu minuman beras kencur berkhasiat untuk menambah

daya tahan tubuh, menghilangkan masuk angin, dan kelelahan, dengan

dicampur minyak kelapa atau alkohol digunakan untuk mengurut kaki keseleo

atau mengencangkan urat kaki. Komponen yang terkandung di dalamnya

antara lain saponin, flavonoid, polifenol dan minyak atsiri. Tanaman ini

termasuk kelas monocotyledonae, bangsa Zingiberales, suku Zingiberaceae

dan, marga Kaempferia (Winarto 2007).


Minyak atsiri di dalam rimpang kencur mengandung etil sinnamat dan

metal pmetoksisinamat yang banyak digunakan di dalam industri kosmetika

dan dimanfaatkan sebagai obat asma dan anti jamur. Banyaknya manfaat

kencur memungkinkan pengembangan pembudidayaannya dilakukan secara

intensif yang disesuaikan dengan produk akhir yang diinginkan (Otih et al.

2005)

2. Biologi

Tanaman terna kecil yang siklus hidupnya semusim atau beberapa

musim. Akar rimpang kencur menempel pada umbi akar dan sebagian lagi

terletak di atas tanah. Bentuk rimpang umumnya bulat, bagian tengah

berwarna putih dan pinggirnya coklat kekuningan dan berbau harum.

Rimpang kencur terdapat didalam tanah bergerombol dan bercabang-cabang

dengan induk rimpang di tengah. Kulit ari berwarna coklat dan bagian dalam

putih berair dengan aroma yang tajam. Rimpang yang masih muda berwarna

putih kekuningan dengan kandungan air yang lebih banyak dan rimpang yang

lebih tua ditumbuhi akar pada ruas-ruas rimpang berwarna putih kekuningan.

Tanaman kencur memiliki batang semu yang sangat pendek, terbentuk

dari pelepah-pelepah daun yang saling menutupi. Daun-daun kencur tumbuh

tunggal, melebar dan mendatar hampir rata dengan permukaan tanah. Jumlah

daun bervariasi antara 8-10 helai dan tumbuh secara berlawanan satu sama

lain. Bentuk daun elip melebar sampai bundar, ukuran panjang daun 7-12 cm

dan lebarnya 3-6 cm, serta berdaging agak lebar. Bunga kencur keluar dalam
bentuk buliran setengah duduk dari ujung tanaman di sela-sela daun. Warna

bunganya putih, ungu hingga lembayung dan tiap tangkai bunga berjumlah 4-

12 kuntum bunga. Bunga kencur berwarna putih berbau harum terdiri dari

empat helai daun mahkota. Tangkai bunga berdaun kecil sepanjang 2–3 cm,

tidak bercabang, dapat tumbuh lebih dari satiu tangkai, panjang tangkai 5–7

cm berbentuk bulat dan beruas ruas. Putik menonjol keatas berukuran 1–1,5

cm, tangkai sari berbentuk corong pendek. Buah kencur termasuk buah kotak

beruang 3 dengan bakal buah yang letaknya tenggelam, tetapi sulit sekali

menghasilkan biji.

Hampir seluruh bagian tanaman kencur mengandung minyak atsiri.

Zat-zat kimia yang telah banyak diteliti adalah pada rimpangnya, yakni

mengandung minyak atsiri 2,4%-3,9%, juga cinnamal, aldehide, asam motil p-

cumarik, etil ester dan pentadekan. Dalam literatur lain disebutkan bahwa

rimpang kencur mengandung sineol, paraeumarin, asam anisic, gom, pati

(4,14%) dan mineral (13,73%). Kandungan kimia tersebut sangat berguna

bagi obat-obatan, terutama obat batuk, sakit perut dan obat pengeluaran

keringat (Muhlisah 1999).

B. Dermatitis

1. Defenisi

Dermatitis adalah peradangan kulit pada lapisan epidermis dan dermis

sebagai respons terhadap pengaruh faktor eksogen atau faktor endogen,

dengan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik seperti eritema, edema,


papul, vesikel, skuama, likenifikasi dan keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak

slalu timbul bersamaan, mungkin hanya beberapa atau oligomorfik. Dermatitis

cenderung residif dan menjadi kronis (Djuanda, 2010). Dermatitis kontak

sendiri adalah suatu inflamasi pada kulit yang dapat disertai dengan adanya

edema interseluler pada epidermis karena kulit berintraksi dengan

bahan−bahan kimia yang berkontak dengan kulit. Berdasarkan penyebabnya,

dermatitis kontak dibagi menjadi dermatitis kontak iritan dan dermatitik

kontak alergi (Beltrani, 2006).

