Anda di halaman 1dari 18

Laporan Kasus

Tanggal: Jumat pagi (8 Juni 2018)

MORFEA TIPE LINEAR DAN NODULAR YANG REKALSITRANS


DENGAN TERAPI METOTREKSAT

Oleh : Retno Hesty Maharani


Pembimbing : Prof. Dr. dr. Oki Suwarsa, SpKK(K), MKes
Prof. Dr. dr. Endang Sutedja, SpKK(K)
dr. Hartati Purbo Dharmadji, SpKK(K)
dr. Miranti Pangastuti, SpDV

I. PENDAHULUAN
Morfea atau skleroderma lokalisata merupakan penyakit inflamasi1,2 yang
ditandai dengan sklerosis, fibrosis, serta atrofi pada kulit, jaringan subkutis, fasia
dan atau otot.3 Skleroderma berasal dari bahasa Yunani yaitu “skleros” dan
“derma” yang berarti keras dan kulit.1-3 Peterson dkk.,4 mengklasifikasikan morfea
menjadi lima subtipe yaitu morfea tipe plak atau circumscribed, generalisata, linear,
bulosa, dan profunda. Morfea tipe linear ditandai dengan lesi sklerosis berbentuk
linear disertai indurasi yang mengikuti garis Blaschko.1,3 Morfea nodular atau
keloidal merupakan varian dari morfea tipe plak, terjadi akibat inflamasi pada
dermis,2 sehingga timbul nodul menyerupai keloid yang bergabung atau terpisah4
di atas kulit normal atau kulit yang mengalami sklerosis, dengan lokasi tersering di
batang tubuh.3 Morfea dengan lebih dari satu subtipe atau morfea tipe campuran
dapat terjadi pada 4% kelompok usia dewasa dan 15-23% usia anak.3 Kombinasi
yang paling sering ditemukan adalah tipe linear dan plak.3
Insidensi morfea 2,7 per 100.000 penduduk,1 dengan perbandingan wanita dan
pria sebesar 2:15 hingga 7:1.3 Morfea dapat mengenai semua usia dan ras.3 Pada
kelompok usia dewasa, morfea tipe plak merupakan bentuk yang paling sering
ditemukan (28-44%), diikuti tipe generalisata (24%), dan linear (15%), sedangkan
pada kelompok usia anak paling sering ditemukan morfea tipe linear (65%).1,3
Patogenesis morfea belum sepenuhnya diketahui,3 diduga terjadi
ketidakseimbangan produksi dan destruksi kolagen, inflamasi, serta perubahan
vaskular.6 Hingga saat ini belum ditemukan terapi yang efektif untuk morfea.1

1
Menilai efikasi suatu terapi morfea masih menjadi masalah tersendiri, karena
minimnya penelitian, sebagian besar jenis penelitian tidak terkontrol, dengan hasil
yang kurang seragam.1 Aktivasi sel imun diduga mendasari terbentuknya sklerosis
kulit, sehingga imunosupresan topikal dan sistemik sering dipilih sebagai terapi
morfea.1 Metotreksat (MTX) merupakan terapi sistemik lini pertama dalam
pengobatan morfea.6 MTX bekerja dengan menghambat sitokin-sitokin seperti
Interleukin (IL)-4, dan IL-6, yang berperan dalam proses sklerosis pada morfea.6
Berdasarkan data rawat jalan Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
(IKKK) Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung sejak Januari 2010
hingga April 2018 terdapat 25 kasus morfea baru, 23 kasus diantaranya wanita.
Berikut ini dilaporkan satu kasus seorang wanita berusia 20 tahun yang
didiagnosis morfea berdasarkan klinis dan telah mendapatkan terapi metotreksat
oral 7,5 mg/minggu selama 4 bulan, tetapi timbul kelainan kulit baru berupa bercak
kecokelatan teraba keras di lengan kanan atas.

LAPORAN KASUS
Seorang wanita berusia 20 tahun, belum menikah, pendidikan terakhir Sekolah
Menengah Atas (SMA), mahasiswi, suku Sunda, Islam, berobat ke divisi Alergi
Imunologi poliklinik IKKK RSHS Bandung dengan keluhan utama timbul kelainan
kulit baru berupa bercak kecokelatan teraba keras pada lengan kanan atas yang tidak
terasa nyeri ataupun gatal.

ANAMNESIS KHUSUS (autoanamnesis tanggal 9 Maret 2017)


Sejak dua minggu sebelum masuk rumah sakit (SMRS), keluhan bercak
kecokelatan dan benjolan kecokelatan teraba keras yang telah ada sebelumnya pada
perut dan lengan kanan bawah bertambah banyak hingga ke lengan kanan atas, tidak
terasa nyeri dan gatal. Pasien rutin kontrol ke divisi Alergi Imunologi sejak bulan
Oktober 2017, mendapat terapi krim Daivonex® (kalsipotriol), metotreksat 3x2,5
mg/minggu, dan asam folat setiap bulan.
Keluhan pertama kali timbul 2,5 tahun SMRS berupa bercak kemerahan
seukuran koin yang teraba keras dan menjadi kecokelatan pada daerah perut. Pasien

