Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.LATAR BELAKANG
Malaria masih menjadi masalah global. Pemerintah memandang malaria
masih sebagai ancaman terhadap status kesehatan masyarakat terutama pada
rakyat yang hidup di daerah terpencil. Di dunia, sekitar 3 miliar penduduk
berisiko terkena infeksi malaria, terdapat sekitar 219 juta kasus dan mendekati 1
juta kematian setiap tahun. WHO memperkirakan ada 2,5 juta kasus malaria dan
lebih dari 3000 kematian terjadi pada tahun 2006 di Indonesia. Memasuki
milineum ke-3, infeksi malaria masih merupakan problem klinis bagi Negara
tropis/subtropis, berkembang maupun yang sudah maju; diperkirakan terjadi 200-
300 juta kasus malaria baru dan 1-3 juta penduduk dunia meninggal per tahunnya.
Infeksi malaria dapat berlangsung akut atau kronik, tanpa komplikasi ataupun
mengalami komplikasi sistemik yang dikenal sebagai malaria berat. Malaria
adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoa genus Plasmodium, siklus hidup
plasmodium dan transmisi penularannya pada nyamuk. Komplikasi malaria
umumnya disebabkan oleh Plasmodium falciparum, namun dapat juga disebabkan
oleh spesies yang lain. Komplikasi malaria yang terjadi mendadak umumnya
diolongkan sebagai malaria berat (Oluwayemi, dkk. 2014).
Malaria serebral merupakan komplikasi infeksi Plasmodium falciparum
yang mengancam nyawa dan merupakan salah satu gambaran malaria berat.
Angka kematian sekitar 20 % dan sekitar 20.000 mengalami sekuele neurologis di
sub-Sahara Afrika. World Health Organization (WHO) mendefinisikan malaria
serebral sebagai infeksi Plasmodium falciparum yang disertai penurunan
kesadaran atau koma yang tidak disebabkan oleh penyakit lain atau lebih dari
30 menit setelah serangan kejang dan derajat penurunan kesadaran dinilai
berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS) (Zulkarnain I, dkk. 2014).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh plasmodium yang
menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual di dalam
darah. Infeksi malaria memberikan gejala berupa demam, menggigil, anemia, dan
splenomegali. Infeksi ini dapat bersifat akut amupun kronik (Harijanto, 2014).
Malaria serebral adalah suatu akut ensefalopati yang memenuhi 3 kriteria,
yaitu koma yang tidak dapat dibangunkan atau koma yang menetap > 30 menit
setelah kejang (GCS < 11, Blantyre coma scale < 3) disertai adanya Plasmodium
falciparum yang ditunjukkan dengan hapusan darah dan penyebab lain dari akut
ensefalopati telah disingkirkan (WHO, 2014 dan Kemenkes RI, 2017).

2.2. ETIOLOGI
Penyebab infeksi malaria ialah plasmodium, yang selain menginfeksi
manusia juga menginfeksi binatang seperti golongan burung, reptile, dan
mamalia. Termasuk genus plasmodium dari family plasmodidae. Plasmodium ini
pada manusia menginfeksi eritrosit (sel darah merah) dan mengalami pembiakan
aseksual di jaringan hati dan eritrosit. Pembiakan seksual terjadi pada tubuh
nyamuk yaitu anopheles betina. Secara keseluruhan ada lebih dari 100
plasmodium yang menginfeksi binatang (Harijanto, 2014).
Plasmodium malaria yang sering dijumpai ialah plasmodium vivax
plasmodium vivax yang menyebabkan malaria tertian (Benign Malaria) dan
plasmodium falciparum yang menyebabkan malaria tropika (Malignan Malaria).
Plasmodium malariae pernah juga dijumpai pada kasus namun sangat jarang.
Plasmodium ovale pernah dilaporkan dijumpai di Irian Jaya, pulau Timor, dan
Pulau owi (utara irian jaya) (Harijanto, 2014).

2
2.3. EPIDEMIOLOGI
Malaria termasuk penyakit yang tersebar sangat luas di seluruh dunia, baik
di daerah tropis, subtropis maupun di daerah beriklim dingin. Infeksi malaria
mengenai sekitar 5% populasi dunia dan menimbulkan 0,5- 2,5 juta kematian
setiap tahun. Malaria masih sering dijumpai di daerah endemik di Indonesia,
misalnya di Jepara (Jawa Tengah), Sulawesi Utara, Maluku dan Irian Jaya.
Secara sporadik juga ditemui pada beberapa kota besar di Indonesia, umumnya
sebagai kasus impor. Malaria berat terjadi pada 5-10% dari seluruh penderita
malaria dan sekitar 20% merupakan kasus fatal dengan mortalitas 10-20%.
Merupakan komplikasi yang paling berbahaya dan memberikan mortalitas 20-
50% dengan pengobatan. Penelitian di Indonesia mortalitas berkisar 21,5%-
30,5% (Harijanto, 2014).

2.4. SIKLUS HIDUP MALARIA


Malaria disebabkan oleh protozoa Plasmodium intraseluler yang
ditransmisikan ke manusia melalui nyamuk Anopheles betina. Saat ini, tercatat
ada 5 spesies Plasmodium yang diketahui dapat menyebabkan malaria pada
manusia, yaitu P. falciparum, P. malariae, P. vivax, P. ovale, dan P. knowlesi.
Plasmodium knowlesi adalah spesies Plasmodium yang sebelumnya hanya
teridentifikasi pada kera. Kasus pertama yang terjadi pada manusia tercatat di
semenanjung Malaysia pada tahun 1965. Spesies Plasmodium dapat dijumpai
dalam berbagai bentuk dan memiliki siklus hidup yang kompleks. Parasit ini
dapat bertahan hidup di lingkungan seluler yang berbeda, baik dalam tubuh
manusia (fase aseksual) maupun nyamuk (fase seksual). Replikasi Plasmodium
terjadi melalui 2 tahap dalam tubuh manusia. Fase eritrositik yang terjadi di
dalam sel-sel hati dan fase eritrositik yang terjadi di dalam sel darah merah. Fase
eksoeritrositik dimulai dengan inokulasi sporozoit ke dalam peredaran darah oleh
nyamuk Anopheles betina. Dalam hitungan menit, sporozoit akan menginvasi sel-
sel hepatosit, berkembang biak secara aseksual dan membentuk skizon. Setelah
1-2 minggu, sel-sel hepatosit ruptur dan mengeluarkan ribuan merozoit ke dalam