Penyakit kulit akibat kerja atau penyakit kulit okupasi adalah keadaan

abnormal dari kondisi kulit karena adanya kontak dengan substansi atau

berhubungan dengan proses yang ada di lingkungan kerja. Penyakit kulit

okupasi merupakan masalah besar untuk kesehatan masyarakat karena

efeknya yang sering kronik dan memiliki pengaruh yang besar terhadap

keadaan ekonomi masyarakat dan para karyawan (Taylor, 2004).

Dermatitis kontak iritan merupakan respon inflamsi yang tidak

berkaitan dengan reaksi imun dikarenakan paparan langsung dari agen bahan

iritan dengan kulit. Dermatitis kontak Iritan juga merupakan efek sitotoksik

lokal langsung dari bahan iritan fisika maupun kimia yang bersifat tidak

spesifik, pada sel−sel epidermis dengan respon peradangan pada dermis dalam

waktu konsentrasi yang cukup (Verayati, 2011).

2. Klasifikasi

Menurut Adhi Djuanda (2005) dermatitis timbul dalam beberapa jenis,

yang masing-masing memiliki indikasi dan kejala yang berbeda :


a. Contact Dermatitis

Dermatitis kontak adalah dermatitis yang disebabkan oleh

bahan/substansi yang menempel pada kulit yang dipicu alergen

(penyebab alergi) tertentu seperti racun yang terdapat pada tanaman

merambat atau detergen. Indikasi dan gejala antara kulit memerah dan

gatal. Jika memburuk, penderita akan mengalami bentol-bentol yang

meradang. Disebabkan kontak langsung dengan salah satu penyebab

iritasi pada kulit atau alergi. Contohnya sabun cuci/detergen, sabun

mandi atau pembersih lantai. Alergennya bisa berupa karet, logam,

perhiasan, parfum, kosmetik atau rumput.

b. Neurodermatitis

Peradangan kulit kronis, gatal, sirkumstrip, ditandai dengan kulit

tebal dan garis kulit tampak lebih menonjol (likenifikasi) menyerupai

kulit batang kayu, akibat garukan atau gosokan yang berulang-ulang

karena berbagai ransangan pruritogenik.

Timbul karena goresan pada kulit secara berulang, bisa berwujud

kecil, datar dan dapat berdiameter sekitar 2,5 sampai 25 cm. Penyakit ini

muncul saat sejumlah pakaian ketat yang kita kenakan menggores kulit

sehingga iritasi. Iritasi ini memicu kita untuk menggaruk bagian yang

terasa gatal. Biasanya muncul pada pergelangan kaki, pergelangan

tangan, lengan dan bagian belakang dari leher.


c. Dermatitis Seborrheic

Kulit terasa berminyak dan licin, melepuhnya sisi-sisi dari hidung,

antara kedua alis, belakang telinga serta dada bagian atas. Dermatitis ini

seringkali diakibatkan faktor keturunan, muncul saat kondisi mental

dalam keadaan stres atau orang yang menderita penyakit saraf seperti

Parkinson.

d. Dermatitis Stasis

Merupakan dermatitis sekunder akibat insufisiensi kronik vena(atau

hipertensi vena) tungkai bawah. Yang muncul dengan adanya varises,

menyebabkan pergelangan kaki dan tulang kering berubah warna

menjadi memerah atau coklat, menebal dan gatal. Dermatitis muncul

ketika adanya akumulasi cairan di bawah jaringan kulit. Varises dan

kondisi kronis lain pada kaki juga menjadi penyebab.

e. Dermatitis Atopik

Merupakan keadaan peradangan kulit kronis dan resitif, disertai

gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak,

sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan

riwayat atopi pada keluarga atau penderita (D.A, rinitis alergik, atau

asma bronkial). kelainan kulit berupa papul gatal yang kemudian

mengalami ekskoriasi dan likenifikasi, distribusinya dilipatan (fleksural).

