Anda di halaman 1dari 6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sagu
Bioetanol dapat diproduksi dari berbagai bahan baku yang banyak
terdapat di Indonesia, sehingga sangat potensial untuk diolah dan dikembangkan
karena bahan bakunya sangat dikenal masyarakat. Tumbuhan yang potensial
untuk menghasilkan bioetanol antara lain tanaman yang memiliki kadar
karbohidrat tinggi, seperti tebu, nira, aren, sorgum, ubi kayu, jambu mete (limbah
jambu mete), garut, batang pisang, ubi jalar, jagung, bonggol jagung, jerami,
bagas (ampas tebu), dan limbah sagu.
Sebagai negara yang terletak didaerah tropika basah, Indonesia kaya akan
tanaman penghasil karbohidrat sehingga mampu menjadi sumber karbohidrat
terbesar didunia. Salah satu tanaman yang menyimpan karbohidrat atau pati pada
bagian batangnya adalah sagu (Metroxylon sagu Rottb.). Pati sagu selain
digunakan sebagai bahan makanan, juga digunakan sebagai bahan baku untuk
berbagai macam industri, seperti industri pangan, tekstil, komestik, farmasi dan
lain-lain. Sagu merupakan tanaman penghasil karbohidrat yang cukup tinggi
dibandingkan dengan tanaman penghasil karbohidrat lainnya, produktifitasnya
bisa mencapai 25 ton pati kering/ha/tahun apabila dikelola dengan baik, lebih
tinggi dibandingkan dengan ubi atau kentang yang hanya mencapai 10-15 ton pati
kering/ha/tahun (Bintoro 2008).
Informasi luas hutan alam sagu Indonesia menurut Flach (1997) yaitu
1.250.000 ha, yang tersebar di Papua 1.200.000 ha dan Maluku 50.000 ha serta
148.000 ha hutan sagu semi budidaya yang tersebar di Papua, Maluku, Sulawesi,
Kalimantan, Sumatera, kepulauan Riau dan Kepulauan Mentawai (Sumatera
Barat). Akan tetapi dari luasan tersebut hanya sekitar 40% saja yang efisien
sebagai penghasil pati produktif dengan produktivitas pati 7 ton/ha/tahun atau
setara dengan etanol 3,5 kilo liter/ha/tahun.
Limbah sagu merupakan hasil samping industri pengolahan pati. Industri
ekstraksi pati sagu menghasilkan tiga jenis limbah, yaitu residu selular empulur
sagu berserat (ampas), kulit batang sagu, dan air buangan. Jumlah kulit batang
sagu dan ampas sagu adalah sekitar 26% dan 14% berdasar bobot total balak sagu
(Singhal et al. 2008).
Kiat (2006) melaporkan bahwa limbah sagu mengandung komponen
penting seperti pati dan selulosa. Jumlah limbah kulit batang sagu mendekati
26%, sedangkan ampas sagu sekitar 14% dari total bobot balak sagu. Ampas
mengandung 65,7% pati dan dan sisanya merupakan serat kasar, protein kasar,
lemak, dan abu. Dari persentase tersebut ampas mengandung residu lignin sebesar
21%, sedangkan kandungan selulosa di dalamnya sebesar 20% dan sisanya
merupakan zat ekstraktif dan abu. Di sisi lain, kulit batang sagu mengandung
selulosa (57%) dan lignin yang lebih banyak (38%) daripada ampas sagu.
Potensi sagu di Indonesia saat ini seluas 1,128 juta ha atau 51,3% dari
2,201 juta ha areal sagu dunia dan pemanfaatan tanaman sagu sejauh ini
cenderung terfokus pada pati yang dihasilkannya. Pengolahan batang sagu
menjadi pati hanya 16- 28%. Hasil ikutan pengolahan sagu berupa kulit batang
dan ampas sekitar 72% merupakan biomassa limbah sagu hasil industri
pengolahan sagu yang masih sangat kurang pemanfaatannya (Asben 2005). Kiat
(2006) melaporkan bahwa jumlah ampas sagu dan pati yang besar di dalam air
limbah praolah berkontribusi terhadap BOD dan COD air limbah secara
signifikan. Limbah ini akan menjadi masalah lingkungan yang serius bila tidak di
perlakukan untuk tujuan tertentu atau dibuang dengan cara yang benar. Dengan
demikian, limbah sagu dapat menjadi alternatif sumber BBN yang berasal dari
biomassa lignoselulosa.
