Anda di halaman 1dari 17

DEMAM TIFOID

A. DEFINISI

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut usus halus yang


disebabkan oleh Salmonella typhi. Demam tifoid masih merupakan
penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini mudah menular dan dapat
menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah.

B. EPIDEMIOLOGI

Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan masyarakat


dengan jumlah kasus sebanyak 22 juta per tahun di dunia dan
menyebabkan 216.000-600.000 kematian. Insidens demam tifoid yang
tergolong tinggi terjadi di wilayah Asia Tengah, Asia Selatan, Asia
Tenggara dan kemungkinan Afrika Selatan (insidens >100 kasus per
100.000 populasi per tahun). Insidens demam tifoid yang tergolong
sedang (10-100 kasus per 100.000 populasi per tahun) berada di
wilayah Afrika, Amerika Latin, dan Oceania (kecuali Australia dan
Selandia Baru). Insidens yang termasuk rendah (<10 kasus per
100.000 populasi per tahun) di bagian dunia lainnya.

Di Indonesia, insidens demam tifoid banyak dijumpai baik di


perkotaan maupun di pedesaan, populasi yang berusia 3-19 tahun
lebih sering terkena tifoid. Kejadian demam tifoid di Indonesia juga
berkaitan dengan rumah tangga, yaitu adanya anggota keluarga
dengan riwayat terkena demam tifoid, tidak adanya sabun untuk
mencuci tangan, menggunakan piring yang sama untuk makan, dan
tidak tersedianya tempat buang air besar dalam rumah.

Ditjen Bina Upaya Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan


RI tahun 2010 melaporkan demam tifoid menempati urutan ke-3 dari
10 pola penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit di
Indonesia (41.081 kasus). Dari telaah kasus di rumah sakit besar di
Indonesia, kasus tifoid menunjukkan kecenderungan meningkat dari
tahun ke tahun dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk
dengan kematian antara 0,6-5%.

C. ETIOLOGI

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan


oleh bakteri Salmonella thypi atau dapat juga disebabkan oleh
Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B (Schotmulleri),
Salmonella paratyphi C (Hishfeldii), disebut pula sebagai demam
enterik dan tifus abdominalis. Bakteri Salmonella thypi berbentuk
batang, gram negatif, tidak berspora, motil berflagel, berkapsul,
tumbuh dengan baik pada suhu optimal 37°C, bersifat fakultatif
anaerob. Ukurannya berkisar antara 0,7-1,5 X 2-5 μm, memiliki
antigen somatik (O), antigen flagel (H) dengan 2 fase dan antigen
kapsul (Vi).

Kuman ini tahan terhadap selenit dan natrium deoksikolat yang


dapat membunuh bakteri enterik lain, menghasilkan endotoksin,
protein invasin dan MRHA (Mannosa Resistant Haemaglutinin). S. thypi
mampu bertahan hidup selama beberapa bulan sampai setahun jika
melekat dalam tinja, mentega, susus, keju dan air beku. S. thypi
adalah parasit intraseluler fakultatif, yang dapat hidup dalam
makrofag dan menyebabkan gejala-gejala gastrointestinal hanya pada
akhir perjalanan penyakit, biasanya sesudah demam yang lama,
bakteremia dan akhirnya lokalisasi infeksi dalam jaringan limfoid
submukosa usus kecil.

D. PATOGENESIS

Masuknya kuman Salmonella. thypi dan Salmonella parathypi ke


dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi.
Sebgaian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk
ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons
imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka kuman akan
menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina
propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh
sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak
peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening
mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang
terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah
(mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan
limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan
kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan
selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan
bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan
gejala penyakit infeksi sistemik.

Kuman dapat masuk ke dalam kandung empedu, berkembang


biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke
dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan
sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus.
Proses yang sama terulang kembali, karena makrofag yang telah
teraktivasi, hiperaktif; maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi
pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise,
mialgia, sakit kepala, sakit perut, gangguan vaskular, mental, dan
koagulasi.

