Makalah Kkpak Kimia (Debu)

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

“PAK AKIBAT FAKTOR KIMIA (DEBU)”

(Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Kesaehatan Kerja dan Penyakit
Akibat Kerja Kelas A)

Dosen Pengampu :
Kurnia Ardiansyah Akbar, S.KM., M.KKK

Oleh
Kelompok 2:
1. Meila Umroh Yunitasari 152110101188
2. Shoimatul Hasanah 162110101148
3. Alfian Firmanuloh 162110101204

ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS JEMBER
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat limpahan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Pak Akibat Faktor Kimia (Debu)” dengan tepat waktu. Shalawat
serta salam semoga selalu tercurah pada baginda Rasulullah Muhammad SAW.
Tidak lupa penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini, yaitu:
1. Allah semesta alam.
2. Bapak Kurnia Ardiansyah Akbar, S.KM., M.KKK. selaku dosen
pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada
penulis dalam menyusun makalah ini.
3. Rekan-rekan Kesehatan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja Kelas A yang
telah memberikan saran, kritik dan masukan yang membangun, serta
semua pihak yang terlibat dalam proses penyempurnaan makalah ini
yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna, baik dari segi
materi maupun penyajiannya. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun
sangat diharapkan dalam penyempurnaan makalah ini dan semoga makalah ini
dapat memberikan tambahan wawasan bagi kita semua khususnya teman-teman
mahasiswa serta bisa menjadi bahan referensi untuk pembelajaran kita bersama.

Jember, 08 Maret 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB 1. PENDAHULUAN......................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................1
1.3 Tujuan........................................................................................................2
1.3.1 Tujuan umum.....................................................................................2
1.3.2 Tujuan khusus....................................................................................2
1.4 Manfaat......................................................................................................2
1.4.1 Manfaat Teoritis..................................................................................2
1.4.2 Manfaat Praktis...................................................................................2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................3
2.1 Penyakit Akibat Kerja.........................................................................3
2.2 Pneumoconiosis..................................................................................3
2.2.1 Pengertian Pneumoconiosis...........................................................3
2.2.2 Klasifikasi Pneumoconiosis...........................................................4
2.2.3 Nilai Ambang Batas|......................................................................8
2.2.4 Patofisiologi Pneuomoconiosis......................................................9
2.2.5 Faktor Risiko................................................................................10
2.2.6 Diagnosis Pneumoconiosis..........................................................12
2.2.7 Tanda dan Gejala Pneumoconiosis..............................................12
2.2.8 Pencegahan dan Pengendalian Pneumoconiosis..........................13
2.3 Mesothelioma...................................................................................13
2.3.1 Pengertian Mesothelioma.............................................................13
2.3.2 Etiologi dan Faktor Risiko Mesothelioma...................................14
2.3.3 Klasifikasi Mesothelioma............................................................16
2.3.4 Tanda dan Gejala Klinis Mesothelioma.......................................17
2.3.5 Diagnosis Mesothelioma..............................................................18
2.4 Fibrosis Paru.....................................................................................20
2.4.1 Pengertian Fibrosis Paru..............................................................20
2.4.2 Penyebab Fibrosis Paru................................................................20

ii
2.4.3 Tanda dan Gejala Fibrosis Paru...................................................21
2.4.4 Diagnosis Fibrosis Paru...............................................................22
2.4.5 Pengobatan Fibrosis Paru.............................................................22
2.4.6 Komplikasi Fibrosis Paru.............................................................25
2.4.7 Patofisiologis Fibrosis Paru.........................................................25
BAB 3. PENUTUP................................................................................................26
3.1 Kesimpulan..............................................................................................26
3.2 Saran........................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................29

iii
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Adanya peraturan perundang-undangan mengenai penyakit akibat
kerja merupakan hal penting dalam mencegah dan menanggulangi timbulnya
penyakit yang disebabkan di tempat kerja. Salah satu peraturan perundang-
undangan yaitu Permenkes Nomor 56 Tahun 2016 tentang penyelenggaraan
pelayanan penyakit akibat kerja, yang membahas mengenai upaya-upaya
dalam melindungi pekerja dari berbagai masalah kesehatan yang disebabkan
oleh proses kerja, lingkungan kerja, dan perilaku pekerja yang berisiko
meimbulkan penyakit akibat kerja. Namun, masih ada kejadian timbulnya
penyakit akibat kerja walaupun pihak perusahaan dan pekerjanya telah
berupaya menghindari penyebab timbulnya penyakit.
Segala jenis penyakit yang timbul akibat kerja, saluran pernapasan dan
organ paru adalah organ dan sistem tubuh yang paling sering terpapar oleh
pajanan bahan-bahan berbahaya di tempat kerja. Penyakit paru-paru dan
pernapasan menyumbang 8% kasus kematian terkait kerja (ILO, 2011) di
seluruh dunia. Pada tahun 2003, ILO menyertakan penyakit paru akibat kerja
ke dalam Major Occupational Illness dan pada daftar penyakit akibat kerja
ILO revisi 2010. Pemerintah Indonesia dalam Keputusan Presiden RI Nomor
22 Tahun 1993 mengakui kehadiran penyakit paru akibat kerja yaitu dengan
menyertakan penyakit paru ke dalam penyakit akibat kerja (occupational
diseases).
Dalam makalah ini, penulis akan menjelaskan tentang penyakit paru
pneumokoniosis, fibrosis paru, dan kanker yang timbul di lingkungan kerja.
Makalah ini akan membahas tentang ketiga penyakit tersebut beserta cara
pencegahan dan penanggulangannya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh faktor kimia
(debu) pneumokoniosis?
2. Bagaimana penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh faktor kimia
(debu) mesothelioma?

1
3. Bagaimana penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh faktor kimia
(debu) fibrosis paru?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Mengetahui beberapa penyakit akibat kerja (PAK) akibat
faktor kimia (debu) dan pencegahannya untuk mengurangi resiko
terjadinya kecelakaan, penyakit, lupa ataupun cidera.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Mengetahui Penyakit Akibat Kerja (PAK) akibat faktor kimia
(debu) pneumokoniosis
2. Mengetahui Penyakit Akibat Kerja (PAK) akibat faktor kimia
(debu) mesothelioma
3. Mengetahui Penyakit Akibat Kerja (PAK) akibat faktor kimia
(debu) fibrosis paru
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis makalah ini diharapkan dapat menambah
khasanah ilmu pengetahuan Kesehatan Masyarakat khususnya
bidang Kesheatan dan Keselamatan Kerha (K3) terkait Penyakit
Akibat Kerja (PAK) akibat faktor kimia (debu).
1.4.2 Manfaat Praktis
a. Bagi Pembaca
Diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan mengenai
beberapa Penyakit Akibat Kerja (PAK) akibat faktor kimia (debu).
b. Bagi Penulis
Diharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis
untuk lebih memantapkan ilmu yang telah didapat sehingga dapat
ditetapkan kepada yang memerlukan.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Penyakit Akibat Kerja
Penyakit Akibat Kerja adalah setiap penyakit yang disebabkan oleh
pekerjaan atau lingkungan kerja. Penyakit ini artefisial oleh karena timbulnya

