Asma
Asma
PENDAHULUAN
1
kalau kekurangan tersebut berkepanjangan. Hipoglikemia sangat berbahaya bagi
otak, hal ini berdasar atas kenyataan bahwa otak tidak dapat menggunakan asam
lemak bebas sebagai bahan energi (jaringan yang lain dapat menggunakan asam
lemak bebas sebagai sumber energi).1,2 Hipoglikemia dapat menyebabkan
morbiditas serius, jika parah dan berkepanjangan, bisa berakibat fatal. Hal ini
harus dipertimbangkan pada pasien manapun dengan episode kebingungan,
tingkat kesadaran yang berubah, atau kejang.3
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Hipoglikemia adalah penurunan konsentrasi glukosa serum dengan atau
tanpa adanya gejala-gejala sistem otonom.Hipoglikemia ditandai dengan
menurunya kadar glukosa darah < 70 mg/dl. 4
B. Klasifikasi
Hipoglikemia dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bagian terkait dengan
derajat keparahannya, yaitu:
1. Hipoglikemia berat : pasien membutuhkan bantuan orang lain untuk
pemerian karbonat, glukagon, atau resusitasi lainnya/
2. Hipoglikemia simptomatik apabila GDS < 70 mg/dl disertai gejala
hipoglikemia
3. Hipoglikemia asimptomatik apabila GDS < 70 mg/dl tanpa gejala
hipoglikemia
4. Hipoglikrmia relatif apabila GDS > 70mg/dl dengan gejala hipoglikemia
5. Probable hipoglikemia apabila gejala hipoglikrmia tanpa pemeriksaan
GDS.4
Hipoglikemia berat dapat ditemui pada berbagai keadaan, antara lain :
a. Kendali glikemik terlalu ketat
b. Hipoglikemia berulang
c. Hilangnya respon glukagon terhadap hipoglikemia setelah 5 tahun
terdiagnosis DM tipe 1
d. atenuasi epinephrine, norepinephrine, growth hormone, respon cortisol.
e. Neuropati otonom
f. Tidak menyadari hipoglikemia
g. Gagal ginjal kronik stadium akhir
h. Penyakit / gangguan fungsi hati
i. Malnutrisi
3
j. Konsumsi alkohol tanpa makanan yang tepat.4
C. Epidemiologi
Hipoglikemia dapat terjadi pada pasien Diabetes mellitus (DM) maupun
bukan pasien DM. pada pasien DM, hipoglikemia dapat terjadi pada
mereka yang menggunakan obat insulin maupun obat anti diabetes oral
(sulfonil urea). Di Negara barat, dimana banyak pasien IDDM (Insulin
Dependent Diabetes Mellitus), hipoglikemia lebih sering terjadi pada pasien
DM yang menggunakan insulin daripada yang mengunakan sulfonilurea.
Laporan dari Inggris menunjukkan insidensi hipoglikemia sebesar 19/1000
pasien/tahun pada pasien yang menggunakan sulfonilurea dan 4,2/1000
pasien/tahun perlu dirawat di rumah sakit. Kematian akibat hipoglikemia
pada pasien yang menggunakan insulin di Inggris adalah 0,2/1000
pasien/tahun, sedangkan yang menggunakan sulfonilurea di Swedia adalah 0-
0,33/1000 pasien/tahun. Laporan kejadian di Indonesia sendiri belum banyak.