2
berobat ke beberapa dokter umum di Purwakarta, dikatakan terkena infeksi jamur
dan alergi, diberikan obat oles berwarna putih, tidak lengket dalam wadah tube yang
dioles 2 kali sehari dan obat minum (pasien lupa nama dan bentuk obatnya), tetapi
tidak terdapat perbaikan.
Sejak 1,5 tahun SMRS keluhan bercak kecokelatan di perut dirasakan meluas
dan bertambah banyak, timbul benjolan kecokelatan di daerah perut dengan dasar
bercak kecokelatan teraba keras, serta bercak kecokelata pada lengan kanan. Pasien
kemudian berobat ke dokter Spesialis Kulit dan Kelamin (SpKK) di Purwakarta,
dikatakan menderita alergi, diberi obat oles berwarna putih, tidak lengket, dan tidak
berbau dalam kemasan pot yang dioles dua kali sehari. Pasien kontrol selama 5 kali,
tetapi kelainan kulit masih teraba keras. Lima bulan SMRS, pasien berobat ke
SpKK di Siloam Purwakarta, dikatakan menderita skleroderma lokal, mendapat
krim klobetasol propionat yang dioleskan dua kali sehari. Pasien kemudian dirujuk
ke RSHS untuk meneruskan pengobatan karena pasien melanjutkan pendidikan di
Bandung.
Keluhan baru pertama kali dialami pasien. Keluhan tidak disertai nyeri dan
kebiruan pada ujung-ujung jari tangan dan kaki bila udara dingin. Tidak terdapat
perubahan bentuk dan gangguan pergerakan pada jari-jari maupun sendi tangan dan
kaki. Keluhan tidak disertai adanya riwayat kaku pada bibir dan wajah, riwayat
tersedak saat makan atau minum, sesak nafas, jantung berdebar, gangguan buang
air besar maupun buang air kecil. Riwayat terjatuh, terkena benda keras, gesekan
atau garukan pada lokasi kelainan kulit sebelum timbulnya kelainan kulit tidak ada.
Riwayat terkena bahan kimia atau mendapat terapi sinar tidak ada. Riwayat
timbulnya bercak kemerahan pada kedua pipi bila terkena sinar matahari, sariawan
yang tidak terasa nyeri, atau buang air kecil menjadi keruh tidak ada. Riwayat
keluhan serupa pada keluarga tidak ada.

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum: kesadaran kompos mentis, tampak sakit ringan
Tensi : 120/70 mmHg Nadi : 80 x/menit
Respirasi : 20 x/menit Suhu : 36,3⁰C

3
Berat badan : 48 kg Tinggi badan : 158 cm
Indeks Massa Tubuh (IMT): 19,2 kg/m2 Status gizi : normoweight

Status Generalis
Kepala
Mata : konjungtiva anemis tidak ada, sklera ikterik tidak ada
Hidung : sekret tidak ada, pernafasan cuping hidung tidak ada
Mulut : kerut-kerut radial sekitar mulut tidak ada
mukosa mulut dan lidah: indurasi tidak ada
tonsil: T1-T1 tenang, hiperemis tidak ada
Wajah : hilangnya garis-garis wajah tidak ada, muka topeng tidak ada,
teleangiektasia tidak ada
Telinga : sekret tidak ada
Kulit : teraba keras pada kelainan kulit di lengan kanan dan perut
(lihat status dermatologikus)
Leher : tekanan vena jugularis tidak meningkat, retraksi tidak ada
Dada : bentuk dan pergerakan simetris
Paru-paru : vesicular breath sound normal, kanan = kiri
ronkhi tidak ada, wheezing tidak ada
Jantung : bunyi jantung murni reguler, murmur tidak ada
Perut : datar, lembut, bising usus normal
hati dan limpa tidak teraba membesar
Anggota gerak atas: Bentuk dan gerak simetris, akral hangat, edema tidak ada,
sianosis tidak ada, sklerodaktili tidak ada, kalsinosis tidak ada,
teleangiektasia tidak ada
Sendi-sendi: deformitas tidak ada
Anggota gerak bawah : Bentuk dan gerak simetris, akral hangat, edema tidak ada,
sianosis tidak ada, sklerodaktili tidak ada,
kalsinosis tidak ada, teleangiektasia tidak ada
Sendi-sendi: deformitas tidak ada
Kelenjar getah bening (KGB) leher, ketiak, lipat paha :

4
Inspeksi : tidak tampak membesar
Palpasi : tidak teraba membesar
Status dermatologikus: distribusi regioner
Pada perut dan lengan kanan tampak lesi multipel, sebagian konfluens, bentuk tidak
teratur, ukuran 1x1 cm hingga 12x4 cm, 01x1x0,2 cm hingga 1,2x1,2x0,1 cm, batas
tegas, sebagian tidak menimbul, kering, berupa makula hiperpigmentasi, nodul
hiperpigmentasi.
Pada palpasi sebagian besar lesi (lengan kanan bawah dan perut) teraba indurasi.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium darah:
Hemoglobin: 12 g/dL; hematokrit: 36.6 %; eritrosit: 3.80 juta/uL; leukosit:
5.830/mm3; trombosit: 273.000/mm3; MCV: 79.2 fL; MCH: 26 pg;
MCHC: 32.8 %; albumin: 3.0 g/dL; globulin: 2 g/dL; SGOT: 18 U/L;
SGPT: 16 U/L; kolesterol total: 179 mg/dL; kolesterol HDL 70 mg/dL;
kolesterol LDL 114 mg/dL; trigliserida 28 mg/dL; glukosa puasa 77 mg/dL;
SGOT 18 U/L; SGPT 16 U/L; ureum 16 mg/dL; kreatinin 0.62 mg/dL; PT 14 detik,
APTT 29.7 detik, INR 1.10.