Produksi ethanol/bio-ethanol (alkohol) dengan bahan baku tanaman yang
mengandung pati atau karbohidrat, dilakukan melalui proses konversi karbohidrat
menjadi gula (glukosa) larut air. Potensi sagu (Metroxylon sagu Rottb.) sebagai
sumber bahan pangan dan bahan industri telah disadari sejak tahun 1970-an,
namun sampai sekarang pengembangan tanaman sagu di Indonesia masih jalan di
tempat. Sagu merupakan tanaman asli Indonesia. Tanaman sagu tersebar di
wilayah tropika basah Asia Tenggara dan Oseania, terutama tumbuh di lahan
rawa, payau atau yang sering tergenang air. Batang sagu ditebang menjelang
tanaman berbunga, saat kandungan patinya tertinggi. Setelah pohon ditebang,
empulur batang diolah untuk mendapatkan tepung (pati) sagu. Tepung sagu
mengandung amilosa 27% dan amilopektin 73%. Kandungan kalori, karbohidrat,
protein, dan lemak tepung sagu setara dengan tepung tanaman penghasil
karbohidrat lainnya.
Sagu berpotensi menjadi bioetanol bahan bakar nabati (BBN) karena
kandungan karbohidratnya cukup tinggi, sekitar 85% dan kandungan kalori 357
kalori. Jadi diperkirakan kalau menggunakan tepung sagu tersebut dari 6,5 kg
tepung akan dihasilkan 3,5 liter bioetanol (Tarigan, 2001). Perkiraan potensi
produksi total sagu Indonesia masih sangat kasar, karena hal ini berkaitan dengan
luas areal sagu, jumlah pohon yang dapat dipanen per hektar per tahun, dan
produksi pati kering per pohon. Sebagian besar areal sagu di Indonesia merupakan
tegakan alami sehingga produktivitasnya sangat beragam. Potensi produksi sagu
di Indonesia diperkirakan sekitar 5 juta ton pati kering per tahun. Konsumsi pati
sagu dalam negeri sekitar 210 ton atau baru 4-5% dari potensi produksi. Apabila
tabungan karbohidrat di hutan sagu Indonesia dapat dimanfaatkan secara optimal
untuk bioetanol maka dapat diperoleh bioetanol 3 juta kiloliter per tahun dengan
asumsi faktor konversi 0,6. Kebutuhan premium nasional diperkirakan sekitar 16
juta kiloliter per tahun. Apabila bioetanol dapat menggantikan premium sekitar
10% (campuran premium dan etanol 90:10) maka diperlukan etanol sebanyak 1,6
juta kiloliter. Kebutuhan ini sudah dapat dipenuhi dari pati sagu saja. Tentu saja
angka tersebut tidak realistis karena sangatlah sulit memanfaatkan seluruh potensi
hutan sagu mengingat lokasi tegakan alami sagu yang terpencil dan sulit
dijangkau.
Lignin dan selulosa yang terkandung dalam limbah sagu membentuk
ikatan lignoselulosa bersama dengan hemiselulosa. Oleh karena itu, potensi
biomassa lignoselulosa tersebut dapat dimanfaatkan sebagai gula fermentasi
dalam bahan baku produksi bioetanol sehingga meningkatkan nilai ekonomi
limbah sagu. Namun, belum banyak pemanfaatan limbah tersebut sebagai
bioetanol dan untuk memanfaatkan komponen yang terkandung di dalamnya
dibutuhkan metode hidrolisis agar menghasilkan rendemen gula yang tinggi
(Akmar dan Kennedy 2001).
Sebagian kebutuhan bioetanol dapat dipenuhi dari tanaman penghasil
karbohidrat lain seperti ubi kayu, tebu, dan jagung, dari limbah padat organik
pertanian, dan dari perkebunan sagu komersial. Perkebunan sagu yang diusahakan
dengan baik dapat menghasilkan pati kering 25 ha/tahun, setara dengan 15
kiloliter etanol. Bioetanol sebagai campuran premium tidak mengandung timbal
dan tidak menghasilkan emisi hidrokarbon sehingga ramah lingkungan. Karena
dihasilkan dari tanaman maka bioetanol dari sagu bersifat terbarukan. Hanya saja
produksi etanol dengan teknologi sederhana harus diawasi secara ketat untuk
menghindari kemungkinan penyalahgunaannya sebagai minuman keras.
Dalam pengolahan sagu banyak dihasilkan limbah sagu, baik berupa padat
maupun cair. Aspek lingkungan menjadi begitu penting karena berkaitan erat
dengan perihal pembuangan limbah yang kerapkali menjadi permasalahan bagi
lingkungan. Limbah seringkali masih mengandung zat-zat racun yang berbahaya.