Hipoglikemia di Indonesia didapatkan baik pada pasien yang mendapat
insulin maupun sulfonilurea, sedangkan kematian hanya didapatkan pada
pasien yang mendapat sulfonilurea. Keadaan ini sangat berbeda dengan di
Negara barat mungkin karena jumlah pasien DM di Indonesia sedikit.2
D. Etiologi
Hipoglikemik paling sering di dapatkan pada pengobatan terhadap pasien
diabetes.3
Penyakit atau pengobatan individual :
1. Obat-obatan :
- Insulin / insulin sekretagogue
- Alkohol
- Lain-lainnya
2. Penyakit kritis
- Gagal hepar
- Gagal ginjal
- Gagagl jantung
- Sepsis
4
- Kurang gizi
3. Defisiensi Hormon
- Kortisol
- Glukagon nonepidefrin (diabetes Defisiensi insulin)
4. Tumor sel non islet
Pada perbaikan individual :
1. Hiperinsulinisme endogen
- Insulinoma
- Penyakit fungsional sel B (nesidioblastosis)
Hipoglikemia noninsulinoma pankreatogen
Hipoglikemia post gastric bypass
- Hipoglikemia autoimun insulin
Antibodi terhadap insulin
Antibodi terhadap reseptor insulin
- Insulin sekretagogue
- Lainnya
2. Hipoglikemia mendadak, hipoglikemia terselubung.3
E. Patofisiologi
Untuk memahami patogenesis hipoglikemia perlulah meninjau kembali
mengenai homeostasis glukosa dan energi tubuh. Pada waktu makan
(absorptive) cukup tersedia sumber energi yang diserap dari usus. Kelebihan
energi tersebut akan disimpan sebagai makromolekul, karena itu fase ini
dinamakan sebagai fase anabolik. Hormon yang berperan adalah Insulin. 60
% dari glukosa yang diserap usus dengan pengaruh insulin akan disimpan di
hati sebagai glikogen, sebagian lagi akan disimpan di jaringan lemak dan
otot juga sebagai glikogen. Sebagian lain dari glukosa tersebut akan
mengalami metabolisme anaerob maupun aerob untuk memperoleh energi
yang digunakan seluruh jaringan tubuh terutama otak. Sekitar 70 % dari
seluruh penggunaan glukosa berlangsung di otak. Berbeda dengan
jaringan lain, otak tidak dapat menggunakan asam lemak bebas sebagai
sumber energy.2
5
Gambar 1. Fisiologi penghentian glukosa: mekanisme yang biasanya mencegah atau cepat
mengoreksi hipoglikemia (Harrison, 2015)
6
(puasa) terjadi penurunan insulin dan kenaikan hormone kontra
regulator. Keadaan tersebut akan menyebabkan penurunan penggunaan
glukosa di jaringan insulin sensitive dan dengan demikian glukosa yang
jumlahnya terbatas hanya disediakan untuk jaringan otak.2
Selama homeostasis glukosa tersebut di atas berjalan, hipoglikemia tidak
akan terjadi. Hipoglikemia terjadi karena ketidakmampuan hati
memproduksi glukosa. Ketidakmampuan hati tersebut dapat disebabkan
karena penurunan bahan pembentuk glukosa, penyakit hati atau
ketidakseimbangan hormonal. Kenaikan penggunaan glukosa di perifer tidak
menimbulkan hipoglikemia selama hati masih mampu mengimbangi dengan
menambah produksi glukosa.2
F. Manifestasi klinis
Hipoglikemia terjadi karena penurunan konsentrasi glukosa serum dengan
atau tanpa adanya gejala-gejala sistem otonom, seperti adanya whipple’s
triad:
1. Terdapat gejala-gejala hipoglikemia
2. Kadar glukosa darah yang rendah
3. Gejala berkurang dengan pengobatan
Sebagian pasien dengan diabetes dapat menunjukkan gejala glukosa darah
rendah tetapi menunjukkan kadar glukosa darah normal. Di lain pihak, tidak
semua pasien diabetes mengalami gejala hipoglikemia meskipun pada
pemeriksaan kadar glukosa darahnya rendah. Penurunan kesadaran yang
terjadi pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan kemungkinan
disebabkan oleh hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh
penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonil urea dapat
berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan
waktu kerja obat telah habis. Pengawasan glukosa darah pasien harus
dilakukan selama 24-72 jam, terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik
atau yang mendapatkan terapi dengan OHO kerja panjang. Hipoglikemia di
usia lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari, mengingat dampaknya
yang fatal atau terjadinya kemunduran mental bermakna pada pasien.
