Bab 1
Bab 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Pada pasien dengan kasus sindrom nefrotik (Nefrosis), gejala paling mencolok adalah
albuminuria (>3,5 g/hari). Akibatnya terjadi hipoalbuminemia,yang berakibat terjadinya edema
generalisata (anasarka). Hilangnya protein akibat meningkatnya permeabilitas membran basal
glomerulus. Nefrosis dapat menyebabkan glomerulonefritis, namun kebanyakan tidak diketahui
penyebabnya.
Sindrom nefrotik merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis ditandai
dengan edema anasarka, proteinuria masif ≥3,5% g/hari, hipoalbuminemia <3,5% g/dl,
hiperkolesterolemia, dan lipiduria. Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak
semua gejala tersebut harus ditemukan. Proteinuria masif merupakan tanda khas SN, tetapi pada
SN berat yang disertai kadar albumin serum rendah ekskresi protein dalam urine juga berkurang.
Proteinuria juga berkontribusi terhadap berbagai komplikasi yang terjadi pada SN.
Hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan lipiduria,gangguan keseimbangan nitrogen,
hiperkoagulabilitas, gangguan metabolisme kalsium dan tulang, serta hormon tiroid sering dijumpai pada
SN. Umumnya pada SN fungsi ginjal normal kecuali sebagian kasus yang berkembang menjadi Penyakit
Ginjal Tahap akhir (PGTA). Pada beberapa episode SN dapat sembuh sendiri dan menunjukkan
respons yang baik terhadap terapi steroid, tetapi sebagian lain dapat berkembang menjadi kronik.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa konsep dasar nefrotik sindrome ?
2. Bagaimana patofisisologi nefrotik sindrome?
3. Apa etiologi dari nefrotik sindrome?
4. Apa tanda dan gejala klinis nefrotik sindrome ?
5. Apa pemeriksaan penunjang nefrotik sindrome ?
6. Bagaimana penatalaksanaan medis nefrotik sindrome ?
7. Bagaimana askep pada kasus nefrotik sindrome?
1.4 Manfaat
1. Bagi Penulis
Memperluas wawasan penulis tentang masalah yang dikaji di makalah.
2. Bagi Pembaca
Dapat dijadikan sebagai acuan, referensi, informasi dan wawasan teoritis dalam
penyusunan makalah selanjutnya. Sehingga analisa dapat lebih baik, khususnya pada
topik dan permasalahan ini.
PEMBAHASAN
Sindrom nefrotik adalah keluarnya protein 3,5 gram atau lebihmelalui urine per hari.
(Elizabeth J. Corwin : 2009 hal 708)
Nefrotik sindrom adalah gangguan klinis yang ditandai dengan peningkatan protein urine
(proteinuria), edema, penurunan albumin dalam darah (hipoalbuminemia), dan kelebihan
lipid dalam darah (hiperlipidemia). Kejadian ini diakibatkan oleh kelebihan pecahan plasma protein ke dalam urine
karena peningkatan permeabilitas membran kapiler
glomerulus.(Evanjh.ilmukeperawatanku.com.2011)
Albumin plasma
edema Renin-angiotensin
Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan sekunder akibat
infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung (connective tissue disease), obat atau
toksin, dan akibat penyakit sistemik.
Klasifikasi dan penyebab sindrom nefrotik didasarkan pada penyebab primer (
gangguan glomerular karena umur), dan sekunder (penyebab sindrome nefrotik).
a. Penyebab Primer
Umumnya tidak diketahui kausnya dan terdiri atas sindrome nefrotik idiopatik (SNI)
atau yang sering disebut juga SN primer yang bila berdasarkan gambaran dari
histopatologinya, dapat terbagi menjadi ;
1. Sindroma nefrotik kelainan minimal
2. Nefropati membranosa
3. Glomerulonephritis proliferative membranosa
4. Glomerulonephritis stadium lanjut
b. Penyebab Sekunder
a. Infeksi : malaria, hepatitis B dan C, GNA pasc infeksi, HIV, sifilis, TB, lepra,
skistosoma
b. Keganasan : leukemia, Hodgkin’s disease, adenokarsinoma :paru, payudara, colon,
myeloma multiple, karsinoma ginjal
c. Jaringan penghubung : SLE, artritis rheumatoid, MCTD (mixed connective tissue
disease)
d. Metabolik : Diabetes militus, amylodosis
e. Efek obat dan toksin : OAINS, preparat emas, penisilinami, probenesid, kaptopril,
heroin
f. Berdasarkan respon steroid, dibedakan respon terhadap steroid (sindrom nefrotik yang
sensitive terhadap steroid (SNSS) yang lazimnya berupa kelainan minimal, tidak perlu
biopsy), dan resisten steroid atau SNRS yang lazimnya bukan kelainan minimal dan
memerlukan biopsy.