RESUME
Seorang wanita, 20 tahun, mahasiswi, Sunda, Islam datang berobat ke divisi
Alergi Imunologi Poliklinik IKKK RSHS dengan keluhan utama timbul kelainan
kulit baru berupa bercak kecokelatan teraba keras pada lengan kanan atas yang tidak
terasa nyeri ataupun gatal. Dari anamnesis khusus didapatkan, sejak 2,5 tahun
SMRS timbul makula eritema seukuran koin yang kemudian teraba indurasi dan
menjadi makula hiperpigmentasi pada perut. Pasien berobat ke dokter umum di
Purwakarta, mendapat obat oles dan obat minum, tetapi tidak terdapat perbaikan.
Sejak 1,5 tahun SMRS, keluhan bertambah banyak hingga ke lengan kanan bawah
dan timbul nodul-nodul pada perut. Pasien berobat ke SpKK di Purwakarta,
mendapat obat oles racikan, kelainan kulit dirasakan tidak terdapat perbaikan. Lima
bulan SMRS pasien berobat ke SpKK di Siloam Purwakarta, dikatakan menderita

5
skleroderma lokal, mendapat obat oles, dan dirujuk ke RSHS untuk melanjutkan
pengobatan karena pasien melanjutkan pendidikan di Bandung. Sejak 4 bulan
SMRS pasien rutin berobat di RSHS, mendapat krim Daivonex® (kalsipotriol),
metotreksat 3x2,5 mg/minggu, dan asam folat setiap bulan. Dua minggu SMRS,
keluhan makula hiperpigmentasi bertambah banyak hingga ke lengan kanan atas.
Pasien baru pertama kali mengalami keluhan seperti ini. Komplikasi seperti
deformitas atau kontraktur pada jari-jari tangan tidak ada. Tanda dan gejala yang
mengarah adanya keterlibatan sklerosis sistemik tidak ada. Riwayat trauma, terkena
bahan kimia, radiasi sebelum timbul kelainan kulit tidak ada. Anamnesis yang
mengarah kutaneus lupus eritematosus tidak ada. Riwayat serupa pada keluarga
tidak ada. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital dan status generalis dalam
batas normal. Status dermatologikus didapatkan lesi dengan distribusi regioner.
Pada perut dan lengan kanan tampak lesi multipel, sebagian konfluens, bentuk tidak
teratur, ukuran 1x1 cm hingga 12x4 cm, 01x1x0,2 cm hingga 1,2x1,2x0,1 cm, batas
tegas, sebagian tidak menimbul, kering, berupa makula hiperpigmentasi, nodul.
Pada palpasi sebagian besar lesi (lengan kanan bawah dan perut) teraba indurasi.
Dari hasil pemeriksaan penunjang laboratorium darah dalam batas normal.

DIAGNOSIS BANDING
- Morfea tipe linear dan nodular
- Sklerosis sistemik

DIAGNOSIS KERJA
Morfea tipe linear dan nodular

USUL PEMERIKSAAN
- Biopsi untuk pemeriksaan histopatologis
- Pemeriksaan laboratorium darah: Antinuclear antibody (ANA), faktor
reumatoid

6
PENATALAKSANAAN
Umum:
- Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakitnya kemungkinan disebabkan
penyakit autoimun dan tidak menular
- Menjelaskan bahwa akan dilakukan pengambilan sedikit jaringan dari lesi
kulitnya untuk pemeriksaan histopatologis untuk membantu penegakan
diagnosis
Khusus:
Topikal
- Daivonex® (kalsipotriol) krim 2 kali sehari
Sistemik
- Metotreksat 3x2,5 mg/minggu
- Asam folat 1x5 mg/hari
- Tindakan biopsi untuk pemeriksaan histopatologis pada lengan kanan atas
- Amoksilin-asam klavulanat 3x625 mg/hari (pascabiopsi)

PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam

PENGAMATAN LANJUTAN
Pengamatan hari ke-7 (tanggal 15 Februari 2018)
S: Tidak terdapat kelainan kulit baru. Luka biopsi kering, tidak terdapat rembesan
darah atau nanah. Nyeri tidak ada
O: Status dermatologikus: belum terdapat perubahan
Pada lengan kanan atas tampak luka jahitan pascabiopsi berbentuk linear,
tertutup rapat, kering. Tidak terdapat pus, darah, atau krusta sanguinolenta.
A: Morfea tipe linear dan nodular
P: Terapi dilanjutkan

