Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Luka bakar merupakan masalah kesehatan masyarakat global. Hal ini


disebabkan karena tingginya angka mortalitas dan morbiditas luka bakar,
khususnya pada negara dengan pendapatan rendah-menengah, dimana lebih dari
95% angka kejadian luka bakar menyebabkan kematian (mortalitas).
Bagaimanapun juga, kematian bukanlah satu-satunya akibat dari luka bakar.
Banyak penderita luka bakar yang akhirnya mengalami kecacatan (morbiditas),
hal ini tak jarang menimbulkan stigma dan penolakan masyarakat (Gowri, et al.,
2012).
Pada tahun 2014, World Health Organization (WHO) memperkirakan
bahwa terdapat 265.000 kematian yang terjadi setiap tahunnya di seluruh dunia
akibat luka bakar. Di India, lebih dari satu juta orang menderita luka bakar
sedang-berat per tahun. Di Bangladesh, Columbia, Mesir, dan Pakistan, 17% anak
dengan luka bakar menderita kecacatan sementara dan 18% menderita kecacatan
permanen. Sedangkan di Nepal, luka bakar merupakan penyebab kedua cedera
tertinggi, dengan 5% kecacatan.
Menurut data American Burn Association (2015), di Amerika Serikat
terdapat 486.000 kasus luka bakar yang menerima penanganan medis, 40.000
diantaranya harus dirawat di rumah sakit. Selain itu, sebanyak 3.240 kematian
terjadi setiap tahunnya akibat luka bakar. Penyebab terbanyak terjadinya luka
bakar adalah karena trauma akibat kecelakaan kebakaran, kecelakaan kendaraan,
terhirup asap, kontak dengan listrik, zat kimia, dan benda panas.
Di Indonesia, prevalensi luka bakar pada tahun 2013 adalah sebesar 0.7%
dan telah mengalami penurunan sebesar 1.5% dibandingkan pada tahun 2008
(2.2%). Provinsi dengan prevalensi tertinggi adalah Papua (2.0%) dan Bangka
Belitung (1.4%) (Depkes, 2013). Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau
kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air
panas, bahan kimia, listrik dan radiasi. Luka bakar merupakan suatu jenis trauma
dengan morbiditas dan mortalitas tinggi. Biaya yang dibutuhkan untuk

1
penanganannya pun tinggi. Di Indonesia, luka bakar masih merupakan problem
yang berat. Perawatan dan rehabilitasinya masih sukar dan memerlukan
ketekunan, biaya mahal, tenaga terlatih dan terampil.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Luka bakar adalah luka yang terjadi akibat sentuhan permukaan tubuh
dengan benda-benda yang menghasilkan panas (api secara langsung maupun
tidak langsung, pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik, maupun bahan
kimia, air, dll) atau zat-zat yang bersifat membakar (asam kuat, basa kuat)
secara langsung maupun tidak langsung .

B. Etiologi
Luka bakar banyak disebabkan karena suatu hal, diantaranya adalah
1. Luka bakar suhu tinggi(Thermal Burn)
gas, cairan, bahan padat Luka bakar thermal burn biasanya disebabkan
oleh air panas (scald) ,jilatan api ketubuh (flash), kobaran api di tubuh
(flam), dan akibat terpapar atau kontak dengan objek-objek panas
lainnya(logam panas, dan lain-lain) (Moenadjat, 2005).
2. Luka bakar bahan kimia (Chemical Burn)
Luka bakar kimia biasanya disebabkan oleh asam kuat atau alkali yang
biasa digunakan dalam bidang industri militer ataupu bahan pembersih
yang sering digunakan untuk keperluan rumah tangga (Moenadjat, 2005).
3. Luka bakar sengatan listrik (Electrical Burn)
Listrik menyebabkan kerusakan yang dibedakan karena arus, api, dan
ledakan. Aliran listrik menjalar disepanjang bagian tubuh yang memiliki
resistensi paling rendah. Kerusakan terutama pada pembuluh darah,
khusunya tunika intima, sehingga menyebabkan gangguan sirkulasi ke
distal. Sering kali kerusakan berada jauh dari lokasi kontak, baik kontak
dengan sumber arus maupun grown .