Di dalam plak peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi


hiperplasia jaringan (S. thypi intra makrofag menginduksi reaksi
hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ).
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah
sekitar plak peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia
akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis
jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa
usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat
menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya
komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular,
pernapasan, dan gangguan organ lainnya.

E. MANIFESTASI KLINIS

Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari.


Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai
dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas
disertai komplikasi hingga kematian.

Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan


keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut lain yaitu
demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah,
obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan
epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan
meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan terutama
pada sore hingga malam hari.

Dalam minggu kedua, gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa


demam, bradikardia relatif (bradikardi relatif adalah peningkatan suhu
1°C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali/menit), lidah yang
berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor),
hepatomegali, splenomegali, meteroismus (perut kembung), gangguan
mental berupa somnolen, sopor, koma, delirium, atau psikosis.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Rutin
Pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan
leukopenia, tetapi dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau
leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai
infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan
trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat
terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada
demam pada demam tifoid dapat meningkat. SGOT dan SGPT
seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh.
2. Serologis
a) Uji Widal
Uji widal dilakukan untuk mendeteksi antibodi terhadap
kuman S. thypi. Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi
antara antigen kuman S. thypi dengan antibodi yang disebut
aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji wida adalah suspensi
Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium.
Tujuan untuk uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu aglutinin O
(dari tubuh kuman), aglutinin H (flagel kuman), dan aglutinin Vi
(simpai kuman). Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O
dan H yang digunakan untuk mendiagnosis demam tifoid.
Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi
kuman ini.
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu
pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan
mencapai puncak pada minggu ke-empat, dan tetap tinggi selama
beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O,
kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang telah
sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan. Oleh
karena itu uji widal bukan untuk menentukan kesembuhan
penyakit.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu: 1).
Pengobatan dini dengan antibiotik, 2). Gangguan pembentukan
antibodi, dan pemberian kortikosteroid, 3). Waktu pengambilan
darah, 4). Daerah endemik atau non endemik, 5). Riwayat
vaksinasi, 6). Reaksi amnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin
pada infeksi bukan demam tifoid akibat infeksi demam tifoid
masa lalu atau vaksisnasi, 7). Faktor teknik pemeriksaan antar
laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan strain Salmonella yang
digunakan untuk suspensi antigen.
Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer
aglutinin yang bermakna diagnostik untuk demam tifoid. Batas
titer yang sering dipakai hanya kesepakatan saja, hanya berlaku
setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda di berbagai
laboratorium setempat.
b) IgM antigen O9 Salmonella typhi (Tubex-TF)
Hanya dapat mendeteksi antibody IgM Salmonella typhi dan
dapat dilakukan pada 4-5 hari pertama demam.

