Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

SPINAL CORD INJURY

A. Definisi
Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervicalis, vertebralis
dan lumbalis akibat trauma; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas,
kecelakakan olahraga dsb (Arifin cit Sjamsuhidayat, 1997).
Spinal cord injury (SCI) terjadi ketika sesuatu (seperti: tulang, disk,
atau benda asing) masuk atau mengenai spinal dan merusakkan spinal cord
atau suplai darah (AACN, Marianne Chulay, 2005 : 487).
Trauma pada tulang belakang (spinal cors injury) adalah cedera yang
mengenai servikal, vertebralis, dan lumbalis dari suatu trauma yang mengenai
tulang belakang (Mutttaqin, 2008).
Trauma spinal adalah injuri/cedera/trauma yang terjadi pada spinal,
meliputi spinal collumna maupun spinal cord, dapat mengenai elemen tulang,
jaringan lunak, dan struktur saraf pada cervicalis, vertebralis dan lumbalis
akibat trauma berupa jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan
olah raga, dan sebagainya. Trauma spinalis menyebabkan ketidakstabilan
kolumna vertebral (fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang vertebra) atau
injuri saraf yang aktual maupun potensial (Price, 2005).

B. Etiologi
Penyebab spinal cord injury meliputi kecelakaan sepeda motor (44 %),
tindak kekerasan (24 %), jatuh (22 %) (pada orang usia 65 tahun ke atas), luka
karena senjata api (9%), kecelakaan olahraga (rata-rata pada usia 29 tahun)
misal menyelam (8 %), dan penyebab lain misalnya infeksi atau penyakit,
seperti tumor, kista di tulang belakang, multiple sclerosis, atau cervical
spondylosis (degenerasi dari disk dan tulang belakang di leher) (2 %).
Kecelakaan jalan raya adalah penyebab terbesar, hal mana cukup kuat
untuk merusak kord spinal serta kauda ekuina. Di bidang olah-raga, tersering
karena menyelam pada air yang sangat dangkal (Pranida, Iwan Buchori, 2007).
Akibat suatu trauma mengenai tulang belakang, jatuh dari ketinggian,
kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga (Arifin, 1997).
Spinal cord injury paling banyak disebabkan karena kecelakaan
kendaraan bermotor, jatuh, kekerasan, dan kecelakaan olahraga (AACN,
Marianne Chulay, 2005 : 487).
Penyebab kerusakan pada saraf tulang belakang, adalah trauma

1
(mobil / sepeda motor kecelakaan, tembakan, jatuh, cedera olahraga, dll), atau
penyakit (seperti: Transverse Myelitis, Polio, spina bifida, Friedreich's ataxia,
dll)

C. Klasifikasi
Holdsworth membuat klasifikasi cedera spinal sebagai berikut: Cedera
fleksi: cedera fleksi menyebabkan beban regangan pada ligamentum posterior,
kemudian dapat menimbulkan kompresi pada bagian anterior korpus vertebra
sehingga mengakibatkan wedge fracture (teardrop fracture). Cedera seperti ini
dapat dikategorikan sebagai cedera yang stabil; Cedera fleksi-rotasi: beban
fleksi-rotasi akan menimbulkan cedera pada ligamentum posterior (terkadang
juga dapat melukai prosesus artikularis) lalu, cedera ini akan mengakibatkan
terjadinya dislokasi fraktur rotasional yang dihubungkan dengan slice fracture
korpus vertebra. Cedera ini digolongkan sebagai cedera yang paling tidak
stabil; Cedera ekstensi: cedera ekstensi biasanya merusak ligamentum
longitudinalis anterior dan menimbulkan herniasi diskus. Biasanya terjadi pada
daerah leher. Selama kolumna vertebra dalam posisi fleksi, maka cedera ini
masih tergolong stabil; Cedera kompresi vertikal (vertical compression): cedera
kompresi vertical mengakibatkan pembebanan pada korpus vertebra dan dapat
menimbulkan burst fracture; Cedera robek langsung (direct shearing): cedera
robek biasanya terjadi di daerah torakal dan disebabkan oleh pukulan langsung
pada punggung, sehingga salah satu vertebra bergeser, fraktur prosesus
artikularis serta ruptur ligamen.