3
4. Luka bakar radiasi (Radiasi Injury)
Luka bakar radiasi disebabkan karena terpapar dengan sumber radio aktif.
Tipe injury ini sering disebabkan oleh penggunaan radio aktif untuk
keperluan terapeutik dalam dunia kedokteran dan industri. Akibat terpapar
sinar matahari yang terlalu lama juga dapat menyebabkan luka bakar
radiasi

C. Patofisiologi
Luka bakar suhu pada tubuh terjadi baik karena kondisi panas
langsung atau radiasi elektromagnetik. Sel-sel dapat menahan temperatur
sampai 440C tanpa kerusakan bermakna, kecepatan kerusakan jaringan
berlipat ganda untuk tiap drajat kenaikan temperatur. Saraf dan pembuluh
darah merupakan struktur yang kurang tahan dengan konduksi panas.
Kerusakan pembuluh darah ini mengakibatkan cairan intravaskuler keluar
dari lumen pembuluh darah, dalam hal ini bukan hanya cairan tetapi
protein plasma dan elektrolit.
Pada luka bakar ekstensif dengan perubahan permeabilitas yang
hampir menyelutruh, penimbunan jaringan masif di intersitial
menyebabakan kondisi hipovolemik. Volume cairan iuntravaskuler
mengalami defisit, timbul ketidak mampuan menyelenggarakan proses
transportasi ke jaringan, kondisi ini dikenal dengan syok . Luka bakar juga
dapat menyebabkan kematian yang disebabkan oleh kegagalan organ multi
sistem. Awal mula terjadi kegagalan organ multi sistem yaitu terjadinya
kerusakan kulit yang mengakibatkan peningkatan pembuluh darah kapiler,
peningkatan ekstrafasasi cairan (H2O, elektrolit dan protein) , sehingga
mengakibatkan tekanan onkotik dan tekanan cairan intraseluler menurun,
apabila hal ini terjadi terus menerus dapat mengakibatkan hipovolemik
dan hemokonsentrasi yang mengakibatkan terjadinya gangguan perfusi
jaringan. Apabila sudah terjadi gangguan perkusi jaringan maka akan
mengakibatkan gangguan sirkulasi makro yang menyuplai sirkulasi orang
organ organ penting seperti : otak, kardiovaskuler, hepar, traktus
gastrointestinal dan neurologi yang dapat mengakibatkan kegagalan organ

4
multi sistem. Proses kegagalan organ multi sistem ini terangkum dalam
bagan berikut :

D. Klasifikasi Luka Bakar


Kulit adalah organ tubuh terluas yang menutupi otot dan
mempunyai peranan dalam homeostasis. Kulit merupakan organ terberat
dan terbesar dari tubuh. Seluruh kulit beratnya sekitar 16 % berat tubuh,
pada orang dewasa sekitar 2,7 – 3,6 kg dan luasnya sekitar 1,5 – 1,9 meter
persegi. Tebalnya kulit bervariasi mulai 0,5 mm sampai 6 mm tergantung
dari letak, umur dan jenis kelamin. Secara embriologis kulit berasal dari
dua lapis yang berbeda, lapisan luar adalah epidermis yang merupakan
lapisan epitel berasal dari ectoderm sedangkan lapisan dalam yang berasal
dari mesoderm adalah dermis atau korium yang merupakan suatu lapisan
jaringan ikat .