3
sirkulasi. Skizon spesies P. falciparum, P. Malariae, dan P. knowlesi sekali
ruptur tidak akan lagi berada di hati. Skizon spesies P. vivax dan P. ovale ruptur
dalam 6-9 hari dan ruptur sekunder pada skizon yang dorman (hipnozoit) dapat
terjadi setelah beberapa minggu, bulan atau tahun sebelum mengeluarkan
merozoit dan menyebabkan relaps (malaria kronis) (Harijanto, 2014).

Gambar 1. Siklus hidup plasmodium

Fase eritrositik dimulai saat merozoit dari hati menginvasi sel darah merah.
Di dalam eritrosit, parasit ini bertransformasi menjadi bentuk cincin yang
kemudian membesar membentuk tropozoit. Tropozoit berkembang biak secara
aseksual yang kemudian ruptur dan mengeluarkan eritrositik merozoit, yang
secara klinis ditandai dengan demam. Beberapa dari merozoit ini berkembang
menjadi gametosit jantan dan gametosit betina, sekaligus melengkapi fase siklus
aseksual pada manusia. Gametosit jantan dan gametosit betina ini dicerna oleh

4
nyamuk Anopheles betina saat mengisap darah dari manusia. Dalam perut
nyamuk, gametosit jantan dan betina ini bergabung untuk membentuk zigot.
Zigot berkembang menjadi ookinet kemudian menembus dinding lambung
nyamuk. Pada dinding luar, nyamuk ookinet akan menjadi ookista dan
selanjutnya menjadi sporozoit. Sporozoit ini bersifat infektif dan siap ditularkan
ke manusia (Harijanto, 2014).

2.5. PATOGENESIS
Patogenesis malaria serebral masih belum sepenuhnya diketahui. Diduga
pada malaria serebral terjadi sumbatan kapiler pembuluh darah otak sehingga
terjadi anoksia otak. Eritrosit yang terinfeksi parasit menjadi lebih kaku,
terjadi cytoadherence, rosetting serta sekuesterasi sehingga sulit melalui
pembuluh kapiler. P.falciparum merupakan satu-satunya spesies plasmodium
yang dapat menginduksi cytoadherence eritrosit. Dinding eritrosit yang
terinfeksi P.falciparum matur membentuk tonjolan yang disebut knob, dengan
Histidine Rich-Protein-1 (HRP-1) sebagai komponen utama, yang berperan
penting dalam proses cytoadherence and rosetting. Cytoadherence adalah
perlekatan antara eritrosit yang terinfeksi parasit matur melalui P.falciparum
erythrocyte membrane protein-1 (PfEMP-1) dan permukaan endotel vaskular
(Oluwayemi, dkk, 2014).
PfEMP1 merupakan reseptor adhesif yang diekspresikan di
permukaan eritrosit terinfeksi sedangkan molekul adhesif di permukaan sel
endotel vaskular antara lain CD36, trombospondin dan vascular cell
adhesion molecule-1 (VCAM-1). Cytoadherence menyebabkan sekuesterasi
eritrosit yang mengandung parasit dalam sirkulasi mikro, terutama kapiler
dan vena-vena kecil. Hasil otopsi menunjukkan bahwa sekuestrasi terbesar
terdapat di otak, namun dapat juga ditemukan di hepar, ginjal, usus dan
jaringan adiposa. Sekuesterasi dan kekakuan eritrosit menyebabkan penurunan
aliran darah pada sirkulasi mikro organ, terjadi dysoxya dengan akibat

5
asidosis laktat, disfungsi organ dan kematian. Bentuk rosette adalah
sekelompok eritrosit yang tidak terinfeksi melekat dengan eritrosit yang
terinfeksi parasit matur. Rosetting dapat menyebabkan obstruksi aliran darah
dalam jaringan (Oluwayemi, dkk, 2014).

2.6. DIAGNOSIS
A. Anamnesis
Pada anamnesis sangat penting diperhatikan yaitu keluhan penderita
(demam, menggigil, berkeringat dan dapat disertai sakit kepala, mual, muntah,
diare dan nyeri otot atau pegal-pegal), riwayat sakit malaria dan riwayat
minum obat malaria, riwayat berkunjung ke daerah endemis malaria, dan
riwayat tinggal di daerah endemis malaria. Gejala klinis utama malaria
serebral adalah penurunan kesadaran, dengan manifestasi yang paling
berat yaitu koma. Sebagian penderita terjadi gangguan kesadaran yang
ringan seperti apati, somnolen, delirium dan perubahan tingkah laku. Pada
anak-anak, koma muncul tiba-tiba dan seringkali disertai kejang, biasanya
terjadi 1-3 hari setelah timbulnya demam. Koma dapat terjadi setelah
rasa lemah atau lesu. Kadang didapatkan hipertensi intrakranial,
perdarahan retina, gejala batang otak (abnormalitas postur, ukuran dan
reaksi pupil, gerakan bola mata dan pola pernafasan abnormal). Komplikasi
sistemik lainnya berupa anemia, hemoglobinuria, ikterus, asidosis
metabolik, gagal ginjal, inbalance elektrolit, hiperpireksia, hipoglikemia,
edema paru dan syok (Kemenkes RI, 2017 dan Zulkarnain, dkk, 2014).
B. Pemeriksaan fisik
Pada kasus malaria didapatkan : suhu tubuh aksiler ≥37,5°C,
konjungtiva atau telapak tangan pucat, sklera ikterik, pembesaran limpa
(splenomegali), dan pembesaran hati (hepatomegali). Sedangkan untuk
malaria berat, menurut WHO, ditemukannya Plasmodium falciparum stadium
aseksual dengan minimal satu dari manifestasi klinis atau didapatkan temuan

