A. DEFINISI
B. EPIDEMIOLOGI
C. ETIOLOGI
D. PATOGENESIS
E. MANIFESTASI KLINIS
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Rutin
Pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan
leukopenia, tetapi dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau
leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai
infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan
trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat
terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada
demam pada demam tifoid dapat meningkat. SGOT dan SGPT
seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh.
2. Serologis
a) Uji Widal
Uji widal dilakukan untuk mendeteksi antibodi terhadap
kuman S. thypi. Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi
antara antigen kuman S. thypi dengan antibodi yang disebut
aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji wida adalah suspensi
Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium.
Tujuan untuk uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu aglutinin O
(dari tubuh kuman), aglutinin H (flagel kuman), dan aglutinin Vi
(simpai kuman). Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O
dan H yang digunakan untuk mendiagnosis demam tifoid.
Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi
kuman ini.
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu
pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan
mencapai puncak pada minggu ke-empat, dan tetap tinggi selama
beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O,
kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang telah
sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan. Oleh
karena itu uji widal bukan untuk menentukan kesembuhan
penyakit.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu: 1).
Pengobatan dini dengan antibiotik, 2). Gangguan pembentukan
antibodi, dan pemberian kortikosteroid, 3). Waktu pengambilan
darah, 4). Daerah endemik atau non endemik, 5). Riwayat
vaksinasi, 6). Reaksi amnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin
pada infeksi bukan demam tifoid akibat infeksi demam tifoid
masa lalu atau vaksisnasi, 7). Faktor teknik pemeriksaan antar
laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan strain Salmonella yang
digunakan untuk suspensi antigen.
Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer
aglutinin yang bermakna diagnostik untuk demam tifoid. Batas
titer yang sering dipakai hanya kesepakatan saja, hanya berlaku
setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda di berbagai
laboratorium setempat.
b) IgM antigen O9 Salmonella typhi (Tubex-TF)
Hanya dapat mendeteksi antibody IgM Salmonella typhi dan
dapat dilakukan pada 4-5 hari pertama demam.
c) Uji Typhidot
Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang
terdapat pada protein membran luar Salmonella typhi. Hasil
positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan
dapat mengidentifikasi secra spesifik antibodi IgM dan IgG
terhadap antigen S.typhi seberat Didapatkan sensitivitas uji
sebesar 98% spesitifitas sebesar 76.6% dan efisiensi uji sebesar
84% pada penelitian hyang dilakukan oleh Gopalakhirisna
dkk(2002) yang dilakukakkn pada 144 kasus demam tifoid. Pada
penelitian lain yang dilakukan oleh Olsen dkk, didaptkan
sensitifitas dan spesitifitas uji ini hampir sama dengan uji tubex
yaitu 79% dan 89%.
Pada kasus reinfeksi, respon imun sekunder (IgG) teraktivitas
secara berlebihan sehingga IgM sulit terdeteksi. IgG dapat
bertahan sampai 2 tahun sehingga pendeteksian IgG saja tidak
dapat digunakan untuk membedakan antar infeksi akut dengan
kasus reinfeksi atau konvalesen pada kasus infeksi primer. Untuk
mengatasi masalah tersebut, uji ini kemudian dimodifikasi dengan
menginaktivasi total IgG pada sampel serum. Uji ini, yang dikenal
dengan nama uji Typhidot-M, memungkinkan ikatan antara
antigen IgM spesifik yang ada pada serum pasien. Studi evaluasi
yang dilakuakn oleh Khoo KE pada tahun 1997 terhadap uji
Typhidot-M menunjukkan bahwa uji ini bahkan lebih sensitif
(sensitifitas mencapai 100%) dan lebih cepat (3jam) dilakukan
bila dibandingkan kultur.