5
Adapun klasifikasi luka bakar menurut kedalaman :
1. Luka bakar derajat I
Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis superfisial, kulit kering
hiperemik, berupa eritema, tidak dijumpai pula nyeri karena ujung –
ujung syaraf sensorik teriritasi, penyembuhannya terjadi secara
spontan dalam waktu 5 -10 hari (Brunicardi et al., 2005).
2. Luka bakar derajat II
Kerusakan terjadi pada seluruh lapisan epidermis dan sebagai lapisan
dermis, berupa reaksi inflamasi disertai proses eksudasi. Dijumpai
pula, pembentukan scar, dan nyeri karena ujung –ujung syaraf sensorik
teriritasi. Dasar luka berwarna merah atau pucat. Sering terletak lebih
tinggi diatas kulit normal (Moenadjat, 2001).
A. Derajat II Dangkal (Superficial)
 Kerusakan mengenai bagian superficial dari dermis.
 Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat,
kelenjar sebasea masih utuh.
 Bula mungkin tidak terbentuk beberapa jam setelah cedera,
 Luka bakar pada mulanya tampak seperti luka bakar derajat
I dan mungkin terdiagnosa sebagai derajat II superficial
setelah 12-24 jam
 Ketika bula dihilangkan, luka tampak berwarna merah
muda dan basah.
 Jarang menyebabkan hypertrophic scar.
 Jika infeksi dicegah maka penyembuhan akan terjadi
secara spontan kurang dari 3 minggu

B. Derajat II dalam (Deep)


 Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis
 Organ-organ kulit seperti folikel-folikel rambut, kelenjar
keringat,kelenjar sebasea sebagian besar masih utuh.
 Penyembuhan terjadi lebih lama tergantung biji epitel
yang tersisa.

6
 Juga dijumpai bula, akan tetapi permukaan luka biasanya
tanpak berwarna merah muda dan putih segera setelah
terjadi cedera karena variasi suplay darah dermis (daerah
yang berwarna putih mengindikasikan aliran darah yang
sedikit atau tidak ada sama sekali, daerah yg berwarna
merah muda mengindikasikan masih ada beberapa aliran
darah )
 Jika infeksi dicegah, luka bakar akan sembuh dalam 3 -9
minggu
3. Luka bakar derajat III (Full Thickness burn)
Kerusakan meliputi seluruh tebal dermis dermis dan lapisan lebih
dalam, tidak dijumpai bula, apendises kulit rusak, kulit yang terbakar
berwarna putih dan pucat. Karena kering, letak nya lebih rendah
dibandingkan kulit sekitar. Terjadi koagulasi protein pada epidermis
yang dikenal sebagai scar, tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi,
oleh karena ujung –ujung syaraf sensorik mengalami kerusakan atau
kematian. Penyembuhanterjadi lama karena tidak ada proses epitelisasi
spontan dari dasar luka (Moenadjat, 2001).
4. Luka bakar derajat IV
Luka full thickness yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan
ltulang dengan adanya kerusakan yang luas. Kerusakan meliputi
seluruh dermis, organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar
sebasea dan kelenjar keringat mengalami kerusakan, tidak dijumpai
bula, kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan pucat, terletak lebih
rendah dibandingkan kulit sekitar, terjadi koagulasi protein pada
epidemis dan dermis yang dikenal scar, tidak dijumpai rasa nyeri dan
hilang sensori karena ujung-ujung syaraf sensorik mengalami
kerusakan dan kematian. penyembuhannya terjadi lebih lama karena
ada proses epitelisasi spontan dan rasa luka .

7
E. Berat dan Luas Luka Bakar

Berat luka bakar bergantung pada dalam, luas, dan letak luka. Usia
dan kesehatan pasien sebelumnya akan sangat mempengaruhi prognosis.
Adanya trauma inhalasi juga akan mempengaruhi berat luka bakar.
Jaringan lunak tubuh akan terbakar bila terpapar pada suhu di atas
46oC. Luasnya kerusakan akan ditentukan oleh suhu permukaan dan
lamanya kontak. Luka bakar menyebabkan koagulasi jaringan lunak.
Seiring dengan peningkatan suhu jaringan lunak, permeabilitas kapiler
juga meningkat, terjadi kehilangan cairan, dan viskositas plasma
meningkat dengan resultan pembentukan mikrotrombus.
Hilangnya cairan dapat menyebabkan hipovolemi dan syok,
tergantung banyaknya cairan yang hilang dan respon terhadap resusitasi.
Luka bakar juga menyebabkan peningkatan laju metabolik dan energi
metabolisme. Semakin luas permukaan tubuh yang terlibat, morbiditas dan
mortalitasnya meningkat, dan penanganannya juga akan semakin
kompleks. Luas luka bakar dinyatakan dalam persen terhadap luas seluruh
tubuh. Ada beberapa metode cepat untuk menentukan luas luka bakar,
yaitu:
 Estimasi luas luka bakar menggunakan luas permukaan palmar pasien.
Luas telapak tangan individu mewakili 1% luas permukaan tubuh. Luas
luka bakar hanya dihitung pada pasien dengan derajat luka II atau III.
 Rumus 9 atau rule of nine untuk orang dewasa
Pada dewasa digunakan ‘rumus 9’, yaitu luas kepala dan leher, dada,
punggung, pinggang dan bokong, ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas
kiri, paha kanan, paha kiri, tungkai dan kaki kanan, serta tungkai dan kaki
kiri masing-masing 9%. Sisanya 1% adalah daerah genitalia. Rumus ini
membantu menaksir luasnya permukaan tubuh yang terbakar pada orang
dewasa.