7
Pengamatan hari ke-35 (tanggal 15 Maret 2018)
S: Timbul kelainan kulit baru berupa bercak kemerahan teraba sedikit keras di
lengan kanan, punggung tangan kanan, tidak terasa nyeri atau gatal sejak 1
minggu lalu.
O: Status dermatologikus: distribusi regioner
Pada perut dan lengan kanan tampak lesi multipel, sebagian konfluens, bentuk
tidak teratur, ukuran 1x1 cm hingga 12x4 cm, 01x1x0,2 cm hingga 1,2x1,2x0,1
cm, batas tegas, sebagian tidak menimbul, kering, berupa makula eritema,
makula hiperpigmentasi, nodul hiperpigmentasi.
Pada palpasi sebagian besar lesi (lengan kanan bawah dan perut) teraba indurasi.
Hasil pemeriksaan histopatologis (tanggal 2 Maret 2018)
Nomor sediaan PB 181094
Sediaan kulit dilapisi epitel gepeng berlapis yang hiperkeratosis, ortokeratosis,
inti dalam batas normal. Dermis tampak stroma jaringan ikat yang mengalami
sklerosis luas, diantaranya tampak adneksa kulit yang mengalami atrofi
berserbukan sel limfosit.
Kesimpulan: morfea a/r lengan kanan atas
Pemeriksaan laboratorium darah:
Pola ANA: reaktif, pola nukleolar, titer 1:3200
Faktor reumatoid: reaktif
A: Morfea tipe plak linear dan nodular
P: - Azatioprin 2x50 mg/hari
- Metotreksat dan asam folat dihentikan
- Terapi lain dilanjutkan

Pengamatan hari ke-76 (tanggal 25 April 2018)


S: Tidak terdapat kelainan kulit baru. Kelainan kulit pada lengan kanan bawah
melunak. Kelainan kulit pada lokasi bekas pengambilan jaringan biopsi pada
lengan kanan atas menjadi benjolan kemerahan, dirasakan gatal sewaktu-waktu.
O: Status dermatologikus: belum terdapat perubahan

8
Hasil pemeriksaan histokimia Masson’s trichrome (MT)
Nomor sediaan H 180020
Positif pada kolagen, tampak bundle-bundle kolagen
Kesimpulan: sesuai dengan morfea
Pemeriksaan laboratorium darah:
Panel ANA: antigen RNP/Sm (-), Sm (-), SS-A native (-), Ro-52
recombinant (-), SS-B (-), Scl-70 (-), Jo-1 (-), Centromere B (-), PCNA (-),
dsDNA (-), Nucleosomes (-), Histones (-), protein Ribosomal-P (-),
AMA-M2 (-).
A: Morfea tipe linear dan nodular
P: - Betametason valerat 0,1% krim 2x/hari
- Terapi lain dilanjutkan

Pengamatan hari ke-105 (tanggal 24 Mei 2018)


S: Timbul kelainan kulit baru berupa bercak kecokelatan pada punggung kiri atas
dan benjolan kecokelatan di perut yang terasa gatal sejak 1 minggu lalu.
O: Status dermatologikus: distribusi regioner
Pada perut, lengan kanan, punggung tangan kanan, dan punggung kiri tampak
lesi multipel, sebagian konfluens, bentuk tidak teratur, ukuran 1x1 cm hingga
12x4 cm, 0,5x0,5x0,2 cm hingga 1x1x0,2 cm, batas tegas, sebagian tidak
menimbul, sebagian tidak menimbul, kering, berupa makula hiperpigmentasi,
nodul.
Pada palpasi sebagian besar lesi teraba indurasi.
A: Morfea tipe linear dan nodular
P: - Azatioprin 2x75 mg/hari
- Terapi lain dilanjutkan

Pengamatan hari ke-145 (tanggal 3 Juli 2018)


S: Tidak terdapat kelainan kulit baru. Bercak kecokelatan pada lengan kanan
bawah semakin samar. Bercak kecokelatan pada perut sebagian melunak.
O: Status dermatologikus: distribusi regioner

9
Pada perut, lengan kanan, punggung tangan kanan, dan punggung kiri tampak
lesi multipel, sebagian konfluens, bentuk tidak teratur, ukuran 1x1 cm hingga
12x4 cm, 0,5x0,5x0,2 cm hingga 1x1x0,2 cm, batas tegas, sebagian tidak
menimbul, sebagian tidak menimbul, kering, berupa makula hiperpigmentasi,
nodul.
Pada palpasi lesi nodul teraba indurasi.
A: Morfea tipe linear dan nodular
P: Terapi dilanjutkan