7
Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih lambat dan
memerlukan pengawasan yang lebih lama.4
Tabel 1. Tanda dan gejala Hipoglikemia pada orang dewasa4
(PERKENI, 2015)
G. Diagnosis
Pada pasien DM yang mendapat insulin atau sulfonilurea diagnosis
hipoglikemia ditegakkan bila didapatkan gejala-gejala yang disebut
diatas. Keadaan tersebut dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan glukosa
darah. Bila gejalanya meragukan sebaiknya diambil dulu darah untuk
pemeriksaan glukosanya. Bila dengan pemberian suntikkan bolus dekstrosa
pasien yang semula tidak sadar kemudian menjadi sadar, maka dapat
dipastikan koma hipoglikemia. Sebagai dasar diagnosis dapat digunakan
Trias Whipple :
1. Hipoglikemia dengan gejala-gejala saraf pusat, psikiatrik atau
vasomotorik
2. Kadar glukosa darah kurang dari 50 mg%
3. Gejala akan menghilang dengan pemberian gula.2
H. Penatalaksnaan
Stadium permulaan (sadar)
berikan gula murni 30 gram (2 sendok makan) atau sirup/permen
(bukan pemanis pengganti gula atau gula diabets) dan makanan yang
mengandung karbohidrat.
Hentikan obat hipoglikemik sementara
Pantau gula darah sewaktu
Pertahankan GD diatas 100 mg/dl (bika sebelumnya tidak sadar)
8
Cari penyebab
Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar hipoglikemia :
diberikan larutan dekstrosa 40% sebanyak 2 flakon (=50 ml) bolus
intravena
diberikan cairan dextrosa 10% perinfus, 8 jam perkolf bila tanpa
penyulit lain
periksa GD sewaktu kalau memungkinkan dengan glaukometer:
- bila GDs < 50 mg/dl + bolus dextrosa 40% 50 ml IV
- bila Gds < 100 mg/dl + bolus dextrosa 40% 25 ml IV
periksa GDS setiap 15 menit setelah pemeberian dextrosa 40%.
- Bila GDS <50 mg/d l + bolus dextrosa 40% 50ml IV
- bila GDs <100 mg/dl + bolus dextrosa 40% 25 ml IV
- bila GDs 100-200 mg/dl tanpa bolus dextrosa 40%. Bila GDS
>200 mg/dl pertimbangkan menurunkan kecepatan drips
Dextrosa 10%
bila GDS >100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut pemantauan GDS
setiap 2 jam. Dengan protokol sesuai diatas, bila GDS >200 mg/dl
pertimbangkan mengganti infus dengan dextrosa 5% atau NaCl 0,9%.
bila GDS > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut masing-masing
selama 2 jam pemantauan GDS tiap 4 jam dengan protokol sesuai
diatas. Bila GDs >200 mg/dl pertimbangkan ganti infus dengan
dextrosa 5% atau NaCl 0,9%.
Bila GDS >100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut masing-masing
selama 4 jam pemeriksaan GDS dapat diperpanjang sesuai kebutuhan
sampai efek obat penyebab hipoglikemia diperkirakan sudah habis dan
pasien sudah dapat makan seperti biasa.
Bila hipoglikemia belum teratasi dipertimbangkan pemberian
antagonis insulin. Seperti glukagon 0,5 – 1 mg IV im atau kortison,
adrenal.
9
Bila pasien belum sadar, sementara hipoglikemik sudah teratasi maka
cari penyebab lain atau sudah terjadi Brain damage akibat
hipoglikemik berkepanjangan.5
I. Prognosis
Kematian akibat hipoglikemia jarang terjadi. Kematian dapat terjadi
karena keterlambatan mendapat pengobatan, terlalu lama dalam keadaan
koma sehingga terjadi kerusakan jaringan otak. Kemungkinan lain pasien
peminum alcohol dan saat terjadi hipoglikemia dia dalam keaadan mabuk
sehingga tidak dapat mengatasi keadaan gawat tersebut. Disamping itu
alcohol menekan glukoneogenesis. Hipoglikemia yang terjadi saat pasien
mengemudikan kendaraan dapat menyebabkan kecelakaan yang berakibat
fatal.2
10
BAB III
LAPORAN KASUS
A. Identitas
Nama : Ny. F
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 51 Tahun
Alamat : Ds. Karya Mukti
Pekerjaan : IRT
Pendidikan Terakhir :-
Tanggal Masuk RS : 4 Februari 2018
Tanggal pemeriksaan : 5 Februari 2018
Ruangan : Camar
B. Anamnesis
Keluhan utama : penurunan kesadaran
Riwayat penyakut sekarang :
Pasien masuk RS dibawa oleh keluarganya karena tiba-tiba tidak
sadarkan diri pada pukul 10.30 WITA. Sebelumnya pasien mendapatkan
terapi insulin yang disuntikkan oleh anaknya sebanyak 10 U pada jam
6.30 WITA dan pasiennya mengatakan makan setelah jam 8.00 WITA.
Selama seminggu pasien menggunakan obat insulin sebanyak 2 jenis
suntikan berwarna orange di pagi hari dan warna ungu di malam hari.