6
hasil laboratorium :
1. Perubahan kesadaran (GCS <11, Blantyre <3)
2. Kelemahan otot (tak bisa duduk/berjalan)
3. Kejang berulang-lebih dari dua episode dalam 24 jam
4. Distres pernafasan
5. Gagal sirkulasi atau syok: pengisian kapiler >3 detik, tekanan sistolik
<80 mmHg (pada anak: <70 mmHg)
6. Jaundice (bilirubin >3mg/dL dan kepadatan parasit >100.000)
7. Hemoglobinuria
8. Perdarahan spontan abnormal
9. Edema paru (radiologi, saturasi oksigen <92%)
Gambaran laboratorium :
1. Hipoglikemi (gula darah <40 mg%)
2. Asidosis metabolik (bikarbonat plasma <15 mmol/L).
3. Anemia berat (Hb <5 gr% untuk endemis tinggi, <7gr% untuk
endemis sedang-rendah), pada dewasa Hb<7gr% atau hematokrit
<15%)
4. Hiperparasitemia (parasit >2 % eritrosit atau 100.000 parasit /μL di
daerah endemis rendah atau > 5% eritrosit atau 100.0000 parasit /μl di
daerah endemis tinggi)
5. Hiperlaktemia (asam laktat >5 mmol/L)
6. Hemoglobinuria
7. Gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum >3 mg%)
C. Laboratorium
Diagnosis pasti adalah menemukan parasit malaria, dengan
pemeriksaan mikroskopik sebagai standar baku dan bila tidak memungkinkan
dapat dengan tes diagnosis cepat (rapid diagnosis test =RDT), Quantitative
Buffy Coat (QBC), atau dengan polymerase chain reaction (PCR)
(Harijanto, 2014).

7
1. Pemeriksaan mikroskopik
Merupakan metode standar dalam penegakan diagnosis malaria
dan sebaiknya dilakukan oleh tenaga laboratorik yang berpengalaman.
Pemeriksaan mikroskopik terdiri dari dua bagian:
a. Preparat darah tebal merupakan cara terbaik untuk menemukan
parasit malaria. Hitung parasit dapat dilakukan dengan menghitung
jumlah parasit per 200 leukosit yang merupakan jumlah parasit per
mikro-liter darah. Limitasi deteksi parasit mencapai 10-50
trofozoit/μL.
b. Apusan darah tipis
Digunakan untuk identifikasi jenis plasmodium (bila dengan
preparat darah tebal sulit ditentukan), menghitung parasitemia dan
menilai stadium plasmodium. Pengecatan Giemsa yang umum
dipakai pada beberapa laboratorium dan merupakan pengecatan
yang mudah dengan hasil yang cukup baik.
2. Deteksi antigen atau antibodi plasmodium menggunakan Rapid
Diagnostic Test (RDT) metode Immunochromatography (ICT).
Tes ini dapat membedakan P. falciparum dan non falciparum tetapi
tidak dapat membedakan antara P. vivax, P. ovale dan P. malariae.
Rapid Diagnostic Test (RDT) ini juga tidak dapat dipakai untuk
monitoring maupun mendeteksi adanya hiperparasitemia.
3. Tes Quantitative Buffy Coat (QBC), prinsip dasar berdasarkan tes
fluoresensi, cepat tapi tidak dapat membedakan jenis plasmodium dan
hitung parasit.
4. Tes Polymerase chain reaction (PCR), pemeriksaan biomolekuler untuk
mendeteksi DNA spesifik parasit plasmodium dalam darah, sangat efektif
mendeteksi jenis plasmodium walaupun parasitemia rendah.

8
C. Radiologi
Pemeriksaan foto thorax dan Computed Tomography (CT) Scan
biasanya normal, adanya edema serebri pada hasil CT scan hanya
dijumpai pada kasus-kasus yang berat.

2.7. PENATALAKSANAAN
Penanganan pada malaria berat mencakup (Harijanto, 2014 dan
Zulkarnain, dkk, 2014) :
1. Tindakan umum (suportif dan simptomatis)
Menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit dan keseimbangan asam basa.
Karena pada malaria terjadi gangguan hidrasi, maka sangat penting mengatasi
keadaan hipovolemia ini. Oksigenasi dipertahankan, pemberian antipiretik
untuk mencegah hipertermia yaitu parasetamol 15mg/KgBB/kali diberikan
setiap 4 jam, dan kompres dingin intensif.
2. Pemberian obat anti malaria (pengobatan spesifik)
Pemberian obat anti malaria (OAM) pada malaria berat berbeda dengan
malaria biasa karena pada malaria berat diperlukan daya membunuh parasit
secara cepat dan bertahan cukup lama di darah untuk segera menurunkan
derajat parasitemia. Oleh karenanya dipilh pemakaian obat parenteral yang
berefek langsung dalam peredaran darah dan kurang terjadinya resistensi.
 Derivat artemisin
Merupakan obat baru yang memberikan efektivitas yang tinggi
terhadap strain yang multiresisten. Golongan Artemisin merupakan pilihan
pertama untuk pengobatan malaria berat mengingat keberhasilan selama ini
dan mulai didapatkannya kasus-kasus malaria falsiparum yang resisten
terhadap klorokuin maupun kuinin. Golongan artemisin yang digunakan
untuk pengobatan malaria berat antara lain yaitu :