d) Uji IgM Dipstick
Uji ini secara khusus mendeteksi antibodi IgM spesifik
terhadap S.typhi pada spesimen serum atau whole blood. Uji ini
menggunakan strip yang mengandung antigen lipopolisakarida
(LPS) S.typhoid dan anti IgM (sebagai kontrol), reaksi deteksi yang
mengandung antibodi anti IgM yang dilekati dengan lateks
pewarna, cairan membasahi strip sebelum diinkubsi dengan
reagen dan serum pasien, tabung uji. Komponen perlengkapan ini
stabil untuk disimpan selama 2 tahun pada suhu 2-25oC ditempat
kering tanpa paparan sinar matahari. Pemeriksaan dimulai
dengan inkubasi selama 3 jam pada suhu kamar. Setelah inkubasi,
strip kuantitatif, diberikan penilaian terhadap garis uji dengan
membandingkannya dengan reference strip. Garis kontrol harus
terwarna dengan baik.
House dkk, 2001 dan Gasem MH dkk, 2002 meneliti mngenai
penggunaan uji ini dibandingkan dengan pemeriksaan kultur
darah di Indonesia dan melaporkan senstivitas sebesar 65-77%
dan spesifitas sebesar 9?%-100%. Pemeriksaan ini mudah dan
cepat (dalam 1 hari dilakukan tanpa peralatan khusus apapun,
namun akan hasil didapatkan bila pemeriksaan dilakukan 1
minggu setelah timbulnya gejala.
3. Kultur Salmonella thypi (gold standar)
Kultur Darah
Spesimen dapat diambil dan diperiksa pada minggu pertama
sampai akhir minggu ke-2 sakit, atau pada saat demam tinggi.
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan
tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena
mungkin disebabakan beberapa hal seperti berikut: 1). Telah
mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur
darah telah mendapatkan antibiotik, pertumbuhan kuman dalam
media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif, 2). Volume
darah yang kurang (diperlukan lebih dari 5cc darah). Bila darah
yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang
diambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam
media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman, 3).
Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan
antibodi dalam darah pasien. Antibodi (aglutinin)ini dapat
menekan bakteremia hingga biakan darah dapat negatif, 4).
Waktu pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat
aglutinin semakin meningkat.
Feses / tinja
Spesimen tinja diambil pada minggu ke II dan minggu-minggu
selanjutnya. Spesimen tinja yang digunakan harus yang segar,
tidak tercampur urin atau air.
Urin
Kurang berguna dibandingkan dengan biakkan darah dan
tinja. Biakan air kemih positif pada minggu sakit ke 2 dan 3.
Cairan empedu
c) Pemberian antimikroba
Tujuannya yaitu untuk menghentikan dan mencegah
penyebaran kuman. Obat-obat antimikroba yang sering digunakan
untuk mengobati demarn tifoid adalah sebagai berikut:
Kloramfenikol
Kortikosteroid
Penggunaan steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau
demam tifoid yang mengalami syok septik dengan dosis 3 x 5 mg.
G. KOMPLIKASI
Intestinal
Perdarahan intestinal
Perforasi usus
Ekstra-intestinal
Komplikasi hematologi
Hepatitis Tifosa
Pankreatitis Tifosa
Miokarditis
H. PENCEGAHAN
1. Air yang aman
2. Keamanan makanan
3. Kebersihan
4. Edukasi kesehatan
Edukasi kesehatan sangat penting untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat tentang semua langkah pencegahan yang disebutkan di
atas. Pesan edukasi kesehatan untuk komunitas rentan harus
disesuaikan dengan kondisi lokal dan diterjemahkan ke bahasa lokal.
Untuk menjangkau masyarakat, semua sarana komunikasi yang
mungkin ada (misalnya media, sekolah, kelompok perempuan,
kelompok agama) harus diterapkan.
Keterlibatan masyarakat adalah landasan perubahan perilaku
berkaitan dengan kebersihan dan pengaturan dan pemeliharaan
infrastruktur yang dibutuhkan. Di fasilitas kesehatan, semua staf
harus berulang kali dididik tentang perlunya:
kebersihan pribadi yang sangat baik di tempat kerja;
ukuran desinfeksi.
5. Vaksinasi