DIAGNOSIS AKHIR
Morfea tipe linear dan nodular

PEMBICARAAN
Perjalanan penyakit morfea terdiri dari tiga fase yaitu fase inflamasi, sklerosis,
dan atrofi.5 Fase inflamasi diawali dengan timbulnya bercak atau plak eritema,
menjadi plak hipopigmentasi sklerosis pada bagian tengah lesi yang dikelilingi
batas eritema atau keunguan (lilac ring), dapat disertai nyeri dan atau gatal.3,5 Fase
sklerosis ditandai dengan lesi hiperpigmentasi disertai sklerosis yang meluas dan
hilangnya folikel rambut sehingga timbul alopesia.5 Dalam hitungan bulan atau
tahun terjadi fase atrofi yang ditandai dengan adanya plak sklerosis yang melunak
menjadi atrofi dengan hipopigmentasi atau hiperpigmentasi.3,5
Morfea tipe linear dapat dibagi menjadi dua varian berdasarkan letak
anatomisnya yaitu ekstremitas/batang tubuh (morfea linear, morfea linear atrofi
profunda, linear atrophoderma of Moulin) dan kepala/leher (morfea en coup de
sabre, progressive hemifacial atrophy atau sindroma Parry-Romberg1,2).3 Varian
ekstremitas/batang tubuh dua kali lebih sering ditemukan (54-65%) dibandingkan
kepala/leher (23-35%), dengan 95% kasus unilateral.3,4 Komplikasi yang timbul
meliputi kelemahan otot dan atrofi pada ekstremitas akibat proses penyakit yang
mengenai hingga ke fasia, otot, atau tendon.2,4 Kontraktur terjadi pada morfea linear
yang melewati sendi-sendi,4 sedangkan deformitas timbul akibat proses penyakit
yang berlanjut hingga ke struktur tulang.5 Morfea tipe plak mengenai dua atau lebih

10
regio, dapat dibagi menjadi morfea plak, morfea gutata, atrophoderma of Pasini-
Pierini, liken sklerosus, dan morfea nodular.1,3
Berbeda dengan sklerosis sistemik, morfea umumnya tidak melibatkan organ
dalam, sehingga memiliki prognosis yang lebih baik.3,7,8 Sklerodaktili ditemukan
pada 95% kasus sklerosis sistemik, sedangkan fenomena Raynaud sebanyak 90%.9
Kriteria yang digunakan untuk menegakkan diagnosis sklerosis sistemik adalah The
American College of Rheumatology/European League Against Rheumatism
(ACR/EULAR) 2013.10 Kasus sklerosis sistemik pada anak < 16 tahun dapat
ditegakkan berdasarkan kriteria Zulian, yang memiliki sensitivitas 90% dan
spesifisitas 96%.8 Kriteria ACR/EULAR menggunakan metode kualitatif,
diagnosis sklerosis sistemik ditegakkan bila total nilai ≥9 (lampiran I).10 Menurut
Zulian pada tahun 2008, untuk menegakkan diagnosis sklerosis sistemik diperlukan
satu kriteria mayor yaitu sklerodaktili, dan minimal dua kriteria minor berupa
fenomena Raynaud, perubahan kapiler pada lipatan kuku, ulkus pada ujung jari,
disfagia, refluks gastroesofageal, aritmia, gagal jantung, fibrosis paru, penurunan
kapasitas paru, tendon friction rubs, artritis, myositis, neuropati, sindroma Carpal
tunnel, tes ANA positif, dan autoantibodi selektif sistemik sklerosis (anti-
topoisomerase I, anti-PM-Scl, anti-centromere).8 Tidak ditemukannya sklerodaktili
dan atau fenomena Raynaud dapat menyingkirkan kemungkinan sklerosis
sistemik.8
Pasien pada laporan kasus ini memiliki lesi awal berupa makula hiperpigmentasi
dan nodul hiperpigmentasi pada perut, bertambah banyak hingga ke lengan kanan,
punggung tangan kanan, dan punggung kiri yang sebagian teraba keras. Makula
hiperpigmentasi pada lengan kanan terlihat mengikuti garis Blaschko. Nodul-nodul
hiperpigmentasi pada perut sebagian berada pada dasar makula hiperpigmentasi,
sebagian lagi pada dasar kulit normal. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
pada pasien ini sesuai dengan gambaran morfea, terutama morfea tipe linear dan
tipe nodular. Tidak didapatkan komplikasi seperti kelemahan otot, deformitas,
ataupun kontraktur. Kriteria sklerosis sistemik menurut ACR/EULAR pada pasien
ini tidak terpenuhi, karena tidak ditemukan adanya penebalan pada jari-jari tangan
dari proksimal hingga ke sendi metakarpopalangeal, sklerodaktili, fenomena