9
- Artesunat
Pada beberapa studi dalam membandingkan dengan kina mempunyai
efek klirens parasit lebih cepat. Dosis pemakaian artesunat ialah
2,4mg/kgBB intravena sebanyak 3 kali jam ke 0, 12, 24, kemudian
dilanjutkan dosis 1,2 mg/kgBB intravena setiap 24 jam pada hari kedua
sampai kelima (sampai penderita mampu minum obat). Bila penderita
sudah dapat minum obat, maka pengobatan dilanjutkan dengan regimen
DHP atau jenis ACT lainnya (3 hari) + primakuin (sesuai dengan jenis
plasmodiumnya) (Harijanto, 2014 dan Kemenkes, 2017).
- Artemeter
Dalam beberapa penelitian di Indonesia artemeter untuk malaria
berat memberikan respon yang cukup baik yang tidak berbeda dengan
pengobatan kina hanya pada penggunaan artemeter kurang dijumpai
hipoglikemia. Dosis artemeter yaitu 3,2 mg/kgBB im loading dose dibagi
2 dosis (tiap 12 jam), diikuti dengan 1,6 mg.kgBB/24 jam selama 4 hari
80mg/intramuskular (Harijanto, 2014 dan Kemenkes, 2017).
 Kina (Kina HCL/Kinin Antipirin)
Kina merupakan obat antimalaria yang sangan efektif untuk semua
jenis plasmodium dan efektif sebagai sizontosida maupun gametosida.
Dipilih sebagai obat utama untuk malaria berat karena masih berefek kuat
terhadap P.falciparum yang resisten terhadap klorokuin.
Cara pemberian dan dosis :
a. Loading dose : dengan 20 mg/kgBB Kina HCl dalam 500 cc cairan
5% dextrose (atau NaCl 0,9%) selama 4 jam pertama.
b. 4 jam kedua hanya diberikan cairan dextrose 5% atau NaCl 0,9%.
c. 4 jam berikutnya segera dilanjutkan dengan kina dosis rumatan 10
mg/kgBB dilarutkan dalam 500 ml (hatihati overload cairan) dextrose
5% atau NaCl.

10
d. Setelah itu diberikan lagi dosis rumatan seperti di atas sampai
penderita dapat minum kina per-oral.
e. Apabila penderita sadar, kina diberikan peroral dengan dosis 10
mg/kgBB/kali tiap 8 jam. Kina oral diberikan bersama doksisiklin
atau tetrasiklin pada orang dewasa dan klindamisin pada ibu hamil.
Dosis selama 7 hari dihitung dari pemberian kina perinfus hari I.
Loading dose tidak dianjurkan untuk diberikan pada penderita yang
telah mendapat kina atau meflokuin 24 jam sebelumnya, tidak
diberikan pada usia lanjut (Harijanto, 2014 dan Kemenkes, 2017).
 Klorokuin
Klorokuin masih merupakan OAM yang efektif terhadap
P.falciparum yang sensitif terhadap klorokuin. Keuntungannya yaitu tidak
menyebabkan hipoglikemia dan tidak mengganggu kehamilan. Dengan
meluasnya resistensi terhadap klorokuin, obat ini sudah jarang dipakai
untuk pengobatan malaria berat (Harijanto, 2014).
Loading dose : klorokuin 10 mg basa/kgBB dilarutkan dalam 500
ml cairan isotonis diberikan dalam 8 jam, dan dilarutkan dengan dosis 5 g
basa/kgBB perinfus selama 8 jam diulang 3 kali (dosis total 25 mg/kgBB
selama 32 jam). Bila cara i.v per infus tidak memungkinkan, maka dapat
diberikan secara intramuskular atau subkutan dengan cara : 3,5 mg/kgBB
klorokuin basa tiap 6 jam interval atau 2,5 mg/kgBB klorokuin basa tiap 4
jam. Bila penderita sudah sadar, dapat minum oral biasanya 2 hari setelah
pemberian parenteral (Harijanto, 2014 dan Kemenkes, 2017).
3. Pengobatan komplikasi
Kejang merupakan komplikasi malaria serebral. Penanganan atau
pencegahan kejang penting untuk menghindarkan aspirasi.
Obat yang dapat digunakan penanganan kejang adalah
- Diazepam : IV 10 mg; atau intrarektal 0,5-1,0 mg/KgBB,

11
- Fenitoin : 5 mg/KgBB iv diberikan selama 20 menit,
- Fenobarbital : pemberian fenobarbital 3,5 mg/KgBB (umur di atas 6
tahun) mengurangi terjadinya kovulsi.
- Klormetiazol (bila kejang berulang-ulang) dipakai 0,8% larutan infus
sampai kejang hilang.

Gambar 2. Alur penemuan penderita malaria

12
Gambar 3. Tatalaksana penderita malaria

13
Gambar 4. Penatalaksanaan malaria berat di Pelayanan Primer dan Sekunder

14
Gambar 5. Penatalaksanaan malaria berat di Rumah Sakit Rujukan

15
Gambar 6. Penatalaksanaan malaria serebral

16
2.8. PROGNOSIS
Prognosis malaria serebral tergantung pada kecepatan dan ketepatan
diagnosis dan penanganan yang tepat. Pada koma dalam, tanda-tanda herniasi,
kejang berulang, hipoglikemia berulang dan hiperparasitemia berisiko kematian
tinggi. Prognosis juga tergantung dari jumlah dan berat kegagalan fungsi organ.
Pada cairan serebrospinal, bila kadar laktat > 6 mmol/l mempunyai prognosis
fatal. Hasil CT scan edema otak difus dihubungkan dengan prognosis yang jelek.
Malaria serebral biasanya dapat disertai gangguan fungsi organ lain seperti
ikterik, gagal ginjal, hipoglikemia, asidosis metabolik dan edema paru. Bila
terjadi lebih dari 3 komplikasi organ, maka prognosis kematian >75%.
Mortalitas malaria serebral sangat tinggi, bila dapat bertahan hidup pasien
memiliki kemungkinan mengalami kerusakan otak dengan manifestasi
gangguan neuro-kognitif jangka panjang (Zulkarnain, dkk, 2014).