2
oleh adanya pekerjaan. Berat ringannya penyakit dan cacat tergantung dari
jenis dan tingkat sakit. Ditempat kerja terdapat faktor faktor yang menjadi
sebab penyakit akibat kerja, salah satunya dikarenakan faktor fisik seperti
berikut :
a. Suara yang biasa menyebabka pekak atau tuli
b. Radiasi yang dapat berupa radiasi pengion dan adiasi non pengion. Radiasi
pengion, misalnya berasal dari bahan-bahan radioaktif yang menyebabkan
antara lain penyakit-penyakit sistem darah dan kulit, sedangkan radiasi non
pengion misalnya radiasi elektromaknetik yang berasal dari peralatan yang
menggunakan listrik. Radiasi sinar inframerah bisa mengakibatkan katarak
pada lensa mata, sedangkan sinar ultraviolet menjadi sebab conjungctivitis
photo-electrica.
c. Suhu yang terlalu tinggi menyebabkan heat stroke beat cramps atau
hyperpyrexia, sedangkan suhu-suhu rendah, antara lain menimbulkan
frosbite.
d. Tekanan tinggi yang menyebabkan caisson disease.
e. Penerangan lampu yang kurang baik, misalnya menyebabkan kelainan
kepada indra penglihatan atau kesilauan yang dapat memudahkan
terjadinya kecelakaan.
2.2 Pneumokoniosis
2.2.1 Pengertian Pneumoconiosis
Istilah pneumoconiosis berasal dari bahasa latin (pneumon) yang
berarti “paru-paru”, dan (conio) yang berarti “berdebu”. Jadi
pneumokoniosis merupakan penyakit paru-paru yang disebabkan akibat
pajanan debu batuan kuarsa. Pneumoconiosis yang disebabkan oleh debu
mineral pembentuk jaringan parut ditandai oleh perubahan atau kerusakan
permanen struktur alveoli, pembentukan kolagen dari moderat sampai
maksimal, dan terbentuknya jaringan parut permanen dalam paru.
Semua debu, asap, uap, uap logam, dan gas dapat menyebabkan
iritasi dan fibrosis. Beberapa pneumokoniosis yang banyak dikenal, yaitu
asbestosis (disebabkan oleh debu asbes), silikosis (disebabkan oleh SiO 2
bebas), berryliosis (disebabkan oleh debu Be), dan lain-lain. Meskipun
pneumokoniosis mempunyai banyak nama, tetapi pada hakikatnya semua
pneumokoniosis adalah sama.
3
2.2.2 Klasifikasi Pneumoconiosis
Terdapat berbagai macam pneumoconiosis yang timbul di
lingkungan kerja, diantaranya yaitu:
a. Silicosis
Silicosis adalah penumoconiosis yang disebabkan oleh debu kuarsa
serta silika lainnya, ditandai dengan nodular fibrosis (jaringan parut
noduler) dan menyebabkan napas menjadi pendek atau sesak. Pada
Silika dapat ditemukan pada beton, batu bangunan, batu pasir, batuan,
cat, dan proses abrasif lainnya. Pemotongan, penghancuran, dan
penggilingan benda-benda itu akan menghasilkan silika halus. Silicosis
biasnya diderita oleh pekerja di perusahaan yang menghasilkan batu
untuk keperluan membangun bangunan, di perusahaan granit, di
perusahaan keramik, di tambang timah, di tambang besi, di tambang
batu bara, di perusahaan tempat menggerinda besi, di pabrik besi dan
baja, dalam proses sandblasting, yaitu meratakan permukaan logam
dengan menyemprotkan debu pasir, dan juga kegiatan perusahaan
lainnya.
Silicosis disebabkan oleh debu silika yang terhirup masuk ke
saluran pernapasan. Pada umumnya, masa inkubasi silikosis adalah 2 –
4 tahun.
Silikosis biasanya dibagi menjadi 3 tingkat, berdasarkan tingkat
kesakitan dari penyakit tersebut.
1) Tingkat pertama (tingkat ringan), sesak napas ketika bekerja, batuk
kering. Keadaan umum penderita masih baik, gejala-gejala klinis
paru-paru sangat sedikit. Gangguan kemampuan bekerja sedikit
sekali atau tidak ada.
2) Tingkat kedua (tingkat sedang), selalu ditemui menjadi penghambat
kemampuan untuk bekerja. Selain itu, sesak dan batuk menjadi
sangat terlihat, serta tanda-tanda kelainan paru-paru juga tampak.
3) Tingkat ketiga (tingkat tinggi), sesak mengakibatkan kecacatan total.
Dapat terlihat hipertrofi jantung kanan, dan tanda-tanda kegagalan
jantung kanan.

4
Apabila didapat pekerja yang menderita TBC paru-paru sekaligus
menderita silikosis. Keadaaan tersebut dinamakan silikotuberkulosis.
Untuk pengobatan, sampai saat ini masih belum ditemukan.
b. Asbestosis
Asbestosis merupakan penumoconiosis yang disebabkan oleh serat
asbes di mana terjadi luka pada jaringan paru (di sekitar bronkioli dan
sel alveoli). Dengan bentuk serat (fiber), asbes dapat masuk sampai ke
dalam paru-paru. Serat asbes berupa batang dengan panjang hingga 200
mikron. Pekerjaan dengan potensi bahaya terkena penyakit tersebut
adalah penambangan, penggilingan dan pengolahan asbes dala, proses
menjadikannya sebagai bahan baku, penurunan dan pemintalan asbes,
pengolahan asbes di pabrik yang memproduksi barang yang
mengandung asbes, reparasi bangunan yang terbuat dari asbes, kegiatan
membuat limbah tambang abses atau asbes sisa proses penggilingan,
dan pemakaian produk yang ada kandungan asbesnya.
c. Antracosilicosis
Antracosilicosis merupakan penumoconiosis yang disebabkan oleh
kombinasi antarasit atau karbon dan silika. Jenis pneumoconiosis ini
terdapat di pertambangan antrasit atau hard coal dan bituminous coal.
d. Black Lung (Pneumokoniosis pada pekerja batu bara)
Black Lung adalah pneumoconiosis akibat partikel karbon (C) batu
bara terakumulasi pada paru-paru dan menghitamkan jaringan. Penyakit
ini biasa dikenal sebagai pneumoconiosis pekerja batu bara. Biasanya
dijumpai di lokasi pertambangan batu bara. Tanda dan gejala yang
timbul yaitu batuk dengan sputum yang berwarna abu-abu atau hitam.
Keluhan selanjutnya adalah sesak napas. Jika diperiksa, tampak suatu
massa di paru-paru, terutama pada bagian atas paru. Keparahan dari
penyakit ini tergantung dari lamanya kontaminasi terhadap debu-debu
batu bara.
e. Pneumokoniosis oleh karena Talk (Talkosis)
Talk merupakan suatu magnesium silikat. Keparahan dari penyakit
ini tergantung pada konsentrasi talk, ada atau tidaknya mineral lain