Dengan indikasi dan gejala antara lain gatal-gatal, kulit menebal,

dan pecah-pecah. Seringkali muncul di lipatan siku atau belakang lutut.

Dermatitis biasanya muncul saat alergi dan seringkali muncul pada


keluarga, yang salah satu anggota keluarga memiliki asma. Biasanya

dimulai sejak bayi dan mungkin bisa bertambah atau berkurang tingkat

keparahannya selama masa kecil dan dewasa.

f. Dermatitis Medikamentosa

Dermatitis medikamentosa memiliki bentuk lesi eritem dengan atau

tanpa vesikula, berbatas tegas, dapat soliter atau multipel. Terutama pada

bibir, glans penis, telapak tangan atau kaki. Penyebabnya dari obat-

obatan yang masuk kedalam tubuh melalui mulut, suntikan atau anal.

Keluhan utama pada penyakit biasanya gatal dan suhu badan

meninggi. Gejala dapat akut, subakut atau kronik. Untuk lokalisasinya

bisa mengenai seluruh tubuh. Apabila di bandingkan dengan melasma

bedanya yaitu plak hiperpigmentasi batas nya tidak tegas

3. Etiologi

Penyebab DKI kronik adalah bahan yang bersifat iritan, misalnya

bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam, sabun, alkali, serbuk kayu.

Dermatitis kontak iritan dapat menjadi parah ditentukan dengan berbagai

faktor, selain faktor molekul bahan iritan, lama kontak, frekuensi paparan juga

berpengaruh pada ingkat keparahan (Djuanda, 2010).

Sekitar 80−90% kasus DKI disebabkan oleh paparan zat kimia dan

pelarut. Inflamasi dapat terjadi setelah satu kali paparan atau paparan berulang

DKI yang terjadi stelah pemaparan pertama disebut DKI akut dan biasanya

disebabkan oleh iritan yang kuat, seperti asam kuat, basa kuat, garam, logam

berat, aldehid, senyawa aromatik dan polisiklik. Sedangkan DKI yang terjadi
setelah pemaparan berulang disebut dengan DKI kronis, dan biasanya

disebabkan oleh iritan lemah (Keefner, 2004).

Faktor individu juga berpengaruh pada DKI, misalnya perbedaan

ketebalan kulit di berbagai tempat menyebabkan perbedaan permeabilitas,

usia anak dibawah 8 tahun dan usia lanjut lebih mudah teriritasi, mengenai

seluruh ras, jenis kelamin yaitu insidens DKI lebih banyak pada wanita, pada

penyakit kulit yang pernah atau sedang dialami ambang rangsang terhadap

bahan iritan menurun (Siregar, 2004).

Bahan iritan yang menjadi penyebab adalah bahan yang pada

kebanyakan orang dapat mengakibatkan kerusakan sel bila dioleskan pada

kulit pada waktu tertentu dan untuk jangka waktu tertentu. Bahan iritan dapat

diklasifikasikan menjadi:

a. Iritan kuat

b. Rangsangan mekanik: serbuk kaca atau serat, wol.

c. Bahan kimia: atrazine, amida, linuron, glyfosfat, paraquat diklorida

d. Bahan biologik: dermatitis popok.

4. Patofisiologi

Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan

iritan melalui kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk,

denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk dan mengubah daya

ikat air kulit. Kebanyak bahan iritan (toksin) merusak membran lemak

keratinosit tetapi sebagian dapat menembus membran sel dan merusak

lisosom, mitokondria atau komplemen inti (Streit, 2004).


Kerusakan membran mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan asam

arakidonat (AA), diasilgliserida (DAG), faktor aktivasi platelet, dan inositida

(IP3). Asam rakidonat dirubah menjadi prostaglandin (PG) dan leukotrien

(LT). Prostaglandin dan LT menginduksi vasodilatasi, dan meningkatkan

permeabilitas vaskuler sehingga mempermudah transudasi komplemen dan

kinin. Prostaglandi dan LT juga bertindak sebagai kemotraktan kuat untuk

limfosit dan neutrofil, serta mengaktifasi sel mast melepaskan histamin, LT

dan PG lain, dan PAF, sehingga memperkuat perubahan vaskuler (Beltrani,

2006; Djuanda, 2010).