11
Raynaud, ulkus pada ujung jari, mudah sesak apabila berjalan jauh, serta antibodi
terkait sklerosis sistemik, sehingga diagnosis sklerosis sistemik dapat disingkirkan.
Etiologi morfea sampai saat ini masih belum diketahui.1 Beberapa faktor yang
diduga menjadi pencetus terbentuknya morfea antara lain trauma, radiasi, obat-obat
(bisoprolol, bleomisin, D-penisilamin, bromokriptin), infeksi Borelia, dan
Citomegalovirus (CMV).1,6,12 Prinz dkk.,11 secara retrospektif melaporkan adanya
kaitan antara titer ANA positif (rata-rata 1:5120) dengan hasil serologis Borelia
positif pada pasien-pasien morfea dengan onset kurang dari 26 tahun. Selain infeksi
Borelia, CMV diketahui memiliki kemampuan merusak sel-sel endotelial,
merangsang makrofag dan meningkatkan ekspresi Transforming growth factor
(TGF)-β yang berperan pada patogenesis morfea.11 Mattozzi dkk.,1 melaporkan
morfea yang timbul setelah pemberian terapi TNF (tumor necrosis factor)-α
inhibitor. Morfea juga ditemukan terjadi bersamaan dengan penyakit autoimun lain
seperti vitiligo, diabetes melitus tipe I, tiroiditis Hashimoto, penyakit Graves, dan
kolitis ulseratif pada 2-5% anak dengan morfea.11 Psoriasis ditemukan bersamaan
dengan 30% kasus morfea pada dewasa, berdasarkan penelitian yang dilakukan
Leitenberger dkk.11 Penyakit autoimun lain yang dilaporkan timbul pada pasien
morfea adalah alopesia areata, multipel sklerosis, lupus eritematosus sistemik, dan
sindroma antifosfolipid.3 Pengaruh genetik pada morfea tidak jelas, hanya 1,6%
kasus diketahui memiliki riwayat keluarga dengan morfea,12 diduga terkait Human
leukocyte antigen (HLA) klas II alel DRB1*04:04 dan klas I alel HLA-B*37.13
Patogenesis morfea diduga terjadi karena adanya gangguan vaskular, gangguan
sistim imun, disregulasi serta perubahan metabolisme kolagen dan fibroblas.1
Kerusakan vaskular terjadi sejak awal penyakit, terutama pada kapiler dan arteriol
kecil dengan diameter 50-500 mikron, berupa peningkatan ekspresi molekul adesi
dan pembengkakan endotel,1 diikuti penebalan membran basal serta hiperplasia
tunika intima.2 Hal ini terbukti dengan meningkatnya kadar vascular cell adhesion
molecule-1 (VCAM-1) dan E-selectin pada serum 10% pasien morfea tipe linear
dan plak, serta 1/3 pasien morfea generalisata pada penelitian yang dilakukan
Yamane dkk.,1 tahun 2000. Pada serum pasien morfea juga ditemukan peningkatan
sitokin-sitokin seperti IL-4, IL-13, Il-2, IL-6, dan IL-8.13 IL-4 dan IL-6 diketahui

12
berperan dalam peningkatan produksi kolagen oleh fibroblas.1 TGF-β memiliki
peranan penting pada patogenesis morfea dan sklerosis sistemik dengan efek
meningkatkan produksi kolagen serta inhibisi degradasi matriks,1,13 tetapi penyebab
meningkatnya produksi TGF-β yang berlebihan pada morfea masih belum diketahui
dengan jelas.13 Pada kasus ini tidak ditemukan adanya riwayat trauma, radiasi atau
terkena bahan kimia, konsumi obat-obat tertentu, riwayat keluhan serupa pada
anggota keluarga. Namun, riwayat trauma yang tidak disadari masih bisa menjadi
pertimbangan sebagai faktor pencetus.
Sebanyak 18%3 hingga 80%1 pasien morfea memiliki titer ANA positif,
umumnya dijumpai pada kasus morfea tipe generalisata, campuran, dan tipe linear,
dengan dominasi pola speckled (81% kasus), homogenous, dan nucleolar.1 Kadar
antibodi single stranded Deoxyribonucleic acid (ssDNA) dan antibodi anti-histone
menunjukkan derajat keparahan morfea tipe linear, sedangkan anti-Scl 70
(polymerase III) dan antibodi anti-centromere relatif jarang ditemukan.1 Falanga
dkk.,1 melakukan penelitian terhadap 53 kasus morfea tipe linear dan generalisata,
didapatkan adanya 50% hipergamaglobulinemia poliklonal dan 26% faktor
reumatoid positif, keduanya dianggap memiliki korelasi terhadap fase aktif
penyakit morfea.
Pemeriksaan histopatologis merupakan gold standard dalam menegakkan
diagnosis morfea.4 Pada fase inflamasi awal, lapisan epidermis tampak normal atau
akantotik ringan, disertai infiltrasi limfosit, sel plasma, histiosit, dan sel mast pada
lapisan dermis, jaringan lemak subkutan, serta sekitar kelenjar ekrin.1 Kolagen pada
retikular dermis mulai menebal, dan lemak subkutan digantikan oleh wavy fibers
dari kolagen yang baru terbentuk, sedangkan pada pembuluh darah vaskuler terjadi
perubahan berupa pembengkakan endotel dan edema pada dinding pembuluh
darah.1 Pada fase sklerotik hanya ditemukan sedikit inflamasi dengan kolagen pada
retikular dermis menebal, lebih eosinofilik, serta berkurangnya apendiks dan
pembuluh darah.1 Fasia dan otot tampak fibrosis dan sklerosis.1
Pada laporan kasus ini ditemukan hasil laboratorium ANA dan faktor reumatoid
positif. Dari pemeriksaan histopatologis pada sediaan kulit dilapisi epitel gepeng
berlapis yang hiperkeratosis, ortokeratosis, inti dalam batas normal. Dermis tampak

