Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Melalui Penelitian Tindakan Kelas
Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Melalui Penelitian Tindakan Kelas
Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Melalui Penelitian Tindakan Kelas
Parlindungan Pardede
parlpard2010@gmail.com
Universitas Kristen Indonesia
Abstrak
Classroom Action Research (CAR) is the terminology used to describe the
cyclical process of identifying problems in the classroom, planning actions to tackle
the problem, collecting data, and interpreting the data through reflection. Ideas
obtained through the reflection are then implemented to improve the second cycle of
process. The process could be repeated (by iconducting the third, forth, and even fifth
cycle until the targeted results achieved. Since the process is conducted right in the
teaching and learning practice in the classroom, it is very effective to analyze the
existing practice and make necessary changes for improving the practice. Realizing
this, it is obvious that CAR is very potential to develop any teacher’s professional
development through the fostering of his/her capability as professional knowledge
makers—not merely as professional knowledge users.
Pendahuluan
Saat ini para guru di seluruh dunia dituntut untuk melakukan perbaikan
berkelanjutan. Lembaga pendidikan dan asosiasi guru terus-menerus ditekan untuk
meningkatkan kinerja dalam rangka mencapai hasil pendidikan yang lebih baik. Di
satu sisi, dengan waktu dan sumber daya yang relatif terbatas, guru (sebagai pelaku
utama aktivitas pendidikan) dituntut untuk memampukan siswa mengerjakan ujian
standar dengan baik; di sisi lain, guru juga dituntut memampukan siswa menguasai
seluruh materi pelajaran secara komprehensif. Tantangan lain datang dari
penggantian dan pembaharuan kurikulum yang akseleratif. Tuntutan agar para guru
menguasai dan sekaligus menggunakan teknologi informasi dan komunikasi hingga
mereka dapat mempersiapkan siswa memasuki masyarakat berorientasi teknologi
juga merupakan tantangan besar. Tantangan berikutnya berasal dari harapan bahwa
semua siswa di kelas, dengan karakter yang beragam, harus difasilitasi agar sukses
dalam pembelajaran. Selain itu, berbeda dengan pembelajaran di masa lampau, di
masa kini guru tidak lagi berperan hanya sebagai penceramah, tetapi pemandu; siswa
tidak lagi berperan hanya sebagai pendengar, tapi mitra guru dalam menjelajah
pengetahuan. Pendidikan saat ini telah menjadi lebih interaktif dan kolaboratif bagi
guru dan siswa. Dengan demikian, guru juga harus mengembangkan dan
menyesuaikan kompetensinya agar dapat memfasilitasi setiap siswa menjadi pelajar
yang sukses.
Untuk menjawab tantangan-tantangan itu, para guru dan pemangku
kepentingan lain di sektor pendidikan terus berupaya meningkatkan mutu proses dan
hasil pendidikan. Upaya-upaya yang lazim dilakukan mencakup pelatihan dalam
jabatan (in-service training), seminar, lokakarya, atau kursus penyegaran. Tanpa
bermaksud mengabaikan berbagai manfaat yang diperoleh, praktik di berbagai
penjuru dunia menunjukkan upaya-upaya tersebut tidak memberikan hasil yang
optimal. Kemungkinan besar, penyebabnya adalah kenyataan bahwa upaya-upaya itu
merupakan inisiatif ekternal, tidak muncul dari dalam diri para guru. Dalam kondisi
seperti saat ini, para guru akan memperoleh lebih banyak manfaat baik bila inisiatif
untuk melakukan perbaikan tersebut datang dari dalam diri mereka sendiri. Mereka
harus berupaya, secara mandiri atau bersama-sama, menemukan cara-cara yang tepat
untuk meningkatkan berbagai aspek pendidikan, seperti proses belajar mengajar ,
kurikulum dan penilaian. Guru perlu terus menerus melakukan perubahan-perubahan
yang tepat untuk meningkatkan praktik profesional mereka, dan alat yang paling
sesuai untuk hal ini adalah PTK. Menurut Mills (2011), PTK merupakan pilihan yang
menarik bagi para guru, staf administrasi sekolah, dan pemangku kepentingan
pendidikan lainnya untuk meningkatkan kinerja sector pendidikan. Sedangkan Sagor
(2004) menyatakan bahwa PTK merupakan alat yang efektif untuk membantu guru
dan pendidik lainnya mengungkap strategi yang pas untuk meningkatkan praktik
mengajar. Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa pelaksanaan PTK mendorong
berbagai perubahan positif berupa peningkatan kompetensi guru, refleksi diri, dan
perbaikan pembelajaran secara keseluruhan yang meningkatkan proses dan hasil
praktik pembelajaran di kelas (Ferrance, 2000; Johnson & Button, 2000). Senada
dengan itu, Vialle, Hall dan Booth (1997) yang menggambarkan bahwa PTK dapat
memberikan kontribusi besar dalam pengembangan profesi pendidik dan pada
gilirannya secara konsisten membuat perbedaan berbentuk perbaikan dalam kualitas
dan manajemen sektor pendidikan. Levin dan Merrit (2006) menegaskan:
“Increasingly, action research is being seen as a vehicle for professional growth,
personal transformation, and improved student learning.”
