Anda di halaman 1dari 2

Perubahan Fase Gerakan Sosial di

Indonesia
oleh: Iqbal Prihastowo
Sumber: https://www.kompasiana.com/ibel/5500affba33311a872511d0b/perubahan-fase-gerakan-
sosial-di-indonesia
Indonesia, negara yang disebut sebagai negara demokrasi, telah mengalami fase-fase perubahan
gerakan sosial. Perubahan atau perkembangan itu terlihat jelas pada tiga era. Yaitu era orde lama,
orde baru, serta era pasca reformasi tahun 1998. Perubahan tersebut dilihat dari aktor-aktor utama
yang terlibat di dalamnya. Pada awalnya, di era orde lama, yang menjadi aktor utama dalam
terbentuknya gerakan sosial adalah kaum intelektual yaitu mahasiswa. Keadaan yang sempat carut
marut pada masa itu mendorong kaum intelektual untuk melakukan sebuah gerakan untuk
mengkritik pemerintahan. Wajar saja jika mahasiswa mampu melakukan gerakan seperti itu. Karena
seperti apa yang dikatakan oleh Pierre Bourdieu, bahwa kaum intelektual punya kewajiban sebagai
‘juru bicara’ bagi kaum yang tertindas dan mampu menjadi alat kritik terhadap pemerintahan.
Mahasiswa atau kaum intelektual memiliki kewajiban seperti itu karena mereka ditempatkan pada
posisi yang otonom pada arena intelektual. Artinya, mereka memiliki kebebasan untuk melakukan
sebuah kegiatan yang didasarkan pada kemampuan dan kapasitas meraka sebagai kaum
intelektual.
Kedua, pada era orde baru, kebebasan kaum intelektual mulai dibatasi, bahkan dikekang oleh rezim
yang berjalan pada saat itu. Hal ini jelas sangat mengganggu posisi mereka yang otonom. Maka
tidak aneh ketika gerakan mahasiswa pada saat itu redup. Namun akumulasi tekanan yang terjadi
pada saat itu menghasilkan sebuah ‘ledakan’ gerakan mahasiswa pada tahun 1998 yang memaksa
rezim pada saat itu runtuh. Turunnya rezim orde baru pada saat itu disebut sebagai era reformasi.
Walaupun gerakan tersebut merupakan gerakan mahasiswa, namun organisasi-organisasi non-
pemerintah dianggap sebagai aktor utama gerakan tersebut. Organisasi-organisasi tersebut lah
yang ditengarai berada ‘di balik layar’ munculnya gerakan mahasiswa tersebut.
Kemudian, era pasca reformasi tahun 1998, ‘pintu’ demokrasi mulai terbuka kembali. Pada era
inilah, posisi otonom kaum intelektual telah dikembalikan. Namun, hal ini tidak berpengaruh
signifikan terhadap munculnya gerakan-gerakan sosial, terutama untuk mengkritik pemerintahan.
Salah satu sebabnya adalah karena tekanan yang dilakukan pada era orde baru telah
mempengaruhi pola pikir mahasiswa atau kaum intelektual untuk tidak bertindak memberontak.
Media yang dikuasai oleh pemerintah pada orde baru pun menjadi salah satu sebab yang signifikan
terhadap pembentukan atau perubahan pola pikir kaum intelektual. Seperti yang dikatakan Noam
Chomsky, bahwa media sangat berpengaruh terhadap pembentukan persepsi seseorang di luar
kesadarannya. Tentu sangat wajar ketika media dianggap sebagai salah satu penghambat
munculnya gerakan sosial.
Namun minimnya gerakan kaum intelektual pada era pasca reformasi tidak serta merta menjadi
penghambat munculnya gerakan sosial di Indonesia. Gerakan sosial pada era ini aktor utamanya
justru rakyat itu sendiri. Secara mandiri, rakyat telah mampu membentuk adanya sebuah gerakan
sosial untuk melawan sebuah penindasan atau dominasi kekuasaan. Jika dilihat dari sudut pandang
Anarkisme, gerakan tersebut merupakan alat kontrol dari negara atau pemerintah yang berkuasa,
karena negara atau pemerintah dianggap sebagai penghambat kebebasan manusia. Selain itu,
sebab lain munculnya gerakan sosial disebabkan karena perkembangan teknologi dan akibat dari
mulai terbukanya kembali ‘pintu’ demokrasi. Masyarakat, khususnya kaum intelektual seperti
mahasiswa, telah memanfaatkan adanya alat komunikasi modern (contoh: handphone, internet) dan
situs-situs jejaring sosial (contoh: facebook, twitter) untuk melakukan sebuah propaganda.
Pemanfaatan teknologi tersebut merupakan salah satu cara yang signifikan untuk menciptakan
sebuah gerakan sosial. Karena sejatinya, teknologi merupakan alat ‘penghapus’ batas-batas
komunikasi. Selain itu, ruang-ruang publik seperti pasar, kafe, atau taman pun mampu dijadikan
tempat untuk membuka sebuah pembicaraan atau obrolan terkait masalah-masalah pemerintahan
tanpa adanya tekanan dari pemerintah atau rezim yang sedang berkuasa.

Gerakan sosial di era pasca reformasi yang muncul dari rakyat lebih pada gerakan kelompok.
Seperti gerakan buruh, gerakan petani, gerakan PKL (Pedagang Kaki Lima), atau semacamnya.
Gerakan tersebut merupakan gerakan yang bertujuan untuk mengkritik atau menuntut kebijakan
pemerintah yang dianggap telah merugikan mereka. Dahrendorf (1959) menyebutkan ada tiga
kondisi yang mampu memunculkan adanya kelompok perjuangan. Yaitu, komunikasi terus di antara
orang-orang senasib; adanya seorang pemimpin yang membantu mengartikulasikan ideologi,
mengorganisasikan kelompok, dan memformulasikan rencana untuk melakukan tindakan kelompok;
dan legitimasi dari pihak lain, atau tidak adanya tekanan yang signifikan dari pihak lain yang mampu
menghambat munculnya gerakan tersebut. Poin-poin tersebut menjadi penjelas sebab munculnya
gerakan rakyat yang bersifat kelompok atau kolektif. Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Amartya
Sen. Dia berpendapat bahwa persamaan identitas atas kepentingan yang sama mampu
memberikan kekuatan dan rasa solidaritas yang tinggi. Jelas hal ini akan memberikan sebuah
kepercayaan diri terhadap rakyat yang ingin melakukan sebuah gerakan secara kelompok atau
kolektif.

Anda mungkin juga menyukai