5
yang terdapat di dalam talk (alumunium, besi, dan kalsium dalam
konsentrasi yang berbeda-beda), ukuran talk, dan lamanya paparan. Di
dalam industri biasanya digunakan talk yang mempunyai kemampuan
fibrosis yang rendah. Pekerja yang paling banyak menderita penyakit
ini biasanya pekerja pabrik tepung ataupun industri pen`erima talk.
Untuk tanda dan gejala, sama seperti pneumokoniosis pada pekerja batu
bara.
f. Pneumokoniosis karena Logam Berat (pneumokoniosis kobalt)
Logam berat yang terutama menyebabkan penyakit ini adalah
kobalt. Tanda dan gejala klinis terjadi setelah 10 tahun bekerja, yaitu
sesak napas, batuk, mengi, dermatitis, dan penyakit alergi lainnya.
Terlihat infiltrat yang luas disertai bayangan sarang laba-laba pada
bagian bawah paru. Contoh industri yang menggunakan kobalt yaitu
tambang kobalt di Kongo, digunakan untuk baterai smartphone.
g. Antrakosis (pneumokoniosis karena debu-debu batu arang)
Batu arang biasa dijumpai di pertambangan batu bara. Riwayat
penyakit dari antrakosis mungkin bertahun-tahun. Kadang sakit tapi
tidak memperlihatkan gejala-gejala. Timbul sesak napas dalam waktu
yang lama dan batuk dengan dahak kehitaman.
h. Byssinosis
Merupakan penyakit pneumokoniosis yang penyebabnya yaitu
debu kapas pada para pekerja dalam industri tekstil. Penyakit itu
terutama berkaitan erat dengan pekerjaan karding dan blowing, tapi
terdapat pula pada pekerjaan-pekerjaan lainnya, bahkan dari permulaan
proses, yaitu pembuangan biji kapas, sampai kepada proses terakhir
yaitu penenun. Masa inkubasi rata-rata terpendek adalah 5 tahun.
i. Stannosis
Pekerja-pekerja yang terlalu banyak menghirup debu timah putih
menderita pneumokoniosis yang tidak begitu berbahaya. Penyakit ini
berkaitan dengan pengolahan bijih timbah atau industri-industri yang
menggunakan timah putih, seperti pertambangan timah putih, industri
gelas, kuningan dan perunggu, industri plating, dan lain-lain.

6
j. Siderosis
Disebabkan oleh debu yang mengandung persenyawaan besi.
Penyakit ini tidak begitu berbahaya dan tidak progresif. Siderosis
terdapat pada para pekerja yang menghirup debu dari pengolahan bijih
besi. Bijih besi biasa digunakan di industri tambang besi.
k. Beryliosis
Menghirup debu yang mengandung berilium berupa logam,
senyawa oksida, sulfat, klorida, dam fluoridanya menyebabkan
bronkhitis dan pnemonitos. Nasofaringitis dan trakheobronkhitis ditndai
gejala-gejala sakit demam, batuk kering, dan sesak nafas. Penyakit
beriliosis mungkin terdapat pada pekerja dalam perusahaan yang
membuat campuran berilium-tembaga, pada pembuatan tabung radio
yang bahan bakunya antara lain berilium, pada pembuatan tabung bagi
lampu fluoresen, pada penggunaan berilium sebagai sumber tenaga
atom, dan juga pada pekerja perusahaan lainnya yang berkontak dengan
senyawa berilium tersebut.
Untuk lebih jelasnya, beberapa yang dikategorikan
pneumokoniosis berdasarkan jenis debu dan penyebabnya.

7
Sumber: Susanto, Agus Dwi. 2011. Artikel Pengembangan Pendidikan

Keprofesian Berkelanjutan: Pneumokoniosis. Vol. 61. No. 12


2.2.3 Nilai Ambang Batas
Untuk bahan kimia berupa debu NAB dinhyatakan dalam jumlah
serat per ml udara, bagi debu yang berbentuk serat khususnya asbes,
sedangkan untuk debu yang bukan serat melainkan partikel seperti
misalnya debu silika bebas atau oksida debu atau berilium atau lainnya
digunakan mg/m3 udara. Juga dapat diapaki satuan juta partikel per meter
kubik udara (jppmk) atau kadang-kadang sebagai satuan dipilih kaki
kubik. Adapun tabel dibawah ini NAB Debu.
No. Jenis Debu NAB
1. Silika:
Kristobalit 0,05 mg/m3
Kwarsa 0,1 mg/m3
Tridimit 0,05 mg/m3
Tripoli 0,1 mg/m3
(kwarsa respirabel)
2. Batubara 2 mg/m3

8
3. Asbes
Amosit 0,05 serat/ml
Krisotil 2 serat/ml
Krosidolit 0,2 serat/ml
Jenis lain 2 serat/ml
4. Berilium 0,002 mg/m3
5. Timah (Sn) 2 mg/m3
6. Oksida besi (Fe) 5 mg/m3
7. Talk
Tanpa asbes 2 mg/m3
Mengandung asbes NAB asbes
8. Barium sulfat 10 mg/m3
9. Grafit 2 mg/m3
10. Kaolin 2 mg/m3
11. Mika 3 mg/m3
12. Batu sabun 6 mg/m3

2.2.4 Patofisiologi Pneuomoconiosis


Ketika pekerja menghirup udara yang mengandung debu, debu
tersebut masuk ke dalam paru-paru. Terjadi proses yang berbeda di antara
dua jenis debu yang mempunyai ukuran yang berbeda, yaitu debu-debu
berukuran di antara 5 – 10 mikron akan ditahan oleh saluran pernapasan
bagian atas, sedangkan yang berukuran 3 – 5 mikron ditahan oleh bagian
tengah saluran pernapasan. Partikel-partikel yang besarnya berkisar 1
hingga 3 mikron akan ditempatkan langsung ke permukaan alveoli paru-
paru. Debu-debu yang partikel-partikelnya berukuran kurang dari 0,1
mikron bermassa terlalu kecil, sehingga tidak hinggap di permukaan
alveoli atau selaput lendir melainkan bergerak ke luar masuk alveoli.
Beberapa mekanisme dapat dikemukakan sebagai sebab hinggap dan
tertimbunnya debu dalam paru-paru. Tingkat deposisi partikel seperti debu
di saluran napas dan paru dipengaruhi oleh konsentrasi debu, ukuran debu,
waktu pajanan, rata-rata pernapasan, dan volume tidal. Konsentrasi debu
yang berhubungan dengan pneumokoniosis diperkirakan > 5000˚/cc
udara.
a. Impaksi

9
Merupakan kecenderungan partikel tidak dapat berubah arah pada
percabangan saluran napas, seperti bronkus. Akibat hal tersebut banyak
partikel tertahan di mukosa hidung, faring ataupun percabangan saluran
napas besar. Sebagian besar partikel berukuran lebih besar dari 5 mm
tertahan di nasofaring.
b. Sedimentasi
Sedimentasi adalah deposisi partikel secara bertahap sesuai dengan
berat partikel terutama berlaku untuk partikel berukuran sedang, yaitu
1-5 mm. Pada umumnya partikel tertahan di saluran napas kecil seperti
bronkiolus terminal dan bronkiolus respiratorius. Debu ukuran 3-5
mikron akan menempel pada mukosa bronkioli sedangkan ukuran 1-3
mikron (debu respirabel) akan langsung ke permukaan alveoli paru.
Mekanisme terjadi karena kecepatan aliran udara sangat berkurang pada
saluran napas tengah. Sekitar 90% dari konsentrasi 1000 partikel per cc
akan dikeluarkan dari alveoli, 10% sisanya diretensi dan secara lambat
dapat menyebabkan pneumokoniosis.
c. Difusi (gerak Brown)
Difusi adalah gerakan acak partikel akibat kecepatan aliran udara.
Terjadi hanya pada partikel dengan ukuran kecil. Debu dengan ukuran
0,1 mm sampai 0,5 mm keluar masuk alveoli, membentur alveoli
sehingga akan tertimbun di dinding alveoli (gerak Brown).
2.2.5 Faktor Risiko Pneumoconiosis
Respons jaringan tubuh seseorang terhadap debu yang terhirup
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain sifat fisik, sifat kimia, dan
faktor pejamu (host). Efek debu terhadap paru dipengaruhi oleh tingkat
pajanan debu. Tingkat pajanan debu ditentukan oleh kadar debu rata-rata
di udara dan waktu pajanan terhadap debu tersebut.
a. Sifat Fisik
Keadaan fisik seperti bentuk partikel uap atau gas, ukuran dan
densitas partikel, bentuk dan kemampuan penetrasi mempengaruhi sifat
migrasi dan reaksi tubuh. Sifat kelarutan partikel juga berpengaruh,
contohnya partikel tidak larut seperti asbestos dan silika menyebabkan