c) Uji Typhidot
Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang
terdapat pada protein membran luar Salmonella typhi. Hasil
positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan
dapat mengidentifikasi secra spesifik antibodi IgM dan IgG
terhadap antigen S.typhi seberat Didapatkan sensitivitas uji
sebesar 98% spesitifitas sebesar 76.6% dan efisiensi uji sebesar
84% pada penelitian hyang dilakukan oleh Gopalakhirisna
dkk(2002) yang dilakukakkn pada 144 kasus demam tifoid. Pada
penelitian lain yang dilakukan oleh Olsen dkk, didaptkan
sensitifitas dan spesitifitas uji ini hampir sama dengan uji tubex
yaitu 79% dan 89%.
Pada kasus reinfeksi, respon imun sekunder (IgG) teraktivitas
secara berlebihan sehingga IgM sulit terdeteksi. IgG dapat
bertahan sampai 2 tahun sehingga pendeteksian IgG saja tidak
dapat digunakan untuk membedakan antar infeksi akut dengan
kasus reinfeksi atau konvalesen pada kasus infeksi primer. Untuk
mengatasi masalah tersebut, uji ini kemudian dimodifikasi dengan
menginaktivasi total IgG pada sampel serum. Uji ini, yang dikenal
dengan nama uji Typhidot-M, memungkinkan ikatan antara
antigen IgM spesifik yang ada pada serum pasien. Studi evaluasi
yang dilakuakn oleh Khoo KE pada tahun 1997 terhadap uji
Typhidot-M menunjukkan bahwa uji ini bahkan lebih sensitif
(sensitifitas mencapai 100%) dan lebih cepat (3jam) dilakukan
bila dibandingkan kultur.
d) Uji IgM Dipstick
Uji ini secara khusus mendeteksi antibodi IgM spesifik
terhadap S.typhi pada spesimen serum atau whole blood. Uji ini
menggunakan strip yang mengandung antigen lipopolisakarida
(LPS) S.typhoid dan anti IgM (sebagai kontrol), reaksi deteksi yang
mengandung antibodi anti IgM yang dilekati dengan lateks
pewarna, cairan membasahi strip sebelum diinkubsi dengan
reagen dan serum pasien, tabung uji. Komponen perlengkapan ini
stabil untuk disimpan selama 2 tahun pada suhu 2-25oC ditempat
kering tanpa paparan sinar matahari. Pemeriksaan dimulai
dengan inkubasi selama 3 jam pada suhu kamar. Setelah inkubasi,
strip kuantitatif, diberikan penilaian terhadap garis uji dengan
membandingkannya dengan reference strip. Garis kontrol harus
terwarna dengan baik.
House dkk, 2001 dan Gasem MH dkk, 2002 meneliti mngenai
penggunaan uji ini dibandingkan dengan pemeriksaan kultur
darah di Indonesia dan melaporkan senstivitas sebesar 65-77%
dan spesifitas sebesar 9?%-100%. Pemeriksaan ini mudah dan
cepat (dalam 1 hari dilakukan tanpa peralatan khusus apapun,
namun akan hasil didapatkan bila pemeriksaan dilakukan 1
minggu setelah timbulnya gejala.
3. Kultur Salmonella thypi (gold standar)
 Kultur Darah
Spesimen dapat diambil dan diperiksa pada minggu pertama
sampai akhir minggu ke-2 sakit, atau pada saat demam tinggi.
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan
tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena
mungkin disebabakan beberapa hal seperti berikut: 1). Telah
mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur
darah telah mendapatkan antibiotik, pertumbuhan kuman dalam
media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif, 2). Volume
darah yang kurang (diperlukan lebih dari 5cc darah). Bila darah
yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang
diambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam
media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman, 3).
Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan
antibodi dalam darah pasien. Antibodi (aglutinin)ini dapat
menekan bakteremia hingga biakan darah dapat negatif, 4).
Waktu pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat
aglutinin semakin meningkat.
 Feses / tinja
Spesimen tinja diambil pada minggu ke II dan minggu-minggu
selanjutnya. Spesimen tinja yang digunakan harus yang segar,
tidak tercampur urin atau air.
 Urin
Kurang berguna dibandingkan dengan biakkan darah dan
tinja. Biakan air kemih positif pada minggu sakit ke 2 dan 3.
 Cairan empedu

Penting untuk mendeteksi adanya karier (pembawa kuman)


dan pada stadium lanjut penyakit.
Sampai saat ini trilogi penatalaksanaan demam tifoid adalah:
a) Istirahat dan perawatan
Tujuan dari istirahat/tirah baring dan perawatan yaitu untuk
mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Tirah baring
dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum,
mandi, buang air kecil, dan buang air besar akan membantu dan
mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali
dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang
dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan
pneumonia ortostatik serta higiene perorangan tetap perlu
diperhatikan dan dijaga.

b) Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif)


