Anda di halaman 1dari 22

Pengertian Umum Pengakuan

Pengakuan atau Recognition (Inggris) atau Reconnaissance (Perancis) atau Anerkennung


(Jerman) merupakan tindakan sepihak suatu negara untuk menerima atau membenarkan akan
sesuatu dalam masyarakat internasional. Menurut Tasrif, pengakuan dapat diartikan sebagai
penerimaan suatu situasi dengan maksud menerima akibat-akibat hukum dari keadaan
sedemikian itu. Pengakuan merupakan salah satu lembaga yang penting dalam masyarakat
internasional dalam kaaitannya dengan keberadaan negara, lebih-lebih dalam rangka
hubungan internasional. Dikatakan penting karena tanpa pengakuan suatu negara baru tidak
dapat mengadakan hubungan yang sempurna dan lengkap dengan negara lain. Bahkan sering
timbul suatu keadaan bagi suatu negara yang tidak diakui oleh negara lain, seperti :

1. Terkucilkan dari hubungan, terutama dengan negara-negara yang tidak mengakuinya;


2. Tidak dapat mengadakan persetujuan-persetujuan kerjasama, terutama dengan negara-
negara yang tidak mengakuinya;
3. Menghadapi kesulitan untuk memperoleh bahan-bahan penunjang kelangsungan
hidupnya, terutama bahan-bahan yang dihasilkan oleh negara-negara yang tidak
mengakuinya;
4. Menghadapi kesulitan untuk mengadakan perdagangan terutama ekspor hasil-hasil
negaranya ke negara-negara yang tidak mengakuinya.

Pengakuan merupakan perbuatan politik yang mempunyai akibat hukum. Dikatakan


sebagai perbuatan politik karena merupakan perbuatan memilih atau pilihan secara bebas
yang dilakukan oleh negara untuk memberi atau tidak memberi pengakuan kepada kesatuan
kemasyarakatan baru. Sebagaimana dikemukakan oleh Rediich bahwa pengakuan adalah
diluar lingkup hukum, adalah sepenuhnya merupakan tindakan politik. Demikian juga Brierly
katakan, bahwa negara-negara telah menjadi maklum bahwa hal memberikan atau menolak
pengakuan dapatlah digunakan untuk kepentingan memajukan politik nasional.
Pengakuan bukan perbuatan hukum, karena tidak ada hak dari kesatuan kemasyarakatan
baru untuk diakui dan tidak ada kewajiban bagi negara lama untuk memberikan pengakuan
kepada kesatuan kemasyarakatan baru. Sebagaimana dikemukakan Schwarzenberger, bahwa
hukum kebiasaan internasional tidaklah mengenal kewajiban untuk memberikan pengakuan
kepada sesuatu kesatuan. Demikian juga menurut Nguyen Quoc, bahwa tidak ada keharusan
untuk mengakui seperti juga tidak ada keharusan untuk tidak mengakui. Namun, pengakuan
memberikan akibat hukum tertentu atau menimbulkan hak, kewajiban dan privelegi dalam
Hukum Internasional maupun Hukum Nasional. Dalam Hukum Internasional, misalnya ada
hak istimewa bagi perutusan diplomatik, memiliki kapasitas untuk mengadakan hubungan
diplomatik, terikat hak dan kewajiban dalam hukum internasional. Akibat hukum nasional,
misalnya negara yang mengakui dapat berperkara di Pengadilan Nasional negara yang diakui,
memperoleh imunitas bagi perwakilan diplomatiknya, dapat menjual hak miliknya di negara
yang mengakui. Dengan demikian sebenarnya dalam lembaga pengakuan itu mengandung
unsur baik unsur politik maupun unsur hukum, yaitu sebagai perbuatan politik yang
mempunyai akibat hukum.

Fungsi, hakikat dan pengaruh Pengakuan


Pengakuan dalam kaitannya dengan keberadaan negara, ada dua teori dasar yang dapat
digunakan sebagai acuan, yaitu :

Teori Deklaratur/Pembuktian (declaratory/evidance theory)