17
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien


Nama : Tn. M
Tanggal lahir/Umur : 33 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Nomor RM : 755991
Masuk rumah sakit : 30 April 2016

3.2. Anamnesis
Laki-laki 33 tahun, pekerjaan wiraswasta, masuk rumah sakit
dengan keluhan kesadaran menurun yang dialami sejak 6 hari sebelum masuk
RS, memberat 2 hari terakhir disertai gelisah, dirasakan perlahan-lahan.
Awalnya pasien demam tinggi selama 6 hari, ada menggigil, nyeri kepala
dan berkeringat banyak, setelah demam pasien tampak lemas dan semakin
tidak sadar, tanpa riwayat penurunan kesadaran atau kejang sebelumnya.
Pasien juga mengeluh mual dan muntah sejak dua hari sebelum masuk rumah
sakit dengan frekuensi 2-3 kali sehari berisi cairan kekuningan dan sisa makanan,
tidak ada darah.
Riwayat terkena malaria berulang tujuh tahun terakhir selama
tinggal di Timika. Pasien kembali dari Timika 2 minggu lalu dan dua hari
setelahnya, munculnya gejala demam dan gelisah, lalu dirawat di RS Luwu
selama 4 hari dengan hasil ICT malaria positif, leukosit 5800/μL, PLT
44.000/μL dan Hb 13,9 g/dL, namun karena kesadaran makin menurun
pasien dirujuk ke RS Ibnu Sina dan dilakukan pemeriksaan ulang ICT
malaria dengan hasil P.falciparum positif. Pasien langsung dirujuk ke RS
Wahidin Sudirohusodo karena pasien semakin gelisah dengan diagnosis
kesadaran menurun curiga malaria serebral.

18
BAK : Buang air kecil per kateter 30 cc/ jam selama 9 jam (volume 270
cc) warna kuning pekat, dan BAB : lunak (Irawaty, dkk, 2016).

3.3. Pemeriksaan fisik


Pemeriksaan fisik didapatkan, pasien tampak sakit berat, gizi
cukup, delirium. Pada pemeriksaan kepala didapatkan konjungtiva pucat, sklera
ikterik. Pada leher, dada tidak ditemukan kelainan. Pemeriksaan abdomen
didapatkan permukaan cembung, hepar dan lien tidak teraba.
3.4. Pemeriksaan Penunjang
A. Laboratorium
Darah rutin 30/04/2016 02/05/2016 Nilai rujukan Satuan
WBC 4,0 7,3 4.00 – 10.0 103/µL
RBC 2,98 2,61 4.00 – 6.00 106/µL
HGB 8,3 7,6 12.0 – 16.0 g/dl
HCT 26 23 37.0 – 48.0 %
MCV 88 87 80.0 – 97.0 fL
MCH 28 29 26.5 – 33.5 pg
MCHC 32 33 31.5 – 35.0 g/dl
PLT 28 99 150 – 400 103/µL
RDW % 12,5 11,9 10.0 – 15.0 %
RDW 21 22,3 10.0 – 18.0 %
MPV 13,3 10,1 6.50 – 11.0 µm3
PCT 0,50 0,10 0.15 – 0.50 %
Neutrofil 75,6 59,5 52.0 – 75.0 %
Limfosit 13,8 33 20.0 – 40.0 %
Monosit 6,3 5,2 2.00 – 8.00 %
Eosinofil 4,3 1,0 1.00 – 3.00 %
Basofil 0,0 0,10 0.00 – 0.10 %

19
*Kesan :
- Anemia normositik normokrom
- Trombositopenia

Hemostasis 30/04/2016 02/05/2016 Satuan


PT 10,1 10 -14 Detik
INR 0,97
APTT 24,6 22.0 -30.0 Detik
*Kesan : Hemostasis dalam batas normal

Hasil Apusan Darah Tepi (2 Mei 2016)


- Eritrosit : Normositik normokrom, anisopoikilositosis, ovalosit (+), Burr cel
(+), polikromasia (+), ditemukan gametosit dan trofozit Plasmodium
falciparum, normoblast (+).
- Leukosit : Jumlah cukup, PMN >limfosit, granulasi toksik (+), sel muda (-)
- Trombosit : Jumlah menurun, giant trombosit (+)
*Kesan :
- Anemia normositik normokrom kausa Plasmodium falciparum
- Trombositopenia

Kimia darah 30/04/2016 02/05/2016 Nilai Rujukan Satuan


Glukosa sewaktu 144 - 140 mg/dL
Ureum 80 93 10 – 50 mg/dL
Kreatinin 1.22 1.30 <13 mg/dL
SGOT 80 - <38 U/L
SGPT 47 - <41 U/L
Protein Total 5.8 - 6.6 – 8.7 mg/dL
Albumin 2.9 - 3.5 – 5.0 mg/dL

20
Globulin 2.9 - 1.5 – 5 mg/dL
Bilirubin total 7.74 - <1.1 mg/dL
Bilirubin Direk 3.52 - <0.30 mg/dL
Laktat darah - 55.3 0 – 20 mg/dL

Elektrolit 30/04/2016 02/05/2016 Nilai Rujukan Satuan


Natrium 147 - 136 – 145 mmol/L
Kalium 5.2 - 3.5 – 5.1 mmol/L
Klorida 113 - 97 – 111 mmol/L

Analisa Gas Darah 30/04/2016 02/05/2016 Nilai Rujukan Satuan


pH 7,611 - 7,35 – 7,45 mmHg
pCO2 29,6 - 35 – 45 %
SO2 99,2 - 95 – 100 mmHg
pO2 130,8 - 80 – 100 mmol/L
HCO3 30,1 - 22 – 26 mmol/L