Selain kandungan protein dalam urine, ada beberapa gejala dan perubahan fisik yang
dapat mengindikasikan sindrom nefrotik. Di antaranya adalah:
Berkurangnya kadar protein dalam darah akan memperlambat aliran air dari
jaringan tubuh untuk masuk ke pembuluh darah. Akibatnya, air akan menumpuk di
jaringan tubuh dan menyebabkan pembengkakan, terutama di sekitar mata,
pergelangan kaki, dan kaki. Penumpukan ini juga dapat memicu kenaikan berat
badan.
Karena mengandung protein yang tinggi, urine biasanya akan berbuih. Selain
itu, anak yang menderita sindrom nefrotik seringkali mengalami penurunan jumlah
dan frekuensi berkemih.
Antibodi merupakan salah satu jenis protein dalam darah yang berfungsi
untuk melawan infeksi. Apabila jumlah protein dalam darah menurun, antibodi juga
akan berkurang jumlahnya sehingga penderitanya akan lebih rentan untuk mengalami
infeksi.
Pembekuan darah.
Ginjal merupakan salah satu organ penting yang berfungsi untuk mengatur
tekanan darah dalam tubuh. Gangguan pada ginjal akan berisiko untuk meningkatkan
Sindrom nefrotik juga terdapat gejala-gejala sampingan lainnya seperti mudah lelah,
nafsu makan menurun, muntah dan diare, serta penyusutan otot dan perubahan warna kulit
menjadi putih (leukonychia).
1. Tanda paling umum adalah peningkatan cairan di dalam tubuh, diantaranya adalah:
a) Edema periorbital, yang tampak pada pagi hari.
b) Pitting, yaitu edema (penumpukan cairan) pada kaki bagian atas.
c) Penumpukan cairan pada rongga pleura yang menyebabkan efusi pleura.
d) Penumpukan cairan pada rongga peritoneal yang menyebabkan asites.
e) Hipertensi (jarang terjadi), karena penurunan voulume intravaskuler yang
mengakibatkan menurunnya tekanan perfusi renal yang mengaktifkan sistem renin
angiotensin yang akan meningkatkan konstriksi pembuluh darah.
2. Beberapa pasien mungkin mengalami dimana urin berbusa, akibat penumpukan
tekanan permukaan akibat proteinuria.
3. Hematuri
4. Oliguri (tidak umum terjadi pada nefrotik sindrom), terjadi karena penurunan volume
cairan vaskuler yang menstimulli sistem renin-angio-tensin, yang mengakibatkan
disekresinya hormon anti diuretik (ADH)
5. Malaise
6. Sakit kepala
7. Mual, anoreksi
8. Irritabilitas
9. Keletihan
1. Laboratorium
a) Pemeriksaan sampel urin
Pemeriksaan sampel urin menunjukkan adanya proteinuri (adanya
protein di dalam urin).
Urinalisis
Urinalisis adalah tes awal diagnosis sindromk nefrotik.Proteinuria berkisar 3+
atau 4+ pada pembacaan dipstik, atau melalui tes semikuantitatif dengan asam
sulfosalisilat.3+ menandakan kandungan protein urin sebesar 300 mg/dL atau lebih,
yang artinya 3g/dL atau lebih yang masuk dalam nephrotic range.
Pemeriksaan sedimen akan memberikan gambaran oval fat bodies: epitel sel
yang mengandung butir-butir lemak, kadang-kadang dijumpai eritrosit, leukosit, torak
hialin dan torak eritrosit.