D. Patofisiologi
Cedera spinal cord terjadi akibat patah tulang belakang, dan kasus
terbanyak cedera spinal cord mengenai daerah servikal dan lumbal. Cedera
dapat terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi, kompresi atau rotasi pada tulang
belakang.
Fraktur pada cedera spinal cord dapat berupa patah tulang sederhana,
kompresi, kominutif, dan dislokasi. Sedangkan kerusakan pada cedera spinal
cord dapat berupa memar, kontusio, kerusakan melintang laserasi dengan atau
tanpa gangguan peredaran darah, dan perdarahan. Kerusakan ini akan memblok
syaraf parasimpatis untuk melepaskan mediator kimia, kelumpuhan otot
pernapasan, sehingga mengakibatkan respon nyeri hebat dan akut anestesi.
Iskemia dan hipoksemia syok spinal, gangguan fungsi rektum serta kandung

2
kemih. Gangguan kebutuhan gangguan rasa nyaman nyeri, oksigen dan
potensial komplikasi, hipotensi, bradikardia dan gangguan eliminasi.
Temuan fisik pada spinal cord injury sangat bergantung pada lokasi
yang terkena: jika terjadi cedera pada C-1 sampai C-3 pasien akan mengalami
tetraplegia dengan kehilangan fungsi pernapasan atau sistem muskular total;
jika cedera mengenai saraf C-4 dan C-5 akan terjadi tetraplegia dengan
kerusakan, menurunnya kapasitas paru, ketergantungan total terhadap aktivitas
sehari-hari; jika terjadi cedera pada C-6 dan C-7 pasien akan mengalami
tetraplegia dengan beberapa gerakan lengan atau tangan yang memungkinkan
untuk melakukan sebagian aktivitas sehari-hari; jika terjadi kerusakan pada
spinal C-7 sampai T-1 seseorang akan mengalami tetraplegia dengan
keterbatasan menggunakan jari tangan, meningkat kemandiriannya;
pada T-2 sampai L-1 akan terjadi paraplegia dengan fungsi tangan dan berbagai
fungsi dari otot interkostal dan abdomen masih baik; jika terjadi cedera pada L-
1 dan L-2 atau dibawahnya, maka orang tersebut akan kehilangan fungsi
motorik dan sensorik, kehilangan fungsi defekasi dan berkemih.

E. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis bergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang
terjadi. Kerusakan melintang memberikan gambaran berupa hilangnya fungsi
motorik maupun sensorik kaudal dari tempat kerusakan disertai syok spinal.
Syok spinal terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang belakang karena
hilangnya rangsang yang berasal dari saraf pusat. Peristiwa ini umumnya
berlangsung selama satu hingga enam minggu, kadang dapat lebih lama.
Tandanya adalah kelumpuhan flaksid, anestesia, arefleksi, hilangnya perspirasi,
gangguan fungsi rektum dan kandung kemih, priapismus, bradikardia dan
hipotensi. Setelah syok spinal pulih kembali, akan terjadi hiperrefleksi. Terlihat
pula tanda gangguan fungsi autonom, berupa kulit kering karena tidak
berkeringat dan hipotensi ortostatik, serta gangguan fungsi kandung kemih dan
gangguan defekasi.
Sindrom spinal cord bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot lurik
di bawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua
sisinya, sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu.
Cedera spinal cord sentral jarang ditemukan. Keadaan ini pada umumnya
terjadi akibat cedera di daerah servikal dan disebabkan oleh hiperekstensi
mendadak sehingga sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum
flavum yang terlipat. Cedera tersebut dapat terjadi pada orang yang memikul