Tujuan dari diet ini yaitu ubtuk mengembalikan rasa nyaman
dan kesehatan pasien secara optimal. Diet merupakan hal yang
cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid,
karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum
dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan
akan menjadi lama.
Di masa lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur
saring, kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya
diberikan nasi, perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat
kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut ditujukan
untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cema atau
perforasi usus. Hal ini disebabkan ada pendapat bahwa usus harus
diistirahatkan. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian
makan padat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa
(menghindari sementara sayuran yang berserat) dapat diberikan
dengan aman pada pasien demam tifoid.

c) Pemberian antimikroba
Tujuannya yaitu untuk menghentikan dan mencegah
penyebaran kuman. Obat-obat antimikroba yang sering digunakan
untuk mengobati demarn tifoid adalah sebagai berikut:
 Kloramfenikol

Di Indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama


untuk mengobati demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4 x
500 mg per hari dapat diberikan secara per oral atau intravena.
Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas. Penyuntikan
intramuskular tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini
tidak dapat diramalkan, dan tempat suntikan terasa nyeri. Dari
pengalaman penggunaan obat ini dapat menurunkan demam
rata-rata 7,2 hari. Penulis lain menyebutkan penurunan dernam
dapat terjadi rata-rata, setelah hari ke-5. Pada penelitian yang
dilakukan selarna 2002 hingga 2008 oleh Moehario LH dkk
didapatkan 90% kuman masih memiliki kepekaan terhadap
antibiotik ini.
Efek samping: diskrasia darah, mual, muntah, glossititis, diare,
colitis, sakit kepala, confusion, delirium, neuritis, reaksi alergi
ringan-berat, gray syndrome
Kontraindikasi: riwayat alergi terhadap kloramfenikol, tidak
direkomendasikan untuk pencegahan
 Tiamfenikol
Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada dernam tifoid hampir sama
dengan kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti
kemungkinan tedadinya anemia aplastik lebih rendah
dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4 x
500 mg, demam rata-rata menurun pada hari ke-5 sampai ke-6.
Efek samping: depresi sumsum tulang, diskrasia darah, mual,
muntah, glossititis, diare, colitis, sakit kepala, confusion, delirium,
neuritis, reaksi alergi ringan-berat, gray syndrome
Kontraindikasi: riwayat alergi tiamfenikol, gangguan liuver dan
renal berat
 Kotrimoksazol

Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol.


Dosis untuk orang dewasa adalah 2 x 2 tablet (1 tablet
mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg trimetoprim)
diberikan selama 2 minggu.
Efek samping: defisiensi folat, hemolysis, hipoglikemia, porfiria,
hipotiroisdism, gangguan elektrolit, gangguan hematologi, reaksi
alergi ringan-berat, gangguan liver, mual, diare, anoreksia,
gangguan renal, diuresis, atralgia, myalgia, batuk
Kontraindikasi: riwayat alergi terhadap sulfonamide dan
trimetropin, porfiria, usia kurang dari 2 bulan, gangguan renal dan
lier berat
 Ampisilin dan amoksisilin

Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah


dibandingkan dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan
berkisar antara 50-150 mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu.
Ampicillin
Efek samping: stomatitis, lidah menghitam reaksi alergi ringan-
berat, sgangguan renal, mual muntah, diare, colitis, gangguan
hematologi, gangguan liver
Kontraindikasi: riwayat alergi terhadap derivate penicillin dan
kemungkinan cross sensitivity dengan golongan sefalosporin dan
beta lactam lainnya
Amoksisilin
Efek samping: candidiasis mukokutaneus, mual, muntah, diare,
colitis, reaksi alergi ganggaun liver, gangguan hematologi,
pewarnaan gigi, pusing, confusion, agitasi, insomnia
Kontraindikasi: riwayat alergi terhadap penicillin dan derivatnya
 Sefalosporin Generasi Ketiga

Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ke-3 yang terbukti


efektif untuk demam tifoid adalah seftriakson, dosis yang
dianjurkan adalah antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc
diberikan selama setengah jam perinfus sekali sehari, diberikan
selama 3 hingga 5 hari.