Diasilgliserida dan second messenger lain menstimulasi ekspresi gen

dan sintesis protein, misalnya interleukin−1 (IL−1) dan granulocyte

macrophage−colony stimulating factor (GM−CSF). IL−1 mengaktifkan sel

T−helper mengeluarkan IL−2 dan mengekspresi reseptor IL−2 yang

menimbulkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut. Keratinosit juga

mengakibatkan molekul permukaan HLA−DR dan adesi intrasel (ICAM−1).

Pada kontak dengan iritan, keratinosit juga melepaskan TNF−α, suatu sitokin

proinflamasi yang dapat mengaktifasi sel T, makrofag dan granulosit,

menginduksi ekspresi molekul adhesi sel dan pelepasan sitokin (Beltrani,

2006).

Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik di

tempat terjadinya kontak di kulit tergantung pada bahan iritannya. Ada dua

jenis bahan iritan, yaitu iritan kuat dan iritan lemah. Iritan kuat akan

menimbulkan kelainan kulit pada pajanan pertama pada hampir semua orang
dan menimbulkan gejala berupa eritema, edema, panas, dan nyeri (Kamphf,

2007). Sedangkan iritan lemah hanya pada mereka yang paling rawan atau

mengalami kontak berulang−ulang, dimulai dengan kerusakan stratum

korneum oleh karena delipidasi yang menyebabkan desikasi dan kehilangan

fungsi sawar, sehingga mempermudah kerusakan sel dibawahnya oleh iritan.

Faktor kontribusi, misalnya kelembaban udara, tekanan, gesekan, dan oklusi,

mempunyai andil pada terjadinya kerusakan tersebut (Graham, 2005).

Ketika terkena paparan iritan, kulit menjadi radang, bengkak,

kemerahan dan dapat berkembang menjadi vesikel atau papul dan

mengeluarkan cairan bila terkelupas, gatal, perih, dan rasa terbakar terjadi

pada bintik merah−merah itu. Reaksi inflamasi bermacam−macam mulai dari

gejala awal seperti ini hingga pembentukan luka dan area nekrosis pada kulit.

Dalam beberapa hari, penurunan dermatitis dapat terjadi bila iritan dihentikan.

Pada pasien yang terpapar iritan secara kronik, area kulit tersebut akan

mengalami radang, dan mulai mengkerut, membesar bahkan terjadi hiper atau

hipopigmentasi dan penebalan (Verayati, 2011).

5. Manifestasi Klinis

Kelainan kulit yang sangat beragam, tergantung pada sifat iritan. Iritan

kuat memberi gejala akut, sedang iritan lemah memberi gejala kronis (Siregar,

2004). Gejala klinis dermatitis iritan dibedakan berdasarkan klasifikasinya

yaitu dermatitis kontak iritan akut dan dermatitis kontak iritan kronik.
a. Dermatitis kontak iritan akut

Dermatitis kontak iritan akut biasanya timbul akibat paparan

bahan kimia asam atau basa kuat, atau paparan singkat serial bahan kimia,

atau kontak fisik. Sebagian kasus dermatitis kontak iritan akut merupakan

akibat kecelakaan kerja. Kelainan kulit yang timbul dapat berupa eritema,

edema, vesikel, dapat disertai eksudasi, pembentukan bula dan nekrosis

jaringan pada kasus berat (Marliza, 2013).

Dermatitis iritan terjadi setelah satu atau beberapa kali olesan

bahan iritan kuat, sehingga terjadi kerusakan epidermis yang berakibat

peradangan. Bahan−bahan iritan ini dapat merusak kulit karena merusak

lapisan tanduk, denaturasi keratin dan pembengkakan sel. Manifestasi

klinik tergantung pada bahan apa yang berkontak, konsentrasi bahan

kontak, dan lamanya kontak. Reaksinya dapat berupa kulit menjadi merah

atau cokelat, terjadi edema dan rasa panas, atau ada papula, vesikula,

pustula dan bentuk purulen dengan kulit disekitarnya normal (Astuti,

2006).

b. Dermatitis kontak iritan kronik

Dermatitis kontak iritan kronis disebabkan oleh kontak dengan

iritan lemah yang berulang−ulang, dan mungkin dapat terjadi karena

kerjasama berbagai macam faktor, suatu bahan secara sendiri tidak dapat

cukup kuat menyebabkan dermatitis iritan, tetapi bila bergabung dengan

faktor lain baru mampu. Kelainan dapat terlihat setelah berhari−hari,

berminggu−minggu atau bulan, bahkan dapat bertahun−tahun kemudian,


sehingga waktu lama kontak merupakan faktor paling penting (Mausulli,

2010).