3
beban berat di atas kepala, kemudian terjadi gangguan keseimbangan yang
mendadak sehingga beban jatuh dan tulang belakang hiperekstensi. Gambaran
klinis berupa tetraparese parsial. Gangguan pada ekstremitas bawah lebih
ringan daripada ekstremitas atas, sedangkan daerah perianal tidak terganggu.
Sindrom Brown-Sequard disebabkan oleh kerusakan separuh lateral
spinal cord. Sindrom ini jarang ditemukan. Gejala klinis berupa gangguan
motorik dan hilangnya rasa vibrasi dan posisi ipsilateral; di kontralateral
terdapat gangguan rasa nyeri dan suhu.
Kerusakan tulang belakang setinggi vertebra L1-L2 mengakibatkan
anestesia perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya
refleks anal dan refleks bulbokavernosa. Sindrom ini disebut sindrom konus
medularis.
Sindrom kauda equina disebabkan oleh kompresi pada radiks
lumbosakral setinggi ujung konus medularis dan menyebabkan kelumpuhan
dan anestesia di daerah lumbosakral yang mirip dengan sindrom konus
medularis.
Klien yang mengalami cidera spinal cord khususnya bone loss pada L2-
3 membutuhkan perhatian lebih diantaranya dalam pemenuhan kebutuhan ADL
dan dalam pemenuhan kebutuhan untuk mobilisasi. Selain itu klien juga
beresiko mengalami komplikasi cedera spinal seperti syok spinal, trombosis
vena profunda, gagal napas; pneumonia dan hiperfleksia autonomic.
Meskipun gambaran klinis tergantung pada lokasi dan besarnya
kerusakan, namun secara umum jika seseorang mengalami spinal cord injury,
maka mereka akan mengeluh: nyeri mulai dari leher sampai bawah, kehilangan
fungsi (misalnya: tidak dapat menggerakkan lengan), kehilangan atau
berubahnya sensasi di berbagai area tubuh, sakit atau tekanan yang berat di
leher, kepala. Biasanya nyeri terjadi hilang timbul, geli (kesemutan) atau
kehilangan sensasi di jari dan tangan, kehilangan kontrol salah satu atau
seluruh bagian tubuh, inkontinensia urin yang mungkin disebabkan karena
kelumpuhan saraf, kesulitan berjalan dengan keseimbangan, sulit bernafas
setelah cedera, tidak berfungsinya saraf pada kepala atau tulang belakang.
F. Pemeriksaan Penunjang
Untuk menegakkan diagnosa pada penderita spinal cord injury,
diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang yang meliputi:
1. sinar-x spinal: untuk menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur
atau dislokasi), untuk reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi;

4
2. CT scan untuk menentukan tempat luka/jejas, mengidentifikasi tulang
yang terluka dan tekanan pada cord, mengevaluasi gangguan struktural,
CT- Scan berguna untuk mempercepat skrining dan menyediakan informasi
tambahan jika hasil dari sinar-x kurang akurat untuk mengetahui status
patahan dan spinal yang cedera;
3. MRI: untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal, edema dan
kompresi; Foto rontgen thorak: ditujukan untuk mengetahui keadaan paru
klien, (contoh : adakah perubahan pada diafragma, atelektasis);
4. AGD (analisa gas darah): digunakan untuk menunjukkan keefektifan
pertukaran gas dan upaya ventilasi.
5. Foto rongent thorak : mengetahui keadaan paru

G. Komplikasi
Efek dari cedera kord spinal akut mungkin mengaburkan penilaian
terhadap cedera lain yang menyertai dan mungkin juga mengubah respon
terhadap terapi. Berat serta jangkauan cedera penyerta yang berpotensi didapat
dari penilaian primer yang sangat teliti dan penilaian ulang yang sistematik
terhadap pasien setelah cedera kord spinal. Dua penyebab kematian utama
setelah cedera kord spinal adalah aspirasi dan syok.
Beberapa komplikasi yang mungkin ditimbulkan dari cedera saraf
tulang belakang adalah: tekanan darah perubahan - dapat ekstrim (otonom
hyperreflexia), disebabkan karena menurunnya curah jantung, komplikasi
imobilitas dapat disebabkan karena tidak berfungsinya salah satu anggota
tubuh sehingga pasien diharuskan tirah baring yang lama sehingga dapat
menyebabkan dekubitus atau kontraktur; deep vein thrombosis, ini dapat
terjadi karena kurangnya sistem koagulasi dalam darah, sehingga terdapat
trombus, karena pergerakan, maka dapat menyebabkan trombus tersebut lepas
dan menjadi emboli, kemudian melalui pembuluh darah mengikuti aliran darah
dan berkumpul di suatu tempat; infeksi paru dapat terjadi jika ada cedera lain
yang menyertai, atau ada kompresi pada cervikalis sehingga fungsi paru
terganggu atau menjadi minimal; kulit breakdown terjadi bila terjadi robekan
pada kulit punggung; kontraktur, terjadi karena pasien immobilisasi;
peningkatan risiko cedera pada daerah kebas tubuh disebabkan karena orang
tersebut kehilangan sensasi (mati rasa) sehingga meskipun orang tersebut
terluka oleh benda tajam pada daerah kebas tidak akan merasakan sakit;
peningkatan risiko kerusakan ginjal karena terjadi disfungsi berkemih sehingga
pasien tidak dapat mengeluarkan sisa metabolisme dalam tubuh melalui urin;