*Kesan :
- Gangguan fungsi ginjal
- Peningkatan aktivitas enzim transaminase
- Hipoproteinemia, hipoalbuminemia
- Hiperbilirubinemia
- Hiperlaktanemia
- Alkalosis respiratorik dan metabolik

21
Imunologi 30/04/2016 02/05/2016 Nilai Rujukan Satuan
Antibodi malaria Positif - Negatif
Procalcitonin 2,38 - <0,05 Ng/mL
Coomb’s Test - Negatif Negatif

Urin rutin 02/05/2016 Nilai Rujukan Satuan


Warna Kuning tua Kuning muda -
pH 5.5 4.5 – 8.0 -
Berat Jenis 1.015 1.005 – 1.035 -
Protein +/30 Negatif mg/dL
Glukosa Negatif Negatif mg/dL
Bilirubin +/1 Negatif mg/dL
Urobilinogen +/2 Negatif mg/dL
Keton Negatif Negatif mg/dL
Nitrit Negatif Negatif mg/dL
Blood (RBC/ul) +++/200 Negatif RBC/µL
Leukosit +/15 Negatif WBC/µL
Sedimen leukosit 0 <5 mg/dL
Sedimen eritrosit 3 <5 LPB
Sedimen torak 0 LPB
Sedimen kristal - LPK
Sedimen sel epitel 1 LPK
Sedimen lain-lain -
*Kesan :
- Proteinuria
- Bilirubinemia
- Urobilinogenuria, Hemoglobinuria

22
B. Pemeriksaan CT Scan

Kesan : Tidak tampak lesi hipodens atau hiperdens intrakranial pada CT Scan
kepala saat ini

3.5. Diagnosis
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan
penunjang yang didapatkan maka pasien didiagnosis dengan kesadaran
menurun kausa malaria serebral.

3.6. Pembahasan
Dilaporkan suatu kasus seorang pria 33 tahun dengan diagnosis
penurunan kesadaran et kausa malaria serebral. Pasien masuk rumah sakit dengan
keluhan kesadaran menurun yang dialami sejak 6 hari sebelum masuk rumah
sakit, disertai gelisah, disertai demam dan menggigil serta riwayat
menderita malaria berulang, pemeriksaan antibodi malaria positif dan
diperkuat dengan ditemukannya gametosit dan trofozoit P.falciparum pada
apusan darah tepi sehingga dipikirkan penurunan kesadaran kausa malaria
serebral. Gejala utama malaria serebral adalah penurunan kesadaran, lebih dari

23
30 menit, dapat berupa gangguan kesadaran ringan misalnya apatis,
somnolen, delirium, maupun koma. Pemeriksaan mikroskopik merupakan
standar baku dalam diagnosis malaria. Preparat dinyatakan negatif bila
setelah diperiksa 200 lapang pandangan dengan pembesaran kuat tidak
ditemukan parasit. Jika dilakukan satu kali pemeriksaan mikroskopik
dan didapatkan hasil negatif tidak menyingkirkan diagnosis malaria dan harus
diulang setiap 6-12 jam hingga 48 jam jika dicurigai malaria. Jika telah
dilakukan tiga kali pemeriksaan dan hasil negatif maka dapat disingkirkan
kemungkinan malaria. Kepadatan parasit dalam apusan darah atau darah tipis
dinyatakan sebagai hitung parasit (parasit count), yang dapat dilakukan
pada darah tebal berdasarkan jumlah parasit per 200 leukosit atau pada
darah tipis berdasarkan jumlah eritrosit yang mengandung parasit per 1000
sel darah merah. Bila jumlah parasit > 100.000/μL darah menandakan infeksi
berat. Hitung parasit penting untuk menentukan prognosis penderita
malaria walaupun komplikasi juga dapat timbul dengan jumlah parasit yang
minimal (Irawaty, dkk, 2016).
Beberapa antigen yang umumnya digunakan untuk Rapid
Diagnostic Test (RDT) adalah antigen spesifik terhadap P.falciparum
(Histidine Rich Protein-II/HRP-II), aldolase dan Plasmodium lactate
dehydrogenase (pLDH) yang merupakan pan specific antigen. HRP-II adalah
water-soluble protein yang dihasilkan oleh trofozoit dan gametosit muda
P.falciparum. Selain HRP-II sudah dikembangkan pula tes pLDH. Parasit
lactate dehydrogenese (pLDH) dihasilkan oleh stadium aseksual dan seksual
(gametosit) oleh semua spesies plasmodium. Antigen pLDH disekresi oleh
eritrosit yang terinfeksi plasmodium. Aldolase adalah soluble glycolytic
enzyme yang dikeluarkan oleh plasmodium dengan kadar yang tinggi di
dalam darah. Selain deteksi antigen, dapat juga digunakan tes RDT untuk
mendeteksi antibodi terhadap antigen plasmodium. Antibodi terhadap antigen
parasit timbul dalam hitungan hari hingga mingu setelah infeksi dan