Pasien merasa lemas sejak jam 10.00 Pagi. Pasien merasa sesak napas
disertai pusing dan lemas. keringat dingin pada malam hari sebelum
masuk RS. Pasien juga mengeluh sering merasa lapar terus namun
kurang nafsu makan karena mual, sering haus, dan sering merasa ingin
kencing. Terdiagnosis DM sejak tahun 2014 dengan GDS 300mg/dl,
pasien sempat sembuh total 1 tahun dengan melakukan diet rendah gula
namun pada 2016 gula darah kembali meningkat sampai GDS 600 mg/dl.
Sejak saat itu pasien mengkonsumsi insulin suntuk yang sering
pemakaian insulin sejak 1 tahun yang lalu. riwayat masuk RS 1 minggu
11
yang lalu dengan Nyeri ulu hati seperti tertusuk-tusuk. Batuk kering
tanpa lendir setelah sehari dirawat do RS BAB dan BAK biasa.
12
Leher
KGB : Pembesaran (-)
Tiroid : pembesaran (-)
JVP : normal 5+2 cm H2O
Massa lain : tidak ada
Thoraks
Paru-paru
Inspeksi : Bentuk dada kanan kiri simetris, retraksi dinding dada (-)
Palpasi : Krepitasi (-), Fokal Vremitus kanan=kiri
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler +/+, Ronkhi (+/+), Wheezing (+/+)
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak nampak
Palpasi : iktus kordis teraba
Perkusi batas jantung : batas jantung normal
Auskultasi : BJ S1 dan S2 murni Regular, murmur (-), Gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : perut kesan datar
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
Perkusi : timpani (+)
Palpasi : Nyeri tekan Epigastrium (-)
Anggota gerak
Atas : akral hangat (+/+) edema (-/-), tidak ada hambatan gerak
Bawah : akral hangat (+/+) edema (-/-) tidak ada hambatan gerak
D. Hasil Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
DARAH LENGKAP
NILAI RUJUKAN
(4 Februari 2018)
WBC 17,9 x 103/mm3 4,8 – 10.8
RBC 3,5 x 106/uL 4,7 – 6,1
13
HGB 9,6 g/dL 14-18
HCT 27,5 % 42 – 52
MCV 79,3 fL 80-99
MCH 27,7 pg 27 – 31
MCHC 34,9 g/dL 33 – 37
NEUT% 79,9 % 40 – 74
PLT 626 x 103/uL 150 -450
ELEKTROLIT
NILAI RUJUKAN
(4 Februari 2018)
K+ 2,61 3,50 – 5,10 mmol/L
Na+ 144 135-145 mmol/L
Cl- 100 97-106 mmol/L
Ca2+ 1,20 1,12 – 1,32 mmol/L
GULA DARAH
( 4 Februari 2018) NILAI RUJUKAN
11.04 GDS 31
12.04 GDS 228
80-199 mg/dl
18.49 GDS 78
23.12 GDS 124
GULA DARAH
( 5 Februari 2018) NILAI RUJUKAN
00.00 GDS 136 80-199 mg/dl
14
FUNGSI GINJAL NILAI RUJUKAN
(5 Februari 2018)
Urea 26 10 – 50 mg/dL
Creatinin 2,01 0,70 – 1.20 mg/dL
Radiologi (6 Februari 2018)
Foto Thorax PA :
- Perselubungan homogen pada lapangan atas paru
- Cor : ukuran normal
- Sinus dan diafragma baik
- Tulang-tulang intak
Kesan :
- Pneuomonia Lobaris susp spesifik
E. Resume
Pasien perempuan usia 51 tahun dibawa ke rumah sakit karena penurunan
kesadaran tiba-tiba. Riwayat menggunakan insulin 10 U pada pagi hari tanpa
mengontrol gula darah sejak 1 minggu sebelum masuk RS. Pasien dispnue (+)
pusing(+) letargi (+), keringat dingin (+), polipagi ,polidipsiu, poliuri, nausea
(+), Batuk kering (+) sejak masuk RS. Riwayat DM (+), Riwayat Batu ginjal
(+). Tanda vital TD: 100/70 mmHg, N: 64 x/m, P:20x/m, S: 36,4 C. Fisis :
Ronkhi (+/+), Wheezing (+/+). Pada pemeriksaan Laboratorium pertama
ditemukan leukositosis, anemia mikrositik hipokromik, neutrofilia,
trombositosis, hipoglikemia,hipokalemia, peningkatan fungsi ginjal kreatinin
1,27 mg/ml.