Gejala klasik berupa kulit kering, eritema, skuama, lambat laun

kulit tebal dan terjadi likenifikasi, batas kelainan tidak tegas. Bila kontak

terus berlangsung maka dapat menimbulkan kulit pecah yang disebut

fisura. Kelainan kulit dapat juga berupa kulit kering dan skuama tanpa

eritema, sehingga diabaikan oleh penderita, jika kelainan sudah dirasakan

mengganggu, baru mendapat perhatian (Graham, 2005).

Berdasarkan manifestasinya pada kulit dapat dibagi kedalam dua

stadium, diantaranya:

1) Stadium 1. Kulit kering dan pecah−pecah, stadium ini dapat sembuh

spontan (Afifah, 2012).

2) Stadium 2. Ada kerusakan epidermis dan reaksi dermal. Kulit

menjadi merah dan bengkak, terasa panas dan mudah terangsang

kadang−kadang timbul papula, vesikula, dan krusta. Kerusakan

kronik dapa menimbulkan likenifikasi. Keadaan ini menimbulkan

retensi keringat dan perubahan flora bakteri (Cahyono, 2004).

6. Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium

1) Darah : Hb, leukosit, hitung jenis, trombosit, elektrolit, protein total,

albumin, globulin

2) Urin : pemerikasaan histopatologi


b. Pemeriksaan Histopatologi)

Pemeriksaan ini tidak memberi gambaran khas untuk diagnostik

karena gambaran histopatologiknya dapat juga terlihat pada dermatitis

oleh sebab lain. Pada dermatitis akut perubahan pada dermatitis berupa

edema interseluler (spongiosis), terbentuknya vesikel atau bula, dan

pada dermis terdapat dilatasi vaskuler disertai edema dan infiltrasi

perivaskuler sel-sel mononuclear. Dermatitis sub akut menyerupai

bentuk akut dengan terdapatnya akantosis dan kadangkadang

parakeratosis. Pada dermatitis kronik akan terlihat akantosis,

hiperkeratosis, parakeratosis, spongiosis ringan, tidak tampak adanya

vesikel dan pada dermis dijumpai infiltrasi perivaskuler, pertambahan

kapiler dan fibrosis. Gambaran tersebut merupakan dermatitis secara

umum dan sangat sukar untuk membedakan gambaran histopatologik

antara dermatitis kontak alergik dan dermatitis kontak iritan.

Pemeriksaan ultrastruktur menunjukkan 2-3 jam setelah paparan

antigen, seperti dinitroklorbenzen (DNCB) topikal dan injeksi ferritin

intrakutan, tampak sejumlah besar sel langerhans di epidermis. Saat itu

antigen terlihat di membran sel dan di organella sel Langerhans.

Limfosit mendekatinya dan sel Langerhans menunjukkan aktivitas

metabolik. Berikutnya sel langerhans yang membawa antigen akan

tampak didermis dan setelah 4-6 jam tampak rusak dan jumlahnya di

epidermis berkurang. Pada saat yang sama migrasinya ke kelenjar getah

bening setempat meningkat. Namun demikian penelitian terakhir


mengenai gambaran histologi, imunositokimia dan mikroskop elektron

dari tahap seluler awal pada pasien yang diinduksi alergen dan bahan

iritan belum berhasil menunjukkan perbedaan dalam pola

peradangannya.

7. Komplikasi

a. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit

b. Infeksi sekunder khususnya oleh Stafilokokus aureus

c. Hiperpigmentasi atau hipopigmentasi post inflamasi

d. Jaringan parut muncul pada paparan bahan korosif atau ekskoriasi

6. Penatalaksanaan

a. Kortikosteroid

Kortikosteroid mempunyai peranan penting dalam sistem imun.