8
Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif
permukaan kepala anak jauh lebih besar dan luas relatif permukaan kaki
lebih kecil. Karena perbandingan luas permukaan bagian tubuh anak kecil
berbeda, dikenal rumus 10 untuk bayi, dan rumus 10-15-20 untuk anak.

9
 Metode Lund dan Browder
Metode yang diperkenalkan untuk kompensasi besarnya porsi massa tubuh
di kepala pada anak. Metode ini digunakan untuk estimasi besarnya luas
permukaan pada anak. Apabila tidak tersedia tabel tersebut, perkiraan luas
permukaan tubuh pada anak dapat menggunakan ‘Rumus 9’ dan
disesuaikan dengan usia:
o Pada anak di bawah usia 1 tahun: kepala 18% dan tiap tungkai
14%. Torso dan lengan persentasenya sama dengan dewasa.
o Untuk tiap pertambahan usia 1 tahun, tambahkan 0.5% untuk tiap
tungkai dan turunkan persentasi kepala sebesar 1% hingga tercapai
nilai dewasa.

F. Fase Luka Bakar

Dalam perjalanan penyakit, dapat dibedakan menjadi tiga fase pada


luka bakar, yaitu:

1. Fase awal, fase akut, fase syok


Pada fase ini, masalah utama berkisar pada gangguan yang terjadi pada
saluran nafas yaitu gangguan mekanisme bernafas, hal ini dikarenakan
adanya eskar melingkar di dada atau trauma multipel di rongga toraks; dan
gangguan sirkulasi seperti keseimbangan cairan elektrolit, syok
hipovolemia.
2. Fase setelah syok berakhir, fase sub akut
Masalah utama pada fase ini adalah Systemic Inflammatory Response
Syndrome (SIRS) dan Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS)
dan sepsis. Hal ini merupakan dampak dan atau perkembangan masalah
yang timbul pada fase pertama dan masalah yang bermula dari kerusakan
jaringan (luka dan sepsis luka)
3. Fase lanjut
Fase ini berlangsung setelah penutupan luka sampai terjadinya maturasi
jaringan. Masalah yang dihadapi adalah penyulit dari luka bakar seperti
parut hipertrofik, kontraktur dan deformitas lain yang terjadi akibat

10
kerapuhan jaringan atau struktur tertentu akibat proses inflamasi yang
hebat dan berlangsung lama

G. Pembagian zona kerusakan jaringan:


1. Zona koagulasi, zona nekrosis
Merupakan daerah yang langsung mengalami kerusakan (koagulasi
protein) akibat pengaruh cedera termis, hampir dapat dipastikan
jaringan ini mengalami nekrosis beberapa saat setelah kontak. Oleh
karena itulah disebut juga sebagai zona nekrosis.
2. Zona statis
Merupakan daerah yang langsung berada di luar/di sekitar zona
koagulasi. Di daerah ini terjadi kerusakan endotel pembuluh darah
disertai kerusakan trombosit dan leukosit, sehingga terjadi gangguam
perfusi (no flow phenomena), diikuti perubahan permeabilitas kapilar
dan respon inflamasi lokal. Proses ini berlangsung selama 12-24 jam
pasca cedera dan mungkin berakhir dengan nekrosis jaringan.
3. Zona hiperemi
Merupakan daerah di luar zona statis, ikut mengalami reaksi
berupa vasodilatasi tanpa banyak melibatkan reaksi selular.
Tergantung keadaan umum dan terapi yang diberikan, zona ketiga
dapat mengalami penyembuhan spontan, atau berubah menjadi zona
kedua bahkan zona pertama.