10
reaksi lokal sedangkan zat yang larut seperti mangan dan berrylium
mempunyai efek sistemik. Gas dan uap yang relatif tidak larut seperti
nitrogen oksida terinhalasi sampai saluran napas kecil sedangkan yang
larut seperti amonia dan sulfur dioksida seringkali mengendap di
hidung dan nasofaring. Sifat higroskopis partikel meningkatkan
ukurannya bila melalui saluran napas bawah. Sifat elektriksitas partikel
juga menentukan letak deposisi di saluran napas.
b. Sifat Kimia
Sifat asam atau basa suatu bahan berhubungan dengan efek toksik
pada silia, sel-sel, dan enzim. Beberapa bahan mempunyai
kecenderungan berinteraksi dengan substansi dalam paru dan jaringan.
Karbonmonoksida dan asam sianida mempunyai efek sistemik
sedangkan komponen fluorin mungkin mempunyai efek lokal dan
sistemik. Debu fibrogenik adalah debu yang dapat menimbulkan reaksi
jaringan paru (fibrosis) seperti batu bara, silika bebas, dan asbes.
Contoh debu nonfibrogenik adalah debu besi, kapur, karbon, dan timah.
Sifat antigenisitas merupakan sifat bahan untuk dapat merangsang
antibodi, contohnya spora jamur bila terinhalasi dapat merangsang
respons imunologi.
c. Faktor Pejamu (Host)
Gangguan sistem pertahanan paru alami seperti kelainan genetik
akan mengganggu kerja silia, kecepatan bersihan, dan fungsi makrofag.
Kecepatan dan rata-rata bersihan adalah karakteristik bawaan.
Gangguan sistem pertahanan paru didapat, contohnya karena obat-
obatan, asap rokok, temperatur, dan alkohol mempengaruhi fungsi silia
dan fungsi makrofag. Kondisi anatomi dan fisiologi saluran napas dan
paru mempengaruhi pola pernapasan yang pada akhirnya
mempengaruhi deposisi agen/bahan yang terhirup. Keadaan imunologi,
contohnya alergi atau atopi mempengaruhi respons terhadap suatu agen.
Secara rinci, faktor pejamu dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin,
ras, status gizi, kebiasaan merokok, kebiasaan menggunakan alat
pelindung diri (APD) di tempat kerja.

11
2.2.6 Diagnosis Pneumoconiosis
Dalam menegakkan diagnosis untuk penyakit paru kerja, harus ada
riwayat pekerjaan yang menghadapi debu berbahaya dan menyebabkan
pneumokoniosis, misalnya pernah atau sedang bekerja di pertambangan,
pabrik keramik, dan lain sebagainya. Pemeriksaan tempat kerja harus
menunjukkan adanya debu yang diduga menjadi sebab penyakit
pneumokoniosis itu. Bila pemeriksaan akan dilanjutkan dengan biopsi
paru-paru, maka paru-paru harus menunjukkan kadar zat penyebab yang
lebih tinggi dari pada kadar yang biasa.
Diagnosa pneumokoniosis termasuk diagnosa yang sukar, karena
sesungguhnya tidak ada orang yang tidak menimbun debu-debu dalam
paru-parunya. Terlebih jika hidup di kota atau tempat kerja yang sangat
berdebu. Semakin bertambah usianya, maka semakin banyak pula debu
yang ditimbun dalam paru-paru sebagai hasil penghirupan debu sehari-
hari. Lebih-lebih pneumokoniosis tahap awal sangat sulit dipastikan
diagnosanya.
2.2.7 Tanda dan Gejala Pneumoconiosis
Tanda dan gejala yang timbul berbeda-beda tergantung dari
banyaknya debu yang ditimbun dalam paru-paru. Semakin luas bagian
paru-paru yang terkena, maka semakin parah tanda dan gejalanya. Tanda
dan gejalanya antara lain, batuk-batuk kering, sesak napas, kelelahan
umum, penurunan berat badan, banyak dahak, dan lain-lain. Gambaran Ro
paru-paru menunjukkan kelainan dalam paru-paru, baik noduler, maupun
yang lain.
2.2.8 Pencegahan dan Pengendalian Pneumoconiosis
Penanganan medis umumnya terbatas hanya pengobatan
simptomatik. Tidak ada pengobatan yang efektif dapat mengehentikan
progresivitas pneumokoniosis. Apabila individu telah terpapar debu dan
perlu dilakukan pengobatan, maka satu-satunya tindakan adalah
memindahkan penderita ke pekerjaan yang kurang atau tidak mengandung
debu-debu berbahaya. Dalam pemindahan tempat kerja, sebaiknya dengan
memerhatikan umur penderita, jenis kelamin, dan beratnya penyakit.