5
meningkatnya risiko infeksi saluran kemih karena banyak bakteri dan jamur
pada saluran kemih; kehilangan kontrol kandung kemih disebabkan karena
cedera pada L-1 dan L-2 atau dibawahnya; kehilangan kontrol usus disebabkan
karena cedera pada L-1 dan L-2 atau dibawahnya; hilangnya sensasi
disebabkan oleh cederanya spinal L1 dan L2 atau dibawahnya; kehilangan
fungsi seksual (impotensi pria) karena cedera spinal L1 dan L2 atau
dibawahnya; muscle spasticity disebabkan karena C-1 sampai C-3 mengalami
cedera; pain, karena diskontinuitas antara tulang dan jaringan; kelumpuhan otot
pernapasan, karena cederanya spinal C1 sampai C3, dan C4 sampai C5 ;
kelumpuhan (paraplegia, quadriplegia), tergantung pada tempat atau lokasi
terjadinya cedera; aspirasi terjadi karena tidak berfungsinya sistem pernapasan
dan pencernaan; shock, biasanya terjadi karena perdarahan pada pasien, jika
kehilangan darah terus menerus, pasien akan menjadi hipotensi, dan untuk
mengkompensasi, jantung bekerja lebih keras, memompa lebih cepat sehingga
terjadi takikardi pada nadi, namun volume darah dalam tubuh tetap sedikit,
sehingga darah hanya digunakan untuk otak, apabila tubuh sudah tidak dapat
mengkompensasi lagi, nadi akan menjadi semakin lemah dan sampai tak teraba
dan untuk bagian perifer tubuh menjadi dingin (akral), dan terjadilah shock
hipovolemik.

H. Penatalaksanaan
Tindakan-tindakan untuk imobilisasi dan mempertahankan vertebral
dalam posisi lurus: pemakaian kollar leher, bantal pasir atau kantung IV untuk
mempertahankan agar leher stabil, dan menggunakan papan punggung bila
memindahkan pasien; melakukan traksi skeletal untuk fraktur servikal, yang
meliputi penggunaan Crutchfield, Vinke, atau tong Gard-Wellsbrace pada
tengkorak, tirah baring total dan pakaikan brace haloi untuk pasien dengan
fraktur servikal stabil ringan; pembedahan (laminektomi, fusi spinal atau
insersi batang Harrington) untuk mengurangi tekanan pada spinal bila pada
pemeriksaan sinar-X ditemui spinal tidak aktif.
Intervensi bedah = Laminektomi, dilakukan bila: deformitas tidak dapat
dikurangi dengan fraksi, terdapat ketidakstabilan signifikan dari spinal
servikal, cedera terjadi pada region lumbar atau torakal, status neurologis
mengalami penyimpanan untuk mengurangi fraktur spinal atau dislokasi atau
dekompres medulla. (Diane C. Braughman, 2000 ; 88-89)

6
Tindakan-tidakan untuk mengurangi pembengkakan pada medula
spinalis dengan menggunakan glukortiko steroid intravena
Penatalaksanaan Keperawatan
Pengkajian fisik didasarakan pada pemeriksaan pada neurologis, kemungkinan
didapati defisit motorik dan sensorik di bawah area yang terkena: sok spinal,
nyeri, perubahan fungsi kandung kemih, perusakan fungsi seksual pada pria,
pada wanita umumnya tidak terganggu fungsi seksualnya, perubahan fungsi
defekasi; kaji perasaan pasien terhadap kondisinya; lakukan pemeriksaan
diagnostik; pertahankan prinsip A-B-C (Airway, Breathing, Circulation) agar
kondisi pasien tidak semakin memburuk.