Efek samping: dyspepsia, mual, muntah, diare, reaksi alergi,


gangguan fungsi hati, faginitis, gatal di kemaluan, demam,
gangguan fungsi ginjal

Kontraindikasi: riwayat alergi terhadap cefadroksil dan


kemungkinan cross sensitivity dengan golongan sefalosporin
lainnya
 Golongan Fluorokuinolon
Golongan fluorokuinolon ini beberapa jenis bahan sediaan dan
aturan pemberiannya:

- Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari

- Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari

- Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 6 hari

- Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari

- Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari

- Levofloksasin dosis 1 x 500 mg/hari selama 5 hari


 Azitromisin

Azitromisin 2x500mg menunjukkan bahwa penggunaan obat ini


jika dibandingkan dengan fluorokuinolon, azitromisin secara
signifikan mengurangi kegagalan klinis dan durasi rawat inap,
terutama jika penelitian mengikut sertakan pula strain MDR (multi
drug resistance) maupun NARST (Nalidixic Acid Resistant
S.typhi). Jika dibandingkan dengan seftriakson, penggunaan
azitromisin dapat mengurangi angka relaps. Azitromisin mampu
menghasilkan konsentrasi dalam jaringan yang tinggi walaupun
konsentrasi dalam darah cenderung rendah. Antibiotika akan
terkonsentrasi di dalam sel, sehingga antibiotika ini menjadi ideal
untuk digunakan dalam pengobatan infeksi oleh S. typhi yang
merupakan kuman intraselular. Keuntungan lain adalah
azitromisin tersedia dalam bentuk sediaan oral maupun suntikan
intravena.
Efek samping: alergi ringan-berat, gangguan hematologi,
aritmia, hipotensi, artimia, anoreksia, konstipasi, hipoglikemia,
dehidrasi, muntah, diare, colitis, asthenia, parastesia, ganggaun
renal, gangguan liver, miastenia gravis, pusing, kejang, sitkop,
gangguan pendengaran, vertigo
Kontraindikasi: riwayat alergi terhadap azritomisin, dan resiko
cross sensitivity dengan golongan makrolit lain

Kombinasi Obat Antibiotika


Kombinasi 2 antibiotik atau, lebih diindikasikan hanya pada
keadaan tertentu saja antara, lain toksik tifoid, peritonitis atau
perforasi serta syok septik, yang pernah terbukti ditemukan 2
macam organisme dalam kultur darah selain kuman Salmonella.

Kortikosteroid
Penggunaan steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau
demam tifoid yang mengalami syok septik dengan dosis 3 x 5 mg.
G. KOMPLIKASI

Intestinal

 Perdarahan intestinal

 Perforasi usus

Ekstra-intestinal

 Komplikasi hematologi

 Hepatitis Tifosa

 Pankreatitis Tifosa

 Miokarditis

H. PENCEGAHAN
1. Air yang aman

Demam tifoid adalah penyakit yang ditularkan melalui air dan


tindakan pencegahan utamanya adalah memastikan akses terhadap
air yang aman. Air perlu berkualitas baik dan harus mencukupi
kebutuhan masyarakat dengan air minum secukupnya dan juga untuk
keperluan rumah tangga lainnya seperti memasak dan mencuci.

 Di daerah perkotaan, kontrol dan perlakuan terhadap sistem


pasokan air harus diperkuat ke konsumen. Air minum yang aman
harus tersedia bagi masyarakat melalui sistem perpipaan atau
dari truk tangki.

 Di daerah pedesaan, sumur harus diperiksa patogen dan dirawat


jika perlu.

 Di rumah, perhatian khusus harus diberikan pada desinfeksi dan


penyimpanan air namun aman dari sumbernya. Air minum dapat
dibuat aman dengan merebusnya selama satu menit atau dengan
menambahkan bahan kimia pelepasan klorin. Sumur yang digali
ditutup sangat membantu dalam mengurangi transmisi sekunder
demam tifoid. Klorin tidak efektif bila air disimpan dalam wadah
logam.