12
Dari faktor pejamu, sebaiknya menjaga kesehatan seperti berhenti
merokok, pengobatan adekuat jika diduga terdapat penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK).
Untuk pencegahan, prinsipnya adalah meniadakan paparan atau
menghindarkan orang berisiko tinggi terhadap paparan. Upaya yang dapat
dilakukan, yaitu substitusi, perancangan teknik, administratif, dan
penggunaan alat pelindung diri. Substitusi, yaitu dengan mengganti bahan
kimia berbahaya dengan yang tidak atau memiliki tingkat bahaya yang
lebih rendah, contohnya seperti asbes diganti dengan fiber glass.
Perancangan teknik, yaitu dengan menggunakan ventilasi lokal (local
exhauster), agar debu yang dihasilkan saat produksi langsung disalurkan
ke luar ruangan. Administrasi, yaitu dengan menjalankan program
housekeeping, menempatkan pekerja pada bidang pekerjaan yang sesuai
dengan keadaaan fisik atau mentalnya, hygiene individu, dan pemeriksaan
secara berkala atau khusus. Penggunaan alat pelindung diri, yaitu dengan
menggunakan massker atau respirator yang sesuai.
2.3 Mesothelioma
2.3.1 Pengertian Mesothelioma
Mesothelioma atau kanker paru adalah tumor ganas paru primer
yang berasal dari saluran napas atau epitel bronkus. Terjadinya kanker
ditandai dengan pertumbuhan sel yang tidak normal, tidak terbatas, dan
merusak sel-sel jaringan yang normal. Proses keganasan pada epitel
bronkus didahului oleh masa pra kanker. Perubahan pertama yang terjadi
pada masa prakanker disebut metaplasia skuamosa yang ditandai dengan
perubahan bentuk epitel dan menghilangnya silia.
2.3.2 Etiologi dan Faktor Risiko Mesothelioma
Seperti umumnya kanker yang lain, penyebab yang pasti dari kanker
paru belum diketahui, tapi paparan atau inhalasi berkepanjangan suatu zat
yang bersifat karsinogenik merupakan faktor penyebab utama disamping
adanya faktor lain seperti kekebalan tubuh, genetik, dan lain-lain (Amin,
2006). Dibawah ini akan diuraikan mengenai faktor risiko penyebab
terjadinya kanker paru:
a. Merokok
13
Menurut Van Houtte, merokok merupakan faktor yang berperan
paling penting, yaitu 85% dari seluruh kasus (Wilson, 2005). Rokok
mengandung lebih dari 4000 bahan kimia, diantaranya telah
diidentifikasi dapat menyebabkan kanker. Kejadian kanker paru pada
perokok dipengaruhi oleh usia mulai merokok, jumlah batang rokok
yang diisap setiap hari, lamanya kebiasaan merokok, dan lamanya
berhenti merokok (Stoppler,2010).
b. Perokok pasif
Semakin banyak orang yang tertarik dengan hubungan antara
perokok pasif, atau mengisap asap rokok yang ditemukan oleh orang
lain di dalam ruang tertutup, dengan risiko terjadinya kanker paru.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pada orang-orang yang
tidak merokok, tetapi mengisap asap dari orang lain, risiko mendapat
kanker paru meningkat dua kali (Wilson, 2005). Diduga ada 3.000
kematian akibat kanker paru tiap tahun di Amerika Serikat terjadi pada
perokok pasif (Stoppler, 2010).
c. Polusi udara
Kematian akibat kanker paru juga berkaitan dengan polusi udara,
tetapi pengaruhnya kecil bila dibandingkan dengan merokok kretek.
Kematian akibat kanker paru jumlahnya dua kali lebih banyak di daerah
perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan. Bukti statistik juga
menyatakan bahwa penyakit ini lebih sering ditemukan pada
masyarakat dengan kelas tingkat sosial ekonomi yang paling rendah dan
berkurang pada mereka dengan kelas yang lebih tinggi. Hal ini,
sebagian dapat dijelaskan dari kenyataan bahwa kelompok sosial
ekonomi yang lebih rendah cenderung hidup lebih dekat dengan tempat
pekerjaan mereka, tempat udara kemungkinan besar lebih tercemar oleh
polusi. Suatu karsinogen yang ditemukan dalam udara polusi (juga
ditemukan pada asap rokok) adalah 3,4 benzpiren (Wilson, 2005).
d. Paparan zat karsinogen
Beberapa zat karsinogen seperti asbestos, uranium, radon, arsen,
kromium, nikel, polisiklik hidrokarbon, dan vinil klorida dapat
menyebabkan kanker paru (Amin, 2006). Risiko kanker paru di antara
pekerja yang menangani asbes kirakira sepuluh kali lebih besar

14
daripada masyarakat umum. Risiko kanker paru baik akibat kontak
dengan asbes maupun uranium meningkat kalau orang tersebut juga
merokok.
e. Diet
Beberapa penelitian melaporkan bahwa rendahnya konsumsi
terhadap betakarotene, selenium, dan vitamin A menyebabkan tingginya
risiko terkena kanker paru (Amin, 2006).
f. Genetik
Terdapat bukti bahwa anggota keluarga pasien kanker paru berisiko
lebih besar terkena penyakit ini. Penelitian sitogenik dan genetik
molekuler memperlihatkan bahwa mutasi pada protoonkogen dan gen-
gen penekan tumor memiliki arti penting dalam timbul dan
berkembangnya kanker paru. Tujuan khususnya adalah pengaktifan
onkogen (termasuk juga gen-gen K-ras dan myc) dan menonaktifkan
gen-gen penekan tumor (termasuk gen rb, p53, dan CDKN2) (Wilson,
2005).
g. Penyakit paru
Penyakit paru seperti tuberkulosis dan penyakit paru obstruktif
kronik juga dapat menjadi risiko kanker paru. Seseorang dengan
penyakit paru obstruktif kronik berisiko empat sampai enam kali lebih
besar terkena kanker paru ketika efek dari merokok dihilangkan
(Stoppler, 2010).
2.3.3 Klasifikasi Mesothelioma
Kanker paru dibagi menjadi kanker paru sel kecil (small cell lung
cancer, SCLC) dan kanker paru sel tidak kecil (non-small lung cancer,
NSCLC). Klasifikasi ini digunakan untuk menentukan terapi. Termasuk di
dalam golongan kanker paru sel tidak kecil adalah epidermoid,
adenokarsinoma, tipe-tipe sel besar, atau campuran dari ketiganya.
Karsinoma sel skuamosa (epidermoid) merupakan tipe histologik kanker
paru yang paling sering ditemukan, berasal dari permukaan epitel bronkus.
Perubahan epitel termasuk metaplasia, atau displasia akibat merokok
jangka panjang, secara khas mendahului timbulnya tumor. Karsinoma sel
skuamosa biasanya terletak sentral di sekitar hilus, dan menonjol ke dalam
bronki besar. Diameter tumor jarang melampaui beberapa sentimeter dan

15
cenderung menyebar secara langsung ke kelenjar getah bening hilus,
dinding dada, dan mediastinum. Karsinoma ini lebih sering pada laki-laki
daripada perempuan (Wilson, 2005). Adenokarsinoma, memperlihatkan
susunan selular seperti kelenjar bronkus dan dapat mengandung mukus.
Kebanyakan jenis tumor ini timbul di bagian perifer segmen bronkus dan
kadang-kadang dapat dikaitkan dengan jaringan parut lokal pada paru dan
fibrosis interstisial kronik. Lesi sering kali meluas ke pembuluh darah dan
limfe pada stadium dini dan sering bermetastasis jauh sebelum lesi primer
menyebabkan gejala-gejala. Karsinoma bronkoalveolus dimasukkan
sebagai subtipe adenokarsinoma dalam klasifikasi terbaru tumor paru dari
WHO. Karsinoma ini adalah sel-sel ganas yang besar dan berdiferensiasi
sangat buruk dengan sitoplasma yang besar dan ukuran inti bermacam-
macam. Sel-sel ini cenderung timbul pada jaringan paru perifer, tumbuh
cepat dengan penyebaran ekstensif dan cepat ke tempattempat yang jauh.
Karsinoma sel kecil umumnya tampak sebagai massa abu-abu pucat yang
terletak di sentral dengan perluasan ke dalam parenkim paru dan
keterlibatan dini kelenjar getah bening hilus dan mediastinum. Kanker ini
terdiri atas sel tumor dengan bentuk bulat hingga lonjong, sedikit
sitoplasma, dan kromatin granular. Gambaran mitotik sering ditemukan.
Biasanya ditemukan nekrosis dan mungkin luas. Sel tumor sangat rapuh
dan sering memperlihatkan fragmentasi dan “crush artifact” pada sediaan
biopsi. Gambaran lain pada karsinoma sel kecil, yang paling jelas pada
pemeriksaan sitologik, adalah berlipatnya nukleus akibat letak sel tumor
dengan sedikit sitoplasma yang saling berdekatan (Kumar, 2007).
Karsinoma sel besar adalah sel-sel ganas yang besar dan berdiferensiasi
sangat buruk dengan sitoplasma yang besar dan ukuran inti bermacam-
macam. Sel-sel ini cenderung timbul pada jaringan paru perifer, tumbuh
cepat dengan penyebaran ekstensif dan cepat ke tempat-tempat yang jauh
(Wilson, 2005). Bentuk lain dari kanker paru primer adalah adenoma,
sarkoma, dan mesotelioma bronkus. Walaupun jarang, tumor-tumor ini
penting karena dapat menyerupai karsinoma bronkogenik dan mengancam
jiwa.