F. DIAGNOSA KERJA
1. Hipoglikemik
2. Hipokalemia
3. Diabetes Melitus Tipe 2
4. Chronic Kidney Diseases stage IIIb
5. Pneumonia lobaris dextra
15
G. Penatalaksanaan
Non medika mentosa :
- Tirah baring
- Mengontrol gula darah secara rutin saat menerima terapi Diabetes
Medikamentosa :
IVFD Dextrosa 10% 12 tpm - O2 2-4 lpm
Bolus dextrosa 40% secara IV
16
FOLLOW UP
UGD ( 4 Februari 2018)
S O A P
- Tidak sadarkan KU: sakit berat Hipoglikemia IVFD Dextrosa
diri, Kesadaran : Hipokalemia 10% 12 tpm
- E2M4V5 10.56 DM Tipe 2 Bolus Dextrosa
- E4M4V5 11.15
40% 2fl
TD: 140/70 mmHg
Atas dasar : O2 2-4lpm
N: 110x/m
Anamnesis
R: 24x/m
Riwayat DM + Anjuran :
S: 37.3 C
lab - Fungsi ginjal
Pem. Fisik:
GDS: 31 - GDS
Kepala : anemis -/-,
GDS ; 228
ikterus -/-
K+= 2,61
dada: Rh -/-,Wh -/-
perut: BU (+) normal
eks = udem (-)
lab:
DL,GDS,elektrolit,
fungsi ginjal,.
WBC = 17,9
RBC = 3,5
HB = 9.6
HCT= 27,5
NEU=79.9
PLT= 626
GDS = 31 mg/dl
K = 2,61
17
S O A P
- Lemas, batuk KU: sakit sedang Hipoglikemia IVFD Cairan
kering. Kesadaran :
Hipokalemia Dextrosa 10%
- E4V5M6
DM tipe 2 20tpm
TD: 110/60 mmHg
KSR 3 x 1
N: 78x/m
CKD stg IIIb Neurodex 2 x 1
R: 25x/m
Atas dasar: Inj. Ceftriaxon
S: 36,5 C
Riwayat Batu 2g/24 jam (bolus
Pem. Fisik:
Anemia Hb= 9,6 pelan)
Kepala : anemis -/-,
LFG = 35.84 Aminefron 3 x 1
ikterus -/-
Combivent/8 jam
dada: Rh +/+,Wh
Susp. CAP Vectrin 500mg
+/+
Atas dasar: 3x1
perut: BU (+) normal
Batuk Anjuran :
eks = udem (-)
WBC= 17.9 x - Foto thorax
lab:
103/mm3
GDS,elektrolit,
Neut: 79,9%.
fungsi ginjal,.
GDS= 136
CK= 2.01
18
CAMAR ( 6 Februari 2018)
S O A P
- Lemas + batuk KU: sakit sedang Hipoglikemia IVFD Nacl 5%
berdahak Kesadaran :
Hipokalemia 10 tpm
waarna putih. - E4M6V5
DM Tipe 2 KSR 3x1
TD: 100/70 mmHg
CKD Stg. IIIb Inj. Ceftriaxon 2
N: 64x/m
Pneumonia gram/24 jam.