H. Indikasi Luka Bakar Rawat Inap

Menurut American Burn Association, seorang pasien diindikasikan


untuk dirawat inap bila:

1. Luka bakar derajat III > 5%


2. Luka bakar derajat II > 10%
3. Luka bakar derajat II atau III yang melibatkan area kritis (wajah, tangan,
kaki, genitalia, perineum, kulit di atas sendi utama)  risiko signifikan
untuk masalah kosmetik dan kecacatan fungsi
4. Luka bakar sirkumferensial di thoraks atau ekstremitas

11
5. Luka bakar signifikan akibat bahan kimia, listrik, petir, adanya trauma
mayor lainnya, atau adanya kondisi medik signifikan yang telah ada
sebelumnya
6. Adanya trauma inhalasi

I. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan:

1. Pemeriksaan darah rutin dan kimia darah

2. Urinalisis

3. Pemeriksaan keseimbangan elektrolit

4. Analisis gas darah

5. Radiologi – jika ada indikasi ARDS

6. Pemeriksaan lain yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis SIRS d


an MODS

J. Penatalaksanaan Luka Bakar

Pasien luka bakar harus dievaluasi secara sistematik. Prioritas


utama adalah mempertahankan jalan nafas tetap paten, ventilasi yang
efektif dan mendukung sirkulasi sistemik. Intubasi endotrakea dilakukan
pada pasien yang menderita luka bakar berat atau kecurigaan adanya jejas
inhalasi atau luka bakar di jalan nafas atas. Intubasi dapat tidak dilakukan
bila telah terjadi edema luka bakar atau pemberian cairan resusitasi yang
terlampau banyak. Pada pasien luka bakar, intubasi orotrakea dan
nasotrakea lebih dipilih daripada trakeostomi.

Pasien dengan luka bakar saja biasanya hipertensi. Adanya


hipotensi awal yang tidak dapat dijelaskan atau adanya tanda-tanda

12
hipovolemia sistemik pada pasien luka bakar menimbulkan kecurigaan
adanya jejas ‘tersembunyi’. Oleh karena itu, setelah mempertahankan
ABC, prioritas berikutnya adalah mendiagnosis dan menata laksana jejas
lain (trauma tumpul atau tajam) yang mengancam nyawa. Riwayat
terjadinya luka bermanfaat untuk mencari trauma terkait dan kemungkinan
adanya jejas inhalasi. Informasi riwayat penyakit dahulu, penggunaan
obat, dan alergi juga penting dalam evaluasi awal.

Pakaian pasien dibuka semua, semua permukaan tubuh dinilai.


Pemeriksaan radiologik pada tulang belakang servikal, pelvis, dan torak
dapat membantu mengevaluasi adanya kemungkinan trauma tumpul.
Setelah mengeksklusi jejas signifikan lainnya, luka bakar dievaluasi.
Terlepas dari luasnya area jejas, dua hal yang harus dilakukan sebelum
dilakukan transfer pasien adalah mempertahankan ventilasi adekuat, dan
jika diindikasikan, melepas dari eskar yang mengkonstriksi.

K. Tatalaksana resusitasi luka bakar

a. Tatalaksana resusitasi jalan nafas:

1. Intubasi
Tindakan intubasi dikerjakan sebelum edema mukosa
menimbulkan manifestasi obstruksi. Tujuan intubasi
mempertahankan jalan nafas dan sebagai fasilitas pemelliharaan
jalan nafas.

