2. EPIDEMIOLOGI
Sekitar 10 % orang Amerika mengalami tukak peptik kronis seumur hidup
mereka . Hal ini terjadi dengan variasi antar individu dengan jenis ulkus, ras, pekerjaan,
kecenderungan genetik, dan sosial usia, jenis kelamin, dan lokasi geografis yang
berbeda. Faktor – faktor ini lebih kecil prevalensinya jika dibandingan adanya infeksi
Helicobacter Pylori dan penggunaan NSAID. Sejak tahun 1960 , kunjungan dokter
terkait ulkus, pada unit rawat inap, operasi, dan kematian telah menurun di Amerika
Serikat oleh lebih dari 50 % , terutama karena tingkat penurunan pasien tukak peptik.
Penurunan rawat inap di rumah sakit dapat dilihat dari penurunan penerimaan pasien
tukak duodenum. Namun, untuk rawat inap orang dewasa untuk penyakit komplikasi
terkait tukak (perdarahan dan perforasi ) mengalami peningkatan. Meskipun angka
kematian secara keseluruhan dari tukak peptik menurun, angka kematian pada pasien
yang lebih tua dari 75 tahun mengalami peningkatan, yang kemungkinan besar
diakibatkan dari peningkatan konsumsi NSAID. Tukak peptik tetap menjadi salah satu
penyakit yang paling umum gastrointestinal, yang mengakibatkan gangguan kualitas
hidup, kehilangan pekerjaan, dan tingginya biaya perawatan medis. Sampai saat ini,
antagonis reseptor H2 (H2RAs), proton pump inhibitor (PPI), dan obat penyakit
mukosa tidak merubah tingkat komplikasi tukak peptik (Berardy dan Lynda, 2005).
3. ETIOLOGI
4. PATOFISIOLOGI
Tukak terjadi karena gangguan keseimbangan antara faktor agresif (asam,
pepsin atau faktor-faktor iritan lainnya) dengan faktor defensif (mukus, bikarbonat,
aliran darah) (Sanusi, 2011). Sel parietal mengeluarkan asam lambung HCl, sel peptik
atau zimogen mengeluarkan pepsinogen yang oleh HCl dirubah menjadi pepsin dimana
HCl dan pepsin adalah faktor agresif terutama pepsin 4 dengan pH < 4 (sangat agresif
terhadap mukosa lambung). Bahan iritan dapat menimbulkan defek barier mukosa dan
terjadi difusi balik ion H+ . Histamin terangsang untuk lebih banyak mengeluarkan
asam lambung, kemudian menimbulkan dilatasi dan peningkatan permeabilitas
pembuluh kapiler, kerusakan mukosa lambung, gastritis akut atau kronik, dan tukak
peptik (Tarigan, 2006). Helicobacter pylori dapat bertahan dalam suasana asam di
lambung, kemudian terjadi penetrasi terhadap mukosa lambung, dan pada akhirnya H.
pylori berkolonisasi di lambung. Kemudian kuman tersebut berpoliferasi dan dapat
mengabaikan sistem mekanisme pertahanan tubuh. Pada keadaan tersebut beberapa
faktor dari H. pylori memainkan peranan penting diantaranya urase memecah urea
menjadi amoniak yang bersifat basa lemah yang melindungi kuman tersebut terhadap
asam HCl (Rani & Fauzi, 2006). Obat NSAID yang dapat menyebabkan tukak antara
lain: indometasin, piroksikam, ibuprofen, naproksen, sulindak, ketoprofen, ketorolac,
flurbiprofen dan aspirin (Berardi & Welage, 2008). Obat-obat tersebut menyebabkan
kerusakan mukosa secara lokal dengan mekanisme difusi non ionik pada sel mukosa
(pH cairan lambung << pKa NSAID). Stres yang amat berat dapat menyebabkan
terjadinya tukak, seperti pasca bedah dan luka bakar luas, hal ini terjadi karena adanya
gangguan aliran darah mukosa yang berkaitan dengan peningkatan kadar kortisol
plasma. Stres emosional yang berlebihan dapat meningkatkan kadar kortisol yang
kemudian diikuti peningkatan sekresi asam lambung dan pepsinogen, sama halnya
dengan gaya hidup yang tidak sehat, seperti merokok, konsumsi alkohol dan pemakaian
NSAID yang berlebihan (Sanusi, 2011).
5. TERAPI NON-FARMAKOLOGI
Untuk penanganan secara non farmakologis, Pasien dengan tukak harus
mengurangi stress, merokok dan menggunakan NSAID (termasuk aspirin). Jika NSAID
tidak dapat dihentikan penggunaannya maka harus dipertimbangkan pemberian dosis
yang rendah atau diganti dengan asetaminofen, COX2 inhibitor relatif sedikit
(Nabumeton dan etodolak), COX2 inhibitor selektif kuat (Celecoxib dan rofecoxib).
Walaupun tidak ada kebutuhan untuk diet khusus, pasien harus menghindari makanan
dan minuman yang menyebabkan dispesia atau yang dapat menyebabkan tukak seperti
: Makanan pedas, kafein, dan alkohol (Elin yulinah, dkk. 2013).