I. Pathway

7
J. Anatomi Fisiologi

K. Diagnosa dan Rencana Keperawatan


1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma
Tujuan perawatan : pola nafas efektif setelah diberikan oksigen
Kriteria hasil : ventilasi adekuat, PaO2 > 80, PaCo2 < rr =" 16-20">
Intervensi keperawatan :
a) Pertahankan jalan nafas; posisi kepala tanpa gerak. Rasional: pasien
dengan cedera cervicalis akan membutuhkan bantuan untuk mencegah
aspirasi/ mempertahankan jalan nafas.
b) Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat jumlah, jenis dan
karakteristik sekret. Rasional : jika batuk tidak efektif, penghisapan
dibutuhkan untuk mengeluarkan sekret, dan mengurangi resiko infeksi
pernapasan.
c) Kaji fungsi pernapasan. Rasional : trauma pada C5-6 menyebabkan
hilangnya fungsi pernapasan secara partial, karena otot pernapasan
mengalami kelumpuhan.
d) Auskultasi suara napas. Rasional : hipoventilasi biasanya terjadi atau
menyebabkan akumulasi sekret yang berakibat pnemonia.

8
e) Observasi warna kulit. Rasional : menggambarkan adanya kegagalan
pernapasan yang memerlukan tindakan segera
f) Kaji distensi perut dan spasme otot. Rasional : kelainan penuh pada
perut disebabkan karena kelumpuhan diafragma
g) Anjurkan pasien untuk minum minimal 2000 cc/hari. Rasional :
membantu mengencerkan sekret, meningkatkan mobilisasi sekret
sebagai ekspektoran.
h) Lakukan pengukuran kapasitas vital, volume tidal dan kekuatan
pernapasan. Rasional : menentukan fungsi otot-otot pernapasan.
Pengkajian terus menerus untuk mendeteksi adanya kegagalan
pernapasan.
i) Pantau analisa gas darah. Rasional : untuk mengetahui adanya kelainan
fungsi pertukaran gas sebagai contoh : hiperventilasi PaO2 rendah dan
PaCO2 meningkat.
j) Berikan oksigen dengan cara yang tepat : metode dipilih sesuai dengan
keadaan isufisiensi pernapasan.
k) Lakukan fisioterapi nafas. Rasional : mencegah sekret tertahan

2. Diagnosa keperawatan : kerusakan mobilitas fisik berhubungan dng


kelumpuhan
Tujuan perawatan : selama perawatan gangguan mobilisasi bisa
diminimalisasi sampai cedera diatasi dengan pembedahan.
Kriteria hasil : tidak ada kontrakstur, kekuatan otot meningkat, pasien
mampu beraktifitas kembali secara bertahap.
Intervensi keperawatan :
a) Kaji secara teratur fungsi motorik. Rasional : mengevaluasi keadaan
secara umum
b) Instruksikan pasien untuk memanggil bila minta pertolongan. Rasional
memberikan rasa aman
c) Lakukan log rolling. Rasional : membantu ROM secara pasif
d) Pertahankan sendi 90 derajad terhadap papan kaki. Rasional mencegah
footdrop
e) Ukur tekanan darah sebelum dan sesudah log rolling. Rasional :
mengetahui adanya hipotensi ortostatik
f) Inspeksi kulit setiap hari. Rasional : gangguan sirkulasi dan hilangnya
sensai resiko tinggi kerusakan integritas kulit.

9
g) Berikan relaksan otot sesuai pesanan seperti diazepam. Rasional :
berguna untuk membatasi dan mengurangi nyeri yang berhubungan
dengan spastisitas.
3. Diagnosa keperawatan : gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan
adanya cedera
Tujuan keperawatan : rasa nyaman terpenuhi setelah diberikan perawatan
dan pengobatan
Kriteria hasil : melaporkan rasa nyerinya berkurang
Intervensi keperawatan :
a) Kaji terhadap nyeri dengan skala 0-5. Rasional : pasien melaporkan
nyeri biasanya diatas tingkat cedera.
b) Bantu pasien dalam identifikasi faktor pencetus. Rasional : nyeri
dipengaruhi oleh; kecemasan, ketegangan, suhu, distensi kandung
kemih dan berbaring lama.
c) Berikan tindakan kenyamanan. Rasional : memberikan rasa nayaman
dengan cara membantu mengontrol nyeri.
d) Dorong pasien menggunakan tehnik relaksasi. Rasional : memfokuskan
kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol.
e) Berikan obat antinyeri sesuai pesanan. Rasional : untuk menghilangkan
nyeri otot atau untuk menghilangkan kecemasan dan meningkatkan
istirahat.