24
bertahan berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Tes antibodi malaria
dapat mendeteksi infeksi parasit pada keadaan parasitemia yang rendah
(<50 parasit/μL) dan berguna di daerah endemis kerena sering terjadi
reinfeksi atau parasitemia ringan. Tes ini juga berguna untuk diagnosis malaria
dengan hasil mikroskopik yang negatif. Gejala malaria diawali dengan
menggigil, diikuti dengan peningkatan suhu dan bertahan selama beberapa
jam, diakhiri dengan turunnya suhu tubuh namun disertai keringat yang
berlebihan. Gejala ini disebabkan karena pecahnya skizon eritrosit. Pembesaran
limpa sering dijumpai pada penderita malaria. Limpa berfungsi untuk
memfagosit eritrosit abnormal. Pada pasien ini tidak ditemukan pembesaran
limpa saat dilakukan pemeriksaan fisik. Hal ini dapat disebabkan karena eritrosit
yang terinfeksi parasit melekat pada endotel vaskular otak dan dengan
demikian terhindar dari proses bersihan oleh limpa (Harijanto, 2014).
Dari pemeriksaan darah rutin pasien ini ditemukan anemia dan
trombositopenia. Anemia merupakan komplikasi yang paling sering terjadi,
dapat disebabkan oleh lisis eritrosit akibat bersihan eritrosit oleh limpa,
destruksi eritrosit saat fase skizogoni parasit, eritropoiesis inefektif sementara,
dan hemolisis karena kompleks imun yang diperantarai komplemen.
Penyebab hemolisis pada pasien ini kemungkinan oleh bukan disebabkan
oleh mekanisme yang dimediasi sistem imun berdasarkan hasil Coomb’s test
yang negatif. Mekanisme pasti penyebab trombositopenia pada malaria belum
jelas. Beberapa teori yang menyebabkan trombositopenia diantaranya penurunan
masa hidup trombosit di perifer, deplesi glikogen dalam trombosit, destruksi
trombosit di perifer, atau mikroaggregasi, namun belum ada
mekanisme pasti terjadinya trombositopenia pada malaria. Hipoglikemia dapat
terjadi pada penderita malaria serebral. Hal ini disebabkan karena parasit
menggunakan glukosa sebagai sumber energi untuk memenuhi kebutuhan
metabolik, namun pada kasus ini kadar glukosa pasien masih dalam batas
normal (Irawaty, dkk, 2016).

25
Pasien ini ditemukan ikterus, hiperbilirubinemia, urobilinogenuria,
bilirubinuria. Ikterus sering dijumpai pada infeksi malaria dengan
peningkatan serum transaminase dan hepatomegali. Peningkatan
transaminase biasanya jarang melebihi 200 IU dan dapat ditemukan
peningkatan bilirubin total dan bilirubin tidak terkonjugasi. Ikterus yang terjadi
pada penderita malaria ini kemungkinan disebabkan oleh hemolisis atau
disfungsi hepar (Irawaty, dkk, 2016).
Pemeriksaan fungsi ginjal pasien ini menunjukkan adanya
gangguan ginjal. Kelainan fungsi ginjal sering terjadi pada penderita malaria,
umumnya berupa kelainan prerenal karena dehidrasi, disebabkan karena
penurunan aliran darah ke ginjal akibat sumbatan kapiler sehingga terjadi
penurunan filtrasi pada glomerulus. Pasien ini memiliki kadar laktat yang
tinggi yaitu 55,3 mg/dL. P.falciparum berkontribusi terhadap peningkatan
konsentrasi laktat, melalui glikolisis anaerob dalam parasit dan penurunan
suplai oksigen ke jaringan. Suplai oksigen yang inadekuat akibat anemia
dan penurunan aliran darah ke jaringan memicu perubahan metabolik
dalam tubuh host menjadi metabolism anaerob dan terjadi peningkatan produksi
asam laktat. Infeksi P.falciparum berat dapat menunjukkan berbagai gejala
(Irawaty, dkk, 2016).

3.7. Follow Up
Hari Follow Up/Hasil Penanganan/Konsul
perawatan/Tanggal pemeriksaan penunjang
30/04/2016 Subjektif : Terapi
Kesadaran menurun, pasien - Oksigen 4-6 liter
tampak gelisah, sesak (+), (simpel mask)
demam (+) disertai
- IVFD Asering :
menggigil, mual (+),
Dextrose 5% 1 : 1
muntah 2 kali, terpasang

26
kateter dan oksigen masker 28 tpm
dari RS Ibnu Sina. - Artemeter 3,2
mg/KgBB/loading
Objektif :
dose/intramuscular
- Keadaan umum : sakit
(200mg atau 2,5
berat/gizi cukup/delirium
ampul/24 jam/IM)
- GCS : E3V3M6
hari pertama; lanjut
- Vital sign :
 TD : 110/80 mmHg,
1,6mg/kgBB/IM

 Nadi : 124x/menit, selama 3 hari


 Laju Respirasi : sampai sadar, bila
32x/menit, sadar rencana
 Suhu : 39°C minum obat oral
- Status generalis - Paracetamol 1g/8
 Kepala : jam/IV
Normochepali
- Pasang kateter
 Mata : Konjungtiva
- Pasang monitor
pucat, ikterus (+)
- Rehidrasi cairan
 Leher : JVP 5+2
adekuat
cmH2O
 Thoraks : Suara nafas
- Balance cairan

Vesikuler, ronchi -/-, Plan :


wheezing -/- - Foto thorax PA
 Cor : Bunyi jantng - CT Scan Kepala
S1S2 tunggal reguler, - Darah rutin
murmur (-) - Koagulasi
 Abdomen : BU (+) (PT/INR/APTT)
normal, hepar dan lien
- Protein total,
tidak teraba
albumin, globulin
 Ekstremitas : Hangat -
- Laktat darah
/-, edema tungkai -/-,

27
sianosis -/- - Analisa Gas Darah
(AGD)
Assessment : - ICT Malaria
Kesadaran menurun et causa
- Urinalisa dan
Malaria serebral
sedimen urin

Subjektif :
01/05/2016 Terapi :
Kesadaran menurun
- Oksigen 4-6 liter
Pasien sudah tidak
I : 2000 cc (simpel mask)
gelisah, masih sesak,
O : 400 cc - IVFD Asering :
demam (+), dan tidak
IWL : 1125 cc Dextrose 5% 1 : 1
menggigil
BC : -475 cc 28 tpm
- Paracetamol 1gr/8
Objektif :
jam/drip jika suhu
- Keadaan umum : sakit
>38,5°C
berat/gizi
- Artemeter
cukup/delirium
1,6mg/KgBB/IM
- GCS: E1M1V1
(hari ke 2) selama
- Vital sign :
3 hari sampai
 TD : 110/80mmHg,
sadar, bila sadar
 Nadi : 90x/menit,
rencana minum
 Laju Respirasi :
obat oral
24x/menit,
- Rehidrasi cairan
 Suhu : 38°C
adekuat
- Status generalis
- Balance cairan
 Kepala :
Normochepali