2. Krikotiroidotomi
Bertujuan sama dengan intubasi hanya saja dianggap terlalu
agresif dan menimbulkan morbiditas lebih besar dibanding
intubasi. Krikotiroidotomi memperkecil dead space, memperbesar
tidal volume, lebih mudah mengerjakan bilasan bronkoalveolar dan
pasien dapat berbicara jika dibanding dengan intubasi.

3. Pemberian oksigen 100%


Bertujuan untuk menyediakan kebutuhan oksigen jika

13
terdapat patologi jalan nafas yang menghalangi suplai oksigen.
Hati-hati dalam pemberian oksigen dosis besar karena dapat
menimbulkan stress oksidatif, sehingga akan terbentuk radikal
bebas yang bersifat vasodilator dan modulator sepsis.

4. Perawatan jalan nafas


5. Penghisapan sekret (secara berkala)
6. Pemberian terapi inhalasi
Bertujuan mengupayakan suasana udara yang lebih baik
didalam lumen jalan nafas dan mencairkan sekret kental sehingga
mudah dikeluarkan. Terapi inhalasi umumnya menggunakan cairan
dasar natrium klorida 0,9% ditambah dengan bronkodilator bila
perlu. Selain itu bias ditambahkan zat-zat dengan khasiat tertentu
seperti atropin sulfat (menurunkan produksi sekret), natrium
bikarbonat (mengatasi asidosis seluler) dan steroid (masih
kontroversial)

7. Bilasan bronkoalveolar
8. Perawatan rehabilitatif untuk respirasi
9. Eskarotomi pada dinding torak yang bertujuan untuk
memperbaiki kompliansi paru

b. Tatalaksana resusitasi cairan

Resusitasi cairan diberikan dengan tujuan preservasi perfusi


yang adekuat dan seimbang di seluruh pembuluh darah vaskular
regional, sehingga iskemia jaringan tidak terjadi pada setiap organ
sistemik. Selain itu cairan diberikan agar dapat meminimalisasi dan
eliminasi cairan bebas yang tidak diperlukan, optimalisasi status
volume dan komposisi intravaskular untuk menjamin
survival/maksimal dari seluruh sel, serta meminimalisasi respons
inflamasi dan hipermetabolik dengan menggunakan kelebihan dan
keuntungan dari berbagai macam cairan seperti kristaloid,
hipertonik, koloid, dan sebagainya pada waktu yang tepat. Dengan

14
adanya resusitasi cairan yang tepat, kita dapat mengupayakan
stabilisasi pasien secepat mungkin kembali ke kondisi fisiologik
dalam persiapan menghadapi intervensi bedah seawal mungkin.

Resusitasi cairan dilakukan dengan memberikan cairan pengganti.

Ada beberapa cara untuk menghitung kebutuhan cairan ini:

 Cara Evans
1. Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL NaCl per 24 jam
2. Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL plasma per 24 jam
3. 2.000 cc glukosa 5% per 24 jam
Separuh dari jumlah 1+2+3 diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya
diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah
jumlah cairan hari pertama. Pada hari ketiga diberikan setengah jumlah
cairan hari kedua.

 Cara Baxter
Luas luka bakar (%) x BB (kg) x 4 mL

Separuh dari jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya


diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah
jumlah cairan hari pertama. Pada hari ketiga diberikan setengah jumlah
cairan hari kedua.

c. Resusitasi nutrisi

Pada pasien luka bakar, pemberian nutrisi secara enteral


sebaiknya dilakukan sejak dini dan pasien tidak perlu dipuasakan.
Bila pasien tidak sadar, maka pemberian nutrisi dapat melalui
naso-gastric tube (NGT). Nutrisi yang diberikan sebaiknya
mengandung 10-15% protein, 50-60% karbohidrat dan 25-30%
lemak. Pemberian nutrisi sejak awal ini dapat meningkatkan fungsi
kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya atrofi vili usus. Dengan
demikian diharapkan pemberian nutrisi sejak awal dapat membantu
mencegah terjadinya SIRS dan MODS.