16
2.3.4 Tanda dan Gejala Klinis Mesothelioma
Pada fase awal kebanyakan kanker paru tidak menunjukkan tanda
dan gejala klinis. Bila sudah menampakkan gejala berarti pasien dalam
stadium lanjut. Gejala-gejala dapat bersifat:
a. Lokal (tumor tumbuh setempat): Batuk baru atau batuk lebih hebat pada
batuk kronis, hemoptisis, mengi (wheezing, stridor) karena ada
obstruksi saluran nafas, kadang terdapat kavitas seperti abses paru,
ateletaksis.
b. Invasi lokal: Nyeri dada, dispnea karena efusi pleura, invasi ke
perikardium (terjadi tamponade atau aritmia), sindrom vena cava
superior, sindrom Horner (facial anhidrosis, ptosis, miosis), suara serak
karena penekanan pada nervus laryngeal recurrent, sindrom Pancoast
karena invasi pada pleksus brakhialis dan saraf simpatis servikalis.
c. Gejala Penyakit Metastasis:
1) Pada otak, tulang, hati, adrenal
2) Limfadenopati servikal dan supraklavikula (sering menyertai
metastasis)
3) Sindrom Paraneoplastik : terdapat 10% kanker paru dengan gejala:
a) Sistemik : penurunan berat badan, anoreksia, demam
b) Hematologi : leukositosis, anemia, hiperkoagulasi
c) Hipertrofi osteoartropati
d) Neurologik: dementia, ataksia, tremor, neuropati perifer
e) Neuromiopati
f) Endokrin : sekresi berlebihan hormon paratiroid (hiperkalsemia)
g) Dermatologik : eritema multiform, hiperkeratosis, jari tabuh
h) Renal : syndrome of inappropriate antidiuretic hormone
i) Asimtomatik dengan kelainan radiologis
j) Sering terdapat pada perokok dengan COPD yang terdeteksi
secara radiologis.
k) Kelainan berupa nodul soliter. (Amin, 2006)
2.3.5 Diagnosis Mesothelioma
a. Anamnesis
Keluhan dan gejala klinis permulaan merupakan tanda awal
penyakit kanker paru. Batuk disertai dahak yang banyak dan
kadang-kadang bercampur darah, sesak nafas dengan suara
pernafasan nyaring (wheezing), nyeri dada, lemah, berat badan
menurun, dan anoreksia merupakan keadaan yang mendukung.
Beberapa faktor yang perlu diperhatikan pada pasien tersangka

17
kanker paru adalah faktor usia, jenis kelamin, keniasaan merokok,
dan terpapar zat karsinogen yang dapat menyebabkan nodul
soliter paru.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menemukan kelainan-
kelainan berupa perubahan bentuk dinding toraks dan trakea,
pembesaran kelenjar getah bening dan tanda-tanda obstruksi
parsial, infiltrat dan pleuritis dengan cairan pleura.
c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk menilai
seberapa jauh kerusakan yang ditimbulkan oleh kanker paru
(kerusakan pada paru dapat dinilai dengan pemeriksaan faal paru
atau pemeriksaan analisis gas), menilai seberapa jauh kerusakan
yang ditimbulkan oleh kanker paru pada organ-organ lainnya,
serta menilai seberapa jauh kerusakan yang ditimbulkan oleh
kanker paru pada jaringan tubuh baik oleh karena tumor
primernya maupun oleh karena metastasis.
d. Radiologi
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan keganasan
tumor dengan melihat ukuran tumor, kelenjar getah bening, dan
metastasis ke organ lain. Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan
dengan metode tomografi komputer.
e. Sitologi
Pemeriksaan dilakukan dengan mempelajari sel pada
jaringan. Pemeriksaan sitologi dapat menunjukkan gambaran
perubahan sel, baik pada stadium prakanker maupun kanker.
f. Bronkoskopi
Dengan menggunakan bronkoskop fiber optik, perubahan
mikroskopik mukosa bronkus dapat dilihat berupa nodul atau
gumpalan daging.
g. Biopsi transtorakal
Biopsi aspirasi jarum halus transtorakal banyak digunakan
untuk mendiagnosis tumor pada paru terutama yang terletak di
perifer.
h. Torakoskopi

18
Torakoskopi adalah pemeriksaan dengan alat torakoskop
yang ditusukkan dari kulit dada ke dalam rongga dada untuk
melihat dan mengambil sebahagian jaringan paru yang tampak.
2.4 Fibrosis Paru
2.4.1 Pengertian Fibrosis Paru
Fibrosis paru adalah munculnya jaringan parut pada paru-paru yang
menyebabkan kerusakan dan terganggunya fungsi paru-paru. Kerusakan
ini menyebabkan jaringan di sekitar kantung udara di dalam paru-paru
(alveolus) menebal dan kaku sehingga sulit bagi oksigen untuk masuk ke
dalam darah.
2.4.2 Penyebab Fibrosis Paru
Kerusakan paru-paru dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang
berbeda, termasuk terapi radiasi maupun dari obat-obatan tertentu. Walau
penyebab pastinya masih belum diketahui, berikut adalah beberapa faktor
utama dan faktor risiko yang bisa menjadi pemicu fibrosis paru:
a. Kondisi medis. Fibrosis paru dapat berkembang dari beberapa penyakit
yang dimiliki oleh seseorang, seperti pneumonia, rheumatoid
arthritis, sarkoidosis, dermatomyositis, dan berbagai penyakit jaringan
ikat
b. Obat-obatan tertentu. Beberapa obat-obatan yang dapat merusak
jaringan di paru-paru, antara lain obat kemoterapi, penyakit jantung,
antiinflamasi, dan antibiotik
c. Pengobatan dengan menggunakan terapi radiasi. Pengobatan ini akan
merusak paru-paru jika dilakukan dalam jumlah yang banyak, waktu
yang lama, terdapat penyakit paru yang mendasari, dan digabung
dengan kemoterapi. Tanda-tanda kerusakan paru dapat mulai terlihat
berbulan-bulan hingga tahunan sejak penderita pertama terpapar radiasi.
d. Faktor lingkungan yang berhubungan dengan pekerjaan atau okupasi.
Lingkungan atau pekerjaan yang membuat seseorang terpapar zat
beracun atau sumber polusi dalam jangka panjang juga dapat
membahayakan paru-parunya. Beberapa zat dan pekerjaan yang
berisiko, antara lain serbuk batu bara, asbes, silika, logam keras, butiran