Menurut teori ini, bahwa status negara tidak tergantung pada adanya pengakuan.
Pengakuan semata-mata hanya merupakan pernyataan formal tentang adanya fakta tentang
kemerdekaan negara baru yang telah memenuhi unsur-unsur yang diperlukan bagi berdirinya
negara, yaitu rakyat tetap, wilayah tertentu, pemerintahan dan kemampuan mengadakan
hubungan dengan negara lain. Jadi apabila semua unsur kenegaraan itu telah dimiliki oleh
suatu kesatuan kemasyarakatan, maka dengan sendirinya telah merupakan sebuah negara dan
harus diperlakukan secara demikian oleh negara-negara lain. Sebagaimana ditegaskan oleh
Komisi Arbitrasi Konferensi Eropa untuk perdamaian di Yugoslavia, bahwa lahir dan
berakhirnya suatu negara adalah soal fakta; pengakuan oleh negara-negara lain hanya
mempunyai dampak deklaratif semata. Jadi lahirnya negara sejak saat dipenuhinya syarat-
syarat bagi adanya negara. Teori ini di samping didukung oleh beberapa sarjana, seperti
Brierly, Erich, Fischer Williams, juga didukung keadaan bahwa ; a). pengakuan berlaku
surut, b). penolakan pengakuan tidak berarti menghapus negara, c). praktek negara
memberi/menolak pengakuan berdasarkan prinsip hukum.

Teori Konstitutif (constitutive theory)

Menurut teori ini pengakuan menciptakan negara atau memberikan status negara bagi
kesatuan kemasyarakatan. Walaupun unsur-unsur negara telah dimiliki oleh suatu kesatuan
kemasyarakatan, namun tidak langsung dapat diterima sebagai negara ditengah-tengah
masyarakat internasional. Untuk dapat diterima sebagai negara ditengah-tengah masyarakat
harus mendapatkan pengakuan dari negara-negara lainnya, bahwa kesatuan kemasyarakatan
tersebut merupakan negara, dan setelah itu barulah dapat menikmati hak-haknya sebagai
negara baru. Teori ini disamping didukung oleh beberapa sarjana seperti Strupp, Von Liszt,
Moore, Wheaton, juga didukung oleh fakta bahwa, negara/pemerintah yang diakui
memperoleh status, yaitu dalam pengadilan nasional di negara yang mengakui.

Teori Gabungan (composite theory)

Teori ini merupakan gabungan antara teori konstitutif dan teori deklaratur bahwa suatu
negara dapat menjadi pribadi internasional tanpa melalui pengakuan (teori deklarator), akan
tetapi untuk menggunakan hak-hak sebagai pribadi internasional, negara tersebut
memerlukan pengakuan dari negara-negara lainnya (teori konstitutif). Beberapa sarjana
pendukung teori ini antara lain: Hershey. Menurut Hershey, bahwa berdirinya negara terlepas
dari pengakuan (deklarator), namun pengakuan adalah perlu untuk memperoleh keanggotan
dalam keluarga bangsa-bangsa (konstitutif). Demikian juga Oppenheim-Lauterpact, bahwa
justru melalui pengakuan, maka negara menjadi person internasional dan subyek hukum
internasional (konstitutif). Dengan mengakui negara baru sebagai anggota masyarakat
internasional maka negara-negara yang sudah ada itu menyatakan pendapatnya bahwa negara
baru yang dimaksud memenuhi persyaratan negara sebagaimana diminta oleh hukum
internasional (deklaratoir). Sedangkan Starke menyatakan bahwa teori deklaratoir dan teori
konstitutif kebenarannya mungkin berada di tengah-tengah kedua teori itu. Terhadap negara
atau keadaan yang berbeda, dapat diterapkan baikteori deklaratoir maupun teori konstitutif.
Bahkan dalam praktek internasional menunjukkan, baik teori deklaratif maupun teori
konstitutif sama-sama dianut.

Macam-Macam Pengakuan
Dilihat dari Bentuknya
Pengakuan de-facto

Merupakan pengakuan yang diberikan oleh Pemerintah lama kepada Pemerintah


Revolusioner. Sifatnya masih sementara, belum penuh dan belum lengkap. Karena masih ada
kemungkinan pemerintah tersebut tidak berumur panjang, sewaktu-waktu masih dapat
digulingkan. Oleh Opperheim-Lauterpacht dikatakan bahwa pemberian pengakuan secara de-
facto itu sebenarnya mencerminkan sikap ragu dari Negara/Pemerintah yang memberikan
pengakuan. Demikian juga menurut Brierly, bahwa pengakuan de-facto diberikan karena
memberi pengakuan sebenarnya masih ragu (reluctant) untuk memberikan pengakuan secara
definitif. Namun, karena telah didorong oleh alasan-alasan praktis untuk mengadakan
hubungan dengan Negara/Pemerintah yang baru dan tanpa memperlakukan tata krama
diplomatik. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa pengakuan yang demikian didasarkan untuk
melindungi kepentingan negara yang mengakui.

Pengakuan de-yure

Dilakukan oleh pemerintah lama terhadap pemerintah baru karena keberadaan pemerintah
baru tersebut sudah tidak diragukan lagi keberadaannya. Pemerintah tersebut merupakan
satu-satunya yang mewakili negaranya berdasarkan kekuasaan nyata yang telah menimbulkan
hak baginya.