Pemberian topikal akan menghambat reaksi aferen dan eferen dari

dermatitis kontak alergik. Steroid menghambat aktivasi dan proliferasi

spesifik antigen. Ini mungkin disebabkan karena efek langsung pada sel

penyaji antigen dan sel T. Pemberian steroid topikal pada kulit

menyebabkan hilangnya molekul CD1 dan HLA-DR sel Langerhans,

sehingga sel Langerhans kehilangan fungsi penyaji antigennya. Juga

menghalangi pelepasan IL-2 oleh sel T, dengan demikian profilerasi sel

T dihambat. Efek imunomodulator ini meniadakan respon imun yang

terjadi dalam proses dermatitis kontak dengan demikian efek terapetik.

Jenis yang dapat diberikan adalah hidrokortison 2,5 %, halcinonid dan

triamsinolon asetonid. Cara pemakaian topikal dengan menggosok


secara lembut. Untuk meningkatan penetrasi obat dan mempercepat

penyembuhan, dapat dilakukan secara tertutup dengan film plastik

selama 6-10 jam setiap hari. Perlu diperhatikan timbulnya efek samping

berupa potensiasi, atrofi kulit dan erupsi akneiformis.

b. Radiasi ultraviolet

Sinar ultraviolet juga mempunyai efek terapetik dalam dermatitis

kontak melalui sistem imun. Paparan ultraviolet di kulit mengakibatkan

hilangnya fungsi sel Langerhans dan menginduksi timbulnya sel panyaji

antigen yang berasal dari sumsum tulang yang dapat mengaktivasi sel T

supresor. Paparan ultraviolet di kulit mengakibatkan hilangnya molekul

permukaan sel langehans (CDI dan HLA-DR), sehingga menghilangkan

fungsi penyaji antigennya. Kombinasi 8-methoxy-psoralen dan UVA

(PUVA) dapat menekan reaksi peradangan dan imunitis. Secara

imunologis dan histologis PUVA akan mengurangi ketebalan epidermis,

menurunkan jumlah sel Langerhans di epidermis, sel mast di dermis dan

infiltrasi mononuklear. Fase induksi dan elisitasi dapat diblok oleh

UVB. Melalui mekanisme yang diperantarai TNF maka jumlah HLA-

DR + dari sel Langerhans akan sangat berkurang jumlahnya dan sel

Langerhans menjadi tolerogenik. UVB juga merangsang ekspresi

ICAM-1 pada keratinosit dan sel Langerhans.

c. Siklosporin A

Pemberian siklosporin A topikal menghambat elisitasi dari

hipersensitivitas kontak pada marmut percobaan, tapi pada manusia


hanya memberikan efek minimal, mungkin disebabkan oleh kurangnya

absorbsi atau inaktivasi dari obat di epidermis atau dermis.

d. Antibiotika dan antimikotika

Superinfeksi dapat ditimbulkan oleh S. aureus, S. beta dan alfa

hemolitikus, E. koli, Proteus dan Kandida spp. Pada keadaan

superinfeksi tersebut dapat diberikan antibiotika (misalnya gentamisin)

dan antimikotika (misalnya clotrimazole) dalam bentuk topikal.

e. Imunosupresif topical

Obat-obatan baru yang bersifat imunosupresif adalah FK 506

(Tacrolimus) dan SDZ ASM 981. Tacrolimus bekerja dengan

menghambat proliferasi sel T melalui penurunan sekresi sitokin seperti

IL-2 dan IL-4 tanpa merubah responnya terhadap sitokin eksogen lain.

Hal ini akan mengurangi peradangan kulit dengan tidak menimbulkan

atrofi kulit dan efek samping sistemik. SDZ ASM 981 merupakan

derivat askomisin makrolatum yang berefek anti inflamasi yang tinggi.

Pada konsentrasi 0,1% potensinya sebanding dengan kortikosteroid

klobetasol-17-propionat 0,05% dan pada konsentrasi 1% sebanding

dengan betametason 17-valerat 0,1%, namun tidak menimbulkan atrofi

kulit. Konsentrasi yang diajurkan adalah 1%. Efek anti peradangan tidak

mengganggu respon imun sistemik dan penggunaan secara topikal sama

efektifnya dengan pemakaian secara oral.


f. Antihistamin

Maksud pemberian antihistamin adalah untuk memperoleh efek

sedatifnya. Ada yang berpendapat pada stadium permulaan tidak

terdapat pelepasan histamin. Tapi ada juga yang berpendapat dengan

adanya reaksi antigen-antobodi terdapat pembebasan histamin,

serotonin, SRS-A, bradikinin dan asetilkolin.

Anda mungkin juga menyukai