4. Diagnosa keperawatan : gangguan eliminasi alvi /konstipasi berhubungan


dengan gangguan persarafan pada usus dan rektum.
Tujuan perawatan : pasien tidak menunjukkan adanya gangguan eliminasi
alvi/konstipasi
Kriteria hasil : pasien bisa b.a.b secara teratur sehari 1 kali
Intervensi keperawatan :
a) Auskultasi bising usus, catat lokasi dan karakteristiknya.Rasional :
bising usus mungkin tidak ada selama syok spinal.
b) Observasi adanya distensi perut.
c) Catat adanya keluhan mual dan ingin muntah, pasang NGT. Rasional :
pendarahan gantrointentinal dan lambung mungkin terjadi akibat
trauma dan stress.
d) Berikan diet seimbang TKTP cair : meningkatkan konsistensi feces
e) Berikan obat pencahar sesuai pesanan. Rasional: merangsang kerja usus

10
5. Diagnosa keperawatan : perubahan pola eliminasi urine berhubungan
dengan kelumpuhan syarat perkemihan.
Tujuan perawatan : pola eliminasi kembali normal selama perawatan
Kriteria hasil : produksi urine 50 cc/jam, keluhan eliminasi uirine tidak ada
Intervensi keperawatan:
a) Kaji pola berkemih, dan catat produksi urine tiap jam. Rasional :
mengetahui fungsi ginjal
b) Palpasi kemungkinan adanya distensi kandung kemih.
c) Anjurkan pasien untuk minum 2000 cc/hari. Rasional : membantu
mempertahankan fungsi ginjal.
d) Pasang dower kateter. Rasional membantu proses pengeluaran urine

6. Diagnosa keperawatan : gangguan integritas kulit berhubungan dengan


tirah baring lama
Tujuan keperawatan : tidak terjadi gangguan integritas kulit selama
perawatan
Kriteria hasil : tidak ada dekibitus, kulit kering
Intervensi keperawatan :
a) Inspeksi seluruh lapisan kulit. Rasional : kulit cenderung rusak karena
perubahan sirkulasi perifer.
b) Lakukan perubahan posisi sesuai pesanan: untuk mengurangi
penekanan kulit
c) Bersihkan dan keringkan kulit. Rasional: meningkatkan integritas kulit
d) Jagalah tenun tetap kering. Rasional: mengurangi resiko kelembaban
kulit
e) Berikan terapi kinetik sesuai kebutuhan : Rasional : meningkatkan
sirkulasi sistemik& perifer, menurunkan tekanan pada kulit serta
mengurangi kerusakan kulit.

Daftar Pustaka

1. Chulay, Marianne and Burns, Suzanne.2005.AACN Essentials of Critical Care


Nursing.United States of America: McGraw-Hill
2. Doengoes, M. E.1999.Rencana Asuham Keperawatan Pedoman untuk
3. Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien.Edisi 3. Jakarta ;
EGC
4. Ns.Dedex Oktaviana.Jam 15.10.Tanggal 23 Maret 2010.Hari Selasa.
http://dedexdox.blogspot.com/

11
5. http://portal.cbn.net.id/cbprtl/cybermed/detail.aspx?x=Work+Out&y=cybermed
%7C0%7C0%7C7%7C198
6. http://tulus-andi.blogspot.com/asuhan-keperawatan-spinal cord injury
7. Jam 15.59.23 Maret 2010.Laporan Pendahuluan pada Cedera Medulla
Spinalis.http://www.scribd.com/doc/28667692/askep-spinal-cord-injury-cedera-
medulaspinals?secret_password=&autodown=doc

12

Anda mungkin juga menyukai