15
L. Perawatan luka bakar

Umumnya untuk menghilangkan rasa nyeri dari luka bakar


digunakan morfin dalam dosis kecil secara intravena (dosis dewasa awal :
0,1-0,2 mg/kg dan ‘maintenance’ 5-20 mg/70 kg setiap 4 jam, sedangkan
dosis anak-anak 0,05-0,2 mg/kg setiap 4 jam). Tetapi ada juga yang
menyatakan pemberian methadone (5-10 mg dosis dewasa) setiap 8 jam
merupakan terapi penghilang nyeri kronik yang bagus untuk semua pasien
luka bakar dewasa. Jika pasien masih merasakan nyeri walau dengan
pemberian morfin atau methadone, dapat juga diberikan benzodiazepine
sebagai tambahan.

Terapi pembedahan pada luka bakar

1. Eksisi dini
Eksisi dini adalah tindakan pembuangan jaringan nekrosis dan
debris (debridement) yang dilakukan dalam waktu kurang dari 7 hari
(biasanya hari ke 5-7) pasca cedera termis. Dasar dari tindakan ini adalah:

a. Mengupayakan proses penyembuhan berlangsung lebih cepat. Dengan


dibuangnya jaringan nekrosis, debris dan eskar, proses inflamasi tidak
akan berlangsung lebih lama dan segera dilanjutkan proses fibroplasia.
Pada daerah sekitar luka bakar umumnya terjadi edema, hal ini akan
menghambat aliran darah dari arteri yang dapat mengakibatkan terjadinya
iskemi pada jaringan tersebut ataupun menghambat proses penyembuhan
dari luka tersebut. Dengan semakin lama waktu terlepasnya eskar, semakin
lama juga waktu yang diperlukan untuk penyembuhan.
b. Memutus rantai proses inflamasi yang dapat berlanjut menjadi komplikasi
– komplikasi luka bakar (seperti SIRS). Hal ini didasarkan atas jaringan
nekrosis yang melepaskan “burn toxic” (lipid protein complex) yang
menginduksi dilepasnya mediator-mediator inflamasi.
c. Semakin lama penundaan tindakan eksisi, semakin banyaknya proses
angiogenesis yang terjadi dan vasodilatasi di sekitar luka. Hal ini
mengakibatkan banyaknya darah keluar saat dilakukan tindakan operasi.

16
Selain itu, penundaan eksisi akan meningkatkan resiko kolonisasi
mikro – organisme patogen yang akan menghambat pemulihan graft dan
juga eskar yang melembut membuat tindakan eksisi semakin sulit.
Tindakan ini disertai anestesi baik lokal maupun general dan pemberian
cairan melalui infus. Tindakan ini digunakan untuk mengatasi kasus luka
bakar derajat II dalam dan derajat III. Tindakan ini diikuti tindakan
hemostasis dan juga “skin grafting” (dianjurkan “split thickness skin
grafting”). Tindakan ini juga tidak akan mengurangi mortalitas pada
pasien luka bakar yang luas. Kriteria penatalaksanaan eksisi dini
ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:
- Kasus luka bakar dalam yang diperkirakan mengalami penyembuhan
lebih dari 3 minggu.
- Kondisi fisik yang memungkinkan untuk menjalani operasi besar.
- Tidak ada masalah dengan proses pembekuan darah.
- Tersedia donor yang cukup untuk menutupi permukaan terbuka yang
timbul.
Eksisi dini diutamakan dilakukan pada daerah luka sekitar batang
tubuh posterior. Eksisi dini terdiri dari eksisi tangensial dan eksisi fasial.

Eksisi tangensial adalah suatu teknik yang mengeksisi jaringan


yang terluka lapis demi lapis sampai dijumpai permukaan yang
mengeluarkan darah (endpoint). Adapun alat-alat yang digunakan dapat
bermacam-macam, yaitu pisau Goulian atau Humbly yang digunakan pada
luka bakar dengan luas permukaan luka yang kecil, sedangkan pisau
Watson maupun mesin yang dapat memotong jaringan kulit perlapis
(dermatom) digunakan untuk luka bakar yang luas. Permukaan kulit yang
dilakukan tindakan ini tidak boleh melebihi 25% dari seluruh luas
permukaan tubuh. Untuk memperkecil perdarahan dapat dilakukan
hemostasis, yaitu dengan tourniquet sebelum dilakukan eksisi atau
pemberian larutan epinephrine 1:100.000 pada daerah yang dieksisi.
Setelah dilakukan hal-hal tersebut, baru dilakukan “skin graft”.
Keuntungan dari teknik ini adalah didapatnya fungsi optimal dari kulit dan

17
keuntungan dari segi kosmetik. Kerugian dari teknik adalah perdarahan
dengan jumlah yang banyak dan endpoint bedah yang sulit ditentukan.