13
stroma jaringan ikat yang mengalami sklerosis luas, diantaranya tampak adneksa
kulit yang mengalami atrofi berserbukan sel limfosit. Pewarnaan Masson’s
Trichrome positif pada kolagen dan tampak bundle-bundle kolagen. Sehingga
berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium darah dan histopatologis pada pasien
ini menunjang diagnosis kerja morfea.
Hingga saat ini berbagai modalitas terapi digunakan untuk mengatasi morfea,
meliputi terapi topikal, agen imunosupresi, dan fototerapi, tetapi belum didapatkan
hasil yang memuaskan.12 Prinsip dasar terapi morfea ditujukan pada fase aktif
penyakit, dengan harapan dapat menstabilkan lesi yang telah ada sebelumnya serta
mencegah timbulnya lesi baru.11 Kalsipotriol topikal yang digunakan sebagai agen
tunggal atau kombinasi dengan betametason dipropionat efektif pada kasus morfea
superfisial.6 Penelitian yang dilakukan Cunningham dkk.,14 terhadap 12 pasien
berusia 12 hingga 38 tahun dengan morfea linear, pemberian kalsipotrien dua kali
sehari dapat mengurangi eritema, teleangiektasi, dan dispigmentasi setelah satu
bulan pemakaian, dan terdapat 40% perbaikan dengan plak yang signifikan
melunak setelah tiga bulan pemakaian.14 Reseptor 1,25 dihidroksivitamin D3
ditemukan pada fibroblas dermis, keratinosit, limfosit, dan sel dendritik.1
Kalsipotriol diduga memiliki efek supresi fungsi sel T yang teraktivasi,14
mengurangi produksi sitokin IL-2 dan Interferon (IFN)-γ, serta mengaktifkan sel T
regulator, sehingga menyebabkan inhibisi pertumbuhan fibroblas dan produksi
kolagen.1,14 Kombinasi kalsipotriol dan betametason dipropionat diketahui
memiliki efikasi dua kali lipat dalam menghambat proliferasi fibroblas dan sebagai
imunomodulator, sehingga mengurangi fibrosis dan inflamasi.15
Diantara berbagai pilihan terapi sistemik, MTX memiliki efikasi yang baik
dalam pengobatan morfea.6 MTX merupakan analog asam folat yang menghambat
enzim-enzim folat yang terlibat pada sintesis deoxyribonucleic acid (DNA),
ribonucleic acid (RNA), dan sintesis protein.16 MTX bekerja dengan menghambat
produksi matriks ekstraselular fibroblas, meningkatkan produksi glikosaminoglikan
oleh fibroblas, serta memiliki efek antiinflamasi sehingga terjadi penurunan
produksi sitokin-sitokin IL-1, IL-6, IL-2, IL-8, dan TNF-α.1,16 Penelitian
restrospektif terbesar pasien dengan sklerosis yang diterapi dengan MTX sebagai

14
terapi tunggal atau dikombinasikan dengan kortikosteroid, dilakukan oleh Kroft
dkk.,17 pada tahun 2009 terhadap 58 pasien sklerosis dengan 49 pasien diantaranya
adalah morfea. Pasien yang mendapatkan dosis kumulatif rendah (MTX 15
mg/minggu) diketahui relaps, dibandingkan dengan pasien yang mencapai status
remisi pada pemberian dosis kumulatif maksimal (MTX 25 mg/minggu), hal ini
menunjukkan kemungkinan peranan dosis kumulatif MTX dalam mencapai
remisi.1,17 Azatioprin merupakan bentuk aktif dari 6-mercaptopurine (6-MP), yang
secara de novo mengurangi sintesis purin, menurunkan proliferasi sel, dan
digunakan sebagai alternatif terapi yang rekalsitrans atau tidak berespons dengan
terapi lain.6 Dosis azatioprin pada kasus skleroderma 2-3 mg/kg/hari.6 Pasien pada
laporan kasus ini awalnya mendapat terapi MTX 7.5 mg/minggu. Setelah 4 bulan
dilakukan follow up, ditemukan lesi baru, sehingga terapi diganti menjadi azatioprin
2mg/kg/hari dikarenakan tidak tersedianya metotreksat saat itu. Dua bulan setelah
pemberian azatioprin 2mg/kg/hari, timbul kelainan kulit baru, sehingga dosis
dinaikkan menjadi 3mg/kg/hari. Empat puluh hari pengamatan setelah peningkatan
dosis azatioprin menjadi 3mg/kg/hari, tidak didapatkan lesi baru. Sebagian lesi
teraba melunak.
Morfea bukan merupakan penyakit yang mengancam jiwa, dan pada penelitian
yang dilakukan di Olmsted County, Minnesota, tidak terdapat perbedaan signifikan
pada survival rate pasien morfea dengan populasi umum,2 sehingga prognosis quo
ad vitam pada pasien ini ad bonam. Penyembuhan lesi pada morfea dapat
meninggalkan gejala sisa berupa hipopigmentasi, hiperpigmentasi, atau atrofi,
sehingga quo ad functionam dubia ad malam.4 Aktivitas klinis morfea umumnya
berlangsung selama 3-5 tahun.4 Pasien ini telah mengalami kelainan kulit selama
2,5 tahun, sehingga dalam 6 bulan hingga 2,5 tahun mendatang masih terdapat
kemungkinan timbul lesi kulit baru. Atas dasar hal tersebut, maka prognosis quo ad
sanationam pada pasien ini dubia ad malam.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kellet CV, Orteu CH, Dutz JP. Localized Scleroderma. Dalam: Hertl M,
penyunting. Autoimmune Diseases of the Skin. Edisi ke-3. New York:
Springer;2011. Hlm. 137-60.