Artikel ini merupakan sintesis berbagai pandangan dan hasil penelitian terkini
yang tersedia dalam literatur tentang PTK yang diarahkan untuk membahas landasan
konseptual karakteristik PTK, dan implikasinya terhadap peningkatan pembelajaran.
Karakteristik PTK
Creswell (2008, hh. 605-609) mengidentifikasi enam karaktaristik PTK.
Pertama, PTK terfokus pada tujuan praktis, dalam pengertian diarahkan untuk
mengidentifikasi dan memecahkan masalah aktual yang spesifik dalam konteks
pendidikan. Cochran-Smith dan Lytle (1999) menggambarkan PTK sebagai practical
inquiry atau kajian praktis untuk menekankan fungsinya sebagai cara untuk
menghasilkan atau meningkatkan pengetahuan praktis. Berbeda dengan penelitian
eksperimental yang sering diarahkan untuk menguji hipotesis dan membangun teori,
maupun dengan penelitian naturalistik yang bertujuan untuk memahami dan
menjelaskan fenomena yang diteliti, PTK terfokus pada tujuan praktis. Hasilnya
dapat menyebabkan teori yang muncul, dan untuk memahami fenomena, tetapi tidak
perlu harus theori-driven. Hasil PTK bisa saja berkontribusi kepada pemunculan teori
maupun kepada pemahaman fenomena, namun PTK tidak harus diarahkan pada
pembentukan teori. Hal ini dapat dilihat pada fakta bahwa laporan dan paparan hasil-
hasil PTK dalam berbagai jurnal dan konferensi didominasi oleh deskripsi dari
tindakan-tindakan yang dilakukan guru-peneliti untuk memecahkan masalah atau
meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas. Secara umum laporan dan paparan
tersebut menunjukkan kecenderungan pelaksanaan PTK untuk memperolah manfaat
langsung bagi diri guru-peneliti dan pihak lain yang tarlibat dalam penelitian tersebut.
Untuk menekankan PTK sebagai practical inquiry, Conway and Jeffers (2004)
mengatakan bahwa PTK merupakan cara yang dilakukan guru-peneliti untuk
menjawab masalah-masalah yang dihadapi dalam pembelajaran. Karena yang diteliti
adalah praktik pembelajaran yang dilakukan oleh guru-peneliti itu sendiri, untuk
melaksanakan PTK guru tidak perlu meninggalkan tugas utamanya—mengajar.
Pembelajaran di kelas tetap berlangsung seperti biasa. Yang berbeda adalah
dilakukannya tindakan tertentu untuk memperbaiki aspek yang ingin diubah atau
ditingkatkan dalam proses pembelajaran.
Karakteristik PTK ke dua adalah hakikatnya sebagai penelitian yang reflektif-
mandiri (self-reflective). Dalam konteks ini, peneliti (atau kelompok peneliti)
mengkaji dan merenungkan praktik yang dia/mereka lakukan—bukan praktik orang
lain—untuk melihat apa yang harus dilakukan dalam rangka memperbaiki praktik
tarsebut. Hakikat PTK sebagai kajian yang reflektif-mandiri merupakan faktor
pembeda utama terhadap penelitian tradisional yang bersifat empiris. Berbeda dengan
penelitian empiris yang dilakukan untuk melakukan penelitian terhadap orang lain.