Eksisi fasial adalah teknik yang mengeksisi jaringan yang terluka


sampai lapisan fascia. Teknik ini digunakan pada kasus luka bakar dengan
ketebalan penuh (full thickness) yang sangat luas atau luka bakar yang
sangat dalam. Alat yang digunakan pada teknik ini adalah pisau scalpel,
mesin pemotong “electrocautery”. Adapun keuntungan dan kerugian dari
teknik ini adalah:

- Keuntungan : lebih mudah dikerjakan, cepat, perdarahan tidak banyak,


endpoint yang lebih mudah ditentukan
- Kerugian : kerugian bidang kosmetik, peningkatan resiko cedera pada
saraf-saraf superfisial dan tendon sekitar, edema pada bagian distal
dari eksisi
2. Skin grafting
Skin grafting adalah metode penutupan luka sederhana. Tujuan dari
metode ini adalah:

a. Menghentikan evaporate heat loss


b. Mengupayakan agar proses penyembuhan terjadi sesuai dengan waktu
c. Melindungi jaringan yang terbuka
Skin grafting harus dilakukan secepatnya setelah dilakukan eksisi
pada luka bakar pasien. Kulit yang digunakan dapat berupa kulit produk
sintesis, kulit manusia yang berasal dari tubuh manusia lain yang telah
diproses maupun berasal dari permukaan tubuh lain dari pasien (autograft).

M. Prognosis
Prognosis dan penanganan luka bakar terutama tergantung pada
dalam dan luasnya permukaan luka bakar, dan penanganan sejak awal
hingga penyembuhan. Selain itu faktor letak daerah yang terbakar, usia
dan keadaan kesehatan penderita juga turut menentukan kecepatan
penyembuhan. Penyulit juga mempengaruhi progonosis pasien. Penyulit

18
yang timbul pada luka bakar antara lain gagal ginjal akut, edema paru,
SIRS, infeksi dan sepsis, serta parut hipertrofik dan kontraktur.

N. Komplikasi
SIRS , ARDS , Sepsis Kontraktur , Kematian

19
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Luka bakar adalah hilang atau rusaknya jaringan akibat dari kontak
sumber panas secara langsung maupun tidak langsung yang membuat
pasien berada dalam keadaan bahaya apabila tidak ditangani secara cepat .
Tatalaksana untuk luka bakar meliputi penilaian anamnesa dan
pemeriksaan fisik , penilaian derajat luka bakar , tatalaksana primary
survey dengan cara ABCD yang diikuti dengan pemberian jalan nafas
sepanjang masa , resusitasi cairan di atur dari luasnya derajat luka bakar
dan berat badan sesuai dengan formula yang ada . Serta dari perawatan
luka bakar itu sendiri untuk mencapai prognosis yang lebih baik .

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Ahmadsyah I, Prasetyono TOH. Luka. Dalam: Sjamsuhidajat R, de Jong W, editor.


Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005. h. 73-5.
2. Moenadjat Y. Luka bakar. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003.
3. Heimbach DM, Holmes JH. Burns. In: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL,
Hunter JG, Pollock RE, editors. Schwartz’s principal surgery. 8th ed. USA: The
McGraw-Hill Companies; 2007.
4. Naradzay JFX, Alson R. Thermal burns. Dalam: Slapper D, Talavera F, Hirshon JM,
Halamka J, Adler J, editors. Diunduh dari: http://www.emedicinehealth.com. 28
Agusuts 2009.

21

Anda mungkin juga menyukai