Biasanya pengakuan de-facto mendahului pengakuan de-yure, sekalipun tidak harus


demikian. Negara lama dapat saja langsung memberikan pengakuan secara de-yure terhadap
negara baru. Pengakuan secara de-yure biasanya diberikan berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan : 1). Efektivitas, yaitu kekuasaan yang diakui seluruh wilayah; 2). Regularitas,
yaitu berasal dari pemilihan umum atau telah disahkan oleh konstitusi; 3). Eksklusivitas, yaitu
hanya pemerintah itu sendiri yang mempunyai kekuasaan dan tidak ada pemerintahan
tandingan.
Konsekuensi dari pengakuan de-facto maupun de-yure bahwa bagi negara yang diakui
berhak mengklaim hartanya di negara yang mengakui, penerimaan perwakilan diplomatik,
mewakili kekuasaan lama. Antara pengakuan de-facto dan de-yure berkait dengan akibat
yang timbul terdapat unsur-unsur persamaaannya, seperti tidak dibedakan bobot pengakuan;
sama-sama mengikat; sama-sama sebagai negara yang berdaulat, dan sama-sama berlaku
surut. Namun demikian tidak dapat disangkal bila secara teoritis antara pengakuan de-facto
dan de-yure masih terdapat perbedaan substansi, yaitu :

1. Hanya negara atau pemerintah yang diakui sceara de-yure dapat menjalankan klaim
atas hak milik yang berada di negara yang mengakui;
2. Hanya negara yang diakui secara de-yure yang dapat menjadi pengganti dari bila
terjadi suksesi negara;
3. Wakil-wakil dari negara atau pemerintah yang diakui secara de-facto tidak
mendapatkan kekebalan dan keistimewaan diplomatik secara penuh di negara yang
mengakui;
4. Pengakuan de-facto sifatnya sementara, sehingga masih dapat ditarik kembali.

Pengakuan Kolektif

Merupakan suatu pengakuan yang diberikan pada negara baru oleh beberapa negara secara
bersama dalam bentuk suatu keputusan internasional (Collective International Art).
Contohnya, pengakuan terhadap Republik Demokrasi Jerman Timur oleh NATO melalui
Helsinki Treaty pada tahun 1976. Demikia juga dengan lahirnya Perjanjian Perdamaian
Jepang di San Fransisco yang ditandatangani oleh sebelas negara (Australia, Canada, Sri
Langka, Perancis, Indonesia, Nederland, Selandia Baru, Pakistan, Great Britania, dan
Amerika Serikat) mengakui kembali kedaulatan Jepang. Namun hal ini berbeda dengan
Penerimaan Negara untuk menjadi anggota PBB, tidak dapat dikatakan telah terjadi
pengakuan kolektif.

Pengakuan Bersyarat

Pengakuan diberikan oleh suatu negara kepada negara baru disertai dengan persyaratan
tertentu, sesuai dengan yang diinginkan oleh negara yang mengakui. Seperti yang pernah
dilakukan oleh negara-negara Austria, Inggris, PErancis, Jerman dan Italia memberikan
pengakuan kepada negara Bulgaria, Montenegro, Serbia, dan Rumania, sepanjang negara
yang diakui tersebut bersedia menjamin kebebasan beragama bagi warga negaranya.
Demikian pula ketika terjadinya pergantian Pemerintahan di Bolivia di tahun 1937 dari
David Toro kepada German Bush, Amerika Serikat dalam melaksanakan pengakuan disertai
harapan agar pemerintah yang baru menjamin hak milik orang lain yang berada di Bolivia.
Namun perlu dicatat, persyaratan yang dimaksud bukan persyaratan hukum. Sehingga bila
terjadi pelanggaran atau tidak dipenuhinya atas persyaratan yang dimaksudkan oleh negara
yang mengakui, tidak berarti batalnya pengakuan.

Dilihat dari Obyeknya


Pengakuan Negara.

Pengakuan negara merupakan pengakuan sebagai pribadi internasional, dengan segala hak
dan kewajiban. Untuk mengakui suatu negara baru, pada umumnya negara-negara
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut : 1). Keyakinan akan adanya stabilitas di negara
tersebut, 2). Adanya dukungan umum dari penduduk, dan 3). Kesanggupan dan kemampuan
untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban internasional.

Pengakuan Kepala Negara/Pemerintahan.


Secara teoritis pengakuan terhadap kepala negara / pemerintahan tidak ada kaitannya
dengan pengakuan terhadap negara. Penolakan pengakuan terhadap kepala negara /
pemerintah tidak berarti menolak adanya negara.