19
debu, kotoran hewan maupun burung, pekerja tambang, konstruksi, dan
buruh tani.
e. Usia dan jenis kelamin. Fibrosis paru lebih banyak dialami oleh pria
lansia dan dewasa dibanding perempuan ataupun anak-anak.
f. Faktor keturunan. Beberapa fibrosis paru diturunkan dalam keluarga
sehingga faktor gen dapat menjadi faktor risiko dari kondisi ini.
g. Kebiasaan merokok. Asap tembakau, perokok, maupun orang yang
pernah merokok, serta penderita emfisema akan memiliki risiko terkena
fibrosis paru lebih besar dibanding orang yang tidak merokok sama
sekali.
2.4.3 Tanda dan Gejala Fibrosis Paru
Tanda dan gejala, serta tingkat keparahan fibrosis paru dapat
berbeda-beda pada masing-masing penderita. Penderita yang satu dapat
mengalami gejala yang berat dengan kondisi yang memburuk dengan
cepat, sementara penderita lainnya hanya mengalami gejala yang sedang
dengan perkembangan yang lebih lambat.
Gejala fibrosis paru berkembang secara berkala, biasanya
berlangsung selama lebih dari 6 bulan, dengan gejala yang paling sering
dialami adalah sesak nafas dan batuk. Berikut adalah gejala fibrosis paru
lainnya yang perlu diperhatikan:
a. Nafas yang pendek hingga penderita mengalami kesulitan bernapas
dengan baik (dyspnea), bahkan ketika melakukan aktivitas yang
tergolong ringan, misalnya berpakaian. Tidak sedikit orang yang
menganggap gejala ini sebagai akibat dari pertambahan usia atau
kurangnya olahraga.
b. Kelelahan
c. Batuk kering
d. Nyeri otot dan sendi
e. Berkurangnya berat badan tanpa sebab yang jelas
f. Ujung jari tangan dan kaki yang melebar dan membulat
Penderita dengan gejala yang memburuk dalam hitungan hari atau
minggu akan memerlukan penanganan khusus dari dokter. Segera temui
dokter jika Anda mengalami kesulitan bernapas selama beberapa waktu
dan batuk yang berlangsung selama lebih dari 3 minggu.

20
2.4.4 Diagnosis Fibrosis Paru
Sebelum merekomendasikan pengobatan apa yang sesuai untuk
penderita fibrosis paru, dokter akan melakukan proses diagnosis yang
terdiri dari evaluasi riwayat penyakit pasien dan keluarga, pemeriksaan
fisik, dan berbagai tes penunjang.
Selain itu, dokter juga akan memeriksa gejala dan bertanya apakah
pasien pernah terpapar zat-zat tertentu yang bisa menjadi pemicu penyakit
ini. Pada pemeriksaan fisik, dokter akan memeriksa kemampuan paru-paru
dengan mendengarkan pasien bernapas.
Terdapat beberapa jenis tes penunjang yang mungkin harus dilalui
penderita guna memastikan gejala dan diagnosis fibrosis paru, yaitu:
a. Tes darah. Tes ini dilakukan untuk mengevaluasi fungsi hati dan ginjal
dan sekaligus untuk menyingkirkan kemungkinan kondisi kesehatan
lainnya.
b. Tes fungsi paru. Beberapa jenis tes yang mungkin dilakukan adalah
spirometri, oksimeteri nadi, uji tekanan, dan analisa gas darah.
c. Tes pencitraan (pindai) tubuh. Beberapa jenis pemindaian tubuh yang
mungkin dilakukan adalah x-ray dada, CT scan, dan ekokardiogram.
d. Tes jaringan atau biopsi. Tes ini dilakukan dengan cara mengambil
sebagian kecil jaringan paru-paru untuk diperiksa di laboratorium.
Beberapa jenis biopsi yang umumnya dilakukan adalah bronkoskopi
dan biopsi melalui prosedur operasi.
2.4.5 Pengobatan dan Pencegahan Fibrosis Paru
Kerusakan paru-paru pada kondisi ini hanya dapat diperlambat dan
dikurangi dampak dari gejalanya dengan pemberian obat-obatan dan
melakukan rangkaian terapi. Apabila terapi konvensional dengan obat-
obatan gagal, transplantasi paru mungkin akan direkomendasikan oleh
dokter Anda. Berikut adalah beberapa metode pengobatan fibrosis paru
yang umum dilakukan.
a. Obat-obatan. Untuk memperlambat perkembangan fibrosis paru dan
gangguan saluran pencernaan yang umumnya dialami oleh pemilik
kondisi ini. Beberapa contoh obat-obatan, yaitu pirfenidone, nintedanib.

21
Beberapa efek samping dari obat-obatan ini, antara lain ruam, mual, dan
diare.
b. Rehabilitasi paru. Untuk mengurangi gejala dan menunjang fungsi
tubuh, melatih ketahanan fisik, dan meningkatkan teknik pernapasan
guna melatih efisiensi paru.
c. Terapi oksigen. Untuk membuat latihan dan pernapasan itu sendiri
menjadi lebih mudah, mengurangi risiko terjadinya komplikasi akibat
kadar oksigen yang rendah, dan mengurangi tekanan darah di sisi kanan
jantung. Terapi ini juga akan membantu memperbaiki kualitas tidur dan
kesejahteraan hidup penderita. Terapi dapat diberikan ketika pasien
tidur atau latihan, dan ada juga yang menggunakannya setiap saat.
d. Transplantasi paru. Selain manfaat baik dari transplantasi paru, dokter
akan mendiskusikan juga risiko komplikasi berupa penolakan tubuh
terhadap organ pengganti kepada pasien.
Selain pengobatan yang bersifat medis, penderita fibrosis dapat juga
mulai mengambil tindakan aktif dalam perawatan yang tengah dilaluinya
untuk menjaga dan meningkatkan kesehatannya sendiri. Beberapa langkah
yang bisa dilakukan, adalah:
a. Ikuti rencana perawatan yang sedang dijalani, janji temu dengan dokter,
instruksi dokter, jadwal minum obat, dan ikuti diet makanan maupun
jadwal latihan yang telah dianjurkan.
b. Menjaga makan dengan nutrisi yang berimbang dan lebih sering dengan
porsi makanan yang lebih kecil. Langkah ini penting karena penderita
fibrosis paru umumnya mengalami penurunan berat badan akibat
kondisinya yang membuat tidak nyaman ketika bernapas juga ketika
makan. Diskusikan pilihan menu makanan yang sesuai dengan kondisi
Anda.
c. Berhenti merokok. Jika mengalami kesulitan menghentikan kebiasaan
ini, Anda dapat mendiskusikan program apa saja yang cocok untuk
dijalani bersama dokter Anda. Hindari juga berada di dekat orang-orang
yang merokok karena menghirup asap rokok juga dapat memengaruhi
paru-paru.

22
d. Olah tubuh rutin dapat membantu menjaga fungsi paru dan
mengendalikan stres. Kegiatan seperti jalan kaki dan bersepeda bisa
dilakukan namun akan membutuhkan waktu dan proses. Diskusikan
dengan dokter jenis olahraga apa yang sesuai dengan kondisi Anda.
e. Pastikan Anda memiliki waktu istirahat yang cukup dengan demikian
Anda akan memiliki lebih banyak energi dan dapat mengurangi stres
yang dirasakan akibat kondisi ini.
f. Pastikan Anda dan keluarga mendapatkan vaksin pneumonia dan flu
tahunan agar terhindar dari infeksi saluran pernapasan yang bisa
memperburuk kondisi fibrosis paru. Hindari juga bertemu dengan
banyak orang di musim flu tengah merebak.
Pada beberapa orang, perawatan fibrosis paru dapat membawa
pengaruh yang baik sehingga mereka dapat tidak terganggu oleh gejala
dari kondisi ini hingga bertahun-tahun lamanya. Namun ada juga yang
kondisinya memburuk dengan cepat. Fibrosis paru memang termasuk
salah satu jenis penyakit yang dapat bertambah parah seiring waktu.
Menjadi aktif dan mempelajari mengenai penyakit ini dapat membantu
Anda dan juga orang-orang di sekitar dalam melalui proses perawatan.
Bersikap terbuka dengan dokter Anda juga dianjurkan khususnya
ketika stres dan depresi menyerang. Dokter dapat merujuk Anda pada
seorang ahli kesehatan mental atau menyarankan langkah alternatif lainnya
untuk meringankan kondisi Anda. Pemantauan kesehatan rutin dapat
membantu pasien mengetahui perkembangan penyakit ini dan kondisi
kesehatannya. Seiring perkembangan kondisi, dokter mungkin akan mulai
mendiskusikan perihal perawatan akhir hidup dan langkah-langkah lain
yang harus dipersiapkan bersama pasien dan keluarga.
2.4.6 Komplikasi Fibrosis Paru
Berikut adalah beberapa komplikasi yang mungkin berkembang jika
fibrosis paru tidak segera diobati.
a. Komplikasi paru, misalnya penggumpalan darah di paru-paru, infeksi
paru-paru, atau paru-paru yang gagal berfungsi.