Pengukuran protein urin
Pengukuran protein urin dilakukan melalui timed collection atau single spot
collection. Timed collection dilakukan melalui pengumpulan urin 24 jam, mulai dari
jam 7 pagi hingga waktu yang sama keesokan harinya. Pada individu sehat, total
protein urin ≤ 150 mg. Adanya proteinuria masif merupakan kriteria diagnosis. Single
spot collection lebih mudah dilakukan. Saat rasio protein urin dan kreatinin > 2g/g, ini
mengarahkan pada kadar protein urin per hari sebanyak ≥ 3g.
b) Pemeriksaan darah
Hipoalbuminemia dimana kadar albumin kurang dari 30 gram/liter.
Hiperkolesterolemia (kadar kolesterol darah meningkat), khususnya
peningkatan Low Density Lipoprotein (LDL), yang secara umum
bersamaan dengan peningkatan VLDL
Pemeriksaan elektrolit, ureum dan kreatinin, yang berguna untuk
mengetahui fungsi ginjal
2. Pemeriksaan lain
Pemeriksaan lebih lanjut perlu dilakukan apabila penyebabnya belum diketahui secara
jelas, yaitu:
a. Biopsi ginjal (jarang dilakukan pada anak-anak ).
Biopsi ginjal diindikasikan pada anak dengan SN congenital, onset usia> 8
tahun, resisten steroid, dependen steroid atau frequent relaps, serta terdapat
manifestasi nefritik signifikan.Pada SN dewasa yang tidak diketahui asalnya, biopsy
mungkin diperlukan untuk diagnosis.Penegakan diagnosis patologi penting dilakukan
karena masing-masing tipe memiliki pengobatan dan prognosis yang berbeda.
Penting untuk membedakan minimal-change disease pada dewasa dengan
glomerulosklerosisfokal, karena minimal-change disease memiliki respon yang lebih
baik terhadap steroid.
b. Pemeriksaan penanda Auto-immune (ANA, ASOT, C3, cryoglobulins, serum
electrophoresis).
c. Albumin serum
- kualitatif : ++ sampai ++++
- kuantitatif :> 50 mg/kgBB/hari (diperiksa dengan memakai reagen ESBACH)
d. Pemeriksaan serologis untuk infeksi dan kelainan imunologis
e. USG renal
Terdapat tanda-tanda glomerulonefritis kronik
a) Menjaga pasien dalam keadaan tirah baring selama beberapa hari mungkin diperlukan
untuk meningkatkan diuresis guna mengurangi edema.
b) Masukan protein ditingkatkan untuk menggantikan protein yang hilang dalam urine dan
untuk membentuk cadangan protein ditubuh.
c) Jika edema berat, pasien diberikan diet rendah natrium.
d) Diuretik diresepkan untuk pasien dengan edema berat dan adrenokortikosteroid
(prednison) digunakan untuk mengurangi proteinuria.
e) Medikasi lain yang digunakan dalam penanganan sindromnefrotik mencakup
agens antineoplastik (Cytoxan) atau agens imuno supresif (Imuran, Leukeran, atau
siklosporin). Jika terjadi kambuh, penanganan kortikosteroid ulang diperlukan.
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit
dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit,
penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua.
Diitetik
Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop diuretic
seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton
(antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik,
perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu
perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah.
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena
hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/ dL), dapat diberikan infus albumin 20-25%
dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan
diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu dari
segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk
mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin
dapat diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah
overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan dapat
dilakukan pungsi asites berulang. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan
plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya
komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-
sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila
Imunisasi
Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2 mg/kgbb/ hari atau
total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien imunokompromais.11 Pasien
SN dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah obat dihentikan hanya boleh diberikan
vaksin virus mati, seperti IPV (inactivated polio vaccine). Setelah penghentian prednison
selama 6 minggu dapat diberikan vaksin virus hidup, seperti polio oral, campak, MMR,
varisela. Semua anak dengan SN sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap
infeksi pneumokokus dan varisela.
Tinjaun Askep
4.1 Pengkajian
No Intervensi Rasional
1 Awasi denyut jantung, TD, dan Takikardi dan hipertensi terjadi karena : Kegagalan
CVP ginjal dalam mengeluarkan urine, pembatasan
cairan berlebihan selama mengobati hipovolemia/
hipotensi , perubahan pada sistem renin-
angiotensin.
2 Catat pemasukan dan pengeluaran Perlu untuk menentukan fungsi ginjal, kebutuhan
akurat.Termasuk penggantian cairan, dan penurunan risiko
cairan” tersembunyi” seperti aditif kelebihan cairan
antibiotik.