Pemanfaatn limbah sagu adalah upaya terbaik dalam mengatasi permasalahan
pencemaran lingkungan oleh industri pengolahan sagu. Selain itu memberikan
manfaat bagi pemerintah dalam upaya mencari bahan alternatif pembuatan etanol,
sementara etanol sendiri adalah produk yang mempunyai nilai jual tinggi.
Pemanfaatan bioetanol dari biomassa lignoselulosa limbah sagu perlu
mendapatkan perhatian serius. Hal ini dapat meningkatkan nilai ekonomi limbah
sagu yang sebelumnya hanya digunakan untuk bahan bakar dan pakan ternak.
Kegunaan biomassa lignoselulosa dapat dimanfaatkan untuk memproduksi energi
terbarukan harus ditingkatkan untuk mengurangi pemanasan global dan dapat
menyediakan energi tinggi untuk menggantikan BBM konvensional. Oleh karena
itu, biomassa selalu menjadi sumber energi utama untuk makhluk hidup dan
diperkirakan berkontribusi 13% dari suplai energi dunia dan persentase yang lebih
besar lagi bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia (Tsukahara dan
Sawayama 2005).
Alternatif sumber BBN non-pangan perlu dikembangkan untuk
mengatasi masalah kompetisi BBN dengan pangan dan pakan. Hal ini menarik
perhatian pada limbah untuk melakukan modifikasi, terutama biomassa
lignoselulosa limbah sagu sebagai penghasil bioetanol. Pemanfaatan limbah
tersebut juga dapat mengatasi pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh
limbah sagu, diantaranya pengaruh BOD dan COD air limbah. Limbah sagu yang
diperoleh setelah seluruh pati diambil belum dapat dihidrolisis dengan mudah dan
efisien. Secara kimia biomassa lignoselulosa kaya akan selulosa, sehingga limbah
sagu dapat dimanfaatkan sebagai penghasil bahan baku bioetanol. Selulosa limbah
sagu, yaitu ampas sagu sebesar 19,55% dan kulit batang sebesar 56,86% (Kiat
2006). Selain komponen selulosa juga terdapat hemiselulosa dan lignin. Selulosa,
hemiselulosa dan lignin hadir dalam jumlah yang beragam pada bagian-bagian
tumbuhan yang berbeda dan keberadaanya selalu dikaitkan dengan fungsinya
untuk membentuk kerangka struktrual dari dinding sel tumbuhan. Komposisi
lignoselulosa bergantung pada spesies tumbuhan, umur dan kondisi pertumbuhan.
2.2. Imobilisasi Enzim
Imobilisasi enzim adalah proses menggabungkan suatu enzim dengan
suatu matriks padat (support) secara fisik, sehingga dapat digunakan secara
berulang kali dan secara kontinyu. Teknik ini dikembangkan untuk memperbaiki
beberapa kekurangan penggunaan enzim tersebut. Enzim terimobilisasi adalah
suatu enzim yang dilekatkan pada suatu bahan yang inert dan tidak larut seperti
sodium alginate. Dengan sistem ini, enzim dapat lebih tahan terhadap perubahan
kondisi seperti pH atau temperatur. Sistem ini juga membantu enzim berada di
tempat tertentu selama berlangsungnya reaksi sehingga memudahkan proses
pemisahan dan memungkinkan untuk dipakai lagi di reaksi lain. Sistem ini
memiliki keunggulan dalam hal efisiensi sehingga di industri banyak digunakan
dalam reaksi yang dikatalisis oleh enzim.
Imobilisasi sel merupakan suatu proses untuk menghentikan pergerakan
dari molekul enzim atau sel ditahan pada tempat tertentu dalam suatu ruang
reaksiyang digunakan sebagai katalis. Imobilisasi sel inidilakukan karena mikroba
memiliki ukuran yangsangat kecil dan mempunyai densitas yang mendekati
dengan air, sehingga kemungkinan mikrobaakan terikat dalam aliran produk.
Keuntungan dengan menggunakan imobilisasi sel dibandingkan dengan free cell
adalah memberikan kemudahan pemisahan produk, volumetrik produktivitas yang
tinggi, meningkatkan proses kontrol dan mengurangi kontaminasi, menurunkan
biaya pemisahan, serta mencegah terjadinya wash outpada aliran keluar
produk.Teknik imobilisasi dibedakan menjadi dua, yaitu imobilisasi aktif dan
imobilisasi pasif. Imobilisasi aktif merupakan teknik penjebakan (entrapment)
yang dapat dilakukan menggunakan bahan berpori seperti alginat, poliakrilamida,
kitosan, dan kolagen, sedangkan imobilisasi pasif merupakan teknik pelekatan
(attachment)

Anda mungkin juga menyukai