 Dalam beberapa situasi, seperti daerah pedesaan yang miskin di


negara berkembang atau pengungsian, bahan bakar untuk air
mendidih dan wadah penyimpanan mungkin harus disediakan.

2. Keamanan makanan

Makanan yang terkontaminasi merupakan kendaraan penting untuk


transmisi demam tifoid. Penanganan dan pengolahan makanan yang
tepat sangat penting dan langkah-langkah kebersihan dasar berikut
harus diterapkan atau diperkuat selama epidemi:

 mencuci tangan dengan sabun sebelum menyiapkan atau makan


makanan;

 menghindari makanan mentah, kerang, es;

 hanya makan makanan yang dimasak dan masih panas atau


memanaskannya kembali

Inspeksi keamanan makanan harus diperkuat di restoran dan penjual


makanan di kaki lima. Tifus dapat ditularkan oleh pembawa kronis
yang tidak menerapkan praktik kebersihan terkait makanan yang
memuaskan. Pembawa ini harus dikecualikan dari kegiatan yang
melibatkan persiapan dan penyajian makanan. Mereka seharusnya
tidak melanjutkan tugas mereka sampai mereka memiliki tiga kultur
tinja negatif setidaknya satu bulan terpisah.

3. Kebersihan

Sanitasi yang tepat berkontribusi untuk mengurangi risiko penularan


semua patogen diare termasuk Salmonella typhi.

 Fasilitas yang tepat untuk pembuangan limbah manusia harus


tersedia untuk semua masyarakat. Dalam keadaan darurat,
lubang jamban bisa cepat dibangun.
 Pengumpulan dan pengolahan limbah, terutama selama musim
hujan, harus dilaksanakan

 Di daerah-daerah di mana demam tifoid diketahui, penggunaan


kotoran manusia sebagai pupuk harus dihalangi.

4. Edukasi kesehatan
Edukasi kesehatan sangat penting untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat tentang semua langkah pencegahan yang disebutkan di
atas. Pesan edukasi kesehatan untuk komunitas rentan harus
disesuaikan dengan kondisi lokal dan diterjemahkan ke bahasa lokal.
Untuk menjangkau masyarakat, semua sarana komunikasi yang
mungkin ada (misalnya media, sekolah, kelompok perempuan,
kelompok agama) harus diterapkan.
Keterlibatan masyarakat adalah landasan perubahan perilaku
berkaitan dengan kebersihan dan pengaturan dan pemeliharaan
infrastruktur yang dibutuhkan. Di fasilitas kesehatan, semua staf
harus berulang kali dididik tentang perlunya:
 kebersihan pribadi yang sangat baik di tempat kerja;

 langkah-langkah isolasi untuk pasien;

 ukuran desinfeksi.

5. Vaksinasi

Vaksinasi tifoid belum dianjurkan secara rutin di USA, demikian juga


didaerah lain. Jenis vaksin yang ada di indonesia hanya ViCPS (vaksin
kapsul polisakarida). Tindakan preventif berupa vaksinasi tifoid
tergantung pada faktor risiko yang ada yaitu :

 Populasi : anak usia sekolah di daerah endemik, personil militer,


petugas rumah sakit, laboratorium kesehatan, industri
makanan/minuman

 Individual : pengunjung/wisatawan ke daerah endemik, orang


terkontak erat dengan tifoid karier, pada anak usia 2-5 tahun
toleransi dan respons imunologisnya sama dengan orang dewasa.
I. PROGNOSIS
Terapi demam tifoid yang cocok, terutama jika pasien perlu dirawat
secara medis pada stadium dini, sangat berhasil. Angka kematian harus
dibawah 1 persen, dan hanya sedikit 1 persen, dan hanya sedikit
penyulit yang terjadi.
Ad Vitam : Ad Bonam
Ad Fungsionam : Ad Bonam
Ad Sanationam : Ad Bonam

Anda mungkin juga menyukai