Sekalipun tidak dapat dibedakan, namun antara pengakuan negara dan pengakuan terhadap
kepala negara / pemerintahan yaitu :

1. Pengakuan negara merupakan pengakuan terhadap suatu entitas baru yang telah
mempunyai semua unsur yuridis negara dan telah menunjukkan kemauannya untuk
melaksanakan hak-hak dan kewajiban sebagai anggota masyarakat internasional;
2. Pengakuan negara mengakibatkan pula pengakuan terhadap pemerintahan negara
yang diakui dan berisikan kesediaan negara yang mengakui untuk mengadakan
hubungan dengan pemerintah baru tersebut;
3. Pengakuan terhadap suatu negara sekali diberikan tidak dapat ditarik kembali,
sedangkan pengakuan terhadap suatu pemerintahan dapat dicabut sewaktu-waktu.
Dengan penolakan atau pencabutan pengakuan terhadap pemerintahan baru, dapat
mempengaruhi hubungan diplomatik antar negara yang bersangkutan, namun tidak
berpengaruh pada personalitas negara yang bersangkutan.

Adanya pengakuan secara tergesa-gesa dapat menimbulkan persoalan intervensi, dimana


negara yang melakukan pengakuan secara tergesa-gesa dapat dianggap mencampuri urusan
dalam negeri suatu negara/pemerintah. Guna mengatasi timbulnya persoalan tesebut, dapat
diperhatikan doktrin Tobar atau doktrin Estrada. Doktrin Tobar mengajarkan bahwa di dalam
memberikan pengakuan terhadap pemerintah hendaknya memperhatikan syarat
konstitusionalitas. Pengakuan hendaknya ditangguhkan sampai rakyat di negara itu melalui
pemilihan umum yang bebas telah menyatakan sikapnya mengenai pemerintah baru tersebut.
Sedangkan doktrin Estrada berisikan suatu usulan untuk menghapuskan lembaga
pengakuan. Adanya sikap penolakan dianggapnya memberi hak kepada pemerintah-
pemerintah asing untuk menentukan apakah suatu rejim yang ada di negara lain itu sah atau
tidak. Kebiasaan semacam ini dianggap menghina dan menodai kedaulatan suatu negara,
mencakup pula pengertian mencampuri urusan-urusan dalam negeri dari suatu pemerintahan
negara.

Pengakuan Insurgency/Belligerency

Belligerency adalah pihak-pihak yang bertikai (perang) dalam suatu pertikaian internasional.
Sedangkan insurgency adalah pihak-pihak yang bertikai (perang) dalam suatu pertikaian non-
internasional (perang saudara). Kedua jenis pertikaian tersebut ketika melakukan
pembunuhan atau kejahatan lain dalam rangka pertikaian, agar supaya tidak dianggap
melanggar hukum, dan tidak dianggap melakukan kejahatan perang perlu mendapatkan
pengakuan dari salah satu pihak yang bertikai atau pihak-pihak yang berkepentingan. Adanya
keuntungan bagi pihak lain atau pihak ketiga yang mengakui yaitu memperoleh jaminan
hubungan hukum dan jaminan perlindungan bagi warga negaranya atau kepentingannya.

Gerakan Pembebasan Nasional


Adanya sekelompok masyarakat dalam suatu negara yang ingin membebaskan diri dari
kekuasaan penguasa yang sah, karena merasa terabaikan hak-hak asasinya, sehingga ingin
menjadi negara yang merdeka. Kelompok-kelompok semacam ini memang telah memperoleh
jaminan hukum sebagaimana terdapat dalam Declaration Human Rights, Covenan tentang
Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya tahun 1966, Covenan tentang Hak-hak Sipil dan
Politik 1966, serta Resolusi Majelis Umum 1958 tentang Penentuan Nasib Sendiri
(Resolution on Self-determination). Mereka mempunyai hak untuk menentukan nasibnya
sendiri. Namun sampai sekarang, perdebatan mengenai penentuan nasib sendiri tersebut
masih terus berlanjut.

Dilihat dari Caranya


Pengakuan dapat diberikan secara tegas-tegas, seperti Pernyataan Resmi dari Kepala
Negara, Ucapan Selamat, melalui nota diplomatik, telepon, dan sebagainya. Juga, pengakuan
dapat diberikan secara diam-diam, yaitu tersimpul dari adanya hubungan internasional,
seperti dibukanya hubungan diplomatik; dibuatnya perjanjian bilateral. Namun untuk
hubungan-hubungan berikut ini tidak dapat digunakan sebagai ukuran yang telah terjadi
pengakuan secara diam-diam, seperti sama-sama duduk dalam suatu konferensi internasional;
pemberian eksekuatur bagi pejabat konsul, sama-sama menjadi anggota suatu organisasi
internasional, dan sebagainya

Anda mungkin juga menyukai