R: 20x/m
lobaris bilateral. (bolus pelan)
S: 36,4 C
Aminefron 3 x1
Pem. Fisik:
Kepala : anemis -/-,
ikterus -/-
dada: Rh +/+,Wh -/-
perut: BU (+) normal
eks = udem (-)
19
CAMAR (7 Februari 2018)
S O A P
- Sudah tidak KU: sakit sedang Hipoglikemia IVFD Cairan
lemas Lemas. Kesadaran :
Hipokalemia Dextrosa 10%
Batuk - E4V5M6
DM tipe 2 20tpm
berkurang. TD: 110/80 mmHg
CKD stg IIIb KSR 3 x 1
N: 80x/m
Penuomonia Neurodex 2 x 1
R: 24x/m
lobaris bilateral. Inj. Ceftriaxon
S: 36,6 C
2g/24 jam (bolus
Pem. Fisik:
pelan)
Kepala : anemis -/-,
Aminefron 3 x 1
ikterus -/-
dada: Rh +/+,Wh
+/+
perut: BU (+) normal
eks = udem (-)
20
CAMAR (8 Februari 2018)
S O A P
- Lemas KU: sakit sedang Hipoglikemia Aff Infus
berkurang , Kesadaran :
Hipokalemia Vectrin 300mg
batuk - E4V5M6
DM tipe 2 3x1
berkurang. TD: 110/80 mmHg
CKD stg IIIb Aminefron 3x1
N: 80x/m
Pneuomonia Cefixime 200 mg
R: 24x/m
lobaris dextra 2x1
S: 36,6 C
Anjuran :
Pem. Fisik:
- Rawat jalan -
Kepala : anemis -/-,
Kontrol di
ikterus -/-
poli.
dada: Rh +/+,Wh
+/+
perut: BU (+) normal
eks = udem (-)
21
BAB IV
PEMBAHASAN
22
rendah dari nilai normal. Pada pasien ini didapatkan gejala berupa lemas, riwayat
muntah 3 kali, intake oral kurang dan pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
kadar Kalium 2,61 mmol/dl.
Bila melihat kadar elektrolit pada pasien ini, kita sebagai tenaga medis harus
segera memberikan terapi dalam hal ini pemberian cairan infus berupa WIDA KN
2. Pemberian cairan tersebut untuk menghindari manifestasi klinis dari elektorlit
imbalance terutama dalam hal ini kadar kalium pada nilai kritis, dimana bisa
terjadi efek kardiovaskular yaitu berupa penurunan kontraktilitas jantung,
abnormalitas EKG berupa aritmia, tekanan arteri yang labil akibat fungsi otonom
dan yang utama adalah repolarisasi ventrikel yang terhambat, yang bilang tidak
segera ditangani pasien mengalami Cardia pulmunary Arrest yang menyebabkan
kematian.
Pada hari pertama perawatan pasien mengeluh batuk kering kemudian hari
berikutnya di sertai dengan lendir berwarna putih, dimana pasien tersebut
dicurigai mengalami Community Acquired Pneumonia/ CAP. Atas dasar
anamnesis dan pemeriksaan fisis didapatkan ronkhi serta wheezing dan didukung
oleh hasil laboratorium darah lengkap terdapat Leukositosis dan neutrofilia yang
menandakan bahwa sedang terjadi infeksi pada paru-paru pasien. Hal ini
dibuktikan dengan pemeriksaan penunjang berupa foto thorax dengan hasil
terdapat penumonia lobaris dextra. Seseorang yang mengalami Diabetes melitus
rentan terkena infeksi karena keadaan Hiperglikemia yang merupakan tempat
yang disukai oleh bakteri/ mikroorganisme lain untuk berkembang biak.
Pasien juga didiagnosis menderita gagal ginjal kronik stadium III b dasar
diagnosis yakni pasien sesak, dan anemia, memiliki riwayat batu ginjal yang dapat
mencetuskan keadaan gagal ginjal. Serta didapatkan pada pemeriksaan
laboratorioum fungsi ginjal kreatinin serum meningkat. Kemudian dihitung laju
filtrasi glomerulus menggunakan rumus cockroft gault dengan hasil LFG= 35.84
ml/mnt/1.73mm3. Pada stadium ini penderita gagal ginjal harus di evaluasi untuk
mencegah terjadinya komplikasi ke stadium lanjut.
23
DAFTAR PUSTAKA
24