28
 Mata : Konjungtiva
pucat (+), ikterus (+)
 Leher : JVP 5+2
cmH2O
 Thorax : Suara nafas
vesikuler, ronchi (-),
wheezing (-)
 Cor : BJ S1S2
tunggal reguler,
murmur (+)
 Abdomen : hepar
dan lien tidak teraba
 Ekstremitas : hangat
-/-, edema tungkai -
/-, sianosis -/-

Assessment : Kesadaran
menurun et causa Malaria
Serebral

02/05/2016 Subjektif : Terapi :


Kesadaran menurun, - Oksigen 4-6 liter
pasien sudah tidak (simpel mask)
I : 2000cc gelisah, masih sesak, - IVFD Asering :
O : 400cc demam (+) Dextrose 5% 1 : 1
IWl : 1125cc 28 tpm
BC : -475cc - Paracetamol 1gr/8

29
Objektif : jam/drip jika suhu
- Keadaan umum : sakit >38,5°C
berat/gizi - Artemeter
cukup/delirium 1,6mg/kgBB/IM
- GCS E1V1M1 (hari ke 3)
- Vital sign : - Rehidrasi cairan
 TD : 110/70 mmHg, adekuat
 Nadi : 98x/menit, - Balance cairan
 Laju respirasi : Plan :
28x/menit, - Pasang NGT
 Suhu : 37,9°C - Darah rutin
- Status generalis - Apusan darah tepi
 Kepala : - Coomb’s tes
Normochepali
 Mata : Konjungtiva
pucat, ikterus (+)
 Leher : JVP 5+2
cmH2O
 Thorax : Suara
napas vesikuler,
ronchi (-), wheezing
(-)
 Cor : BJ S1S2
tunggal reguler,
murmur (-)
 Abdomen : hepar
dan lien tidak teraba
 Ekstremitas : hangat

30
-/-, edema -/-,
sianosis -/-

Assessment : kesadaran
menurun et causa malaria
serebral

02/05/2016 Subjektif : Terapi :


Jam 22.30 Pasien masih tidak sadar, - Oksigen 4-6 liter
ada demam tinggi, (simpel mask)
berkeringat banyak, - Loading cairan
riwayat hepatitis NaCl 0,9% 500cc
disangkal - Paracetamol 1gr/8
jam/drips jika suhu
Objektif : >38,5°C
- Keadaan umum : sakit - Artemeter
berat/gizi cukup 1,6mg/KgBB/IM
- GCS E1M1V1 (hari ke 3)
- Vital sign : - Rehidrasi cairan
 TD : 80/50mmHg, adekuat
 Nadi : 145x/menit, - Balance cairan
 Laju respirasi :
34x/menit, Plan :
 Suhu : 41°C - Vascon
- Status generalis 0,1mcg/jam/Syring
 Kepala : epump (0,53
normochepali cc/jam)

31
 Mata : konjungtiva - Cek ulang GDS
pucat (+), ikterus (+)
 Leher : JVP 5+2
cmH2O
 Thorax : Suara
napas vesikuler,
ronchi -/-, wheezing
-/-
 Cor : BJ s1s2
tunggal reguler,
murmur (-)
 Abdomen : hepar
dan lien tidak teraba
 Ekstremitas : hangat
+/+, edema -/-,
sianosis -/-

Assessment : Kesadaran
menurun et causa malaria
serebral

02/05/2016 GDS : 84mg/dl - Cek GDS kontrol


Jam 22.45 perjam

32
02/05/2016 Subjektif : Terapi :
Jam 23.45 Pasien masih tidak sadar - Dilakukan RJP
selama 30 menit
Objektif : - Injeksi epinefrin
Tekanan darah tidak 1gr 2 ampul
terukur, nadi tidak teraba, - Respon negatif
pernapasan tidak terukur - Pasien dinyatakan
meninggal pukul
23.45 dihadapan
keluarga

33
BAB IV
PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Malaria serebral masih merupakan masalah kesehatan di masyarakat baik


di dunia maupun di Indonesia khususnya di wilayah Indonesia bagian Timur.
Angka kesakitan dan kematian pun juga masih tinggi. Patofisiologi malaria
serebral ditinjau dari aspek biomolekuler yang terkini meliputi: hipotesis
mekanikal, permeabilitas, humoral, dan hipotesis lain (peran MMP).
Penatalaksanaan pun sampai saat ini berkembang dan banyak penelitian
dilakukan untuk mendapatkan terapi malaria serebral yang tepat dan efektif baik
profilaksis, obat anti malaria dan terapi tambahan, dengan harapan dapat
menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat malaria serebral ini.

34
DAFTAR PUSTAKA

Harijanto PN. 2014. Malaria. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S, editors. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Irawaty, Irda Handayani, Benny Rusli. 2016. Laporan Kasus Besar : Malaria
Serebral. Departement Ilmu Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanudin, Rumah Sakit Umum Provinsi Wahidin Sudirohusodo, Makassar.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Buku Saku Penatalaksanaan
Kasus Malaria. Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
Oluwayemi, Isaac Oludare. 2014. Malaria Chemotherapy Control & Elimination :
Cerebral Malaria. Department of Paediatrics, Faculty of Clinical Sciences,
College of Medicine, Ekiti State University, Ado-Ekiti, Nigeria
World Health Organization. 2014. Severe Malaria, Volume 19. Tropical Medicine and
International Health.
Zulkarnain I, Setiawan B, Harijanto PN. 2014. Malaria Berat. Dalam : Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Ilmu Penyakit Dalam, Edisi ke
6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

35

Anda mungkin juga menyukai