23
b. Gagal pernapasan sebagai akibat penyakit paru yang parah, ketika kadar
oksigen di paru-paru berada di level yang sangat rendah
c. Tekanan darah tinggi dalam paru-paru atau hipertensi pulmonal ketika
jaringan parut memengaruhi pembuluh darah paru dan menyebabkan
aliran darah terganggu.
d. Gagal jantung sisi kanan atau cor pulmonale, yaitu disebabkan oleh
ventrikel jantung sebelah kanan bawah yang bekerja terlalu keras
memompa darah melalui pembuluh darah paru yang tersumbat.
e. Kanker paru-paru yang berkembang dari fibrosis paru jangka panjang.
2.4.7 Patofisiologis Fibrosis Paru
Dapat menyebabkan hypoxemia yaitu defisiensi oksigenase darah
akibat kurangnya oksigen yang mencapai darah, menyebabkan
Hyperventilation yang merupakan peningkatan ventilasi paru secara
abnormal, menyebabkan penurunan tegangan karbondioksida yang jika
berkepanjangan menimbulkan alkalosis, serta mengurangi volume paru
menyebabkan Hypercapnea yaitu kelebihan karbondioksida dalam darah.

24
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penyakit paru kerja merupakan rekasi pada paru akibat paparan debu,
sehingga terjadi perubahan struktur (anatomi) paru. Contoh penyakit paru
kerja biasanya disebut pneumokoniosis, seperti silikosis, asbestosis,
pneumokoniosis pada pekerja batu bara (coal worker pneumochoniosis)
byysinosis, dan lain sebagainya, akibat paparan debu berilium, barium,
besi, bijih timah putih.
Pneumokoniosis merupakan segolongan penyakit yang disebabkan
oleh penimbunan debu-debu dalam paru-paru. Terdapat berbagai macam
pneumoniokosis yang timbul di lingkungan kerja, diantaranya yaitu
pneumokoniosis pada pekerja batu bara, pneumokoniosis oleh karena talk,
pneumokoniosis karena logam berat, silikosis, antrakosis, stannosis, dan
siderosis. Tingkat deposisi partikel seperti debu di saluran napas dan paru
dipengaruhi oleh konsentrasi debu, ukuran debu, waktu pajanan, rata-rata
pernapasan, dan volume tidal. Beberapa mekanisme masuknya debu ke
saluran tubuh manusia, yaitu impaksi, sedimentasi, dan difusi. Respons
jaringan tubuh seseorang terhadap debu yang terhirup dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain sifat fisik, sifat kimia, dan faktor pejamu
(host). Tanda dan gejala yang timbul berbeda-beda tergantung dari
banyaknya debu yang ditimbun dalam paru-paru. Penanganan medis
umumnya terbatas hanya pengobatan simptomatik. Untuk pencegahan,
prinsipnya adalah meniadakan paparan atau menghindarkan orang berisiko
tinggi terhadap paparan.
Kanker paru atau Mesothelioma adalah tumor ganas paru primer yang
berasal dari saluran napas atau epitel bronkus. Seperti umumnya kanker
yang lain, penyebab yang pasti dari kanker paru belum diketahui, tapi
paparan atau inhalasi berkepanjangan suatu zat yang bersifat karsinogenik
merupakan faktor penyebab utama disamping adanya faktor lain seperti
kekebalan tubuh, genetik, dan lain-lain. Pada fase awal kebanyakan
kanker paru tidak menunjukkan tanda dan gejala klinis. Bila sudah
menampakkan gejala berarti pasien dalam stadium lanjut. Diagnosis dapat

25
dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium, radiologi, sitologi, bronkoskopi, biopsi transtorakal, dan
torakoskopi.
Fibrosis paru adalah munculnya jaringan parut pada paru-paru yang
menyebabkan kerusakan dan terganggunya fungsi paru-paru. Kerusakan
paru-paru dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang berbeda, termasuk
terapi radiasi maupun dari obat-obatan tertentu. Tanda dan gejala, serta
tingkat keparahan fibrosis paru dapat berbeda-beda pada masing-masing
penderita. Sebelum merekomendasikan pengobatan apa yang sesuai untuk
penderita fibrosis paru, dokter akan melakukan proses diagnosis yang
terdiri dari evaluasi riwayat penyakit pasien dan keluarga, pemeriksaan
fisik, dan berbagai tes penunjang. Kerusakan paru-paru pada kondisi ini
hanya dapat diperlambat dan dikurangi dampak dari gejalanya dengan
pemberian obat-obatan dan melakukan rangkaian terapi. Selain
pengobatan yang bersifat medis, penderita fibrosis dapat juga mulai
mengambil tindakan aktif dalam perawatan yang tengah dilaluinya untuk
menjaga dan meningkatkan kesehatannya sendiri.
3.2 Saran
Suatu pekerjaan yang sering terpapar oleh bahan kimia seperti debu
haruslah mempunyai suatu upaya- upaya pengendalian yang harus
dilakukan untuk meminimalisir dan mencegah dampak negatif yang
mungkin terjadi seperti penyakit pneumoconiosis, mesothelioma dan
fibrosis paru. Kepada pekerja yang sering terpapar oleh bahan kimia
(debu) tersebut hendaknya melakukan perlindungan terhadap diri sendiri
terlebih dahulu seperti menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) misalnya
masker atau sebagainya.
Selain upaya pegendalian, suatu perusahaan dan pekerja itu sendiri
harus memahami gejala-gejala yang mungkin muncul dari penyakit
tersebut dan penanganan segera yang harus dilakukan untuk menghindari
keterparahan dari penyakit.

26
DAFTAR PUSTAKA
Indah Rachmatiah Siti Salami, dkk. (2015). KESEHATAN DAN KESELAMATAN
LINGKUNGAN KERJA. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Suma'mur. 1986. Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja Edisi 1. Jakarta: PT
Gunung Agung.
Suma'mur. 2013. Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes) Edisi 2.
Jakarta: Sagung Seto.
https://health.detik.com/read/2016/11/22/100306/3351127/763/sering-terpapar-
asap-diesel-ini-risiko-yang-dihadapi-pekerja-tambang (diakses pada tanggal
18 April 2017)
https://www.google.co.id/search?q=kanker%20paru
%20pdf&rct=j#q=kanker+paru+pdf (diakes pada tanggal 16 April 2017)
Susanto, Agus Dwi. 2011, Desember. Pneumokoniosis. Artikel Pengembangan
Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan. Vol. 61, hal. 503-510.

27

Anda mungkin juga menyukai