Ukur kehilangan GI dan
perkirakan kehilangan tak kasat
mata, contoh berkeringat. Awasi
berat jenis urine.
No Intervensi Rasional
1 Berikan makanan sedikit tapi sering Meminimalkan anoreksia dan mual sehubungan
dengan status uremik/ menurunnya peristaltik
2 Timbang berat badan tiap hari Pasien puasa / katabolik akan segera normal
kehilangan 0,2 – 0,5 kg dapat menunjukan
perpindahan keseimbangan cairan
3 Berikan pasien/ orang terdekat daftar Memberikan pasien tindakan kontrol dalam
makanan/ cairan yang diizinkan dan pembatasan diet. Makanan dari rumah dapat
dorong terlibat pada pilihan menu meningkatkan nafsu makan
4 Kaji / catat pemasukan diet Membantu dalam mengidentifikasi defisiensi
dan kebutuhan diet. Kondisi fisik umum, gejala
uremik( mual, muntah, anoreksia), dan
pembatasan diet multipel mempengaruhi
pemasukan makanan
5 Kolaborasi: Konsul dengan ahli gizi/ Menentukan kalori individu dan kebutuhan
tim pendukung nutrisi nutrisi dalam pembatasan, dan mengidentifikasi
No Intervensi Rasional
1 Kaji ulang rencana diet/ Nutrisi adekuat perlu untuk meningkatkan
pembatasan. Termasuk lembar penyembuhan / regenerasi jaringan dan
daftar makanan yang dibatasi kepatuhan pada pembatasan dapat mencegah
komplikasi
2 Dorong pasien untuk mengobservasi Perubahan dapat menunjukan gangguan fungsi
karakteristik urine dan jumlah/ ginjal/ kebutuhan dialysis
frekuensi pengeluaran
3 Diskusikan/ kaji ulang pengguanaan Obat yang terkonsentrasi/ dikeluarkan oleh
obat. Dorong pasien untuk ginjal dapat menyebabkan reaksi toksik
mendiskusikan semua obat( termasuk kumulatif dan/ atau kerusakan permanen pada
obat dijual bebas) dengan dokter ginjal
4 Tekankan perlunya perawatan Fungsi ginjal dapat lambat sampai gagal akut(
evaluasi, pemeriksaan laboratorium sampai 12 bulan) dan defisit dapat menetap,
memerlukan perubahan dalam terapi untuk
menghindari kekambuhan/ komplikasi
No Intervensi Rasional
1 Tingkatkan cuci tangan yang baik Menurunkan risiko kontaminasi silang
pada pasien dan staf
2 Hindari prosedur invansif, Membatsi introduksi bakteri ke dalam
instrumen, dan manipulasi kateter tubuh. Deteksi dini/ pengobatan
tak menetap, kapanpun mungkin, terjadinya infeksi dapat mencegah sepsis
gunakan teknik aseptik bila
merawat / memanipulasi IV / area
invansif. Ubah sisi/ balutan
protokol. Perhatikan edema,
drainase purulen
3 Dorong nafas dalam, batuk dan Mencegah atelektasis dan memobilisasi
pengubahan posisi sering. sekret untuk menurunkan risiko infeksi
paru
4 Awasi TTV Demam dengan peningkatan nadi dan
pernafasan adalah tanda peningkatan laju
metabolik dari proses inflamasi,
meskipun sepsis dapat terjadi tanpa
respon demam.
5 Kolaborasi: Awasi pemeriksaan Meskipun peningkatan SDP dapat
laboratorium, contoh SDP dengan mengindikasikan infeksi umum,
diferensial leukositosis umum terlihat pada GGA dan
dapat menunjukan inflamasi/ cedera pada
ginjal, perpindahan diferensial ke kiri
menunjukan infeksi.
Evaluasi : Daya imunitas tubuh normal, tidak terjadi tanda/ gejala infeksi
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca untuk
menyempurnakan makalah ini. Diharapkan agar pembaca mengetahui apa tanda dan gejala serta yang
menyebabkan seseorang menderita penyakit sindrom nefrotik
Mutaqqin, Arif dan Sari, Kumala. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Integumen.
Jakarta: Salemba Medika
Nurarif, Amin Huda & Kusuma, Harif.2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Media dan NANDA NIC-NOC Jilid 2.Yogyakarta: Med Action Publishing