6. TERAPI FARMAKOLOGI
Terapi farmakologi yang dapat digunakan untuk mengatasi peptic ulcer adalah :
a. Antasida
Pada saat ini antasida digunakan untuk menghilangkan keluhan nyeri dan
obat dispepsia. Mekanisme kerjanya menetralkan asam lambung secara lokal.
Preparat yang mengandung magnesium akan menyebabkan diare sedangkan
aluminium menyebabkan konstipasi. Kombinasi keduanya saling menghilangkan
pengaruh sehingga tidak terjadi diare dan konstipasi. Dosis: 3 x 1 tablet, 4 x 30 cc
(3 kali sehari malam dan sebelum tidur). Efek samping diare, berinteraksi dengan
obat digitalis, barbiturat, salisilat, dan kinidin (Tarigan, 2001).
b. Antagonis Reseptor H2
Antagonis Reseptor H2 mengurangi sekresi asam lambung dengan cara
berkompetisi dengan histamin untuk berikatan dengan reseptor H lambung. Bila
histamin berikatan dengan H2 pada sel pariental maka akan dihasilkan asam.
Dengan diblokirnya tempat ikatan antara histamin dan reseptor digantikan dengan
obat-obat ini, maka asam tidak akan dihasilkan. Efek samping obat golongan ini
yaitu diare, sakit kepala, kantuk, lesu, sakit pada otot dan konstipasi (Berardy and
Lynda, 2005).
Obat-obat Antagonis Reseptor H2
c. PPI (Proton Pump Inhibitor)
Mekanisme kerja PPI adalah memblokir kerja enzim KH ATPase yang akan
memecah KH ATP akan menghasilkan energi yang digunakan untuk mengeluarkan
asam dari kanalikuli serta pariental ke dalam lumen lambung. Pada manusia belum
terbukti gangguan keamanannya pada pemakaian jangka panjang (Tarigan, 2001).
Inhibitor pompa proton memiliki efek yang sangat besar terhadap produksi
asam. Omeprazol juga secara selektif menghambat karbonat anhidrase mukosa
lambung, yang kemungkinan turut berkontribusi terhadap sifat suspensi asamnya
(Parischa dan Hoogerwefh, 2008).
Penghambat pompa proton dimetabolisme dihati dan dieliminasi di ginjal.
Dengan pengecualian penderita disfungsi hati berat, tanpa penyesuaian dosis pada
penyakit liver dan penyakit ginjal. Dosis Omeprazol 20-40 mg/hr, Lansoprazol 15-
30 mg/hr, Rabeprazol 20 mg/hr, Pantoprazol 40 mg/hr dan Esomeprazol 20-40
mg/hr. Efek samping obat golongan ini jarang, meliputi sakit kepala, diare,
konstipasi, muntah, dan ruam merah pada kulit. Ibu hamil dan menyusui sebaiknya
menghindari penggunaan PPI (Lacy dkk, 2008).
d. Pelindung Mukus
Koloid Bismuth
Mekanisme kerja melalui sitoprotektif membentuk lapisan bersama protein
pada dasar tukak dan melindungi terhadap rangsangan pepsin dan asam. Dosis obat
2 x 2 tablet sehari. Efek samping, berwarna kehitaman sehingga timbul keraguan
dengan pendarahan (Tarigan, 2001).
Sucralfat
Pada kondisi adanya kerusakan yang disebabkan oleh asam, hidrolisis
protein mukosa yang diperantarai oleh pepsin turut berkontribusi terhadap
terjadinya erosi dan ulserasi mukosa. Protein ini dapat dihambat oleh polisakarida
bersulfat. Selain menghambat hidrolisis protein mukosa oleh pepsin, sulkrafat juga
memiliki efek sitoprotektif tambahan, yakni stimulasi produksi lokal prostagladin
dan faktor pertumbuhan epidermal (Parischa dan Hoogerwefh, 2008).
Dosis sulkrafat 1gram 4x sehari atau 2gram 2x sehari. Efek samping yang
sering dilaporkan adalah konstipasi, mual dan mulut kering (Berardy dan Lynda,
2005).
e. Analog Prostaglandin : Misoprostol
Mekanisme kerja mengurangi sekresi asam lambung menambah sekresi
mukus, sekresi bikarbonat dan meningkatkan aliran darah mukosa. Biasanya
digunakan sebagai penangkal terjadinya tukak gaster pada pasien yang
menggunakan OAINS. Dosis 4 x 200 mg atau 2 x 400 mg pagi dan malam hari.
Efek samping diare, mual, muntah, dan menimbulkan kontraksi otot uterus
sehingga tidak dianjurkan pada wanita yang bakal hamil (Tarigan, 2001).
Misoprostol dapat menyebabkan eksaserbasi klinis (kondisi penyakit
bertambah parah) pada pasien yang menderita penyakit radang usus, sehingga
pemakaiannya harus dihindari pada pasien ini. Misoprostol dikontaindikasikan
selama kehamilan, karena dapat menyebabkan aborsi akibat terjadinya peningkatan
kontaktilitas uterus. Sekarang ini misoprostol telah disetujui penggunaannya oleh
United States Food and Drug Administration (FDA) untuk pencegahan luka
mukosa akibat NSAID (Parischa dan Hoogerwefh, 2008).
Regimen Terapi Obat Untuk Penyembuhan Tukak Peptik
9 DAFTAR PUSTAKA