PTK dilakukan oleh guru-peneliti untuk mengkaji diri sendiri. Dengan kata lain,
peneliti empiris menyelidiki kehidupan orang lain, sedangkan peneliti PTK
menyelidiki diri sendiri. Oleh karena itu, McNiff (2002, h.8) menegaskan bahwa PTK
merupakan penelitian yang dilakukan oleh diri ke dalam diri. Si peneliti, seorang
praktisi, berpikir tentang kehidupan dan pekerjaannya sendiri, yang kemudian
dilanjutkan dengan merenung atau bertanya pada diri sendiri mengapa dia melakukan
hal-hal yang dilakukannya, dan mengapa dia adalah dirinya sebagaimana dirinya saat
ini. Dalam laporkan penelitiannya akan tergambar proses yang dilaluinya untuk
mencapai pemahaman yang lebih baik tentang dirinya sendiri, dan pemahaman yang
lebih baik tersebut kemudian digunakan untuk mengembangkan diri dan
pekerjaannya.
Hakikatnya sebagai sarana melakukan reflektif-mandiri ini adalah faktor
terpenting yang membuat PTK bermanfaat meningkatkan kualitas pembelajaran.
Mengajar adalah aktivitas yang sangat kompleks, yang menurut Schulman (1987, h.
15) mencakup pemahaman, transformasi, instruksi, evaluasi, refleksi, dan
pemahaman baru. Refleksi memampukan setiap guru mendiagnosis dan memahami
konteks kelas dan siswanya secara lebih utuh dan mendalam, menempatkan siswa
pada pusat proses pembelajaran, mengembangkan landasan pengajarannya,
menemukan tindakan khusus, serta mengambil keputusan paling sesuai di dalam
kelas (Al-Issa, 2002). Semua aktivitas yang difasilitasi oleh tindakan refleksi ini
diyakini akan memberikan pemahaman baru tentang tujuan, materi, siswa, teknik
mengajar, dan diri sendiri (Schulman, 1987).
Ciri khas PTK yang ketiga adalah sifat PTK yang kolaboratif, karena
dilaksanakan oleh seorang guru dan siswa di kelasnya, oleh seorang guru dengan
bantuan satu atau lebih kolega, atau oleh sebuah tim yang terdiri dari sekelompok
praktisi (guru), kepala sekolah, dan akademisi. Sebagai contoh, seorang guru bahasa
Inggris yang ingin meningkatkan kemampuan pelafalan (pronunciation) para
siswanya setiap minggu memberikan satu set teks (sebuah alinea pendek) dan
rekaman audio (file MP3 berupa suara seorang penutur asli bahasa Inggris membaca
aline tersebut) kepada seluruh siswa. Mereka diminta mendengarkan rekaman sambil
melihat teks. Setelah itu, mereka membaca teks tersebut, merekam suara masing-
masing dan meng-e-mail rekaman tersebut kepada sang guru. Setelah mendengar dan
menganalisis seluruh rekaman tersebut, sang guru menjelaskan dan mengajak siswa
melatih bagian tertentu (misalnya bunyi, intonasi, atau jeda) yang perlu diperbaiki
siswa pada penugasan alinea selanjutnya. Dalam skenario ini, sang guru
berkolaborasi dengan siswanya.
Ruang lingkup kolaborasi tersebut bisa ditingkatkan dengan mengajak satu
atau lebih guru bahasa Inggris pada jenjang pendidikan yang sama (misalnya kelas
sepuluh beberapa sekolah menengah atas) untuk melakukan program peningkatan
kemampuan pelafalan (pronunciation) siswa tersebut. Dalam konteks ini, Setelah
mendengarkan seluruh rekaman siswa, para guru menganalisis dan mendiskusikan
bagian pelafalan yang perlu diperbaiki dan apa yang harus dilakukan untuk
memperbaikinya.