15
2. Rocken M, Ghoreschi K. Morphea and lichen sclerosus. Dalam: Bolognia JL,
Jorizzo JL, Schaffer JV, Penyunting. Dermatology. Edisi ke-3. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2012. Hlm. 657-63.

3. Orteu CH. Morphoea and Allied Scarring and Sclerosing Inflammatory


Dermatoses. Dalam: Griffiths CE, Barker J, Bleiker T, Chaimers R, Creamer D,
penyunting. Rook’s Textbook of Dermatology. Edisi ke-9. West Sussex: Willey
Blackwell; 2016. Hlm. 57.1-29.

4. Peterson LS, Nelson AM, Su WP. Classification of morphea (localized


scleroderma). Mayo Clin Proc. 1995;70(11):1068-76.

5. Saxton-Daniels S, Jacobe HT. Morphea. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI,


Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, Penyunting. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw Hill; 2012.
Hlm. 692-701.

6. Parodi A. Morphea (Localized Scleroderma). Dalam: Katsambas AD, Lotti TM,


Dessinioti C, D’Erme AM, penyunting. European Handbook of Dermatological
Treatments. Edisi ke-3. New York: Springer; 2015. Hlm. 637-42.

7. Fett N, Werth VP. Update on morphea: part I. Epidemiology, clinical


presentation, and pathogenesis. J Am Acad Dermatol. 2011;64(2):217-28.

8. Paller AS, Mancini AJ. Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology: a textbook of


skin disorders of childhood and adolescence. Edisi ke-4.
Edinburgh:Elsevier;2011. Hlm. 514-7.

9. Hunzelmann N, Krieg T. Progressive Systemic Scleroderma. Dalam: Hertl M,


penyunting. Autoimmune Diseases of the Skin. Edisi ke-3. New York:
Springer;2011. Hlm. 173-91.

10. Van den Hoogen F, Khanna D, Fransen J, Johnson SR, Baron M, Tyndall A,
dkk. 2013 classification criteria for systemic sclerosis: an American college of
rheumatology/European league against rheumatism collaborative initiative.
Ann Rheum Dis. 2013;72(11):1747-55.

11. Fett NM. Morphea: evidence-based recommendations for treatment. Indian J


Dermatol Venereol Leprol. 2012;78(2):135-41.

12. Careta MF. Localized scleroderma: clinical spectrum and therapeutic update.
An Bras Dermatol. 2015;90(1):62-73.

16
13. Mertens JS, Seyger MMB, Thurlings RM, Radstake TRDJ, de Jong EMGJ.
Morphea and eosinophilic fasciitis: an unpdate. Am J Clin Dermatol.
2017;18(4):491-512.

14. Tay YK. Topical calcipotriol ointment in the treatment of morphea. J Dermatol
Treat. 2003;14(4):219-21.

15. Dytoc MT, Kossintseva I, Ting PT. First case series on the use of calcipotriol-
bethametasone dipropionate for morphoea. Br J Dermatol. 2007;157(3):615-8.

16. Seyger MM, van den Hoogen FH, de Boo T, de Jong EM. Low-dose
methotrexate in the treatment of widespread morphea. J Am Acad Dermatol.
1998;39(2):220-5

17. Kroft EB, Creemers MC, Van den Hoogen FH, Boezeman JB, de Jong EM.
Effectiveness, side-effects and period of remission after treatment with
methotrexate in localized scleroderma and related sclerotic skin diseases: an
inception cohort study. Br J Dermatol. 2009;160(5):1057-82.

18. Hansen CB, Callen JP. Connective tissue panniculitis: lupus panniculitis,
dermatomyositis, morphea/scleroderma. Dermatol Ther. 2010;23(4):341-9.

17
LAMPIRAN 1
Kriteria Klasifikasi Sklerosis Sistemik The American College of
Rheumatology/European League Against Rheumatism (ACR/EULAR)
Item Sub-item Skor
Penebalan kulit pada jari-jari kedua tangan dari sendi - 9
proksimal hingga sendi metakarpopalangeal (sufficient
criteria)

Penebalan kulit pada jari-jari Puffy fingers 2


Sklerodaktili jari-jari 4

Lesi ujung jari Ulkus ujung jari 2


Skar pitting ujung jari 3

Teleangiektasia - 2

Perubahan kapiler lipatan kuku - 2

Hipertensi arteri pulmonar dan atau penyakit paru-paru Hipertensi arteri pulmonar 2
interstitial Penyakit paru-paru 2
interstitial

Fenomena Raynaud - 3

Autoantibodi terkait sklerosis sistemik (anti- Anti-centromere 3


centromere, anti-topoisomerase I [anti-Scl-70], anti- Anti-topoisomerase I
RNA polymerase III) Anti-RNA polymerase III

18

Anda mungkin juga menyukai