Jika kolaborasi dilakukan oleh sebuah tim dengan komposisi anggota yang
lebih beragam (guru, kepala sekolah, dan akademisi), peran setiap anggota bisa
disesuaikan dan dinegoisasikan. Anggota tertentu mungkin hanya berperan
melakukan observasi. Satu atau dua anggota berperan melakukan tindakan. Anggota
lain membantu dalam analisis data, sedangkan yang lain membantu dalam penulisan
laporan akhir. Walau peran para anggota bervariasi, yang penting adalah kerjasama
tersebut bermanfaat bagi semua pihak. Kehadiran si akademisi akan mendorong
peningkatan keterampilan guru melaksanakan penelitian. Sedangkan si akademisi
akan mengalami pengayaan pemahaman tentang masalah yang diteliti. Kehadiran si
kepala sekolah akan membuat kegiatan lebih terfasilitasi. Sedangkan si kepala
sekolah, paling tidak, akan memperoleh ide baru dalam menentukan kebijakan-
kebijakan untuk meningkatkan keberhasilan sekolahnya dan secara langsung
pengetahuan baru dan praktis.
Karakteristik PTK ke empat adalah hakikatnya sebagai sebuah proses yang
dinamis dan fleksibel yang melibatkan pengulangan-pengulangan aktivitas (sehingga
membentuk pola spiral) yang maju-
mundur diantara perencanaan, planning
tindakan, panjaringan data, dan
refleksi. Pada saat ini terdapat
berbagai model PTK. Namun semua reflecting acting
model itu dikembangkan dari
pemikiran Lewin yang
menggambarkan penelitian tindakan observing
sebagai serangkaian langkah yang
membentuk spiral. Setiap langkah
Gambar 1. Model Dasar Penelitian Tindakan
memiliki empat tahap, yaitu
Kurt Lewin (McNiff, 1992: 22).
perencanaan (planning), tindakan
(acting), pengamatan (observing),
dan refleksi (reflecting) (McNiff, 1992, h. 19). Secara visual, tahap-tahap tersebut
diungkapkan pada gambar 1.
Karena didasarkan pada pemikiran
Lewin, berbagai model proses pelaksanaan
PTK yang ada mengandung unsur-unsur yang
sama, yakni: (1) setiap model diawali
pembuatan rencana tindakan untuk mengatasi
masalah yang telah diidentifikasi, (2)
melakukan tindakan untuk perbaikan atau
peningkatan, (3) pelaksanaan observasi
terhadap praktik yang berlangsung untuk
menjaring dan mensintesiskan informasi; dan
(4) melakukan refleksi (evaluasi) pada
tindakan tersebut, yang hasilnya kemudian
digunakan sebagai basis perencanaan bagi
siklus berikutnya, seperti terungkap dalam
Gambar 2. Penerapan langkah-langkah ini
pada contoh tentang rencana guru bahasa
Gambar 2: Model Siklus PTK Kemmis
Inggris meningkatkan kemampuan pelafalan and Taggart (1988)
(pronunciation) para siswanya di atas dapat
digambarkan sebagai berikut.
Kesimpulan
PTK pada hakikatnya merupakan metode kajian yang dilakukan oleh guru
sebagai praktisi utama di bidang pendidikan untuk memahami dan rnemecahkan
masalah-masalah yang berhubungan dengan pembelajaran di kelas atau sekolah.
Karena secara langsung menyentuh masalah-masalah yang dihadapi oleh guru dan
siswa, PTK sangat bermanfaat bagi guru dan siswa. Sifatnya yang sangat praktis dan
reflektif membuat PTK dapat langsung diterapkan untuk mengatasi masalah atau
meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas dimaksud atau kelas-kelas lain yang
mirip. Selain itu, tahapan-tahapan PTK pada dasarnya merupakan metode yang lazim
digunakan tiap individu untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari,
sehingga relatif mudah dilaksanakan. Sehubungan dengan itu, PTK sangat
direkomendasikan sebagai alat praktis bagi setiap guru yang ingin meningkatkan
proses dan hasil pembelajaran para siswa yang dibimbingnya.